II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekonomi Padi Perekonomian
padi
dan
beras
merupakan
pendukung
pesatnya
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Kasryno dan Pasandaran (2004), beras serta tanaman pangan umumnya berperan sangat dominan dalam perekonomian, baik dari segi produksi maupun konsumsi atau pengeluaran rumah tangga, sehingga beras dianggap sebagai komoditas strategis dan politis. Dengan pertimbangan tersebut, kebijakan pembangunan pertanian selalu didominasi oleh kebijakan pemberasan. Implikasinya, pendekatan pembangunan pertanian masa depan harus berorientasi pada sumber daya pertanian dan fungsi usaha pertanian dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat secara adil termasuk mengurangi masyarakat miskin. Akan tetapi, di samping pertimbangan ekonomi, usahatani padi merupakan bagian integral dari budaya pedesaan. Oleh karena itu, berbagai kearifan lokal seperti praktek budi daya dan kapital sosial yang terkait hendaknya dilihat sebagai warisan budaya. Disisi lain, dukungan yang berlebihan terhadap upaya peningkatan produksi padi dapat menjadi kendala bagi upaya diversifikasi pangan khususnya dan pertanian pada umumnya. Sementara itu, pendekatan komoditas dianggap tidak cukup memadai dalam memacu pertumbuhan sektor pertanian secara berkelanjutan. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang bersifat jangka panjang yang menempatkan posisi padi dan beras secara arif dalam kerangka pendekatan terpadu pada suatu wilayah. Hal ini dilakukan dengan mensinergikan
10
pemanfaatan sumber daya, pengetahuan, dan teknologi yang ada dengan perangkat kebijakan yang mencakup hukum, kelembagaan, dan infrastruktur. Ada 3 pendekatan untuk menghadapi masalah dan tantangan ekonomi padi dan pemberasan di masa yang akan datang menurut Kasryno dan Pasandaran (2004), yaitu: (1) pendekatan berspektrum luas, (2) pendekatan yang memperhatikan kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem, dan (3) pendekatan yang berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Ketiga pendekatan tersebut bukan bersifat eksklusif satu terhadap yang lainnya, tetapi bersifat komplementer dan apabila dilaksanakan akan memperkuat integrasi ekonomi padi dan beras dalam perekonomian nasional. 2.2 Economic of Technological Adoption Teknologi selalu berubah dari waktu ke waktu tergantung dari kemajuan ilmu pengetahuan. Teknologi sangat dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan ekonomi. Adapun peranan teknologi terhadap pembangunan ekonomi menurut Satari (1995), yaitu: (1) dapat mempertinggi efisiensi produksi, (2) teknologi menimbulkan adanya produk-produk baru yang belum diproduksi sebelumnya, (3) teknologi dapat mempertinggi kualitas barang yang dihasilkan dan (4) teknologi selalu menginduksi kelembagaan. Pengaruh penggunaan teknologi baru terhadap pendapatan berkaitan erat dengan produksi dan biaya produksi. Pendapatan didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan total dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Untuk mendapatkan pendapatan maksimum harus dipilih tingkat output penerimaannya maksimum dan biaya produksinya minimum. Laba yang meningkat biasanya akan mendorong suatu badan usaha untuk meningkatkan produksinya. Perubahan ini
11
akan menggeser kurva penawaran ke kanan. Kurva penawaran dapat dilihat pada Gambar 1. P
S1 S2
P1 P2 D Q1
Q2
Q
Gambar 1. Pengaruh Teknologi Terhadap Kurva Penawaran
Kenaikan penawaran berarti pergeseran kurva penawaran ke kanan, yaitu dari S1 ke S2 dapat disebabkan oleh perubahan suatu teknologi. Jika teknologi tersebut dapat meningkatkan produksi, maka kurva penawaran akan bergeser ke kanan. Kurva penawaran akan bergeser ke kanan apabila pada setiap tingkat harga lebih banyak jumlah yang ditawarkan daripada sebelumnya, yaitu dari Q1 ke Q2. Pergeseran kurva penawaran hanya akan terjadi jika yang berubah faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah yang ditawarkan, selain harga sendiri. Jika terdapat penerapan inovasi teknologi yang dapat menurunkan biaya produksi maka menyebabkan jumlah yang ditawarkan pada setiap harga akan meningkat. 2.3 Konsep Usahatani Usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi atau proses pengalokasian sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu dan pengelolaan yang diusahakan oleh perseorangan ataupun sekumpulan orang-orang. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya; dan dikatakan efisien bila pemanfaatan 12
sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) ( Soekartawi, 2006). Kegiatan usahatani berdasarkan coraknya dapat dibagi menjadi dua, yaitu usahatani subsistem dan usahatani komersial. Usahatani subsistem bertujuan memenuhi konsumsi keluarga, sedangkan usahatani komersial adalah usahatani dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Soekartawi (2006) menyatakan bahwa ciri petani komersial adalah; (1) cepat dalam mengadopsi inovasi pertanian, (2) cepat tanggap dalam mencari informasi, (3) lebih berani dalam mengambil resiko dalam berusaha, (4) memiliki sumberdaya yang cukup. 2.4 Pendapatan Usahatani Usahatani sebagai satu kegiatan produksi pertanian yang pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Selisih antara keduanya merupakan pendapatan usahatani. Soeharjo dan Patong (1973) mengartikan pendapatan usahatani sebagai balas jasa dari kerjasama antara faktor-faktor produksi dengan petani sebagai penanam modal dan sekaligus pengelola usahatani. Analisis pendapatan memerlukan dua komponen utama, yaitu keadaan pengeluaran selama jangka waktu tertentu dalam usahatani dan keadaan penerimaan pasca produksi dan pemasaran usahatani (Soeharjo dan Patong, 1973). Menurut Soekartawi et al. (1986), penerimaan adalah besaran output usaha, baik produk utama maupun produk sampingan yang dihasilkan. Sementara itu, pengeluaran atau biaya adalah semua pengorbanan sumber daya yang terukur dalam satuan nominal uang (rupiah) yang dikeluarkan dalam mencapai tujuan usahatani.
13
Komponen pengeluaran dalam usahatani berupa pengeluaran tunai dan pengeluaran diperhitungkan. Beban biaya dalam pengeluaran tunai, meliputi: pembayaran tunai sarana produksi pertanian seperti pembelian benih, pupuk, obat-obatan (pestisida), beban biaya sewa dibayar dimuka seperti sewa lahan garapan, sewa alat mesin pertanian (bila ada), dan biaya tenaga kerja. Beban biaya yang termasuk dalam pengeluaran diperhitungkan adalah nilai tenaga kerja keluarga diperhitungkan dan penyusutan peralatan pertanian. Komponen penerimaan usahatani dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Pendapatan tunai bersumber dari penjualan tunai hasil produksi/panen (output) usahatani yang dilakukan, sedangkan penerimaan non tunai bersumber dari (1) produk/hasil panen (output) yang dikonsumsi keluarga petani dan (2) kenaikan nilai inventaris, yaitu nilai benda-benda investasi yang dimiliki rumah tangga petani berdasarkan selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun. 2.5 Proses Adopsi Inovasi Petani Dalam banyak kenyataan petani biasanya tidak menerima begitu saja ideide baru (teknologi baru) pada saat pertama kali mereka mendengarnya. Waktu pertama kali itu, mereka mungkin hanya ”mengetahui” saja, tetapi untuk sampai tahapan mereka mau ”menerima” ide-ide baru tersebut diperlukan waktu yang relatif lama. Suatu ”perubahan” sikap yang dilakukan oleh petani atau oleh komunikan, merupakan proses yang memerlukan waktu di mana tiap-tiap petani memerlukan waktu berbeda satu sama lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai hal yang melatarbelakangi petani itu sendiri, misalnya kondisi petani itu sendiri, kondisi lingkungannya dan karakteristik dari teknologi baru yang mereka
14
adopsi. Berikut merupakan tahapan-tahapan dalam proses adopsi inovasi tersebut (Soekartawi, 1988), yaitu : 1. Tahapan ”Kesadaran” Pada tahapan ini petani untuk pertama kalinya belajar tentang sesuatu yang baru. Ia mengetahui sedikit sekali bahkan informasi yang diketahui kadang kala tidak ada kaitannya dengan kualitas khusus yang diperlukan untuk melakukan adopsi. 2. Tahapan ”Menaruh Minat” Pada tahapan ini petani mulai mengembangkan informasi yang diperoleh dalam menimbulkan dan mengembangkan minatnya untuk melakukan adopsi inovasi. Ia mulai mempelajari secara lebih terperinci tentang ide baru tersebut, bahkan tidak puas kalau hanya mengetahui saja tetapi ingin berbuat yang lebih dari itu. 3. Tahapan ”Evaluasi” Pada tahapan ini, seseorang yang telah mendapatkan informasi dan bukti yang telah dikumpulkan pada tahapan-tahapan sebelumnya dalam menentukan apakah ide baru tersebut akan diadopsi atau tidak, maka diperlukan kegiatan yang diebut ”evaluasi”. 4. Tahapan ”Mencoba” Pada tahapan ini, petani atau individu dihadapkan dengan suatu problema yang nyata. Ia harus secara nyata menuangkan buah pikirannya tentang minat dan evaluasi tentang ide baru tersebut dalam suatu kenyataan yang sebenarnya. Untuk itu, kadang kala diperlukan bantuan dari pihak lain yang lebih kompeten agar upaya melakukan percobaan ide baru tersebut untuk skala kecil tetap berhasil.
15
5. Tahapan ”Adopsi” Pada tahapan ini, petani atau individu telah memutuskan bahwa ide baru yang ia pelajari adalah cukup baik untuk diterapkan dilahannya dalam skala yang agak luas. Tahapan ”adopsi” ini merupakan yang paling menentukan dalam proses kelanjutan pengambilan keputusan lebih lanjut. 2.6 Konsep Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah Bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan lahan yang digunakan untuk areal pertanian menjadi terbatas dan kegiatan pertanian dilakukan dengan cara intensifikasi yang mengakibatkan penggunaan input luar berupa bahan kimia yang tinggi. Input luar buatan seperti pupuk kimia, irigasi, benih hibrida, dan pestisida dapat memainkan peranan penting untuk menyeimbangkan sistem pertanian itu, meningkatkan produktivitas lahan dan tenaga kerja, serta meningkatkan keseluruhan hasil pertanian. Selain itu, sistem pertanian yang tidak menggunakan input luar tidak akan mungkin memiliki konsep terbuka dan berorientasi pasar untuk menyediakan kebutuhan penduduk nonpetani. Akan tetapi, tanpa disadari hal-hal tersebut dapat berakibat buruk terhadap berkelanjutan kegiatan pertanian (Reijntjes, et al., 1999). Gaskell et al. (2002) berpendapat bahwa dalam upaya mencapai pertanian yang berkelanjutan diupayakan agar input berupa bahan kimia produksi pabrik (pupuk dan pestisida) dikurangi bahkan jika mungkin ditiadakan. Reijntjes et al. (1999) menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan berupa pengurangan input luar memiliki tiga kriteria yang terdiri dari kriteria secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Kriteria secara ekologi adalah menyeimbangkan pemanfaatan hara dan bahan organik,
meningkatkan
efisiensi
penggunaan
sumber
air,
meningkatkan
16
keragaman hayati, memperkecil pengaruh buruk terhadap lingkungan, dan meminimalkan penggunaan input luar. Kriteria ekonomi meliputi sistem pencaharian petani yang berkelanjutan, adanya daya saing, penggunaan faktor produksi yang efisien, dan kecilnya nilai input luar yang digunakan. Kemudian kriteria sosial meliputi memungkinkan untuk diadopsi secara luas terutama oleh petani kecil, mengurangi ketergantungan terhadap pihak luar seperti pabrik pembuat pupuk dan pestisida kimia buatan, meningkatkan ketahanan pangan baik pada level keluarga maupun nasional, dan mengurangi jumlah pengangguran khususnya pada daerah di sekitar lahan. 2.7 Penelitian Terdahulu Penelitian tentang analisis pendapatan usahatani padi organik dan faktor-faktor yang mempengaruhi petani menanam padi organik dilakukan oleh Marhamah (2007) di Kelurahan Situgede, Kota Bogor. Berdasarkan tujuan penelitian untuk menganalisis pendapatan usahatani padi organik, usahatani padi organik memberikan pendapatan bersih yang lebih besar daripada yang diterima oleh usahatani padi konvensional pada waktu dan tempat yang sama. Kemudian, berdasarkan hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi usahatani padi organik menunjukkan bahwa ada tiga variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap penerapan usahatani padi organik di Kelurahan Situgede yaitu informasi teknologi, pendapatan luar usahatani, dan kondisi usahatani. Semakin banyak sumber informasi maka kemungkinan petani untuk menerapkan usahatani padi organik. Lalu, semakin besar pendapatan petani maka kemungkinan petani untuk menanam padi organik.
17
Rukka (2003) melakukan penelitian mengenai motivasi petani dalam menerapkan usahatani padi organik di Desa Purwasari, kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan tingkat motivasi kelompok tani Mekarsari dan Hegarsari di Desa Purwasari dalam menerapkan usahattani padi organik dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi petani dalam menerapkan usahatani padi organik. Hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa tingkat motivasi petani kelompok tani Mekarsari termasuk kategori tinggi, sedangkan kelompok Hegarsari tergolong rendah. Hal ini dikarenakan, dalam hal pendapatan non formal, kekosmopolitan, peluang pasar dan sifat inovasi dimana kelompok tani Mekarsari cenderung lebih tinggi disbanding kelompok lain. Selain itu, dilihat dari faktor yang berhubungan dengan motivasi petani dalam menerapkan usahatani padi organik, karakteristik internal yang berhubungan nyata positif adalah pendidikan non formal, pengalaman berusahatani dan kekosmopolitan. sementara pada karakteristik eksternal yang berhubungan nyata positif dengan tingkat motivasi petani dalam menerapkan usahatani padi organik adalah peluang pasar, sifat inovasi, ketersediaan dana dan prasarana serta ketersediaan modal, sedangkan intensitas penyuluhan tidak berhubungan nyata. Penelitian yang berhubungan dengan preferensi risiko petani pada usahatani padi organik telah dilakukan oleh Rahayu (2011) di Kabupaten Sragen. Penelitian ini mengarah pada kesimpulan bahwa usahatani padi organik relatif lebih berisiko dibandingkan dengan usahatani padi non organik. Faktor penentu risiko produksi pada usahatani padi non organik adalah input benih, pupuk organik, pestisida organik dan tenaga kerja. Input benih dan pupuk organik
18
bersifat risk increasing, sedangkan input pestisida organik dan tenaga kerja bersifat risk descreasing. Keputusan petani dalam menggunkan input pupuk organik mengakibatkan risiko produksi lebih besar. Input pupuk organik merupakan salah satu input pembeda antara teknologi usahatani padi organik dan non organik, ternyata merupakan salah satu input yang menyebabkan timbulnya risiko produksi. Hal ini terjadi karena dosis penggunaan input pupuk organik yang belum dikuasai dengan baik. Preferensi risiko petani juga mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan petani untuk melakukan usahatani padi organik. Semakin besar risk taker petani, maka semakin besar kemungkinan petani memutuskan untuk melakukan usahatani organik. Disamping faktor preferensi risiko petani, faktor lain yang menentukan penerapan usahatani padi organik yaitu umur petani, pendapatan di luar usahatani padi, luas lahan garapan, status lahan, dan pengalaman petani dalam usahatani padi. Yamota dan Cruz (2007) mengadakan penelitian berkaitan dengan adopsi pertanian padi organik. Penelitiannya mempunyai tujuan yaitu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi rata-rata adopsi padi organik. Penelitiannya yang dilakukan di daerah Magsaysay, Provinsi Davao del sur, Filipina menunjukkan bahwa seminar dan pelatihan padi organik mempengaruhi petani mengadopsi pertanian padi organik. Semakin sering petani menghadiri seminar dan pelatihan, maka semakin besar peluang petani mengadopsi padi organik. Selain itu, semakin tinggi kemauan petani-petani untuk membayar/menerima (WTP/WTA), maka semakin tinggi rata-rata petani yang mengadopsi pertanian padi organik.
19