III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2008 di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
3.2. Materi penelitian a. Hewan Coba Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai model, sesuai dengan Good Animal Study (Festing 2006). Hewan model yang digunakan adalah tikus putih Rattus norvegicus galur Sprague-Dawley sebanyak 20 ekor, jenis kelamin jantan berumur 2 bulan dengan bobot ± 250 gram. Hewan model diambil dari bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Fakultas Peternakan IPB. Hewan model dibedakan menjadi dua kelompok, kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok 10 ekor tikus.
b. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) Pada penelitian ini digunakan golongan obat OAINS yaitu asam asetil salisilat (AAS) dengan dosis 400 mg per ekor tikus (Wallace dan Webb etal. 1995). Sediaan AAS digunakan dalam bentuk murni berupa kristal putih.
3.3. Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Tikus putih galur Sprague-Dawley jantan berumur 2 bulan sebanyak 20 ekor. 2. Kandang tikus sebanyak 40 buah dan 40 buah botol air minum. Kandang tikus modifikasi terbuat dari boks plastik ditutupi kawat ram, bedding kawat ram dan dialasi dengan menggunakan kertas buram. 3. Air minum AQUA®. 4. Kertas buram, kantung plastik putih, dan kantung plastik hitam 5. Sonde lambung untuk tikus (1,5 x 80 mm) Knopfkanule 370144, Germany
6. Spuit berukuran 1 ml dan 3 ml. 7. Antibiotik Tetracyclin 250 mg, anthelmintik Albendazole 5% dan asam asetil salisilat murni (AAS) serta 1 buah botol obat. Anti jamur Fluconazol 50 mg/kg berat badan. 8. Timbangan digital Precisa 3000 D. 9. Alat nekropsi (gunting, scalpel, pinset anatomis, pinset fisiologis, jarum fiksator, alas nekropsi, stiroform, wadah penyimpan organ), kaca pembesar berlampu untuk pengamatan Patologi Anatomi serta larutan pengawet Buffer Neutral Formaldehyde (BNF) 10 %. 10. Bahan untuk processing jarinngan: alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Alkohol absolut (p.a), xylol (p.a). p.a= pro analysis. 11. Bahan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE). 12. Bahan untuk pewarnaan khusus mukosa (Periodic Acid Schift-Alcian Blue). 13. Kamera digital untuk dokumentasi hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dan histopatologi. 14. Mikoroskop cahaya binokuler. 15. Mikroskop Video Mikrometer 16. Counter
3.4. Metode kerja Persiapan pakan dan adaptasi tikus dalam kandang Sebelum tikus digunakan untuk penelitian, terlebih dahulu dipersiapkan pakan tikus berbentuk pelet dengan komposisi bahan : jagung (73,943 %), bungkil (14,505%), dedak (6,8 %), kapur (1,5 %), tepung tulang (1,263%), minyak (1%), metionin (0,362%), lisin (0,31%), garam (0,213%) dan vitamin+mineral mix (0,016%). (formulasi dan pembuatan pakan dilakukan di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor).. Pakan kemudian diiradiasi dengan kekuatan 10 KGray di BATAN, Jakarta Selatan untuk tujuan sterilisasi. Setiap hari tikus diberi 25 gram pakan per ekor. Adaptasi pada tikus dilakukan selama tiga minggu disertai dengan pemberian terapi obat antibiotik Tetracyclin 250 mg selama 3 hari dan anthelmintik Albendazole 5%
(Sanbe) diberikan dengan dosis tunggal 10 mg.
Pemberian Albendazole diulangi dengan jarak pemberian 1 minggu. Dilanjutkan dengan pemberian anti Cryptococcus, Fluconazole 50 mg satu kali pemberian selama 3 hari. Terapi obat bertujuan untuk menghilangkan bias yang dikhawatirkan akan mempengaruhi kondisi mukosa lambung dan saluran pencernaan lain. Berat badan tikus ditimbang seminggu sekali. Sisa pakan ditimbang setiap hari. Minum Aqua dilakukan setiap hari ad libitum. Perlakuan pemberian aspirin (Asam Asetil Salisilat) Pemberian Aspirin(AAS) dilakukan pada kelompok tikus yang mendapat perlakuan terdiri dari 10 ekor tikus jantan secara per oral menggunakan sonde lambung dengan dosis tunggal 400 mg dalam 2 ml larutan aquadest selama 3 hari berturut-turut pada sore hari untuk menghindari fase adapatasi lambung terhadap Aspirin. Sebelum pemberian, tikus dipuasakan sebelumnya selama 2-3 jam. Tikus kelompok perlakuan setelah mendapat terapi Aspirin selanjutnya dibagi dalam kelompok Perlakuan Lesi Negatif dan Perlakuan Lesi Positif. Tikus kelompok Kontrol diberi aquadest melalui sonde lambung. Tahap nekropsi tikus 1. Pembiusan tikus Anestesi memakai kapas yang telah dibasahi dengan eter dan dimasukkan ke dalam wadah kaca unaerobic jar. Tikus selanjutnya dinekropsi. 2. Teknik nekropsi Tikus diletakkan di atas stiroform yang telah dilapisi aluminium foil pada posisi dorsal (terlentang) kemudian difiksasi dengan menggunakan jarum pentul pada keempat ekstremitasnya. Untuk mempermudah nekropsi, permukaan abdomen tikus dibasahi dengan alkohol 70%. Tahap nekropsi dilakukan pada linea alba dengan membuka lapisan kulit dan fascia. Rongga abdomen dibuka sampai batas bawah diafragma. Organ yang diambil adalah lambung. Organ tersebut dimasukkan ke dalam larutan BNF 10% dan disimpan sampai proses berikutnya. 3. Trimming organ dan prosesing jaringan Sebelum dilakukan tahap dehidrasi dan embedding, organ dipotong tipis berukuran 3 mm sesuai dengan bagian yang akan diamati yaitu bagian lambung
fundus, dan pylorus. Potongan dilakukan sesuai dengan bagian seperti tertera dalam gambar dibawah ini
Potongan 3(Regio Antrum/Pilorus)
Potongan2(Regio Fundus/Korpus)
Gambar 5. Lambung monogastrik. (Fox, 2002)
Potongan tipis organ kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette dan diproses secara otomatis dalam tissue processor (SakuraTM, Japan) untuk proses dehidrasi. Dalam proses dehidrasi digunakan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 70 %, 80%, 90%, 95%, hingga 100% (absolute), diikuti clearing dengan larutan Xylene sebanyak 3 kali dan kemudian embedding menggunakan paraffin (ShendonTM, UK). Dilanjutkan dengan pembuatan blok jaringan dalam paraffin cair yang mempunyai titik leleh 56-57˚ C dalam mesin embedding tissue (SakuraTM, Japan). Setelah dingin blok disimpan hingga trimming. 4. Trimming Blok yang telah mengeras kemudian disimpan dalam refrigerator hingga akan dipotong menggunakan mikrotom setebal 3-4 μm (Spencer, USA). Hasil potongan mikrotom dibentangkan di atas permukaan air dengan suhu 40˚ C, kemudian diletakkan di atas object glass yang telah dilapisi Ewitt sebagai pelekat dan dikeringkan. Sebelum diwarnai, potongan organ di atas object glass diinkubasikan dalam inkubator Memert, Jerman dengan suhu 55˚ C selama semalam. Kemudian diwarnai dengan Hematoxylin Eosin menurut metode Meyer (Humason 1985).
Pemeriksaan makroskopik (PA) Pemeriksaan makroskopik (PA) dilakukan untuk mengetahui adanya dilatasi lambung dengan mengukur diameter transversal dan sagital lambung tikus SD. Pemeriksaan Histopatologi (HP) Pemeriksaan histopatologi organ lambung dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif pada regio lambung kelenjar. Lambung kelenjar dibedakan menjadi dua regio, Fundus/Korpus dan Antrum/Pilorus. Pemeriksaan kuantitatif organ lambung dilakukan dengan beberapa parameter antara lain: 1. Pengukuran diameter lambung transversal dan sagital dalam sentimeter 2. Perhitungan jumlah sel mukus per satuan panjang 1000 µm menggunakan mikroskop videomikrometer pada 10 lapang pandang. Untuk mernghitung jumlah sel goblet digunakan pewarnaan PAS-AB. 3. Perhitungan jumlah sel perietal dan sel Chief dengan pewarnaan HE pada 10 lapang pandang. 4. Perhitungan jumlah infiltrasi sel radang pada tiap lapisan lambung pada 10 lapang pandang. Pemeriksaan Imunohistokimia Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk menentukan enzym cyclooxygenase 1 (COX-1) dan cyclooxygenase 2 (COX-2) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan lesi positif, dengan antigen pada sel mukosa dan antibodi monoklonal Rabbit Monoclonal Antibody COX-1 dan COX-2 dengan pengenceran 1/80 produksi Cell Signaling Technology, USA. Tempat pemeriksaan di Bagian Patologi FK. Universitas Pajajaran / RS Hasan Sadikin, Bandung. Penilaian hasil pemeriksaan secara kualitatif berdasarkan intensitas warna yang dilihat secara mikroskopik dengan menggunakan kriteria negatif dan positif.
3.5. Analisis dan Interpretasi Data Data yang diperoleh secara kuantitatif berupa diameter transversal dan sagital lambung, jumlah sel mukus, jumlah sel radang, jumlah sel parietal dan jumlah sel chief dianalisis menggunakan uji sidik ragam rancangan acak lengkap
(one-way ANOVA) dengan program SPSS 13 untuk membandingkan kelompok kontrol (K), perlakuan lesi negatif (PLN) dan perlakuan lesi positif (PLP). Jika dari ketiga kelompok tersebut didapatkan pengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan (p=0.05). Hasil pemeriksaan imunohistokimia dilakukan analisa data secara deskriptif berdasarkan penilaian kualitatif dengan hasil negatif dan positif .