Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Perminyakan Indonesia Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Simposium Nasional dan Kongres X Jakarta, 12 – 14 November 2008
Makalah Profesional
IATMI 08 – 002 PENINGKATAN KESELAMATAN MIGAS MELALUI PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) DAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA (SKKNI) PADA KEGIATAN USAHA MIGAS By : Ir. Patuan Alfon Simanjuntak, M.K.K.K Mirza Mahendra, S.T., M.T. Joko Hadi Wibowo, S.T.
BAB I PENDAHULUAN Sektor energi khususnya minyak dan gas bumi sampai saat ini merupakan salah satu penyumbang pendapatan Negara. Karena itu disadari betapa pentingnya upaya pengelolaan minyak dan gas bumi dengan optimal, efektif dan efisien serta mengacu pada kaidah-kaidah keteknikan yang baik dengan memperhatikan aspek keselamatan migas yang mencakup keselamatan pekerja, keselamatan umum, keselamatan instalasi dan keselamatan lingkungan. Pengusahaan minyak dan gas bumi secara efektif dan efisien, diarahkan untuk peningkatan nilai tambah dengan tujuan untuk memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan ekspor, menunjang pembangunan daerah dan sektor pembangunan lainnya serta sekaligus mengembangkan penguasaan teknologi yang tepat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Semua kegiatan ini tidak dapat dipisahkan dari aspek keselamatan migas atau
IATMI 08-002
dengan kata lain seharusnya tidak ada dikotomi antara Keselamatan Migas dengan kegiatan operasi dan produksi itu sendiri. Kegiatan usaha minyak dan gas bumi banyak mengandung resiko-resiko bahaya terhadap faktor keselamatan umum, keselamatan pekerja, instalasi dan kondisi lingkungan (keselamatan migas). Pelaksanaan pembinaan terhadap aspek keselamatan migas selama ini terus diupayakan untuk ditingkatkan. Ciri-ciri khusus kegiatan usaha minyak dan gas bumi antara lain. 1. Daerah operasiya ditempat-tempat terpencil jauh dari sarana umum. 2. Kegiatannya mengandung resiko tinggi oleh karena mengoperasikan peralatan dan atau instalasi yang berkaitan dengan tekanan, temperatur, proses dan kondisi alam. 3. Menggunakan teknologi yang canggih, peralatan-peralatan khusus dan investasi yang sangat besar.
1
4. Memerlukan tenaga kerja yang memiliki kompetensi khusus. Potensi resiko bahaya sebagaimana disebutkan di atas tidak terbatas pada kegiatan di Hulu saja, namun juga pada kegiatan hilir serta hasil olahan lainnya (Bahan Bakar Minyak dan Gas). Resiko bahaya itu dapat berupa bahaya kebakaran, ledakan, catastrophyc pada instalasi dan atau peralatan di kegiatan usaha migas dan dapat juga berupa pencemaran di lingkungan sekitar operasi kegiatan usaha migas yang pada akhirnya akan berdampak pada kerugian materiil dan immateriil.
BAB II KESELAMATAN MIGAS Penemuan lapangan minyak dan gas di Indonesia dimulai pada tahun 1871, sedangkan peraturan mengenai pertambangan minyak dan gas bumi pertama kali dikeluarkan pada tahun 1899 (Indische Minjwet 1899), yang mengatur hak dan kewajiban pemegang konsesi (Wilayah Kuasa Pertambangan terhadap pemerintah). Pada tahun 1930 telah diterbitkan suatu peratuiran yang mengatur mengenai aspek keselamatan kerja termasuk pengawasannya yakni dengan diundang-undangkannya Mijn Ordonnantie dan Mijn Politie Reglement yang mengatur mengenai keselamatan kerja kegiatan tambang. Usaha pertambangan minyak dan gas bumi telah mengalami perombakan dari sistim konsesi pada zaman penjajahan Belanda menjadi sistim perjanjian karya setelah diberlakukannya Undang-undang No. 44 tahun 1960 dan kemudian berkembang menjadi sistem kontrak Production Sharing yang beroperasi sejak dimulainya kegiatan di lepas pantai Indonesia tahun 1966. Sejarah perkembangan usaha pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia sejak masa penjajahan menunjukkan bahwa hal-hal yang menyangkut keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan hidup telah menjadi masalah utama yang perlu diawasi oleh pemerintah secara ketat. Perlu disadari bahwa usaha pertambangan minyak dan gas bumi adalah kegiatan yang mempunyai resiko yang cukup besar, sehingga masalah keselamatan kerja perlu mendapat perhatian khusus. Oleh karena itu untuk mendorong peningkatan prestasi dalam bidang keselamatan kerja di sub sektor minyak dan gas bumi, pemerintah dalam hal ini diadakan penetapan
kebijaksanaan pemberian tanda penghargaan keselamatan migas, sertifikasi tenaga teknik khusus migas serta sertifikasi instalasi dan peralatan. Dalam kenyataannya kontrol dan inspeksi keselamatan dan kesehatan kerja telah dilaksanakan oleh pemerintah sejak dikeluarkannya undang – undang Indishe Mijnwet tahun 1899 tetapi secara hukum, pengawasan pemerintah dilaksanakan setelah terbitnya Mijn Ordonanntie dan Mijn Politie Reglement pada tahun 1930, yaitu dengan resmi dibentuknya Kepala Inspeksi Tambang . Undang-undang yang disebutkan diatas juga berlaku pada penambangan mineral non migas. Pada tahun 1960 kedua bentuk pertambangan termaksud dipisahkan dan sebagai penggantinya untuk pertambangan minyak dan gas bumi diterbitkan undangundang No. 44 Prp/1960. Undang-undang ini kemudian menjadi dasar dalam pengaturan pertambangan minyak dan gas bumi setelah tahun 1960 di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang No. 44 tahun 1960 telah diterbitkan seperangkat perundang-undangan yang menjadi dasar hukum untuk mengatur, membina dan mengawasi masalah keselamatan dan kesehatan kerja pada Sub Sektor Minyak dan Gas Bumi antara lain Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi di Daerah Lepas Pantai dan Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 1979 tentang keselamatan kerja pada permunian dan pengolahan minyak dan gas bumi. Sebagai pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1970 pada sektor pertambangan, pemerintah telah membuat pengaturan melalui Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan. Gambar 2.1. dibawah menunjukan peraturan keteknikan pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang saat ini berlaku. Pada kegiatan usaha migas dikenal klasifikasi untuk kecelakaan kerja berdasarkan peraturan perundangan dibagi menjadi empat bagian, yaitu: -
Ringan, kecelakaan yang tidak menimbulkan kehialangan hari kerja; Sedang, kecelakaan yang menimbulkan kehilangan hari kerja dan diduga tidak akan menimbulkan cacat jasmani dan atau rohani yang akan mengganggu tugas pekerjaannya;
-
-
Berat, kecelakaan yang menimbulkan kehilangan hari kerja dan diduga akan menimbulkan cacat jasmani dan atau rohani yang akan mengganggu tugas dan pekerjaannya; dan Mati/Fatal, kecelakaan yang menimbulkan kematian segera atau dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam setelah terjadinya kecelakaan.
Gambar 2.2. dibawah menunjukan statistik kecelakaan pada kegiatan usaha migas sampai dengan bulan Juli 2008. Setelah diterbitkannya Undangundang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pada Pasal 40 mengamanatkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menjamin standar dan mutu, menerapkan kaidah keteknikan yang baik, keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup, mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat dan produk dalam negeri. Untuk mewujudkan amanat dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tersebut dan dalam rangka menyambut era globalisasi maka diperlukan suatu standar nasional dan kompetensi yang dapat mengakomodir hal-hal tersebut, melindungi kepentingan negara kita serta menunjang keselamatan migas. Keselamatan Migas adalah ketentuan tentang Standardisasi peralatan, sumber daya manusia, pedoman umum instalasi migas dan prosedur kerja agar instalasi migas dapat beroperasi dengan andal, aman, dan akrab lingkungan agar dapat menciptakan kondisi: • Aman dan sehat bagi pekerja (K3) • Aman bagi masyarakat umum (KU) • Aman bagi lingkungan (KL) • Aman dan andal bagi instalasi migas sendiri (KI) Keselamatan pekerja adalah suatu perlindungan bagi keamanan dan kesehatan bagi para pekerja sehingga dapat terhindar dari kecelakaan kerja. Agar tercapainya keselamatan pekerja, persyaratan yang harus dipenuhi antara lain terdapatnya standardisasi kompensi; tempat kerja dan lingkungan kerja yang laik; prosedur kerja; dan menggunakan alat pelindung diri (APD) bagi yang bekerja di tempat berbahaya. Keselamatan umum merupakan perlindungan bagi keamanan masyarakat umum sehingga dapat terhindar dari
kecelakaan yang disebabkan oleh kegiatan usaha migas. Untuk mengantisipasi hal tersebut dibutuhkan penyuluhan terhadap bahaya migas, tanda peringatan atau larangan, sertifikat kelaikan terhadap instalasi dan peralatan, tanda keselamatan produk, dan lain-lain. Keselamatan lingkungan berfungsi untuk melindungi lingkungan sekitar kegiatan terhadap pencemaran yang disebabkan dari proses yang pada industri migas. Untuk mencegah hal tersebut maka terdapat beberapa persyaratan bagi kegiatan usaha migas, antara lain studi lingkungan; bahanbahan kimia yang digunakan dalam operasi telah memenuhi persyaratan; teknologi yang tepat; terdapat peralatan pemantauan, pencegahan dan pencemaran lingkungan; mengacu pada baku mutu lingkungan; terdapat SDM yang berkompeten; sistem tanggap darurat; dan sistem manajemen lingkungan. Keselamatan instalasi/ peralatan merupakan suatu perlindungan bagi instalasi dan peralatan yang digunakan sehingga dapat terhindar dari kerusakan yang dapat membahayakan bagi para pekerja, lingkungan, masyarakat umum serta kerugian investasi. Untuk dapat menghindari hal tersebut terdapat beberapa persyaratan, antara lain prosedur operasi dan perawatan; sertifikat kelaikan instalasi dan peralatan; penggunaan standar/SNI; tanda kesesuaian SNI; sertifikat kompetensi bagi pekerja; kesiapan alat pemadam; prosedur dan latihan tanggap darurat; dan tanda keselamatan produk.
BAB III STANDAR NASIONAL INDONESIA Pertumbuhan ekonomi nasional perlu didukung oleh peningkatan produktivitas dan efisiensi serta sumberdaya manusia yang berkualitas. Untuk itu diperlukan usaha peningkatan dan pemantapan program pembangunan nasional di sektor ekonomi agar dapat menjadi penggerak utama ekonomi yang efisien, berdaya saing tinggi, dan mempunyai struktur yang makin mantap. Keberadaan Sistem Standardisasi Nasional (SSN) sangat diperlukan untuk mendukung produk nasional dalam menghadapi era perdagangan bebas, guna menjamin terciptanya perdagangan yang adil dan jujur serta menunjang pertumbuhan produk nasional dan perlindungan masyarakat,
khususnya dalam hal keselamatan, keamanan, kesehatan dan fungsi lingkungan hidup. Selain itu, dalam meningkatkan keunggulan kompetitif produk nasional, diperlukan pengembangan prasarana teknis standardisasi yang meliputi metrologi, standar, pengujian, dan penilaian mutu dalam rangka meningkatkan dan menjamin mutu barang dan/atau jasa. Pengembangan prasarana teknis tersebut diusahakan agar manfaatnya dapat lebih dirasakan oleh semua pihak. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, standardisasi dapat digunakan sebagai salah satu alat kebijakan pemerintah dalam menata struktur ekonomi secara lebih baik dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan standar nasional dengan mutu yang makin meningkat dan dapat memenuhi persyaratan internasional, untuk menunjang tercapainya tujuan strategis, antara lain peningkatan efisiensi nasional, dan menunjang program keterkaitan sektor ekonomi dengan berbagai sektor lainnya. Ruang lingkup Sistem Standardisasi Nasional meliputi kelembagaan standardisasi, perumusan standar, penetapan standar, pemberlakuan standar, penerapan standar, akreditasi, sertifikasi, metrologi, pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerja sama, informasi dan dokumentasi, pemasyarakatan, pendidikan dan pelatihan standardisasi serta penelitian dan pengembangan standardisasi. Dengan semakin banyaknya masuk standar asing khususnya pada industri migas, untuk menjaga dan melindungi kepentingan domestik maka diperlukan pemberlakuan standar dan penilaian kesesuaian. Oleh karenanya, peran standar dan penilaian kesesuaian kini menjadi semakin besar dalam kegiatan usaha migas seiring dengan penggunaan teknologi tinggi pada instalasi migas. Peranan standardisasi dalam perekonomian nasional mengalami perkembangan yang berarti, misalnya diberlakukannya Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang secara spesifik mengamanatkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang atau jasa yang tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan; terbitnya PP 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional; meningkatnya peran aktif Indonesia dalam kegiatan standardisasi regional dan internasional seperti ISO (International Organization for Standardization), IEC (International
Electrotechnical Commission), CAC (Codex Alimentarius Commission), ILAC (International Laboratory Accreditation Cooperation), APLAC (Asia Pasific Laboratory Accreditation Cooperation), dan sebagainya. Saat ini Indonesia duduk menjadi P Member di ISO. Kegiatan standardisasi di Indonesia dilaksanakan oleh semua stakeholders yaitu pemerintah, pelaku usaha, konsumen maupun kaum profesional (ilmuwan) yang dikoordinasikan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Keempat stakeholders tersebut diharapkan dapat berpartisipasi aktif dengan bebas dan terarah dalam kegiatan standardisasi. Guna menghimpun aspirasi dan mengkoordinasikan kegiatan standardisasi, stakeholders tersebut perlu diwadahi dalam suatu bentuk organisasi yang. Dalam melaksanakan kegiatannya BSN dibantu oleh simpul-simpul kerja fungsional yang meliputi komisi, panitia teknis perumusan SNI, Komite Akreditasi Nasional (KAN), Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU), lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, laboratorium, dan lembaga standardisasi lainnya. Standar Nasional Indonesia (SNI) disusun melalui proses perumusan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) yang dilaksanakan oleh Panitia teknis Perumusan SNI yang dilaksanakan oleh unit standardisasi pada instansi teknis yang bersangkutan melalui konsensus dari semua pihak yang terkait. RSNI ditetapkan menjadi SNI oleh BSN. Panitia teknis Perumusan SNI ditetapkan oleh BSN atas usul dan dikoordinasikan oleh Instansi teknis sesuai dengan kewenangannya. Keanggotaan Panitia teknis ditetapkan oleh instansi teknis terkait dengan ketentuan semua stakeholders terwakili. Dalam melaksanakan tugasnya Panitia teknis dapat dibantu oleh Sub-Panitia teknis dan/atau Gugus Kerja yang jumlahnya disesuaikan dengan bidang standar yang akan dirumuskan. SNI pada dasarnya merupakan standar sukarela (voluntary), yaitu penerapannya bersifat sukarela. SNI yang berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan, kelestarian fungsi lingkungan hidup, atau atas dasar pertimbangan tertentu dapat diberlakukan secara wajib oleh instansi teknis, yang selanjutnya disebut sebagai SNI wajib. Penerapan standar dimaksudkan untuk mendukung terwujudnya jaminan mutu barang, jasa, proses, sistem atau personel sehingga dapat memberikan kepercayaan
kepada pelanggan dan pihak terkait bahwa suatu organisasi, individu, barang dan/atau jasa yang diberikan telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Selain itu penerapan standar juga dimaksudkan untuk menjamin peningkatan produktivitas, daya guna dan hasil guna serta perlindungan terhadap konsumen, tenaga kerja, dan masyarakat dalam hal keselamatan, keamanan, kesehatan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Penerapan standar pada dasarnya sukarela yaitu bukan suatu keharusan melainkan atas dasar kebutuhan sendiri. SNI pada kegiatan usaha migas yang telah diterbitkan sebanyak 125 buah SNI, 2 (dua) buah SNI telah diberlakukan Wajib melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 15 Tahun 2008 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Mengenai Sistem Transportasi Cairan Untuk Hidrokarbon dan Standar Nasional Indonesia Mengenai Sistem Perpipaan Transmisi dan Distribusi Gas Sebagai Standar Wajib. Dua SNI tersebut adalah SNI 13-3473-2002 dan SNI 13-3474-2002.
BAB IV STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL INDONESIA Sumber Daya Alam (SDA) berupa minyak dan gas bumi terbentang luas di bumi nusantara yang merupakan potensi besar Negara Indonesia. Kondisi tersebut merupakan aset yang sangat mahal dan sekaligus sebagai faktor keunggulan kompetitif yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Potensi SDA tersebut merupakan faktor dominan dalam strategi pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia terutama dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas tingkat AFTA dan AFLA. Memperhatikan aset dan potensi SDA yang luar biasa tersebut diperlukan pengelolaan yang profesional dan kredibel. Karena itu, untuk pengelolaan SDA diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten. Guna mendorong dan merealisasikan SDM yang kompeten tersebut harus dipersiapkan dan dirancang secara sistematis antara lain dalam hal sistem pendidikan dan pelatihan (diklat) serta perangkat-perangkat pendukungnya. Dengan demikian diharapkan akan dihasilkan SDM yang handal untuk mengelola kekayaan SDA secara profesional. Melalui penyiapan SDM yang memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan
standar, maka bangsa Indonesia akan survive dalam menghadapi era kompetisi dan perdagangan bebas. Menghadapi hal tersebut, semua negara termasuk Indonesia, sedang dan telah berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusianya melalui standardisasi dan sertifikasi kompetensi di berbagai sektor. Untuk hal ini diperlukan kerjasama dunia usaha/industri, pemerintah dan lembaga diklat baik formal maupun non formal untuk merumuskan suatu standar kompetensi yang bersifat nasional khususnya pada Sektor Industri Minyak dan Gas Bumi. Mengingat kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang banyak mengandung resiko-resiko bahaya terhadap faktor keselamatan umum, keselamatan pekerja, instalasi dan kondisi lingkungan atau disebut keselamatan migas, maka dibutuhkan SDM yang memiliki kompeten pada bidangnya. Berikut ini adalah daftar peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum mengenai Standar kompetensi pada kegiatan usaha migas, yaitu: 1.
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; 2. Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 3. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 4. Mijn Politie Reglement 1930 Staadsblad 1930 Nomor 341 5. Mijn Ordonnantie (Ordonansi Tambang) tahun 1930 No. 38; 6. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) 7. Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 tentang Sistim Pelatihan Kerja Nasional. 8. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 01/P/M/Pertamb./1980 tentang Pemeriksaan Keselamatan Kerja dan Teknik yang dipergunakan dalam Pertambangan Minyak dan Gas Bumi; 9. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03.P/123/M.PE/1986 dan / atau No. 07.P/075/M.PE/1991 tentang Sertifikasi Tenaga Teknik Khusus Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi beserta aturan pelaksanaannya 10. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.111.K/70/MEEM/2003 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Kompetensi Kerja Tenaga Teknik Khusus Minyak dan Gas Bumi sebagai Standar Wajib di Bidang Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi.
11. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.Kep.227/MEN/2003,Junto No.Kep.69/Men/V/2004, tentang Perubahan Lampiran Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. 12. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.KEP.211/MEN/2004 tentang Pedoman Penerbitan Sertifikat Kompetensi Sesuai dengan PP No. 31 Tahun 2006 tentang sistem pelatihan kerja Nasional disebutkan bahwa program pelatihan verja disusun berdasarkan SKKNI, Estándar Internacional dan /atau Estándar Khusus. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah uraian kemampuan yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja minimal yang harus dimiliki seseorang untuk menduduki jabatan tertentu yang berlaku secara nasional. Saat ini khusus di sektor kegiatan usaha migas telah diterbitkan 10 (sepuluh) SKKNI yang telah diberlakukan secara wajib pada sektor industri migas berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 20 Tahun 2008. Pemberlakuan atas ke-10 SKKNI tersebut didasarkan atas pertimbangan terhadap aspek resiko bahaya kecelakaan kerja, kerusakan barang modal, kerusakan lingkungan, persaingan tenaga kerja Indonesia di pasar global, kerugian yang diakibatkan oleh rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia serta kesiapan infrastruktur untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi.
BAB V KESIMPULAN Untuk mencapai jaminan Keselamatan Migas, diperlukan adanya kaidah keteknikan yang baik pada semua tahapan kegiatan dimulai dari tahapan eksplorasi hingga pada kegiatan niaga migas sehingga memenuhi regulasi dan standar. Dalam pelaksanaannya kaidah keteknikan yang baik harus mengacu kepada standar yang umum digunakan dan telah diakui baik secara internasional dan nasional. Untuk mendukung produk nasional menjadi kompetitif dalam menghadapi era perdagangan bebas (globalisasi) maka diperlukan kesiapan baik dari aspek infrastruktur, sumber daya manusianya, standar serta regulasi. Standar yang dimaksud adalah standar yang terkait dengan produk, mutu, pengukuran, kualitas serta standar yang terkait dengan kompetensi kerja
seseorang dan yang telah ditetapkan yaitu SNI dan SKKNI. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa standar merupakan inti dari penerapan kaidah keteknikan untuk menjaga terciptanya keselamatan migas sehingga dapat terlaksananya kegiatan usaha migas yang aman, andal dan akrab lingkungan. Penggunaan standar dimulai dari kompetensi pekerja, perencanaan dasar, spesifikasi teknis, pemilihan material, perhitungan teknis, pembuatan, perakitan, pengujian, operasi, perawatan dan pemeliharaan, serifikasi dan evaluasi teknis. Pemahaman terhadap penggunaan standar dan kompetensi pekerja merupakan hal penting. Dengan penerapan standar pada instalasi migas dan pekerja tersebut dapat mewujudkan kegiatan usaha migas yang optimal, efisien dan aman. Terakhir ingin kami sampaikan pula bahwa dalam kegiatan usaha migas tidak seharusnya ada dikotomi antara kegiatan operasi dengan aspek keselamatan migas, hal ini untuk menghindari adanya kesalahan persepsi yang menyebabkan adanya kesalah pemahaman dalam memahami suatu regulasi dan standar yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA Bahan-bahan presentasi Ditjen Migas, 2008 Bahan-bahan Konvensi SKKNI pada Sektor Industri Migas, 2008 Bahan-bahan Diklat Inspektur Migas Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Indonesia No. 3401/BSNI/HK.71/11/2001 Misri Gozan, K3 Dalam Universitas Indonesia
Industri
Undang-undang No. 22 Tahun 2001
Kimia,
Gambar 2.1. Peraturan Keteknikan Migas Yang Saat Ini Berlaku
Gambar 2.2. Statistik Kecelakaan Migas