III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Dasar Pemikiran : Hipotesis Pengarah Konflik menyebabkan keterpurukan dan cenderung mengarahkan masyarakat korban konflik kembali ke negeri asal sebagai bentuk jaminan keamanan diri dan keamanan subsistennya.
Kembalinya masyarakat korban konflik ke negeri asal
membawa pula informasi kondisi keterpurukan akibat konflik.
Informasi tersebut
membentuk persepsi tersendiri bagi komunitas di negeri asal.
Proses penyebaran
informasi kemudian berlanjut ke negeri-negeri sekitar yang komunitasnya seagama sekaligus membentuk jejaring sosial berdasarkan ikatan agama. Penyebaran isu-isu yang tidak terbukti kebenarannya semakin memperkuat jejaring dengan ikatan agama. Elit agama kemudian turut terlibat secara tidak langsung melalui dakwah yang cenderung menjelekan agama lain. Dukungan elit adat seagama menyebabkan adat dan budaya lokal tidak berfungsi meredam terjadinya konflik. Elit adat seharusnya memperkuat
ikatan
adat
dan
budaya
yang
sebelumnya
mampu
memelihara
keberagaman melalui ikatan pela dan gandong. Pecahnya konflik di Ambon Maluku sebagaimana berbagai hasil studi disebabkan oleh faktor ekonomi, politik, agama dan budaya. Selain itu didorong adanya perbedaan yang telah tertanam dalam diri masyarakat Maluku sejak masa kolonial. Perbedaan ini dibawa ke aspek pemerintahan (birokrasi) dan memperlihatkan tajamnya persaingan antara kedua komunitas. Akumulasi akhir dari persaingan yang demikian menuju pada konflik terbuka, jika tidak ada alternatif pemecahannya.
Kenyataan
tersebut semakin diperparah oleh keterlibatan berbagai kelompok setelah konflik berlangsung. Beberapa kelompok penting seperti Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang bermetamorfosis sebagai RMS versi baru, dianggap sebagai keterwakilan komunitas Sarani.
Sementara dari komunitas Salam, muncul Laskar Jihad (LJ) yang
mengorganisir anggotanya dari berbagai daerah.
Keterlibatan kelompok “Preman
Coker” dalam berbagai aktivitas konflik, semakin memperkeruh situasi. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, maka kerangka dasar pemikiran tersebut dapat digambarkan berikut ini :
ketidakadilan dan dominasi – Tersimpan lama
Praktek Beragama yang ekslusif Salam & Sarani benturan budaya
Persaingan antar kelompok elit tradisional dan masa kini
PEMICU DAN PEMATANGAN PRA KONDISI KONFLIK UNTUK BERMETAMORFOSIS MENJADI KONFLIK – DUKUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH
Provokasi, Isu, Ancaman dan Hasutan Hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah dan TNI-POLRI
Aksi Kekerasan
Dampak-Dampak Konflik
Keterlibatan kelompok pada masing-masing komunitas Tidak Adanya Penanganan Konflik yang tepat
KEMBALINYA MASYARAKAT KORBAN KONFLIK DE DAERAH ASAL DIIKUTI DENGAN PENYEBARAN INFORMASI ANTAR SESAMA KERABAT, TETANGGA DAN KOMUNITAS SEAGAMA DAN AKHIRNYA MEMBENTUK JEJARING ANTAR KOMUNITAS YANG MELINTASI BATAS NEGERI
Gambar 2. Kerangka Pikir
Hipotesis pengarah menunjukkan pada pedoman yang memberikan arah dalam kerja penelitian, sejak tahap kerja lapangan sampai pada penulisan laporan (Thomas yang dikutip oleh Creswel, 1994 : 70). Merujuk pada pendapat tersebut jelaslah, bahwa rumusan masalah penelitian dapat berubah sesuai dengan perubahan perkembangan studi, sehingga bentuk akhir laporan baru dapat ditemukan pada tahap analisis data dan penulisan laporan. Upaya
merumuskan
hipotesis
pengarah
dilakukan
peneliti
dengan
menghubungkan teori-teori yang bersesuaian dengan pengetahuan lapangan yang dimiliki.
Upaya ini bermuara pada munculnya sejumlah pertanyaan khusus yang
berkaitan dengan jejaring sosial dan konflik di Pulau Saparua, sekaligus menjadi pengarah prosedur kerja penelitian yang akan dilakukan. Intisari hipotesis pengarah dalam penelitian ini sebenarnya tertuju pada “mengapa dan bagaimana” jejaring sosial dan konflik di pedesaan Saparua. Hipotesis-hipotesis pengarah tersebut dirumuskan pada penjelasan berikut ini : 1)
2)
Berkaitan dengan faktor lain yang menjadi pendorong terjadinya konflik maka : a.
Tidak tertanganinya konflik, menyebabkan korban konflik kembali ke negeri asal sekaligus membawa informasi yang berisi penderitaan yang diterimanya akibat konflik.
b.
Korban konflik sebagai pengungsi secara tidak langsung menyebarkan informasi melalui komunikasi antar individu dengan tetangga dan kerabat se-negeri, dilanjutkan oleh tetangga dan kerabat ke negeri-negeri lain yang seagama sehingga membentuk persepsi yang sama antar komunitas seagama lintas negeri dan akhirnya menjadi jejaring komunikasi antar negeri yang komunitasnya seagama.
Berkaitan dengan keterkaitan jejaring sosial dan konflik antar aras maka : a.
Kembalinya korban konflik ke negeri asal menunjukkan kuatnya jejaring sosial yang terbentuk sejak pertama kali ke luar dari negeri asal.
b.
Aliran bantuan terjadi antar negeri dengan komunitas seagama di pedesaan Saparua maupun di luar Saparua.
3.2. Pendekatan Kualitatif Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif.
Pendekatan
ini
memungkinkan bagi peneliti untuk memilih strategi utama yaitu, studi kasus, sebagaimana diungkapkan Yin (1996). Pemilihan strategi studi kasus lebih didasarkan pada ketidaksamaan kondisi konflik pada berbagai lokasi di Maluku, baik dari segi waktu kemunculannya kembali, ekskalasinya maupun implikasi yang terjadi.
Selain itu
kekhasan Pulau Saparua sebenarnya terletak pada aspek kesejarahan, yaitu pergolakan melawan penjajah yang lebih dominan dibandingkan daerah/pulau lainnya di Maluku. Juga titik persinggungan antara agama (kalau konflik Ambon – Maluku disetujui sebagai konflik agama semata), awalnya sudah muncul di Saparua sebagai basis kekuatan Belanda di kawasan Maluku Tengah (meliputi pulau Seram, Buru, Banda, Haruku, dan Nusa Laut) yang dipertemukan dengan keberadaan Kerajaan Iha (kemungkinan besar merupakan pusat Kerajaan Islam di Maluku Tengah). Strategi studi kasus ini memungkinkan terjadinya dialog peneliti-responden serta terjadinya interaksi antara dan dalam kalangan peneliti dan responden. Sesuai dengan penjelasan Yin (1996) menyangkut strategi penelitian untuk menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana, maka peneliti tidak mungkin melakukan eksperimen mengingat kriteria strategi studi kasus yaitu, sebagai suatu gejala sosial yang tidak dapat dilepaskan dari konteksnya. Gejala sosial yang diungkapkan dalam penelitian ini yaitu, jejaring sosial dan konflik yang mengarahkan penemuan akar konflik pada masyarakat Pulau Saparua.
3.3. Prosedur Pengumpulan Data 3.3.1. Penentuan Kasus Pada tahap awal untuk mendapatkan informasi, peneliti akan bertanya pada informan kunci (key informan) yaitu Ketua Latupati Pulau Saparua sekaligus sebagai Raja Negeri Tuhaha yang terlibat secara langsung dalam konflik dan manajemen konflik di Pulau Saparua. Selanjutnya melalui teknik bola salju (snowball) sebagai yang dijelaskan Moleong (1989), dengan informan selanjutnya sebagaimana dijelaskan berikut ini : a.
Penyerangan di negeri Iha (di Jazirah Hatawano) dengan informan : Sekertaris Latupati Saparua (Raja Negeri Itawaka), mantan Sekertaris Latupati (Raja Negeri Noloth), AL (tokoh pemuda Negeri Ihamahu sekaligus pemimpin kelompok kecil Sarani di Saparua), Sekertaris Negeri Iha, Raja Negeri Administratif Mahu.
b.
Penyerangan di Negeri Sirisori Sarani dengan informan : Raja negeri Sirisori Sarani, Kepala Soa Sirisori Sarani (TS sekaligus tokoh Pemuda), Kepala Soa negeri Sirisori Salam (sebagai pelaksana tugas Raja yang lebih banyak beraktivitas di Ambon), Raja negeri Ulath, Pelaksana Tugas Raja negeri Ouw (Raja Negeri Ouw sudah meninggal).
c.
Penyerangan di Dusun Pia dengan informan : Kepala Soa negeri Kulor (saat konflik Raja Kulor sekarang ini belum terpilih dan berdiam di Makasar sementara mantan Raja sudah meninggal), Kepala Urusan Pemerintahan negeri Kulor, Kepala Dusun Pia, EP (Kepala Keamanan Dusun Pia)
d.
Konflik negeri Haria dan Porto : Raja negeri Haria, Raja negeri Porto
e.
Negeri-negeri yang turut membantu saat konflik terjadi walaupun tidak berdekatan dengan negeri yang mengalami secara langsung dampak konflik : Raja negeri Booi, Raja negeri Paperu, Raja negeri Tiow, Kepala Pemuda negeri Saparua, Ketua Klasis Gereja Protestan Maluku di Pulau Saparua, Ketua Majelis Ulama Indonesia
di
Pulau
Saparua,
Ketua
Majelis
Ulama
Indonesia
Maluku
(keturunan/anak negeri Iha), Mantan Ketua DPR Kabupaten Maluku Tengah (Anak negeri Iha di Seram Barat). Data sekunder diperoleh melalui instansi terkait seperti Kantor Kecamatan Saparua, Dinas Sosial Maluku Tengah, serta LSM asing dan lokal yang turut terlibat sejak konflik sampai penanganannya. Selain itu didukung pula dengan catatan-catatan tertulis tentang konflik yang dimiliki oleh Organisasi Agama di Saparua maupun di Ambon seperti Crisis Centre Keuskupan Amboina, Crisis Centre Sinode GPM Ambon, dan Crisis Centre MUI Maluku. 3.3.2. Studi Riwayat Hidup Individu Pada dasarnya studi riwayat hidup yang digunakan sebenarnya mengarah pada riwayat hidup informan yaitu, aktor yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam konflik serta penanganan implikasinya. Sebagaimana dijelaskan Denzin (1970 : 220), bahwa studi riwayat merupakan studi tentang pengalaman dan pemahaman dari sisi pandang individu sendiri, sebagai metode untuk memahami tindakan sosial. Tindakan sosial yang dimaksud di sini yaitu, pemanfaatan jejaring sosial sejak konflik sampai penanganan ikmplikasi konflik. Studi riwayat hidup ini lebih spesifik lagi diarahkan pada riwayat hidup suntingan yang menurut Denzin (1970 : 221 - 223) merupakan riwayat hidup topikal (yang mengemukakan satu fase atau tahapan dalam kehidupan individu subjek riwayat) yang juga diselingi dengan komentar, penjelasan dan pertanyaan oleh seseorang di luar individu subjek riwayat. Pilihan ini didasarkan pada kenyataan bahwa fenomena sosial yang ingin dimaknai hanyalah sejak konflik muncul sampai pada penanganan implikasinya, yang terjadi pada satu fase/tahapan kehidupan aktor yang terlibat secara
langsung maupun tidak langsung. Studi riwayat hidup ini mencakup kasus aktor dalam konflik yang masing-masing sebagai berikut : a.
Informan pada sub bab penentuan kasus bagian a, b, c dan d;
b.
Informan pada sub bab penentuan kasus bagian e. Teknik pengumpulan data riwayat hidup meliputi wawancara mendalam secara
langsung, pengamatan, dan pemanfaatan arsip dokumentasi yang relevan (Laporan Organisasi Keagamaan saat konflik terjadi). Khususnya untuk menelusuri akar konflik serta jejaring sosial yang terbentuk saat itu sebagai bahan perbandingan dilakukan dengan mempelajari arsip pemerintahan kolonial Belanda yang ada di Arsip Nasional. 3.3.3. Metode Pengamatan Berperan Serta Metode ini sebenarnya dikhususkan pada upaya peneliti untuk memahami jejaring sosial yang dimanfaatkan aktor (baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam konflik) sejak konflik sampai pada penanganan implikasi konflik. Hal ini dimungkinkan mengingat dua alasan metodologis yang mendasari pengumpulan data kualitatif dengan metode pengamatan berperan serta (Moleong, 1989 : 138) yaitu, pertama, pengamatan memungkinkan peneliti melihat, merasakan, dan memaknai dunia beserta ragam peristiwa dan gejala sosial di dalamnya sebagaimana para aktor melihat, merasakan dan memaknainya; kedua, pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama oleh peneliti dan aktor (intersubyektifitas). Selain itu, ragam tipe pengamatan berperan serta yang dipilih yaitu peran serta dan keterbukaan peneliti secara penuh, mengingat para aktor mengenal peneliti dan mengetahui kegiatan pengamatan yang dilakukan.
Hal ini dimaksudkan pula untuk
memperkecil jarak sosial antara peneliti dan aktor, sehingga semakin kecil jarak maka diharapkan aktor akan secara terbuka dan jujur pula mengungkapkan keberadaan jejaring sosial sejak konflik sampai pada penanganan implikasi konflik yang dipahaminya.
Oleh karena itu, saya sebagai peneliti akan menghadapkan makna
menurut kasus antara masing-masing informan. Hal ini juga sekaligus sebagai upaya peneliti untuk menguji keberadaan serta kelayakan makna tersebut, yang menurut saya sebagai suatu upaya baru dalam pendekatan kualitatif. Dalam hal ini, seakan-akan saya sebagai peneliti melakukan ferivikasi seperti pendekatan kuantitatif (padahal sebenarnya lebih tepat sebagai suatu strategi triangulasi atas makna yang diungkapkan pada kasus aktor.
Pengamatan berperan serta juga dilakukan peneliti melalui diskusi kelompok kecil pada masing-masing negeri yang hancur akibat konflik (negeri Iha, Sirisori Sarani dan Pia), dengan melibatkan tokoh-tokoh adat yang tergabung dalam Saniri Negeri (Badan Permusyarawatan Desa). Selain itu, peneliti juga mendiskusikan kembali hasilhasil temuan lintas negeri yang berbeda agama dan berbatasan langsung, seperti antara Kepala Soa Sirisori Salam dan Kepala Soa Sirisori Sarani; Kepala Soa Kulor dan Kepala Dusun Pia; serta Tuan Tanah negeri Iha dengan Tuan Tanah negeri Ihamahu. Setelah draft Disertasi tersusun, melalui kerjasama Kepala Pemerintahan Kecamatan Saparua dan Latupati peneliti juga melakukan pemaparan Hasil Penelitian awal di tingkat Pulau Saparua yang diikuti oleh seluruh Informan serta Tokoh Agama dan Tokoh Adat masing-masing negeri di Saparua. Hasil pemaparan menjadi penting, karena ada masukan-masukan, kritik dan koreksi atas hasil yang diungkapkan.
Sehingga,
kolaborasi berbagai strategi penelitian yang digunakan peneliti kemudian bermuara sebagai suatu tulisan ilmiah hasil peneliti yang disebut Disertasi.
3.4. Prosedur Pengolahan Data Miles dan Huberman (1992 : 15 – 21) menjelaskan ada tiga jalur analisis data kualitatif yaitu : a.
Reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
Proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian
berlangsung, bahkan sebelum semua data-data terkumpul dan meliputi kegiatan meringkas data, mengkode data, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi dan menulis memo.
Proses ini berlangsung sampai dengan
penyusunan laporan, sehingga merupakan bentuk analisis yang menajamakan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, mengorganisir data sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. b.
Penyajian data yaitu sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dapat berbentuk teks naratif (berbentuk catatan lapangan yang seringkali terlalu panjang sehingga seringkali tidak mampu diproses sebagai informasi yang bermutu); dan berbentuk matriks, grafik, jaringan dan bagan (merupakan penggabungan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih, sekaligus
mempermudah untuk melihat apa yang terjadi dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar atau terus melangkah melakukan analisis. c.
Penarikan kesimpulan mencakup pula verifikasi terhadap kesimpulan yang telah dibuat sebelumnya. Kesimpulan dapat diverifikasi dengan memikir ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, peninjauan kembali dan tukar pikiran antar teman sejawat, upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain.
3.5. Lokasi Penelitian Pulau Saparua merupakan salah satu pulau yang masuk wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah. Sejak masa kolonial Belanda wilayah ini dikenal dengan kegigihannya dalam berjuang melawan penjajahan.
Bahkan di wilayah ini terdapat
Benteng Duurstedee sebagai pusat pengaturan aktivitas kolonial Belanda meliputi kawasan Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Pulau Haruku dan sebagaian Pulau Seram. Selain itu, lama sebelum kedatangan bangsa kolonial, di Pulau Saparua sudah dikenal adanya Kerajaan Iha sekaligus sebagai pusat agama Salam. Kerajaan Iha merupakan kerajaan yang berkedudukan di puncak gunung Iha yang sekarang ini berkedudukan di jazirah Hatawano meliputi negeri Iha dan Ihamahu (sebagai satu keturunan Kerajaan Iha yang dikenal dengan istilah gandong). Negeri Iha merupakan keturunan yang tetap Salam, sedangkan negeri Ihamahu merupakan keturunan yang menjadi Sarani saat Belanda menjajah Saparua (Rumphius dan de Graff dalam Manusama, 1977).
Saat konflik melanda Pulau Saparua, negeri Iha
diserang dan dihancurkan Desember 2001 tanpa bisa ditahan oleh gandongnya negeri Ihamahu, sehingga warganya sampai saat ini menyelamatkan diri ke negeri Tulehu dan Liang (Pulau Ambon) dan negeri Sepa (Pulau Seram). Sebelumnya, negeri Sirisori Sarani juga diserang dan dihancurkan oleh gandongnya negeri Sirisori Salam sehingga warga desa Sirisori Sarani berpindah ke negeri lama (tempat kedudukan negeri pertama kali yaitu pada daerah perbukitan di belakang negeri tersebut). Kemudian diikuti pula oleh penyerangan dan penghancuran dusun Pia oleh negeri Kulor, sehingga warga dusun Pia menyelamatkan dirinya ke kota Saparua. Seperti diketahui negeri Kulor, dusun Pia, negeri Sirisori Sarani dan negeri Sirisori Salam merupakan wilayah yang dahulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Iha, sehingga yang menempati negeri-negeri tersebut merupakan keturunan dari kerajaan Iha yang diberikan mandat untuk menjaga dan mengusahakan tanah
(petuanan milik Kerajaan Iha) yang ada dalam negeri-negeri tersebut. Setelah kerajaan Iha dihancurkan Belanda, maka Belanda membagi wilayah-wilayah tersebut menjadi sejumlah negeri seperti sekarang ini. Pulau Saparua terdiri dari 16 negeri, dengan tiga negeri mayoritas beragama Salam yaitu Iha, Kulor dan Sirisori Salam serta 13 negeri lainnya mayoritas beragama Sarani. Sebelum pecahnya konflik (1999), Pulau Saparua merupakan salah satu pusat kediaman etnis Buton (Sulawesi Tenggara) yang dominan beragama Salam, namun dapat hidup berdampingan secara damai dengan penduduk lokal bahkan ada yang mengikat kekerabatan melalui perkawinan antar etnis sekaligus antar agama tanpa menjadikannya suatu permasalahan. Selama ini belum ada studi jejaring sosial serta keterkaitannya dengan konflik di Pulau Saparua pada khususnya dan Maluku pada umumnya. Padahal Pulau Saparua juga menjadi sasaran pengungsian oleh kaum kerabat dari pulau sekitarnya, terutama dari Pulau Ambon dan Pulau Seram. Selain itu, penanganan implikasi konflik (seperti pengungsi) oleh Pemerintah dan LSM juga telah dilakukan sejak pecahnya konflik (1999).
Dengan demikian pemilihan Pulau Saparua juga merupakan usaha untuk
mengungkapkan pemahaman fakta sosial berupa jejaring sosial dan konflik, yang bukan saja ada di Ambon sehingga perlu bergeser ke luar Ambon. Aspek inilah yang menjadi perbedaan mendasar dengan penelitian-penelitian sebelumnya, di samping juga bahwa penelitian ini terfokus pada jejaring sosial dalam konflik di aras mikro (pedesaan) pada tiga negeri (Iha, Sirisori Sarani dan Pia) yang terkena konflik dan implikasinya secara langsung kemudian dicari keterkaitannya ke aras meso.