III. METODOLOGI PENELITIAN Secara konseptual, metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan penelitian adalah pencerminan secara konkret kegiatan ilmu dalam memproses pengetahuan. Dengan demikian metode penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Metode penelitian mencakup beberapa teknik, termasuk teknik pengambilan contoh, pengukuran, analisis data, permodelan, dan simulasi (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Berdasarkan tujuan penelitian yang dicapai, maka metode penelitian yang dipergunakan
adalah
dengan
pendekatan
permodelan
sistem
dengan
menggunakan metode Soft System Methodology (SSM) yang berorientasi pada penyusunan pedoman guna bertindak (action oriented). Metode tersebut dipergunakan dalam rangka memperhatikan upaya menyiapkan informasi yang relevan pada suatu kebijakan yang harus ditetapkan (policy research). Dengan demikian melalui pendekatan metode tersebut diharapkan tujuan perumusan model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan irigasi berkelanjutan dapat tercapai secara tepat. Secara umum langkah-langkah penelitian dilaksanakan melalui tahapantahapan sebagai berikut: (1)
Persiapan.
Pada kegiatan persiapan dilaksanakan penulisan usulan
penelitian, termasuk penyusunan metode penelitian yang akan digunakan. Kelengkapan penulisan usulan penelitian diawali kegiatan observasi terlebih dahulu dengan melakukan pengamatan pada permasalahan pengelolaan irigasi di berbagai dokumen dan meninjau langsung kabupaten Cianjur sebagai salah satu alternatif pemilihan lokasi penelitian terkait dengan fenomena masalah yang akan diterliti. Tindak lanjut dari penyusuan usulan penelitan ini adalah pembahasan dan bimbingan dengan tim promotor sebagai persiapan untuk bahan seminar usulan penelitian. (2)
Pengumpulan data lapangan.
Kegiatan pengumpulan data di lapangan
dilaksanakan setelah seluruh materi usulan penelitian disetujui oleh tim promotor.
Langkah ini dilaksanakan untuk menggali informasi dan
53
mengumpulkan data primer pada lokasi 10 daerah irigasi terpilih sebagai sampel sebagai bahan masukan dalam penetapan beberapa asumsi dalam kegiatan diskusi kelompok terarah. (3)
Diskusi kelompok terarah melalui FGD.
Pelaksanaan kegiatan FGD
diselenggarakan sebanyak 3 (tiga) kali yaitu di tingkat kabupaten sebanyak 2 (dua) kali dan di tingkat Pusat sebanyal 1 (satu) kali. dilaksanakan
untuk
menetapkan
asumsi
melalui
Kegiatan ini
teknik
Surfacing
Assumption Strategic and Testing (SAST) untuk menghasilkan kuadran asumsi, dan kemudian melakukan penyusunan struktur model melalui survey pakar dengan menggunakan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM) untuk menghasilkan matriks driver power, serta penentuan prioritas alternatif kegiatan pendukung model melalui teknik Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) (4)
Pengolahan data.
Kegiatan pengolahan data dilakukan melalui teknik
analisis data melalui tabulasi untuk data primer yang sudah terkumpul, serta teknik permodelan untuk menghasilkan rancang bangun model yang diharapkan. Data diolah untuk menghasilkan informasi yang bermakna sesuai dengan kebutuhan penelitian, serta untuk menghasilkan rancang bangun model yang diharapkan dalam penelitian. (5)
Pembahasan hasil penelitian dan penulisan disertasi. Pada kegiatan ini seluruh informasi disusun berdasarkan kerangka penulisan disertasi dan dibahas secara substansial sesuai dengan kebutuhan penelitian, untuk kemudian dituangkan dalam tulisan ilmiah melalui penulisan disertasi. Hasil penulisan disertasi tersebut merupakan bahan untuk sidang komisi, kolokium, ujian tertutup, dan ujian terbuka.
Seluruh rangkaian penelitian
merupakan proses yang selalu berada dibawah bimbingan dan koordinasi dengan tim Promotor sehingga tetap berada pada jalur kaidah-kaidah ilmiah yang semestinya.
3.1.
Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh dengan menggunakan kuesioner atau
54
pedoman wawancara melalui wawancara langsung dengan responden. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur dan dokumentasi pada lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang terkait dengan bidang penelitian. Sumber data ditetapkan sesuai kebutuhan, yaitu dari responden dan instansi pemerintahan di Kabupaten Cianjur yang terkait dengan materi penelitian (Bappeda, Dinas PSDA, dan Dinas Pertanian). Secara lebih jelasnya mengenai jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Jenis dan sumber data penelitian Jenis Data Data Primer: a. Sumber air dan ketersediaan air b. Infrastruktur jaringan irigasi c. Lahan pertanian beririgasi d. Kelembagaan pengelola irigasi e. Pendapatan rumah tangga petani f. Pendapatan usahatani g. Iuran pengelolaan irigasi h. Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
Sumber Data Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden
Data Sekunder: a. Kebijakan Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri b. Reformasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Depart. Pekerjaan Umum Daya Air dan Irigasi c. Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian dan Dinas Pertanian (Diperta) d. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Bappeda, DPSDA, Diperta Kabupaten e. Kebijakan dan Peraturan Daerah terkait Bappeda, DPSDA, Diperta pengelolaan irigasi Kabupaten f. Rencana Strategis Pengelola Irigasi Bappeda/DPSDA Berkelanjutan. Kabupaten g. Profil sistem irigasi DPSDA Kabupaten h. Profil Kelembagaan organisasi P3A Responden dan Tokoh Masyarakat i. Kondisi lingkungan fisik, ekonomi sumberdaya Bappeda, DPSDA, Dinas air, data pertanian, luas lahan, produktivitas Kehutanan, Dinas Pertanian hasil pertanian, dan ketahanan pangan Kabupaten daerah. Pemerintah Desa j. Struktur perekonomian desa k. Identifikasi kelembagaan sosial dan Pemerintah Desa dan Kecamatan. kelembagaan ekonomi
55
Parameter keberlanjutan pengelolaan irigasi diukur berdasarkan sintesa indikator sosial, ekonomi, dan lingkungan dari berbagai unsur atau elemen pendukung pengelolaan irigasi berkelanjutan, yaitu sumber daya air, infrastruktur jaringan irigasi, sumber daya lahan, dan kelembagaan pengelolaan irigasi. Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui pra dan observasi langsung melalui pendekatan survei. Selain itu juga ditunjang oleh survei pakar yang dilakukan melalui pedoman wawancara (interview guidance) dan Focus Group Discussion (FGD) dengan menggunakan daftar pertanyaan dan format kuesioner dan untuk survei lapang dilakukan terhadap usaha tani dan petani pengguna air irigasi. Sedangkan teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan dokumen penunjang dan buku kepustakaan yang terkait dengan substansi penelitian dari berbagai sumber informasi. Secara operasional, teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: (1) Tahap pertama dilakukan pengumpulan data melalui kuesioner yang sudah disiapkan sebelumnya terhadap responden yang terpilih pada setiap daerah irigasi lokasi penelitian.
Responden yang terpilih terdiri dari unsur
masyarakat petani pemakai air, pengurus organisasi P3A/GP3A/IP3A, Kelompok Pendamping Lapangan (KPL) baik unsur Juru Pengairan, Penyuluh Pertanian Lapangan maupun aparatur Pemerintah Desa. (2) Tahap Kedua dilakukan pengumpulan data melalui diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) pertama dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait baik di tingkat masyarakat petani pemakai air, unsur Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait Kabupaten Cianjur, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Perguruan Tinggi setempat. FGD pertama ini dilakukan untuk menyusun alternatif kebijakan berdasarkan asumsi-asumsi dari peserta melalui analisis SAST dan juga sebagai media verifikasi hasil temuan lapangan sehingga diperoleh informasi yang akurat, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. (3) Tahap Ketiga dilakukan diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) kedua sebagai tindak lanjut untuk mendapatkan masukan
56
dalam analisis ISM dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait baik di tingkat masyarakat petani pemakai air, unsur Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) terkait Kabupaten Cianjur, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Perguruan Tinggi setempat.
FGD kedua ini
dilakukan sebagai media untuk menghimpun informasi lebih mendalam dan mengidentifikasi hubungan antara gagasan/ide dan struktur penentu dalam sebuah masalah yang kompleks. (4) Tahap Keempat dilakukan diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) ketiga di tingkat nasional dengan mengundang nara sumber experts dari tingkat Pusat, Provinsi Jawa Barat maupun Kabupaten Cianjur untuk mendapatkan penilaian, pertimbangan (judgement) dan masukan terhadap berbagai model yang terbangun dari FGD sebelumnya.
3.2.
Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel tidak lepas dengan unit analisis suatu
penelitian. Unit analisis tidak lain adalah objek penelitian itu sendiri. Menurut Soehartono (1998), unit analisis menunjukkan siapa atau apa yang mempunyai karakateristik yang akan diteliti. Unit analisis dalam penelitian ini terbagi dalam 2 (dua) kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk survey lapang dan kebutuhan untuk survey pakar. Unit analisis untuk kebutuhan survey lapang ditetapkan secara proporsional di 10 (sepuluh) daerah irigasi sesuai klasifikasi kewenangan daerah irigasi, yaitu Cihea (mewakili daerah irigasi di atas 3,000 ha), Susukan Gede, Ciheulang, dan Cipadang-Cibeleng (mewakili daerah irigasi diantara 1,000 sampai 3,000 ha), dan Leuwi Bokor, Ciaden Leuwi Leungsir, Cilumut Pasir Kerud, Nagrog, Cikawung, dan Cisalak/Batusahulu (mewakili daerah irigasi di bawah 1,000 ha). Responden pada tingkat daerah irigasi ditetapkan secara purposive yang terdiri atas mantri cai sebanyak 40 orang untuk penggalian aspek teknis-ekologis; juru pengairan, petugas Penjaga Pintu Air (PPA), dan petugas Kantor Cabang Dinas (KCD) sebanyak 50 orang untuk penggalian aspek ekonomi pembiayaan jaringan irigasi di tingkat sekunder dan tersier, serta masyarakat petani pemakai air sebanyak 100 orang untuk penggalian aspek ekonomi usahatani; dan pengurus organisasi P3A, GP3A, IP3A, Kelompok Tani, dan Badan Perwakilan
57
Desa (BPD) dan unsur Pemerintahan Desa sebanyak 40 unit untuk penggalian aspek kelembagaan. Sedangkan penggalian informasi untuk kegiatan survey pakar yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan Focus Group Discussion (FGD) dan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM) serta Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ditetapkan secara purposive sebanyak 71 orang yang terdiri dari 25 orang untuk kebutuhan FGD di daerah, 20 orang untuk kebutuhan FGD di tingkat Pusat, dan sebanyak 26 orang untuk kebutuhan ISM dan MPE. Pejabat dari daerah yang ditetapkan sebagai partisipan adalah individu aparatur pemerintah di Kabupaten Cianjur yang terkait dengan pengelolaan lingkungan sumber daya air irigasi, yaitu aparat Bappeda, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan (Dinas PSDAP), Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan PKT, Bapedalda, DPRD, dan Komisi Irigasi. Selain itu juga ditunjang oleh unit analisis dari pakar atau tenaga ahli yang mempunyai kemampuan pengetahuan dan pengalaman terkait dengan substansi penelitian. Gambaran lebih jelas penetapan responden dan partisipan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Responden dan partisipan penelitian Keterangan Profil DI Aspek Teknis Ekologis 1. Jaringan Sekunder 2. Jaringan Tersier Aspek Ekonomi 1. Pembiayaan Jaringan Irigasi -Sekunder -Tersier 2. Usaha Tani -Padi Beririgasi -Padi Non Irigasi Aspek Kelembagaan LSM FDG Daerah
FGD Pusat Survey Pakar (ISM dan MPE)
Responden Instansi Pemerintah Terkait
Jumlah 10
Mantri Cai Mantri Cai
20 20
Juru Pengairan, PPA dan KCD Juru Pengairan, PPA dan KCD
25 25
Petani Petani
50 50
P3A, GP3A, IP3A, Poktan, BPD, Pemerintah Desa Bappeda, Dinas PSDAP, Dinas Kehutanan dan PKT, Bapedalda, Dinas Pertanian, P3A/GP3A/ IP3A dan Komisi Irigasi Unsur Daerah dan Pusat Pakar Terkait
40 25
20 26
58
3.3.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data dilakukan untuk menilai kelayakan suatu kegiatan
usaha mikro pertanian atau membuat peringkat dari beberapa usaha mikro pertanian yang harus dipilih dapat digunakan beberapa kriteria. Menurut Pramudya dan Nesia (1992) kriteria investasi yang dianalisa antara lain adalah : (1) Analisis Usahatani Analisis usahatani merupakan nilai pendapaan bersih yang diterima dari keuntungan yang dicapai atas biaya produksi yang dikeluarkan pada komoditas padi beririgasi dan padi nonirigasi. (2) B/C Ratio B/C Ratio merupakan angka perbandingan antara jumlah keuntungan yang diperoleh terhadap biaya yang akan dikeluarkan. Kriteria kelayakan proyek adalah jika B/C Ratio ≥ 1, dan tidak layak jika B/C Ratio < 1. (3) Break Even Point (BEP) Proyek dikatakan impas bila jumlah penjualan produk pada suatu periode tertentu sama dengan jumlah biaya yang ditangguhkan (Sutojo, 1993). Teknik analisis data tersebut dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) Menyeleksi kuesioner. Kuesioner yang telah terisi oleh responden, dilakukan penyeleksian kuesioner dilakukan dengan cara pengumpulan kembali kuesioner yang telah diisi oleh responden, untuk memudahkan proses editing dan tabulasi hasil. (2) Membuat tabulasi. Untuk memudahkan proses analisis data, maka data yang terkumpul disusun dan dikelompokkan ke dalam tabel dengan cara mentabulasikan data dari kuesioner baik berupa working table maupun main table.
59
3.4.
Teknik Permodelan Teknik permodelan dilakukan dengan menggunakan metode sistem.
Menurut pandangan Jackson (2000) bahwa: “systems methodology for the management sciences had modest success in rebuilding confidence in systems thinking in both the academis and practitioner communities”. Pemikiran tersebut menjelaskan bahwa metodologi sistem, khususnya dalam ilmu-ilmu manajemen mempunyai keberhasilan dalam membangun kembali keyakinan terhadap pemikiran sistem baik untuk masyarakat akademis maupun praktisi. Metodolohi sistem secara umum dibagi 2 (dua), yaitu Hard System Methodology (HSM) dan Soft System Methodology (SSM). Dalam penelitian ini teknik permodelan yang digunakan adalah Soft System Methodology (SSM). Metodologi penelitian Soft System Methodology (SSM) mengandung berbagai teknik yang digunakan dalam memperoleh ataupun menganalisasi input penelitian termasuk untuk penelitian kebijakan. Mengingat kebijakan publik adalah pengetahuan yang bersifat multidisipliner, tentunya untuk menghasilkan sintesa yang mendalam dan komprehensif tidak cukup bila hanya menggunakan satu teknik pengolahan dan analisis data. Setiap teknik (complementarism) memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dengan menggunakan kombinasi teknik yang tepat dapat mempertajam analisis, meningkatkan mutu disain dan meminimalisasi bias dalam penelitian. Berdasarkan hal tersebut, maka teknik pengolahan dan analisis datanya mempergunakan gabungan antara metode Strategi Assumption Surfacing and Testing
(SAST),
Interpretative
Structural
Modeling
(ISM),
dan
Metode
Perbandingan Eksponensial (MPE). Penjelasan ketiga metode teknik pengolahan dan analisis data tersebut dijelaskan sebagai berikut.
3.4.1. Analisis Strategy Assumption Surfacing and Testing (SAST) Metode SAST (Eriyatno, 2007) merupakan salah satu metode yang digunakan dalam menyusun alternatif kebijakan berdasarkan asumsi-asumsi strategis. Tahap dalam metode ini antara lain : (1) Tahapan pembentukan kelompok (group formation) yang bertujuan untuk membentuk kelompok dengan peserta yang memilliki criteria advocates of
60
particular strategis, vested interest, personality type, manager from different functional areas, manager from different organisational levels, time orientation (short/long item perspective). Kelompok dalam dalam penelitian ini adalah pakar kebijakan, pakar sumberdaya air dan irigasi, pakar lingkungan, praktisi di bidang sumberdaya air
dan irigasi dan tokoh
masyarakat. (2) Tahap
Pengedepanan/memunculkan
asumsi
(Assumption
Surfacing).
Dimaksudkan untuk menggali berbagai asumsi yang paling signifikan melalui diskusi kelompok untuk mendukung kebijakan dan strategi yang diinginkan. Dalam tahap ini peserta melakukan analisis terhadap beberapa parameter melaui Focus Group Discussion (FGD) sehingga diperoleh asumsi-asumsi dasar yang secara signifikan berpengaruh terhadap penyusunan kebijakan. ” Parameter dalam penelitian ini adalah meliputi perilaku para petani dan pengguna air lainnya dalam hal : (1) penggunaan air, (2) proses produksi, (3) penggunaan teknologi pertanian ramah lingkungan, (4) pemeliharaan lingkungan terhadap sumber-sumber air, dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan irigasi yang ada, partisipasi masyarakat, dan peran pemerintah setempat. Selanjutnya
hasil
analisis
berupa
alternatif
asusmsi
dinilai
tingkat
kepentingan dan kepastiannya dengan menggunakan Tingkat Peringkatan Asumsi (TPA) dengan melibatkan beberapa pakar.
Pada penerapan
Tingkat Peringkatan Asumsi (TPA) diajukan beberapa pertanyaan kepada masing-masing pakar tentang : kegagalan strategi yang dimaksud ? (memakai skala jawaban “paling tidak penting” sampai “paling penting”) dan juga seberapa jauh keyakinan bahwa asumsi tersebut dapat dibenarkan (memakai skala jawaban “paling tidak pasti” sampai “paling pasti”). (3) Tahap Pembahasan Dialektik (TPD), dimaksudkan untuk membuat kasus kemungkinan strategi terbaik yang diinginkan melalui diskusi pakar. Proses ini dilakukan melalui perdebatan terbuka dalam diskusi untuk membahas : (1) asumsi-asumsi mana yang berbeda; dan (2) asumsi-asumsi mana yang dianggap oleh setiap anggota kelompok sebagai asumsi yang paling
61
bermasalah.
Proses modifikasi asumsi ini tetap berlanjut selama masih
dapat diraih kemajuan melalui proses perdebatan terbuka. (4) Tahap Sintesis, untuk mencapai kompromi atas asumsi-asumsi yang dapat menghasilkan strategi baru yang harus mampu menjembatani atau mengungguli strategi lama. Keuntungan dalam metode SAST ini terletak pada dialectical approach banyak alternatif/strategi para pakar yang dibangun dalam perencanaan berdasarkan
bukti
yang
baik.
Disini
juga
sekaligus
merupakan
kekurangannya dimana banyaknya asumsi yang dikemukakan tidak dapat tercover seluruhnya, selain itu juga adanya pendapat yang sangat berlawanan dapat berpengaruh pada upaya untuk menghasilkan rencana yang aman untuk menghindari kritik.
3.4.2. Analisis Interpretative Structural Modeling (ISM) Metoda ISM adalah suatu metodologi dengan menggunakan bantuan komputer yang dapat membantu suatu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara gagasan/ide dan struktur penentu dalam sebuah masalah yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa jenis struktur, termasuk pengaruh struktur (misalnya mendukung atau memperburuk), struktur prioritas (misalnya “lebih penting dari” atau “akan dipelajari terlebih dahulu”) dan kategori dari setiap gagasan/ide (misalnya “mempunyai kategori yang sama dengan”) (Saxena, 1992). ISM adalah sebuah metodologi yang interaktif dan sebuah implementasi dalam suatu pengaturan kelompok. ISM menyediakan suatu keadaan yang sangat baik untuk memperoleh keragaman dan sudut pandang yang berbeda dalam sebuah konsep kompleks yang lebih baik. ISM menganalisis sebuah sistem dari elemen dan menyajikannya dalam sebuah Gambaran grafikal dari setiap hubungan langsung dan tingkat hirarkinya. Elemen mungkin saja menjadi objek dari kebijakan, tujuan dari suatu organisasi, faktor-faktor penilaian dan lain-lain. Hubungan langsung dapat saja bervariasi dalam suatu konteks (menunjuk kepada hubungan kontekstual) seperti elemen (i)
“lebih
baik
dari”:
“adalah
keberhasilan”: “lebih penting dari “ .
keberhasilan
melalui”:
“akan
membantu
62
Langkah-langkah ISM adalah sebagai berikut (Kanungo dan Batnagar, 2002) (1) Indentification of
Element.
Setiap elemen dari suatu sistem akan
diidentifikasi dan didaftarkan, hal ini mungkin akan menyukseskan keseluruhan penelitian, brain storming dan lain-lain. (2) Contextual Relationship. sebuah hubungan kontekstual antara elemenelemen adalah established, tergantung dari obyek dari model latihan. (3) Structural Selef Interaction Matrix (SSIM). Matriks ini menyajikan persepsi responden dari elemen sampai hubungan langsung antar elemen. Empat simbol yang digunakan untuk menyajikan tipe hubungan tersebut dapat berada diantara dua elemen dari sistem dengan sebuah pertimbangan. Simbol tersebut adalah : V ... untuk relasi dari elemen Ei sampai Ej, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya A... untuk relasi dari Ej sampai Ei, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya X... untuk interrelasi antara Ei dan Ej (berlaku untuk kedua arah) O... Untuk merepresentasikan bahwa Ei dan Ej adalah tidak berkaitan (4) Reachability Matrix (RM). Reachability Matrix menyediakan perubahan simbolik SSIM menjadi matriks biner. Penggunaan aturan konversi adalah sebagai berikut : (a) Jika relasi Ei sampai Ej = V dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM (b) Jika relasi Ei sampai Ej = A dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM (c) Jika relasi Ei sampai Ej = X dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 1 dan Eji = 1 dalam RM (d) Jika relasi Ei sampai Ej = V dalam SSIM, kemudian elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM
63
Initial RM adalah kemudian memodifikasi untuk menunjukkan semua pencapaian langsung atau tidak langsung, semuanya jika Eij = 1 dan EJk = 1 kemudian Eik = 1. (5) Level Partitioning. Level Partitioning melakukan perintah mengklarifikasi elemen-elemen ke dalam level yang berbeda dari struktur ISM. Maksudnya dua set digabungkan dengan setiap elemen Ei dari sistem. Reachability Set (Ri) yang mana adalah sebuah set dari semua elemen dapat dicapai dari elemen Ei dan Antecedent Set (Ai) yang mana adalah set dari semua elemen yang dapat dicapai Ei. (6) Canonical matrix : Pengelompokkan bersama elemen dalam level yang dikembangkan dalam matrik ini. Yang dihasilkan matriks ini hampir segitiga bagian atas elemennya adalah 0 dan segitiga bagian bawah elemennya adalah 1. matriks ini kemudian digunakan untuk mempersiapkan sebuah grafik (graph). (7) Digraph : Digraph adalah sebuah pola (item) yang diperoleh dari directional graph dan sebagai rujukan adalah sebuah representasi grafikal dari elemen, hubungan langsungnya dan hierarchical level. Initial digraph disediakan dalam basis canonical matrix, ini kemudian dipendekan melalui pemindahan semua transivitas menjadi bentuk digraph akhir. (8) Model Structural : Model ISL adalah dihasilkan melalui pemindahan semua nomor elemen dengan deskripsi elemen yang aktual. ISM oleh karena itu memberikan Gambaran yang sangat jelas mengenai sebuah sistem dari elemen dan aliran hubungannya.
3.4.3.
Metode Perbandingan Eksponensial Salah satu metode pengambilan keputusan untuk menentukan urutan
prioritas alternatif keputusan kriteria jamak adalah Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Teknik ini, menurut Marimin (2004), digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada setiap tahapan proses. MPE dapat menghasilkan nilai alternatif yang perbedaannya lebih kontras.
64
Dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial ada beberapa tahapan yang harus dilakukan.
Menurut Manning (1984), tahapan yang
dilakukan dalam teknik MPE adalah : (1) Menyusun alternatif-alternatif, (2) Menentukan kriteria-kriteria penting dalam pengambilan keputusan, (3) Melakukan penilaian terhadap kriteria, (4) Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada masing-masing kriteria, (5) Menghitung dan mengurutkan nilai dari setiap alternatif dari nilai yang terbesar sampai nilai yang terkecil. Struktur model MPE adalah sebagai berikut :
Nai
=
∑ (Nilai )
Krit j
ij
dimana,
Nai
= Nilai akhir dari alternatif ke − i
Nilaiij
= Nilai dari alternatif ke − i pada kriteria ke − j
Krit j = Tingkat kepentingan kriteria ke − j ; Krit j › 0
i = 1, 2, 3, ... n; n = jumlah alternatif, j = 1, 2, 3, ... m; m = jumlah kriteria.
3.5.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian model strategi kebijakan regional dalam pengelolaan
irigasi berkelanjutan akan dilaksanakan di Kabupaten Cianjur. Pemilihan lokasi tersebut ditetapkan secara sengaja (purposive) dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut: (1) Salah satu daerah pertanian yang menjadi lumbung padi dengan tingkat kontribusi terhadap produksi padi provinsi Jawa Barat sebesar 6.84%, dan terkenal dengan kualitas berasnya yang cukup banyak diminati oleh masyarakat.
65
(2) Lokasi program Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI) dan program Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP) dalam implementasi reformasi kebijakan sumber daya air dan irigasi di Provinsi Jawa Barat. (3) Adanya permasalahan lingkungan terkait pengelolaan irigasi berkelanjutan baik secara langsung (pengelolaan air belum optimal, belum ada jaminan atas air irigasi, alih fungsi lahan beririgasi, dan kerusakan jaringan irigasi) maupun tidak langsung (belum adanya Perda Irigasi, belum optimalnya Komisi Irigasi, dan Pemberdayaan masyarakat petani pemakai air masih terbatas). (4) Adanya kompleksitas kewenangan pengelolaan irigasi (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten) dalam satu wilayah administratif Kabupaten Cianjur. (5) Mempunyai potensi pengembangan dan pengelolaan irigasi secara lebih lanjut untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian akan dilaksanakan selama 1 (satu tahun) mulai dari Januari 2007 – Januari 2008. Gambar 9.
Lokasi Kabupaten dalam
66
Keterangan Batas Propinsi Batas Kab/Kota Batas DAS Batas Pantai Sungai Laut Waduk Situ
Gambar 9 Peta Kabupaten Cianjur (citra satelit)
67
3.6.
Kondisi Daerah Penelitian Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang menjadi
lumbung padi nasional dan mempunyai areal pertanian beririgasi sangat luas. Selain itu juga provinsi tersebut merupakan salah satu lokasi yang menjadi sasaran program kebijakan pengelolaan irigasi sejak tahun 2000 melalui program Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi atau yang lebih populer dengan sebutan program PKPI, mulai dari ISSF, JIWMP-IDTO, IWIRIP dan WISMP serta PISP pada masa reformasi. Provinsi Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia yaitu 39,960,869 (2005) atau sekitar 18 persen dari total penduduk Indonesia dengan tingkat kepadatan 1,378.65. Saat ini, Jawa Barat memiliki wilayah administratif yang terdiri dari 9 (sembilan) kota yaitu Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasik Malaya, Banjar dan 16 (enam belas) kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasik Malaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang serta Bekasi. Provinsi ini memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia karena hampir 60% industri pengolahan di Indonesia berlokasi di Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Jakarta sebagai ibukota negara. Selain itu, Jawa Barat memiliki lahan yang subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai sehingga cocok digunakan sebagai lahan pertanian. Secara geografis, posisi Provinsi Jawa Barat juga sangat strategis karena berbatasan dengan Ibukota Negara DKI Jakarta. Letak geografis tersebut dan daya dukung potensi sumber daya yang ada menjadikan Provinsi Jawa Barat mempunyai daya tarik tersendiri bagi tumbuhnya kegiatan pembangunan secara regional dan nasional. Wilayah administratif Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas 3,709,528.44 ha dengan wilayah pesisir dan laut sejauh 12 mil dari garis pantai. Secara umum batas-batas administratif Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut: (1) sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan dibatasi oleh Laut Jawa; (2) sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; (3) sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten.
68
Selain letak posisinya yang strategis tersebut, Provinsi Jawa Barat juga mempunyai peran yang strategis dalam menunjang struktur perekonomian nasional. Sumbangan yang diberikan terhadap perekonomian nasional mencapai sebesar 15.87%. Persentase tersebut tidak lepas dari kontribusi sektor industri dan pertanian yang potensial di provinsi yang mempunyai rata-rata pertumbuhan ekonomi sebelum krisis moneter 7.3% di tahun 1997. Secara umum, sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat didukung oleh potensi lahan pertanian. Apabila dilihat dari fungsi kawasannya, Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat menetapkan bahwa 40% luas lahan digunakan sebagai kawasan lindung, sedangkan untuk kawasan budidaya mencapai sebesar 60%. Berdasarkan kawasan budidaya tersebut, pola penggunaan lahan di Provinsi Jawa Barat masih didominasi oleh penggunaan lahan sawah sebesar 25.17%; hutan sebesar 22.99%; kebun campuran sebesar 18.18%; dan perkebunan sebesar 13.63%. Pola penggunaan lahan untuk kegiatan lainnya berada kurang dari 10%, seperti ladang/tegalan sebesar 8.90%; permukiman sebesar 3.35%; padang rumput sebesar 2.95%; tambak sebesar 1.43%; semak belukar sebesar 1.05%; industri sebesar 0.34%; pertambangan sebesar 0.08%; dan tanah kosong sebesar 0.46%. Berdasarkan data citra landsat tahun 2001, Propinsi Jawa Barat memiliki areal sawah seluas 766,218.57 ha (20.66%) terdiri dari 585,610.57 ha (76.43%) sawah beririgasi yang dikelolah pemerintah, 102,579 ha (13.41%) irigasi pedesaan yang dikelolah oleh masyarakat dan sawah tadah hujan seluas 77,849 ha (10.16%). Areal sawah pemerintah tersebut tersebar pada Daerah Irigasi (DI) lintas kabupaten/kota dan DI non lintas kabupaten/kota. Ada dua DI terbesar yang strategis karena hamparan sawah yang sangat luas dan dilayani oleh dua sistem jaringan irigasi besar yaitu : (1) Jaringan irigasi rentang dengan sumber air dari Cimanuk yang melayani hamparan sawah seluas 89,726 ha meliputi kab./Kota Cirebon, Kab. Indramayu, dan sebagian Kab.Majalengka; (2) Jaringan irigasi Jatiluhur dengan sumber air dari sungai Citarum yang melayani hamparan sawah seluas 236,702 ha meliputi Kab. Purwakarta, Kab. Subang, Kab. Karawang dan Kab. Bekasi.
69
Kedua jaringan irigasi tersebut secara keseluruhan melayani areal sawah atau Daerah Irigasi (DI) di Provinsi Jawa Barat bagian utara, sedangkan wilayah tengah dan selatan hamparan daerah irigasinya tersebar, sebagian besar berkisar antara 500 – 1,500 ha dengan sumber air dari sungai lintas kabupaten/kota maupun non lintas. Selain itu, pada kedua wilayah ini banyak sekali Daerah Irigasi perdesaan (+ 85%).
Dengan demikian kedua jaringan
irigasi yang tergolong besar tersebut sangat potensial dalam mengairi areal persawahan yang ada di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data dari Dinas PSDA Propinsi Jawa Barat, kondisi jaringan irigasi yang meliputi bangunan utama (waduk, bendung, pintu, pompa, dsb.), saluran (induk, sekunder, pembuang, suplesi, gendong), bangunan pengatur (bagi, bagi sadap, sadap), dan bangunan pelengkap (kantor lumpur, pelimpah, terjun, pembilas, dsb) dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu kondisi baik, rusak ringan dan rusak berat. Kondisi baik adalah kondisi fisik bangunan air/saluran 75%-100% dan debit air dapat mengalir dengan normal. Kondisi rusak ringan adalah kondisi fisik bangunan air/saluran 50%-75% dan debit air masih mengalir dengan normal tetapi bila dibiarkan akan menjadi rusak berat. Kondisi rusak berat adalah kondisi fisik bangunan air/saluran maksimal 50% dan debit air berkurang atau air tidak dapat mengalir dengan normal. Pada
Daerah
Irigasi
lintas
kabupaten/kota
yang
pengelolaannya
merupakan kewenangan pemerintah provinsi terdapat sebanyak 403 bangunan utama dengan 40.69% diantaranya dalam kondisi baik, saluran sepanjang 3,220.6 km dengan 28.82% diantaranya berada dalam kondisi baik, bangunan pengatur sebanyak 5,370 buah dengan 57.43% diantaranya dalam kondisi baik dan bangunan pelengkap sebanyak 5,881 buah dengan kondisi baik sebesar 58.39%. Selanjutnya pada Daerah Irigasi non lintas kabupaten/kota yang pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota terdapat sebanyak 1,617 bangunan utama dengan kondisi baik sebesar 47.06%; saluran irigasi sepanjang 7,935.8 km dengan kondisi baik sebesar 30.65%; bangunan pengatur sebanyak 17,719 buah dengan kondisi baik sebesar 50.18%, dan bangunan pelengkap sebanyak 18,849 buah dengan kondisi baik sebesar
70
55.33%. Untuk lebih jelasnya kondisi jaringan irigasi di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Kondisi Jaringan Irigasi di Jawa Barat No.
Kondisi Jaringan Irigasi Bangunan Utama: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat Saluran: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat Bangunan Pengatur: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat Bangunan Pelengkap: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat Total: - Baik - Rusak Ringan - Rusak Berat
Daerah Irigasi Kewenangan (%) Propinsi Kab./Kota
Total (%)
40.69 47.32 11.91
47.06 33.77 19.17
45.79 36.49 17.72
28.82 33.06 38.12
30.65 40.27 29.08
30.12 38.19 31.69
57.43 30.19 12.38
50.18 29.38 20.44
51.87 29.56 18.57
58.39 27.24 14.37
55.33 29.56 15.11
56.06 29.01 14.94
46.33 34.45 19.20
45.81 33.25 20.95
45.94 33.37 20.73
Sumber: Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat, 2000.
Penanganan infrastruktur pengairan sampai saat ini masih bertujuan untuk mempertahankan keandalan fungsi jaringan irigasi dan pemanfaatan sumber air (penyediaan air yang cukup serta pengamanan areal produksi dan permukiman dari bahaya banjir dan kekeringan), yang secara umum dapat dibagi dalam beberapa kegiatan seperti: (1) Operasi dan pemeliharaan (O&P) jaringan irigasi,dengan maksud untuk mempertahankan kondisi bangunan/jaringan yang baik dan memperbaiki jaringan yang rusak ringan. (2) Rehabilitasi bangunan/jaringan yang rusak berat dengan prioritas daerah pada kondisi air baik. (3) Pengembangan sumber air dan jaringan irigasi baru,dengan kegiatan studi dan perencanaan tekhnis. (4) Normalisasi sungai dan perkuatan tebing sungai.
71
(5) Perbaikan pemeliharaan sumber-sumber air (situ dan embung). Kondisi jaringan irigasi yang ada sekarang hanya dapat menunjang intensitas tanam + 170% dan dengan luas sawah 876,364 ha diperkirakan dapat menghasilkan Gabah Kering Giling (GKG) sebanyak 7,598,075 ton/tahun atau setara dengan 5,318,654 ton/tahun beras. Ditinjau dari jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2001 sebesar 36,131,877 jiwa, maka kebutuhan beras di propinsi Jawa Barat adalah sebesar 4,805,540 ton/tahun beras. Dengan demikian, produksi beras Propinsi Jawa Barat untuk memenuhi kebutuhan swasembada beras masih surplus sebanyak 513,114 ton/tahun beras(10.7%). Pada masa sekarang, kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat dan ikut menjadi lokasi program WISMP serta PISP seluruhnya mencapai sebanyak 16 (enam belas) kabupaten. Salah satu kabupaten yang menjadi lokasi kegiatan program pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi adalah Kabupaten Cianjur. Karakteristik kabupaten tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dipandang tepat untuk dipilih secara purposive menjadi salah satu lokasi kegiatan. Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak di tengah Provinsi Jawa Barat, dengan jarak kurang lebih 65 Km dari Ibu Kota Provinsi (Bandung) dan sejauh 120 Km dari Ibu Kota Negara (Jakarta). Selain itu juga terletak diantara 6o21’ – 7o25’ Lintang Selatang dan 106o42’ – 107o25’ Bujur Timur. Kabupaten Cianjur yang mempunyai luas wilayah 350.148 ha dengan jumlah kecamatan sebanyak 30 dan jumlah desa/kelurahan sebanyak 348 berada pada batas wilayah administrastif sebagai berikut: (1) sebelah Utara. Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta; (2) sebelah Barat. Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi; (3) sebelah Selatan. Berbatasan dengan Samudera Indonesia; dan (4) sebelah Timur. Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Secara umum, keadaan alam Kabupaten Cianjur terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian mencapai 7 – 2,962 meter di atas permukaan laut. Secara geografis, wilayah Kabupaten Cianjur terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: (1)
Cianjur Bagian Utara. Merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian mencapai 2,962 meter di atas permukaan laut.
72
Sebagian besar wilayah ini merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan dataran yang dipergunakan untuk areak perkebunan dan persawahan; (2)
Cianjur Bagian Tengah. Merupakan daerah yang berbukit-bukit kecil dikelilingi dengan keadaan struktur tanahnya labil sehingga sering terjadi tanah longsor dan daerah gempa bumi. Wilayah dataran lainnya digunakan untuk areal perkebunan dan persawahan; dan
(3)
Cianjur Bagian Selatan. Merupakan dataran rendah, namun terdapat banyak bukit-bukit kecil yang diselingi oleh pegunungan yang melebar sampai ke daerah pantai Samudera Indonesia. Bagian tanah wilayah ini bersifat labih dan sering juga terjadi longsor serta gempa bumi. Wilayah datarannya juga digunakan sebagai areal perkebunan dan persawahan namun tidak begitu luas. Secara umum, wilayah kabupaten Cianjur seluas 3,501.48 km2 ditempati
sejumlah penduduk pada tahun 2005 sebanyak 2,098,644 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1,069,408 dan perempuan sebanyak 1,029,236. Berdasarkan hal tersebut, maka kepadatan rata-rata penduduk Kabupaten Cianjur adalah 599,360 jiwa/km2.
Jumlah penduduk tersebut, sebesar 39.16% diantaranya
adalah penduduk yang termasuk usia produktif (821,876 jiwa). Sebagian besar penduduk Kabupaten Cianjur yang tergolong usia angkatan kerja tersebut mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian sebanyak 501,356 jiwa dan terendah di sektor pertambangan/galian sebanyak 1,220 jiwa, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah Penduduk Berdasarkan Lapangan Usaha, tahun 2005 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Lapangan usaha Pertanian Pertambangan/Galian Industri Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan Angkutan dan Komunikasi Keuangan Jasa Total Sumber: BPS Cianjur, 2005.
Jumah 501,356 1,220 49,960 1,336 30,876 126,900 52,196 4,676 53,356 821,876
Persentase (%) 61.00 0.01 0.61 0.16 3.76 0.15 6.35 0.57 6.49 100.00
73
Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa sebagian besar penduduk Kabupaten Cianjur mempunyai lapangan usaha atau mata pencaharian utama dari
sektor
pertanian
(61%),
sedangkan
pada
sektor
jasa
dan
angkutan/komunikasi masing-masing mencapai sebesar 6.49% dan 6.35%. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian masih merupakan sektor pendukung utama bagi pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun pembangunan daerah di Kabupaten Cianjur. Kontribusi sektor pertanian tersebut tidak lepas dari luas lahan pertanian beririgasi yang ada di Kabupaten Cianjur.
Peruntukan lahan yang ada di
Kabupaten Cianjur seluas 350,148 ha digunakan untuk lahan sawah baik yang bersifat teknis, semiteknis, sederhana, tadah hujan dan sawah irigasi masyarakat seluas 62,894 ha atau sebesar 17.96%. Peruntukan lahan lainnya berupa tanah darat (pekarangan, tegal/kebun, ladang/huma, padang rumput, lahan tidur, hutan rakyat, hutan negara, perkebunan, rawa, tambak, kolam/tebat/empang, dan lainnya) mencapai seluas 287,254 ha atau sebesar 82.04%.
Gambaran
selengkapnya mengenai peruntukan lahan pertanian, khususnya untuk lahan sawah di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Peruntukan lahan sawah Kabupaten Cianjur, tahun 2005
Jenis Lahan Sawah Irigasi Teknis Irigasi Semi Teknis Irigasi Sederhana Irigasi Masyarakat (Non PU) Tadah Hujan Total
Luas Areal (ha)
Persentase (%)
2004 14,131 7,202 9,316 18,622 12,316 61,587
2004 22.94 11.69 15.13 30.24 20.00 100.00
2005 15,130 6,139 6,153 21,348 14,124 62,894
2005 24.06 9.76 9.78 33.94 22.46 100.00
Sumber: BPS Kabupaten Cianjur, 2005.
Apabila dilihat dari Rencana Induk Pengairan Kabupaten Cianjur (2004: 3-41) menunjukkan bahwa keberadaan Daerah Irigasi (DI) yang ada di Kabupaten Cianjur seluruhnya mencapai sebanyak 22 DI dengan luasan mencapai 23,998 ha. Gambaran selengkapnya keberadaan DI tersebut dapat dilihat pada Tabel 13.
74
Tabel 13 Jumlah daerah irigasi di Kabupaten Cianjur berdasarkan kewenangan pengelolaan irigasi, tahun 2004 Kewenangan Pengelolaan Irigasi Kabupaten Cianjur (di bawah 1000 ha)
Jumlah Daerah Irigasi (DI) 15
Potensial (ha)
Fungsional (ha)
Belum Irigasi (ha)
Alih Fungsi (ha)
10,168
9,890
249
29
Provinsi Jawa Barat (1000 - 3000 ha)
6
8,324
8,012
312
63
Pusat : (di atas 3000 ha) Jumlah
1
5,506
5,405
-
21
22
23,998
23,307
561
113
Sumber: Rencana Induk Pengairan Kabupaten Cianjur, 2004.
Berdasarkan Tabel 13 di atas terlihat bahwa potensi daerah irigasi di Kabupaten Cianjur cukup potensial untuk dikembangkan. Sumber daya air yang terdapat di Kabupaten Cianjur meliputi air permukaan (berupa sungai-sungai), mata air, dan air tanah.
Sumber air tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan pertanian, industri, dan lain-lain. Pemanfaatan sumber air untuk alokasi kegiatan sektor pertanian, khususnya pertanian beririgasi menunjukkan indikasi nilai intensitas tanamnya sebesar 276.43%.
Artinya dalam setahun ketersediaan air belum mampu
memenuhi kebutuhan air untuk lahan pertanian beririgasi selama 3 (tiga) Musim Tanam (MT) atau hanya mampu secara penuh pada Musim Tanam I (MT-1) dan Musim Tanam II (MT-2) saja, sedangkan Musim Tanam III (MT-3) tidak seluruhnya dapat ditanami.
Sedangkan bila di lihat dari produktivitas hasil
usahatani (khususnya padi sawah) menunjukkan bahwa produksi padi perhektar di Kabupaten Cianjur berkisar antara 53.14 kw/ha sampai 60.43 kw/ha, dengan rata-rata mencapai sebesar 60.43 kw/ha (Tabel 14). Tabel 14 Rata-rata produksi padi sawah di Kabupaten Cianjur tahun 2004
Tahun 2005 2004 2003 2002 2001
Luas Area (ha) Rata-rata Produksi (Kw/ha) Tanam Panen 125,433 122,072 53.14 118,847 115,265 52.66 105,034 93,682 52.67 97,828 102,247 60.43 107,430 109,710 60.15
Produksi (ton) 648,735 606,971 493,399 617,886 869,906
Sumber: BPS Kabupaten Cianjur, 2005 dan Rencana Induk Pengairan Kabupaten Cianjur, 2004
75
Data produksi padi sawah di Kabupaten Cianjur apabila dibandingkan dengan tingkat produksi Provinsi Jawa Barat dan Nasional masing-masing memberikan kontribusi sebesar 6.84% terhadap produksi padi sawah provinsi Jawa Barat dan 2.12% terhadap produksi padi nasional. Produksi padi Provinsi Jawa Barat berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan (2005) mencapai sebesar 9,481,257 ton, sedangkan produksi padi nasional berdasarkan data dari Departemen Pertanian (2005) mencapai sebesar 30,668,730 ton.