II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Daya Saing Perkembangan konsep daya saing yang disampaikan oleh Cho dan Moon
(2000) dimulai dari pandangan Merkantilisme yang memandang perdagangan sebagai suatu zero-sum game, di mana surplus perdagangan sebuah negara diimbangi dengan defisit perdagangan negara lain. Namun Smith (2003) memandang perdagangan sebagai positive-sum game di mana semua mitra yang berdagang dapat memperoleh manfaat jika negara-negara melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang-barang di mana mereka memiliki keunggulan absolut. Ricardo memperluas teori keunggulan absolut menjadi teori keunggulan komparatif. Smith (2003), percaya operasi hukum alam, atau invisible hand, dan oleh karenanya mendukung individualisme dan perdagangan bebas. Smith berpendapat bahwa setiap orang lebih memahami kebutuhan dan keinginannya sendiri. Jika setiap orang diizinkan mencari kesejahteraannya sendiri, maka dalam jangka panjang ia akan memberikan kontribusi paling besar bagi kebaikan bersama. Hukum alam, dan bukannya peraturan pemerintah, akan berperan mencegah penyalahgunaan kebebasan ini. Secara khusus, keunggulan dari hukum alam ini di mata Smith berasal dari pembagian kerja (division of labor). Selanjutnya Smith (2003) memperluas gagasan mengenai pembagian kerja menjadi gagasan mengenai pembagian kerja internasional. Spesialisasi, kerja sama, dan pertukaran kontribusi pada kemajuan perekonomian dunia, dan karenanya membuka jalan menuju kemajuan di masa depan.
16
Perdagangan internasional oleh karenanya merupakan positive game bagi Adam Smith. Mengkritik merkantilisme, Smith (2003) menunjukkan bagaimana segala bentuk campur tangan pemerintah, seperti memberikan monopoli, mensubsidi ekspor, melarang impor, dan mengatur upah, dapat menghambat pertumbuhan
alamiah
aktivitas
ekonomi.
Sebaliknya,
Smith
(2003)
mengungkapkan keunggulan spesialisasi berdasarkan wilayah dan negara. Diawali dengan penalaran seperti ini, Adam Smith menunjukkan bagaimana setiap negara dapat jauh lebih baik secara ekonomis dengan berkonsentrasi pada apa yang dapat dilakukannya dengan paling baik daripada mengikuti doktrin merkantilis berupa kecukupan diri nasional (national self-sufficiency). Persaingan sangat penting dalam masyarakat yang diusulkan Adam Smith. Persaingan memastikan bahwa setiap orang dan negara akan melakukan apa yang paling sesuai mereka lakukan, dan hal ini memastikan bahwa masing-masing mendapatkan penghargaan penuh atas jasa-jasa mereka dan kontribusi maksimal mereka bagi kebaikan bersama. Oleh karena itu, peran pemerintah, atau penguasa, seharusnya minimal. Kebijakan perekonomian pemerintah yang paling penting adalah menghilangkan monopoli dan melindungi persaingan. Meskipun demikian, posisi Smith terhadap regulasi pemerintah tidaklah mutlak. Sebagaimana ditunjukkan dalam tugas ketiga pemerintah, Smith (2003) menyatakan bahwa proyek-proyek yang diperlukan yang terlalu besar untuk lembaga swasta akan dilaksanakan oleh kewenangan publik. Perdebatan tentang konsep keunggulan komparatif diawali ketika Smith (2003) menerbitkan bukunya, yang dilanjutkan oleh banyak ekonom yang
17
memberikan kontribusi pada teori ini (Krugman dan Obstfeld, 2006). Di antaranya, kontribusi Ricardo pada teori perdagangan internasional sedemikian penting sehingga teori klasik ini kadang-kadang dikatakan sebagai teori Ricardian. Terdapat suatu persoalan dengan teori keunggulan absolut. Menurut Smith, sebuah negara yang superior seperti ini mungkin tidak memperoleh manfaat dari perdagangan internasional. Aturan ini dikenal sebagai teori keunggulan komparatif. Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa sekalipun sebuah negara tidak memiliki suatu keunggulan absolut dalam barang apapun, negara ini dan juga negara-negara lainnya masih akan mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional. Krugman dan Obstfeld (2006), berpendapat bahwa impor dapat menguntungkan bagi sebuah negara walaupun negara itu mampu memproduksi produk yang diimpor dengan biaya yang lebih rendah. Oleh karena itu, tidak benar adanya, sebagaimana yang diyakini oleh Adam Smith bahwa di dalam perdagangan bebas masing-masing komoditas akan diproduksi oleh negara yang memproduksinya dengan biaya riil yang paling rendah. Hal ini merupakan prinsip keunggulan komparatif yang melandasi keunggulan pembagian tenaga kerja, baik antar-individu,
antar-wilayah,
maupun
antar-negara.
Model
perdagangan
internasional Ricardian dengan demikian merupakan suatu alat yang sangat bermanfaat untuk menjelaskan alasan-alasan mengapa perdagangan dapat terjadi dan bagaimana perdagangan meningkatkan kesejahteraan para mitra yang berdagang. Krugman dan Obstfeld (2006), juga menjelaskan bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan dalam produktivitas tenaga kerja, tetapi tidak
18
menjelaskan secara memuaskan mengapa produktivitas tenaga kerja berbeda antar-negara. Pada awal abad kedua puluh, sebuah teori penting yang baru mengenai
perdagangan
internasional,
model
Heckscher-Ohlin
(HO),
dikembangkan oleh dua orang ekonom Swedia yakni Hecksher dan Ohlin. Keduanya berpendapat bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan dalam factor endowments. Menurut model HO tersebut, terdapat dua ciri-ciri dasar dari negara dan produk. Negara berbeda satu sama lain menurut faktor produksi yang dimilikinya. Barang berbeda satu sama lain menurut faktor yang diperlukan dalam produksinya. Model HO mengatakan bahwa suatu negara akan memiliki keunggulan komparatif dalam barang yang diproduksinya relatif intensif dalam hal faktor yang dimilikinya, dan oleh karena itu akan mengekspornya. Logikanya adalah bahwa semakin berlebihannya suatu faktor, semakin rendah biayanya. Oleh karena itu, perbedaan dalam factor endowments dari berbagai negara dapat menjelaskan perbedaan dalam biaya faktor, yang mengakibatkan keunggulan komparatif yang berbeda. Studi empiris yang terkenal dari model HO dilakukan oleh Leontief (1953). Leontief yang semula berekspektasi bahwa Amerika Serikat, negara yang surplus modalnya paling besar di dunia, seharusnya mengekspor barang-barang padat modal dan mengimpor barang-barang padat karya, tetapi ternyata menemukan bahwa barang impor AS yang bersaing memerlukan modal yang 30 persen lebih besar. Banyak barang manufaktur yang melalui suatu siklus produk yang terdiri dari introduksi, pertumbuhan, kedewasaan dan penurunan. Jadi, keunggulan
19
komparatif dari barang ini berubah dari waktu ke waktu dan dari satu negara ke negara lain. Hipotesis siklus produk berawal dengan asumsi bahwa rangsangan pada inovasi biasanya dipicu oleh ancaman atau peluang di pasar. Dengan kata lain, perusahaan cenderung dirangsang oleh kebutuhan dan kesempatan yang ada di pasar yang terdekat, yaitu home market. Home market memainkan peran ganda dalam hipotesis ini. Home market tidak hanya berperan sebagai sumber rangsangan untuk perusahaan inovasi, tetapi juga lokasi yang lebih disukai untuk melaksanakan produksi (Cho and Moon, 2000). Berbeda dengan model keunggulan komparatif yang cenderung outside-in approach yang menempatkan pasar, kompetisi, dan konsumen sebagai titik awal proses penyusunan strategi. Konsep yang disusun oleh Prahalad dan Hamel (1994) lebih cenderung inside-out. The core competence model yang disusun oleh Prahalad dan Hamel (1994) menyatakan bahwa daya saing dalam jangka panjang diturunkan dari kemampuan untuk membangun core competence, yaitu lower cost dan more speedily dari pesaing. The core competence bisa menghasilkan produk baru yang tidak diantisipasi sebelumnya. Sumber utama untuk membangun competence adalah kemampuan manajemen
untuk
mengkonsolidasikan
corporate-wide
technologies
dan
production skills menjadi kompetensi. Hamel dan Prahalad (1994) menganjurkan perusahaan agar strategi bersaing dibangun di seputar core of shared competencies. Core competence yang dimaksud Hamel dan Prahalad harus memenuhi tiga persyaratan dassar yaitu: (1) menyediakan potensial akses ke pasar yang bervariasi luas, (2) membuat kontribusi nyata untuk membuat product benefit
20
seperti yang diharapkan konsumen, (3) core competence semestinya sulit ditiru oleh pesaing. Untuk membangun core competence diperlukan perbaikan proses yang berkelanjutan, yang menjadi komitmen seluruh level manajemen termasuk manajemen puncak. Daya saing menggambarkan kemampuan bersaing di masa lalu, masa kini dan bisa diproyeksikan ke masa depan. Daya saing bersifat dinamis dan akan mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu tergantung pada tingkat kompetisi, perubahan perilaku permintaan dan kemampuan dasar industri di negara bersangkutan. Penjelasan para ahli ekonomi mengenai daya saing global berkaitan dengan teori keunggulan komparatif dan faktor harga banyak terinspirirasi oleh pandangan Ricardo dan Heckscher-Ohlin.
Ricardo berfokus pada satu faktor
produksi dan tingkat teknologi yang berbeda-beda, sementara Hecksher dan Ohlin berfokus pada input tenaga kerja dan kapital serta menilai keunggulan komparatif berdasarkan perbedaan factor-faktor endowment dan faktor harga relatif. (Dornbusch et al.,1998). Dalam teori perdagangan modern dikatakan bahwa di dalam perdagangan dengan tingkat kompetisi yang tidak sempurna, maka keunggulan komparatif tetap memegang peranan penting untuk menjelaskan pola perdagangan yang terjadi, namun skala ekonomi dan motivasi strategis juga berperan penting (Helpman dan Krugman,1985 dalam Adams et al., 2004). Menurut Adams et al. (2004), keunggulan komparatif tidak selalu berhubungan erat dengan diskusi mengenai daya saing dikarenakan beberapa hal:
21
Pertama, karena keunggulan komparatif merupakan konsep mikroekonomi yang berfokus pada perdagangan industri spesifik, yang mampu menjelaskan mengapa sebuah negara melakukan ekspor atas produk-produk padat karya, sementara negara lain melakukan spesialisasi hanya untuk produk yang padat modal. Setiap negara mempunyai keunggulan komparatif dalam hal memperoduksi produkproduk tertentu, yaitu bila negara tersebut mempunyai tingkat biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan negara pesaingnya. Oleh karena itu keunggulan komparatif tidak terlalu berperan nyata dalam perspektif makroekonomi. Kedua, keunggulan komparatif adalah konsep ekuilibrium,
yang
memprediksi pola perdagangan di saat harga, aliran perdagangan dan nilai tukar berada pada posisi ekuilibrium. Sementara itu, keputusan bisnis secara eksplisit seringkali harus mempertimbangkan juga tingkat pertumbuhan jangka pendek selain hasil ekuilibrium jangka panjang. Seperti misalnya, kondisi perekonomian yang terjadi saat ini, fluktuasi nilai tukar mata uang asing, dan beberapa faktor lain yang mewakili deviasi dari kondisi ekuilibrum jangka panjang. Akhirnya, keunggulan komparatif tidak menempatkan secara khusus semua alternatif teknologi yang mungkin dilakukan oleh produsen. Pada tingkat mikroekonomi, jika berbicara mengenai produk spesifik, maka teori tidak akan selalu dapat menjelaskan negara mana yang mempunyai campuran sumberdaya dan faktor harga yang paling baik untuk berbagai tipe produk yang diproduksi. Tergantung dari infrastruktur dan teknologi serta rendahnya angka relatif jumlah tenaga kerja terhadap kapital, yang akan berimplikasi terhadap tingginya produktivitas dan nilai upah buruh. Bagi produk-produk padat karya, upah yang tinggi tidak selalu berkorelasi positif terhadap keunggulan komparatif, jika
22
tersedia teknologi alternatif yang menggunakan sedikit tenaga kerja dan lebih banyak kapital. Sebagai contoh, beberapa produk yang diproduksi secara manual di China dapat diproduksi dengan mesin di Amerika. Daya saing global pada dasarnya berhubungan dengan biaya, sehingga yang memenangkan kompetisi adalah negara yang mampu memasarkan produk dengan harga paling rendah atau kualitas terbaik. Biaya berhubungan dengan harga faktor-faktor input (seperti nilai tukar, upah domestik, biaya material), produktivitas, kemampuan untuk memproduksi barang berkualitas, biaya transportasi, biaya komunikasi, kendala perdagangan, strategi perdagangan dan kemampuan untuk memenuhi spesifikasi pasar (Adams et al., 2004). Pada kenyataannya penggunaan terminologi daya saing sangatlah luas. Seringkali para pendukung daya saing menekankan pada tingkat pertumbuhan produktifitas yang berkelanjutan, terutama dalam hal memproduksi produkproduk yang memenuhi kebutuhan pasar global dan mampu menggiring ke tingkat hidup yang lebih baik (Porter, 1990 dalam Competitiveness Policy Council, 1992). Menurut Reinhardt (2005), pembuat kebijakan industri di seluruh dunia semakin sering menggunakan teknologi dan klasifikasi pasar untuk menilai daya saing manufaktur. Sektor industri manufaktur yang intensif teknologi mempunyai pertumbuhan dan prospek dagang lebih baik, menawarkan kesempatan belajar, dan seringkali menghasilkan eksternalitas bagi perekonomian. Selain itu sektor manufaktur yang intensif teknologi juga menghasilkan nilai tambah lebih tinggi dan memberikan hambatan masuk lebih tinggi bagi pendatang baru.
23
Menurut Krugman dan Obstfeld (2006), hal paling mendasar dari perekonomian global adalah banyaknya manfaat dari perdagangan antar negara. Jika ada dua atau lebih negara yang saling menjual dan membeli barang dan jasa, maka pertukaran ini akan memberikan manfaat bagi negara-negara yang terlibat. Manfaat perdagangan internasional sesungguhnya lebih luas dari apa yang disadari masyarakat umum. Hanya saja, selama ini telah berkembang pendapat yang salah bahwa perdagangan internasional akan sulit dilakukan diantara negaranegara yang mempunyai perbedaan jauh, baik dalam hal tingkat produktivitas maupun tingkat kesejahteraan masyarakat. Negara dengan tingkat perkembangan teknologi yang rendah bisa jadi merasa bahwa melakukan hubungan dagang dengan negara yang lebih maju akan mendatangkan kehancuran karena ketidakmampuan bersaing. Negara dengan teknologi dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi akan merasa bahwa melakukan hubungan dagang dengan negara yang kurang maju dapat menurunkan standar kehidupan mereka. Ada juga kekuatiran bahwa negara maju akan dibanjiri oleh produk dari negara berkembang dengan kualitas produk rendah. Sekalipun sebuah negara akan mendapatkan manfaat positif dari perdagangan internasional, namun bisa jadi hal ini akan memberi dampak tidak menguntungkan bagi beberapa kelompok masyarakat dalam satu negara, karena perdagangan internasional akan memberikan pengaruh yang besar dalam hal distribusi pendapatan. Ohmae (1995) dalam Hanani (2000), mengatakan dampak liberalisasi perdagangan tidak hanya berpengaruh terhadap produksi, namun juga bisa terjadi pada perubahan konsumsi. Pada banyak negara, termasuk Indonesia, liberalisasi
24
perdagangan telah mempengaruhi pola konsumsi masyarakat termasuk dalam menyikapi produk impor. Berbagai perdebatan yang kontradiktif tentang perdagangan menghasilkan beberapa teori perdagangan internasional seperti diungkapkan oleh Krugman dan Obstfeld (2006), yang menyatakan bahwa : 1.
Perdagangan internasional akan berpengaruh negatif bagi pemilik sumberdaya yang bersifat spesifik dalam industri tertentu yang harus bersaing dengan barang atau jasa impor, karena tidak dapat menemukan tenaga kerja alternatif dari industri lain.
2.
Perdagangan internasional juga akan mengubah distribusi pendapatan pada beberapa kelompok besar, seperti kelompok pekerja dan pemilik modal. Keikutsertaan pada perdagangan internasional bisa dipandang dari dua
alasan, yaitu: (1) masing-masing negara yang berdagang mempunyai perbedaan, dan (2) perdagangan merupakan sarana untuk mencapai skala ekonomi produksi. Jika suatu negara hanya memproduksi beberapa jenis produk tertentu, maka keterlibatannya dalam perdagangan internasional membuat negara ini mempunyai kesempatan untuk memproduksi jenis produk yang terbatas tadi dalam skala yang lebih besar, sehingga akan lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut harus memproduksi sendiri semua produk kebutuhan dalam negerinya. Melalui perdagangan internasional juga bisa tergambar bagaimana hubungan dan rivalitas antar negara khususnya dalam perekonomian dunia, yang antara lain digambarkan dalam peta persaingan. Menurut Cho dan Moon (2000), retorika daya saing – pandangan bahwa, berdasarkan istilah Presiden Clinton, masing-masing negara seperti sebuah
25
perusahaan besar yang bersaing dalam pasar global – telah sedemikian privatif. Menurut Krugman dan Obstfeld (2006), daya saing menghadirkan tiga bahaya. Pertama, hal ini dapat mengakibatkan penyia-nyiaan uang untuk meningkatkan daya saing AS. Kedua, hal ini dapat mengarah pada proteksionisme dan perang dagang. Akhirnya, hal ini dapat mengakibatkan kebijakan publik yang buruk. Krugman memberikan peringatan bahwa suatu obsesi dengan daya saing merupakan hal yang berbahaya dan menyarankan membuang produktivitas dalam hal ini. Pada kenyataannya, meskipun demikian, mencoba untuk mendefinisikan daya saing sebuah negara ternyata jauh lebih problematik dibandingkan mendefinisikan daya saing sebuah perusahaan. Ukuran kinerja untuk sebuah perusahaan secara harfiah adalah labanya: jika sebuah perusahaan tidak mampu membayar para pekerja, para pemasok, dan para pemegang obligasinya, maka perusahaan akan keluar dari bisnis. Jadi, pada saat kita mengatakan bahwa sebuah perusahaan tidak kompetitif, yang kita maksud adalah bahwa posisi pasarnya tidak dapat dipertahankan untuk jangka waktu lama, kecuali perusahaan tersebut memperbaiki kinerjanya, perusahaan tersebut akan berhenti. Negara, di sisi lain, tidak mungkin keluar dari bisnis. Seseorang mungkin mengumpamakan secara naif bahwa ukuran kinerja dari sebuah perekonomian nasional sekadar neraca perdagangan saja, bahwa daya saing dapat diukur dengan kemampuan sebuah negara untuk menjual produk ke luar negeri yang jumlahnya lebih banyak daripada jumlah produk yang dibelinya. Tetapi dalam teori maupun praktik suatu surplus perdagangan mungkin
26
merupakan suatu tanda kelemahan nasional, suatu defisit mungkin merupakan suatu tanda kekuatan. Negara-negara tidak saling bersaing seperti halnya perusahaan saling bersaing. Pada persaingan antar perusahaan, keberhasilan perusahaan yang menang bersaing akan berakibat kekalahan pada perusahaan satunya. Tetapi dalam persaingan antar negara, keberhasilan negara yang satu menjual produk ke negara lain juga memberi manfaat bagi negara yang mengimpor khususnya dalam menghasilkan consumer surplus. Negara pengimpor bisa mendapatkan produk berkualitas dengan harga lebih murah. Menurut Cho dan Moon (2000), para pendukung daya saing tidak pernah menyangkal pentingnya kinerja perekonomian domestik. Terlebih-lebih, secara nyata semua resep daya saing menekankan tingkat tabungan dan investasi domestik, pendidikan, biaya modal, penelitian dan pengembangan. Perdagangan pada umumnya diperlakukan sebagai isu sekunder – lebih sebagai gejala daripada penyebab daya saing. Krugman (2006), tidak menjelaskan perlambatan dalam pertumbuhan produktivitas AS, tetapi ia menunjukkan bahwa faktor-faktor domestik merupakan penyebab intinya. Meskipun demikian, perlambatan tersebut datang tepat pada saat impor AS sedang membubung tinggi dan seluruh industri seperti produk elektronik konsumsi disapu habis oleh para pesaing luar negeri yang mengejar taktik merkantilis. Menurut Cho dan Moon (2000), negara mencoba untuk meningkatkan standar kehidupan setiap warganya. Standar hidup yang lebih tinggi tergantung pada peningkatan produktivitas, dan dalam banyak perekonomian tingkat
27
pertumbuhan produktivitas pada prinsipnya ditentukan oleh ukuran investasi domestik dalam pabrik dan perlengkapan, penelitian dan pengembangan, keterampilan dan infrastruktur publik, kualitas manajemen swasta dan administrasi publik. Cho and Moon (2000), menyebutkan bahwa kesalahan konsep dari daya saing internasional didasarkan pada gagasan bahwa daya saing internasional tergantung pada pasokan tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam yang banyak dengan harga yang murah. Teori ilmu ekonomi ini secara keliru menghubungkan daya saing internasional sebuah negara dengan penganugerahan faktornya. Ada negara-negara yang memiliki banyak sumberdaya tetapi tingkat perekonomiannya lemah. Dalam suatu dunia di mana bahan baku, modal, dan bahkan tenaga kerja bergerak di seluruh batas wilayah nasional, kepemilikan sumberdaya yang dianugerahkan saja tidak menentukan daya saing internasional. Menurut Rooyen et al. (2002), daya saing ekonomi komparatif sebuah negara sangat dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan sumberdaya khususnya tanah, tenaga kerja dan modal.
Sementara pendekatan daya saing kompetitif
kesempatan bisnis, kebijakan yang berlaku dan distorsi harga perbedaan kualitas produk dan kemampuan memasarkan. Keunggulan kompetitif berkaitan dengan skala ekonomi, economy of scope dan posisi di pasar Selanjutnya Uchida dan Cook (2004), menyatakan bahwa daya saing berkaitan erat dengan teknologi yang menghasilkan peningkatan produktivitas dan perbaikan
kualitas
produk.
Peningkatan
spesialisasi
memungkinkankan dilakukannya pengembangan kapasitas.
teknologi
juga
28
2.1.1. Konsep Daya Saing Diamond Porter Untuk menyelidiki mengapa negara memperoleh keunggulan kompetitif dalam industri tertentu dan implikasinya bagi strategi perusahaan dan perekonomian nasional, Porter (1990) melaksanakan suatu studi selama empat tahun terhadap sepuluh negara utama dalam perdagangan. Porter mendefinisikan industri sebuah negara sebagai sukses secara internasional jika memiliki keunggulan kompetitif relatif terhadap para pesaing terbaik di seluruh dunia. Sebagai indikator, ia memilih keberadaan ekspor yang besar dan bertahan lama dan/atau investasi asing di luar wilayah yang signifikan berdasarkan pada keterampilan dan aktiva yang diciptakan di negara asal. Porter menyimpulkan bahwa beberapa negara berhasil dalam industri tertentu karena lingkungan asalnya bersifat forward-looking, dinamis, dan menantang. Secara spesifik, beberapa penentunya adalah kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung, strategi perusahaan dan struktur persaingan. Dalam persaingan global yang semakin meningkat, negara menjadi semakin penting. Bersamaan dengan beralihnya basis persaingan menuju penciptaan dan asimilasi pengetahuan, peran negara telah berkembang. Keunggulan kompetitif diciptakan dan dipertahankan melalui proses yang sangat terlokalisir. Perbedaan dalam hal nilai-nilai, kebudayaan, struktur perekonomian, lembaga, dan sejarah nasional semuanya memberikan kontribusi terhadap keberhasilan kompetitif. Terdapat perbedaan yang bertarung dalam pola daya saing dalam setiap negara; tidak ada negara yang dapat atau akan bersifat kompetitif dalam setiap atau bahkan dalam sebagian besar industri. Beberapa negara berhasil dalam
29
industri tertentu karena lingkungan asalnya bersifat paling berpandangan ke depan, dinamis dan menantang.
Satu-satunya cara untuk mempertahankan
keunggulan kompetitif adalah dengan memperbaharuinya, untuk terus bergerak atau beralih ke tipe-tipe yang lebih canggih. Terdapat empat atribut seperti terdapat pada Gambar 1, yang secara individual dan sebagai suatu sistem menyatakan diamond dari keunggulan nasional, antara lain: kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung, serta strategi perusahaan (Porter, 1990). 1.
Kondisi Faktor Menurut teori ekonomi yang standar, faktor-faktor produksi -seperti tenaga
kerja, tanah, sumberdaya alam, modal, dan infrastruktur- akan menentukan alur perdagangan. Suatu negara akan mengekspor barang yang memanfaatkan faktorfaktor yang berlimpah. Doktrin ini, yang berawal dari teori Adam Smith dan David Ricardo menyatu dengan mazhab ekonomi klasik, ternyata dalam prakteknya tidak lengkap dan tidak benar. Pada industri canggih yang menjadi tulang punggung ekonomi maju, suatu negara menciptakan faktor produksi yang paling penting, seperti sumberdaya manusia yang terlatih atau yang terdidik. Lebih jauh lagi, ketersediaan faktorfaktor yang dinikmati suatu negara pada kurun waktu tertentu tidaklah sepenting tingkat efsiensi yang diciptakanya untuk industri tertentu. Faktor produksi terpenting adalah yang melibatkan investasi yang tinggi dan terspesialisasi. Faktor-faktor standar, seperti tenaga kerja dan sumberdaya alam bukan merupakan suatu keunggulan dalam industri padat pengetahuan.
30
Perusahaan dapat dengan mudah mendapatkannya melalui strategi global atau melalui kemajuan teknologi. Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan
Kondisi faktor
Kondisi permintaan
Industri terkait dan industri pendukung
Gambar 1. Beberapa Penentu Daya Saing Nasional Sumber: Diadaptasi dari Porter (1990) Kondisi sebaliknya bahwa ketidakberuntungan pada faktor-faktor standar tersebut dapat medorong perusahaan untuk terus berinovasi dan berkembang, sesuatu yang tidak menguntungkan pada model kompetisi statis dan dapat menjadi sesuatu yang menguntungkan pada model dinamis. Disaat ada kelebihan pasokan bahan mentah yang murah atau kelebihan tenaga kerja, perusahaan dapat dengan mudah mengandalkan faktor-faktor ini atau bahkan menggunakannya secara tidak efisien. Tetapi ketika perusahaan menghadapi adanya faktor selektif yang tidak menguntungkan, seperti biaya tanah yang tinggi, kekurangan tenaga kerja, atau kekurangan bahan mentah; maka mereka harus berinovasi dan terus berkembang untuk dapat memenangkan persaingan. Kondisi lain yang mampu mengubah ketidakunggulan menjadi keunggulan adalah kondsi lingkungan di sekitar berlian tadi. Untuk berinovasi perusahaan harus mempunyai akses ke sumberdaya manusia yang berketerampilan dan
31
mempunyai kondisi permintaan lokal yang mengirim sinyal secara benar. Mereka juga harus mempunyai ‘musuh’ domestik yang aktif, yang mampu menciptakan tekanan untuk berinovasi. Prakondisi lain adalah tujuan perusahaan yang mengarah kepada komitmen berkelanjutan pada sektor industri tertentu. Tanpa adanya komitmen dan pesaing aktif, maka perusahaan cenderung mengabaikan faktor yang tidak menguntungkan itu daripada memanfaatkannya untk melakukan inovasi. 2.
Kondisi Permintaan Kelihatannya globalisasi akan menghilangkan fungsi penting dari
permintaan lokal. Pada prakteknya hal seperti ini bukanlah inti permasalahan. Kenyataannya, komposisi dan karakter pasar lokal seringkali menimbulkan pengaruh yang tidak tepat pada cara pandang dan respon perusahaan terhadap kebutuhan pembeli. Negara bisa memperoleh keunggulan kompetitif pada satu industri jika permintaan lokal mampu memberikan gambaran yang jelas bagi perusahaan mengenai kebutuhan konsumen. Tuntutan konsumen domestik akan memerikan tekanan bagi perusahaan untuk segera melakukan inovasi dan mendapatkan keunggulan kompetitif yang lebih canggih daripada pesaing asing. Kondisi permintaan lokal membantu tercapainya keunggulan kompetitif bila segmen industri tertentu lebih besar atau lebih layak di pasar lokal daripada di pasar asing. Para pembeli lokal dapat membantu perusahaan dari sebuah negara untuk memperoleh keunggulan jika kebutuhan mereka mengantisipasi atau bahkan membentuk kebutuhan negara lain, atau jika kebutuhan mereka memberikan “indikator peringatan awal” yang terus-menerus dari kecenderungan
32
pasar global. Kebutuhan yang sudah diantisipasi mengemuka karena nilai-nilai politik sebuah negara menutup kebutuhan yang akan tumbuh di tempat lain. Yang lebih penting dari gabungan beberapa segmen adalah sifat alamiah konsumen lokal. Perusahaan nasional akan memperoleh keunggulan kompetitif jika konsumen lokal adalah juga konsumen dunia yang paling canggih dan paling banyak tuntutannya terhadap barang dan jasa yang ditawarkan. Konsumen yang menuntut dan canggih merupakan jendela menuju kebutuhan konsumen yang maju karena akan menekan perusahaan untuk menghasilkan produk dengan standar tinggi dan mendorong perusahaan untuk terus melakukan perbaikan dan inovasi. Seperti juga halnya dengan kondisi faktor, maka kondisi permintaan menghasilkan keunggulan dengan memaksa perusahaan untuk merespon tantangan-tantangan yang berat. 3.
Industri Terkait dan Industri Pendukung Hal ketiga yang menentukan keunggulan nasional adalah adanya industri
terkait dan industri pendukung yang bersaing secara internasional. Pemasok lokal yang bersaing secara internasional akan menciptakan keunggulan pada industri hilir dengan banyak cara. Mereka menyediakan input yang efektif dan hemat biaya secara efisien, cepat, dan sedini mungkin, atau bahkan dengan cara yang lebih disukai, dan selanjutnya mereka akan akan menyediakan keunggulan bersaing melalui inovasi dan perbaikan secara terus menerus yang dihasilkan dari hasil hubungan kerja yang erat antara industri hulu dan hilir. Daya saing lokal pada industri terkait juga memberikan manfaat berupa derasnya arus informasi dan pertukaran teknologi yang mempercepat tingkat inovasi dan perbaikan. Industri terkait lokal juga meningkatkan kecenderungan
33
suatu perusahaan mengutamakan keterampilan baru, yang merupakan pintu masuk untuk membawa perusahaan mampu berkompetisi di pasar internasional. 4.
Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan Daya saing di industri tertentu dihasilkan dari konvergensi parktek
manajemen dan organisasi yang ada di negara tertentu dipadu dengan sumber keunggulan bersaing di industri bersangkutan. Motivasi individu untuk berkerja dan mengembangkan keterampilan juga penting dalam penciptaan keunggulan bersaing. Bakat yang luar biasa merupakan sumberdaya yang sulit ditemui. Kesuksesan bersaing suatu negara akan sangat tergantung pada jenis pendidikan yang dipilih oleh para tenaga kerja berbakat, termasuk pekerjaan yang mereka pilih, serta komitmen dan usaha mereka. Tujuan dan nilai-nilai individu serta perusahaan yang ditentukan oleh lembaga negara, serta kebanggaan yang melekat pada industri tertentu akan menggiring aliran modal dan tenaga kerja yang akan berpengaruh langsung kepada kinerja daya saing suatu negara. Negara cenderung menjadi kompetitif dalam kegiatan-kegiatan yang dikagumi dan menjadi tumpuan masyarakatnya, yaitu kegiatan yang mampu menciptakan pahlawan negara. 5.
Keunggulan Bersaing antar Negara Banyak perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari adanya kompetisi
tingkat dunia karena tekanan tersebut sekaligus juga merupakan tantangan. Mereka bisa memanfaatkan adanya persaingan domestik yang begitu ketat, pemasok lokal yang agresif, dan konsumen lokal yang begitu banyak tuntutannya. Pada kondisi semakin meningkatnya persaingan global, maka peran negara menjadi semain penting. Dengan makin beralihnya basis persaingan ke arah
34
kretivitas dan asimilasi pengetahuan, maka peran negara makin bertumbuh. Keunggulan bersaing akan tercipta dan menjadi mapan melalui suatu proses lokalisasi tingkat tinggi. Perbedaan nilai antar negara, perbedaan budaya, struktur ekonomi, institusi, dan sejarah bangsa, semuanya mempengaruhi tingkat kesuksesan daya saing negara. Ada beberapa perbedaan menyolok pada pola daya saing antar negara. Tidak ada satupun negara yang dapat unggul di semua atau di sebagian besar sektor industri. Oleh karena itu, suatu negara dapat unggul pada sektor industri tertentu karena lingkungan negaranya sangat menunjang, dinamis, dan penuh tantangan. Dalam debat yang berkelanjutan tentang daya saing negara, topik yang paling kontroversial dan menimbulkan silang pendapat tentang peran pemerintah. Banyak orang yang melihat pemerintah sebagai penolong utama atau pendukung industri, memberlakukan kebijakan untuk memberikan kontribusi secara langsung pada kinerja kompetitif dari industri strategik atau target.
Pakar yang lain
menerima pandangan “pasar bebas” bahwa operasi perekonomian seharusnya dibiarkan menjadi pekerjaan dari invisible hand. Kedua pandangan tersebut yang dilaksanakan secara ekstrim tidaklah benar. Keduanya, diikuti pada hasil logisnya, akan mengarah pada erosi permanen dari kemampuan kompetitif sebuah negara. Di satu sisi, nasihat bantuan pemerintah untuk industri seringkali mengusulkan kebijakan yang pada kenyataannya akan melukai perusahaan dalam jangka panjang dan hanya menciptakan permintaan untuk mendapatkan bantuan yang lebih besar. Di sisi lain, berkurangnya nasihat dari suatu pemerintah mengabaikan peran bahwa pemerintah perlu membentuk konteks dan struktur kelembagaan yang melingkupi
35
perusahaan dan dalam menciptakan suatu lingkungan yang merangsang perusahaan untuk memperoleh keunggulan kompetitif. Peran yang tepat bagi pemerintah adalah sebagai suatu katalis dan menantang; dengan maksud untuk memperkuat – atau bahkan mendorong – perusahaan untuk meningkatkan aspirasi mereka dan bergerak menuju tingkat kinerja kompetitif yang lebih tinggi, walaupun proses ini mungkin tidak menyenangkan dan sulit. Pemerintah tidak dapat menciptakan industri yang kompetitif, karena hanya perusahaan yang dapat melakukan hal itu. Pemerintah memainkan suatu peran yang memang parsial, yang berhasil hanya saat bekerja bersamaan dengan kondisi yang mendukung dalam diamond tersebut. Meskipun demikian, peran pemerintah untuk mentransmisikan dan memperkuat kekuatan diamond adalah suatu peran yang kuat. Kebijakan pemerintah yang berhasil adalah suatu peran yang kuat. Kebijakan pemerintah yang berhasil adalah yang menciptakan suatu lingkungan di mana perusahaan dapat memperoleh keunggulan kompetitif, kecuali dalam negara yang berada dalam awal proses pembangunan. Peran ini adalah suatu peran yang tidak langsung, dan bukan peran yang langsung. Seringkali diperlukan lebih dari satu dekade bagi sebuah industri untuk menciptakan keunggulan kompetitif, dan proses
tersebut
memerlukan
peningkatan
keterampilan
manusia
secara
berkelanjutan, penginvestasian dalam produk dan proses, dan penetrasi pasar asing. Satu-satunya
konsep
daya
saing
pada
tingkat
nasional
adalah
produktivitas. Tujuan pokok dari sebuah negara adalah menghasilkan suatu standar kehidupan yang tinggi dan meningkat bagi para warganya. Kemampuan
36
untuk melakukannya tergantung pada produktivitas di mana tenaga kerja dan modal suatu negara digunakan. Produktivitas adalah nilai output yang diproduksi oleh suatu unit tenaga kerja atau modal. Produktivitas tergantung baik pada kualitas dan penampilan produk (yang menentukan harga yang dapat mereka minta) maupun pada efisiensi di mana produk dihasilkan. Produktivitas adalah penentu utama dari standar hidup negara yang berjangka panjang. Produktivitas adalah akar penyebab pendapatan per kapita nasional. Produktivitas sumberdaya manusia menentukan upah karyawan, produktivitas di mana modal digunakan menentukan return yang diperolehnya untuk para pemegang sahamnya. Pada studinya untuk menilai daya saing internasional Korea, Cho and dalam Cho dan Moon (2000) menyimpulkan bahwa ada dua pertimbangan utama yang harus diperhatikan. Pemerintah dan bisnis harus memperkenalkan modal dan teknologi dari negara asing atau menciptakan sumberdaya dan faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan perekonomian dari tahap awalnya. Mesin kunci dari pertumbuhan perekonomian Korea adalah kelompok orang yang berlimpah dan beragam dalam hal tingkat pendidikan, motivasi, dan dedikasi kerja yang tinggi. Perbedaan antara model yang baru tersebut dengan model diamond Porter banyak ditemukan dalam pembagian faktor sebagaimana dalam penambahan faktor baru. Diamond mencakup sumberdaya alam maupun tenaga kerja dalam kondisi faktor, tetapi model sembilan faktor menempatkan sumberdaya alam di bawah sumberdaya yang dianugerahkan, sementara tenaga kerja tercakup di dalam golongan pekerja. Suatu penyelidikan yang terinci mengenai sembilan faktor daya saing internasional dibutuhkan.
37
Beberapa penulis telah memperkenalkan model pembangunan dalam konteks tahap-tahap pembangunan yang berbeda. Rostow (1971) menampilkan lima tahap yang terkenal, yaitu: masyarakat tradisional, pra kondisi untuk tinggal landas, tinggal dorongan, arahan menuju kedewasaan, dan era konsumsi massa tinggi. Porter (1990) menyatakan empat tahap pembangunan kompetitif nasional yang berbeda, yaitu: factor-driven, investment-driven, innovation-driven, dan wealth-driven. 2.1.2. Daya Saing Perusahaan, Industri dan Negara McFetridge (1995) mengelompokkan pengertian daya saing dalam tiga kategori yaitu: (1) daya saing pada level perusahaan, (2) daya saing pada level industri, dan (3) daya saing pada level negara. Pada masing-masing level digunakan ukuran daya saing berbeda. Indikator daya saing pada level perusahaan diukur dari kemampuan menghasilkan keuntungan, efisiensi biaya, produktivitas dan market share. Penelitian yang dilakukan Asian Development Bank atau ADB (2003) tentang Persaingan Internasional Ekonomi Asia mengidentifikasi adanya lima faktor yang menentukan dalam persaingan internasional, seperti yang terlihat pada Gambar 2. Faktor–faktor tersebut mencakup faktor internal, yaitu: (1) teknologi, (2) sumberdaya manusia, (3) struktur organisasi; dan faktor eksternal, yaitu: (4) pemerintah, dan (5) peran modal dan keuangan. Secara bersama-sama kesemua faktor ini dapat menentukan kemampuan perusahaan untuk sukses bersaing di pasar internasional dalam menghadapi perubahan teknologi, ekonomi dan lingkungan sosial.
38
Keuntungan ekspor dan kemampuan perusahaan untuk memelihara pangsa pasarnya tetap menjadi indikator utama dari keberhasilan dalam persaingan internasional.
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Teknologi dan Informasi
Kebijakan Pemerintah
Modal dan Keuangan
Sumber Daya Manusia
Struktur Organisasi
Interaksi berakibat pada persaingan internasional (Keuntungan Ekspor dan Pangsa Ekspor lebih tinggi)
Gambar 2. Model Gabungan Persaingan Internasional Perusahaan di Asia Sumber: Diadaptasi dari McFetridge (1995) Teknologi punya peranan penting dalam kompetisi saat ini. Terminologi teknologi umumnya berkaitan dengan teknologi produk dan proses. Teknologi produk menggambarkan sekumpulan pengetahuan atau pembaharuan untuk mewujudkan sebuah produk, sedangkan teknologi proses diartikan sebagai teknologi yang melekat pada proses produksi. Ada dua aspek teknologi sebagai sumber
persaingan
perusahaan-perusahaan
di
Asia,
yaitu:
(1)
strategi
pembaharuan teknologi, dan (2) peran teknologi informasi dan komunikasi.
39
Pada negara-negara industri, lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi jangka panjangnya berasal dari teknologi pembaharuan melalui peningkatan produktivitas atau produk baru, proses atau industri. Peningkatan produktivitas di salah satu institusi juga akan memberi dampak di intitusi lainnya (Grossman dan Helpman, 1991). Negara-negara industri yang sudah mapan mengalokasikan sumberdaya yang sangat besar pada bidang penelitian dan pengembangan untuk memajukan kegiatan pembaharuan. Jepang, Amerika, dan Eropa Barat mengalokasikan sekitar dua per tiga pengeluarannya untuk penelitian dan pengembangan (Freeman dan Hagedoorn, 1994). Daya saing bisnis pada industri tertentu ditunjukkan oleh tingkat profitabilitas perusahaan-perusahaan yang menjadi bagian industri bersangkutan. Dan untuk mencapai profitabilitas diperlukan adanya produktivitas. Produktivitas dipengaruhi oleh adanya kompetensi sumberdaya manusia, aplikasi teknologi, keunggulan komparatif bawaan, ketersediaan infrastruktur serta dukungan kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah yang diperlukan dalam industri minyak sawit antara lain kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan produksi yaitu kebijakan pertanian dan industri, serta kebijakan perdagangan dan ketenagakerjaan. Menurut Sunaryanto (2006), jumlah industri menengah yang turun ke industri kecil relatif lebih banyak daripada yang naik ke industri besar, kecuali untuk ISIC 33 (kayu dan produk olahan). Industri menengah berbasis pertanian atau orientasi pasarnya ekspor juga lebih dinamis. Keberadaan krisis lebih menguntungkan bagi industri menengah ekspor.
40
Penelitian Sunaryanto (2006) menunjukkan faktor internal, kecuali produktivitas tenaga kerja, berpengaruh positif terhadap kenaikan industri menengah ke industri besar. Faktor eksternal, pajak dan bunga ternyata juga berpengaruh oisitif terhadap dinamika industri menengah untuk naik menjadi industri besar. Menurut McFetridge (1995), pengukuran daya saing pada level industri dilakukan melalui komparasi industri yang sama di satu negara dengan negara lain yang sudah atau berpotensi melakukan hubungan dagang.
Dengan adanya
hubungan dagang tersebut, maka daya saing industri pada sektor tertentu dapat diukur melalui indikator international market share. Daya saing industri manufaktur sangat dipengaruhi oleh produktivitas tenaga kerja yang tercermin dari kompetensinya. Dalam rangka meningkatkan daya saing di sektor manufaktur, pelatihan bisa digunakan sebagai salah satu instrumen (Padilla dan Judrez, 2007). Peningkatan inovasi organisasi dapat juga digunakan sebagai cara meningkatkan daya saing (Bausang, 2003). 2.1.3. Ukuran-Ukuran Daya Saing Menurut Imagawa (2003), Index of International Competitiveness (IIC) yang telah diterapkan dalam berbagai analisa pada beberapa tahun terakhir ini untuk mengukur daya saing mempunyai beberapa versi. IIC menunjukkan indeks dari total ekspor dibagi dengan total perdagangan. Vollrath (1991) dalam Imagawa (2003) telah merangkum 10 tipe IIC yang berbeda, yang secara berurutan diberinya nama RCA1, RCA2, …dan RCA10. Vollrath memulai dengan Index of Relative Export Performance, atau RCA1 yang diperkenalkan oleh Liesner (1958) dalam Imagawa (2003) adalah:
41
RCA1 = X / X ij
.......................................................................................
ik
(1) dimana X adalah nilai ekspor, subscript i menunjukkan ekspor dari komoditi tertentu, subscript j dan k secara berurutan menunjukkan negara sendiri dan negara lain yang ditentukan (untuk selanjutnya subscript i menyatakan komoditi dan subscript j menyatakan negara, kecuali jika ditetapkan berbeda). IIC yang paling dikenal adalah Revealed Comparative Advantage atau RCA2 yang diperkenalkan oleh Balassa (1965) dalam Imagawa (2003) yang diturunkan dengan rumus: RCA2 = (X / Σ X ) / (Σ X / Σ Σ X ) ....................................................... ij
i
ij
j
ij
i
j
ij
(2) Subscript i menunjukkan ekspor komoditas manufaktur, dan subscript j menunjukkan negara maju tertentu. Teori RCA2 sama dengan teori Export Specialization Index (RCA3) yang diperkenalkan Kanamori (1964) dalam Imagawa (2003) yakni sebagai berikut: RCA3 = (X / Σ X ) / (Σ X / Σ Σ X ) ....................................................... ij
i
ij
j
ij
i
j
ij
(3) Subscript i merupakan nilai ekspor komoditi tertentu. Teori pengukuran relative ekspor-impor (RCA4) juga diperkenalkan oleh Balassa (1965) dalam Imagawa (2003) adalah: RCA4 = (X / Σ Σ X ) / (M / Σ Σ M ) ...................................................... ij
i
j
ij
ij
i
j
ij
(4) dimana M menunjuk kepada angka nilai impor. Trade-only Index of Comparative Advantage (RCA5) yang digunakan oleh
42
UNIDO (1982) dalam Imagawa (2003) merupakan indeks daya saing internasional yang paling banyak digunakan, dengan rumus sebagai berikut. RCA5 =(X - M ) / (X + M ) .................................................................. ij
ij
ij
ij
(5) Numerator menunjukkan nilai net ekspor dan denominator menunjukkan nilai total perdagangan. Indeks ini sangat sederhana karena cukup dengan membandingkan data perdagangan dari satu negara. Trade-Only Index of Comparative Advantage (RCA6) yang diperkenalkan Donges dan Riedel (1977) dalam Imagawa (2003) lebih komplikatif, adalah sebagai berikut: RCA6 = (((X - M ) / (X + M )) / ((Σ X - Σ M ) / ((Σ X + Σ M )) – ij
ij
ij
ij
j
ij
j
ij
j
ij
j
ij
1)* (sign (Σ X - Σ M )) ................................................................... j
ij
j
ij
(6) Jika (Σ X - Σ M ) bernilai positif (negatif), maka tanda plus (negatif) ditulis di j
ij
j
ij
depan (Σ X - Σ M ). j
ij
j
ij
Pengukuran RCA7 yang diperkenalkan oleh Bowen (1983) dalam Imagawa (2003) adalah yang pertama kali menempatkan data output sebagai faktor yang berperan penting, adalah: RCA7 = (X - M ) / (Y / Σ Y )* Σ Q .................................................... ij
ij
j
j
j
j
ij
(7) Y menunjukkan nilai Gross National Product (GNP) dari negara j
j dan Q
ij
menunjukkan angka produksi domestik atas komoditas i di Negara j. RCA7
43
bukanlah indeks yang hanya menghitung nilai perdagangan (trade only), sehingga oleh karenanya dapat diabaikan dalam pembahasan selanjutnya. Definisi RCA8 yang diperkenalkan Vollrath (1987) dalam Imagawa (2003) merupakan yang pertama, yang memisahkan data perdagangan komoditi tertentu atau negara tertentu dari perhitungan total pasar dunia. Dalam hal ini RCA8 di hitung berdasarkan rumus sebagai berikut: RCA8 = RXA - RMA ij
ij
.................................................................... (8)
dimana: RXA = (X / Σ X ) / ( Σ X / Σ Σ X ) ij
ij
h
ij
k
ij
h
k
ij
RMA = (M / Σ M ) / ( Σ M / Σ Σ M ) ij
ij
h
ij
k
ij
h
k
ij
Subscript h merupakan total komoditas yang diperdagangkan dikurangi dengan komoditas i, sedangkan subscript k menunjukkan nilai total dunia dikurangi dengan negara j. Sebagai varian dari RCA8 ada dua indeks lainnya yang dinyatakan dalam format logaritmik, yaitu : RCA9 = ln(RXA ) .................................................................................. (9) ij
RCA10 = ln(RXA ) - ln(RMA ) ........................................................... ij
ij
(10) Keunggulan komparatif (comparatif advantage) tidak hanya bersumber dari faktor alamiah saja, tetapi dapat juga diciptakan (Anggarwal dan Agmon, 1990). Selain itu, dinamika dari keberlimpahan dan pengelolaan sumberdaya, mengakibatkan keunggulan komparatif tidak hanya bersifat statis melainkan dinamis (Klein, 1971).
44
Pengamatan RCA dalam kurun waktu yang berbeda akan lebih bermakna bila diperhatikan dari perubahannya (∆RCA), dimana untuk perubahan ini dapat diberikan gambaran mengenai kemajuan pola industri, yakni: (1) jika ∆RCA = 0, maka dapat dikatakan keunggulan komparatif industri di negara tersebut tidak berubah, artinya komoditi-komoditi industri yang terindikasi sebelumnya memiliki keunggulan kompartif, tetap memiliki keunggulan tersebut. Sementara industri yang tidak memiliki keunggulan sebelumnya masih terindikasi tetap tidak memiliki keunggulan komparatif saat ini, atau dikatakan bahwa pola spesialisasi industri tidak berubah, (2) jika ∆RCA > 0, dapat diindikasikan sedang terjadi kemajuan pola spesialisasi industri, dimana rentang antara industri yang memiliki keunggulan komparatif dengan industri yang tidak memiliki keunggulan semakin melebar, dan (3) jika ∆RCA < 0, terjadi kemunduran pada pola spesialisasi industri yang ditunjukkan dengan menurunnya keunggulan komparatif. 2.2.
Keterkaitan Antar Sektor Daya saing industri atau perusahaan di satu negara tertentu tidaklah berdiri
sendiri. Pada konsep daya saing Diamond Porter di sub bab sebelumnya, daya saing punya keterkaitan dengan kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung serta strategi perusahaan. Aktivitas produktif dalam perekonomian memang tidak dapat berdiri sendiri. Masing-masing proses produksi umumnya memerlukan input yang disuplai dari dalam negeri maupun diperoleh secara langsung dari luar negeri. Pada gilirannya, industri yang memproduksi input memerlukan pula input yang berasal dari sektor lain untuk proses produksinya. Dengan menggunakan produk antara dan barang modal, industri-industri menjadi saling berkaitan satu sama lain,
45
bahkan terjadi hubungan saling ketergantungan. Keterkaitan tersebut dapat berupa: (1) Kaitan ke belakang (backward linkage), yang menunjukkan peranan suatu sektor dalam menciptakan permintaan turunan, (2) Kaitan ke depan (forward linkage), untuk melihat derajat pemencaran penggunaan hasil produksi suatu sektor sebagai input bagi sektor lain. Keterkaitan antar industri bisa mempengaruhi struktur industri dan kemajuan perekonomian suatu negara. Aktivitas produksi di satu sektor bisa mempengaruhi langsung dan tidak langsung pada sektor lain (Hayashi, 2005). Penggunaan input antara yang berasal dari output sektor produksi lain dan penggunaan input primer seperti tenaga kerja dan modal, membuat suatu sektor produksi menjadi terintegrasi dengan sektor-sektor lainnya dalam suatu perekonomian. Untuk melihat bagaimana integrasi perekonomian terjadi, dapat digunakan model I-O, yang dapat merefleksikan hubungan atau keterkaitan antarsektor (intersectoral). Hubungan saling ketergantungan satu dengan lainnya, dimana output dari suatu sektor produksi merupakan input bagi sektor produksi lainnya begitu pula sebaliknya. Perubahan output suatu sektor produksi akan mempengaruhi pula output dari sektor produksi yang lain. Hirschman (1958) dalam Jhingan (1993), merinci keterkaitan antarsektor menjadi: (1) keterkaitan langsung ke belakang, (2) keterkaitan langsung ke depan, (3) daya sebar ke depan dan (4) daya sebar ke belakang. Berdasarkan hubungan keterkaitan ini, dapat ditentukan pengaruh suatu perubahan dalam satu sektor terhadap semua sektor lain dalam perekonomian, dengan demikian dapat pula disusun perencanaan yang sesuai.
46
Keterkaitan antar industri merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh growth pole dalam perkembangan ekonomi. Keterkaitan itu dapat berupa forward linkages maupun backward linkages. Growth pole harusnya lebih mengacu pada suatu sektor yang dapat menyebar dalam berbagai aktifitas sektor produksi sehingga mampu menggerakkan ekonomi secara keseluruhan. Sektor semacam ini
umumnya memiliki ciri-ciri, antara lain: (1) perkembangannya
relatif cepat, (2) industrinya relatif besar untuk memberikan dampak langsung dan tidak langsung, (3) memiliki keterkaitan tinggi antar industri, dan (4) inovatif. Dijelaskan oleh Chenery-Watanabe (1958) bahwa melalui penjumlahan secara kolom matrik koefisien input A, akan diperoleh ukuran keterkaitan kebelakang pada suatu sektor, dengan rumusnya sebagai berikut: n
xij
i =1
xj
BL = ∑ c j
n
= ∑ a ij
............................................................... ..(11)
i =1
dimana BL j c menunjukkan keterkaitan kebelakang dari sektor j dengan metode Chenery-Watanabe, x ij adalah banyaknya input yang berasal dari sektor i yang digunakan untuk memproduksi output sektor j, dan a ij adalah koefisien input dari sektor j ke sektor i. Melalui cara yang sama, namun penjumlahan sekarang dilakukan secara baris, ukuran keterkaitan kedepan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: n
xij
j =1
xj
FLci = ∑
n
= ∑ bij
................................................................ .(12)
j =1
dimana FL i c merupakan keterkaitan kedepan dari sektor i, sedangkan b ij menunjukkan koefisien output dari sektor i ke sektor j.
47
Oleh karena Chenery-Watanabe (1958) menggunakan koefisien input (output) secara langsung, yang didapat dari satu kali iterasi perhitungan keterkaitan antarsektor, maka ukuran yang diperoleh dengan metode ini sering disebut sebagai keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan secara langsung, yang mengabaikan dampak tidak langsung (indirect effect) antarsektor. Agak berbeda dengan metode Chenery-Watanabe (1958), Rasmussen (1956) mengajukan penjumlahan kolom (atau baris) pada matrik invers Leontif, (I – A)-1, digunakan sebagai ukuran keterkaitan antarsektor. Sehingga keterkaitan kebelakang dan keterkaitan kedepan menurut metode ini masing-masing diukur dengan cara: n
BLRj = ∑ g ij
.............................................................................. .(13)
i =1
n
FL = ∑ g ij R i
.............................................................................. .(14)
j =1
dimana BL j R dan FL i R masing-masing menunjukkan ukuran keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan untuk metode Rasmussen, sedangkan g ij adalah elemen pada matrik invers Leontif, G = (I – A)-1. Oleh karena model Rasmussen menggunakan matrik invers Leontif, maka ukuran keterkaitan antarsektor yang diperoleh bisa dikatakan merupakan ukuran keterkaitan secara tidak langsung, yang menghitung dampak tidak langsung dari suatu sektor dalam perekonomian. Ukuran keterkaitan ke belakang, BL j R, pada model Rasmussen merefleksikan pengaruh dari kenaikan permintaan akhir pada sektor j terhadap output perekonomian secara keseluruhan, dengan kata lain ukuran ini menjelaskan
48
besarnya perubahan output perekonomian sebagai akibat terjadinya kenaikan sebanyak satu unit pada permintaan akhir di sektor j. Keterkaitan kedepan, FL i R, merefleksikan besarnya kenaikan output pada sektor j jika permintaan akhir pada setiap sektor lainnya naik sebanyak satu unit. Hirschman (1958), mengatakan bahwa indikator keterkaitan antarsektor yang disampaikan Rasmussen ini lebih baik dipakai untuk mengidentifikasi sektor-sektor kunci dalam perekonomian. Berdasarkan teori perencanaan dan pembangunan ekonomi, yang dimaksud sektor kunci ialah sektor yang paling efektif untuk berperan sebagai engine of development dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan yang berkelanjutan, yang intinya mengacu pada kemampuan sektor tersebut untuk mendorong dan menopang pertumbuhan seluruh sektor dalam perekonomian. Oleh karena itu, layak tidaknya suatu sektor menjadi andalan perekonomian semata-mata tidak hanya ditentukan berdasarkan besarnya kontribusi langsung terhadap perekonomian tetapi juga harus memperhitungkan kontribusi tidak langsungnya melalui keterkaitan antar-industri, artinya apakah industri tersebut mempunyai peranan besar untuk mendorong atau menunjang kegiatan produksi dari sektor-sektor yang lain. Dalam model I-O antarnegara, keterkaitan antarsektor ini tidak hanya dipandang dalam satu negara saja, namun yang lebih jauh lagi diamati pada keterkaitan antar negara. Inilah salah satu kelebihan dari penggunaan model I-O antarnegara dibandingkan model I-O tunggal suatu negara. Model input-output antarnegara dapat digunakan untuk menelusuri sektorsektor kunci yang dapat diidentifikasi kedalam empat indikator dibawah ini, antara lain:
49
1.
Suatu sektor dianggap sebagai sektor kunci apabila mempunyai kaitan ke belakang (backward linkage) dan kaitan ke depan (forward linkage) yang relatif tinggi.
2.
Suatu sektor dianggap sebagai sektor kunci apabila menghasilkan output bruto yang relatif tinggi, sehingga mampu mempertahankan final demand yang relatif tinggi pula .
3.
Suatu
sektor
dianggap
sebagai
sektor kunci apabila
mampu
menghasilkan penerimaan bersih devisa yang relatif tinggi. 4.
Suatu
sektor
dianggap
sebagai
sektor
kunci
apabila
mampu
menciptakan lapangan kerja yang relatif tinggi. Pengembangan industri penunjang yang kompetitif untuk menjamin perusahaan-perusahaan Indonesia yang merupakan bagian dari perdagangan, keuangan dan jaringan teknologi internasional; dan meningkatkan kemampuan teknologinya (Aswicahyono dan Pangestu, 2000). 2.3.
Kinerja Daya Saing Menurut Besanko et al. (2004), kinerja daya saing dirumuskan sebagai
Economic Profitability. Keuntungan perusahaan dipengaruhi oleh economics of its market and its success in creating more value than its competitors. Kemampuan perusahaan menangkap nilai yang diharapkan konsumen dan menyajikannya akan menjadi kunci sukses bisnis. Penciptaan nilai (value creation) akan menjadi modal untuk membangun keunggulan bersaing (competitive advantage). Value creation akan menghasilkan surplus konsumen. Value-created yang merupakan perbedaan antara benefit dan cost, akan menghasilkan nilai ekonomi. Bila produsen mengkombinasikan tenaga kerja,
50
modal, bahan baku, dan membeli komponen untuk membuat produk di mana benefit-nya (B) melebihi cost (C), dan bila produk tersebut dibeli oleh konsumen, maka nilai ekonomi telah tercipta. Benefit yang ada dalam produk (B) merepresentasikan nilai yang diperoleh konsumen, sementara cost (C) merepresentasikan nilai yang diberikan oleh input yang dikonversikan ke dalam produk yang sudah jadi. Value-created dibagikan kepada konsumen dan produsen. Surplus konsumen (B–P) menunjukkan porsi value-created yang ‘diperoleh’ konsumen. Penjual menerima harga P dan menggunakannya untuk membayar input, seperti tenaga kerja, modal, dan material yang dibutuhkan untuk membuat sebuah produk. Profit yang diterima produsen (P – C) menunjukkan porsi value-created yang diperolehnya. Dengan menambahkan surplus konsumen dan profit produsen maka diperoleh formula value-created sebagai berikut: Value-created = Surplus Konsumen + Surplus Produsen = (B – P) + (P – C) = B – C ......................................................................... (15) 2.4.
Konsep Sumber Pertumbuhan Peningkatan daya saing sektor industri tertentu perlu memperhatikan
sumber-sumber pertumbuhan di masa sebelumnya dan membandingkannya dengan industri sejenis di negara atau tempat lain. Menurut Imagawa (2002) terdapat 4 (empat) sumber pertumbuhan yang bisa diturunkan melalui analisis dekomposisi perubahan struktural, yaitu: 1.
The expansion of domestic final demand yang menjelaskan dampak langsung dan tidak langsung dari perluasan permintaan akhir domestik.
51
2.
Export expansion yang merupakan dampak langsung dan tidak langsung dari perluasan perdagangan internasional ekspor.
3.
Import Substitution (IS) yang merupakan dampak langsung dan tidak langsung akibat perubahan dalam proporsi perdagangan internasional impor.
4.
Technological Change (TC) yang menunjukkan dampak langsung dan tidak langsung dari perubahan koefisien input-output. Dalam pembahasan berikut ini dijelaskan bagaimana caranya menurunkan
persamaan dekomposisi faktor-faktor pertumbuhan berdasarkan sistem I-O antar negara. Pertama, yang akan disampaikan terlebih dahulu adalah persamaan keseimbangan untuk sistem I-O antar negara yang digambarkan dengan menggunakan persamaan matriks sebagai berikut:
X L A LL R = RL X A
A LR X L F LL + F LR E L M L ..(16) + + − A RR X R F RL + F RR E R M R
Pada matriks ini, notasi L menunjukan negara L, sedangkan R untuk negara R. Sementara XK , EK , dan MK masing-masing adalah matriks gross output, perdagangan luar negeri ekspor, dan perdagangan luar negeri impor untuk masing-masing negara K, dimana K sama dengan L dan R, sedangkan AKJ adalah matrix koefisien input dari suatu negara apabila K = J, dan menjadi matrix koefisien perdagangan antar negara jika K ≠ J. Kedua, akan didefinisikan proporsi impor dari sebuah sektor produksi dalam sebuah negara seperti di bawah ini.
n m iK = M Kj / ∑ a ijKK X iK + FiKK ...................................................... (17) j=1
52
dimana a ijKK adalah elemen matrix koefisien input ke-ij dari matrix AKK, X i K adalah elemen ke-i dari vektor matrix ekspor XK, dan terakhir F i KK adalah elemen ke-i dari vektor permintaan akhir (final demand) FKK. Seandainya persamaan (17) kita transformasikan ke persamaan (16) akan diperoleh turunannya :
X L p L A LL R = RL X A
A LR X L p L F LL + F LR E L + + ........(18) p L A RR X R F RL + p K F RR E R
dimana pK = I – mK adalah matriks diagonal proporsi suplai domestik dari sebuah negara K (K = L, R). Persamaan (18) merupakan suatu sistem yang simultan dari gross output kedua negara L dan R, yang dapat diringkas dalam notasi umum matrix sebagai berikut. X = [ (p Aa + Ab ) X ] + (p Fa + Fb + E) ...............................................(19) Penyelesaian persamaan (8) adalah : X - [ (p Aa + Ab ) X ] = (p Fa + Fb + E) [I - (p Aa + Ab ) ] X
= (p Fa + Fb + E)
X = [ I - (p Aa + Ab ) ]-1 (p Fa + Fb + E) .............................................(20) atau, X = B (p Fa + Fb + E).......................................................................... (21) dimana B = [I-(pAa+Ab)]-1 merupakan matriks invers Leontief untuk sistem I-O antar negara, sedangkan X, Aa, Ab, p, Fa , Fb dan E masing-masing adalah :
p L E L XL X = R,E= R,p= 0 E X A LL 0 b Aa = ,A RR 0 A
F LL b F LR 0 , F = RR , F = RL pR F F
0 A LR = RL .................................................... (22) A 0
53
Ketiga, seluruh persamaan (22) jika diturunkan dalam bentuk deviasi akan diperoleh persamaan perubahan gross output yaitu : ∆X = X t – X 0 = B t (p t Ft a + Ft b + E t ) – B 0 (p 0 F 0 a + F0 b + E 0 ) ............. (23) Subskrip t menunjukkan tahun berjalan (terminal year), sedangkan subskrip 0 menunjukkan tahun awal (initial year). Notasi ∆ merupakan simbol dari perubahan. Selanjutnya jika kita defenisikan ∆Fa = Ft a - F 0 a , ∆Fb = F t b - F0 b , dan ∆E= E t - E 0 kemudian disubtitusikan ke dalam persamaan (12) maka diperoleh persamaan : ∆X = B t [(p t ∆Fa+∆Fb)+∆E] + B t (p t – p 0 ) F0 a + (B t – B 0 ) (p 0 F 0 b + F0 b + E 0 ) .................................................................... (24) atau, ∆X = B t [ (p t ∆Fa + ∆Fb) + ∆E + ∆p (A0 a X o + F0 a ) + (p t ∆Aa + ∆Ab) X 0 ] .......................................................................(25) dimana ∆p = p t – p 0 , ∆Aa = At a – A0 a , ∆Ab = A t b – A0 b . 2.5.
Persaingan Global Menurut Adams et al. (2004), kinerja ekspor dalam perekonomian China
pada dua dekade terakhir ini sangat fenomenal. Beberapa pengamat memberi perhatian yang mendalam pada bertumbuhnya tingkat sentralisasi produk manufaktur di Asia Timur, khususnya China. Isu ini akan berdampak pada masalah tenaga kerja dan upah karyawan pabrikan di Amerika, Eropa, dan Jepang ketika
produk-produk
ekspor
China
mulai
merambah.
Para
pengamat
54
mengkhawatirkan implikasi deflasi akibat murahnya harga produk impor dari China yang beredar di negara-negara maju. Beberapa tahun terakhir ini kinerja ekspor China sangat tinggi dengan kenaikan sebesar 20-30 persen. Pada tahun 2002, ekspor China mencapai $326 triliun, atau sekitar 5 persen dari nilai ekspor dunia dengan tingkat pertumbuhan sebesar 22.3 persen di tahun 2002. Pada Tabel 1 berikut terlihat jelas bahwa dari tahun ke tahun ekspor China terus mengalami peningkatan, bahkan ketika negaranegara lain sedang mengalami penurunan ekspor. Seperti terlihat pada Tabel 1, perdagangan internasional yang tercermin dari nilai ekspor dunia mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun 1970-an. Perkembangan ekspor dunia banyak dinikmati oleh China, Hongkong, Korea Selatan dan Negara-negara anggota ASEAN. Hanya saja mulai tahun 2000 ketika ekspor China terus tumbuh, ternyata Korea Selatan dan negara-negara ASEAN tidak menunjukkan kecenderungan yang sama. Gambaran lebih jelas terdapat dari pertumbuhan ekspor pada Tabel 2. Tabel 1. Perkembangan Ekspor Dunia Tahun 1970-2002 Country
(milyar US $) 2000 2002
1970
1980
1990
1995
World
298.4
1921.8
3377.6
5079.1
6387.5
6478
China
2.3
18.1
62.1
148.8
249.2
326
Hongkong
2.5
19.8
82.2
173.8
201.9
200.1
Korea Selatan
0.8
17.5
65
125.1
172.3
162.8
Malaysia
1.7
11.1
29.4
74.1
98.2
88
Thailand
1
5.7
8.1
17.5
39.8
32.7
Philipina
0.7
6.5
23.1
56.5
69.1
65.1
Indonesia
1.1
25.2
25.7
45.5
62.1
57.4
Sumber: International Financial Statistics dalam Adams et al., 2004
Tabel 2. Pertumbuhan Ekspor Tahun 1970-2002 (% per tahun)
55
Region
1970-1980 1980-1990 1990-1995 1995-2000 2000-2002
World
18.63
11.28
8.16
4.58
0.7
China
20.63
12.33
17.48
10.31
13.43
Hongkong
20.69
14.23
14.97
3.0
-0.45
Korea Selatan
30.85
13.12
13.09
6.40
-2.84
Malaysia
18.76
9.74
18.49
5.63
-5.48
Thailand
22.28
12.68
17.89
4.03
-2.98
Indonesia
31.32
0.20
11.42
6.22
-3.94
Sumber: International Financial Statistics dalam Adams et al., 2004
Perbedaan pertumbuhan ekspor pada negara-negara utama eksportir dunia berakibat
terjadinya
pergeseran
kontribusi
negara
bersangkutan
perdagangan internasional seperti tercermin dari pangsa pasarnya.
dalam
Perubahan
pangsa pasar ekspor negara-negara utama dunia dari tahun 1970 ke tahun 2002 terdapat pada Tabel 3. Negara-negara yang selama ini menguasai pasar ekspor dunia seperti Amerika Serikat dan Jepang terus mengalami penurunan pangsa pasar ekspor sementara China terus meningkat. Negara-negara ASEAN yang punya kontribusi besar dalam produksi dan dalam ekspor dunia yaitu Malaysia, Thailand dan Indonesia kesemuanya mengalami penurunan pangsa pasar pada tahun 2002 dibandingkan tahun 2000 dan 1995, dan perlu diantisipasi agar tidak berkelanjutan di masa selanjutnya. Tabel 3. Pangsa Pasar Ekspor Dunia Tahun 1970–2002 1970
1980
1990
1995
2000
(%) 2002
China
0.77
0.94
1.84
2.93
3.90
5.03
Korea Selatan
0.27
0.91
1.92
2.46
2.70
2.51
Malaysia
0.57
0.58
0.87
1.46
1.54
1.36
Thailand
0.23
0.34
0.68
1.11
1.08
1.00
Indonesia
0.37
1.31
0.76
0.90
0.97
0.89
Jepang
6.47
6.79
8.51
8.72
7.50
6.44
14.31
11.74
11.65
11.51
12.23
10.71
Negara
Amerika Serikat
Sumber: International Financial Statistics dalam Adams et al., 2004
56
Tabel 4. Pertumbuhan Ekspor Per Jenis Produk di Negara-Negara China, Indonesia dan Thailand Tahun1995-2001 Jenis Produk
4.2
Indonesia -1.6
-3.0
-6.1%
-4.0
-20.4
3.6%
24.8
Bahan baku industry
5.6
7.1%
8.2
Hasil indus tri masal
6.9
1.8%
-3.0
15.0
12.4%
5.3
9.5
3.2%
2.8
Produk pangan dasar Produk olahan hasil pertanian Minyak
Produk kapital dan teknologi tinggi Total
China
(%) Thailand -0.7
Sumber: United Nations Comtrade dalam Adams et al., 2004
Untuk memberikan gambaran lebih mendalam pertumbuhan ekspor tiga negara yang dijadikan obyek penelitian yaitu Indonesia, Thailand dan China; pada Tabel 4 ditampilkan gambaran pertumbuhan ekspor per jenis produk pada tahun 1995-2001. China telah menjadi negara eksportir dominan dan secara kontinyu beralih ke sektor-sektor yang berteknologi tinggi. Perlu pula dicatat bahwa kategori teknologi tinggi yang dijalankan China tidak hanya mencakup teknologi yang canggih, tetapi juga teknologi yang lebih sederhana seperti aktivitas perakitan yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk-produk berteknologi tinggi seperti Personal Computer (PC) dan telepon, yang menjadi bagian penting dalam proses produksi produk-produk ekspor China (Adams et al., 2004). Pada produk olahan hasil penelitian yang menjadi obyek penelitian ini, terlihat penurunan pangsa pasar dari Indonesia, China dan Thailand. Penurunan paling besar dialami oleh ekspor produk olahan hasil pertanian Indonesia, diikuti oleh Thailand dan China. Perbedaan perubahan pangsa pasar seperti ini memberi
57
sinyal indikasi terjadinya perubahan kemampuan bersaing dari negara Indonesia, Thailand dan China dalam industri olehan pertanian. 2.6.
Instrumen Daya Saing
2.6.1. Instrumen Daya Saing pada Kebijakan Perdagangan Krugman dan Obstfeld (2006) menyebutkan beberapa instrumen yang bisa digunakan dalam merumuskan kebijakan peningkatan daya saing perdagangan, antara lain: 1.
Tarif Kebijakan perdagangan yang paling sederhana adalah tarif, yang menyatakan besarnya pajak atas produk impor. Ada dua jenis tarif, yaitu: (1) Specific Tariffs, berupa pajak dalam jumlah nominal tertentu atas setiap unit produk yang diimpor, dan (2) Ad Valorem Tariff, berupa persentase atas nilai yang diimpor. Tarif merupakan kebijakan tertua dan digunakan sebagai sumber pendapatan pemerintah, terutama sebelum ditentukan adanya pajak pendapatan. Penerapan tarif juga berfungsi melindungi sektor domestik terhadap persaingan dari produk-produk impor sejenis karena beban tarif atas produk impor dapat menaikkan harga produk domestik sejenis.
2.
Subsidi Ekspor Subsidi ekspor (export subsidies) adalah pembayaran yang diberikan kepada perusahaan atau individu yang mengapalkan barang ke luar negeri. Seperti halnya tarif, nilai subsidi ekspor dapat berupa jumlah uang tertentu per unit produk (specific), atau dalam persentase terhadap nilai yang diekspor (ad valorem). Jika pemerintah menawarkan subsidi
58
ekspor, maka pihak pengapal dapat terus mengekspor produk sampai satu titik dimana harga produk di pasar domestik melebihi harga di luar negeri sebesar nilai yang disubsidi. 3.
Kuota Impor Pada era perdagangan moderen dewasa ini, peran tarif semakin memudar karena pemerintah lebih condong untuk melindungi industri domestik melalui berbagai hambatan non-tarif (nontariff barriers), antara lain dengan penerapan kuota impor, yaitu membatasi jumlah yang diimpor atas produk tertentu. Penerapan kuota impor biasanya dilakukan dengan mengeluarkan lisensi kepada grup atau individu atau perusahaan tertentu. Kuota impor berimplikasi pada meningkatnya harga produk impor di pasar domestik. Jika impor dibatasi, maka ada satu titik di mana jumlah permintaan akan lebih dari jumlah penawaran, baik yang berasal dari produsen lokal maupun dari produk impor. Kondisi ini akan menaikkan harga produk, sampai dengan posisi permintaan dan penawaran kembali normal. Oleh karena itu, sama halnya dengan penerapan tarif, kuota impor juga pada akhirnya akan meningkatkan harga produk domestik.
4.
Pembatasan Ekspor Jenis hambatan nontarif lainnya disebut juga Voluntary Export Restraint (VER) atau Voluntary Restraint Agreement (VRA). VER merupakan
kuota
perdagangan
yang
dibebankan
kepada
negara
pengekspor, bukan kepada negara pengimpor. Dari sudut pandang ekonomi, VER bagaikan kuota impor yang lisensinya diberikan kepada pemerintah luar negeri, sehingga akan menimbulkan efek biaya tinggi.
59
5.
Persyaratan Kandungan Lokal Persyaratan Kandungan Lokal atau Local Content Requirements (LCR) adalah sebuah regulasi yang mengharuskan adanya sejumlah tertentu kandungan produk lokal pada produk akhir yang akan diperdagangkan. Jumlah ini dapat dinyatakan dalam bentuk persentase, jumlah unit, maupun dalam terminologi ‘nilai’, misalnya berapa persen dari harga produk mencerminkan nilai tambah dari produk lokal. Local Content Requirements (LCR) umum digunakan oleh negara berkembang untuk mengalihkan konsep manufakturnya dari sistem rakitan ke produk antara (intermediate goods). Dari sisi produsen lokal, penerapan LCR memberikan proteksi yang sama seperti halnya dengan penerapan kuota impor. Namun dari sisi perusahaan yang harus membeli produk lokal, LCR memberikan efek yang berbeda karena penggunaan kandungan lokal tidak berarti membatasi jumlah impor.
6.
Subsidi Kredit Ekspor Subsidi kredit ekspor (export credit subsidies) hampir sama dengan subsidi ekspor, namun subsidi ini diberikan kepada pihak pembeli, bukan kepada pengekspor. Pada beberapa negara telah ditunjuk institusi tertentu yang memberikan subsidi kredit ekspor, misalnya Bank Ekspor-Impor.
7.
Belanja Kebutuhan Negara Belanja yang dilakukan pemerintah atau oleh beberapa perusahaan yang diregulasi dengan ketat dapat diarahkan untuk hanya membeli produk yang diproduksi di dalam negeri, sekalipun harganya lebih mahal daripada harga produk impor.
60
8.
Red-Tape Barriers Kadangkala pemerintah bermaksud membatasi impor dengan cara yang tidak terlalu formal. Sebagai contoh, pemerintah Jerman pernah mengeluarkan keputusan yang mengharuskan semua produk elektronik perekam video kaset asal Jepang msuk melalui petugas pabean di Poitiers. Kebijakan ini secara efektif mampu membatasi jumlah impor.
2.6.2. Instrumen Daya Saing pada Kebijakan Perindustrian Pengertian industri dalam arti sempit adalah kumpulan perusahaan yang menghasilkan produk sejenis dimana terdapat kesamaan dalam bahan baku yang digunakan, proses, bentuk produk akhir, dan konsumen akhir (Kuncoro, 2007; Hasibuan, 1993; Sudarman; 1990). Dalam arti yang lebih luas, industri dapat didefinisikan sebagai kumpulan perusahaan yang memproduksi barang dan jasa dengan elastisitas silang (cross elasticities of demand) yang positif dan tinggi.
Secara garis besar, industri dapat didefinisikan sebagai sekelompok
perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang sama atau bersifat subtitusi. 1.
Globalisasi Industri Dewasa ini globalisasi produksi sudah mempengaruhi komposisi suatu
produk. Seringkali sulit menentukan dari mana suatu produk sebenarnya berasal sebab akibat globalisasi produksi, suatu produk bisa merupakan kumpulan komponen yang diproduksi oleh banyak negara. Perkembangan perusahaan transnasional sebagai penggerak globalisasi industri sebenarnya sudah dimulai berabad lampau, tetapi baru memegang peranan penting dalam perdagangan produk industri internasional setelah perang dunia berakhir.
61
Sebelumnya, yang beroperasi di negara sedang berkembang kebanyakan bergerak di sektor primer, seperti pertanian dan pertambangan. Dua karakteristik yang menonjol adalah skala usaha yang relatif besar dan operasi bisnis yang mendunia, serta cenderung dikontrol secara sentralistik oleh perusahaan induknya. harus diakui telah muncul sebagai kekuatan utama dalam globalisasi perdagangan dunia yang semakin cepat. Hampir sepertiga perdagangan dunia merupakan penjualan intra-perusahaan transnasional dari cabang yang satu ke cabang di lain negara, baik perdagangan produk antara maupun peralatan (Todaro, 1994).
2.
Pandangan Liberal dan Struktural terhadap Industri Kaum liberal memijakkan pemikirannya pada apa yang ditulis oleh Adam
Smith dalam karya monumentalnya The Wealth of Nations.
Menurut kaum
Neoliberalis, semakin besar intervensi pemerintah, semakin tidak efisien pengeluaran pemerintah. Kaum strukturalis berbeda pendapat dengan neoliberalis dalam hal peran pemerintah. Kaum strukturalis menganggap intervensi pemerintah dalam mengatur dan memprioritaskan industri domestik amat penting. Intervensi pemerintah tidak selalu mengakibatkan korupsi, pemburuan rente, dan persaingan tidak sehat. Kaum strukturalis yakin bahwa pengurangan peran aktif pemerintah justru berakibat pada pembangunan industri yang kontraproduktif.
62
Sementara itu, kaum strukturalis kontemporer segan melakukan generalisasi kebijakan pemerintah. Mereka menekankan bahwa kebutuhan akan kebijakan harusnya (rujukannya) disesuaikan dengan kondisi spesifik tiap negara. 3.
Kebijakan Perdagangan dan Perindustrian Negara Berkembang Menurut Kuncoro (2007), ada beberapa kebijakan perdagangan dan
perindustrian, seperti yang dijelaskan dibawah ini: 1.
Industrialisasi Pengganti Impor Krugman dan Obstfeld (2006) menyampaikan Argumen Industri
Baru (Infant Industry Argument) yang menyatakan bahwa negara berkembang mempunyai keunggulan komparatif dalam bidang manufaktur tetapi belum mampu bersaing dengan industri manufaktur yang sudah mapan di negara maju. Pada beberapa negara berkembang, strategi dasar di bidang industrialisasi adalah mengembangkan industri dalam negeri dengan menggunakan batasan-batasan perdagangan, seperti tarif dan kuota untuk mendorong beralihnya penggunaan produk impor ke produk lokal. Strategi memajukan industri dalam negeri dengan membatasi impor produk manufaktur dikenal sebagai Strategi Industrialisasi Pengganti Impor (Import-Substituting Industrialization). 2.
Industrialisasi Berorientasi Ekspor Jika
pada
tahun
1950
sampai
1960-an
diyakini
bahwa
industrialisasi di negara berkembang hanya dapat dilakukan dengan menciptakan produk-produk lokal untuk menggantikan produk impor, maka sejak pertengahan 1960-an kenyataan mengatakan bahwa masih ada cara lain untuk menuju era industrialisasi, yaitu dengan melakukan ekspor
63
atas produk-produk manufaktur. Lebih jauh lagi, ternyata negara-negara yang berkembang dengan melakukan ekspor produk manufaktur, dimana oleh World Bank (2003) diklasifikasikan sebagai High Performance Asian Economies (HPAEs), ternyata mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang spektakuler, lebih dari 10 persen per tahun. 3.
Liberalisasi Perdagangan Liberalisasi perdagangan yang berlangsung cepat sejak tahun 1985
mempunyai dua pengaruh, yaitu kenaikan volume perdagangan secara dramatis, dan adanya perubahan pada kondisi perdagangan. Sebelum terjadinya perubahan kebijakan perdagangan, sebagian besar negara berkembang mengekspor produk pertanian dan pertambangan. Setelah tahun 1980 porsi ekspor produk manufaktur telah mendominasi nilai ekspor pada sebagian besar perekonomian negara berkembang. Seperti halnya kebijakan pengganti impor, liberalisasi perdagangan juga memberikan pertanyaan besar. Jika kebijakan pengganti impor tidak lagi popular karena tidak berpengaruh nyata pada perkembangan ekonomi, berubah ke sistem perdagangan yang lebih bebas juga belum tentu memberikan hasil lebih baik. 4.
Strategi Pertumbuhan Dominan Permintaan Domestik Ketika sebagian besar literatur pertumbuhan dan pembangunan
mempertimbangkan strategi dominan ekspor, strategi pertumbuhan dominan permintaan domestik tidak didefinisikan dan digunakan. Maka dari itu, kita tidak secara langsung memperdebatkan antara ekspor dan permintaan domestik dalam konteks teori.
64
Beberapa tahun belakangan, para ekonom memberikan hipotesis bahwa krisis Asia Timur memiliki sumber yang berbeda dan setelah beberapa dekade melakukan strategi pertumbuhan optimal, model pertumbuhan dominan ekspor yang diikuti negara Asia Timur akhirnya berakhir
dan
bahkan
mengganggu
harapan
pertumbuhan
negara
berkembang. Ekonom ini bersama-sama mengkritik model dominan ekspor dan mengusulkan perubahan menuju pertumbuhan dominan permintaan domestik. Berdasarkan hasil simulasi historis yang dilakukan Herjanto (2003) diperoleh hasil bahwa kebijakan perdagangan luar negeri industri agro Indonesia pada tahun 1983-1998, sebelum krisis ekonomi, telah dilaksanakan cukup memadai. Meskipun masih terdapat peluang untuk meningkatkan kinerja perdagangan, yaitu melalui penurunan pajak ekspor dan depresiasi nilai tukar mata uang rupiah, yang saat itu dianggap over valued. Penurunan pajak ekspor dapat meningkatkan ekspor untuk mendatangkan devisa lebih besar. Hasil simulasi peramalan yang dilakukan pada tahun 2003-2015 menunjukkan bahwa penurunan pajak ekspor oleh Indonesia merupakan kebijakan yang tepat untuk mendorong pertumbuhan industri agro dalam negeri. Pada
umumnya,
menguntungkan
Indonesia
penghapusan dalam
neraca
tarif
impor
perdagangan.
cenderung Namun
kesepakatan penghapusan tariff impor di kalangan ASEAN ternyata menurunkan surplus neraca perdangan Indonesia karena penurunan nilai total ekspor yang lebih besar daripada penurunan nilai impor. Sementara
65
liberalisasi dini di lingkungan APEC lebih menguntungkan Indonesia dari sisi neraca perdagangan. 2.7.
Industri Agro Secara etimologi, agribisnis merupakan gabungan dari dua kata yang
mengandung makna “bisnis yang berbasis pertanian”. Banyak pendapat tentang batasan dan ruang lingkup agribisnis. Biere (1988) dalam Daryanto dan Daryanto (1999), mendefinisikan agribisnis sebagai aktivitas-aktivitas di luar usahatani, meliputi kegiatan industri dan perdagangan sarana produksi usahatani, kegiatan industri yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan beserta perdagangannya, dan kegiatan yang menyediakan jasa yang dibutuhkan seperti misalnya perbankan, angkutan, asuransi, dan penyimpanan. Definisi yang lebih lengkap mengenai agribisnis diberikan oleh pencetus awal istilah agribisnis, yaitu Davis and Goldberg (1957) dalam Daryanto dan Daryanto (1999) sebagai berikut: “Agribusiness is the sum total of all operation involved in the manufacture and distribution of farm supplies; production activities on the farm; and storage, processing and distribution of commodities and items made from them”. Singkatnya, agribisnis meliputi semua kegiatan ekonomi berbasis pertanian yang melibatkan seluruh pelaku usaha, baik yang berada dalam subsistem usahatani (on-farm) maupun di luar usahatani (off-farm). Nasrun (1996) mendefinisikan industri agro sebagai usaha pengolahan lebih lanjut hasil pertanian (perkebunan), untuk dijadikan bahan setengah jadi dari bahan baku industri maupun yang diolah lebih lanjut menjadi barang siap pakai. Proses pengolahan lebih lanjut dalam industri agro memberi nilai tambah pada
66
produk yang dihasilkan, dibandingkan dengan nilai bahan baku awal yang terjadi karena adanya perubahan bentuk maupun karena perubahan rasa. Saragih (1999) memandang batasan agribisnis sebagai sistem yang utuh dan saling terkait diantara seluruh kegiatan ekonomi, yakni subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa penunjang agribisnis. Masing-masing subsistem dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yang meliputi kegiatan di luar usahatani, seperti bioteknologi, industri agrokimia (pupuk, pestisida), alat-alat pertanian dan pakan ternak.
2.
Subsistem
usahatani
(on-farm
agribusiness)
seperti
pembibitan/
pembenihan, budidaya perikanan; peternakan, perkebunan, dan pertanian 3.
Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), yang meliputi kegiatan pengolahan hasil produksi sektor agribisnis, baik berupa industri makanan dan industri bukan makanan yang terkait.
4.
Subsistem jasa-jasa penunjang, yang meliputi kegiatan-kegiatan yang menunjang
kegiatan
sektor
agribisnis,
seperti
industri
pengolahan/pengawetan, agrowisata, perdagangan/jasa, transportasi, dan jasa pembiayaan/keuangan. White (1990) dalam Kuncoro et al. (1997), mendefinisikan industri agro sebagai berikut: “agro industry can defined loosely as certain forms of agricultural (livestock, fishery) production itself. In particular, those which are tending toward an industrial character, highly commercialised and normally involving significant investment and/or working capital. The agricultural production unit themselves are not necessary large-scale”.
67
Definisi industri agro diatas, relatif sama dengan pengertian agribisnis, sedangkan agrobased industry didefinisikan sebagai: “industry on the upstream (input) and downstream (output processing) side of agricultural production (generaly limited to the first stage of agro linked input production of processing, or at least to the relatively immadiate stages)”. Sehingga menurut definisi tersebut agrobased industry mengandung dua pengertian, yakni: 1.
Industri penyedia input pertanian (upstream), seperti: industri pupuk, pestisida, mesin-mesin pertanian, peralatan pertanian, dan lain-lain.
2.
Industri pengolah hasil pertanian (downstream) seperti: industri minuman teh, industri gula, industri barang dari karet, industri kecap, dan lain-lain. Pemahaman industri agro yang relatif lebih lengkap dinyatakan oleh
Saragih (1994), bahwa industri agro memiliki pengertian sebagai suatu kegiatan usaha yang mengolah bahan baku yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahan tersebut dapat mencakup berbagai bentuk transformasi dan preservasi melalui perlakuan fisik dan kimia, penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa karakteristik produk olahan yang dihasilkan oleh industri agro banyak ditentukan oleh teknologi yang digunakan.
Nilai
tambah yang terdapat didalamnya dengan sendirinya akan meningkatkan nilai guna. Menurut UNIDO (1997) bahwa pertumbuhan industri agro di negaranegara yang relatif kurang berkembang, yang berada di Asia meningkat dengan tajam. Peningkatan teknologi merupakan faktor penting bagi perkembangan industri agro di negara-negara ini. Bioteknologi juga berkembang sangat pesat,
68
dan telah mendorong terjadinya pertumbuhan yang nyata dalam hal produktivitas pertanian, yaitu dengan ditemukannya beberapa spesies hasil pangan yang baru. Negara-negara yang kurang berkembang perlu mengembangkan kapasitas penggunaan bioteknologi untuk memperbaiki proses pengolahan pangan guna menaikkan masa simpan dan daya tahan produk pangan, yang pada akhirnya dapat menaikkan tingkat keamanan produk, memberi nilai tambah, dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Mereka harus pula siap menghadapi tantangan
kompetisi di pasar global untuk produk-produk pengganti sumberdaya alam. Penerapan teknologi informasi dan otomasi berkembang pesat, dan ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas produk dan efisiensi pada hampir semua sektor industri, termasuk pada proses produksi dan distribusi industri agro. Negara kurang berkembang harus dapat dengan cepat meningkatkan sektor produksi dan teknologi pemasaran di sektor industri untuk dapat bersaing di kancah internasional. Pengembangan industri informasi lokal diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas di sektor agrondustri. Upaya pengembangan industri agro hendaknya memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi daerah. Ada lima indikator yang dapat dilihat dari keberhasilan pengembangan industri agro dalam pembangunan ekonomi daerah,
yaitu: (1) pertumbuhan pendapatan dan produksi per kapita, (2)
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pemerataan, (3) peningkatan daya serap tenaga kerja dan upah riil, (4) perlindungan sumberdaya alam, dan (5) berdampak positif terhadap sosial budaya. Lebih jauh disebutkan bahwa menyatakan bahwa ciri industri agro yang baik adalah tumbuh dan berkembangnya spesialisasi usaha industri pengolahan
69
pada setiap mata rantai agribisnis dan diversifikasi pengolahan. Pada akhirnya diharapkan akan menimbulkan peningkatan nilai tambah industri dan mempunyai keterkaitan serta perluasan bidang usaha dan lapangan kerja. Dalam penelitian ini, konsep industri agro yang digunakan adalah industri agro sebagai industri pengolahan hasil pertanian dalam arti luas yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Berdasarkan laporan Bank Dunia (2007), tentang pembangunan dunia Agriculture for Development, bahwa bisnis di sektor pertanian dapat menjadi sumber utama pertumbuhan dan dapat mengurangi kemiskinan serta memperbaiki lingkungan. Bank Dunia merekomendasikan beberapa hal dalam upaya menumbuh-kembangkan sektor pertanian, yaitu: 1.
Meningkatkan akses kepada aset Aset rumah tangga adalah faktor penentu utama dari kemampuan untuk berpartisipasi dalam pasar pertanian, mendapatkan mata pencaharian dalam pertanian untuk menjadi penyambung hidup, bersaing sebagai pengusaha di ekonomi pedesaan non pertanian, dan menemukan karyawan dalam pekerjaan yang terampil. Tiga aset ini adalah modal tanah, air dan manusia. Meningkatkan aset membutuhkan investasi-investasi pemerintah yang signifikan dalam irigasi, kesehatan, dan pendidikan.
2.
Membuat para petani kecil lebih kompetitif dan bertahan. Meningkatkan produktivitas, profitabilitas, dan sustainabilitas dari petani kecil adalah jalan keluar utama dari kemiskinan dalam menggunakan pertanian untuk pengembangan. Instrumen kebijakan di sektor pertanian dapat digunakan untuk mencapai beberapa hal berikut: (1) Meningkatkan
70
insentif harga dan meningkatkan kualitas dan kuantitas dari investasi pemerintah, (2) Membuat pasar-pasar barang berkerja lebih baik, (3) Meningkatkan akses kepada jasa-jasa keuangan dan mengurangi exsposure kepada risiko-risiko tidak tertanggung, (4) Meningkatkan kinerja dari organisasi produsen, (5) Memajukan inovasi melalui pengetahuan dan teknologi, dan (6) Membuat pertanian lebih bertahan dan penyedia jasa lingkungan. Kontribusi pertanian pada pertumbuhan perekonomian dan pengurangan kemiskinan dapat dilihat dari kategorisasi negara berdasarkan peran pertanian dalam pertumbuhan agregat 15 tahun terakhir dengan menggunakan batas pendapatan $2 per hari sebagai garis kemiskinan. Perspektif ini menghasilkan tiga jenis negara yang menggambarkan tiga dunia pedesaan yang berbeda, yaitu: 1.
Agricultural-based countries Pertanian menjadi sumber utama pertumbuhan, berkontribusi rata-rata 32 persen dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan kebanyakan rakyat miskin (70 persen) berada di area pedesaan.
2.
Transforming countries Pertanian tidak lagi menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi, dan berkontribusi hanya sekitar 7 persen dari pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) tetapi tetap mempunyai tingkat kemiskinan yang tinggi di pedesaan (82 persen). Kelompok ini meliputi China, India, Indonesia dan lain-lain.
3.
Urbanized countries
71
Pertanian berkontribusi kecil pada pertumbuhan ekonomi, rata-rata 5 persen, dan kemiskinan paling banyak di kota. Meskipun demikian sekitar 45 persen dari orang miskin berada di area pedesaan. Agribisnis dan industri makanan berkontribusi pada sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB). 2.8.
Perkembangan Industri Agro Indonesia Sektor
industri
non-migas
selama
tahun
2000-2004
mengalami
pertumbuhan sekitar 4.6 persen per tahun. Peran sektor industri terhadap perekonomian nasional meningkat dari 23.8 persen pada tahun 2000 menjadi 24.5 persen pada tahun 2004. Struktur industri pada tahun 2000-2004 terdapat pada Tabel 5. Cabang industri yang memberikan efek berganda yang kecil mengalami penurunan peranan seperti yang terjadi di industri makanan, minuman, dan tembakau dari 33.8 persen pada tahun 2000, menjadi 28.1 persen pada tahun 2004. Industri barang kayu dan hasil hutan lainnya juga turun dari 6.1 persen pada tahun 2000 menjadi 5.6 persen pada tahun 2004, dan untuk industri kertas dan barang cetakan turun dari 6.0 persen pada tahun 2000 menjadi 5.3 persen pada tahun 2004. Tabel 5. Pangsa Sub Sektor Industri Nasional Tahun 2000-2004 (%) No.
Sektor Industri
2000
2001
2002
2003
2004
1
Makanan, minuman dan tembakau
33.8
29.1
30.1
29.9
28.1
2.
Tekstil, Barang Kulit, dan Alas kaki
13.2
12.9
14.4
14.8
13.8
3.
Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya
6.1
7.1
6.1
6.0
5,6
4.
Kertas dan Barang Cetakan
6.0
4.4
4.8
5.2
5,3
5.
Pupuk, Kimia, dan Barang dari Karet
12.9
16.0
15.2
16.5
16.9
6.
Semen dan Barang Galian bukan Logam
3.0
3.8
3.9
4.2
4,2
72
7.
Logam Dasar, Besi, dan Baja
8.
AlatAngkut, Mesin, dan Peralatannya
9.
Barang Lainnya To t al
2.7
2.8
2.9
2.6
2,9
20.7
23.1
21.7
20.0
22.5
0.8
0.9
0.9
0.8
0,8
100.0 100.0 100.0 100.0
100.0
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2005
Industri agro dan kimia Indonesia sampai tahun 2006 tumbuh lebih besar dari target, demikian juga peranan industri agro dan kimia pada total PDB tumbuh cukup signifikan yaitu sebesar 13.7 persen pada tahun 2006. Sedangkan peranan industri agro dan kimia pada PDB industri pengolahan non migas meskipun mengalami penurunan tetapi tetap dominan yaitu 55.3 persen pada tahun 2004, 54.3 persen pada tahun 2005 dan 54.1 persen pada tahun 2006 (DJIAK, 2007). Dengan menempatkan sektor industri agro sebagai sektor andalan, diharapkan pemerintah dan pelaku
usaha
memberi kesempatan
pengembangan usaha di sektor tersebut.
lebih
luas untuk
Kebijakan tersebut sesuai dengan
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia tahun 2005-2009 yang menetapkan bahwa Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) industri agro dan kimia tahun 2005-2009 sebesar 7.63 persen per tahun. Pertumbuhan industri agro dan kimia pada tahun 2006 sebesar 4.94 persen, lebih tinggi dari target sebesar 4.5 persen. Pertumbuhan tahun 2006 tersebut juga lebih besar dari pertumbuhan tahun 2005 sebesar 3.88 persen dan tahun 2004 sebesar 3.89 persen seperti terlihat pada Tabel 6 yang menjelaskan Pertumbuhan Industri Nasional pada tahun 2004-2006. Berdasarkan publikasi DJIAK (2007), dinyatakan bahwa sasaran dan target pengembangan industri agro dan kimia sesuai dengan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia tahun 2005-2009, antara lain: pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) industri agro dan kimia tahun 2005-
73
2009 sebesar 7.63 persen per tahun, utilisasi kapasitas produksi rata-rata mencapai 79 persen, penyerapan tenaga kerja sebesar 80 ribu orang per tahun dan pertumbuhan nilai ekspor rata-rata sebesar 7.8 persen per tahun. Kebijakan pembangunan industri diprioritaskan pada pengembangan tujuh klaster industri sebagai berikut: (1) Industri makanan dan minuman, (2) Industri pengolahan hasil laut, (3) Industri kelapa sawit, (4) Industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu), (5) Industri karet dan barang karet, (6) Industri pulp dan kertas, dan (7) Industri petrokimia. Pada tiga tahun terakhir, peranan industri agro dan kimia pada total PDB masih cukup signifikan, yaitu sebesar 14.0 persen pada tahun 2004, 13.7 persen pada tahun 2005 dan 13.7 persen pada tahun 2006, sedangkan peranan industri agro dan kimia pada PDB industri pengolahan non migas sebesar 55.3 persen pada tahun 2004, 54.3 persen pada tahun 2005 dan 54.1 persen pada tahun 2006. Tabel 6. Pertumbuhan Industri Nasional Tahun 2004-2006 Nilai PDB Harga Konstan Tahun 2000 (Miliar Rp.) No.
Lapangan Usaha Tahun 2004
2005*
469,952
491,421
514,192
51,583
48,519
47,928
b.Industri bukan Migas
418,368
442,902
466,264
6.2
Industri Agrokimia
231,417
240,389
252,262
1
Makanan, Minuman dan Tembakau
118,149
121,395
130,163
2
Barang kavu & Hasil hutan lainnya
20,325
20,138
20,006
3
Kertas dan Barang cetakan
23,384
23,944
24,444
3.8
4
Pupuk, Kimia & Barang dari karet Karet
54,513
59,293
61,947
7.5
Industri Pengolahan a. Industri Migas
2006**
Tren (%) Thn 2004 2006 5.1
Pertumbuhan (%) Tahun 2004
2005*
2006**
6.38
4.57
4.63
(3.4) (1.95)
(5.94)
(1.22)
7.51
5.86
5.27
4.2
3.89
3.88
4.94
3.7
1.39
2.75
7.22
-1.2 (2.07)
(09.2)
(0.66)
7.61
2.39
2.09
9.01
8.77
4.48
74
5
Semen & Barang Galian bukan logam Industri Pengolahan Lainnya
15,045 186,950
15,618 292,513
15,700 214,001
4.5 9.53 8.7 12.36
3.81 8.32
0.53 5.67
2.1
4.06
1.31
1.23
6
Tekstil. Barang kulit Alas kaki
53,576
54,277
54,944
7
Logam Dasar Besi & Baja
8,008
7,712
8,076
-0.9 (2.61)
(3.70)
4.73
8
Alat Angkutan Mesin & Peralatannya
121,683
136,744
147,063
12.4 17.67
12.38
7.55
3,683
3,779
3,916
5.9 12.77
2.61
3.62
418,368
442,902
466,264
6.2
7.51
5.86
527
1,656,516 1,750,656 1,846,654
5.4
5.03
5.68
5.48
1,506,296 1,605,247 1,703,086
6.2
5.97
6.57
6.09
9
Barang lainnva
JUMLAH (Sektor Industri Pengolahan) PRODUK DOMESTIK BRUTO PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS
Sumber: Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2007
Dari total kontribusi agro dan kimia terhadap PDB industri pengolahan non migas tersebut, industri makanan, minuman dan tembakau mempunyai peran yang paling signifikan sebesar 27.9 persen, disusul oleh industri pupuk, kimia dan karet sebesar 13.3 persen, dan industri kertas dan barang cetakan sebesar 5.2 persen, industri kayu dan barang kayu sebesar 4.3 persen. Perkembangan ekspor industri agro dan kimia mengalami peningkatan cukup signifikan dimana pada tahun 2003 nilai ekspor sebesar US$16.3 milyar maningkat menjadi US $20.5 milyar pada tahun 2005 dan sampai tahun 2006 telah mencapai US$25.1 milyar atau tumbuh rata-rata sebesar 14.8 persen. Pada tahun 2006, kontribusi ekspor terbesar diberikan oleh kelompok industri pupuk, kimia dan barang karet sebesar US$10.2 milyar disusul oleh industri makanan, minuman dan tembakau sebesar US$5.3 milyar dan industri barang kayu dan hasil hutan lainnya sebesar US$ 4.7 milyar. Salah satu kritik yang sering dilontarkan terhadap strategi pembangunan nasional adalah orientasi pembangunan yang lebih banyak memberikan
75
perhatian pada pengembangan industri manufaktur dan relatif mengabaikan peranan sektor pertanian sebagai pendukung perkembangan sektor industri. Perhatian yang besar terhadap peningkatan produksi dan nilai tambah sektor industri manufaktur sejalan dengan proses transformasi struktural yang menekankan pada percepatan kegiatan ekonomi dengan dominasi industri manufaktur. Perhatian yang besar terhadap sektor industri ternyata berakibat: (1) kurang mempunyai kaitan erat dan saling mendukung dengan sektor pertanian dan (2) relatif mengesampingkan peran sektor pertanian dalam mendukung pembangunan nasional (Sumodiningrat dan Kuncoro, 1990). Salah satu syarat perlu (necessary condition) agar dapat mencapai transformasi struktural dari pertanian (industri primer) ke industri manufaktur (industri sekunder) adalah adanya keterkaitan sektor pertanian dan sektor industri yang tangguh. Kaitan yang paling sesuai adalah pengolahan produk pertanian ke dalam pengembangan industri agro. Saling keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri agro akan memberi ekfek saling memperkuat bagi kedua sektor bersangkutan. Perkembangan sektor industri agro Indonesia juga berkaitan dengan kebijakan perdagangan yang diterapkan dalam kurun waktu bersangkutan. Berdasarkan penelitian Widjaja (2000), diterapkannya liberalisasi perdagangan ternyata memberi dampak positif terhadap kinerja perdagangan Indonesia. Namun demikian penurunan atau penghapusan proteksi tersebut juga menurunkan kinerja ekspor beberapa komoditi ekspor, yang mengindikasikan masih banyak industri ekspor yang disubsidi atau bahkan hidup karena kebijakan yang bersifat protektif. Industri-industri tersebut perlu dipersiapkan segera agar lebih efisien
76
dan dapat bersaing di kemudian waktu, misalnya industri yang berbasis sumberdaya alam dan tenaga kerja yang tidak trampil. Satu tahun sebelum terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non migas Indonesia terhadap pembentukan PDB nasional sebesar 22.1 persen. Pada tahun 2003 dan 2004 berturut-turut sebesar 25 persen dan 24.6 persen. Cabang industri yang memberikan sumbangan terbesar terhadap PDB pada tahun 2004, yaitu industri makanan, minuman dan tembakau, meskipun tahun 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2003, yaitu sebesar 6.9 persen. Kontribusi terbesar lainnya adalah industri alat angkut, mesin dan peralatan sebesar 5.5 persen, produk industri pupuk, kimia serta barang dari karet sebesar 4.2 persen. Sebelum terjadinya krisis moneter, laju pertumbuhan industri non-migas sekitar 12 persen dan pada tahun 1997 pertumbuhan ini menurun menjadi 6.1 persen, bahkan pada tahun 1998 menjadi -13.1 persen. Kemudian laju pertumbuhan industri non migas pada tahun 2003 dan 2004 berturut-turut adalah 5.57 persen dan 7.7 persen. Pada tahun 2004, laju pertumbuhan tertinggi tercatat pada industri alat angkut, mesin dan peralatan yaitu 17.7 persen, yang kemudian disusul oleh industri lainnya sebesar 15.1 persen, serta industri kertas dan barang cetakan sebesar 9.6 persen. Bila dikaitkan dengan pemanfaatan kapasitas industri pada tahun 2004, industri kimia hulu, kimia hasil pertanian dan perkebunan, kimia hilir dan TPT, masing-masing dapat memanfaatkan kapasitasnya hingga di atas 70 persen, sedangkan untuk industri hasil hutan, teknologi informasi dan elektronika, agro, aneka, logam dan mesin, serta alat angkut lebih rendah dari 70 persen.
77
Hayashi (2005) yang meneliti perubahan industri dan perdagangan Indonesia pada tahun 1995-2000 mendapati bahwa industri pengolahan Indonesia telah berhasil mengembangkan share of production, memperkuat orientasi ekspor dam menurunkan ketergantungan impor. Fenomena tersebut dihasilkan terutama dari penurunan faktor-faktor pertumbuhan dibandingkan permintaan ekspor serta penurunan nilai rupiah. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa penurunan investasi merupakan bottleneck di industrialisasi and mengindikasikan kebutuhan mendesak untuk memberikan lingkungan investasi yang lebih baik, terutama bagi investor asing. Dari penelitian yang dilakukan oleh Feridhanusetyawan dan Aswicahyono (2003), Hill (1996), dan Ohkawa dan Kohama (1993) yang dikonfirmasikan dalam penelitian Hayashi (2005) ditemukan bahwa terdapat kemajuan industrialisasi di Indonesia pada tahun 1985–2000. Sebaliknya, terlihat dengan jelas bahwa industrialisasi di Indonesia telah dikembangkan dengan kelemahan struktural seperti terlihat dari turunnya permintaan investasi dan tertundanya penguatan keterkaitan antar industri.
Industrialisasi di Indonesia cenderung
inefisiensi jika dibandingkan dengan negara tetangganya di Asia Timur. Industrialisasi di Indonesia tampak bergerak mundur jika dibandingkan dengan kemajuan luar biasa dalam industrialisasi dan international specialization dari negara-negara tetangganya. Dengan mengggunakan analisis I-O, Hayashi (2005) menguji perubahan struktur industri dan perdagangan, efek keterkaitan industri (industrial linkage effects) dan sumber-sumber pertumbuhan (sources of output growth). Permintaan ekspor bersama permintaan domestik
mendukung pertumbuhan industri
78
manufaktur pada tahun setelah 1980an dan memainkan peranan penting dalam promosi pertumbuhan output selama 1995-2000. Permintaan konsumen domestik Indonesia pada tahun 1995-2000 mengalami pertumbuhan negatif, seperti juga permintaan investasi. Perekonomian Indonesia yang telah mengalami penderitaan akibat kemunduran melalui tahun perubahan institusional termasuk krisis ekonomi dan jatuhnya rejim Presiden Soeharto, kembali mencapai pertumbuhan 4 persen sejak 2000. Dalam rangka menyediakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan, dibutuhkan kemajuan industrialisasi. Promosi atas
industrialisasi sangat
diperlukan untuk
mendorong
pertumbuhan perekonomian. Analisis yang dilakukan oleh Hayashi (2005) menunjukkan bahwa kemunduran investasi di industri pengolahan merupakan major bottleneck untuk pembangunan industry di Indonesia. Salah satu alasan utamanya adalah melemahnya inflow investasi langsung asing. Menurut Hayashi (2005), pemerintah Indonesia mendukung kebijakan “Indonesianization” selama 20 tahun sejak insiden Malari pada Januari 1974, telah memutuskan di Juni 1994 untuk mengijinkan perusahaan asing memegang 100 persen saham. Hanya saja pemerintah perlu juga menyadari bahwa Indonesia belum memberikan iklim perekonomian yang memungkinkan investor asing bisa beroperasi tanpa rasa takut. Dalam rangka mendorong industrialisasi, Indonesia harus melanjutkan capital formation pada level tertentu. Foreign Direct Investment (FDI) dapat memainkan peranan penting untuk memindahkan produksi dan manajemen teknologi dari luar negeri.
79
Promosi industrialisasi juga membutuhkan perbaikan daya saing bisnis di sektor swasta yang dilaksanakan pararel dengan pembangunan sistem investasi yang efektif. Hal ini memerlukan perbaikan iklim investasi, menarik Foreign Direct Investment (FDI), dan mengembangkan daya saing bisnis melalui perkuatan kapasitas pengelolaan keuangan dan sektor korporat (Sato, 2005). Berbeda dengan Hayashi (2005), pada jurnal terbitan IDE dengan tema khusus
“Indonesia’s
Recovery”,
Pangestu
dan
Aswicahyono
(2000)
mengungkapkan bahwa pertumbuhan cepat ekspor yang diikuti dengan penurunan sebelum terjadinya krisis ekonomi pada akhir 1990an yang juga terjadi di negara Asia Timur lebih disebabkan oleh faktor siklus (cyclical) daripada faktor struktural atau penurunan daya saing. Pandangan Pangestu dan Aswicahyono didasarkan pada hasil pengamatan bahwa penurunan harga merupakan faktor utama dalam penurunan pertumbuhan nilai ekspor. Analisis trade mapping
mengindikasikan terjadinya penurunan
ekspor yang berkaitan dengan penurunan permintaan di negara tujuan ekspor daripada penurunan daya saing. Beberapa saat sebelum krisis, Indonesia sedang mengalami transisi dari keunggulan komparatif yang
didasarkan pada
melimpahnya sumberdaya terutama sumberdaya alam seperti kayu dan tenaga kerja tidak trampil untuk ekspor garmen dan tekstil; yang bergerak ke arah ekspor yang berbasiskan teknologi dan kapital seperti elektronik yang banyak digerakkan oleh FDI dan didukung tenaga kerja yang relatif murah. Bagaimanapun, seperti ditunjukkan oleh berbagai kasus, Indonesia tidak diragukan lagi berada pada tahap awal fase ekspor berbasiskan teknologi dan kapital, yang mempunyai kelemahan di sumberdaya manusia. Infrastruktur fisik,
80
industri penunjang seperti komponen dan bahan dasar, dan industri elektronik yang di awal 90an lebih berorientasi pasar dalam negeri. Ketergantungan pada bahan baku impor masih tinggi, dan dari pengalaman semasa krisis menujukkan bahwa ketergantungan seperti ini membuat Indonesia punya kemungkinan lebih kecil untuk keluar dari krisis. Situasi sebelum krisis ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa keunggulan komparatif di sumberdaya alam dan tenaga kerja murah telah berkontribusi nyata untuk meningkatkan daya saing ekspor, khususnya pada tahun deregulasi setelah 1986. Berdasarkan pengalaman sektor yang masih bertahan hidup atau bahkan mendapat hasil lebih pada saat krisis, sangat penting untuk mempunyai struktur industri yang lebih dalam sebagai dasar dari industri ekspor dan transisi alami sumber tradisonil dari keunggulan komparatif. Tantangan yang dihadapi Indonesia di jangka menengah adalah menjaga keunggulan komparatif tradisionil sambil membangun sumber baru keunggulan komparatif. Hal ini memerlukan pengembangan industri penunjang yang kompetitif untuk menjamin perusahaanperusahaan Indonesia yang merupakan bagian dari perdagangan, keuangan dan jaringan teknologi internasional serta meningkatkan kemampuan teknologinya. Promosi teknologi dan peran dari Foreign Direct Investment (FDI) merupakan hal penting untuk menjamin tercapainya daya saing dan tidak hanya sekedar menerima lips service di Indonesia. Pembentukan keterampilan dan daya saing ekspor umumnya diterima sebagai keperluan, tetapi menjadi lebih urgen untuk mempercepat perubahan teknologi dan pembangunan teknologi informasi yang disebut sebagai masa depan knowledge-based economy.
81
Implikasi dari mempertahankan daya saing di jangka menengah sudah jelas. Indonesia cepat atau lambat harus membuat gerakan menuju aktivitas yang mengarahkan pembelajaran teknologi lebih besar, mempercepat perubahan teknik, dan memperluas efek yang dihasilkan. Indonesia perlu membangun dasar sumberdaya kapital yang mendalam dan luas seperti yang dicapai lebih matang di negara-negara industri baru Asia. Daripada melanjutkan pengembangan kuantitas, lebih penting memberi percepatan peningkatan kualitas dari pendidikan tingkat sekunder dan tersier untuk memberi penekanan pada keterampilan khusus khususnya pada area teknik tertentu. Dalam rangka mengembangkan kemampuan teknologi, diperlukan insentif untuk mempromosikan kompetisi dan inovasi yang didukung oleh insitusi yang sesuai. Penurunan peran investasi dalam pertumbuhan output perekonomian mengindikasikan perlunya perbaikan institusi untuk mendorong aktivitas investasi dalam rangka menjaga momentum industrialisasi yang berkelanjutan (Sato, 2005).
2.9.
Kebijakan Daya Saing Industri Menurut UNIDO (1997), sebagai hasil simposium Industrial Capacity
Building and Entreprenurship Development in LDCs with Particular Emphasis on Agrorelated Industries, peningkatan daya saing industri agro bisa dilakukan melalui beberapa cara berikut. 1.
Kebijakan Makroekonomi Teori ekuilibrium neoklasikal yang berkembang telah mensahkan beberapa
intervensi pemerintah seiring dengan adanya ketidaksempurnaan pasar (Phelps, 1994). Kebijakan pemerintah terhadap tingkat suku bunga yang dinilai mampu
82
memfasilitasi pencapaian output ekuilibrium potensial dan meminimalkan markup harga pada pasar monopolistik sangat diharapkan. Belanja pemerintah terhadap produk-produk padat karya dianggap mampu meningkatkan output. Dalam perspektif ini, intervensi yang mampu memberikan solusi pasar tidaklah tergantung dari
seberapa dalam tingkat intervensinya,
melainkan bagaimana bentuk dan struktur intervensi tersebut. Kebijakan tingkat suku bunga dan belanja masyarakat haruslah mampu mempengaruhi investasi swasta dan mendorongnya ke arah sektor-sektor yang diprioritaskan. Untuk menaikkan penggunaan kapasitas perlu dilakukan perluasan ekspor dan pengontrolan terhadap nilai tukar mata uang yang stabil. Untuk dapat melakukan intervensi yang efektif di tingkat perusahaan dan tingkat makro, maka kapasitas pemerintah dalam hal membuat konsep, menyampaikan
dan
mengimplementasikan
kebijakan
perlu
diperkuat.
Pengembangkan kapasitas pemerintah diperlukan dalam hal-hal berikut: (1) akuisisi dan difusi teknologi, (2) pengembangan ekonomi di bidang pendidikan, baik dari segi cakupan maupun jangkauan, (3) integrasi inter-sektoral, terutama antara pertanian dan manufaktur, dan diantara sektor-sektor industri agro, dan (4) kemampuan untuk memberi penghargaan dan hukuman bagi perusahaanperusahaan, dan meningkatkan kredibilitas kebijakan 2.
Kebijakan Industri Strategi industrialisasi negara kurang berkembang haruslah berfokus pada
masalah-masalah
bagaimana
menaikkan
produktivitas
pertanian
dengan
menyediakan input-input dan produk konsumsi ínsentif, menyerap produksi hasil pertanian dan kelebihan tenaga kerja. Sekalipun telah terjadi kenaikan kapasitas
83
utilisasi sejak awal tahun 90-an, namun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan produktivitas atau Total Factor Productivity (TFP), maupun peningkatan pilihan teknologi bagi perusahaan. Hambatan persediaan, terutama kekurangan tenaga kerja teknik, merupakan hambatan krusial bagi pertumbuhan produktivitas. Lebih
jauh
lagi,
adalah
penting
menekankan
kembali
bahwa
berkonsentrasi pada tenaga kerja dengan keterampilan rendah dan produk-produk berbasis sumberdaya akan membuat lupa pengambil kebijakan terhadap perlunya meningkatkan teknologi sesegera mungkin, karena industri padat karya tidak akan mampu mengejar pertumbuhan teknologi yang sedemikian cepatnya di pasar internasional. Peningkatan teknologi, keterampilan tenaga kerja dan sistem difusi tetap harus dilakukan. Hubungan jejaring -integrasi horizontal- tumbuh diantara perusahaan berskala kecil dan mikro.
Proses penyebaran informasi dan penggabungan
tabungan meningkat. Kebijakan industri dapat memperkuat integrasi horizontal dengan menfasilitasi terjadinya hubungan subkontrak antara para pedagang dengan klaster pengusaha kecil dan mikro. Pembentukan klaster diharapkan dapat menjadi sesuatu yang efektif untuk mengembangkan pengusaha kecil dan mikro melalui peningkatan efisiensi secara kolektif. Menurut Aswicahyono dan Feridhanusetyawan (2004) bahwa kebijakan industri harus dirumuskan secara komprehensif dengan kebijakan perdagangan; bahkan juga dengan kebijakan ketenegakerjaan, investasi dan keuangan. 3.
Kebijakan Teknologi dan Membangun Kapasitas
84
Sehubungan dengan pilihan teknologi yang salah di masa lampau, maka kebutuhan untuk membangun kapasitas di bidang teknologi dan keterampilan tenaga kerja sektor industri agro sangatlah penting bagi negara yang kurang berkembang.
Teknologi bersifat spesifik untuk setiap perusahaan dan untuk
mendapatkannya diperlukan pelembagaan proses belajar pada tingkat perusahaan. Peningkatan ketrampilam teknis tenaga kerja juga penting untuk mengembangkan
infrastruktur
teknologi
yang
menyediakan
informasi,
standarisasi, fasilitas riset dan lain-lain. Kapasitas teknologi tidak dapat tumbuh secara spontan untuk mengikuti pertumbuhan kompetisi. Namun dibutuhkan perubahan kebijakan yang mempengaruhi perilaku perusahaan (Stiglitz, 1987). Program pendukung teknologi harus diseleksi sehingga hanya berfokus pada sektor-sektor
dan
aktivitas-aktivitas
yang
mampu
menciptakan
tingkat
pertumbuhan yang tinggi. 4.
Kebijakan Perdagangan Banyak teori untuk mengukur ‘outward orientation’ dan untuk
menetapkan tingkat pertumbuhan GDP terhadap pertumbuhan ekspor. Kondisi perdagangan saat ini -yang berbasis harga di pasar dunia- tidak selalu dapat diandalkan untuk mengukur tingkat proteksi ataupun untuk menjadi pedoman dalam penetapan harga domestik (UNIDO, 1997). Negara-negara Asia Timur cenderung menggunakan strategi yang berorientasi proteksi ekspor yang secara tepat menggabungkan elemen-elemen proteksi dan strategi meningkatkan kompetisi dalam lingkungan internasional (UNIDO, 1997)
85
Para pembuat kebijakan perdagangan menghadapi pilihan yang sulit. Tidak ada jaminan bahwa pengurangan proteksi akan berkorelasi positif terhadap efisiensi produksi atau alokasi. Keunggulan komparatif yang dinamis harus mulai dibangun. Perubahan dalam harga interbasional memerlukan struktur perdagangan yang fleksibel. Konsentrasi harus lebih dipusatkan untuk meningkatkan kinerja pasar domestik dan ekspor. 5.
Keuangan, Privatisasi, dan Rehabilitasi Proyek Restrukturisasi sektor keuangan di negara kurang berkembang bisa terjadi
dalam bentuk terciptanya versi pengembangan dari perbankan universal. Fitur dasar dari restrukturisasi ini termasuk : Rekapitalisasi lembaga keuangan seperti diberlakukannya inisiatif pemerintah untuk melakukan privatisasi, terbentuknya bank per sektor industri seperti bank untuk komiditi tertentu atau bank eksporimpor, pertumbuhan pasar modal, kesempatan mengembangkan skema kredit bagi perusahaan mikro juga terbuka lebar dan program privatisasi. 6.
Kerjasama Regional Elemen yang paling penting dari semua usaha integrasi regional adalah
terciptanya kerjasama antar perusahaan. Perkembangan dari perusahaan swasta yang berfokus regional dapat menjadi dasar terbentuknya kolaborasi dengan perusahaan asing yang diperlukan bagi pengembangan pasar regional. Usaha patungan antar negara dapat menjadi elemen inti dalam kebijakan integrasi regional karena dapat memperluas kesempatan untuk memproduksi produkproduk industri agro seiring dengan terbukanya akses ke pasar internasional. 7.
Pengembangan Lembaga dan Infrastruktur
86
Mempelajari bagaimana cara memodifikasi model perilaku perusahaan publik dan swasta merupakan elemen kunci dalam rangkaian proses pembuatan kebijakan. Perlu dilakukan restrukturisasi kelembagaan guna memfasilitasi interaksi antara pemerintah dan pebisnis sektor industri agro untuk memastikan bahwa prioritas perusahaan terintegrasi dalam kerangkan kebijakan koheren yang dibangun berdasarkan prosedur dan tujuan bersama yang memungkinkan terjadinya proses evaluasi kinerja perusahaan yang netral secara politik. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak boleh terikat pada suatu hubungan domestik maupun internasional. Kebijakan haruslah selalu dapat dimodifikasi, direstrukturisasi dan diperbaiki. Kebijakan infrastruktur harus menekankan pada pengembangan daerah pedesaan dan kota-kota perantara. Pertumbuhan ini dapat menstimulasi investasi di bidang pengolahan hasil pertanian dan sektor pedesaan lainnya, selain juga merupakan basis bagi terintegrasinya ekonomi pedesaan dan perkotaan, dan pengembangan pertanian sebagai suatu industri. 2.9.1. Kebijakan Industri China Menurut Reinhardt (2005) bahwa kinerja industri manufaktur dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi: lingkungan makroekonomi, iklim investasi dan bisnis, peraturan dan kebijakan pemerintah, investasi langsung luar negeri, stabilititas sosial dan politik, institusi penunjang, keterampilan tenaga kerja, teknologi, infrastruktur dan faktor lainnya. Dalam penelitiannya tentang industri di bagian barat China, faktor keseimbangan menjadi pertimbangan penting dalam pembangunan industri dan perekonomian di China. Baik keseimbangan antar daerah maupun keseimbangan
87
akan perhatian terhadap pasar ekspor dan domestik. China terus menerus mengembangkan kemampuan penetrasi pasar ekspor, dan pada saat bersamaan juga meningkatkan daya saing di pasar dalam negeri. Pemerintah meluncurkan berbagai inisiatif berskala raksasa untuk mengurangi ketertinggalan di daerah-daerah yang umumnya ada di bagian barat China, sekaligus untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Beberapa kebijakan yang diambil antara lain sebagai berikut: 1.
Mendorong konsumsi produk industri pengolahan dalam negeri di daerahdaerah produsennya melalui pengembangan produktivitas tenaga kerja yang akan berimbas pada peningkatan pendapatan masyarakat.
2.
Meningkatkan keterkaitan, baik backward linkages maupun forward linkages, dalam rangka meningkatkan penggunaan barang dan jasa setempat.
3.
Mendorong capital-intensive manufacturing subsectors, yang meskipun cenderung
sedikit
menggunakan
tenaga
kerja
tetapi
mempunyai
keterkaitan backward dan forward linkages. 4.
Mengupayakan peningkatan keterkaitan antar daerah
5.
Memanfaatkan pertumbuhan cepat industrialisasi di bagian timur China sebagai mesin pertumbuhan keseluruhan perekonomian. Dalam upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja, FDI diarahkan
untuk mengembangkan sektor industri manufaktur lokal. Perusahaan asing dapat meningkatkan level pembentukan kapital, penetrasi pasar luar negeri, promosi ekspor dan menghasilkan devisa. Mereka juga dapat menyediakan pasar untuk pemasok dalam negeri dan industri penunjang yang sekaligus juga menggerakkan
88
alih teknologi, peningkatkan keterkaitan industri dan menstimulasi keseluruhan industri
sehingga
menyediakan
kesempatan
kerja.
Mereka
juga
dapat
menyebarluaskan best practices melalui contoh efisiensi produksi yang lebih tinggi, standar tenaga kerja serta perlindungan lingkungan dan upah yang lebih baik. Lebih dari itu, kompetisi di antara perusahaan asing dan domestik di pasar yang didominasi oleh hanya beberapa perusahaan besar dapat meningkatkan daya saing dan efisiensi perusahaan lokal. Tantangan yang dihadapi oleh perusahaan manufaktur di barat China adalah menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi untuk menutup kekurangbertuntungan dalam hal biaya, mengidentifikasi niche market baru didasarkan pada keunggulan komparatif alami, dan melakukan spesialisasi produk baru yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif, serta mengembangkan pemasaran dan jalus ditribusi untuk meraih nilai tambah yang relatif lebih tinggi. 2.9.2. Kebijakan Industri Indonesia Pada buku Kebijakan Pembangunan Industri Nasional yang diterbitkan oleh Departemen Perindustrian (2005) dinyatakan bahwa permasalahan struktural industri Indonesia makin panjang, sesuai dengan dengan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu: Pertama, masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen untuk seluruh industri, yang berkisar antara 28-30 persen antara tahun 1993-2002. Inilah yang barangkali menjelaskan mengapa melemahnya nilai rupiah terhadap dolar menyebabkan kenaikan ekspor secara signifikan.
yang
secara tidak
langsung
89
Kedua, lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri kita masih banyak yang bertipe 'tukang jahit' dan 'tukang rakit'. Ini terlihat jelas dalam industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) serta industri elektronika. Padahal, kedua sektor merupakan industri yang padat karya. Meningkatnya upah minimum di berbagai daerah Indonesia menyebabkan Indonesia mulai kehilangan pijakan untuk industri yang berbasis tenaga kerja murah. Masalah
struktural berikutnya adalah rendahnya kualitas SDM,
sebagaimana tercermin pada tingkat pendidikan tenaga kerja industri, sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja industri. Kemudian, belum terintegrasinya UKM (Usaha Kecil dan Menengah) di Indonesia dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar dan kurang sehatnya iklim persaingan karena banyak subsektor industri yang beroperasi dalam kondisi mendekati 'monopoli'. Dengan berbagai permasalahan tersebut, bagaimana daya saing industri Indonesia di pasar global? Dengan menggunakan indeks RCA (Revealed Comparative Advantage), sejak tahun 1982 keunggulan komparatif Indonesia meningkat pesat dengan pertumbuhan rata-rata 19 persen per tahun hingga tahun 1994. Tidak berubahnya RCA Indonesia selama tahun 1965 sampai tahun 1982 besar kemungkinan karena ekspor kita masih didominasi oleh minyak dan produk pertanian yang padat sumberdaya alam (agricultural and resource based industries). Setelah tahun 1982, sejalan dengan upaya pengembangan broad base industry, produk ekspor nonmigas Indonesia semakin beragam. Namun, beberapa studi dengan menggunakan RCA menunjukkan bahwa komoditi industri manufaktur Indonesia yang meningkat pangsa pasarnya di dunia masih didominasi
90
oleh produk berteknologi sederhana seperti karet, plastik, tekstil, kulit, kayu, dan gabus. Dalam rangka memberi acuan pada pembangunan sektor perindustrian, Departemen Perindustrian merumuskan Bangun Industri Tahun 2025 yang memberikan gambaran keadaan sektor industri yang sudah mapan, dimana sektor ini telah menjadi mesin penggerak utama (prime mover) perekonomian nasional, sekaligus tulang punggung ketahanan ekonomi nasional dengan berbasis sumberdaya nasional, yang memiliki struktur keterkaitan dan kedalaman yang kuat, serta memiliki daya saing yang tangguh di pasar internasional. Bangun industri tahun 2025 ditetapkan dengan mempertimbangkan cabang-cabang industri yang memiliki potensi untuk dikembangkan, serta mempertimbangkan sepenuhnya modal dasar, dan keinginan masyarakat dalam membangun industri serta perekonomiannya di masa yang akan datang. Cabang-cabang industri yang akan diprioritaskan pengembangannya pada Bangun Industri tahun 2025 sebagai industri andalan masa depan adalah sebagai berikut: 1.
Pilar Industri Agro, meliputi industri pengolahan kelapa sawit, pengolahan hasil laut, pengolahan karet, pengolahan kayu, pengolahan tembakau, pengolahan kakao dan cokelat, pengolahan buah, pengolahan kelapa dan pengolahan kopi.
2.
Pilar
Industri
Angkut,
yaitu
kedirgantaraan, dan perkeretaapian.
industri
otomotif,
perkapalan,
91
3.
Pilar
Industri
Telematika,
yaitu
industri
perangkat/devices,
infrastruktur/jaringan dan aplikasi/content. Tujuan pembangunan sektor industri jangka menengah tahun 2004-2009 ditetapkan sebagai berikut: 1.
Meningkatkan penyerapan tenaga kerja industri.
2.
Meningkatkan ekspor Indonesia dan pemberdayaan pasar dalam negeri.
3.
Memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian.
4.
Mendukung perkembangan sektor infrastruktur.
5.
Meningkatkan kemampuan teknologi.
6.
Meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk.
7.
Meningkatkan penyebaran industri.
Tujuan pembangunan sektor industri jangka panjang tahun 2010-2025 meliputi: 1.
Memperkuat basis industri manufaktur agar industri yang tergabung dalam kelompok ini mampu menjadi industri kelas dunia (world class industry).
2.
Meningkatkan peran industri prioritas agar menjadi modal penggerak perekonomian nasional.
3.
Meningkatkan peran sektor industri kecil dan menengah terhadap struktur
industri, sehingga terjadi keseimbangan peran antara industri besar dengan industri kecil dan menengah. Beberapa strategi pokok dalam pembangunan sektor industri Tahun 20102025 adalah sebagai berikut:
92
1.
Memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai (value chain) dari industri termasuk kegiatan dari industri penunjang (supporting industries), industri terkait (related industries), industri penyedia infrastruktur, dan industri jasa penunjang lainnya.
2.
Meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun kompetensi inti.
3.
Meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis sumberdaya yang digunakan dalam industri, dan memfokuskan pada penggunaan sumber-sumberdaya yang terbarukan (green product). Beberapa strategi operasional dalam pembangunan sektor industri adalah
sebagai berikut: 1.
Pengembangan Lingkungan Bisnis yang nyaman dan kondusif.
2.
Fokus pengembangan industri dilakukan dengan mendorong pertumbuhan Klaster Industri Prioritas yang sesuai.
3.
Penetapan prioritas persebaran pembangunan industri ke daerah-daerah mendekati sumber bahan baku.
4.
Pengembangan kemampuan inovasi khususnya di bidang teknologi industri dan manajemen.