27 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Peran Penting Perdagangan Luar Negeri
Perdagangan luar negeri mempunyai arti sangat penting bagi suatu negara, karena dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan pembangunan. Haberler (1959) dalam Jhingan (1993) berpendapat bahwa, perdagangan internasional telah memberikan sumbangan yang luar biasa bagi pembangunan negara kurang berkembang di abad ke-19 dan 20. Sumbangan tersebut akan terus meningkat di masa datang dan melalui perdagangan bebas dengan sedikit penyesuaian, akan menjadi kebijakan yang baik dilihat dari sudut pembangunan ekonomi. Negara yang mengkhususkan diri pada produksi beberapa barang tertentu sebagai akibat perdagangan luar negeri dan pembagian kerja, akan dapat mengekspor komoditi yang diproduksi lebih murah untuk dipertukarkan dengan barang yang dihasilkan negara lain dengan biaya lebih rendah. Melalui perdagangangan luar negeri, negara memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional naik yang pada gilirannya menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Diperolehnya tingkat output yang lebih tinggi menjadi penyelesaian bagi lingkaran setan kemiskinan dan pembangunan ekonomi dapat ditingkatkan (Sukirno, 2000). Negara terbelakang biasanya memiliki pasar domestik kecil yang kecil tidak mampu menyerap output yang ada. Hal ini menyebabkan rendahnya dorongan untuk berinvestasi. Pasar yang kecil juga disebabkan oleh rendahnya pendapatan per kapita dan daya beli masyarakat. Perdagangan internasional memperluas pasaran dan merangsang investasi, pendapatan dan tabungan melalui
28 alokasi sumberdaya yang lebih efisien. Tambahan lagi, beberapa negara terbelakang mengkhususkan diri pada produksi satu atau dua komoditi bahan makanan. Jika dilakukan upaya ekspornya, upaya-upaya itu cenderung meluaskan pasar. Sumber-sumber yang ada digunakan lebih produktif dan alokasi sumbersumber menjadi lebih efisien berdasarkan fungsi-fungsi produksi tertentu. Ini semua adalah keuntungan langsung dari perdagangan luar negeri yang dikemukakan Mill (1959) dalam Jhingan (1993). Perluasan pasar menghasilkan sejumlah keuntungan ekonomi internal dan eksternal dan karenanya dapat mengurangi biaya produksi. Perdagangan luar negeri juga dapat memberikan keuntungan lain seperti pertukaran barang melalui ekspor dan impor, memiliki pengaruh mendidik (learning by doing), dan memberikan akses bagi pemasukan modal dari luar negeri.
2.2.
Teori Keuntungan Perdagangan Luar Negeri
Perbedaan harga relatif atas berbagai komoditi antara dua negara pada dasarnya mencerminkan keunggulan komparatif bagi masing-masing negara dalam hubungan dagang yang saling menguntungkan. Jika suatu komoditi memiliki harga relatif yang lebih rendah, dapat dikatakan terdapat keunggulan komparatif terhadap komoditi tersebut, dan ini dapat dijadikan komoditi andalan untuk ekspor dan dapat mengimpor komoditi yang kurang memiliki keunggulan komparatifnya. Terkait dengan keuntungan perdagangan luar negeri, beberapa ekonom telah mengemukakan teorinya masing-masing. Para ekonom tersebut antara lain Heckscher-Ohlin, Ricardo, Krugman dan Obstfeld, masing-masing mengemukakan teori sebagai berikut.
29 Heckscher-Ohlin (H-O) dalam Kindleberger dan Lindert (1983) telah mempertegas konsepnya bahwa, suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menggunakan faktor produksi yang relatif berlebihan dan murah di negara tersebut. Contohnya, produk-produk pertanian dan produkproduk manufaktur tertentu diantaranya produk alas kaki. Sebaliknya negara tersebut mengimpor komoditi yang produksinya menggunakan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di dalam negeri. Negara yang relatif berlebihan tenaga kerja akan mengekspor komoditi-komoditi yang relatif padat tenaga kerja dan akan mengimpor komoditi-komoditi yang relatif padat modal yang merupakan faktor produksi yang langka dan mahal di negara bersangkutan. Contoh kasus seperti ini terjadi untuk Indonesia yang mengimpor mesin-mesin otomotipn atau barang-barang modal. Kemudian mengekspor komoditi pertanian karena komoditi pertanian adalah produksi padat karya. Fakta bahwa negara Indonesia melimpah tenaga kerja dan murah, dan mengimpor barang yang diproduksi dengan padat modal dan mahal harganya jika diproduksi sendiri di Indonesia. Sebaliknya sebuah negara dapat mengekspor komoditi padat modal karena di negara tersebut dapat memproduksinya dengan biaya yang lebih rendah, sehingga berkelebihan dalam produksi barang-barang modal dan harganya relatif murah dibandingkan dengan negara pengimpor.
Namun sebaliknya negara
tersebut melakukan impor terhadap produk hasil-hasil pertanian yang di dalam negerinya relatif lebih mahal dan langka. Menurut teori H-O yang membedakan harga-harga relatif komoditi dan keunggulan komparatif antar negara adalah karena perbedaan dalam kelimpahan faktor-faktor produksi secara relatif, atau perbedaan kepemilikan faktor produksi
30 antar negara. Oleh karena itu teori H-O sering disebut teori kepemilikan faktor (factor endownment theory). Teori ini menyebutkan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang banyak menyerap faktor produk di negara tersebut dalam jumlah yang banyak dengan harga relatif murah, serta mengimpor komoditi yang menyerap faktor produksi di negara tersebut yang relatif langka dan harganya mahal. Ricardo dalam Kindleberger dan Lindert (1983) berpendapat bahwa, konsep keuntungan komparatif berbeda dengan teori H-O. Menurut Ricardo dalam konteks perdagangan internasional, jika negara lain dapat menyediakan barang bagi negara kita dengan harga relatif lebih murah dibandingkan memproduksi sendiri, lebih baik membeli barang tersebut dari negara lain dengan membayarnya dari sebagian hasil industri kita, sehingga kita mendapat keuntungan. Teori ini tidak mempertimbangkan alasan bahwa membatasi impor dapat menciptakan lapangan kerja, terutama jika yang diimpor adalah barangbarang modal dan akan menciptakan perusahaan-perusahaan yang padat modal. Indonesia memang melakukan impor terhadap barang-barang yang belum mampu diproduksi sendiri. Kelemahannya adalah dalam jangka panjang indonesia menjadi negara yang sangat tergantung dengan luar negeri, yang dapat menimbulkan resiko terhadap perekonomian domestik. Terlebih lagi jika Ekspor tersebut dikaitkan dengan nilai tukar valuta asing dengan mitra dagang yang juga dapat meningkatkan biaya produksi di dalam negeri. Teori perdagangan internasional Ricardo berdasarkan pada teori keuntungan komparatif yang berarti bahwa, komoditi tertentu yang akan diperdagangkan diukur dengan barang lainnya di negara tersebut lalu
31 dibandingkan dengan negara lain. Teori ini tidak meggunakan konsep biaya produksi yang dinyatakan dalam satuan input, seperti yang telah dijelaskan oleh teori H-O sebelumnya. Krugman
dan
Obstfeld
(2000)
berpendapat
bahwa,
keuntungan
perdagangan internasional akan terwujud jika dalam proses produksi tercapai skala ekonomi (economies of scale). Oleh karena itu untuk mencapai skala ekonomi tersebut suatu negara harus memperluas pasar sehingga efisiensi produksi akan meningkat. Hal ini disebabkan
karena dengan melakukan
perdagangan, maka peluang untuk meningkatkan intensitas penggunaan sumberdaya dapat terus ditingkatkan. Intensitas dalam penggunaan sumberdaya menyebabkan produksi dapat ditingkatkan pada skala yang lebih besar, yang artinya efisiensi akan meningkat. Pengertian economies of scale menurut Lindert (1993) adalah peningkatan produksi pada skala yang lebih besar sehingga biaya per unit output akan semakin rendah. Intinya teori ini menegaskan bahwa, pentingnya melakukan perluasan pasar baik di dalam negeri maupun ekspor ke luar negeri yang merupakan cara untuk dapat meningkatkan efisiensi produksi. Untuk Indonesia, jika dikaitkan dengan konsep tersebut nampaknya lebih mendekati pada ekspor hasil-hasil industri manufaktur, walaupun masih terbatas pada hasil-hasil industri kecil dan menengah, bahkan industri rumah tangga.
2.3.
Perdagangan Luar Negeri dan Pertumbuhan Ekonomi
Keterkaitan kegiatan perdagangan luar negeri sebuah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang dicapai, dapat dijelaskan dari dua sisi yaitu pertama, bagaimana pertumbuhan ekonomi yang tercipta mempengaruhi kegiatan perdagangan negara tersebut, dan kedua, bagaimana hasil kegiatan perdagangan
32 memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Pada sub bagian berikut akan menjelaskan teori, bagaimana pertumbuhan ekonomi mempengaruhi kegiatan perdagangan luar negeri, sedangkan pada bagian berikutnya akan menjelaskan teori, bagaimana perdagangan luar negeri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
2.3.1. Efek Pertumbuhan Ekonomi terhadap Perdagangan
Production
possibility
curve
(PPC)
adalah
sebuah
kurva
yang
menunjukkan kapasitas sebuah negara memproduksikan berbagai kombinasi komoditas dengan sumberdaya atau faktor produksi yang tersedia. Faktor produksi tersedia dikatakan berjumlah tertentu dan pada tingkat teknologi tertentu, di mana kondisi ini memberikan peluang bagi negara unuk memproduksi jumlah output yang dikehendaki. Dunn dan Mutti (2004) menyatakan bahwa dari waktu ke waktu sumberdaya negara mengalami pertumbuhan misalnya angkatan kerja meningkat karena pertumbuhan penduduk, atau kapital stok fisik bertumbuh melalui net investasi maka kurva kemungkinan produksi bergeser ke kanan, yang menunjukkan bahwa kapasitas negara untuk berproduksi sedang naik. Selanjutnya dijelaskan bahwa ketika pertumbuhan terjadi maka tercipta pola pertumbuhan tertentu bergantung pada laju pertumbuhan dari faktor-faktor produksi yang ada dan pada kecepatan perubahan teknologi di berbagai industri. Perubahan yang terjadi disini yakni pertumbuhan karena perubahan pada supply side, sehingga kemudian akan berinteraksi dengan kondisi permintaan dalam negeri dan luar negeri, menentukan efek akhir pada output, jumlah ekspor dan impor, dan term of trade.
33 Dalam kasus pertumbuhan netral, Zhang (2008) juga Dunn dan Mutti (2004) menyatakan semua faktor produksi negara bertumbuh pada tingkat yang sama selama satu interval waktu tertentu. Pada kondisi ini semua industri mengalami constant return to scale dan teknologi tidak mengalami perubahan. Pertumbuhan kapasitas ini menyebabkan kurva kemungkinan produksi bergeser ke kanan dalam proporsi yang sama (Gambar 1).
Sumber : Dunn and Mutti (2004) Gambar 1. Pertumbuhan Netral di Negara Kecil
Pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa kurva baru (F2C2) merupakan pergeseran keluar sebanding dengan kurva F1C1 sesuai dengan pertumbuhan resources yang terjadi. Jika negara A adalah relatif kecil dibanding sisa dunia, term of trade tetap tidak berubah dan negara A akan terus memproduksi kedua komoditi dalam proporsi yang sama seperti sebelumnya, seperti ditunjukkan oleh titik P dan P’ pada vektor OP’. Bagaimana efek pertumbuhan tersebut terhadap konsumsi negara A dan volume perdagangannya, tergantung pada pola permintaan yang ditunjukkan oleh kurva indiferen masyarakatnya. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa negara A
34 memilih mengkonsumsi makanan dan pakaian dalam proporsi yang sama seperti sebelumnya sehingga baik impor makanan dan ekspor pakaian akan meningkat sebanding dengan kenaikan output atau pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, elastisitas income of demand negara A untuk kedua barang sama dengan satu. Titik konsumsi negara A adalah Q dan Q’ yang akan terletak pada vektor OQ’. Namun, jika permintaan negara A untuk makanan (komoditi yang diimpor) meningkat lebih dari pada proporsi kenaikan income, maka ekspor dan impor negara tersebut juga akan meningkat dengan proporsi yang lebih besar dibanding proporsi kenaikan output. Dalam kasus ini pertumbuhan dikatakan bias kepada perdagangan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada sebuah negara dikatakan tidak memberikan pengaruh yang kuat pada pertumbuhan perdagangan jika elastisitas income untuk makanan (produk yang diimpor) adalah inelastic. Dengan kata lain permintaan makanan meningkat lebih kecil proporsinya terhadap income, maka perdagangan akan meningkat dengan persentase yang lebih kecil dibanding output yang dihasilkan.
Sumber : Dunn and Mutti (2004) Gambar 2. Efek Permintaan pada Volume Perdagangan ketika Pertumbuhan Netral dan Term of Trade Tetap.
35 Dalam kasus seperti ini, pertumbuhan ekonomi yang terjadi dikatakan bias berlawanan dengan perdagangan. Volume perdagangan bahkan dapat menyusut jika permintaan negara A untuk makanan memiliki elastisitas income yang sangat rendah (Gambar 2). Sebelum pertumbuhan, produksi terjadi di titik P dan konsumsi di titik Q, dan perdagangan sebesar segitiga SPQ mewakili ekspor kain, SP, dan impor makanan, SQ. Jika term of trade tetap maka ketika pertumbuhan terjadi (slope P’Q’= slope PQ), produksi kedua komoditas akan meningkat dalam proporsi yang sama dan hasilnya akan tergantung pada kondisi permintaan di negara A. Jika permintaan untuk makanan meningkat lebih besar dibanding proporsi kenaikan income, maka expantion path akan lebih curam dibanding QQ’ dan ekspor akan meningkat dengan proporsi yang lebih besar dibanding output. Dalam kondisi ini, jika term of trade dapat berubah, maka kenaikan ekspor negara A akan cenderung menurunkan harga ekspor sehingga juga menurunkan term of trade negara A. Jika permintaan untuk makanan meningkat kurang dari proporsi kenaikan income, expantion path akan kurang curam dibanding QQ’, dan ekspor akan meningkat dengan proporsi yang lebih kecil dibanding output, atau bahkan mungkin menurun.
2.3.2. Memburuknya Term of Trade dan Pertumbuhan Immiserizing
Dunn dan Mutti (2004) keduanya menjelaskan kasus di mana pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak memberikan keadaan better off bagi negara melainkan keadaan worse off sebagai akibat term of trade negara yang menurun.
Dikatakan
bahwa
jika
pertumbuhan
ekonomi
yang
terjadi
mengakibatkan term of trade negara menurun maka penurunan harga ini memiliki
36 pengaruh berlawanan dengan keuntungan yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi. Bahkan dikatakan kerugian yang timbul akibat penurunan dalam term of trade dapat melebihi keuntungan dari pertumbuhan yakni peningkatan kapasitas yang tercipta, sehingga dapat memberikan hasil yang worse off dibanding keadaan sebelumnya. Kasus yang ekstrim ini disebut "pertumbuhan immiserizing" dan terjadi pada negara-negara berkembang yang mengekspor produk-produk primer dan
mengimpor
produk-produk
manufaktur
dari
negara-negara
industri
(Gambar 3). Gambar 3 menjelaskan bahwa semula negara A berproduksi pada titik P0 dan mengekspor produk-produk primer untuk menukarkan dengan produk manufaktur pada rasio term of trade yang ditunjukkan oleh slope P0C0. Melalui perdagangan, negara A mencapai tingkat welfare pada kurva indiferen i0 dan mengkonsumsi pada titik C0.
Sumber : Dunn and Mutti (2004)
Gambar 3. Kasus Pertumbuhan Immiserizing dengan Term of Trade Menurun
37 Pertumbuhan terjadi pada supply factor dalam produksi produk-produk primer, sehingga kurva kemungkinan produksi bergeser ke kanan (AB ke HK). Akibatnya negara A menawarkan jumlah ekspor yang lebih besar sehingga term of trade-nya menurun seperti ditunjukkan slope garis P1C1 yang lebih datar. Pada rasio pertukaran ini, negara A terus mengekspor produk-produk primer, tetapi hanya dapat mencapai kurva indiferen yang lebih rendah, i1. Sesuai kenyataan ini, pertumbuhan dalam kapasitas telah mengurangi welfare perekonomian. Hasil ini lebih berpeluang lagi terjadi ketika efek produksi yang bias ke ekspor dikombinasikan dengan preferensi yang kuat dari negara A untuk membelanjakan tambahan income-nya pada barang-barang manufaktur. Akibat kedua faktor ini menyebabkan terjadinya penurunan yang substansial pada harga relatif barangbarang primer.
Sumber : Feenstra (2002)
Gambar 4. Pertumbuhan Immiserizing Negara A
38 Feenstra (2002) menjelaskan kasus pertumbuhan immiserizing di atas dengan lebih jelas (Gambar 4) dan menunjukkan bukti matematik. Sesuai gambar di atas barang y1 diekspor dan barang y2 diimpor, pada production possibility frontier (PPF) awal, perekonomian memproduksi di titik B dan mengkonsumsi pada titik C. Akibat adanya pertumbuhan, PPF bergeser keluar dan jika terms of trade tidak berubah, konsumsi akan berubah ke titik C' dan masyarakat mengalami better off. Namun, jika terjadi penurunan harga relatif barang-barang ekspor, maka konsumsi negara dapat terjadi di titik C'' (tetap pada kurva indiferen awal) dan memproduksi pada titik B''. Hal ini menjelaskan bahwa utilitas masyarakat tidak berubah setelah terjadi pertumbuhan ekonomi, dan selanjutnya terjadi penurunan pada terms of trade yang mengakibatkan konsumen representatif mengalami worse off. Secara matematik dapat dijelaskan pertumbuhan immiserizing dengan kondisi utilitas yang konstan di atas. Dianggap bahwa hanya ada dua barang, negara mengimport y2 sebagai numeraire sehingga harganya satu. Misalkan fungsi GDP perekonomian adalah G (p, ) = py1 + y2, dimana
adalah sebuah skalar
yang mewakili parameter pergeseran PPF dan dapat mewakili faktor endowment atau kemajuan teknologi dalam sejumlah industri. Perubahan total pada GDP diukur oleh :
dG
Diasumsikan
G G dy dy dp d y1dp p 1 2 d p d d
……....................... (2.1)
dy1 G dy1 dy 2 p keduanya positif, memiliki arti dengan dan d d d
adanya pertumbuhan dan harga yang konstan, dapat meningkatkan baik GDP maupun barang-barang yang diekspor. Dianggap bahwa barang numeraire secara
39 terpisah ditambahkan dalam konsumsi sehingga utilitas konsumen dapat ditentukan. Total kesejahteraan masyarakat ditunjukkan dengan W [p, G (p, )], berfungsi sebagai fungsi utilitas tidak langsung untuk perekonomian, di mana ∂W/∂p = - c1 sebagai konsumsi (negatif) dari barang 1, juga ∂W/∂G
1. Dengan
demikian welfare masyarakat menjadi konstan ketika ada pertumbuhan ekonomi terjadi jika dan hanya jika : dW
G W G G dp dp d ( y1 c1 )dp d 0 ………….. (2.2) p p
Penurunan harga ekspor yang tetap memelihara welfare konstan, adalah : G ................................................................... (2.3) d (c1 y1 ) Selanjutnya, diselesaikan perubahan keseimbangan dalam harga relatif ekspor dan dp
membandingkannya dengan persamaan (2.3). Ekuilibrium di pasar ekspor berarti bahwa ( y1 c1 ) m1* dimana m1* adalah permintaan impor dari sisa dunia. Dengan deferensial total, diperoleh : y dy 1 c dm 1* d 1 1 dp dp d p dp p
………………………………. (2.4)
Sehingga, perubahan ekuilibrium dalam harga ekspor adalah :
dp
dm * 1 dp
dy1 d d y c 1 1 p p
............................................................. (2.5)
Penyebut persamaan (2.5) adalah negatif sementara pembilangnya positif, sehingga persamaan ini menunjukkan penurunan harga ekspor akibat adanya pertumbuhan ekonomi. Welfare akan menjadi konstan jika persamaan (2.3) = (2.5), dan welfare menurun jika persamaan (2.5) < (2.3). Ini akan terjadi jika dan hanya jika:
40 dy1 ( y1 c1 ) d
G y1 c1 dm1* p p dp
Bagikan persamaan ini dengan
……………………… (2.6)
( y1 c1 ) m 1* dan dengan menggunakan
G dy1 dy 2 p , dapat menunjukkan kondisi necessary dan sufficient untuk d d
pertumbuhan immizerizing sebagai : p
dy1 d
dm1* p …............... (2.7) dy1 dy 2 y1 c1 p p d p p m * dp m * d 1 1
Bagian pertama pada sisi kanan persamaan merupakan elastisitas suplai ekspor yang adalah bernilai positif. Syarat yang perlu untuk pertumbuhan immiserizing terjadi adalah bagian pertama pada sisi kiri persamaan (2.7) harus lebih besar dari jumlah
dm1* p yang mana merupakan elastisitas permintaan luar negeri untuk dp m* 1
impor. Jika elastisitas ini kurang dari satu (permintaan luar negeri inelastis), maka pertumbuhan immiserizing dapat terjadi hanya ketika bagian kiri persamaan (2.7) adalah juga kurang dari satu. Namun, jika permintaan luar negeri untuk impor adalah elastis, maka untuk persamaan (2.7) dipenuhi saat bagian kiri persamaan juga > 1. Bila diperiksa, ini terjadi jika dan hanya jika dy2/d < 0, yaitu ketika pertumbuhan mengurangi output barang 2 (pada harga konstan).
2.4.
Export-Led Growth
Banyak ahli ekonomi pembangunan sepakat bahwa hipotes export led growth merupakan fenomena yang paling masuk akal. Hal ini didasarkan pada bukti empiris yang menunjukan tidak satupun negara di dunia yang tidak melakukan hubungan perdagangan luar negeri (ekspor-impor) dengan negara lainnya.
41 Argumen yang menyertai hipotesis export-led growth telah banyak dikemukakan para penulis, di antaranya Jaime de Melo dan Robinson (1995), Giles dan Williams (2000), Bernard dan Jensen (2001), dan Dimkpah (2002). Pada dasarnya mereka mengemukakan bahwa ekspor merupakan motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi (engine of growth), dan merupakan suatu keharusan dari setiap negara yang ingin maju karena beberapa alasan. Pertama, ekspor dapat menyebabkan penggunaan penuh sumber-sumber domestik sesuai dengan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan terjadinya pembagian kerja sehingga mendorong munculnya skala penghematan (economic of scale). Kedua, ekspor dapat memperluas pasar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ketiga, ekspor merupakan sarana untuk mengadopsi idea atau pengetahuan baru, teknologi baru, dan keahlian baru serta keahlian-keahlian lainnya sehingga memungkinkan penggunaan kapasitas lebih besar dan lebih efisien. Keempat, ekspor dapat mendorong mengalirnya modal dari negara-negara maju ke negara-negara sedang berkembang. Kelima, ekspor merupakan salah satu cara efektif untuk menghilangkan perilaku monopoli, karena produsen dalam negara dituntut untuk lebih efisien sehinggan dapat bersaing dengan produsen lain di luar negeri. Keenam, adanya ekspansi ekspor akan meghasilkan devisa dan karenanya kesempatan untuk mengimpor barang-barang modal dan barang-barang antara semakin besar pula.
2.5.
Peranan Teknologi dalam Perdagangan
Selain perubahan yang terjadi pada tenaga kerja dan kapital, juga terjadi perubahan pada teknologi produksi yang pada akhirnya akan berdampak pada perdagangan internasional. Teknologi adalah faktor produksi yang bersifat unik,
42 yang dapat mempengaruhi hampir semua faktor produksi lainnya sehingga baik kuantitas maupun kualitasnya dapat meningkat. Misalnya kualitas dan kuantitas tenaga kerja, kapital, dan sumberdaya alam dapat meningkat dengan penemuanpenemuan baru. Oleh karena itu tidak dapat dipisahkan hubungan antara faktor teknologi dengan faktor-faktor produksi lainnya. Kemajuan teknologi merupakan faktor penting dalam menentukan pola perdagangan internasional maupun perkembangan negara-negara di dunia. Berbagai penelitian menunjukkan, bahwa sumber utama dari peningkatan GDP bukan dari semakin banyaknya K yang digunakan, tapi lebih disebabkan karena kemajuan teknologi, yaitu kenaikan kualitas faktor-faktor produksi yang ada. Pola keunggulan komparatif setiap negara dapat berubah karena peningkatan teknologi yang berbeda-beda. Bagaimana pengaruh teknologi terhadap keunggulan komparapif suatu negara? Secara grafik kemajuan teknologi terlihat dari pergeseran kurva KKP ke kanan, sehingga dengan pergeseran tersebut dapat merubah keunggulan komparatif negara yang bersangkutan. Perubahan ke arah mana tergantung pada pergeserannya atau tergantung pada kemajuan teknologi tersebut. Krugman dan Obstfeld (2000) menunjukkan pertumbuhan bias tersebut terjadi karena dua hal yakni pertama, disebabkan oleh kemajuan teknologi yang terjadi di satu sektor ekonomi. Kemajuan teknologi akan memperluas kemungkinan-kemungkinan produksi suatu perekonomian, dimana pergeseran ke arah output sektor tersebut lebih besar dibanding pergeseran ke arah output sektor lainnya. Kedua, bias pertumbuhan karena adanya peningkatan penawaran faktor produksi di suatu negara, misalnya peningkatan stok modal karena ada akumulasi
43 tabungan dan investasi. Bias pertumbuhan ini mengarah pada barang yang produksinya
menggunakan
faktor
produksi
spesifik
(digunakan
untuk
menghasilkan barang tertentu) atau ke arah barang-barang yang produksinya lebih banyak menggunakan faktor produksi yang penawarannya meningkat. Secara
Produksi gandum, Qg
Produksi gandum, Qg
grafis pertumbuhan bias ini dapat dilihat pada Gambar 5.
1
TT
2
TT
1
TT
Produksi kain, Qc
2
TT
Produksi kain, Qc
Sumber : Krugman dan Obstfeld (2000) Gambar 5. Pertumbuhan Bias ke Kain dan Bias ke Gandum
2.6.
Pengaruh Perdagangan Luar Negeri terhadap Makroekonomi
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa terdapat dua akibat ekonomis dari perdagangan luar negeri yaitu, (1) adanya manfaat dari perdagangan, (2) cenderung ke arah spesialisasi dalam produksi barang-barang yang memiliki keunggulan komparatif dari perdagangan luar negeri. Pengaruh lain dari perdagangan luar negeri adalah terhadap konsumsi masyarakat, pengaruh terhadap produksi, dan pengaruh terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Perdagangan luar negeri tidak selalu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Seperti China sebelum masuk WTO dengan perekonomian yang relatif tertutup, tapi pertumbuhannya tinggi. Sebaliknya
44 Jepang, Singapura, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan dengan perekonomian terbuka juga dapat mengalami pertumbuhan yang tinggi. Salah satu pengaruh perdagangan luar negeri adalah terhadap produksi di dalam negeri. Pengaruh ini akan terjadi melalui: 1.
Spesialisasi produksi, yaitu berdasarkan keunggulan komparatif, sehingga terdapat komoditi unggulan.
2. Kenaikan Investasi, karena perdagangan dapat meningkatkan pendapatan riil masyarakat, sehingga tabungan meningkat sebagai sumber investasi, yang kemudian dapat meningkatkan GDP. 3. Perluasan pasar akan meningkatkan produksi di dalam negeri (Vent for Surplus). Kenaikan produktivitas, yaitu melalui economies of scale, karena pasar makin luas, dan akan memunculkan teknologi baru dibidang produksi (Krugman dan Obstfeld (2000)).
2.7.
Review Studi-Studi Terdahulu
Pola hubungan antara perdagangan dengan pertumbuhan ekonomi telah dibicarakan selama berabad–abad dan telah menjadi referensi yang luas dalam berbagai penelitian, tetapi kontroversi masih terus berlanjut. Hingga kini belum dapat disimpulkan secara nyata bagaimana arah hubungan antara perdagangan luar negeri dan pertumbuhan ekonomi. Kontroversi tersebut berakar pada perbedaan struktur perekonomian dan kemampuan suatu negera dalam mengatasi persoalan perekonomian. Perbedaan tersebut terjadi baik antar negara maupun antar kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang yang melakukan perdagangan (Anoruo dan Ramchander (2002), Medina dan Smith (2001), dan Mohsin dan Anam (2001).
45 Berbagai hasil penelitian mengenai hubungan perdagangan dengan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa hubungan tersebut menarik untuk diteliti. Banyak penelitian yang telah dilakukan baik dalam satu negara, beberapa kelompok negara berkembang, maupun dalam kelompok negara maju. Berikut ini akan digambarkan beberapa hasil penelitian yang pernah dilakuklan oleh beberapa peneliti. Penelitian-penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh: Henriques and Sadorsky (1996), Ratnawati (1996), Riezman, et al. ( 1996), Ekayanake (1999), Yousif, (1999), Sinsha (1999), Anyamele (2000), Doraisami (2001), Medina dan Smith (2001), Mohsin dan Anan (2001), Oktaviani (2001), Yusof, et al. (2001), Anoruo dan Ramchander (2002), Awokuse (2002), Hachicha (2003), Juswanto dan Mulyanti (2003), Dritsaki et al. (2004), Shirazi dan Manaf (2004), Abou F. Stait (2005), Siliverstors dan Herzer (2005), Taban dan Akbar (2005). Dari berbagai penelitian tersebut, sebagian dari hasil-hasil penelitian terjadi perbedaan hasil yang diperoleh karena faham dari setiap negara adalah berbeda (school of thought). Suatu negara yang menjalankan strategi export–led growth (ELG) telah membuktikan bahwa ekspor merupakan faktor dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga menganggap ekspor sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth). Faham lain menganut anggapan bahwa dengan melakukan ekspor, maka akan tercipta proses yang berkesinambungan, sehingga menempatkan ekspor sebagai sasaran utama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Studi tentang perdagangan luar negeri baik ekspor maupun impor yang terkait dengan kinerja perekonomian satu negara atau banyak negara dengan menggunakan berbagai metode analisis disajikan di bawah ini.
46 Mohsin dan Anam (2001) melakukan penelitian pengaruh ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi pada negara-negara Asean, dengan sampel negara Malaysia, Indonesia, Singapura, Philipina, dan Thailand. Penelitian tersebut menggunakan model kointegrasi dan ECM. Model dibangun dari derivasi fungsi produksi agreatif dengan variabel terdiri dari GDP, tenaga kerja, kapital, ekspor, impor, dan pengeluaran pemerintah. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah, (1) semua negara dalam penelitian menunjukkan tingkat pertumbuhan ekspor selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi (1960-61 sampai 1995-96), (2) terdapat kointegrasi di negara Singapura, Indonesia, dan Thailand, sementara di Malaysia dan Philipina tidak terkointegrasi. Ini berarti bahwa ekspor dan GDP beserta variabel lainnya tidak saling berhubungan atau kalaupun ada hubungannya sangat lemah, (3) hasil model VAR menunjukkan bahwa seluruh negara di ASEAN terdapat hubungan dua arah antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Anoruo dan Ramchander (2002) dengan menggunakan model VECM, melakukan penelitian pada lima negera Asia yakni, India, Indonesia, Korea, Malaysia, dan Philipina. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekspor mendukung pertumbuhan ekonomi di empat negara, kecuali Indonesia tidak terbukti. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa orientasi pada perdagangan luar negeri (outward orientation) merupakan kebijakan yang efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang. Shirazi dan Manaf (2004) telah melakukan penelitian hubungan ekspor dengan pertumbuhan ekonomi di Pakistan. Model yang digunakan adalah VECM dan variabel-variabelnya adalah GDP, ekspor, dan impor. Hasil temuannya adalah
47 terdapat hubungan jangka panjang antara ketiga variabel tersebut periode tahun 1960 sampai 2003. Khusus untuk impor, memiliki hubungan dua arah dengan pertumbuhan ekonomi, sementara ekspor dan impor memiliki hubungan yang tidak signifikan. Yusop, et al. (2001) melakukan penelitian di Malaysia tentang expor-led growth dengan menggunakan data time series tahun 1960 hingga 2001.dan menggunakan 6 variabel, sehingga model ekonominya adalah sebagai berikut. Y = f(X, M, ER, L, K) ......................................................................... (2.8) keterangan : Y = GDP riil, X = Ekspor riil, M = Impor, ER = Nilai Tukar riil, L = Tenaga Kerja, dan K = Investasi. Analisis menggunakan metode kointegrasi/VECM, hasilnya menunjukkan bukti kuat bahwa terdapat kointegrasi (hubungan dalam jangka pendek dan jangka panjang) diantara variabel-variabel tersebut. Kesimpulan lain yang dihasilkan adalah bahwa metode bivariat kurang tepat untuk digunakan, karena telah menghilangkan beberapa variabel relevan dalam melakukan estimasi model. Oleh karena itu perlu membentuk suatu model pertumbuhan ekonomi dengan menambah sejumlah variabel yang memiliki hubungan. Di samping variabelvariabel di atas, variabel impor juga merupakan bagian dari model. Pentingnya impor masuk kedalam model, karena impor merupakan bagian dari perdagangan luar negeri, dan untuk negera-negara berkembang, termasuk Indonesia, impor bahan baku dan barang modal sangat penting dalam melihat hubungan perdagangan luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi. Riezman, et al. (1996), melakukan penelitian pengaruh ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di 9 negara Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East
48 and North Africa, MENA). Menggunakan model VECM dengan empat variabel, yakni GDP, Ekspor, Impor, dan Ekspor Manufaktur. Dalam penelitian ini, selain variabel ekspor sebagai variabel utama, juga variabel impor sangat penting, karena memiliki peranan dalam hubungan ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Temuannya adalah, apabila variabel impor dihilangkan dari sistem persamaan, maka akan menurunkan pengaruh ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Temuan lainnya adalah ketika memperhatikan variabel ekspor total, hasilnya menolak hipotesis ELG pada hampir semua negara yang di uji, hal ini dapat disebabkan oleh tidak dimasukkannya variabel-variabel yang terkait, seperti variabel impor, nilai tukar, dan lain-lain. Namun ketika memperhatikan hanya ekspor manufaktur, ditemukan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat bagi negara-negara dengan kontribusi manufaktur yang relatif rendah terhadap total ekspor, dan terdapat hubungan sebab akibat bagi negara-negara yang kotribusinya relatif tinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa, kebijakan promosi ekspor akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi hanya jika variabel ekspor manufaktur masuk dalam sistem persamaan. Dari hasil penelitian tersebut tentang ekspor manufaktur, mengindikasikan bahwa di negara-negara maju, ekspor manufaktur yang telah memiliki kontribusi tinggi terhadap total ekspor akan menunjukkan pengaruh positip pada pertumbuhan
ekonomi,
dan
inilah
perbedaannya
dengan
negara-negara
berkembang tentang pengaruh ekspor manufaktur pada pertumbuhan ekonomi. Juswanto dan Mulyanti (2003) meneliti tentang ekspor manufaktur Indonesia. Menurut peneliti, ekspor manufaktur dipercaya sebagai salah satu mesin penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
49 pertumbuhan ekspor manufaktur yang cepat dan kontribusinya terhadap GDP yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Dengan menggunakan alat analisis constant market share ditemukan bahwa masalah utama ekspor manufaktur Indonesia adalah pada komposisi produknya, karena ekspor mannufaktur Indonesia terkonsentrasi pada produk-produk yang secara relatif
rendah
permintaannya di pasaran dunia. Kondisi ini menunjukkan fakta bahwa, produkproduk golongan SITC 6 dan 8 dimana terdapat lebih dari 50 persen ekspor manufaktur Indonesia permintaannya ebih rendah dibandingkan produk lainnya. Di samping itu juga ditemukan bahwa ekspor manufaktur Indonesia cenderung teronsentrasi pada negara-negara tertentu seperti Jepang, Singapura, Amerika , Taiwan, China dan Hongkong yang menyerap lebih dari 60 persen dari total eksor manufaktur Indonesia. Dengan demikian sangat rentan dampaknya terhadap kinerja ekspor manufaktur Indonesia akibat ketergantungan yang kuat pada beberapa negara tersebut. Ratnawati (1996) dengan menggunakan model computable general equilibrium (CGE), telah melakukan penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan luar negeri terhadap kinerja perekonomian Indonesia
termasuk
dampaknya terhadap sektor pertanian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan luar negeri melalui peningkatan tarif impor dan pajak ekspor akan memperburuk kinerja perekonomin Indonesia. Dengan kata lain proteksi terhadap industri dalam negeri yang berlebihan malah akan menurunkan daya saing baik dipasaran luar negeri maupun di dalam negeri. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti menyarankan bahwa dalam rangka menghadapi perdagangan bebas,
tarif impor dan pajak ekspor supaya diturunkan secara
50 bertahap, baik terhadap produk-produk industri maupun terhadap produk-produk sektor pertanian. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia termasuk penciptaan kesempatan kerja. Yousif (1999) memberikan informasi hasil penelitiannya tentang hubungan antara ekspor dengan pertumbuhan ekonomi, ia berkesimpulan bahwa sebenarnya hubungan antara ekspor dengan pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilakukan secara sederhana dan langsung, karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi hubungan kedua variabel tersebut. Hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak terjadi pada hubungan jangka panjang. Anyamele (2000) melakukan penelitian di negara Nigeria tentang ExportLed Growth in Public Sector Dominated Economy : A Macroeconomic Model of Nigeria. Dengan menggunakan model fungsi produksi Neoklasik ditambah dengan variabel ekspor (X)dan variabel pengeluran pemerintah (G), sehingga modelnya adalah sebagai berikut. Q = f (A,K,L,X,G) ............................................................................ (2.9) Dengan menggunakan model ekonometrik metode multiple regression, hasilnya menunjukkan bahwa
variabel eksport sangat signifikan dalam
menentukan pertumbuhan ekonomi yang sama dengan variabel kapital, sedangkan vaiabel pengeluaran pemerintah signifikan pada level 10 persen, namun variabel tenaga kerja tidak signifikan. Besaran koefisien yang dihasilkan untuk kondisi ekonomi Nigeria, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen akan tercapai, jika ekspor naik sebesar 20.2 persen, pengeluaran pemerintah naik 11.1 persen, peningkatan kapital stok sebesar 14.8 persen.
51 Oktaviani (2001) dengan menggunakan model computable general equilibrium (CGE) telah melakukan penelitian tentang dampak kebijakan fiskal terhadap kinerja ekonomi makro dan ekonomi sektoral. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jika pemerintah menetapkan kebijakan fiskal yang bersifat inflatoir (harga BBM, tarif listrik, dan telepon), maka akan membawa dampak buruk terhadap perekonomian secara makro, terutama akan menyebabkan penurunan produksi di sektor pertanian, dan lebih lanjut akan menurunkan kemampuan sektor pertanian dalam memberikan kesempatan kerja. Demikian pula terhadap sektor industri, akan menurunkan daya saing produk industri di pasaran luar negeri. Berkaitan dengan penurunan daya saing terhadap produk industri manufaktur dan produk sektor pertanian akibat kebijakan tersebut, Oktaviani (2000) menyarankan agar pemerintah harus berusaha meningkatkan efisiensi produksi. Sehingga dapat meningkatkan daya saing produk di luar negeri, sekaligus dapat menciptakan kesempatan kerja. Terlebih lagi dalam menghadapi liberalisasi perdagangan (AFTA dan APEC) diperkirakan akan memberikan dampak positip terhadap perekonomian makro Indonesia, termasuk sektor pertanian. Doraisami (2001) juga telah melakukan penelitian tentang hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi di Malaysia dari tahun 1959-2000. Metode yang digunakan adalah model vector autoregression (VAR). Dalam upaya mendapatkan hasil dari hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi tersebut Zulkornain menggunakan 6 (enam) variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi, ekspor, impor barang-barang konsumsi, Investasi, angkatan kerja dan nilai tukar. Model ekonominya dapat diformulasikan sebagai berikut.
52 GDP = f ( X, MC, K, L, ER)
....................................................... (2.10)
dimana : GDP X MC K L ER
= = = = = =
Real Gross Domestic Product Real Ekspor Real impor barang-barang konsumsi Gross fixed capital formation Angkatan Kerja Nilai tukar terhadap USD (RM/US$)
Dari hasil penelitiannya diperoleh informasi, bahwa ekspor berpengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi baik jangka pendek maupun jangka panjang, investasi dan impor memiliki dapak positip terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara tenaga kerja berdampak negatip dalam jangka pendek. Alkadri (2001), meneliti sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama kurun waktu 1969 – 1996. Penelitian ini menggunakan model ECM dengan 12 variabel, dengan model ekonomi seperti persamaan (2.11). Hasil penelitian ini adalah bahwa selama 1969-1996 terdapat delapan variabel, yakni utang luar negeri pemerintah, utang luar negeri swasta, investasi domestik, ekspor barang, tabungan pemerintah, tabungan swasta, pajak, dan angkatan kerja, yang memberikan dampak positif kepada pertumbuhan ekonomi. Ekspor mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, secara statistik signifikan pada derajat kepercayaan 20 persen. Sementara itu, tiga variabel lainnya (investasi
asing,
impor barang,
dan
pengeluaran
pemerintah)
memberikan dampak negatif kepada pertumbuhan ekonomi. PE = (Up, Us, Ia, Id, Ek, Im, Tp, Ts, Pj, Pp, Tk ) ........................... (2.11) Dimana : PE Up Us
= tingkat pertumbuhan ekonomi = aliran neto utang luar negeri pemerintah = aliran neto utang luar negeri swasta
53 Ia Id Ek Im Tp Ts Pj Pp Tk
= = = = = = = = =
investasi swasta asing investasi swasta domestik ekspor barang impor barang tabungan pemerintah tabungan swasta penerimaan pajak pengeluaran pemerintah tingkat pertumbuhan angkatan kerja.
Dritsaki et. al (2004), melakukan penelitian tentang hubungan antara perdagangan internasional (X), Penanaman Modal Asing (FDI), dan pertumbuhan ekonomi di negara Greece (Yunani) dengan model hubungan ekonominya adalah: GDP = f (X, FDI)
....................................................................... (2.12)
Dengan menggunakan data time series tahunan dari tahun 1960 sampai 2002, dan menggunakan metode Vector Autoregressive Model (VAR). Pengujian yang dilakukan terhadap model tersebut meliputi : uji akar unit, uji kointegrasi, uji error correction model (ECM), dan uji Granger causality. Hasil penelitiannya antara lain, dengan menggunakan uji kointegrasi dan ECM, terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antar ketiga variabel tersebut. Tapi peneliti tidak melakukan estimasi dengan metode simultan. Awokuse (2002) telah melakukan penelitian tentang dampak ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi di Kanada. Penelitian ini menguji hipotesis tentang Export-led growth (ELG). Penelitian Awakuse menggunakan alat analisis ekonometrik Vector Autoregressive (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM) yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Toda dan Yanamoto (1995). Penggunaan alat analisis ini dilandasi oleh pemikiran fungsi produksi total (the Aggregatif production function), sehingga model yang dibuat adalah : Y = F[(K,L), X, TT, Y*]
............................................................... (2.13)
54 Dimana : Y K, L X TT Y*
= = = = =
variabel pertumbuhan real GDP kapital dan labor ekspor term of trade output luar negeri.
Dengan menggunakan enam variabel dan data time series, maka hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan uji Granger Causality antara variabel ekspor dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan timbal balik dan signifikan. Hasil penelitian tersebut ternyata juga menunjukkan hasil bahwa perdagangan luar negeri lebih ditekankan pada peranan ekspor, di samping variabel exchange rate dan impor barang dari luar negeri. Hachicha (2003) melakukan penelitian tentang pengaruh perdagangan luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi di Tunisia. Perdagangan luar negeri diproksi dengan variabel ekspor. Penelitian menggunakan data time series, dan menggunakan analisis dinamis dengan pendekatan error correction model. Pembentukan model analisis didasarkan pada fungsi produksi Cobb-Douglass, dengan menambahkan variabel ekspor ke dalam model sebagai variabel input bersama-sama dengan variabel kapital dan labor, persamaan tersebut adalah : Y = A Ktb1 Ltb2 Xtb3 exp(Uit)
.............................................................. (2.14)
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara ekspor dengan pertumbuhan ekonomi, terutama didorong oleh ekspor barang-barang industri, dibandingkan dengan tourism. Variabel ekspor sebagai proksi perdagangan luar negeri, berperan posisitip (0.37 persen) terhadap pertumbuhan ekonomi. Sinha (1999) melakukan penelitian tentang hubungan antara expor instability, investasi, dan pertumbuhan ekonomi di 9 (sembilan) negera asean.
55 Dengan menggunakan data time series tahun 1950–1997. Metode analisis menggunakan VAR, yang juga mencakup uji stationer, kointegrasi, dan VECM. Jumlah variabel keseluruhan dalam penelitian adalah empat variabel, yaitu GDP, X Instability yang diukur dengan deviasi ekspor dari rata-rata bergerak lima tahunan, Kapital (K), dan variabel jumlah populasi (L), sehingga model hubungan ekonomi adalah: GDP = F(K,L,X) .............................................................................. (2.15) Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa hubungan ekspor dengan pertumbuhan ekonomi memiliki hasil yang berbeda diantara negara-negara tersebut.
Untuk negara India, Jepang, Malaysia, Philipina, dan Sri Langka,
ternyata antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan negatif. Sedangkan untuk negara Korea, Myanmar, Pakistan, dan Thailand hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi adalah positif. Dari hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa tidak selamanya ekspor memiliki hubungan positip dengan pertumbuhan ekonomi, karena juga tergantung pada kondisi suatu negara. Siliverstors dan Herzer (2005), dalam kerangka export-led growth, telah meneliti hubungan antara ekspor produksi industri manufaktur, ekspor produk pertambangan, dengan pertumbuhan ekonomi di Chile. Dengan data time series tahunan dan menggunakan pendekatan dengan model teknik kointegrasi Johansen. Pembentukan model yang digunakan adalah berdasarkan fungsi produksi CobbDouglass, yaitu : Yt = At Kt Lt ….…………………………………………......…… (2.16)
56 Tapi karena peneliti ingin mengetahui pengaruh ekspor industri manufaktur dan ekspor pertambangan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas, maka produktivitas merupakan fungsi dari eksport industri manufaktur (XIMt), ekspor pertambangan (XPt), barang-barang kapital impor (MCt), dan faktor eksogen (Ct) yang diformulasikan sebagai berikut : At = f(XIMt, XPt, MCt, Ct) …………..………..……........……
(2.17)
Dengan mensubstitusikan persamaan (2.17) ke persamaan (2.16), maka diperoleh persamaan : Yt = f (Ct, Kt, Lt, XIMt, XPt, MCt) ..…..…………………..…… (2.18) Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa industri manufaktur dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar melalui peningkatan produktivitas, dibandingkan dengan dampak ekspor produksi tambang. Medina-Smith (2001) melakukan penelitian
di Costarica (1950-1997)
tentang pengaruh ekspor pada pertumbuhan ekonomi dengan mengadopsi teori produksi Neoklasik, yakni fungsi produksi Cobb-Douglass. Dengan dasar fungsi produksi tersebut peneliti memasukkan variabel ekspor sebagai variable input yang ketiga selain tenaga kerja dan kapital. Dimasukkannya variabel ekspor dalam fungsi produksi tersebut sebagai alternative guna menangkap pengaruh pertumbuhan total factor productivity (TFP) terhadap pertumbuhan output, sehingga model fungsi produksi yang digunakan menjadi dalam penelitiannya menjadi Y = f (K, L, X, M), dimana : Y = Real GDP K = Kapital Sto L = Tenaga Kerja X = Ekspor M =Impor
57
Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa export-led growth di Costarica masih valid, walaupun pengaruh ekspor relatif lemah, yang ditandai oleh angka secara kuantitatif relative kecil baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Akan tetapi untuk variabel investasi dan penduduk, secara empiris menunjukkan bahwa investasi dan penduduk memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Stait (2005), melakukan penelitian tentang ekspor led growth di Mesir (Egypt), dengan menggunakan data time series tahun 1977-2003. Variabelvariabel yang digunakan adalah Real GDP, ekspor, impor, net ekspor, dan kapital. Penelitian bertujuan menguji hipotesis apakah variabel-variabel tersebut terintegrasi, dan apakah ekspor berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, serta ingin menguji respon GDP terhadap guncangan variabel-variabel dalam sistem persamaan. Dengan menggunakan metode analisis VAR dan IRF, maka hasil yang diperoleh adalah Ekspor berpengaruh terhadap GDP, tapi tidak sebaliknya, dari analisis IRF diperoleh hasil bahwa GDP memberikan respon positip terhadap perubahan ekspor. Untuk lebih mudah melihat studi-studi di atas, maka akan disajikan tabel yang merupakan ringkasan, terutama yang terkait dengan pembentukan model dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
58 Tabel 5. Ringkasan Studi Terdahulu tentang Ekspor-Led Growth dan Metode serta Variabel-Variabel yang Digunakan dalam Penelitian. No
Peneliti, Tahun
Negara sampel Penelitian
Metode, Variabel
Hasil Penelitian
1.
Henriques and Sadorsky. (1996).
Canada
VAR : GDP, Ekspor, TOT.
Pertumbuhan Ekonomi menyebabkan peningkatan ekspor.
2.
Riezman at.al ( 1996)
9 Negara Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle east and North Africa)
VECM : GDP, Ekspor manufaktur, Ekspor, Impor
-Ekspor berpengaruh terhadap GDP, tetapi pengaruhnya akan menurun, jika variabel Impor di drop dari sistem persamaan -Tidak ada hubungan yang kuat antara GDP dan Ekspor Manufaktur,pada negara-negara dengan kontribusi rendah terhadap total Ekspor
3.
Ekayanake (1999)
Asian Developing Countries : India, Indonesia, Korea, Pakistan, Thailand, Philippines, and Sri Lanka.
Real GDP, Real Ekspor, LnRGDP dan LnRE.
Pengaruh Ekspor terhadap GDP dalam jangka pendek di semua negara lemah, tapi GDP berpengaruh terhadap Ekspor dalam jangka pendek, dan cukup kuat.
4.
Yousif, (1999)
Malaysia
VECM: GDP, Ekspor, ER, T.Kerja, Kapital.
Ekspor berpengaruh positip pada GDP dalam jangka pendek dan jangka panjang.
5.
Sinha (1999)
9 Negara ASIA : Jepang, Korea, Malaysia, Philipina, Srilangka, Thailand, Myanmar, Pakistan, dan India.
VECM: GDP, Ekspor Instabi lity, T.Kerja, Kapital.
Untuk Negara India, Jepang, Malaysia, Philipina, dan Srilangka, hubungan Ekspor dan GDP adalah negatip. Korea , Myanmar, Pakistan, dan Thailand hubungan Ekspor dan GDP adalah positip.
59 Tabel 5. Lanjutan
No
Peneliti, Tahun
Negara sampel Penelitian
Metode, Variabel
Hasil Penelitian
6.
Anyamele (2000)
Nigeria
Two-Stage Least Squares (2SLS) : GDP, T. Kerja, kapital, Ekspor, Pengeluaran pemerintah
Ekspor berpengaruh positip dan sangat signifikan terhadap GDP, sama dengan Kapital. Pengel pemerintah signifikan pada 10 persen, T. Kerja tidak signifkan.
7.
Doraisami (2001)
Malaysia
VECM : Real GDP, Real ekspor, Real Impor barangbarang konsumsi, Kapital, T. Kerja, dan ER.
Terdapat Hubungan positip GDP dan Ekspor dalam jangka pendek dan jangka panjang. Lainya berpengaruh negatip dalam jangka pendek.
8.
Medina dan Smith (2001)
Costarica
VECM : GDP, Kapital, T. Kerja, Ekspor, Impor.
9.
Mohsin dan Anam (2001)
Asean, sampel : Malaysia,Indonesia, Singapura, Philipina, dan Thailand.
Kointegrasi, ECM : GDP, T.Kerja,Kapital, Ekspor, Impor, Pengeluaran pemerintah
Hubungan GDP dan Ekspor positip, tapi lemah, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Terdapat Kointegrasi di Negara Singapura, Indonesia, dan Thailand. Ekspor dan GDP memiliki hub. kausalitas diseluruh negara Asean
10.
Yusop, et.al (2001)
Malaysia
VECM : GDP, Investasi, T. Kerja, Ekspor, Impor, dan Nilai Tukar.
Ekspor dan T. Kerja berpengaruh positip, investasi, impor dan nilai tukar berpengaruh negatip.
11
Anoruo dan Ramchander (2002)
5 Negara Asia : India, Indonesia, Korea, Malaysia, dan Philipina.
VECM : GDP, ekspor, Uang beredar (M2), dan Nilai tukar .
Di empat negara, Ekspor terbukti berpengaruh terhadap Pertumbuhan Ekonomi, kecuali di Indonesia tidak terbukti.
12
Awokuse (2002)
Canada
VECM : GDP, T. Kerja, Kapital, Ekspor, Term of trade, Output Luar Negeri.
Terdapat Hubungan timbal balik ekspor dan GDP, Dalam Perdagangan Luar Negeri, peranan Ekspor, nilai tukar, dan impor kapital sangat penting.
60 Tabel 5. Lanjutan
No
Peneliti, Tahun
Negara sampel Penelitian
Metode, Variabel
Hasil Penelitian
13.
Hachicha (2003)
Tunisia
VECM : GDP, T.Kerja,Kapital, Ekspor,Ekspor Manufaktur
Ekspor berpengaruh positip pada GDP, terutama didorong oleh ekspor industri manufaktur.
14.
Dritsaki et.al (2004)
Yunani
VECM : GDP, ekspor, FDI,
Terdapat hubungan kointegrasi dalam jangka panjang antar ketiga variabel.
15.
Shirazi dan Manaf (2004)
Pakistan`
VECM : GDP, Ekspor, Impor.
Terdapat Hubungan jangka Panjang antara ketiga variabel tsb tahun 1960-2003.
16.
Abou-Stait (2005)
Mesir
VAR, IRF : GDP, Ekspor, Impor, Net Ekspor, Kapital
17.
Silvester dan Herzer (2005)
Chile
Kointegrasi : GDP, Kapital, T. Kerja, Ekspor Manu faktur, Pertambangan, impor barang kapital
Ekspor berpengaruh terhadap GDP, tapi tidak sebaliknya. Dari analisis IRF, DGP memberikan respon positipterhadap perubahan ekspor. Ekspor manufaktur berpengaruh lebih besar daripada ekspor pertambangan.
18.
Taban dan Akbar (2005)
Turkey
GDP, Kapital, Labor, Ekspor.
Antara GDP dan Ekspor memiliki hubungan timbal balik dan positip, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Dari gambaran studi di atas, tampak bahwa untuk membentuk model yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi umumnya para peneliti menggunakan pendekatan dengan model fungsi produksi Neoklasik sebagai landasan berpikir. Oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan analisis yang bersifat makroekonomi, berarti fungsi produksinya terdiri dari banyak fungsi produksi yang dijumlahkan,
61 sehingga dinamakan fungsi produksi agragatif (aggregate production function). Demikian pula dalam kaitannya dengan analisis hubungan antara perdagangan luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi, penggunaan fungsi produksi perlu diperluas. Oleh karena itu dari beberapa hasil penelitian di atas dapat memberikan gambaran bahwa selain kapital dan labor yang menentukan pertumbuhan ekonomi sebagai fungsi produksi baku, maka harus ditambahkan variable-variabel lain yang berkaitan langsung dan tidak langsung ke dalam model, seperti variable ekspor, impor, net ekspor, pengeluaran pemerintah, penanaman modal asing, nilai tukar, hutang luar negeri. Dalam penerapan analisis fungsi produksi Neo Klasik pada penggunaan variabel makroekonomi, maka variabel-variabel yang digunakan adalah variabel agregatif seperti GDP sebagai proksi output, kapital stok dan penduduk, masingmasing sebagai proksi investasi dan tenaga kerja. Karena dalam analisis makroekonomi merupakan perluasan dari fungsi produksi agregatif, maka untuk melakukan analisis Export-Led Growth, perlu ditambahka variabel ekspor dala model. Akan tetapi biasanya dalam analisis ekonometrik hubungan bi-variat sering memberikan hasil yang kurang baik, di samping kadang-kadang memberikan gambaran hubungan yang kurang kuat, juga harus diingat bahwa baik variabel GDP maupun ekspor memiliki keterkaitan dengan variabel-variabel makro lainnya. Oleh karena itu perlu juga dipertimbangkan untuk memasukkan variabel-variabel makro lainnya, misalnya yang pernah dilakukan oleh Yusop, et.al (2001), Mohsin dan Anam (2001) Anoruo dan Ramchander (2002). Misalnya hasil penelitian pengaruh ekspor akan meningkat, jika variabel impor dimasukan dalam sistem persamaan (Riezman at.al, 1996).
62