II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PADI Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Tanaman pertanian kuno berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat Tropis dan Subtropis. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang, China sudah dimulai pada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar, Pradesh, India sekitar 100-800 SM. (BPPT, 2010). Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serelia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidarat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Klasifikasi botani tanaman padi adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monotyledonae Keluarga : Gramineae (Poaceae) Genus : Oryza Spesies : Oryza spp. Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah O. sativa dengan dua subspesies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan (BPPT, 2010). Varietas unggul nasional berasal dari Bogor : Pelita I/1, Pelita II/2, Adil dan Makmur (dataran tinggi), Gemar, Gati, GH 19, GH 34, dan GH 120 (dataran rendah). Varietas unggul introduksi dari Internasional Rice Research Institute (IRRI) Filipina adalah jenis IR atau PB yaitu IR 22, IR 14, IR 46, dan IR 54 (dataran rendah); PB 32, PB 34, PB 36,dan PB 48 (datarn rendah) (BPPT, 2010). Pusat penanaman padi di Indonesia adalah pulau Jawa (Karawang, Cianjur), Bali, Madura, Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun 1992 luas panen padi mencapai 10.869.000 ha dengan rata-rata 4.35 ton/ha/tahun. Produksi padi nasional adalah 47.293.000 ton. Pada tahun itu hampir 22.5% produksi padi nasional dipasok dari Jawa Barat. Padi tumbuh di daerah tropis dan subtropis pada 45 derajat LU sampai 45 derajat LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun. Padi memerlukan ketinggian 0-650 m dpl dengan temperatur 22-27°C di dataran rendah sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl dengan temperatur 19-23°C. Padi sawah ditanam di tanah berlempung yang berat atau tanah yang memiliki lapisan keras 30 cm di bawah permukaan tanah, menghendaki tanah lumpur yang subur dengan kedalaman 1822 cm. Keasaman tanah antara pH 4.0-7.0. Pada padi sawah, penggenangan akan mengubah pH tanam menjadi netral (7.0).
3
B. UNSUR HARA Manfaat pupuk yang paling banyak dirasakan adalah menyediakan unsur hara yang diperlukan bagi tanaman. Selain menyediakan unsur hara, pemupukan juga membantu mencegah kehilangan unsur hara yang cepat hilang seperti N, P, dan K yang mudah hilang oleh penguapan atau oleh air perkolasi. Pemberian pupuk juga membantu penyerapan unsur hara. Hal ini sangat penting, karena unsur hara berperan dalam pertumbuhan tanaman. Tiga unsur hara yang diperlukan dalam jumlah besar adalah Nitrogen (N), Fosfor, dan Kalium (K).
1. Nitrogen (N) Pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil yang tinggi membutuhkan suplai nitrogen yang cukup, bila suplai N tidak cukup, tanaman akan menunjukan pertumbuhan organ dan keseluruhan tanaman yang tidak normal. Gejala kekurangan N yang paling jelas dan biasa terlihat adalah berkurangnya warna hijau dari dedaunan karena hilangnya chlorofil, pigmen hijau yang berperan dalam proses fotosintesis. Kekurangan nitrogen dicirikan oleh kecepatan pertumbuhan yang rendah dan tanaman kerdil (Hardjowigeno, 2007). Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud (1991) tanaman akan tumbuh lambat bilamana terjadi kekurangan N, juga akan tampak kurus, kerdil, dan berwarna pucat dibandingkan tanaman sehat. Pada tanaman serealia, kekurangan N ditandai oleh berkurangnya anakan, jumlah malai per satuan luas, dan juga jumlah gabah per malai berkurang. Karena itu pertumbuhan dan hasil tanaman, khususnya padi berhubungan erat dengan warna hijau dari daun. Kelebihan N pun akan berakibat negatif pada tanaman. Kelebihan N biasanya memberikan warna gelap, sukulen, pertumbuhan vegetatif yang hebat, dan membuat tanaman mudah rusak karena dingin (frost) dan membeku (Direkterot Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, 1991).
2. Fosfor (P) Fosfor (P) berperan untuk pembelahan sel, pembentukan albumin, pembentukan bunga, buah dan biji, mempercepat pematangan, memperkuat batang tidak mudah roboh, perkembangan akar, memperbaiki kualitas tanaman terutama sayur-mayur dan pakan ternak, tahan terhadap penyakit, membentuk nucleoprotein (sebagai penyusunan RNA dan DNA), menyimpan dan memindahkan energy (transfer energy), misalnya ATP (Adenosin triposhphate), ADP (Adenosin diposphate) (Hardjowigeno, 2007). Menurut Hardjowigeno (2007), sebab-sebab kekurangan P di dalam tanah adalah jumlah P di tanah sedikit, sebagian besar terdapat dalam bentuk yang tidak dapat diambil oleh tanaman, dan terjadi pengikatan (fiksasi) oleh Al pada tanah masam atau Ca pada tanah alkalis. Faktor yang mempengaruhi tersedianya P untuk tanaman yang terpenting adalah pH tanah. Fosfor paling mudah diserap oleh tanaman pada pH sekitar netral (pH 6-7). Dalam tanah masam banyak unsur P baik yang telah berada di dalam tanah, maupun yang diberikan ke tanah sebagai pupuk terikat oleh unsur-unsur Al dan Fe sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman Gejala-gejala tanaman kekurangan P menurut Hardjowigeno (2007), yakni pertumbuhan terhambat (kerdil); daun-daun menjadi ungu atau coklat mulai dari ujung daun; pada jagung, tongkol jagung tidak sempurna dan kecil-kecil.
4
3. Kalium (K) Kalium (K) berperan dalam pembentukan pati, mengaktifkan enzim, pembentukan stomata, proses fisiologi dalam tanaman, proses metabolik dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur-unsur lain, perkembangan akar, dan mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan (Hardjowigeno, 2007). Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud (1991), kalium di dalam tananam dapat berfungsi untuk menguatkan batang sehingga tanaman tidak mudah rebah. Hasil tanaman dan kualitas gabah meningkat bila tanaman cukup K, serta meningkatkan resistensi tanaman terhadap serangan penyakit, terutama terhadap penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Gejala yang nampak pertama kali dari kekurangan K dapat dilihat pada bagian daun. Selanjutnya, dalam jumlah yang terbatas biasanya diikuti oleh melemahnya bagian batang tanaman yang mengakibatkan terjadinya kerebahan pada tanaman biji-bijian. Kekurangan K betul-betul dapat mengurangi hasil dan menurunkan resistensi tanaman terhadap penyakitpenyakit tertentu, seperti Powldry-midew (kerusakan pada bagian batang) pada tanaman gandum, busuk akar dan Winter killed pada tanaman Alfalfa. Kekurangan K juga dapat mengakibatkan menurunnya kualitas tanaman buah-buahan dan sayuran (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, 1991).
C. SIFAT KIMIA TANAH 1. Koloid Tanah Koloid tanah adalah bahan mineral dan bahan organik tanah yang sangat halus sehingga mempunyai luas permukaan yang sangat tinggi per satuan berat (massa) (Hardjowigeno, 2007). Koloid bersal dari kata Yunani yang berarti seperti lem (glue), termasuk koloid tanah adalah liat (koloid anorganik) dan humus (koloid organik). Menurut Brady (1974) dalam Hardjowigeno (2007) koloid berukuran kurang dari 1μm (mikrometer), sehingga tidak semua fraksi liat (kurang dari 2 μm) termasuk koloid. Koloid tanah merupakan bagian tanah yang sangat aktif dalam reaksi-reaksi fisikiomia di dalam tanah. a. Mineral liat Mineral liat adalah mineral yang berukuran kurang dari 2 μm. mineral liat dalam tanah terbentuk karena (a) rekristalisasi (sintesis) dari senyawa-senyawa hasil pelapukan mineral primer atau (b) alterisasi (perubahan) langsung dari mineral primer yang telah ada (misalnya mika menjadi ilit). Mineral liat dalam tanah dibedakan menjadi : a. Mineral liat Al-silikat b. Oksida-oksida Fe dan Al c. Mineral-mineral primer Mineral liat Al-silikat dapat dibedakan menjadi (a) Mineral liat Al-silikat yang mempunyai bentuk kristal yang baik (kristalin) misalnya kaolinit, haloisit, montmorilit, dan (b) mineral liat Al-silikat amorf, misalnya alofan. Di Indonesia, kaolinit dan haloisit banyak ditemukan pada tanah-tanah merah (coklat) yaitu tanah-tanah yang umumnya berdrainase baik, sedangkan montmorilonit ditemukan pada tanah-tanah yang mudah mengembang dan mengerut dan pecah-pecah pada musim kering. Illit ditemukan pada tanah-tanah berasal dari bahan induk yang banyak
5
mengandung mika dan belum mengalami pelapukan lanjut. Alofan banyak ditemukan pada tanah berasal dari abu gunung api seperti tanah Andisol (Andosol). Pada tanah-tanah tua seperti Oxisol banyak mineral liat silikat yang telah hancur dan membentuk mineral liat baru yaitu oksida-oksida Fe atau Al (seskuioksida). Pada mineral liat kaolinit (1:1) masing-masing unit melekat dengan unit lain dengan kuat (oleh ikatan H) sehingga mineral ini tidak mudah mengembang dan mengerut bila basah dan kering dan bergantian. Substitusi isomorfik sedikit atau tidak ada sehingga kandungan muatan negatif atau kapasitas tukar kation rendah (Hardjowigeno, 2007). Muatan negatif hanya pada patahan-patahan kristal atau akibat disosiasi H bila pH naik. Oleh karena itu, muatan negatif mineral ini meningkat bila pH naik (muatan tergantung pH).
2. Kapasitas Tukar Kation Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca++, Mg+, K+, Na+, NH4+, H+, Al3+, dan sebagainya. Menurut Hardjowigeno (2007) di dalam tanah kation-kation tersebut terlarut di dalam air tanah atau dijerap oleh koloid-koloid tanah. Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100 g) dinamakan kapasitas tukar kation (KTK). Kation-kation yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh air gravitasi, tetapi dapat diganti oleh kation lain yang terdapat pada larutan tanah. Hal tersebut dinamakan pertukaran kation. Kapasitas tukar kation dinyatakan dalam satuan kimia yaitu miliekivalen per 100 g (me/100 g). Satu ekivalen adalah suatu jumlah yang secara kimia setara dengan 1 g hidrogen. Jumlah atom dalam setiap satu ekivalen adalah 6.02 102 (=bilangan Avogardo). Dengan demikian, 1 miliekivalen setara dengan 1 mg hidrogen dan terdiri dari 6.02 1020 atom hidrogen. Bila tanah mempunyai kapasitas tukar kation 1 me/100 g berarti setiap 100 g tanah mengandung 6.02 1020 muatan negatif. Dalam taksonomi tanah, semenjak 1987, satuan me/100 g diganti menjadi cmol(+)/kg, dimana 1 me/100 g tanah = 1 cmol(+)/kg. Kapasitas tukar kation tiap kolid berbeda. Humus mempunyai KTK yang jauh lebih tinggi dibanding mineral, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis kolid tanah dengan nilai kapasitas tukar kation (Hardjowigeno, 2007) Jenis koloid tanah Nilai kapasitas tukar kation (cmol(+)/kg) Humus 100-300 Chlorit 10-40 Montmorilonit 90-150 Illit 10-40 Kolinit 3-15 Haloisit 2H2O 5-10 Haloisit 4H2O 40-5
Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi kation basa, C, Mg, K, dan Na (kejenuhan basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah,
6
tetapi bila didominasi oleh kation asam, Al, H (kejenuhan basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah. Karena unsur-unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan koloid maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci oleh air.
3. pH Tanah Reaksi tanah menunjukan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut (Hardjowigeno, 2007). Di dalam tanah selain H+ dan ion-ion lain ditemukan pula ion OH-, yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. Pada tanah-tanah masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-, sedangkan pada tanah alkalis kandungan OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH- maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH = 7. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar netral, karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air. Pada tanah masam unsur P tidak dapat diserap tanaman karena diikat (difikasi) oleh Al, sedang pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap karena difikasi oleh Ca. Pada tanah-tanah rawa pH yang terlalu rendah (sangat masam) menunjukan kandungan sulfat tinggi, yang juga merupakan racun bagi tanaman. Selain itu, pada reaksi tanah yang masam, unsur-unsur mikro juga menjadi mudah larut, sehingga ditemukan unsur-unsur mikro yang terlalu banyak. Unsur mikro adalah unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga menjadi racun jika terdapat dalam jumlah yang terlalu besar. Termasuk unsur mikro dalam jenis ini adalah Fe, Mn, Zn, Cu, dan Co. Unsur mikro yang lain yaitu Mo dapat menjadi racun kalau pH terlalu alkalis. Di samping itu, tanah yang terlalu alkalis juga sering mengandung garam yang terlalu tinggi yang dapat menjadi racun bagi tanaman.
D. PENGOLAHAN CITRA Analis citra (image analysis) dapat dilakukan melalui dua metode, image processing dan pattern recognition. Image processing adalah sekelompok teknik komputasi untuk menganalisa, peningkatan mutu citra (enhacing), kompresi dan rekonstruksi citra. Sistem visual adalah sebuah proses untuk memperoleh pengukuran atau abstraksi dari sifatsifat geometri dari citra. Komponen yang membentuk sistem visual adalah komponen geometri, pengukuran, dan interpretasi. Pembentukan citra terdiri atas geometri citra yang menentukan suatu titik dalam suatu image, diproyeksikan pada bidang citra sebagai fungsi pencahayaan image dan sifat-sifat permukaan (Arymurthy dan Suryana, 1992). Citra digital dapat diperoleh secara otomatis dari sistem perangkat citra digital yang melakukan penjelajahan citra membentuk suatu matrik dimana elemen-elemennya menyatakan tingkat intensitas cahaya pada suatu lingkungan diskrit dari titik. Sistem tersebut merupakan bagian terdepan dari suatu sistem pengolahan citra seperti terlihat pada Gambar 1. Pixel (picture element) adalah sebuah titik yang merupakan elemen paling kecil pada citra. Angka numerik (1 byte) dari pixel disebut digital number (DN). DN bisa ditampilkan dalam warna kelabu, berkisar antara putih dan hitam (gray scale), tergantung level energi yang terdeteksi. Unit terkecil dari data digital adalah bit, yaitu angka biner, 0 atau 1. Kumpulan dari data sejumlah 8 bit adalah sebuah unit data yang disebut byte, dengan nilai 0-255. Dalam hal citra digital nilai level
7
energi dituliskan dalam satuan byte. Kumpulan byte ini dengan struktur tertentu bisa dibaca oleh software dan disebut citra digital 8-bit. Citra merupakan sekumpulan titik-titik dari gambar yang berisi informasi warna dan tidak bergantung pada waktu. Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar piksel sama pada seluruh bagian citra. Titik-titik tersebut menggambarkan posisi koordinat dan menunjukan warna citra. Warna citra didapat melalui penjumlahan nilai Red, Green, Blue (RGB).
Citra masukan
Sensor
Pengubah analog ke Citra digital digital
Monitor Peraga
Penyimpanan Bingkai Citra
Komputer digital
Gambar 1. Sistem terdepan dari pengolahan citra (Arymurthy dan Suryana, 1992)
Citra (x,y) disimpan dalam memori komputer atau penyimpanan bingkai citra dalam bentuk array N x M dari contoh diskrit dengan jarak sama, sebagai berikut :
f(x,y) =
0,0 1,0 ….. N, 0
0,1 … 1,1 … …. … N, 1 …
0, M 1 1, M 1 ………. N, M 1
Citra dengan format 8 bit memiliki 256 tingkat keabuan atau intensitas warna. Nilai tersebut berkisar antara 0-255, dimana nilai 0 menunjukan tingkat paling gelap (hitam), sedangkan nilai 255 menunjukan tingkat paling terang dan tingkat abu-abu berada diantaranya. Citra dengan 24 bit mempunyai 16.777.216 kombinasi warna. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu pita magnetik. Sebuah warna didefinisikan sebagai jumlah relatif dari intensitas ketiga warna pokok (merah, hijau, biru) yang diperlukan untuk membentuk sebuah warna. Intensitas dapat berkisar dari 0% sampai 100%. Jumlah bit yang digunakan untuk mempresentasikan resolusi dari intensitas menunjukan jumlah warna yang dapat ditampilkan. Intensitas nol untuk ketiga warna pokok berarti warna putih. Model warna telah banyak dikembangkan oleh para ahli, seperti model RGB (Red, Green, Blue), model CMYK (Cyan, Magenta, Yellow,Chromatic),YcbCr (luminese serta dua komponen krominasi Cb dan Cr), dan HSI (Hue, Saturation, Intensity). Model warna RGB merupakan model warna pokok aditif, yaitu warna dibentuk dengan mengkombinasikan energi cahaya dari ketiga warna pokok dalam berbagai perbandingan.
8
Model warna RGB dapat juga dinyatakan dalam bentuk indeks warna RGB dengan rumus sebagai berikut : Indeks warna merah (Ired) =
(1)
Indeks warna hijau (Igreen) =
(2)
Indeks warna biru (Iblue)
(3)
=
E. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Sistem informasi geografis adalah suatu sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografis. Sistem informasi geografis adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non spasial (Barus dan Wiradisastra, 1996 dalam Maharjanti , 2009). Sistem informasi geografis adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. Sistem informasi geografis dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalsis. Dengan demikian, sistem informasi geografis merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografis : (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran (Prahasta, 2005 dalam Maharjanti, 2009). Alasan yang menyebabkan mengapa konsep SIG beserta aplikasinya dipergunakan di berbagai disiplin ilmu adalah karena SIG memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial berikut atribut-atributnya. Modifiksi warna, bentuk, dan ukuran simbol yang diperlukan untuk mempresentasikan unsur-unsur permukaan bumi dapat dilakukan dengan mudah. Perangkat lunak SIG hampir semua memiliki galeri atau pustaka yang menyediakan simbol-simbol standar yang diperlukan untuk kepentingan kartografis atau produksi peta. Selain itu, transformasi koordinat, refelktifitas, dan registrasi data spasial sangat didukung. Dengan demikian, manipulasi bentuk dan tampilan visual data spasial dalam berbagai skala yang berbeda dapat digunakan dengan fleksibel (Prahasta, 2005 dalam Maharjanti, 2009). SIG berdasarkan operasinya, dapat terbagi dalam (1) cara manual, yang beroperasi memanfaatkan peta cetak (kertas atau transparasi), bersifat data analog, dan (2) cara terkomputer atau lebih sering disebut secara otomatis, yang prinsip kerjanya sudah dengan menggunakan komputer sehingga datanya merupakan data digital (Barus dan Wiradisastra, 1996 dalam Maharjanti , 2009).
F. BAGAN WARNA DAUN Warna daun adalah suatu indikator yang berguna bagi kebutuhan pupuk N tanaman padi. Skala warna, yang tersusun dari suatu seri warna hijau, dari hijau kekuningan sampai hijau tua, sesuai dengan warna-warna daun di lapang. Beberapa metode pengukuran warna daun sebelumnya mempunyai kelemahan termasuk kerusakan pada tanaman, memerlukan peralatan yang mahal, dan kesulitan dalam pengukuran (Gani, 2006). Sebagai contoh, fluoresensi khlorofil sering digunakan
9
untuk menganalisis fotosintesa tanpa merusak tanaman. Karena itu, perubahan fluoresen adalah salah satu indeks yang berguna untuk menunjukan efisiensi fotosintesis, juga kondisi khlorofil dan dan kehijauan daun. Salah satu fluorometer ini disebut MINIPAM, namun penggunaannya terbatas (Kim et al., 2006 dalam Gani, 2006). Suatu alat sederhana, walaupun mahal, dapat menentukan jumlah khlorofil dalam daun tanaman, disebut SPAD-502 (KONICA MINOLTA 1989) secara digital mencatat jumlah relatif dari molekul khlorofil. Pencatatannya disebut nilai SPAD, diperhitungkan berdasarkan jumlah cahaya yang ditransmisikan oleh daun dalam dua berkas panjang gelombang dimana absorbansi khlorofil berbeda. Nilai SPAD yang ditentukan menggunakan SPAD-502 memberikan indikasi tentang jumlah relatif khlorofil yang ada di dalam daun. Dobermann and Fairhurst (2000) dalam Gani (2006) melaporkan nilai SPAD sebesar 35 bagi daun paling atas yang telah mengembang sempurna digunakan sebagai suatu nilai batas kekurangan N (perlu diberi N) pada padi indica unggul yang pindah tanam. Batas bagi tanam langsung adalah nilai SPAD 32-33. Bagan warna daun (BWD) pertama kali dikembangkan di Jepang, dan kemudian penelitipeneliti dari Universitas Pertanian Zhejiang, Cina mengembangkan suatu BWD yang lebih baik dan mengkalibrasi dengan padi indica, japonica, dan hibrida. Alat ini kemudian menjadi model bagi BWD yang didistribusikan oleh Crop Resources and Management Network (CREMNET)IRRI untuk tanaman padi; suatu alat yang sederhana, mudah digunakan, dan tidak mahal untuk menentukan waktu pemupukan N pada tanaman padi. BWD ini merupakan alat yang cocok untuk mengoptimalkan penggunaan N, dengan berbagai sumber pupuk N; pupuk organik, pupuk bio, ataupun pupuk kimia. BWD terdiri atas empat warna hijau, dari hijau kekuningan sampai hijau tua. BWD tidak dapat dapat menunjukan perbedaan warna hijau daun yang terlalu kecil sebagaimana pada khlorofil meter (SPAD). Namun, BWD bisa dibandingkan dengan SPAD untuk menentukan ketepatan relatifnya dalam menentukan status N tanaman padi (Gani, 2006). Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Sukamandi, didapatkan korelasi dan regresi yang sangat nyata secara statistik antara nilai-nilai BWD dan SPAD, karena itu nilai BWD dapat digunakan untuk meregresikan nilai SPAD, pada berbagai musim, tipe tanah dan varietas padi. Nampak bahwa pembacaan BWD dapat digunakan dengan ketepatan dan validitas yang tinggi untuk mengukur warna daun (Gani, 2006). Penggunaan BWD dapat digunakan melalui dua cara. Cara pertama berdasarkan kebutuhan riil tanaman (real time), dengan membandingkan warna daun padi dengan skala BWD secara berkala, setiap 7-10 hari sejak 21-28 hari setelah tanam (HST) sampai fase primordia (pada padi hibrida dan padi tipe baru atau PTB dilanjutkan sampai fase 10% berbunga). Tanaman segera diberi pupuk N ketika warna daun berada dibawah skala 4 BWD. Metode ini, petani perlu sering ke sawah untuk membandingkan warna daun padi dengan BWD. Berikut ini akan disajikan kriteria pemberian pupuk untuk mendapatkan hasil yang diharapkan bila warna daun dibawah nilai kritis (skala <4 BWD) pada Tabel 2.
Tabel 2. Takaran urea yang diperlukan bila warna daun dibawah nilai kritis , skala < 4 BWD (BB Padi, 2006 di dalam Gani, 2006) Respon terhadap pupuk N Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Pembacaan BWD Target hasil (ton/ha GKG) ≈ 5.0 ≈ 6.0 ≈ 7.0 ≈ 8.0 Takaran urea yang digunakan (kg/ha) BWD < 4 50 75 100 125
10
Metode kedua berdasarkan waktu yang telah ditetapkan (fixed time), biasanya berdasarkan pertumbuhan tanaman, yaitu pertumbuhan awal (0-14 HST), pembentukan anakan aktif (21-28 HST), dan primordia. Dengan cara ini hanya melakukan 2-3 kali pengukuran warna daun padi dengan BWD. Sebelum berumur 14 hari setelah tanam pindah (HST), tanaman padi diberi pupuk dasar N dengan takaran 50-70 kg per hektar. Pada saat itu BWD belum diperlukan. BWD digunakan pada pemupukan kedua atau stadia anakan aktif (21-28 HST) dan pemupukan ketiga atau primordia (35-40 HST) dengan membandingkan warna daun dengan skala BWD. Prosedur pemberian pupuk yang diberikan sesuai skala warna pada BWD dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Takaran urea yang diberikan sesuai dengan skala warna daun pada penggunaan BWD berdasarkan waktu yang ditetapkan (BB Padi, 2006 di dalam Gani, 2006) Respon terhadap pupuk N Pembacaan BWD
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Target hasil (ton/ha GKG) ≈ 5.0
≈ 6.0
≈ 7.0
≈ 8.0
Takaran urea yang digunakan (kg/ha) BWD ≤ 3
75
100
125
150
BWD = 3.5
50
75
100
125
BWD ≥ 4
0
0-50
50
50
G. PERTANIAN PRESISI Pertanian presisi merupakan informasi dan teknologi pada sistem pengelolaan pertanian untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan mengelola informasi keragaman spasial dan temporal di dalam lahan untuk mendapatkan keuntungan optimum, berkelanjutan dan menjaga lingkungan (Prabawa et al., 2009). Tujuan dari pertanian presisi adalah mencocokkan aplikasi sumber daya dan kegiatan budidaya pertanian dengan kondisi tanah dan keperluan tanaman berdasarkan karakteristik spesifik lokasi di dalam lahan. Pertanian presisi merupakan revolusi dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis teknologi informasi. Manajemen Informasi Geografis (Management Information System) dalam presisi pertanian meliputi Sistem Informasi Geografis (Geographical Information System), Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support System), dan data (crop models and field history). Pertanian presisi sebagai teknologi baru yang sudah demikian berkembang di luar Indonesia perlu segera dimulai penelitiannya di Indonesia untuk memungkinkan perlakuan yang lebih teliti terhadap setiap bagian lahan. Maksud tersebut dapat dicapai dengan pertanian presisi melalui kegiatan pembuatan peta hasil (yield map), peta tanah (soil map), peta pertumbuhan tanaman (growth map), peta informasi lahan (field information map), penentuan laju aplikasi (variable rate application), pembuatan yield sensor, pembuatan variable rate applicator, dan lainlain. Penggabungan peta hasil, peta tanah, dan peta pertumbuhan tanaman menghasilkan peta informasi lahan sebagai dasar perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik lokasi yaitu dengan diperolehnya variable rate application.
11
H. PENELITIAN TERDAHULU Aplikasi pengolahan citra berbasis sensor untuk menganalisa kebutuhan pupuk terhadap tanaman padi masih belum ditemukan sebelumnya. Penelitian mengenai pengolahan citra lebih banyak ditemukan penggunaan foto udara untuk menganalisa topografi suatu lahan. Dalam penelitian Tangwongkit et al. (2006) menerapkan alat penyemprot otomatis dengan pengolahan citra berbasis sensor. Penelitian tersebut menggunakan traktor yang terdapat webcam pada bagian depan. Webcam berfungsi untuk mengambil gambar yang kemudian digunakan sebagai data masukan untuk menentukan kebutuhan insekstisida. Penelitian mengenai prediksi kandungan nitrogen pada daun adalah dengan menganalisis posisi tepi kanal merah atau REP (Red Edge Position) sebagai predictor (Lamb et al., 2002). Menurut Baranoski dan Rokne. (2002), REP adalah titik kemiringan (slope) maksimum spectrum reflektans tanaman di antara panjang gelombang-panjang gelombang merah (red) dan dekat infra merah (near-infra red atau NIR). Peningkatan kandungan khlorofil menyebabkan pergeseran REP di sekitar 680 ηm (Cho MA, 2007). Pergeseran REP berkaitan erat dengan perubahan khlorofil, nitrogen, status fenologi, dan tingkat stress tanaman (Baranoski dan Rokne, 2002). Pergeseran REP yang berkisar antara panjang gelombang 670-780 nanometer (ηm) disebabkan oleh efek gabungan dari absorbsi khlorofil yang kuat di panjang gelombang merah dan reflektans yang tinggi di panjang gelombang NIR karena adanya penyebaran di internal daun (Gates et al., 1965; Horler et al., 1983). Penelitian Ismunadji et al. (1985) menggunakan skala warna dengan sistem Munsell yang telah diperbaiki untuk menduga status hara tanaman. Skala warna daun tersebut berupa 9 kepingan warna dari hue GY (Green Yellow). Skala warna kepingan warna dimulai dari 0 sampai dengan 8. Kisaran 4-5.5 menunjukkan kadar nitrogen yang cukup. Angka kurang dari 4 dan lebih dari 5.5 berturut-turut menunjukkan kekurangan dan kelebihan nitrogen. Keping warna ini digunakan saat sebelum pembentukan primordia bunga pada tanaman yang tumbuh di lapangan. Pada Gambar 2 dapat dilihat warna daun tanaman padi berubah dengan fase tumbuh. Hue sampai pertengahan fase masak berfluktasi antara 5 sampai 7 GY dan pada fase selanjutnya warna menjadi hijau kekuningan muda dan akhirnya tanaman mengering. Perubahan warna yang khas dari warna daun pada saat pembentukan primordia bunga, yaitu turunnya hue dan meningkatnya nilai kroma. Hubungan antara skala warna dengan kadar nirogen daun padi disajikan pada Tabel 4. Kadar nitrogen meningkat dengan nomor skala warna yang semakin besar. Tabel 4. Hubungan antara nomor skala dengan kadar nirogen daun padi var. Cisadane. Kampung Muara, 1984. (Ismunadji et al., 1985) No. skala warna Kadar nitrogen daun (%) 0.8
0.55
2.9
1.09
3.8
1.59
4.0
1.92
4.2
2.07
5.3
2.68
5.6
2.70
12
Gambar 2. Perubahan warna daun dengan fase tumbuh pada tanaman padi var. Cisadane. Kampung Muara, 1984. (Ismunadji et al., 1985)
Penelitian yang dilakukan Ismunadji et al. (1985) tidak hanya dilakukan pada tanaman padi tetapi juga tanaman kedelai. Pada Gambar 3 menunjukan grafik hubungan kadar klorofil dengan skala warna.
Gambar 3. Hubungan antara skala warna dan kadar klorofil daun kedelai varietas Wilis. Kampung muara. (Ismunadji et al., 1985)
Penelitian bagan warna daun (BWD) di Maligaya, Filipina menunjukan bahwa dengan menerapkan bagan warna daun skala 4, petani kooperator dapat menghemat penggunaan pupuk N
13
10-53 kg N/ha atau sekitar 10-58% dari takaran umum yang diterapkan oleh petani untuk mencapai produktivitas yang sama. Serangan penyakit bakteri bercak daun dan penyakit bergaris merah juga tidak banyak ditemukan pada petak yang menerapkan BWD (Morales, 2000 dalam Wahid, 2003). Abdulrahman et al. (2001) diacu dalam Wahid (2003) melaporkan bahwa pemberian pupuk N berdasarkan status klorofil daun dengan menggunakan chlorophyll meter (SPAD) atau BWD dapat menghemat urea 30-40%. Wahid et al. (2001) melaporkan bahwa keuntungan usaha tani usaha padi dengan menerapkan BWD-4 dan BWD-5 lebih tinggi daripada cara petani atau pemupukan sesuai rekomendasi. Penghematan pupuk N dibandingkan dengan takaran rekomendasi sebesar 75 kg N (60%) untuk BWD-4 dan sekitar 15 kg N (12%) untuk BWD-5.
14