II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Potensi Limbah Perkebunan Pisang di Riau
2.1.1
Pisang (Musa paradisiaca) Pisang merupakan salah satu komoditas buah unggulan Indonesia dengan luas panen dan
produksi pisang selalu menempati posisi pertama (Badan Pusat Statistik, 2003). Jenis pisang di Indonesia lebih dari 200 jenis, berupa pisang segar, olahan dan pisang liar. Pisang dibedakan menjadi tiga macam, berdasarkan manfaatnya bagi kehidupan manusia, yaitu pisang serat, pisang hias, dan pisang buah (Kaleka, 2013). Pisang umumnya dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 2000 m dpl. Pisang dapat tumbuh pada iklim tropis basah, lembab dan panas dengan curah hujan optimal 1.520–3.800 mm/tahun dan 2 bulan kering (Rismunandar, 1990). Kedudukan tanaman pisang dalam taksonomi tumbuhan menurut (Kaleka, 2013). Tanaman pisang dapat dilihat pada Gambar 2.1. di bawah ini adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Famili
: Musaceae
Genus
: Musa
Spesies
: Musa paradisiaca L
Gambar 2.1. Tanaman Pisang ( Sumber : Dokumentasi pribadi) 5
2.1.2
Lahan Di Provinsi Riau terdapat 1 juta Ha lahan tidur yang belum dimanfaatkan. Potensi luas
lahan tidur ini bisa dikembangkan sebagai perkebunan pisang. Hal ini cukup beralasan pada tahun 1996 di Provinsi Riau dulu pernah ditanami pisang untuk ekspor oleh investor asing seluas 1.500 Ha (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2000). Di Provinsi Riau untuk saat ini memang belum terdapat perkebunan pisang sehingga belum bisa ditentukan luas areal lahan perkebunan , tetapi jumlah pohon pisang pada tahun 2012 berjumlah 703.379 rumpun yang ditanam di pekarangan dan perkebunan rakyat (BPS, 2013). 2.1.3. Produksi Pada tahun 2002 produksi pisang Indonesia 4.384.384 ton/ha, dengan nilai ekonomis sebesar Rp 6,5 triliun. Produksi tersebut sebagian besar dipanen dari pertanaman kebun rakyat seluas 269.000 Ha (Badan Pusat Statistik, 2003). Menurut DPPD (2012) data produksi pisang di Provinsi Riau tahun 2008-2011 secara berurutan adalah 29.008, 31.594, 25.244, dan 26.497 ton/tahun. Asumsi jumlah limbah batang dan bonggol pisang yang dihasilkan mencapai 2.649.700 ton/tahun. Jumlah pohon pisang, produksi buah pisang Provinsi Riau tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
6
Tabel 2.1. Jumlah Pohon Pisang, Produksi Buah Pisang Provinsi Riau tahun 2012 No
Kabupaten/Kota
Jumlah Pohon Pisang (pohon) 60.059
Produksi Buah Pisang (ton) 2.573
1
Kuantan Singngingi
2
Indragiri Hulu
115.056
1.957
3
Indragiri Hilir
185.645
4.034
4
Pelalawan
27.762
1.088
5
Siak
27.568
887
6
Kampar
162.550
2.717
7
Rokan Hulu
47.114
1.289
8
Bengkalis
36.210
569
9
Rokan Hilir
27.174
721
10
Kepulauan Meranti
15.808
244
11
Pekanbaru
21.186
1.912
12
Dumai
110.062
2.680
703.379
20.644
Jumlah
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (2013) Produksi buah pisang tahun 2012 pada 12 kabupaten kota di Provinsi Riau jumlah total keseluruhannya yaitu 20.644 ton/tahun, dimana produksi terbesar berada di kabupaten Indragiri Hilir dengan jumlah produksi 4.034 ton/tahun. Produksi terkecil berada di kabupaten Kepulauan Meranti dengan jumlah produksi 244 ton/tahun (BPS, 2013). 2.1.4. Potensi Limbah Batang dan Bonggol Pisang Menurut Kaleka (2013) batang pisang merupakan batang semu. Batang yang sesungguhnya atau batang sejati berada pada bagian dalam berbentuk bulat (teres). Batang pisang sebenarnya terletak di dalam tanah, yakni berupa umbi batang. Batang semu ini terbentuk dari pelepah daun panjang yang saling menutupi dengan kuat dan kompak sehingga bisa berdiri tegak layaknya batang tanaman, tinggi batang semu ini berkisar 3,5 – 7,5 m tergantung jenisnya. 7
Suryanti dan Ahmad (2012) menyatakan bahwa bonggol pisang adalah tanaman pisang yang berupa umbi batang (batang aslinya). Batang sejati atau bonggol yang berada di dalam tanah disebut rhizome, berdiameter sekitar 30 cm, merupakan organ penting yang mendukung pertumbuhan batang semu. Parakkasi (2006) menjelaskan potensi limbah pisang yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan di Indonesia adalah batang semu, daun pisang, kulit pisang. Kendala yang dihadapi yaitu kandungan protein rendah dengan kadar air cukup tinggi sebesar 86% sehingga penggunaannya tidak dapat digunakan sebagai bahan tunggal tapi perlu adanya penambahan bahan pakan sumber protein tinggi misalnya konsentrat atau bungkil biji-bijian tanaman kacang, sedangkan kadar protein kasar untuk bahan supplemen yang baik sebesar 30%. Suroto (2013) menjelaskan bahwa tanaman pisang yang telah dipanen bonggol pisangnya tidak akan bertunas kembali. Suhartati (2013) menyatakan bahwa tanaman pisang akan ditebang dan bonggol pisangnya akan dibiarkan saja membusuk menjadi limbah pertanian yang tidak memiliki nilai tambah apabila tanaman ini sudah tidak produktif. Bonggol pisang hanya dimanfaatkan sebagai pakan dan bibit untuk tumbuh anakan baru (Amry, 2009). Gambar 2.2 memperlihatkan gambar bonggol dan batang pisang.
Gambar 2.2. Bonggol dan Batang Pisang
8
Kandungan gizi batang pisang berdasarkan analisis Laboratorium
Ilmu Nutrisi dan
Kimia Fakultas Pertanian dan Peternakan (2014) adalah bahan kering (BK) 8,00%, abu 19,50%, protein kasar (PK) 1,01%, serat kasar (SK) 19,50%, lemak kasar (LK) 0,75%, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 59,24%, dan kandungan gizi bonggol pisang adalah bahan kering (BK) 17,46%, abu 16,00%, protein kasar (PK) 0,96%, serat kasar (SK) 14,50%, lemak kasar (LK) 0,75%, bahan ektrak tanpa nitrogen (BETN) 67,79%. Komposisi kimia bonggol pisang dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini. Tabel 2.2. Komposisi Kimia Bonggol Pisang (Setiap 100 gram) Komposisi Komponen Basah Kering Kalori (kkal) 43,00 245,00 Air (%)
86,00
20,00
Protein (g)
0,60
3,40
Lemak (g)
-
-
Karbohidrat (g)
11,60
66,20
Kalsium (mg)
15,00
60,00
Fosfor (mg)
60,00
150,00
Besi (mg)
0,50
2,00
Vitamin A (SI)
-
-
Vitamin B (mg)
0,01
0,04
Vitamin C (mg)
12,00
4,00
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R.I. (1996) 2.2.
Silase Silase adalah hijauan makanan ternak (HMT) yang diawetkan dengan proses ensilasi
(Simanihuruk dan Sirait, 2010). Siregar (1996) menyatakan bahwa teknologi silase adalah suatu 9
proses fermentasi mikroba merubah pakan menjadi meningkat kandungan nutrisinya (protein dan energi) dan disukai ternak karena rasanya relatif manis. Syarifudin (2008) menjelaskan tujuan utama pembuatan silase adalah untuk memaksimumkan pengawetan kandungan nutrisi yang terdapat pada hijauan atau bahan pakan lainnya, agar bisa disimpan dalam waktu yang lama, kemudian diberikan sebagai pakan dan tabungan pakan untuk mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau. Laconi (1997) menyatakan bahwa kriteria silase yang baik mempunyai bau asam dengan pH 4,5 atau kurang, kandungan asam laktat 3 – 13 % dari bahan kering, tidak ada jamur warna coklat, tidak berbau amonia dan kandungan amonia rendah yaitu 5 % dari total nitrogen. Menurut Siregar (1996) warna silase yang baik mempunyai ciri-ciri yaitu warna hijau atau kecoklatan. Ditambahkan oleh Lado (2007), bau harum keasaman seperti bau tape merupakan ciri khas silase yang baik, bau silase berasal dari asam yang dihasilkan selama ensilasi. Produk akhir yang paling diharapkan dari proses ensilasi adalah asam asetat dan asam laktat. Produksi asam selama berlangsungnya proses fermentasi akan menurunkan pH pada material hijauan sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain yang tidak diinginkan (Weinberg dan Muck, 1996, Merry dkk, 1997). Kualitas fisik silase batang pisang dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini. Tabel 2.3. Penilaian Kualitas Fisik Silase Batang Pisang Skor Perubahan fisik 3 2 1 Bau Asam Tidak asam Busuk Warna Coklat Muda Coklat tua Kehitaman Jamur Tidak ada Cukup Banyak Tekstur Padat Agak padat Lunak Sumber: Murni dkk (2008) Murni dkk (2008) menjelaskan silase batang pisang tanpa molases menghasilkan silase yang tidak ada jamur tetapi berbau busuk, hal ini karena bukan jamur yang berkembang pada 10
silase batang pisang tanpa molases tetapi bakteri yaitu Clostridia yang menghasilkan asam butirat sehingga silase berbau busuk. 2.3.
Molases Menurut Parakkasi (2006)
molases
adalah
hasil
samping
yang
berasal
dari
pembuatan gula tebu (Saccharum officinarum L) yang mempunyai sifat menyedapkan bahan makanan lain yang kurang enak dimakan. Molases berupa cairan kental dan diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula. Molases tidak dapat lagi dibentuk menjadi sukrosa namun masih mengandung gula dengan kadar tinggi 50-60%, asam amino dan mineral. Molases kaya akan biotin, asam pantotenat, tiamin, fosfor, dan sulfur, selain itu juga mengandung gula yang terdiri dari sukrosa 30-40%, glukosa 4-9%, dan fruktosa 5-12%. Tetes tebu digunakan secara luas sebagai sumber karbon untuk denitrifikasi, fermentasi anaerobik, pengolahan limbah aerobik, dan diaplikasikan pada budidaya perairan. Karbohidrat dalam tetes tebu telah siap digunakan untuk fermentasi tanpa perlakuan pendahuluan karena sudah berbentuk gula (Hidayat dan Suhartini, 2006). Penambahan molases menghasilkan persentase keberhasilan silasenya lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya yaitu berbau asam, berwarna coklat muda, tidak ada jamur, dan bertekstur padat, hal ini dikarenakan molases yang memiliki ciri fisik dan kimia bau yang asam, warna coklat, cair dan BETN 74% sedangkan untuk dedak padi, tepung gaplek kandungan BETN-nya 48,7% dan 76,3 % yang menjadi sumber energi bagi bakteri pembentuk asam laktat (Santi dkk, 2011).
11