I.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Padi Padi merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat Indonesia, karena sebagai sumber energi dan karbohidrat bagi mereka. Selain itu, padi juga merupakan tanaman yang paling penting bagi jutaan petani kecil yang ada di berbagai wilayah di Indonesia untuk sekarang atau yang akan datang. Setidaknya pertumbuhan produksi padi sama cepatnya dengan pertumbuhan populasi penduduk. Untuk meningkatkan produksi padi perlu pengembangan teknologi dan penelitian yang berkaitan dengan produktivitas padi, yang mana dengan produktifitas padi yang tinggi diharapkan dapat memberi kontribusi yang tinggi dalam kesejahteraan masyarakat petani (Handono 2013). Padi termasuk famili Graminae. Batangnya beruas-ruas yang di dalamnya berongga (kosong), tingginya 1 sampai 1,5 meter. Pada tiap-tiap buku batang tumbuh daun, yang berbentuk pita dan berpelepah. Pelepah itu membalut hampir sekeliling batang. Secara garis besar, fase pertumbuhan tanaman padi dibagi menjadi 2 (dua) bagian yakni fase vegetatif dan fase generatif, namun ada pula yang membagi fase generatifnya menjadi fase reproduktif dan pematangan (Suparyono dan Setyono 1994). Pemberian pupuk pada tanaman padi sangat penting dilakukan agar pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi dapat optimal. Menurut Andoko (2002) pupuk dasar diberikan sewaktu bibit pindah tanam, bibit perlu waktu sekitar 8-12 hst atau rata-rata 10 hst untuk dapat memperkokoh perakaran. Saat inilah, sebaiknya pemupukan pertama dilakukan. Sebab pada saat itu daun dan akar tanaman padi sudah mulai berkembang. Dengan demikian akan maksimal menyerap unsur hara. Pupuk susulan ke-1 diberikan sekitar pekan ke 3 (sekitar 21-25 hst). Pupuk Susulan ke-2 diberikan sekitar umur tanaman mencapai pekan ke 5 (sekitar 30-40 hst). Masa ini adalah peralihan dari fase vegetatif ke generatif. Dalam kondisi ini tanaman sedang membutuhkan nutrisi yang tinggi. Hal ini ditandai dengan keluarnya daun bendera atau padi bunting. Artinya malai padi akan segera keluar. Pada umur tersebut adalah saat yang tepat pemupukan tahap
3
ke 3 diberikan. Dengan demikian, tanaman padi akan menghasilkan malai yang optimal (Buhaira 2009). B. Keong Emas Keong emas (Pomacea sp.) merupakan hama penting pada tanaman padi di Indonesia, tingkat serangan keong emas tergolong cukup tinggi karena berkembang biak dengan cepat dan menyerang tanaman yang masih muda. Keong emas dapat menyebabkan kerusakan tanaman berkisar 10-40%. Daerah penyebaran keong emas di Indonesia antara lain Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, dan NTB. Hama keong emas merusak puluhan hektar tanaman padi berumur satu bulan setelah tanam dan menyebabkan kerugian hampir 50% (Susanto 1995). Keong emas termasuk Filum : Molluska Kelas : Gastropoda Ordo : Mesogastropoda Famili : Ampullaridae Genus : Pomacea Spesies : Pomacea sp. (Davidson 1984). Pomacea sp. secara morfologi ditandai oleh karakteristik rumah siput berbentuk bundar dan menara pendek, rumah siput besar dan tebal, lima sampai enam putaran didekat menara dengan kanal yang dalam, mulut besar dengan bentuk bulat sampai oval, operculum tebal rapat menutup mulut, berwarna cokelat sampai kuning muda, bergantung pada tempat berkembangnya, dagingnya lunak berwarna putih krem atau merah jambu keemasan atau kuning orange. Operculum betina cekung dan tepi mulut rumah siput melengkung kedalam, sebaliknya operculum jantan cembung dan tepi mulut rumah siput melengkung keluar (Harahap IS, Tjahyono 1992). Siklus hidup keong emas bergantung pada temperatur, hujan, atau ketersediaan air dan makanan. Pada lingkungan dengan temperatur yang tinggi dan makanan yang cukup, siklus hidup pendek, sekitar tiga bulan, dan bereproduksi sepanjang tahun. Jika makanan kurang, siklus hidupnya panjang dan hanya bereproduksi pada musim semi atau awal musim panas. Di daerah tropis,
keong aktif dan bertelur sepanjang tahun. Keong yang berukuran 2,5 cm sudah mulai bertelur. Apabila makanan cukup dan lingkungan mendukung, setelah satu sampai dua kali bertelur, ukuran keong bertambah besar (Rismunandar 1986). Keong emas sanggup hidup 2-6 tahun dengan daya hidup yang tinggi. Telur diletakkan dalam kelompok pada tumbuhan, pematang, ranting, dan lainlain, beberapa cm di atas permukaan air. Pada umumnya telur berwarna merah muda, dengan diameter telur berkisar antara 2,2-3,5 mm, tergantung pada lingkungan. Telur diletakkan berkelompok sehingga menyerupai buah murbei. Warna kelompok telur berubah menjadi agak muda menjelang menetas. Daya tetas berkisar antara 61-75%. Telur menetas setelah 8-14 hari. Pada temperatur 23-32ºC, dalam sebulan seekor keong emas dapat bertelur 15 kelompok yang terdiri atas 300 sampai 1.000 butir tiap kelompok (Riyanto 2004). Ukuran keong yang baru menetas 2,2-3,5 mm dan menjadi dewasa dalam 60 hari atau lebih, bergantung pada lingkungan. Mortalitas keong sangat rendah, dalam stadia juvenile selama 30 hari survival dari juvenile yang berdiameter 0,5 cm antara 95 sampai 100% (Susanto 1995). C. Sistem Budidaya Padi SRI Salah satu sistem budidaya padi yang sekarang ini dikembangkan di Indonesia ialah SRI (System of Rice Intensification). Pola tanam padi SRI telah menunjukkan hasil yang menjanjikan pada semua varietas padi baik varietas lokal maupun varietas unggul baru di berbagai negara. Dengan pola tanam SRI hasil panen padi dapat mencapai 6, 8, 10 bahkan 15 ton per hektar atau bahkan lebih dari itu. Pola tanam SRI mengubah struktur tanaman padi yaitu kerapatan serta jumlah akar dan anakan dengan merubah cara-cara dalam pengaturan tanaman padi, tanah tempat tanaman tersebut tumbuh dan air yang diterima tanaman melalui irigasi sehingga tanaman padi dapat lebih produktif (Masdar 2006). Agar tanaman padi menjadi lebih produktif, maka diperlukan lebih banyak anakan per tanaman, lebih banyak malai, lebih banyak bulir per malai, dan bulir padi yang lebih besar dan padat. Prinsip dari penanaman SRI, antara lain penanaman bibit muda, penanaman bibit tunggal dan jarak antar tanaman yang lebar, penanaman segera untuk menghindari trauma pada bibit, penanaman
dangkal, lahan sawah tidak terus menerus digenangi air, penyiangan mekanis, serta menjaga keseimbangan biologi tanah (Purwasasmita dan Sutaryat 2010). Keunggulan metode SRI yaitu tanaman hemat air. Selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen pemberian air paling tinggi 2 cm diatas tanah, paling baik macak-macak sekitar 2,5 cm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak (irigasi terputus). Selain tanaman hemat air, keunggulan SRI lainnya ialah hemat biaya dan hemat waktu. Hemat biaya karena dalam metode SRI benih yang dibutuhkan 5 kg/ha, tidak memerlukan biaya pencabutan bibit, tidak memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam berkurang. Hemat waktu karena, bibit yang ditanam menggunakan bibit muda umur 5 - 14 hari setelah semai dan waktu panen akan lebih awal. Dengan menggunakan metode SRI produksi padi akan meningkat, seperti di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha. Metode SRI juga ramah lingkungan karena tidak menggunaan bahan kimia dan digantikan dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang dan Mikro-oragisme Lokal), begitu juga penggunaan pestisida (Wardana et al 2005). D. Sistem Budidaya Padi Legowo Sistem tanam Legowo adalah pola bertanam yang berselang-seling antara dua atau lebih baris tanaman padi dan satu baris kosong. Istilah Legowo di ambil dari bahasa jawa, yaitu berasal dari kata ”lego” berarti luas dan ”dowo” berarti memanjang. Tanam jajar Legowo merupakan salah satu komponen PTT padi yang dapat meningkatkan produksi serta memberikan kemudahan dalam aplikasi pupuk dan pengendalian organisme penggangu tanaman (Suparwoto 2010). Jajar Legowo merupakan cara tanam dengan beberapa barisan tanaman kemudian diselingi oleh 1 baris kosong dimana jarak tanam pada barisan pinggir ½ kali jarak tanaman pada baris tengah. Ada beberapa tipe cara tanam jajar Legowo yang umum dilakukan yaitu ; tipe Legowo 2:1; 3:1; 4:1; 5:1; 6:1 dan tipe lainnya. Berdasarkan hasil jajar Legowo terbaik dalam memberikan hasil gabah tinggi adalah tipe 2:1, dapat meningkatkan produksi padi sebesar 12-22%. Disamping itu sistem Legowo yang memberikan ruang yang luas (lorong) sangat cocok dikombinasikan dengan pemeliharaan ikan (mina padi Legowo) (Nirwana 2013).
Prinsip dari sistem tanam jajar Legowo adalah pemberian kondisi pada setiap barisan tanam padi untuk mengalami pengaruh sebagai tanaman barisan pinggir. Umumnya tanaman pinggir menunjukkan hasil lebih tinggi daripada tanaman di bagian dalam barisan. Tanaman pinggir juga menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik karena kurangnya persaingan tanaman antar barisan. Penerapan jajar Legowo selain meningkatkan populasi pertanaman, juga mampu menambah kelancaran sirkulasi sinar matahari dan udara disekeliling tanaman pinggir sehingga tanaman dapat berfotosintesa lebih baik. Menurut Niko (2013), sistem tanam Legowo merupakan salah satu komponen PTT pada padi sawah yang apabila dibandingkan dengan sistem tanam lainnya memiliki keuntungan sebagai berikut: 1. Terdapat ruang terbuka yang lebih lebar diantara dua kelompok barisan tanaman yang akan memperbanyak cahaya matahari masuk ke setiap rumpun tanaman padi, sehingga meningkatkan aktivitas fotosintesis yang berdampak pada peningkatan produktivitas tanaman. 2. Sistem tanaman berbaris ini memberi kemudahan petani dalam pengelolaan usahataninya
seperti:
pemupukan
susulan,
penyiangan,
pelaksanaan
pengendalian hama dan penyakit (penyemprotan). Disamping itu juga lebih mudah dalam mengendalikan hama tikus. 3. Meningkatkan jumlah tanaman pada kedua bagian pinggir untuk setiap set Legowo, sehingga berpeluang untuk meningkatkan produktivitas tanaman akibat peningkatan populasi. 4. Sistem tanaman berbaris ini juga berpeluang bagi pengembangan sistem produksi padi-ikan (mina padi) atau parlebek (kombinasi padi, ikan, dan bebek). 5. Meningkatkan produktivitas padi hingga mencapai 10-15%. E. Sistem Budidaya Padi Tabela Tabela adalah singkatan dari Tanam benih padi secara langsung, dimana benih padi langsung disebar di lahan budidaya tanpa melalui proses penyemaian terlebih dahulu. Cara ini berbeda dengan budidaya padi sistem pindah tanam atau transplanting, dalam hal pembibitannya. Dalam sistem pindah tanam, benih padi
disemaikan terlebih dahulu di lahan yang terpisah dengan lahan budidaya. Dengan demikian, dibutuhkan tenaga untuk persiapan lahan semai, penyebaran benih, pencabutan bibit yang sudah siap tanam dan tenaga tanam. Ditambah lagi tenaga transportasi untuk memindah bibit dari lokasi penyemaian menuju ke lokasi budidaya, karena seringkali lahannya berjauhan. Dalam sistem Tabela tenaga untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut tidak ada. Sehingga dengan sistem Tabela dapat mengurangi penggunaan tenaga kerja yang tentunya dapat mengurangi biaya produksi jika menggunakan tenaga kerja upahan atau buruh tani (Anonim 2011). Sistem Tabela sangat cocok diterapkan pada lahan yang beririgasi baik, tidak mudah kebanjiran, dan pengolahan tanahnya harus sempurna, dimana kondisi tanah benar-benar gembur dan rata. Jika dapat diterapkan, maka akan mendapatkan keuntungan lain selain dapat menghemat tenaga kerja, yaitu umur tanaman padi Tabela lebih cepat sekitar 15 hari dibandingkan tanaman padi sistem pindah-tanam. Hal ini karena pada sistem Tabela, tanaman padi tidak mengalami stagnasi pertumbuhan (Chairunas et al. 2012). Keuntungan lainnya, sistem perakarannya lebih cepat berkembang sehingga mampu berkompetisi dengan gulma untuk memperoleh unsur hara di dalam tanah. Hal ini karena sistem perakarannya tidak terbenam dalam tanah, maka mudah menyerap udara untuk bernafas. Berbeda dengan tanaman padi sistem pindah-tanam yang mengalami stagnasi pertumbuhan pada saat bibit dipindah dari lahan persemaian ke lahan budidaya. Bila dipindah, tanaman perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Kebiasaan petani selama ini, bibit tanaman dibenam dalam tanah sampai semua perakarannya terbenam. Kondisi ini menyebabkan sistem perakarannya kurang cepat untuk berkembang. Untuk menghasilkan pertumbuhan tanaman padi yang optimal, sebelum disebar sebaiknya benih diberi perlakuan khusus (seed treatment), sebagai usaha imunisasi terhadap serangan hama dan penyakit dan merangsang pertumbuhan akar. Dengan cara ini pertumbuhan akar lebih cepat sehingga mampu bersaing dengan gulma untuk memperebutkan unsur hara. Selain itu, sebaiknya jumlah benih tiap rumpun cukup dua butir dengan jarak tanam cukup lebar ± 45 cm.
Dengan cara ini, kebutuhan benih lebih sedikit, namun pertumbuhannya lebih optimal. Sekarang kebiasaan yang diterapkan oleh petani adalah menanam bibit padi tiap rumpun jumlahnya 4-5 bibit dengan jarak tanam 25 cm. Cara petani ini dianggap akan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi karena jumlah bibit lebih banyak otomatis jumlah anakan akan lebih banyak, dan dengan jarak tanam yang lebih pendek otomatis jumlah rumpun juga lebih banyak. Sirkulasi udara dan cahaya juga lebih baik. Cara ini dapat mengoptimalkan produktivitas tanaman padi (Sudaryo 2011). F. Sistem Budidaya Padi Petani Budidaya padi secara konvensional masih banyak dilakukan petani di Indonesia. Tanaman padi sawah yang dibudidayakan secara organik dan konvensional, biasanya memiliki tahapan yang sama mulai dari pengolahan tanah, penyiapan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemupukan dan pemanenan. Perbedaan metode budidaya tanaman padi secara konvensional dan organik secara umum terletak pada input. Pada budidaya padi secara konvensional dalam pengolahan tanahnya menggunakan tenaga traktor dengan urutan tanah dibajak, digaru, dan diratakan. Pada metode konvensional lahan digenangi air sampai setinggi 5-7 cm di atas permukaan tanah secara terus menerus. Ciri utama dari pertanian konvensional ialah penggunaan bahan kimia baik untuk pupuk maupun pestisida (Susanto R 2002). Penerapan pertanian konvensional tidak membawa keadaan yang lebih baik tetapi justru menimbulkan masalah-masalah baru. Penerapan teknologi pertanian konvensional secara luas dan seragam mengakibatkan dampak negatif bagi lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat. Menurut Kusumawardani (2009) dampak samping pertanian konvensional meliputi: 1.
Penurunan kesuburan tanah.
2.
Penggunaan air berkelebihan dan kerusakan sistem hidrologi.
3.
Pencemaran lingkungan berupa kandungan bahan berbahaya di lingkungan dan makanan.
4.
Ketergantungan petani pada input-input eksternal.
5.
Kehilangan diversitas genetik seperti berbagai jenis tanaman dan varietas tanaman pangan lokal/tradisional.
6.
Peningkatan kesenjangan global antara negara-negara industri dan negaranegara berkembang.
7.
Kehilangan pengendalian komunitas lokal terhadap produksi pertanian.
Pertanian Konvensional mengakibatkan kerusakan lingkungan serta semakin menghabiskan energi dari sumberdaya alam tidak terbarukan. Harga energi semakin lama semakin meningkat karena persediaan bahan bakar fosil semakin habis. Dilihat dari sisi ekonomi, keuntungan yang diperoleh dari pertanian konvensional semakin menurun.