III. BAHAN DAN METODE 3.1. BAHAN DAN ALAT 3.1.1. Bahan Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan yogurt adalah susu skim bubuk, kultur murni (Lactobacillus bulgaricus FNCC 004P, Streptococcus thermophillus FCNN 1903, Lactobacillus fermentum 2B4, dan Lactobacillus plantarum 2C12), fruktooligosakarida (FOS) Orafti®, akuades dan sukrosa. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bahan ransum, bahan analisis mikrobiologi dan bahan analisis histologi dan imunohistokimia. Bahan ransum antara lain AMDK, kasein, CMC (carboxymethylcellulosa), minyak jagung, mineral mix, vitamin mix, dan pati jagung. Bahan analisis mikrobiologi yang digunakan antara lain akuades, MRSB (de Man Rogosa Sharpe Broth), MRSA (de Man Rogosa Sharpe Agar), NA (Nutrient Agar), NB (Nutrient Broth), EMBA (Eosin Methylene Blue Agar), spirtus, dan KH2PO4. Bahan yang digunakan untuk pewarnaan hematoksilin-eosin dan imunohistokimia antara lain tikus, larutan Bouin (campuran asam pikrat, formaldehid 4%, dan asam asetat glasial 15:5:1), alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol absolut, xylol, parafin, akuades, hematoxylin, eosin alkohol, metanol, H2O2, serum normal, PBS (Phosphate Buffered Saline), aquabidest, antibodi primer IgA, antibodi sekunder Dako K1491, kromogen diamino benzidine (DAB), larutan neofren, toluen, dan entelan.
3.1.2. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat analisis mikrobiologi, alat pemeliharaan hewan uji dan alat analisis histologi dan imunohistokimia. Alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi antara lain cawan petri, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, labu takar, erlenmeyer, pipet, mikropipet, gelas pengaduk, sudip, jarum ose, bunsen, autoklaf, oven, dan inkubator. Alat pemeliharaan hewan uji adalah kandang, tempat ransum, botol minum, sonde, timbangan dan saringan. Alat yang digunakan untuk proses pewarnaan hematoksilin-eosin dan imunohistokimia antara lain botol sampel, silet, alat bedah, waterbath, mikroskop, cetakan blok (pagoda), bunsen, balok kayu, gelas objek, mikrotom, inkubator, cover glass, gelas ukur, pipet, tabung ependorf, mikropipet, dan refrigerator.
3.2. METODE Metode penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama (Gambar 6). Penelitian pendahuluan berupa pengujian antibakteri terhadap EPEC secara in vitro. Penelitian utama berupa pengujian aktivitas antidiare dan imunomodulator secara in vivo pada tikus percobaan.
Penelitian Pendahuluan
Pembuatan formula yogurt sinbiotik: 1. F1: L. bulgaricus + S. thermophillus + FOS 5% 2. F2: L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + FOS 5% 3. Formula 3: L. bulgaricus + S. thermophillus + L. fermentum 2B4 + FOS 5% 4. Formula 4: L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4 + FOS 5%
Pengujian antibakteri penyebab diare secara in vitro Diperoleh formula terbaik yogurt sinbiotik
Penelitian Utama
Pengujian antidiare formula yogurt sinbiotik terbaik secara in vivo yang terdiri dari kelompok: 1. Kontrol negatif 2. Kontrol positif 3. Yogurt sinbiotik formula terbaik 4. Yogurt sinbiotik formula terbaik + EPEC 5. Yogurt prebiotik Dilakukan terminasi terhadap tikus percobaan
Analisis profil histologi dan imunohistokimia IgA duodenum tikus percobaan Gambar 6. Diagram alir penelitian
3.2.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini merupakan pengujian antibakteri terhadap EPEC secara in vitro.
3.2.1.1. Pembiakan Kultur Penelitian ini diawali dengan pembiakan kultur yogurt yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus termophilus serta BAL probiotik indigenus (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4). Kultur murni disegarkan pada media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB), dengan cara memasukkan 1 ml kultur murni ke dalam 10 ml MRSB, kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Setelah didapatkan kultur murni segar, sebanyak 2% kultur murni diinokulasikan ke dalam larutan susu skim steril 10%. Kultur tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam yang hasilnya disebut kultur induk. Sebanyak 2% dari kultur induk diinokulasikan ke dalam larutan susu skim steril 10 % yang ditambah glukosa 2% dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam yang hasilnya disebut kultur kerja. Kultur kerja dipupukkan pada media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA) untuk mengetahui populasinya. Kultur yang memenuhi syarat untuk siap dijadikan kultur starter yogurt adalah kultur dengan populasi ≥ 108 cfu/ml.
3.2.1.2. Pemeliharaan Kultur Stok Kultur stok diperbaharui setiap minggu agar aktivitasnya tidak berkurang. Kultur stok yang disimpan terlalu lama dapat mengakibatkan berkurangnya aktivitas bakteri karena habisnya substrat dan penumpukan metabolit. Pemeliharaan kultur stok menggunakan metode Hariyadi et al. (2001), yaitu dengan metode tusukan pada chalk semi solid. Kultur ditusukan ke media chalk semi solid, kemudian diinkubasikan pada suhu 43o-45oC selama 24 jam. Setelah diinkubasi kultur disimpan dalam refrigerator. Pada saat akan digunakan kembali, kultur diambil sebanyak 1 loop dari media chalk semi solid kemudian diinokulasikan ke dalam MRSB dan diinkubasi pada suhu 43o-45oC selama 24 jam.
3.2.1.3. Pembuatan Yogurt Sinbiotik BAL indigenus yang diperoleh dari isolasi bakteri pada daging sapi pasar tradisional Bogor yaitu Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, selanjutnya diaplikasikan pada pembuatan yogurt sinbiotik (mengandung probiotik dan prebiotik). Jenis prebiotik yang ditambahkan dalam masing-masing formula yogurt adalah FOS 5%. Keempat jenis formula yogurt sinbiotik yang akan dibuat adalah: 1. 2. 3. 4.
L. bulgaricus + S. thermophillus L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 L. bulgaricus + S. thermophillus + L. fermentum 2B4 L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4.
Pembuatan yogurt sinbiotik ini diawali dengan pencampuran antara 12 % susu skim bubuk, 5% FOS dan 5% sukrosa, dan sisanya air. Kemudian larutan tersebut dipasteurisasi pada suhu 85oC selama 30 menit. Setelah itu ditunggu hingga suhu mencapai 45oC, kemudian 3% kultur kerja campuran (1:1) diinokulasikan ke dalam larutan tersebut. Larutan yang telah berisi kultur kerja
dimasukkan ke dalam cup-cup yang telah disterilisasi. Kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Setelah inkubasi selama 24 jam, yogurt dalam cup-cup tersebut dimasukkan ke dalam refrigerator pada suhu 10oC selama 2-3 jam untuk menghambat laju fermentasi.
3.2.1.4. Uji Antibakteri Penyebab Diare Yogurt Sinbiotik (in vitro) Setelah didapatkan empat formula dari yogurt sinbiotik, kemudian dilakukan uji penghambatan terhadap bakteri penyebab diare melalui uji kontak. Uji kontak adalah metode untuk mengevaluasi daya antimikroba suatu zat dengan cara membandingkan jumlah bakteri uji, sebelum dan sesudah mengalami kontak dengan zat tersebut (Fardiaz 1989). Tahap awal uji kontak adalah mempersiapkan kultur bakteri uji, yaitu bakteri Enterophatogenic Escherichia coli K1.1 (EPEC K1.1) umur 24 jam. Kemudian ke dalam yogurt dimasukkan 1% bakteri EPEC K1.1 umur 24 jam dari media Nutrient Broth (NB). Jumlah ini setara dengan 106 sel EPEC K1.1 yaitu jumlah yang cukup untuk menyebabkan diare. Yogurt yang telah dikontaminasi dengan EPEC K1.1, divorteks untuk menyebarkan sel-sel bakteri. Yogurt tersebut diinkubasikan selama 2, 4 dan 6 jam pada suhu 37oC. Setelah selesai diinkubasi, dilakukan penghitungan banyaknya sel EPEC K1.1 yang bertahan hidup melalui metode hitungan cawan dengan media selektif Eosin Methylen Blue Agar (EMBA). Selain itu, juga dilakukan penghitungan jumlah sel 1% EPEC K1.1 sebelum dilakukan kontak dengan yogurt melalui metode hitungan cawan dan menggunakan media selektif EMBA. Selisih jumlah EPEC K1.1 sebelum dan sesudah kontak menjadi tolok ukur daya antibakteri yogurt, semakin besar selisihnya maka semakin potensial yogurt tersebut sebagai antibakteri penyebab diare.
3.2.2. Penelitian Utama Penelitian utama merupakan uji imunomodulator dan antidiare yogurt sinbiotik secara in vivo menggunakan tikus percobaan yang diinjeksi dengan EPEC.
3.2.2.1. Pengelolaan Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus albino Norway rats (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu berjenis kelamin jantan yang berasal dari Pusat Studi Biofarmaka Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB). Kandang yang digunakan adalah kandang plastik berwarna yang berukuran 17.5 x 23.75 x 17.5 cm, dengan jumlah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan yaitu 70 ekor. Kandang plastik tersebut ditutup menggunakan kawat besi. Alas dalam kandang menggunakan sekam padi yang telah disterilisasi dan diganti 3 hari sekali. Kandang tikus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut, dan terjaga dari asap industri atau polutan lainnya. Lantai mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24oC dan kelembaban udara 50-60%, dengan ventilasi yang cukup namun tidak ada jendela yang terbuka (Muchtadi 1993). Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap tiga hari sekali dan pada saat akan dilakukan terminasi. Pemberian ransum standar dilakukan setiap hari sebanyak 20 gram (ad libitum), yang sebelumnya telah dilakukan masa adaptasi selama 3 hari. Air minum yang digunakan merupakan air minum dalam kemasan yang diganti setiap harinya.
3.2.2.2. Ransum Komposisi ransum basal disusun berdasarkan AOAC (1995) dan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi campuran ransum basal Bahan-bahan
Jumlah (%)
Protein kasein (10%) (a) Minyak jagung (b) Campuran mineral (c)
Komposisi (%)
a = 1.60 x 100% N kasein
11.87
[(8 – a) x % kadar lemak]/ 100
7.87
[(5 - a) x % kadar abu]/100
4.79
Campuran vitamin (d)
1
CMC (carboxymethylcellulosa) (e)
1.00
[(1 – a) x % kadar serat]/100
1.00
Air (f)
[(5 – a) x % kadar air]/100
3.62
Maizena (pati jagung)
100 – (a + b+ c + d + e + f)
69.85
Sumber : AOAC (1995)
3.2.2.3. Uji Imunomodulator dan Antidiare Yogurt Sinbiotik ( in vivo) Pengujian ini dilakukan sesuai petunjuk Zoumpopoulou et al.(2008) hanya berbeda bakteri patogen yang digunakan. Yogurt dengan populasi BAL sebanyak 109cfu/ml diberikan kepada tikus percobaan sebanyak 1 ml/hari, sedangkan populasi EPEC diberikan dengan dosis 107 cfu/ml sebanyak 1 ml/hari. Tikus dibagi menjadi enam kelompok, seperti pada Tabel 7 dan Gambar 7. Adaptasi dilakukan selama tiga hari pertama dengan pemberian makanan ransum basal terhadap semua tikus. Setiap kelompok terdiri dari 15 ekor tikus sebagai ulangan kecuali kelompok tikus yogurt prebiotik yang terdiri dari 5 ekor. Pembedahan tikus untuk analisis peubah yang diamati dilakukan pada hari ke-7, 14, dan 21, masing-masing sebanyak lima ekor sebagai ulangan. Selain itu terdapat pula lima ekor tikus sebagai kelompok baseline yang akan dibedah pada hari ke-0 setelah masa adaptasi. Dengan demikian jumlah tikus yang digunakan adalah 70 ekor tikus. Pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 dilakukan melalui pencekokan. Kelompok tikus yang tidak mendapatkan perlakuan yogurt sinbiotik dan atau EPEC K1.1 dicekok menggunakan air minum sehingga mengalami stres yang sama dengan tikus yang dicekok dengan yogurt sinbiotik dan atau EPEC K1.1. Tabel 7. Kelompok tikus percobaan berdasarkan perlakuan yang diberikan Kelompok
Perlakuan
Tikus A
Ransum basal/ kontrol negatif
B
Ransum basal dan yogurt sinbiotik F3 (L.fermentum + FOS 5%)
C
Ransum basal, yogurt sinbiotik F3 dan EPEC K1.1
D
Ransum basal dan EPEC K1.1/ kontrol positif
E
Ransum basal dan yogurt prebiotik
H(-3)
H(0)
H(7)
H(14)
H(21)
T2
T3
Cekok EPEC
Adaptasi
106 cfu/ml
T0
T1
Gambar 7. Bagan perlakuan tikus percobaan
Keterangan : T0= terminasi awal (5 ekor) T1= terminasi hari ke-7 (5 ekor tikus setiap kelompok) T2= terminasi hari ke-14 (5 ekor tikus setiap kelompok) T3= terminasi hari ke-21 (5 ekor tikus setiap kelompok)
Pemberian yogurt sinbiotik F3 dilakukan selama 3 minggu dari H0 hingga H20 pada kelompok tikus yogurt sinbiotik (B) dan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (C). Pemberian cekok EPEC K1.1 dilakukan selama 1 minggu yaitu pada H7 hingga H13 pada kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (C) dan kelompok tikus kontrol positif (D). Pemberian yogurt prebiotik dilakukan selama 3 minggu dari H0 hingga H20 pada kelompok tikus yogurt prebiotik (E).
3.2.2.4. Pengambilan dan Pengukuran Kadar Air Sampel Feses Tikus Pengukuran kadar air feses bertujuan untuk melihat terjadinya diare pada tikus percobaan. Kadar air feses yang tinggi menjadi indikator terjadinya pada tikus percobaan. Feses tikus percobaan diambil secara aseptik langsung dari anus tikus dan diletakkan dalam plastik steril. Pengambilan sampel feses dilakukan selama pemberian cekok EPEC K1.1 dan setelah pemberian EPEC K1.1 dihentikan. Sampel feses tikus percobaan diletakkan dalam cawan aluminium yang telah dioven selama minimal 30 menit dan ditimbang. Kemudian sampel feses dalam cawan ditimbang untuk mendapatkan data berat feses awal. Sampel feses dalam cawan kemudian dimasukkan ke dalam oven pengering dan dikeringkan selama 24 jam. Setelah 24 jam sampel feses dalam cawan ditimbang untuk mendapatkan data berat akhir. Penghitungan kadar air feses tikus percobaan menggunakan Rumus 1. Rumus : (W – (W1 – W2)) x 100
(1)
W Keterangan : W = bobot contoh sebelum dikeringkan W1 = bobot contoh + cawan kering kosong W2 = bobot cawan kosong
3.2.2.5. Analisis Histologi Jaringan Usus Halus (Kiernan 1999) Analisis histologi jaringan usus halus (duodenum) tikus percobaan dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Awalnya, jaringan usus halus (duodenum) dipotong sepanjang 2 cm (masing-masing) setelah hewan dikorbankan, kemudian difiksasi terlebih dahulu selama 24 jam
dengan larutan Bouin. Larutan Bouin terdiri dari larutan asam pikrat jenuh, formalin p.a., dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15 : 5 : 1. Lalu, sampel tersebut didehidrasi dengan alkohol bertingkat. Untuk tahap dehidrasi ini, alkohol yang digunakan secara berturut-turut adalah alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%, masing-masing selama 24 jam. Setelah itu, tahap dehidrasi ini dilanjutkan dengan menggunakan alkohol absolut I, II, dan III, masing-masing selama 1 jam. Tahap berikutnya adalah penjernihan (clearing). Pada tahap ini, sampel yang telah didehidrasi dimasukkan ke dalam xylol I, II, dan III, masing-masing selama 1 jam. Pada xylol III, 30 menit pertama dilakukan di suhu ruang, 30 menit berikutnya di dalam inkubator suhu 60oC. Selanjutnya, dilakukan tahap infiltering (infiltrasi) dengan memasukkan sampel ke dalam parafin I, II, dan III, masing-masing selama 1 jam pada suhu 60°C. Setelah itu, dilakukan tahap embedding (pencetakan) yaitu penanaman jaringan dalam parafin yang kemudian dibuat blok-blok jaringan. Setelah itu, jaringan usus yang sudah berada dalam bentuk blok parafin dipotong setebal 4 µm dengan mikrotom. Hasil potongan tersebut kemudian direndam dalam akuades, lalu dibentangkan dalam akuades yang dipanaskan dalam waterbath suhu 40 - 45°C. Selanjutnya, jaringan tersebut diletakkan pada gelas objek, lalu dimasukkan ke dalam inkubator 40°C selama ± 24 jam. Jaringan pada gelas obyek yang telah siap untuk diwarnai kemudian dideparafinisasi dengan xylol kemudian direhidrasi dengan alkohol bertingkat. Pada tahap deparafinasi, jaringan pada gelas objek yang telah diinkubasi dicelupkan ke dalam xylol III, II dan I selama 3 menit. Lalu pada tahap rehidrasi, jaringan dicelupkan ke dalam alkohol absolut III, II, dan I selama 3 menit, alkohol 95%, 90%, 80% dan alkohol 70% selama 3 menit. Setelah itu, dilakukan pencucian dengan air kran selama 10 menit, kemudian dengan akuades selama minimal 5 menit (stopping point). Selanjutnya, potongan jaringan tersebut diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin (HE) dengan pencucian air kran dan akuades di antaranya. Pewarnaan dengan hematoksilin dilakukan selama 1 – 2 menit kemudian jaringan tersebut dicuci dengan air kran selama 10 menit dan akuades selama minimal 5 menit (stopping point). Lalu, pewarnaan dilanjutkan dengan Eosin selama 2 menit kemudian dilanjutkan dengan dehidrasi. Dehidrasi dilakukan dengan mencelupkan sampel jaringan ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95% selama beberapa detik, yang dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam alkohol absolut I selama beberapa detik, alkohol absolut II dan alkohol absolut III selama 1 menit. Tahap selanjutnya adalah tahap penjernihan ulang (clearing) dilakukan dengan mencelupkan sampel jaringan ke dalam xylol I selama beberapa detik, xylol II dan III selama 1 menit. Selanjutnya, tahap mounting dilakukan dengan menetesi sampel jaringan dengan entelan atau kanada balsam, kemudian sampel jaringan tersebut ditutup dengan cover glass. Setelah itu, dilakukan pengamatan terhadap gambaran umum histopatologi jaringan usus halus (duodenum), persentase kerusakan vili dan pengukuran rata-rata tebal mukosa usus duodenum.
3.2.2.6. Analisis Imunohistokimia IgA Usus Halus (Kiernan 1999) Analisis kandungan imunoglobulin A (IgA) pada usus halus tikus percobaan dilakukan menggunakan teknik pewarnaan imunohistokimia (Kiernan 1990). Pewarnaan imunohistokimia bertujuan untuk melihat komponen aktif, seperti enzim dan hormon, yang terdapat di dalam sel atau jaringan. Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan kunci dan gembok antara antigen (Imunoglobulin A) dan antibodi (anti-IgA). Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia dapat dilihat pada Gambar 8.
G Gambar 8. Prinnsip teknik pew warnaan imunoohistokimia Imunogloobulin A yangg terdapat dalaam jaringan (m mukosa usus) dikenal sebag gai antigen olleh a antibodi primeer (anti-IgA). Antibodi A primeer berikatan deengan antigen, selanjutnya anntibodi sekundder y yang dikonjug gasi dengan peeroksidase akaan bereaksi deengan antibodii primer, sehin ngga keberadaaan p peroksidase inii melambangkaan adanya kom mpleks antigen--antibodi. P eroksidase ini berfungsi untuuk m mengkatalis reeaksi antara krromogen (diam mo benzidine atau DAB) daan hidrogen peroksida p (H2O2) s sehingga terbentuk endapaan warna cokklat sebagai visualisasi v adaanya IgA. Deengan demikiian p pembentukan warna coklat menunjukkan adanya ikatan n antara antiboodi dan antigeen (IgA). Warrna c coklat juga meenunjukkan keeberadaan IgA.. Semakin tua intensitas dan semakin luas distribusi warrna c coklatnya mak ka semakin banyak kandunngan IgA-nya. Berikut adalah reaksi yanng terjadi dalaam p pembentukan endapan e warnaa coklat.
Prosedur analisis imunnohistokimia IggA sama sepeerti prosedur pewarnaan p Hem matoksilin-Eossin ppada analisis histologi h jaringgan usus haluss dari awal hinngga tahap embbedding dan pemotongan p blok j jaringan dengaan mikrotom, kecuali k pada taahap pelekatann preparat ususs ke gelas objeek di mana gellas o objek sebelum m digunakan harus h dicuci bersih dengan teknik sonikassi, kemudian dikeringkan dan d d diberi larutan neofren dalam m toluen (toluenn : neofren = 9 : 1). Tujuann pemberian neeofren ini adallah a agar preparat usus u menempell dengan baik pada p gelas objek dan tidak m mudah terlepas pada saat prosses p pewarnaan imu unohistokimia.. Sebelum dilakukan pew warnaan, sediaaan jaringan usuus halus didepaarafinisasi dengan larutan xyllol I II, dan I selama 5 men III, nit dengan tujjuan untuk meelarutkan paraafin dari jaringgan. Setelah ittu, d dilakukan rehiddrasi dengan alkohol, a sediaann jaringan usus halus dimasuukkan ke dalam m larutan alkohhol a absolut III, II, dan I serta alkohol a 95%, 90%, 9 80%, dan n 70% selamaa 3 menit. Seteelah itu, sediaaan t tersebut diren ndam dalam air a kran selaama 5 menit kemudian dirrendam dalam m air bebas ion ( (aquabidest) seelama 3 menit (stopping poinnt). Tahap beerikutnya adalaah penghilangaan peroksidasee endogen. Padda tahap ini, po otongan jaringgan t tersebut diinku ubasikan (dicellupkan) dalam m larutan yang mengandung ccampuran metaanol (30 ml) dan d H2O2 (0.3 ml) selama 15 meenit pada konddisi gelap. Kem mudian, sediaann direndam di dalam air bebbas i sebanyak dua ion d kali, masing-masing selama 5 menit dan d dalam PBS (Phosphate Buffered Salinne) s sebanyak dua kali, k masing-m masing selama 5 menit. Sediaan jaringan ususs lalu diinkubbasikan dalam m serum norm mal untuk memblok m antiggen n nonspesifik. Sediaan S diletakkkan pada kottak sediaan daan masing-massing ditetesi dengan d 50-60 µl s serum normal (10% dalam PBS), P kemudian an diinkubasi pada p suhu 37°C C selama 60 menit. m Setelah ittu,
sediaan dicuci dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Kemudian masingmasing sediaan ditetesi dengan 50-60 µl antibodi primer/monoklonal IgA (Anti-Rat IgA, α-chain specific developed in goat, SIGMA), lalu diinkubasi dalam refrigerator selama semalam (± 19 jam). Selanjutnya, dilakukan pencucian dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 10 menit. Setelah itu, potongan jaringan ditetesi dengan 50-60 µl antibodi sekunder Dako Envision Peroxidase System atau DEPS (K401) pada kondisi gelap, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 60 menit. Kemudian, sediaan dicuci kembali dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Kemudian, reaksi positif divisualisasikan dengan menggunakan kromogen Diamino benzidine (DAB). Visualisasi dengan DAB (3,3’-Diaminobenzidine Tetrahydrochloride-Plus Kit Substrate for Horsedish Peroxidase) dilakukan dengan mencampurkan reagen 1 + reagen 2 + reagen 3 dengan air bebas ion dengan perbandingan 1 : 1 : 1 : 20. Sementara itu, larutan DAB yang diteteskan adalah sebanyak 50-60 µl, lalu DAB dibiarkan bereaksi pada ruang gelap selama 30 menit. Setelah itu, sediaan tersebut direndam dalam air bebas ion (stopping point). Tahap berikutnya adalah pewarnaan dengan counterstrain menggunakan Hematoxylin dengan cara merendam sediaan dalam Hematoxylin selama 1-4 detik, yang dilanjutkan dengan perendaman dalam air bebas ion minimal selama 5 menit hingga mendapatkan warna yang kontras antara warna coklat dengan biru dari Hematoxylin. Kemudian, dilakukan dehidrasi dengan mencelupkan sediaan ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%, dan dalam alkohol absolut I selama beberapa detik, lalu direndam dalam alkohol absolut II dan III, masing-masing selama 1 menit. Setelah itu, dilakukan penjernihan dengan mencelupkan sediaan ke dalam xylol I selama beberapa detik, lalu direndam dalam xylol II, dan III, masing-masing selama 1 menit. Tahap akhir dari pewarnaan ini adalah mounting yaitu penempelan cover glass pada sediaan dengan menggunakan perekat entelan. Setelah itu, preparat imunohistokimia siap untuk diamati di bawah mikroskop. Keberadaan IgA akan ditunjukkan oleh warna coklat pada mukosa usus halus tersebut. Semakin tua warna coklat menunjukkan semakin banyak kandungan IgA pada lokasi tersebut. Terbentuknya warna biru menunjukkan bahwa tidak adanya kandungan IgA pada lokasi tersebut. Penilaian dilakukan secara deskriptif pada sediaan usus duodenum menggunakan mikroskop cahaya dengan kriteria seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Kriteria penilaian deskriptif kandungan IgA Tanda +
Deskripsi warna biru yang menunjukan pada bagian tersebut tidak mengandung IgA atau warna coklat muda hanya pada bagian crypt mukosa usus, atau warna coklat tua hanya pada bagian crypt mukosa.
++
warna coklat muda hanya pada lapisan epitel dan crypt atau sebagian besar atau seluruh mukosa usus
+++
warna coklat tua pada pada seluruh bagian atau sebagian besar lapisan epitel dan crypt mukosa usus.
++++
warna coklat sangat tua pada seluruh bagian atau sebagian besar lapisan epitel dan crypt mukosa usus.
3.2.2.8. Analisis Data Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0 untuk Windows. Analisis statistik digunakan untuk menganalisis data aktivitas antibakteri yogurt sinbiotik, berat badan tikus percobaan, rata-rata konsumsi ransum, kadar air feses tikus percobaan dan ketebalan mukosa usus duodenum tikus percobaan. Data dianalisis menggunakan SPSS 16.0 dengan metode analisis General Linier Model Univariate. Jika perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05 dan P<0.01), maka digunakan uji lanjut Duncan untuk membandingkan tiap perlakuan. Analisis kandungan imunoglobulin A (IgA) menggunakan penilaian secara deskriptif pada sediaan usus duodenum menggunakan mikroskop cahaya. Keberadaan IgA akan ditunjukkan oleh warna coklat pada mukosa usus halus tersebut. Semakin tua warna coklat menunjukkan semakin banyak kandungan IgA pada lokasi tersebut. Terbentuknya warna biru menunjukkan bahwa tidak adanya kandungan IgA pada lokasi tersebut.