II 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Penerapan Teknologi pada Padi Berbagai teknologi tanaman padi telah diterapkan untuk meningkatkan
produktivitas dan efisiensi. Penerapan teknologi pada padi yang sudah dilakukan oleh petani, yaitu System of Rice Intensification (SRI), teknologi padi hibrida, dan pengendalian hama terpadu. Penelitian mengenai penerapan teknologi tersebut sudah dilakukan. Astuti (2007) dan Putri (2011) telah melakukan penelitian mengenai penerapan teknologi padi System of Rice Intensification (SRI). Sedangkan penelitian mengenai penerapan teknologi padi hibrida dan metode pengendalian hama terpadu pada padi telah dilakukan oleh Basuki (2008) dan Surya (2002). Penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2007) dan Putri (2011) mengenai penerapan teknologi SRI mempunyai tujuan penelitian mereka berbeda. Tujuan penelitian Astuti (2007) adalah mengevaluasi penerapan teknologi SRI, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan teknologi SRI, menganalisis pendapatan, dan efesiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani padi SRI. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2011) mempunyai tujuan penelitian yaitu mengidentifikasi penerapan pertanian organik dan persepsi petani tentang karakteristik pertanian organik serta pengaruhnya terhadap penerapan teknologi. Astuti (2007) yang melakukan penelitian di Desa Margahayu Kabupaten Tasikmalaya menjelaskan pada umumnya petani responden sudah melaksanakan sebagian besar unsur-unsur teknologi SRI sesuai anjuran karena lebih dari setengah jumlah responden melakukan unsur-unsur teknologi SRI, antara lain pengelolaan air secara terputus-putus, penanaman dengan satu bibit muda per rumpun, penyiangan minimal sebanyak tiga kali, penanaman dangkal, dan posisi perakaran seperti huruf L dengan jarak tanam minimal 25 x 25 cm. Sedangkan hasil penelitian Putri (2011) adalah semakin positif persepsi petani terhadap penerapan teknologi maka budidaya yang dilakukan mengarah pada penerapan pertanian organik, semakin luas lahan yang dikelola maka semakin positif persepsinya terhadap pertanian organik, serta semakin petani berani mengambil risiko, terbuka dengan informasi, dan semakin
kosmopolit petani maka semakin positif persepsinya tentang karakteristik inovasi pertanian organik. Selain penerapan teknologi padi SRI, penelitian mengenai penerapan teknologi padi hibrida dan metode pengendalian hama terpadu pada padi telah dilakukan oleh Basuki (2008) dan Surya (2002). Penelitian ini sama-sama dilakukan di Kabupaten Karawang. Penelitian yang dilakukan oleh Basuki (2008) dilakukan di Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang dengan menggunakan regresi logistik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi benih padi hibrida. Hasil penelitian ini menunjukan ada empat variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap penerapan benih padi hibrida, yaitu luas lahan, status lahan, rasio pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan total, dan umur. Luas lahan dan status lahan bukan milik berpengaruh positif, sedangkan rasio pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan total dan umur, berpengaruh negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Surya (2002) mengenai metode pengendalian hama terpadu (PHT). Sama seperti Basuki (2008), penelitian ini menggunakan regresi logistik karena ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi petani menerapkan usahatani padi metode PHT, yaitu mengikuti kursus Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT), luas lahan, dan biaya tenaga kerja. Penelitian ini menunjukkan bahwa usahatani padi metode PHT lebih rendah melakukan aplikasi pestisida kimia dalam satu musim tanam. Pengendalian hama secara mekanis melalui pengamatan lebih diutamakan dalam metode PHT, dengan tujuan pengendalian akhir (tindakan kuratif), sedangkan tujuan aplikasi kimia dalam metode konvensional, yaitu untuk pencegahan terhadap serangan hama (tindakan preventif). 2.2. Pendapatan Petani Petani Padi Sehat Padi sehat sudah dikembangkan tidak hanya di daerah Sukabumi tetapi juga di daerah lainnya di Indonesia. Namun penelitian mengenai padi sehat masih sedikit yang melakukannya. Penelitian mengenai pendapatan padi sehat sudah dilakukan oleh Fatullah (2010), Permatasari (2011), dan Gultom (2011). Permatasari (2011) melakukan juga analisis efesiensi teknis dan peran kelembagaan, sedangkan Gultom (2011) meneliti juga mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi produksi usahatani padi sehat. Tempat penelitian ketiganya sama-sama dilakukan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan tempat penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) karena desa ini merupakan salah satu sentra produksi padi dan telah menerapkan pertanian padi sehat. Fatullah (2010) membandingkan usahatani padi sehat dengan padi konvensional dilihat dari teknis budidaya dan analisis pendapatan. Perbedaan yang paling mendasar pada teknis budidaya usahatani padi sehat dan padi konvensional terletak pada kegiatan budidaya yang lebih banyak dilakukan pada padi sehat, seperti kegiatan persiapan benih, pembuatan pupuk kompos, pembuatan pestisida nabati, dan pembuatan pupuk cair yang lebih sering dilakukan daripada usahatani konvensional. Hasil analisis usahatani yang dilakukan oleh Fatullah (2010), Gultom (2011), dan Permatasari (2011) berbeda. Hasil analisis Fatullah (2010) menunjukkan pendapatan atas biaya tunai usahatani padi sehat lebih besar dibandingkan petani padi konvensional. Petani sehat dapat memperoleh penerimaan bersih Rp 6.032.222,22 dari pendapatan total usahatani. Sementara petani padi konvensional memperoleh sebesar Rp 5.042.342,53 dari pendapatan total usahatani. Sedangkan hasil analisis yang dilakukan oleh Gultom (2011), pendapatan atas biaya total petani padi sehat sebesar Rp 2.405.039,56. Adanya perbedaan hasil analisis antara Fatullah dan Gultom pada pendapatan atas biaya tunai usahatani padi sehat karena biaya tunai dari sewa lahan pada petani yang menjadi responden Gultom biayanya lebih besar. Hasil analisis Permatasari (2011) menunjukkan bahwa pendapatan usahatani atas biaya tunai dan biaya total yang paling besar diperoleh petani pemilik, sedangkan petani penyakap memperoleh pendapatan paling kecil dibandingkan petani lain. Berdasarkan hasil analisis Gultom (2011), nilai imbangan penerimaan atas biaya atau R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total yaitu sebesar 2,10 dan 1,22. Efesiensi usahatani melalui R/C atas biaya yang dilakukan oleh Fatullah (2010), nilai R/C usahatani padi sehat memiliki nilai yang lebih kecil dari R/C usahatani padi konvensional, hanya berselisih 0,03. Hasil analisis Permatasari (2011), petani penggadai memiliki R/C yang paling besar dibandingkan petani
lain. Sementara petani penyangkap yang merupakan mayoritas petani di lokasi penelitian memperoleh nilai R/C yang paling kecil dibandingkan petani yang lain. Hal ini diduga dikarenakan sistem bagi hasil yang tidak adil sehingga merugikan petani penyakap. Selain analisis pendapatan usahatani berbagai penelitian mengenai padi sehat juga pernah dilakukan, seperti analisis efesiensi, kelembagaan, dan faktorfaktor yang mempengaruhi produksi. Hasil analisis efesiensi teknis berdasarkan estimasi dari parameter Maximum Likelihood untuk fungsi produksi CobbDouglas Stochastic Frontier
yang dilakukan oleh Permatasari (2011),
menunjukkan bahwa variabel luas lahan, pupuk kompos, dan pupuk urea berpengaruh pada peningkatan produksi padi sehat. Tingkat efesiensi teknis ratarata usahatani padi sehat adalah 62 persen dari produksi maksimum. Faktor-faktor inefesiensi teknis yang berpengaruh pada peningkatan efesiensi teknis adalah dummy status kepemilikan lahan yang dibedakan menjadi petani pemilik, penyewa, penyakap, dan penggadai.
Sedangkan
hasil analisis peranan
kelembagaan menunjukkan bahwa adanya kelembagaan petani di Desa Ciburuy seperti kelompok tani dan koperasi, keberadaannya telah dirasakan efektif oleh para petani. Manfaat yang paling banyak dirasakan dari adanya kelompok tani adalah kemudahan mendapat modal. Sementara manfaat yang paling banyak dirasakan oleh anggota koperasi adalah kemudahan mendapatkan modal dan memperoleh input produksi. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani padi sehat yang dianalisis oleh Gultom (2011) adalah pupuk kompos, pupuk urea, pupuk phonska, pestisida nabati, sedangkan faktor produksi benih dan tenaga kerja tidak berpengatuh nyata baik pada selang kepercayaan 85 persen dan 95 persen. 2.3.
Manfaat Kemitraan Kemitraan terjalin antara dua pihak atau lebih yang saling bekerjasama
untuk mencapai tujuan masing-masing yang akhirnya kedua belah pihak mendapatkan manfaat dari kemitraan tersebut. Kemitraan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi berbagai masalah dalam sistem agribisnis di Indonesia. Dengan kemitraan diharapkan terjadi transfer informasi, teknologi, modal, dan sumberdaya lainnya dari pihak satu ke pihak lainnya.
Manfaat kemitraan telah banyak dirasakan oleh para petani. Manfaat kemitraan yang dirasakan oleh petani kacang tanah di Desa Palarang, Kecamatan Jangkar, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur yang bekerjasama dengan PT. Garudafood, yaitu adanya jaminan pasar, kepastian harga, meningkatkan pendapatan petani, dan menambah pengetahuan mengenai budidaya kacang tanah (Aryani 2009). Peternak ayam boiler di Cibinong, Bogor yang melakukan kemitraan dengan CV. Tunas Mekar Farm mendapatkan jaminan pasar, jaminan harga, jaminan teknis, dan bantuan operasional. Kemitraan yang dijalankan dengan pola inti plasma ini telah berjalan selama 6 tahun, lebih menekankan pada kerjasama hasil dan bimbingan teknis. Peternak juga mendapatkan pelayanan yang diberikan oleh perusahaan seperti bimbingan teknis dan pemberian sarana produksi ternak. (Febridinia 2010). CV. Bimandiri yang bekerjasama dengan petani semangka di Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tidak menyediakan bantuan dalam bentuk modal, tetapi memberikan bantuan dalam bentuk suplai bibit dan pembinaan petani, serta penjaminan pasar (Damayanti 2009). Petani tebu yang bermitra dengan pabrik gula (PG) Karangsuwung mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah melalui bank kepada petani seperti kredit ketahanan pangan (KKP) untuk pengadaan input (Astria 2011). Petani tebu di Kecamatan Trangkil, Pati, Jawa Tengah juga mendapatkan KKP dengan melakukan kemitraan dengan PG milik PT. Kebon Agung. Petani tebu responden yang diteliti oleh Najmudinrohman (2010), memanfaatkan fasilitas kredit sebanyak 81,8 persen, sisanya tidak mengambil kredit karena tidak ingin menanggung hutang. Dalam pengajuan kredit, PG berperan sebagai avalis yaitu penanggung
jawab
risiko
kegagalan
pengembalian
kredit.
Petani
pun
mendapatkan kredit akselerasi dari Dinas Perkebunan yang dikhususkan bagi penanaman tebu baru. Bunga kredit tersebut tujuh persen per tahun. Pembayaran kredit dipotong dari pembayaran nota gula saat musim giling. Seluruh petani tebu mitra yang menjadi responden juga menerima pupuk bersubsidi. Pembinaan pada petani mitra tidak hanya dilakukan oleh perusahaan mitra tetapi juga oleh pihak lain yang masih berhubungan. Seperti petani pembuat gula kelapa di Kabupaten Ciamis yang bekerjasama dengan PT. Samudera Jaya Abadi (SJA) mendapatkan pembinaan tidak hanya dari perusahaan mitra tetapi juga dari
Asosiasi Gula Kelapa Priangan (AGKP) dan Yayasan Cikal Sinergi (Rahmat 2011). Manfaat kemitraan tidak hanya dirasakan oleh petani tetapi juga oleh perusahaan mitra. Manfaat bagi perusahaan yang diteliti oleh Febridinia (2010) adalah mendapatkan pasokan, menghemat biaya produksi, dan bertambahnya mitra usaha yang loyal terhadap perusahaan. Sedangkan manfaat yang diterima oleh PT. Aqua Farm Nusantara yang diteliti oleh Cahyono et al. (2007) yang bermitra dengan kelompok tani ikan di Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah untuk untuk menjaga keberlanjutan suplai bahan baku produk olahan ikan nila serta untuk mendapatkan ikan yang mempunyai daya tahan yang baik terhadap perubahan lingkungan pada saat pembesaran ikan. Petani yang melakukan kemitraan seharusnya mempunyai pendapatan yang lebih besar dari pada petani yang tidak melakukan kemitraan. Hal ini dikarenakan telah adanya transfer informasi, teknologi, modal, atau sumberdaya lainnya sehingga usahatani yang dilakukan dapat lebih efesien dan efektif. Petani tebu yang melakukan kemitraan mempunyai penerimaan lebih tinggi dan biaya lebih
rendah
dibandingkan
petani
yang
tidak
melakukan
kemitraan
(Najmudinrohman 2010). Produksi rata-rata petani mitra sebesar 780,55 kwintal per ha. Biaya petani mitra lebih rendah karena pengalokasian input produksi lebih efisien, misalnya petani mitra memiliki tenaga kerja tetap sehingga upah tenaga kerja lebih rendah karena adanya keberlangsungan pekerjaan bagi tenaga kerja tersebut. Petani semangka yang melakukan kemitraan, pendapatan atas biaya total lebih besar dibandingkan petani non mitra (Damayanti 2009). Hal ini disebabkan karena harga jual semangka petani mitra lebih besar dibandingkan harga jual semangka petani non mitra. Keuntungan petani mitra ini juga disebabkan karena harga jual semangka petani mitra tidak terkena fluktuasi harga. R/C atas biaya total petani mitra relatif lebih besar dibandingkan dengan petani non mitra. Berdasarkan hasil analisis pendapatan usahatani yang dilakukan oleh Aryani (2009), petani mitra memperoleh pendapatan usahatani lebih besar dari pada petani non mitra, baik untuk pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas
biaya total. Hasil
R/C rasio pun jauh lebih besar petani mitra. R/C rasio atas
biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total petani mitra yaitu 2,77 dan 1,47. Sedangkan hasil perhitungan R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total petani non mitra adalah 1,92 dan 0,96. Pada kenyataannya tidak semua petani atau peternak yang melakukan kemitraan mempunyai pendapatan yang lebih besar dibandingkan non mitra. Walaupun pendapatan atas biaya total yang diterima oleh peternak mitra lebih besar Rp 1.037.398 daripada yang diterima peternak non mitra yang diteliti oleh Febridinia (2010), namun biaya yang dikeluarkan peternak non mitra baik biaya tunai ataupun biaya diperhitungkan dan R/C, tidak berbeda jauh dengan biayabiaya yang dikeluarkan oleh peternak mitra. Sedangkan Penelitian yang dilakukan oleh Deshinta (2006) mengenai kemitraan yang dilakukan oleh PT. Sierad Produce dengan Peternak Ayam Boiler di Kabupaten Sukabumi dengan menggunakan uji-t menunjukkan hasil bahwa kemitraan tidak berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan peternak. Walaupun demikian, peternak memperoleh banyak manfaat dari keikutsertaannya di dalam kemitraan seperti bantuan modal, bimbingan dan penyuluhan serta pemasaran hasil. Ada juga petani yang mengalami kerugian setelah melakukan kemitraan. Astria (2011) telah melakukan analisis kemitraan antara petani tebu dengan pabrik gula (PG) Karangsuwung. Usahatani tebu yang dilakukan petani mitra menguntungkan berdasarkan hasil analisis R/C rasio atas biaya tunai petani mitra sebesar 1,52. Tetapi berdasarkan perhitungan R/C atas biaya total didapatkan hasil sebesar 0,60. Dilihat dari R/C rasio atas biaya total dapat disimpulkan bahwa kemitraan yang diikuti oleh petani mengalami kerugian. Hal ini dikarenakan adanya biaya transaksi yang mahal. Kemitraan pada usaha gula kelapa yang diteliti oleh Rahmat (2011) merugikan petani karena harga yang diterima lebih rendah dari harga pasar. Walaupun demikian, petani masih sangat tergantung dengan pinjaman modal dari perusahaan mitra. Diperlukan suatu perencanaan yang baik dan kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian tertulis yang menjelaskan hak dan kewajiban agar semua pihak yang menjalin kerjasama dalam bingkai kemitraan dapat merasakan manfaatnya. Kemitraan yang dijalankan oleh CV. Bimandiri dengan petani
semangka telah dirumuskan dalam sebuah memo kesepakatan antara kedua belah pihak yang memuat hak dan kewajibannya masing-masing. Dalam pelaksanaan program kemitraan, kedua belah pihak telah menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan kesepakatan bersama (Damayanti 2009). Sedangkan kajian kemitraan yang dilakukan Suci (2011) pada PT. Agrowiyana Kabupaten Tanjung Barat Provinsi Jambi yang melakukan kemitraan dengan petani kelapa sawit dengan pola kemitraan yang berbeda, yaitu Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) dan Perkebunan Inti Rakyar (PIR) Trans. Mekanisme pelaksanaan kemitraan pola KKPA dan PIR Trans tidak terlalu berbeda. Secara keseluruhan mekanisme kerjasama dengan petani KKPA dan PIR Trans meliputi penyediaan sarana produksi sebelum masa konvensi, pembinaan, sistem panen, sistem sortasi, penetapan harga, dan pembayaran tandan buah segar. Pelaksanaan kemitraan dibuat berdasarkan perjanjian kerjasama yang berisi hak dan kewajiban serta hasil kesepakatan kedua belah pihak sehingga pihak inti sudah merasa cukup dipercaya dan diterima oleh petani plasma. Kemitraan dalam pelaksanaanya ada yang terjadi ketidaksesuaian antara hak dan kewajiban walaupun sudah terdapat kontrak tertulis. Budiningrum (2011) melakukan penelitian mengenai kemitraan petani padi dengan Lembaga Pertanian Sehat Dompet Dhuafa Republika (LPS-DDR) di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Kemitraan yang terjalin berupa kemitraan dalam pengadaan beras sae (sehat, aman, dan enak) yang merupakan beras semi organik. Kendala kemitraan yaitu ketidaksesuaian hak dan kewajiban, pelaksanaan cenderung top down, dan ketiadaan penjaminan risiko produksi. Namun secara keseluruhan kemitraan telah berlangsung dengan cukup baik yaitu sebesar 61,5 persen hak dan kewajiban sudah sesuai dengan kesepakatan. Berdasarkan hasil perhitungan customer satisfication index (CSI) diperoleh hasil
keseluruhan
atribut pelayanan kemitraan adalah sebesar 77,55 persen. Nilai tersebut mengindikasi bahwa secara umum petani mitra sudah puas dengan pelaksanaan kemitraan. Penelitian mengenai analisis kepuasan peternak plasma terhadap pola kemitraan ayam broiler studi kasus kemitraan Dramaga Unggas Farm (DUF) di Kabupaten Bogor telah dilakukan oleh Saputra (2011). Pola kemitraan yang
dijalankan adalah inti plasma, dimana masing-masing memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian kemitraan. Inti berperan membatu plasma dalam hal permodalan, sedangkan plasma menyediakan kandang dan biaya pemeliharaan. Pemasaran hasil panen dilakukan oleh inti dengan harga yang telah ditetapkan dalam kontrak. Namun dalam kenyataannya peternak plasma menjadi pihak yang lebih lemah posisinya karena kontrak kemitraan yang disepakati merupakan aturan baku yang dibuat oleh inti tanpa adanya perundingan mengenai isi kontrak tersebut. Secara umum peternak plasma sudah merasa puas dengan kinerja-kinerja atribut kemitraan DUF, dimana hasil perhitungan CSI sebesar 69,68 persen. Pada penerapan kemitraan, ada juga yang belum disertai dengan kontrak tertulis seperti penelitian yang dilakukan oleh Rahmat (2011). Perencanaan kemitraan hanya dilakukan oleh perusahaan mitra saja. Tidak ada kejelasan mengenai peranan masing-masing pihak yang bermitra. Penentuan harga produk (gula kelapa) belum melibatkan semua pihak yang bermitra dan pelaksanaan kemitraan tidak dilakukan secara transparan.