III. METODOLOGI PENELITIAN Berdasarkan tinjauan teoritis dan empiris yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya,
serta
akumulasi
pengetahuan
yang
dimiliki
peneliti,
selanjutnya
dirumuskan sejumlah pernyataan spesifik berkenaan dengan gejala pembentukan ekonomi lokal yang terjadi dalam proses penguasan hutan mangrove yang berpengaruh terhadap perkembangan kapitalisasi pertambakan di kawasan Delta Mahakam. Rangkaian pertanyaan inilah yang kemudian berfungsi sebagai hipotesa pengarah yang akan menuntun peneliti dalam bekerja. Namun demikian, sebelumnya perlu diungkapkan landasan filosofis dan ideologi yang dipilih peneliti di dalam menemukenali permasalahan yang selanjutnya menggiring keseluruhan proses baik pada tataran ontologi maupun metodologi. Pertama-tama perlu dikemukakan disini bahwa penulisan disertasi ini muncul dari kegelisahan peneliti atas terjadinya penafikan atas keberadaan institusi ekonomi lokal sebagai kekayaan lokal yang hampir tidak pernah mendapat perhatian dan tersentuh proses pembangunan. Meskipun keberadaannya sangat fungsional di dalam ikut memberdayakan masyarakat lokal hingga mereduksi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial, bahkan konflik vertikal, keberadaan Ponggawa, Papalele, Pangamba’ ataupun Tengkulak sebagai kekuatan yang menopang keberadaan budaya ekonomi lokal tidak mendapatkan tempat yang memadai dalam mainstream ekonomi nasional. Yang ada mereka dipahami dengan penuh negative streo type, sebagai orang yang mengeksploitasi masyarakat disekitarnya yang lebih lemah. Kegelisahan peneliti semakin tak terbendung ketika perilaku ekonomi modern selalu
mendominasi
proses-proses
penguatan
kapasitas
masyarakat
dalam
mengembangkan berbagai teknik dan strategi usaha di tataran lokal yang juga mengabaikannya. Seperti wacana yang dikembangkan pemerintah bersama lembagalembaga asing yang mencoba memutus mata-rantai hubungan patronase dengan membentuk berbagai lembaga ekonomi baru (KUD ataupun Bank Desa), meskipun pada akhirnya gagal ditengah jalan (lihat Mappawata, 1986, Nugroho, 2001 dan Kusnadi, 2001). Juga masih sangat biasnya pengetahuan Barat dalam berbagai kebijakan pemerintah, seperti program PEL yang tidak mendasarkan konsepsinya secara kontekstual dalam bingkai keadilan spasial. Padahal pengamatan yang dilakukan peneliti selama hampir 10 tahun (sejak 2002 s/d sekarang) terhadap kegiatan usaha perikanan semisal di sekitar kawasan Delta Mahakam, menunjukkan terjadinya fenomena “Kebangkitan Ekonomi Lokal”, yang diperankan ponggawa-ponggawa pertambakan yang berasal dari migran Bugis golongan non-elit (to-maradeka). Mereka tidak hanya mampu melakukan take over atas
70
perusahaan eksportir asal Jepang (yang merupakan pioner ekosportir udang terbesar di Indonesia), namun juga berhasil mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi lokal. Dari aktivitas usahanya mereka mampu memberikan warna tersendiri, sebagai fenomena lama yang mampu menjaga identitas kelokalannya. Meskipun terus digerus oleh praktek-praktek ekonomi kapitalistik yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan hubungan-hubungan antar manusia. Dimana kekuatan kapitalisme telah mengusai sendi-sendi kehidupan masyarakat, memberikan dampak, serta turut mempengaruhi perilaku dan pola hubungan antar masyarakat. Nyatanya, kelembagaan ekonomi lokal yang
mendasarkan
kekuatannya
pada
sistem
budaya
setempat
masih
bisa
menunjukkan eksistensinya, bahkan mampu mereduksi “kebringasan kapitalisme” dengan wajah yang khas dan lebih manusiawi. Karenanya bangsa ini masih bisa berharap pada kemunculan pengusaha-pengusaha lokal dari lapisan non-elit yang keberadaannya dinihilkan oleh banyak kalangan.
3.1
Hipotesa Pengarah Meskipun penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melakukan verifikasi atas suatu
teori maupun hipotesa pengarah yang dapat berfungsi sebagai guide kemungkinan arah penelitian dan sama sekali tidak mengikat. Hipotesa pengarah yang dirumuskan bersifat fleksibel, longgar dan terbuka untuk
dilakukan
perubahan-perubahan
bahkan
penggantian sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan. Karena hipotesa pengarah tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan penelitian, maka hipotesa pengarah dalam penelitian ini merupakan penjabaran dari pertanyaan penelitian. 1. Terbentuknya Ekonomi Lokal pada Masyarakat Bugis di Delta Mahakam Secara laten, diduga masyarakat di kawasan Delta Mahakam meskipun didominasi etnis Bugis, namun diantara mereka membedakan penduduk lokal (asli) sebagai keturunan Bugis ataupun Kutai, Tidung, Bajo, Banjar dan Jawa yang lahir di kawasan tersebut dengan penduduk pendatang yang berasal dari luar kawasan Delta Mahakam. Berbeda dengan kawasan mainland Kalimantan yang cenderung heterogen, penduduk di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam cenderung lebih homogen dengan mayoritas beretnis Bugis. Struktur sosial masyarakat Bugis di Delta Mahakam secara keseluruhan, diduga pada awalnya hanya mencakup dua golongan sosial yang dapat diidentifikasi sebagai elit dan non-elit sosial tradisional. Elit sosial tradisional lokal (asli) yang menetap di kawasan Delta Mahakam, diduga selain memiliki akses yang lebih kuat dalam bidang politik, juga memiliki akses yang luas terhadap sumberdaya agraria. Sedangkan non elit cenderung hanya memiliki akses terbatas terhadap sumberdaya agraria untuk kegiatan perkebunan dan perladangan berpindah.
71
Hal ini diduga berbeda dengan non elit dari penduduk lokal (asli) maupun pendatang yang berdomisili di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam, mereka memiliki akses yang sama dengan elit sosial tradisional lokal (asli) dalam penguasaan sumberdaya agraria, dikarenakan minimnya jumlah penduduk, keterisoliran dan kurang suburnya lahan garapan untuk kegiatan pertanian. Peluang inilah yang diduga dimanfaatkan pendatang Bugis dari golongan non elit untuk menguasai hamparan hutan mangrove yang akan dikonversi menjadi area pertambakan pasca pelarangan trawl pada 1983. Besar dugaan, para petambak inilah yang kelak berhasil melakukan mobilitas vertikal menjadi ponggawa-ponggawa pertambakan yang sukses (elit ekonomi lokal), sehingga terbentuk kelas menengah baru. Diduga dengan kemampuan penetrasi kapital, hegemoni dalam jaringan patronase dan didukung kedekatan emosional dengan otoritas lokal, mereka bahkan mampu menguasai hamparan tambak yang luas untuk menggerakkan kegiatan ekonomi lokal. Beriringan dengan beroperasinya industri perikanan skala ekspor yang mereka bangun. 2. Pengaruh Ekonomi Lokal terhadap Perubahan Landscape Ekologi Lokal Konversi hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan diduga dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah pasca krisis ekonomi 1997/ 1998, sehingga mendorong terjadinya “boom udang”. Kondisi tersebut, diduga kuat tidak hanya memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang peruntungan
di
sektor
perikanan
budidaya.
yang ingin mencoba
Namun
juga
mendorong
berlangsungnya kapitalisasi di sektor pertambakan, akibat terjadinya akumulasi penguasaan alat produksi dan kapital oleh para ponggawa. Sementara konversi hutan mangrove yang semakin tidak terkendali diduga keras telah merubah landscape
ekologi
lokal,
seiring
dengan
“ketidakhadiran
negara”
atas
pendistribusian dan penguasaan hutan mangrove pada pihak-pihak tertentu oleh otoritas lokal. 3. Wujud Kapitalisasi Pertambakan yang Mampu Mendorong Pembentukan Ekonomi Lokal dan Bagaimana Proses Ini Mengalami Reproduksi Berulang Kemunculan golongan pengusaha lokal dalam kegiatan pertambakan yang mampu mendorong terbentuknya ekonomi lokal di kawasan Delta Mahakam, diduga bukan merupakan hasil rekayasa sosial pemerintahan yang berkuasa. Diduga kuat pemerintah tidak memiliki kebijakan yang stretegis dan konkret dalam mengembangkan kegiatan pertambakan yang mampu menopang beroperasinya memberikan
industri perikanan insentif
dengan
di kawasan Delta
melakukan
perbaikan
Mahakam, seperti infrastruktur
dan
72
mengembangkan research development terkait peningkatan daya saing produksi, berikut nilai tambahnya. Kondisi ini diduga tidak hanya terkait dengan tidak normalnya fungsi regulasi pertanahan di gray area (KBK-KBNK), ketika regulasi pertanahan yang sampai pada aparatur pemerintahan di aras lokal mengalami transformasi subjektif, sehingga ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan persepsi parapihak yang terbungkus kepentingan pragmatis. Namun juga dikarenakan tidak adanya political will, keberpihakan pemerintah atas pertumbuhan pengusaha lokal. Kuat dugaan, “absennya negara” memberikan keleluasaan bagi para ponggawa untuk lebih ekspansif dalam mengembangkan usaha pertambakannya. Dan pada akhirnya pemahaman seperti itu diduga terus direproduksi secara berulang, sepanjang dianggap “aman dan menguntungkan” mereka yang bertransaksi, sebagai bentuk pensiasatan ketidakpastian penyelenggaraan hukum atas tanah-tanah negara yang sangat potensial ini. 4. Keberlanjutan Proses Kapitalisasi Pertambakan dalam Kelangkaan Sumberdaya Kelangkaan sumberdaya alam dan resiko dari kegiatan pertambakan yang dibangun diatas tanah-tanah negara diduga telah memaksa para ponggawa untuk
bersikap
protektif
terhadap
segala
kemungkinan
yang
dapat
“mengganggu” kepentingan usahnya. Pilihan yang dianggap strategis diduga adalah dengan melakukan koalisi dengan “kekuasaan” yang dianggap mampu memberikan jaminan bagi keberlanjutan kegiatan usahanya atau dengan membangun citra sebagai pengusaha “merakyat” dengan banyak pengikut, sehingga diperoleh “proteksi” dari sistem keamanan sosial yang terbangun. Jika tidak, diduga mereka harus menyiapkan diri untuk melakukan ekstensifikasi usaha diluar kegiatan pertambakan, selain melakukan ekspansi kegiatan usaha diluar sektor perikanan, mengembangkan usaha pertambakan di luar kawasan Delta Mahakam atau terlibat dalam dunia politik praktis. 5. Sistem Sosial Yang Terbentuk, Seiring Berkembangnya Ekonomi Lokal Formasi
sosial
di kawasan
Delta Mahakam
yang
berlangsung
sejak
berkembangnya industri perikanan diduga adalah formasi sosial kapitalis, meskipun juga memiliki kesesuaian dengan formasi komersialis/ ekonomi pasar, sehingga formasi sosial yang mewujud, menunjukkan ciri-ciri sistem ekonomi hibrid yaitu sistem ekonomi khas lokal. Para pengusaha perikanan lokal (ponggawa) diduga melanggengkan hubungan patron-klien sebagai salah satu strategi “social security” atas keberlangsungan moda produksi dalam kegiatan pertambakan yang menggerakan pertumbuhan ekonomi lokal. Diduga dengan penguasaan alat produksi dan kapital yang kuat, pengusaha lokal (ponggawa)
73
memiliki posisi tawar yang lebih tinggi terhadap kekuasaan, sehingga golongan ini tidak hanya tampil sebagai kelas menengah tersendiri di antara kelas penguasa dan kelas kapitalis lokal lainnya, mereka bahkan ada yang mampu tampil setara dengan penguasa dan kelas kapitalis utama di aras regional. Meskipun pemerintah diduga memainkan peranan yang kurang menentukan dalam proses kemunculan sosial golongan pengusaha perikanan (ponggawa), namun dalam kelangsungannya sebagai kelas yang mandiri, eksistensi usaha mereka turut ditentukan dukungan pemerintah.
3.2
Paradigma Penelitian Menurut Ritzer (1980) paradigma adalah pandangan yang mendasar dari
ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang mestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma dapat diartikan sebagai, a) a set of assumption, dan b) beliefs concerning yaitu asumsi yang “dianggap” benar. Karenanya paradigma membawa implikasi pada pilihan metodologi dan teori yang akan diambil dalam sebuah penelitian. Di dalam penelitian sosiologi dikenal lima jenis aliran paradigma, yaitu positivisme, post-positivisme, teori kritis, konstruktivis dan partisipatoris (Denzin and Lincoln, 2000). Secara paradigmatik penelitian ini akan menggunakan paradigma konstruktivisme, mengingat adanya konstruksi sosial yang perlu dipahami dari persepsi dan perspektif etika/ moral dari komunitas lokal. Meskipun keberlakuannya tidak bersifat mutlak, sehingga membuka kesempatan bagi paradigma lain yang bersesuaian untuk digunakan secara selektif dalam penelitian ini, khususnya paradigma teori kritis. Ontologi, paradigma konstruktivis bersifat relatifis, artinya realitas yang dipahami bersifat plural (multiple realitas). Realitas tidak dapat dinyatakan secara jelas dan pasti (intangible), konstruksi mental didasarkan atas pengalaman bersifat sosial-budaya, lokal dan spesifik, sehingga konstruksi ilmu pengetahuan tidak bersifat obyektif-universal. Sedangkan secara epistimologi, paradigma konstruktivis bersifat transaksional dan subyektif, dimana antara peneliti dengan tineliti saling terkait dan interaktif. Sementara dari segi metodologi, paradigma konstruktivis, muncul dengan metodologi hermeneutik dan dialektis. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis peneliti dapat memotret realitas sosial, tidak hanya realitas objektif yang berada di luar diri orang yang diteliti (tineliti), tetapi juga realitas subjektif yang berada di dalam diri orang yang diteliti (tineliti) yang menyangkut kehendak dan kesadarannya (Hardiman, 2003). Karena diantara kedua realitas ini memiliki hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi. Selanjutnya realitas yang ditemukan dalam bentuk objektif, berupa data-data, harus dicari
74
penjelasannya, kaitan sebab akibatnya, sehingga ada harapan peneliti dapat menembus gejala dan menemukan realitas subjektif. Untuk mencapai tahapan tersebut peneliti harus; Pertama, berjumpa dengan pribadi tineliti, bertanya dan mendapatkan jawaban. Kedua, dengan sungguh-sungguh mau memahami (verstehen) realitas tersebut. Bagi Weber verstehen (interpretative understanding) adalah upaya atau pendekatan untuk memahami makna perilaku sosial (social behavior), tidak hanya sekedar mencari hubungan sebab-akibat semata dari sebuah realitas sosial (Turner, 1998). Jika kedua langkah tersebut dilakukan, barulah seorang peneliti dinamakan “mempersoalkan realitas” atau mempersoalkan kewajaran. Dengan demikian untuk melihat realitas, peneliti meneropongnya dari „luar‟ dan dari „dalam‟ (peneliti perlu mengambil bagian di dalam realitas tersebut). Artinya disini peneliti ikut berbagi harapan, perasaan, perjuangan, cita-cita, kekecewaan dan seterusnya. Meneropong dari „luar‟ merupakan sebuah refleksi tahap awal, untuk mendapatkan perbandingan, mencari kaitan/sebab-akibat, menelusuri sejarahnya dan sebagainya. Dengan demikian peneliti akan menemukan struktur yang membuat individu atau masyarakat seperti itu. Dari sini akan didapat sebuah analisis empiris tentang realitas. Barulah kemudian dilakukan upaya meneropong dari „dalam‟ untuk menemukan kompleksitas perasaan, keinginan, pikiran-pikiran yang berkaitan dengan persoalan yang kita sorot. Inilah yang dinamakan memahami dari „dalam‟, menyelami realitas bathin. Peneliti akan menemukan bahwa suatu masalah bukan hanya soal material yang objektif, melainkan juga menembus penghayatan bathin dan kesadaran individu yang bersangkutan. Namun demikian, mempersoalkan realitas bukanlah sebuah persoalan yang gampang dan gamblang, karena ada kaitannya dengan realitas yang sangat partikular ke bagian yang paling total atau holistik dan menuju kesadaran yang paling subjektif sampai ideologi yang paling objektif (Hardiman, 2003). Sehingga harus dipahami bahwa realitas tidak selalu mirip dengan potret sebelumnya karena sifatnya yang dinamis, bergerak, mengalir dalam proses „menjadi‟ menurut penafsiran ilmu pengetahuan yang diyakini. Karenanya dinamika permasalahan yang ditemui dilapangan pun tidak mungkin diprediksi hanya berdasarkan asumsi teoritik yang ketat. Atas dasar perkembangan hasil temuan di lapangan yang ternyata sarat dengan berbagai permasalahan struktural, paradigma konstruktivis dianggap peneliti belum cukup untuk menjawab pertanyaan penelitian. Artinya, meskipun telah berupaya memperoleh pemahaman intersubyektive terhadap subyek penelitian, paradigma konstruktivis ternyata tidak mampu menjawab pertanyaan penelitian yang berdimensi strukturalis, karena hanya berada dalam tataran memahami subyek penelitian tanpa upaya untuk melakukan perubahan. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut tampaknya
75
bisa dilakukan secara kritis dengan melakukan “negosiasi” atau “kesepakatan” dengan mencapai suatu kebenaran obyektif melalui peningkatan posisi tawar tineliti (lapisan terbawah). Diharapkan jenis ilmu critical social yang termasuk ke dalam paradigma teori kritis yang digunakan secara bergantian dengan paradigma konstruktivis, akan dapat menghasilkan analisa yang membebaskan (mengemansipasi) kesadaran manusia dari kungkungan kekuasaan atau struktural. Kepentingan dalam jenis ilmu seperti ini adalah merevolusi kesadaran yang sudah malas (non-reflektif), yang kondusif bagi munculnya hubungan-hubungan ketergantungan, melalui cara refleksi diri (self reflection). Tidak berbeda dengan konstruktivis, teori kritis pun secara epistemologi menerima intersubyektivitas sebagai jalan menuju suatu “kesepakatan” yang kemudian disebut sebagai “kebenaran”. Setidaknya metodologi paradigma konstruktivisme pun memiliki kesamaan dengan teori kritis, bersifat hermeneutical dan dialektical, dimana teori muncul berdasarkan data yang ada dan difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial (Salim, 2001). Teori kritis dan konstruktivis, menempatkan nilai, etika dan pilihan moral dalam posisi yang sama, dimana peneliti berperan sebagai passiorate participant, fasilitator yang menjembatani subjektivitas pelaku sosial, karenanya faham ini memiliki tujuan penelitian untuk merekonstruksi realitas sosial secara dialektik antara peneliti dengan tineliti. Sebelumnya, perlu ditegaskan disini bahwa pilihan untuk menggunakan pendekatan konstruktivis dan teori kritis sekaligus dalam penelitian ini bersifat situasional, didasarkan pada perkembangan hasil temuan di lapangan. Penelitian kolaboratif seperti ini merujuk pada prinsip-prinsip triangulasi, baik berupa triangulasi teori maupun metode. Dan yang lebih penting menurut Agusta (2006) adalah triangulasi antara peneliti dan tineliti, ketika istilah responden atau informan sudah melebur bersama peneliti, hingga secara keseluruhan berperan sebagai co-peneliti. Triangulasi yang muncul kemudian, merupakan proses kolaborasi antar peneliti dan tineliti. Di sini konsep paradigma Kuhn (2002), tidak sekedar digunakan dalam arti perkembangan revolusioner ilmu-ilmu sosial, melainkan juga dalam arti perbedaan cara pandang terhadap suatu realitas sosial. Meskipun menurut Agusta (2005), hal tersebut akan berimplikasi kepada penerimaan paradigma holistik dalam metode (meta-metode), sehingga meta-analisis menjadi tidak bermakna, karena tidak ada lagi perbedaan paradigma teori (meta-teori) yang tidak-bisa-saling-ukur (incommensurebility), begitu pula meta-metode tidak lagi bermakna. Namun demikian, menurut pemahaman peneliti, pilihan kolaboratif dengan alasan metodologis seperti ini masih termasuk ke dalam paradigma berbasis subyektifis dan mikro, seperti digagas Agusta.
76
3.3
Metode Penelitian Penentuan paradigma penelitian konstruktivis sekaligus teori kritis, mengandung
konsekuensi
penggunaan
metode
kualitatif-subyektif.
Sesuai
asumsi
ontologis
pendekatan kualitatif bahwa realitas bersifat subyektif dan multiple oleh para partisipan, serta asumsi epistemologis tentang interaksi antara peneliti dan tineliti (Creswell 1994), maka studi ini mengharuskan fieldwork, di mana peneliti hadir secara fisik di antara orang-orang, setting, lokasi dan institusi untuk mengobservasi dan mencatat segalanya secara langsung. Dalam pendekatan kualitatif peneliti merupakan instrumen utama. Validitas metode kualitatif sebagian besar bergantung pada keterampilan, kompetensi dan ketelitian dari orang yang melakukan fieldwork. Menjadi suatu kebenaran jamak, jika pendekatan yang digunakan dalam meneropong kondisi situasional dilapangan, hasil akhirnya akan banyak dipengaruhi perspektif subyektif peneliti. Di dalam penelitian kualitatif, ada dua hal yang perlu dipahami yaitu peneliti dan penelitian kualitatif itu sendiri. Denzin and Lincoln (2000) dengan mengutip beberapa pendapat memaknai peneliti kualitatif sebagai bricoleur dan penelitian kualitatif sebagai bricolage. Sebagai bricoleur, ia adalah seorang yang dipandang sanggup melakukan berbagai pekerjaan atau ia adalah seorang professional yang mampu melaksanakan sendiri pekerjaannya. Hasil kerja dari bricoleur adalah bricolage, yaitu sekumpulan hasil kerja terus menerus yang merupakan solusi persoalan dalam situasi kongkrit. Solusi tersebut merupakan kemunculan suatu konstruksi yang mengubah dan membentuk berbagai alat, metode, dan teknik-teknik untuk memecahkan teka-teki persoalan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini, adalah penggabungan metode etnografi dan metode partisipatif. Metode Etnografi, merupakan salah satu metode kualitatif yang paling direkomendasikan dalam melakukan sebuah penelitian yang menggunakan paradigma konstruktivisme. Studi etnografi sebagaimana dikenal dalam antropologi dikenal juga dalam batas-batas tertentu sebagai studi kasus. Menurut Yin (1996), studi kasus merupakan strategi yang paling tepat digunakan jika bentuk pertanyaan penelitian adalah “mengapa” (deskriptif) dan “bagaimana” (eksplanasi). Mengingat penguasaan hutan mangrove dan kaitannya terhadap kapitalisasi pertambakan (di kawasan Delta Mahakam), mengadung dimensi-dimensi struktural (sosiologis) dan prosesual (historis) sekaligus, maka agar kedua dimensi itu terungkap – pilihan strategi studi kasus yang akan dilakukan harus memadukan kedua pendekatan yaitu sosiologi sejarah (sejarah struktural) dan sejarah sosiologis (sejarah prosesual). Menurut Kartodirdjo (1992), pendekatan pertama akan menjelaskan “mengapa terjadi sesuatu” (konteks sosial kejadian), sedangkan yang kedua menjelaskan “bagaimana proses terjadinya sesuatu itu” (urutan kejadian).
77
Dengan memadukan kedua pendekatan tersebut, menurut Sitorus (1999) penelitian ini tidak lagi semata-mata sebagai studi sosiologi sejarah (historical sociology) yang bersifat statis, tetapi lebih dari itu telah menjadi studi sosiologi tentang sejarah sosial dengan tema utama dinamika perubahan sosial, termasuk ekonomi politik. Secara implisit pendekatan tersebut mengandaikan suatu kajian yang bersifat multidisiplin, melibatkan disiplin ilmu sosiologi, sejarah, antropologi dan ekonomi, bahkan ekologi. Syarat utama dalam melakukan studi Etnografi, peneliti harus hidup diantara objek dan subjek yang ditelitinya untuk jangka waktu yang relatif cukup bagi peneliti untuk dapat hidup terintegrasi dengan masyarakat yang ditelitinya. Keberadaan (keterlibatan) peneliti sangat dibutuhkan agar dapat mengembangkan kepekaan dalam berpikir, merasakan dan menginterpretasikan hasil-hasil pengamatannya dengan menggunakan konsep-konsep yang ada dalam pemikiran, perasaan dan nilai-nilai dari yang diteliti (Suparlan, 1997). Menggunakan suatu metode yang disebut Geertz (1975) sebagai deskripsi tebal (thick description) di dalam membuka dan menangkap kompleksitas jaringan-jaringan budaya. Metode ini berupaya “menarik kesimpulan yang luas dari hal yang kecil, tapi yang tersusun dari fakta-fakta yang padat“. Penekanan metode ini adalah suatu interpretasi dengan fokus etnografis dalam peristiwa-peristiwa kecil dan waktu riil daripada terobsesi untuk menemukan lautan makna dan merencanakan landscape yang abstrak. Dengan menggunakan thick description, seorang peneliti dituntut untuk berusaha menangkap irama dan cara berpikir pola kerja sistem budaya. Ia ditarik untuk mengkaji banyak detail dan menempatkan dirinya dalam pengertian “hadir disana” (being there), baik secara intelektual maupun emosional. Selain itu juga dibutuhkan “imaginasi sosiologis” untuk bisa melihat patronase pertambakan sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih luas, yang berfungsi sangat mendasar bagi pertumbuhan kegiatan industri perikanan berbasis perikanan budidaya. Karenanya peneliti tidak sekedar dituntut memahami relung-relung kehidupan rohani dan realitas kehidupan tineliti, melibatkan diri ke dalam segala aktivitas sehari-hari terkait ritual keagamaan dan aktivitas pertambakan yang menjadi konteks sosial budaya dari fenomena kebertahanan patronase. Namun juga harus mampu membayangkan irasionalitas dari kehidupan rohani yang mempengaruhi realitas kehidupan, bahkan mempengaruhi ekspektasi tindakan ekonomi rasional orang Bugis. Penelitian ini juga menggunakan Metode Partisipatif, yang meletakkan masyarakat bukan sebagai obyek, melainkan aktif mempengaruhi proses perolehan dan penjelasan pengetahuan. Metode partisipatif menggunakan analisis komperehesif, kontekstual dan multi level analisis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/ partisipan dalam proses tranformasi sosial. Satu hal mendasar dari metodologi
78
partisipatif adalah upaya kritisnya untuk tidak menempatkan pihak yang diteliti sebagai obyek (seperti yang terjadi dalam metodologi positivistik), namun memposiskan mereka sebagai subyek yang secara bersama-sama dengan peneliti menciptakan pengetahuan melalui proses refleksi diri. Masyarakat harus mampu melihat masalah mereka sendiri sebagai orang yang terlibat sehingga dari segi ontologis dan historis menjadi lebih manusiawi (Fernandes dan Tando, 1993). Dimana menumbuhkan kesadaran diri sendiri (self reflection) dan aksi (action) merupakan hal penting, karena dengan begitu masyarakat tidak keliru ketika berupaya memisahkan antara nilai-nilai kemanusiaan dan bentuk sejarah. Oleh karena itu, pusat perhatian
kritik
sosial
adalah
mengembangkan
pengertian
hubungan
antara
pengetahuan (knowledge) dan aksi (action). Pokok pikirannya berangkat dari satu kerangka pemikiran emansipatoris (pembebasan manusia). Bertumpu pada konsep refleksi diri, kritik sosial berusaha menghindarkan diri dan tidak berkutat dengan prinsip umum (teori), tapi lebih memberikan perhatian pada kesadaran untuk membebaskan manusia dan masyarakat dari belenggu pemikiran irrasional. Berupaya untuk senantiasa mengkritisi terus-menerus sistem pengaturan masyarakat dan perbagai sistem pengetahuan yang dianggap mapan. Dalam realisasi kerjanya, kritik diabdikan sebagai sarana untuk menghadirkan analisis yang akurat tentang sifat masyarakat demi terjaminnya kebebasan dari ketertindasan.
3.4
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
pengamatan berperan serta (participant-observation), Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam secara langsung pada tineliti – studi riwayat hidup. Dengan menekankan pada atribut-atribut elit ekonomi lokal (ponggawa) yang diasumsikan sebagai motor penggerak beroperasinya ekonomi lokal, peneliti tidak bermaksud untuk mengabaikan hubungan warga lokal biasa dalam proses pertumbuhan ekonomi lokal. Hal ini, lebih dikarenakan mereka (ponggawa) adalah kunci utama dari beroperasinya industri perikanan, yang juga menjadi simpul beroperasinya ekonomi lokal, sekaligus penghubung antara warga lokal biasa, klien, buyer dan pemerintah dalam kegiatan perikanan budidaya (udang). Studi riwayat hidup tineliti, dalam penelitian ini mencakup sebelas orang ponggawa yang berdomisili di sekitar kawasan Delta Mahakam yang dapat dikelompokkan sebagai berikut. 1) Satu orang ponggawa besar/ eksportir, yaitu Haji Mangkana 2) Empat orang ponggawa menengah, yaitu Haji Aco, Haji M. Ali, H. Hatta S dan Haji Alimuddin
79
3) Enam orang ponggawa kecil, yaitu Haji Samir Bin Saleng, Haji Sukri, Haji Sultan, Haji Alwi, Djumadi dan Haji Dahlan. Wawancara mendalam – studi riwayat hidup yang dilakukan pada tiga kelompok aktor pengusaha lokal (ponggawa), juga meliputi ponggawa berbeda generasi (perintis, pengikut dan penerus), untuk dapat memberikan gambaran komprehensif tentang dinamika keberadaan pengusaha lokal dari masa ke masa. Meskipun peneliti telah berulangkali melakukan pengamatan berperan serta dengan waktu yang cukup panjang di sekitar kawasan Delta Mahakam, namun harus diakui bahwa melakukan wawancara mendalam secara langsung pada tineliti – studi riwayat hidup bukanlah perkara mudah. Dalam berbagai kesempatan, peneliti sering mendapatkan penolakan, mulai dari penolakan halus hingga yang kasar dari sejumlah ponggawa bahkan dari para klien yang menjadi target wawancara. Dalam sebuah kesempatan observasi di Desa Muara Pantuan misalnya, peneliti harus mendapatkan penolakan kasar (jika tidak ingin disebut pengusiran) dari seorang ponggawa yang sejak awal ditetapkan sebagai target wawancara mendalam. Menurut informan kunci (peduduk lokal) yang juga menjadi pemandu dalam kunjungan itu, sepertinya ponggawa tersebut mencurigai peneliti sebagai “aparat” yang ingin mengorek infromasi tentang keterlibatan yang bersangkutan bersama sejumlah kliennya dalam berbagai kasus kekerasan di desa itu. Sementara sejumlah ponggawa lainnya melakukan penolakan secara halus, menjawab sejumlah pertanyaan seperlunya dan tidak
antusias
menerima
kehadiran
peneliti,
sehingga
tidak
memadai
untuk
dilakukannya penyusunan studi riwayat hidup yang komprehensif. Berbagai kondisi tersebut setidaknya telah memaksa peneliti melakukan sejumlah langkah pendekatan yang tidak terencana dan mengadaptasi situasi dan kondisi di lapangan, bahkan seringkali harus rela “menunggu” untuk mendapatkan momentum yang tepat. Untuk mendapatkan kesempatan mewawancarai ponggawa besar Delta Mahakam (seperti Haji Mangkana) yang merupakan aktor kunci dalam penelitian ini misalnya, peneliti harus menunggu hampir satu tahun lamanya. Berbagai jalur dan cara telah ditempuh peneliti untuk bisa mendapatkan akses bertemu Haji Mangkana, namun hasilnya tetap saja nihil. Tidak hanya surat resmi “pengatar penelitian” dari Pascasarjana IPB yang tidak berhasil memperantarai peneliti untuk bisa mewawancarai Haji Mangkana. Jalur formal melalui bantuan pendekatan dari aparat penyuluh lapangan (kantor perikanan kecamatan) hingga Dinas Perikanan Kabupaten, bahkan aparatur kecamantan pun gagal total. Demikian pula pendekatan jalur informal melalui para ponggawa menengah/ kecil yang menjadi supplier PT. Syamsurya Mandiri milik Haji Mangkana, juga melalui salah seorang karabat Haji Mangkana (yang kebetulan adalah teman lama peneliti), semuanya tidak membuahkan hasil. Hal ini tentu saja semakin
80
membuat peneliti penasaran, karena informasi menyangkut diri Haji Mangkana tidak sesuai dengan kenyataan. Sejumlah informan menyebut Haji Mangkana bukanlah tipe orang yang suka mempersulit orang lain dan sukar untuk ditemui, dia adalah seorang yang low profile tanpa batasan-batasan tertentu yang bisa ditemui siapapun dan dimanapun, meskipun cenderung tertutup. Namun, kenyataan menunjukkan hal lain. Titik terang baru terlihat, ketika Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur bersedia memfasilitasi peneliti, menghubungkan dengan Haji Mangkana melalui PT. Syamsurya Mandiri. Dengan “bersurat dinas” pada PT. Syamsurya Mandiri – selanjutnya didampingi salah seorang staf senior Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur, akhirnya peneliti berhasil menembus “ilusi barikade” yang melingkupi Haji Mangkana. Keberhasilan pendekatan jalur formal “tingkat atas” tersebut, tidak terlepas dari “campur-tangan” otoritas pemerintahan yang memiliki pengaruh terhadap kepentingan PT. Syamsurya Mandiri. Perlu diketahui, bahwa Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur selain menjadi regulator kebijakan perikanan, juga memiliki Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) yang bertugas melakukan berbagai pengujian produk perikanan (penentu kelayakan produk yang akan di ekspor). Dengan fungsi melekat seperti itu, tentu saja Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur, memiliki kemampuan untuk melakukan “intervensi” terhadap stakeholder yang terikat ketentuan ekspor perikanan. Intervensi dari otoritas yang memiliki pengaruh secara langsung terhadap kepentingan diri Orang Bugis seperti inilah yang menurut hemat penulis sangat efektif dalam membuka “ruang transformatif” bagi terjadinya peluruhan kecurigaan dan sikap apatis, sehingga akan sangat fungsional dalam ikut mentransformasikan ide-ide baru. Hal ini sekaligus menjadi penjelas bahwa pengusaha Bugis tidak hanya penuh kecurigaan terhadap hal baru, namun juga sangat pragmatis dalam menyikapi berbagai hal. Artinya, ketika dihadapkan pada kenyataan harus menerima hal baru, mereka akan cenderung mengkalkulasi kepentingan yang dipertaruhkan dan kekuatan seperti apa yang dihadapi. Selain faktor oportunisme dalam melihat realitas tersebut, sehingga tidak semata-mata karena alasan karakter pribadinya (misalnya; cenderung tertutup, low profile, suka mempersulit orang lain atau tidak). Meskipun pada awalnya peneliti hanya ditemui Wakil Direktur PT. Syamsurya Mandiri (yang juga adik Haji Mangkana) di dalam kantornya yang megah, didampingi Manejer Produksinya. Melalui sebuah diskusi ringan yang cukup hangat, kedua orang kepercayaan Haji Mangkana tersebut tidak hanya bersedia berbagi informasi terkait dengan riwayat serta seluk-beluk perusahaan, namun juga berhasil diyakinkan untuk bisa mengatur waktu bagi peneliti untuk mewawancarai Haji Mangkana secara
81
langsung. Akhirnya pada keesokan harinya peneliti berkesempatan mewawancarai “sang fenomenal” secara mendalam, di rumah pribadinya yang besar dan asri. Sebuah tahapan penelitian yang tidak hanya menguras energi, tapi juga membutuhkan kesabaran yang tak terkira. Selain melakukan wawancara mendalam – studi riwayat hidup dengan kesebelas orang ponggawa, peneliti juga melakukan wawancara mendalam dan FGD dengan sejumlah informan yang memiliki hubungan dekat dengan para ponggawa diatas, ada yang masih terikat hubungan keluarga, teman (sesama ponggawa dan teman sebaya), petambak bebas, klien (petambak terikat/ penjaga empang), pekerja/ buruh dan mantan pekerja/ buruh, tetangga dekat. FGD tidak dilakukan dengan tehnik yang ketat, namun disesuikan dengan situasi dan kondisi dilapangan, terkadang dilakukan di warung, di masjid setelah sholat ataupun di rumah-rumah penduduk, bahkan terkadang di pondok empang dengan sejumlah informan lokal tanpa direncanakan sebelumnya. Selain itu peneliti juga melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah informan kunci dan tokoh pemerintahan di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa/ kelurahan yang memiliki informasi luas dan kredibel terkait dengan keberadaan kegiatan usaha pertambakan di kawasan Delta Mahakam, berikut aktivitas para ponggawa-nya. Di dalam melakukan wawancara mendalam yang tidak terencana, peneliti seringkali harus “mengkondisikan” terbentuknya kelompok-kelompok sharing yang terdiri dari beberapa orang warga (3 – 7 orang) dengan berbagai profesi dan latarbelakang non ponggawa. Topik diskusi seringkali tidak terfokus pada satu hal, kadang topiknya menyangkut budaya dan kemasyarakatan, terkadang juga tentang sejarah dan kehidupan pribadi ponggawa yang menjadi patron mereka, selain praktek patronase yang mereka tradisikan. Sedangkan observasi partisipasif dilakukan dengan mengikuti kegiatan jual-beli udang (hasil panen tambak) yang merupakan manifestasi praktek patronase di kawasan Delta Mahakam. Peneliti juga mengunjungi sejumlah pos pembelian milik beberapa orang ponggawa yang menjadi ujung tombak beroperasinya usaha patronase pertambakan, selain mengunjungi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Samarinda, dimana sejumlah hasil produksi tambak yang tidak memenuhi standar ekspor dilempar. Beberapa temuan menarik pun berhasil terungkap dari kegiatan observasi pada pos-pos pembelian milik sejumlah ponggawa, seperti keberadaan sejumlah “ponggawa keturunan Cina” di Sungai Meriam, Muara Jawa dan Sanga-Sanga yang berhasil beradaptasi dan diterima oleh komunitas petambak Bugis di kawasan Delta Mahakam. Meskipun dengan menerapkan konsep patronase yang berbeda dengan para ponggawa Bugis. Juga keberadaan sejumlah ponggawa etnik non Bugis (Jawa dan Banjar) yang
82
berhasil eksis berkat kemampuan mereka beradaptasi dan berasimilasi melalui proses perkawinan. Dengan mengamati begitu banyak transaksi jual-beli di pos-pos pembelian milik para ponggawa, penulis berusaha mendapatkan konsepsi umum yang mendasari operasi patronase pertambakan, sehingga dapat membantu peneliti dalam merumuskan kekhasan patronase di kawasan Delta Mahakam. Sedangkan pengumpulan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait serta studi pustaka baik dari hasil-hasil penelitian terdahulu maupun tulisan-tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian dan dokumen sejarah. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif yang terdiri dari dua bagian. Pertama analisis data kualitatif yang merupakan
hasil
penelusuran
terhadap
pernyataan-pernyataan
umum
tentang
hubungan antara berbagai ketegori data untuk membangun pemahaman konseptual tentang realitas berdasarkan temuan data empirik. Meliputi analisis terhadap data yang dihasilkan dari pengamatan langsung secara berpartisipasi, FGD dan wawancara mendalam saat penelitian – studi riwayat hidup. Juga analisis terhadap data yang merupakan data sejarah dan teks-teks tentang kejadian masa lampau maupun kontemporer berkaitan dengan gejala sosial yang diteliti. Selanjutnya bagian kedua, merupakan pengkategorian data yang dilakukan sesuai dengan rumusan pertanyaan yang diajukan untuk mempermudah interpretasi, seleksi dan penjelasan dalam bentuk deskripsi analisis. Meskipun demikian, data-data dalam studi ini tidak semuanya terkait langsung dengan pertanyaan penelitian, sebagai data merupakan bagian dari upaya peneliti untuk memberikan perspektif historis dari diaspora etnik Bugis berikut tradisi patronasenya dalam konteks sosio-ekonomi lokal. Studi ini berusaha mengeksplorasi praktik patronase migran Bugis hingga jauh ke masa lampau, sehingga dinamika dan kebertahanan patronase yang berdimensi luas dalam perjalanan sejarah bangsa ini dapat tergambar dengan lebih utuh. Karenanya penelitian ini bukan hanya sekedar mencatat kondisi patronase saat ini, tetapi juga mencoba merekonstruksi peradaban yang berhasil dibangun migran Bugis diberbagai belahan nusantara. Bahkan, jauh sebelum bangsa Eropa berhasil menemukan pusat rempah-rempah dunia, hingga mampu membangun hegemoni kapitalismenya menjelang 1870. Para saudagar dan pelaut Bugis tampaknya telah melakukan kegiatan ekonomi yang berjangkauan luas, menghubungan hampir seluruh wilayah pesisir nusantara dengan aktifitas perdagangan antar pulau yang menguntungkan. Mengingat penelitian ini dilakukan dengan pendekatan subyektif, maka dibutuhkan mekanisme pertanggungjawaban keabsahan data, sejauh mana validitas internal atau kredibilitasnya. Sejauh mana temuan-temuan penelitian dapat dipercaya
83
sebagai “kebenaran” tentang gejala kebangkitan pembentukan ekonomi lokal pada masyarakat Bugis migran di kawasan Delta Mahakam. Upaya untuk mencapai kredibilitas menjadi penting untuk dicapai, mengingat peneliti adalah “orang luar” Bugis yang tidak berasal dari kebudayaan yang sama dengan tineliti. Beruntung, peneliti cukup familiar dengan kawasan Delta Mahakam, yang sejak 2002 telah menjadi “medan penelitian” bagi sejumlah penelitian profesional dan penulisan tesis S2 peneliti. Berbagai penelitian yang pernah diikuti peneliti di kawasan ini (dalam kurun waktu yang cukup lama), setidaknya telah menyediakan “ruang akses” yang cukup solid dari sejumlah informan kunci, sehingga mempermudah terbentuknya “lumbung informasi”. Selain, menjadi modal dasar bagi peneliti untuk melakukan observasi awal yang sistematis, terkait dengan perencanaan stategis dalam pengupulan data lapangan. Dalam kaitan tersebut peneliti juga menempuh sejumlah langkah yang telah digunakan Sitorus (1999) untuk lebih meningkatkan kredibilitas penelitian, melalui: a) Pengamatan berperan serta dan Interaksi berulang: Peneliti setidaknya telah melakukan aktivitas penelitian, advokasi dan pendampingan pada masyarakat di sekitar kawasan Delta Mahakam secara temporer sejak 2002 hingga 2005. Prapenelitian tentang Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Kawasan Delta Mahakam: Teori Pembentukan Kapitalisme Lokal telah dilakukan sejak bulan Maret 2007 hingga bulan Agustus 2008, untuk mendapatkan gambaran aktual dan komprehensif, serta menghimpun sejumlah data up to date yang terkait dengan
rencana
penelitian.
Pra-penelitian
tersebut,
dilakukan
dengan
mengunjungi sejumlah desa di kawasan Delta Mahakam secara bertahap, pada bulan Maret, Mei dan Agustus 2007, serta pada bulan Agustus 2008, dengan waktu kunjungan lapang yang bervariasi. Dengan menggunakan data prapenelitian tersebut, berhasil disusun sejumlah isu permasalahan, serta profil sosial budaya dan sumberdaya Delta Mahakam yang sangat mendukung penyusunan proposal penelitian, hingga pelaksanaan penelitian lanjutan. Penelitiannya lanjutan mulai dilakukan secara intersif pada bulan Maret s/d Juli 2009, selanjutnya dilakukan kunjungan ulang pada November 2009 s/d Maret 2010, Mei 2010 dan Agustus 2011. b) Triangulasi: Dilakukan dengan mengklarifikasi data dan informasi yang berasal dari sumber informasi dan cara pengumpulan data yang berbeda. Selain dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan secara intensif terhadap sebelas orang ponggawa pertambakan dan sejumlah informan kunci melalui diskusi atau FGD, data juga diperoleh dari wawancara bebas dengan aparat pemerintahan dan informan yang ditemui secara sengaja atau secara kebetulan. Selain
84
sumber primer, peneliti juga memanfaatkan data dari sumber-sumber sekunder dari berbagai instansi dan arsip, laporan serta buku yang terkait penelitian. c) Masukan Tineliti dan Informan Kunci: Hasil penelitian (disertasi) dan laporan project kegiatan yang diikuti peneliti (seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, peneliti juga terlibat secara intensif dalam berbagai penelitian di kawasan Delta Mahakam dengan sejumlah lembaga riset profesional pada saat melakukan penelitian disertasi). Hasilnya secara berkala dipresentasikan dan didiskusikan pada sejumlah forum formal maupun informal yang kadang dihadiri tineliti, informan dan aparat pemerintahan (yang pernah diwawancarai) untuk mendapatkan masukan dan kritikan.
3.5
Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah kawasan Delta Mahakam yang
terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur. Menurut Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Kawasan Delta Mahakam melingkupi lima kecamatan yang terbagi menjadi dua Zona. 1. Zona I, untuk pengembangan konservasi/ ekologis. Zona I ini meliputi, 3 Kecamatan Muara Badak, Anggana dan Muara Jawa yang terdiri dari 7 desa dan 4 kelurahan dengan luas 107.974,13 ha. Tabel 3. Jumlah Desa/ Kelurahan di Zona I Kawasan Delta Mahakam No
Kecamatan 1
Muara Jawa
2
Jumlah Anggana
3
Jumlah Muara Badak
Desa/Kelurahan Muara Jawa Tengah Muara Jawa Ulu Muara Kembang Anggana Sepatin Muara Pantuan Tani Baru Kutai Lama Handil Terusan Muara Badak Ulu Saliki
Jumlah Luas Total
Luas Wilayah (Ha) 3246,45 1724,02 9158,43 14.128,90 184,95 38885,46 14619,56 17032,13 4598,6 7501,41 82.822,11 976,71 10046,41 11.023,12 107.974,13
Sumber: Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara (2007) 2. Zona II, untuk pengembangan budidaya kawasan perkotaan. Zona II ini memiliki luas 216.909,82 ha, meliputi 5 Kecamatan Muara Badak, Anggana, Sanga-Sanga, Muara Jawa dan Samboja.
85
Meskipun menggunakan batasan admisnistratif sebagai dasar penyusunan lokasi penelitian. Dan hanya memusatkan penelitian di kawasan Delta Mahakam yang yang menurut Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara (2007), memiliki Zona I dengan sebelas desa, yakni; Desa Muara Jawa Tengah (Muara Jawa Pesisir), Muara Jawa Ulu dan Muara Kembang di Kecamatan Muara Jawa, Desa Anggana, Sepatin, Muara Pantuan, Tani Baru, Kutai Lama dan Handil Terusan di Kecamatan Anggana serta Desa Muara Badak Ulu dan Saliki di Kecamatan Muara Badak. Juga Zona II yang terdiri atas Desa Tama Pole, Dondang dan Muara Jawa Ilir di Kecamatan Muara Jawa, Desa Sungai Meriam di Kecamatan Anggana, serta Muara Badak Ilir dan Salopalai di Kecamatan Muara Badak, ditambah Desa Muara Sembilang di Kecamatan Samboja dan Desa Sanga-Sanga Dalam, Pendingin di Kecamatan Sanga-Sanga. Namun penelitian ini tidak secara ketat, terpaku mengobservasi dan menggali informasi di sekitar lokasi peneltian yang telah ditentukan. Mengingat banyaknya ponggawa dan informan kunci yang berdomisili di luar lokasi tersebut, khususnya di ibukota kecamatan ataupun di Kota Samarinda yang hanya berjarak sekitar 25 menit perjalanan mobil/ motor dari Sungai Meriam (Ibukota Kecamatan Anggana), selain di Kota Tenggarong. Keberadaan industri perikanan yang menampung hasil produksi pertambakan pun dibangun di luar pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam yang miskin sumber air bersih dan infrastruktur, serta relatif terisolir. Sungai Meriam menjadi base camp yang amat penting dalam kegiatan penelitian, mengingat letaknya yang sangat strategis menghubungkan Zona I/ II dan Kota Samarinda/ Tenggarong dengan Zona Inti kawasan Delta Mahakam (untuk menyebut Desa Sepatin, Muara Pantuan dan Tani Baru). Keberadaaan ibukota Kecamatan Anggana ini semakin penting artinya jika dikaitkan dengan pasokan produksi pertambakan dari kawasan Delta Mahakam yang sebagian besar (80% - 90%) mengalir ke Sungai Meriam melalui pos-pos pembelian yang berjumlah puluhan unit, untuk disalurkan pada PT. Syamsurya Mandiri. Juga karena besarnya populasi ponggawa Delta Mahakam yang berdomisili di desa ini. Peneliti seringkali memanfaatkan jasa angkutan sungai-laut (speedboat ataupun perahu motor) yang banyak mangkal di pelabuhan Sungai Meriam untuk memasuki Zona Inti. Dari Sungai Meriam ke Desa Muara Pantuan yang berjarak sekitar 41 Km misalnya, tersedia speedboat berpenumpang 4/5 orang yang dapat dicarter dengan biaya Rp. 500.000,- s/d Rp. 700.000,- atau dengan menggunakan perahu motor yang bertarif lebih murah. Setidaknya dibutuhkan waktu selama 2 – 4 jam perjalanan kearah timur dari pelabuhan Sungai Meriam untuk sampai ke Desa Muara Pantuan. Sedangkan dari Anggana ke Samarinda – Tenggarong banyak tersedia anggkutan umum, sementara untuk menjangkau Muara Badak ataupun Muara Jawa bisa dengan
86
mencarter speedboat dari Sungai Meriam atau menggunakan jalur darat via Samarinda, karena rusaknya jalur pintas yang menghubungkan Sungai Meriam – Muara Badak.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian Sumber: Bappeda (2007) Mengingat luasnya wilayah penelitian, peneliti memilih untuk lebih memfokuskan diri memotret realitas dan melakukan penggalian data di Desa Muara Pantuan dan Sepatin (Zona I sekaligus Zona Inti), serta di Desa Sungai Meriam (Zona II). Meskipun demikian peneliti tetap melakukan observasi di sebelas desa yang termasuk dalam Zona I lainnya, selain mengunjungi desa-desa di dalam Zona II. Desa Muara Pantuan
87
dan Sepatin, dipilih karena memiliki area pertambakan dan jumlah populasi petambak terbesar, serta dapat merepresentasikan karakteristik Delta Mahakam secara keseluruhan (bagaimana dan mengapa praktik pertambakan tradisonal secara massive diterapkan migran Bugis). Selain karena peneliti lebih familiar dengan “kondisi lapangan” dan masyarakat di kedua desa tersebut. Sementara Desa Sungai Meriam, dianggap sebagai simpul utama dari beroperasinya industri perikanan di kawasan Delta Mahakam
yang
menggerakkan
pertumbuhan
ekonomi
lokal,
sehingga
harus
mendapatkan porsi perhatian khusus. Kunjungan berulang ke beberapa pos pembelian milik para ponggawa yang tersebar di kawasan Delta Mahakam juga selalu dilakukan peneliti untuk mendapatkan gambaran komprehensif atas beroperasinya jaringan produksi dan patronase pertambakan.
3.6
Jadwal dan Tahapan Penelitian Pra-penelitian telah dilakukan sejak bulan Maret 2007 hingga bulan Agustus
2008, guna mendapatkan gambaran aktual dan komprehensif, serta menghimpun sejumlah data up to date yang terkait dengan rencana penelitian. Pra-penelitian tersebut, dilakukan dengan mengunjungi sejumlah desa di kawasan Delta Mahakam secara bertahap, pada bulan Maret, Mei dan Agustus 2007, serta pada bulan Agustus 2008, dengan waktu kunjungan lapang yang bervariasi. Menggunakan fasilitas dari project kegiatan yang peneliti ikuti, peneliti berhasil mengunjungi sebelas desa di Zona I dalam kurun Maret 2007 s/d Agustus 2008. Dengan menggunakan data pra-penelitian tersebut, berhasil disusun sejumlah isu permasalahan, serta profil sosial budaya dan sumberdaya Delta Mahakam yang sangat mendukung penyusunan proposal penelitian, hingga pelaksanaan penelitian lanjutan. Meskipun demikian data yang diperoleh sebagian terbesar adalah data kegiatan pertambakan yang dikumpulkan ditingkat komunitas dan kawasan, sehingga belum mencerminkan realitas di tingkat individu, khususnya para ponggawa. Pasca konsultasi perbaikan proposal selama Maret 2009, peneliti berhasil memperoleh bentuk draft panduan pertanyaan sistematis dan “ideal”, yang dianggap akan dapat dioperasionalkan selama dilapangan. Penelitian lanjutan yang lebih intensif, akhirnya mulai dilakukan pada April s/d Agustus 2009. Selama hampir lima bulan kunjungan dilapangan di beberapa desa Zona Inti kawasan Delta Mahakam (Desa Sepatin, Muara Pantuan dan Tani Baru), peneliti berhasil mendapatkan gambaran yang lebih up to date tentang berbagai permasalahan terkait dengan penelitian, hingga terhimpunnya sejumah data sekunder dari berbagai instansi dan perorangan yang dapat mendukung kegiatan penelitian. Juga terkumpul beragam detail penelitian dari catatan harian selama di lapangan, yang akan sangat penting dalam membuat interpretasi data
88
hingga pendalaman analisa. Selain tergalinya latar belakang historis kemunculan dan kelangsungan sosio-kultural dan ekonomi golongan ponggawa dengan cukup mendalam dan akurat. Juga sejarah penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, khususnya hutan mangrove (Kawasan Budidaya Kehutanan) yang kelak dikonversi menjadi area pertambakan. Meskipun demikian, harus diakui bahwa dinamika dilapangan seringkali “memaksa” peneliti untuk tidak menggunakan draft panduan pertanyaan yang secara akdemis telah dianggap “ideal”, karena terkesan formal, “kurang mengalir” dan tidak membuat nyaman tineliti. Seringkali, peneliti juga mendapatkan hambatan bahasa dalam melakukan wawancara, karena tidak semua tineliti mampu berkomunikasi secara lancar menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai “orang luar” Bugis yang dibesarkan di Samarinda dan terbiasa berinteraksi dengan orang Bugis (sebagai salah satu etnis mayoritas di Kota Samarinda), peneliti merasa beruntung karena “dapat sedikit” menangkap makna bahasa tubuh dan beberapa kalimat sederhana yang mereka katakan dalam bahasa Bugis. Sedangkan untuk mendalami kosa kata yang tidak dapat dipahami, peneliti harus berkonsultasi pada sejumlah “kolega/ teman Bugis”, sehingga mendapatkan pemahaman memadai. Meskipun harus diakui, jika seringkali makna yang terungkap menjadi bias karena kehilangan konteksnya. Dibimbing oleh keadaan di lapangan, peneliti juga mulai memahami, mengapa pada
saat
nyorong
wawancara
menjadi
tidak
mungkin
dilakukan
disekitar
perkampungan, karena hampir semua petambak dan ponggawa berada di empangempang mereka. Tidak cukup hanya dengan memahami, disini peneliti dituntut untuk bisa adaptif dan tidak mudah “patah arang”, bergegas mengatur strategi wawancara ataupun diskusi dengan informan kunci ataupun tineliti langsung di tambak ataupun di tempat-tempat tertentu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Hasilnya pun kadang tidak terduga, bisa mendapat penolakan atau diterima dengan baik plus berkesempatan “menangkap realitas” nyorong, sebuah prosesi “panen
kecil” untuk
memanen udang bintik dan berbagai jenis ikan (tidak dibudidayakan dengan sengaja) yang biasanya berlangsung setiap dua minggu sekali. Berbagai realitas empirik tidak terduga seperti inilah yang seringkali memberikan warna berbeda bagi penelitian mikro seperti ini. Proses analisis awal terhadap hasil pengamatan berperan serta dan hasil dokumentasi, FGD, wawancara mendalam secara langsung mulai dilakukan disaat senggang, ketika mengisi waktu luang selama dilapangan. Sedangkan analisis awal terhadap hasil studi pustaka, terhadap teks-teks akademis yang memiliki pengaruh signifikan terhadap penelitian dan mempertautkannya dengan hasil analisis data primer, hingga manjadi draft sederhana, mulai dilakukan sejak September s/d November 2009.
89
Berharap menemukan realitas subjektif, peneliti kembali melakukan kunjungan ulang ke lapangan di akhir November 2009 s/d Maret 2010. Sekedar melakukan pengamatan berperan serta dan mendapatkan data riwayat hidup dari tokoh kunci dalam penelitian ini, yakni ponggawa besar Delta Mahakam (Haji Mangkana). Berdasar pada pemahaman bahwa hampir semua ponggawa di kawasan Delta Mahakam memiliki lebih dari satu rumah, selain di desa-desa dalam kawasan Delta Mahakam (biasanya berupa rumah yang sekaligus menjadi pos pembelian), juga memiliki rumah di ibukota kecamatan atau bahkan di Kota Samarinda. Peneliti dalam kesempatan ini lebih banyak berfokus di luar kawasan pulau-pulau di Delta Mahakam, khususnya di ibukota Kecamatan Anggana (Sungai Meriam), Muara Badak dan Muara Jawa, tempat dimana banyak ponggawa besar-menengah Delta Mahakam menetap. Sementara selama di Kota Tenggarong dan Samarinda peneliti lebih banyak melakukan diskusi dengan sejumlah informan kunci yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mendalam tentang kegiatan pertambakan dan sejarah industri perikanan di kawasan Delta Mahakam, selain mengunjungi beberapa lembaga sektoral ditingkat Kabupaten dan Propinsi yang berkepentingan terhadap kawasan ini. Meskipun demikian, dalam beberapa kesempatan peneliti juga melakukan kunjungan pada sejumlah pos pembelian milik ponggawa yang terletak di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam untuk memotret realitas, serta memperdalam unit analisa dan akurasi data. Seringkali peneliti harus “nebeng” menggunakan kapal milik petambak atau ponggawa, bahkan kapal milik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kutai Kartanegara untuk menjangkau pos-pos pembelian milik para ponggawa, karena kapal-kapal angkutan umum tidak melayani rute tersebut. Alhasil, lebih dari yang diharapkan, kunjungan lapang selama hampir empat bulan tersebut, tidak hanya berhasil mempertemukan peneliti dengan beberapa orang informan kunci baru yang memiliki banyak informasi, bahkan menyimpan sejumlah data historis terkait dengan keberadaan industri perikanan di Sungai Meriam (yang kelak memberi warna tersendiri bagi keragaman data dalam disertasi). Namun juga memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mengakses sejumlah data time-series terkait kegiatan industri perikanan (berikut nilai produksinya), bahkan data historis perusahaan-perusahaan perikanan di pantai timur Kalimantan yang telah collapse dari institusi terkait dan para pelaku sejarah. Tentunya selain, mendapatkan kesempatan bertemu dan mewawancarai langsung tokoh kunci dari kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam (Haji Mangkana), sekaligus mewawancarai ulang sejumlah ponggawa kecil – menengah. Dari berbagai diskusi dengan informan kunci dan wawancara mendalam dengan tokoh kunci ini, peneliti berusaha memahami etika moral yang terkandung dalam siri’ passe’ dan were’. Juga ekspektasi tindakan sosio-ekonomi
90
orang Bugis, dengan “berkaca” pada sejumlah pappanngaja dan paseng yang masih hidup dalam masyarakat. Selanjutnya pada pertengahan Mei 2010, penulis berkesempatan kembali melakukan kunjungan lapangan dan FGD di Desa Salo Palai, Kecamatan Muara Badak dan Desa Sungai Meriam di Kecamatan Anggana yang terletak di Zona II (selama dua minggu
difasilitasi
sebuah
project
penelitian).
Kunjungan
tersebut,
sekaligus
dimanfaatkan peneliti untuk melakukan pemutakhiran data primer dan sekunder. Selama kurun waktu Mei 2010 s/d pertengahan Juli 2011, peneliti berusaha melakukan proses analisis data kualitatif berdasarkan temuan empirik dan pengkategorian data yang dilakukan sesuai dengan rumusan pertanyaan penelitian. Hasil penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan antara berbagai ketegori data tersebut, digunakan untuk membangun pemahaman konseptual tentang realitas, sehingga mempermudah interpretasi, seleksi dan penjelasan dalam bentuk deskripsi analisis. Meskipun harus diakui, bahwa tidak mudah bagi peneliti untuk bisa melakukan “kontemplasi akademis” secara total di tengah “jadwal ketat” menyelesaikan laporan project kegiatan yang peneliti ikuti. Konsekuensi “pilihan sulit” yang harus peneliti ambil inilah yang kemudian sedikit-banyak telah mengorbankan waktu penulisan draft disertasi hingga layak uji. Meskipun terseok-seok, akhirnya draft disertasi yang masih jauh dari sempurna ini berhasil di seminarkan pada 23 Juni 2011 dan di uji secara tertutup pada 16 Juli 2011. Sebelum draft disertasi di uji secara terbuka pada 03 Oktober 2011, peneliti kembali berkesempatan melakukan pemutakhiran data primer. Ketika selama dua minggu di awal Agustus 2011 (difasilitasi sebuah project penelitian yang lain), peneliti mengunjungi Kelurahan Muara Kembang di Kecamatan Muara Jawa dan Desa Kutai Lama di Kecamatan Anggana yang terletak di Zona I, serta Kelurahan Pendingin di Kecamatan Sanga-Sanga yang terletak di Zona II. Demikianlah, berbagai aspek yang coba diungkap penelitian ini tidak hanya menuntut ketekunan dan kerelaan dalam “menikmati kerasnya petualangan akademis” selama di lapangan yang sangat menantang dan terkesan tidak beraturan. Namun juga kepekaan akademis untuk mengamati berbagai artefak sejarah semisal; makam tua, cerita tutur dan sejumlah pappanngaja dan paseng. Selain membutuhkan konsentrasi akademik untuk membaca ulang naskah-naskah lama seperti; epos La Galigo, Latoa dan sejumlah hasil penelitian tentang orang Bugis. Penelitian ini pun membawa peneliti mengunjungi sejumlah “tempat keramat” yang terkait dengan peradaban kawasan Delta Mahakam, yaitu; Tanjung Una/ Arwana, Sungai Tempurung (Hulu Dusun), Sungai Kelambu, Sungai Tiram, Pamangkaran dan makam tua di Tanjung Tengah.