II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tanaman Padi Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman
pertainan kuno ini berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat. Bukti sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada 3000 tahun SM. Fosil bulir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh India sekitar 100-800 SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi adalah Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, dan Vietnam. Pusat penanaman padi di Indonesia adalah Pulau jawa, Bali, dan Sulawesi ( Siregar 1981). Tanaman padi tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 45o LU-45oLS dengan cuaca panas dan kelembapan tinggi dengan musim hujan 4 bulan per tahun. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun. Padi memerlukan ketinggian sekitar 0-650 m dpl dengan temperatur 22-27oC. Padi sawah ditanam pada tanah berliat berat dan berlumpur yang subur dengan ketebalan 18-22 cm dan pH antara 4.0-7.0 (Aksi Agraris Kanisius 1990). Matsushima (1963) membagi periode pertumbuhan tanaman padi menjadi dua periode, yaitu periode pertumbuhan vegetatif dan periode pertumbuhan generatif. Fase vegetatif dibagi menjadi fase vegetatif aktif dan fase vegetatif lambat. Fase vegetatif aktif dimulai dari transplanting sampai jumlah anakan maksimum. Selama fase ini jumlah anakan, tinggi tanaman dan berat jerami terus meningkat. Peningkatan jumlah anakan pada fase ini juga terjadi dengan cepat. Fase vegetatif lambat dimulai dari jumlah anakan maksimum sampai dengan pertumbuhan malai. Beberapa anakan pada fase ini mati dan jumlah anakan
keseluruhan akan berkurang. Kenaikan tinggi tanaman dan berat jerami terus meningkat akan tetapi tidak secepat pada saat fase vegetatif aktif. Menurut Matsushima (1963) periode pertumbuhan generatif dibagi menjadi dua, yaitu fase pemanjangan malai yang dimulai dari inisiasi malai sampai antesis dan fase pembuahan dari saat setelah antesis sampai matang. Umumnya varietas berumur pendek akan matang kira-kira 35-40 hari setelah antesis. 2.2 System of Rice Intensification (S.R.I.) System of Rice Intensification (S.R.I.) merupakan metode yang dikembangkan oleh Henri de Laulanie ketika masa kekeringan terjadi di Madagaskar pada awal tahun 1980. Di Madagaskar, pada beberapa tanah kurang subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, dengan metode S.R.I. bisa mencapai 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha (Berkelaar 2001). Pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di Malagasy untuk memperkenalkan S.R.I.. Empat tahun kemudian,
Cornell
International
Institution
for
Food,
Agriculture
and
Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan S.R.I. di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. S.R.I. telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, S.R.I. Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif (Mutakin 2008). Melalui percobaan di beberapa Negara yaitu Madagaskar, Cina, Indonesia, Bangladesh, S.R.I. Lanka, Gambia, dan Kuba diketahui produktivitas padi S.R.I.
sebesar 5,4-15 ton/ha dan non S.R.I. 3,12-5 ton/ha, terjadi peningkatan produktivitas padi antara 30-219 % (Suryanata, 2007). Di Indonesia sendiri, metode S.R.I. mulai dikembangkan melalui pengujian dan evaluasi di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat. Pengujian dilakukan pada dua musim tanam yaitu pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (Hasan dan Sato, 2007). S.R.I. juga sudah diuji coba dan diterapkan di beberapa Kabupaten di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, serta Sulawesi.
Pada wilayah
Indonesia bagian timur S.R.I. dapat meningkatkan produksi padi sebesar 78 %, penurunan penggunaan benih sebesar 80 %, penghematan penggunaan air sebesar 40 % serta menurunkan biaya produksi sebesar 20 % (Hasan dan Sato, 2007). Penyebaran S.R.I. dibawa oleh Norman Uphoff, ketua CIIFAD, ke luar Madagaskar pada tahun 1997. Uphoff meyakini S.R.I. sebagai salah satu pilihan dalam metodologi intensifikasi pertanian yang murah, mudah, dan ramah lingkungan. Setelah turut mengamati perkembangan petani Madagaskar menerapkan S.R.I., Uphoff memutuskan untuk mempopulerkannya di belahan bumi lain. Hingga saat ini, S.R.I. telah diterapkan di India, S.R.I. Langka, Polandia, Vietnam, Jepang, dan Kuba. Di Indonesia, S.R.I. berkembang sejak awal tahun 2000, antara lain di daerah Cianjur yang diprakarsai oleh Medco Foundation dan Yayasan Alik. Metode S.R.I., seperti dijelaskan Uphoff, adalah pilihan yang bisa membantu manajemen pertanian baik dari sisi alam maupun materi pertanian itu sendiri. S.R.I. mampu menghasilkan produksi padi hingga dua kali lipat dari hasil produksi padi non S.R.I.. Pengelolaan lahan sawah pun menjadi lebih bijak. Air
dan tanah dapat dikelola dengan lebih bijaksana dan ramah lingkungan (Anonim 2008). Terciptanya ragam budidaya tanaman padi dan teknologinya adalah upaya penyesuaian tanaman padi dengan lingkungan tumbuhnya (Ismunadji dan Roechan. 1988) Menurut Rabenandrasana (1999) dalam Uphoff dan Randriamiharisoa (2002), pada S.R.I. terdapat beberapa cara yang berbeda dengan penanaman yang biasa dilakukan oleh para petani, di antaranya yaitu: 1.
Bibit dipindah lapang (transplantasi) lebih awal. Transplantasi bibit muda, biasanya ketika berumur 8 – 12 hari, dan kurang dari 15 hari. Sebenarnya, masa transplantasi ini lebih ditentukan oleh proses biologi yang diukur dengan munculnya pilokron dan bukan oleh hitungan kalender. Petani melakukan transplantasi ketika terdapat dua daun kecil pada bibit. Transplantasi awal mempertahankan kemampuan pertumbuhan akar yang dapat hilang jika transplantasi dilakukan ketika pilokron keempat telah muncul.
2.
Bibit ditanam satu tiap lubang. Penanaman bibit tunggal pada setiap lubang tanam. Pada kondisi tanah tertentu, terkadang dilakukan juga penanaman dua bibit pada satu lubang. Hal ini bertujuan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah.
3.
Jarak tanam yang lebar. Penanaman bibit dilakukan dengan bentuk persegi dalam jarak yang cukup lebar. Jarak tanam yang direkomendasikan mulai dari 25 x 25 cm, tetapi, pada
tanah yang kaya akan sumber biologi, jarak tanam yang lebih lebar (30 x 30 cm atau 40 x 40 cm, sampai 50 x 50 cm) dengan jumlah tanaman lebih sedikit per m2 memberikan hasil yang lebih tinggi. Menurut Berkelaar (2001), sebaiknya petani mencoba berbagai jarak tanam, karena jarak tanam yang optimum tergantung pada struktur, nutrisi, suhu, kelembaban, dan kondisi tanah yang lain. 4.
Penanaman dilakukan dengan posisi akar horizontal secara cepat, dangkal dan hati-hati. Saat menanam, bibit dibenamkan dalam posisi horizontal agar ujung-ujung akar tidak menghadap ke atas (ini terjadi jika bibit ditanam vertikal ke dalam tanah). Ujung akar membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh ke bawah. Transplantasi bibit muda secara hati-hati dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama tahap pertumbuhan vegetatif.
5.
Kondisi tanah tetap lembab tetapi tidak tergenang air. Secara tradisional, penanaman padi biasanya selalu digenangi air. Padi memang mampu bertahan dalam lahan yang tergenang, akan tetapi sebenarnya penggenangan itu membuat sawah menjadi hypoxic (kekurangan oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan. Dengan S.R.I., tanah cukup dijaga tetap lembab selama fase vegetatif untuk memberikan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Sesekali tanah harus dikeringkan sampai retak agar oksigen dari udara mampu masuk ke dalam tanah dan mendorong akar untuk “mencari” air. Kondisi tidak tergenang akan
menghasilkan lebih banyak udara masuk ke dalam tanah dan akar akan berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak. 6.
Pendangiran Pendangiran (membersihkan gulma dan rumput) dilakukan minimal sebanyak 2x. Pendagiran pertama dilakukan 10 – 12 hari setelah transplantasi dan diulangi pada 10 – 12 hari berikutnya. Tiga sampai empat kali pendagiran direkomendasikan untuk meningkatkan aerasi tanah.
7.
Asupan organik Pada awalnya, S.R.I. dikembangkan dengan menggunakan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil panen pada tanah-tanah tandus di Madagaskar. Tetapi saat subsidi pupuk dicabut pada akhir tahun 1980-an, petani disarankan untuk menggunakan kompos dan ternyata hasilnya lebih bagus. Pemberian kompos dapat menambah nutrisi tanah secara perlahan-lahan, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan diversitas mikroorganisme dalam tanah.
2.3 Tanah Sawah Tanah sawah merupakan tanah yang digunakan atau berpotensi digunakan untuk penanaman padi. Berdasarkan definisi tersebut, setiap tanah pada zona iklim apa pun dengan suhu yang sesuai untuk menanam padi satu masa tanam dalam setahun dapat disebut tanah sawah jika tersedia air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tanaman sepanjang pertumbuhannya (Kyuma 2004a). Tanah sawah bukan merupakan salah satu jenis tanah, akan tetapi istilah ini lebih merupakan salah satu jenis penggunaan lahan (Dudal 1958 dalam De Datta 1981)..
Menurut Kyuma (2004b), pada umumnya tanah sawah digenangi selama beberapa bulan dalam setahun, baik itu disebabkan oleh proses alami atau pun karena perbuatan manusia. Beberapa manfaat yang diperoleh melalui proses penggenangan pada tanah sawah di antaranya adalah: 1.
Peningkatan ketersediaan nitrogen, basa-basa dan silika.
2.
Peningkatan P tersedia dalam tanah.
3.
Adanya perubahan sifat fisik tanah.
4.
Detoksifikasi kelebihan unsur-unsur hara.
5.
Detoksifikasi senyawa-senyawa kimia pertanian.
6.
Tahan terhadap erosi tanah.
7.
Relatif aman dari gulma. Tanah yang disawahkan memiliki sifat fisik, kimia, dan biologi yang
berbeda dengan tanah yang tidak disawahkan. Menurut De Datta (1981), perbedaan yang nyata dalam hal ini adalah munculnya horison berwarna keabuan akibat proses reduksi di dalam tanah. Menurut Moorman dan van Breemen (1978), perubahan sifat yang terjadi pada tanah sawah dapat bersifat sementara atau permanen. Perubahan sifat tanah yang bersifat sementara dipengaruhi oleh pelumpuran dan reduksi oksidasi (redoks). Keuntungan proses pelumpuran diantaranya yaitu penanggulangan gulma relatif mudah, meningkatkan daya menahan air dan meningkatkan kelarutan basa-basa. Tetapi, pelumpuran juga menimbulkan kerugian seperti menurunkan laju perkolasi, menurunkan nilai potensial redoks dan merusak struktur tanah. Penurunan nilai Eh menyebabkan mobilitas besi dan mangan lebih tinggi. Perubahan yang bersifat permanen terdiri dari perubahan sifat tanah akibat
penerasan, perubahan sifat fisik akibat pengolahan tanah, perubahan sifat kimia dan mineralogi tanah akibat pengaruh air, dan perubahan regim kelembaban tanah. De Datta (1981) mengemukakan bahwa beberapa sifat fisik, kimia fisik, dan biokimia mengalami perubahan seiring dengan proses penggenangan tanah. Beberapa perubahan sifat kimia dan elektrokimia yang penting akibat penggenangan tanah yaitu: 1.
Keterbatasan oksigen dalam tanah. Ketika tanah digenangi, air akan menggantikan udara dalam pori tanah. Selain pada lapisan tipis di permukaan tanah, dan terkadang di lapisan bawah tapak bajak, kebanyakan lapisan tanah berada dalam kondisi bebas oksigen dalam beberapa jam setelah penggenangan. Pada kondisi seperti ini, mikroorganisme tanah menggunakan bagian oksidatif tanah dan beberapa metabolit organik untuk menggantikan peran oksigen sebagai aseptor elektron pada proses respirasi mikroorganisme tersebut sehingga membentuk kondisi reduktif dalam tanah. Kondisi anaerob ini mempengaruhi ketersediaan beberapa unsur hara dan zat-zat bersifat racun dalam tanah.
2.
Penurunan potensial redoks tanah. Penggenangan tanah memberikan kondisi reduksi dan menurunkan nilai potensial redoks tanah hingga stabil dengan nilai Eh +0,2 sampai +0,3 V tergantung pada tanah, tetapi nilai Eh di permukaan air dan beberapa mm dari top soil tetap berkisar antara +0,3 sampai +0,5 V (Ponnamperuma 1972 dalam De Datta 1981).
3.
Perubahan nilai pH tanah Penggenangan tanah dalam beberapa minggu menyebabkan peningkatan pH pada tanah masam dan penurunan pH tanah berkapur dan tanah sodik. Perubahan pH ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya yaitu perubahan ferri menjadi ion Fe2+, akumulasi amonium, perubahan sulfat menjadi sulfida, dan perubahan karbon dioksida menjadi metana dalam kondisi reduksi.
4.
Reduksi Fe(III) menjadi Fe(II) Setelah proses penggenangan, Fe(III) oksida hidrat tereduksi menjadi senyawa Fe(II). Hal ini menyebabkan warna tanah mengalami perubahan dari cokelat menjadi abu-abu, dan sejumlah besar Fe(II) terlarut ke dalam larutan tanah. Faktor lain yang mempengaruhi kadar Fe(II) dalam tanah tergenang yaitu alam dan kadar Fe(III) oksida hidrat, pH tanah, dan suhu.
5.
Reduksi Mn(IV) menjadi Mn(II) Pada tanah tergenang, reduksi mangan dengan bilangan oksidasi yang lebih tinggi terjadi secara simultan dengan proses denitrifikasi. Dalam hal ini, mangan
berperan
sebagai
aseptor
elektron
dari
proses
respirasi
mikroorganisme dan oksidan bagi produk reduksi. 6.
Peningkatan ketersediaan nitrogen. Ketersediaan nitrogen dalam tanah tergenang lebih tinggi daripada tanah yang tidak digenangi. Ketersediaan nitrogen tersebut mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kadar nitrogen dalam tanah, pH tanah, suhu dan lama waktu pengeringan tanah pada periode sebelumnya (Ponnamperuma 1965 dalam De Datta 1981).
2.4 Potensial Redoks Tanah Oksidasi-reduksi merupakan reaksi pemindahan elektron dari donor elektron kepada aseptor elektron. Donor elektron akan teroksidasi karena pelepasan elektron, sedangkan aseptor elektron akan terduksi karena penambahan elektron. Proses ini berlangsung secara simultan, sehingga sering disebut sebagai reaksi redoks (Kyuma 2004a). Potenisial redoks juga dipengaruhi oleh aktivitas mikro organisme, dimana menurut Yoshida (1978), aktivitas mikro organisme tidak hanya mempengaruhi proses transformasi senyawa-senyawa organik dan anorganik, tetapi juga mempengaruhi kemasaman dan potensial redoks tanah. Menurut Tan (1982), keseimbangan redoks biasanya dinyatakan dengan konsep potensial redoks (Eh). Secara umum, reaksi sel-paruh dari suatu sistem oksidasi-reduksi dapat digambarkan sebagai berikut: Bentuk teroksidasi + ne-
Bentuk tereduksi
Potensial sel-paruh dari reaksi di atas dapat dirumuskan menurut hukum Nernst sebagai berikut: Eh = E0 + RT/nF log (bentuk teroksidasi)/(bentuk tereduksi) Potensial redoks (Eh) adalah potensial elektroda standar sel-paruh diukur terhadap suatu elektroda penunjuk standar, yaitu elektroda hidrogen. Sedangkan E0 adalah suatu tetapan, yang disebut potensial redoks baku dari sistem, dan RT/F=0.0592 pada 25oC. Jika aktivitas dari spesies-spesies teroksidasi dan tereduksi sama dengan satu, rasio tersebut menjadi=1, dan nilai log-nya = 0, maka Eh = E0. Oleh karena itu, potensial redoks baku didefinisikan sebagai potensial redoks dari sistem dengan aktivitas spesies teroksidasi dan tereduksi sama dengan satu (Tan 1982).
Selain Eh, reaksi redoks juga dicirikan oleh aktivitas elektron, e-. Jumlah eatau aktivitas elektron menentukan proses oksidasi-reduksi. Berdasarkan reaksi di atas, jika proses reduksi dominan, maka jumlah elektron akan meningkat. Hubungan antara potensial redoks dengan aktivitas elektron dapat dirumuskan sebagai berikut: Eh = (2,3RT/F) pe Aktivitas elektron dinyatakan dengan pe, dimana pe = -log [e-], R = konstanta gas, T = temperatur absolut(K), dan F = tetapan Faraday. Pada suhu 298 K (25oC), maka rumus tersebut menjadi: Eh = 0.059 pe Menurut Ponnamperuma (1978), nilai Eh atau pe yang tinggi dan positif menunjukkan kondisi oksidatif, sebaliknya nilai Eh atau pe yang rendah bahkan negatif menunjukkan kondisi reduktif. Potensial redoks mempengaruhi status N dalam tanah, ketersediaan P dan Si, kadar Fe2+, Mn2+, dan SO42- secara langsung dan kadar Ca2+, Mg2+, Cu2+, Zn2+ dan MoO42- secara tidak langsung, dan dekomposisi bahan organik dan H2S. Pengukuran Eh pada tanah-tanah reduktif memiliki beberapa keterbatasan. Sistem tanah sangat heterogen dan sulit untuk memperoleh potensial keseimbangan yang tepat. Selain itu, beberapa pasangan redoks yang penting, seperti NO3-/ NH4+, SO42-/S2-, CO2/CH4, dan pasangan redoks organik, tidak bersifat
elektroaktif,
tetapi
dapat
mengganggu
pengukuran
Eh
dengan
menghasilkan potensial campuran (Kyuma 2004a). Menurut Stumm dan Morgan (1970) dalam Kyuma (2004a), pengukuran Eh hanya dapat dilakukan dengan tepat untuk pasangan Fe3+/Fe2+ dan Mn4+/Mn2+
dengan kadar lebih tinggi dari 10-5 M dalam air alami. Menurut Lindsay (1979), elektroda platina biasa digunakan untuk pengukuran potensial redoks dalam tanah. Akan tetapi, elektroda tersebut tidak berfungsi dengan baik pada tanah yang berada pada kondisi oksidatif. Reaksi redoks terjadi pada hampir semua tanah. Biasanya, reaksi oksidasi berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase baik, sedangkan proses reduksi berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase buruk atau apabila terdapat air berlebih. Kondisi redoks tanah mempengaruhi stabilitas senyawa-senyawa besi dan mangan. 2.5 Besi di Dalam Tanah Senyawa besi di dalam tanah terdiri dari berbagai bentuk. Besi merupakan unsur utama berbagai mineral dan bahan organik tanah. Sumber unsur Fe di dalam tanah bisa berupa batuan yang mengandung Fe-silikat, mineral sulfida, dan senyawa Fe oksida atau hidroksida. Selain itu, pada beberapa bagian di dalam tanah, Fe ditemukan di lapisan alumino-silikat: nontronit, montmorilonit, vermikulit, dan klorit (Orlov 1992). Senyawa Fe di dalam tanah diklasifikasikan oleh Zonn dalam Orlov (1992), sebagai berikut: 1.
Fe-silikat
2.
Fe-nonsilikat (bebas)
Senyawa Fe terkristalisasi; terkristalisasi kuat dan lemah; Senyawa Fe amorf; berikatan dan tidak berikatan dengan humus. Reaksi senyawa Fe yang terjadi di dalam tanah yaitu mobilisasi senyawa Fe melalui proses dekomposisi (pelapukan) mineral-mineral Fe dan mineralisasi senyawa organik, reaksi oksidasi-reduksi,
pembentukan senyawa organomineral (umumnya merupakan senyawa kompleks), interaksi adsorpsi, dan pembentukan senyawa-senyawa hidroksida, sulfida, dan fosfat. Umumnya, Fe dalam bentuk Fe (II) dan Fe(III), ion hidroksida, beberapa fosfat dan sulfida menjadi bagian dalam reaksi oksidasi-reduksi. Nilai potensial oksidasi normal untuk Fe3+ - Fe2+ yaitu 0,771 V pada suhu 25oC. Berikut ini adalah persamaan reaksi redoks dalam tanah untuk senyawa Fe: 1.
Fe(OH)3 + 4H+ + e-
Fe2+ + 3H2O
2.
α-FeOOH + 3H+ + e-
Fe2+ + H2O
3.
α-Fe2O3 + 6H+ + 2e-
2Fe2+ + 3H2O
Ponnamperuma (1978) menyatakan bahwa penggenangan membatasi difusi oksigen ke dalam tanah, sehingga mereduksi Fe oksida dan meningkatkan kadar Fe(II) dalam larutan tanah dari 0,07 sampai 6600 ppm. Peningkatan kadar Fe2+ yang terlarut dalam tanah memberikan keuntungan pada tanah sawah karena mengatasi defisiensi Fe pada tanah alkali dengan bahan organik rendah dan menekan keracunan Mn2+ pada tanah masam. 2.6 Mangan di Dalam Tanah Mangan memiliki bilangan oksidasi yang bervariasi dengan kisaran +2 sampai +7. Mangan yang terdapat di alam umumnya yaitu mangan dengan bilangan oksidasi +2, +3, dan +4 (Kyuma 2004a). Menurut Orlov (1992), mangan ditemukan di dalam tanah dalam bentuk ion (Mn2+) dan oksida (MnO2). Sedangkan Mn3+ bersifat kurang stabil di dalam tanah. Senyawa Mn dengan bilangan oksidasi yang lebih tinggi seperti +5, +6, dan +7 tidak ditemukan di dalam tanah.
Mn menyusun mineral-mineral dalam bentuk oksida, karbonat, silikat, dan sulfat (Taylor et al., 1964 dalam Lindsay 1979). Sedangkan di dalam tanah, selain terdapat sebagai senyawa oksida dan hidroksida yang mudah larut, Mn juga membentuk garam-garam dengan senyawa organik dan silikat dengan berbagai tingkat kelarutan (Orlov 1992). Senyawa Mn(II) meliputi garam-garam mudah larut dan Mn2+ dapat dipertukarkan, yang umumnya ditemukan pada tanah-tanah masam dan agak masam. Senyawa Mn juga dipengaruhi oleh sistem oksidasi-reduksi yang terjadi di dalam tanah, terutama jika tanah berada dalam kondisi anaerob seperti tanah-tanah yang tergenang (tanah sawah). Van Breemen dan Brinkman (1976) dalam Tan (1982), menyatakan bahwa penggenangan tanah pada awalnya akan mereduksikan NO3- dalam tanah, setelah NO3- hilang, Mn akan direduksi, kamudian disusul oleh Fe. Sistem Mn4+/Mn2+ mempunyai nilai Eh +1510 mV dan sistem Fe3+/Fe2+ mempunyai nilai Eh +771 mV, sehingga Mn lebih mudah tereduksi daripada Fe. Berikut ini adalah persamaan reaksi redoks dalam tanah untuk senyawa Fe: 1.
MnO2 + 4H+ + 2e- = Mn2+ + H2O
2.
Mn2O3 + 6H+ + 2e- = 2Mn2+ + 3H2O
3.
Mn3O4 + 3H+ + 2e- = 3Mn2+ + 4H2O
Sebagaimana Fe, kelarutan Mn dalam tanah meningkat seiring dengan peningkatan kemasaman dan kondisi reduksi. Ponnamperuma (1978) menyatakan bahwa penggenangan dapat meningkatkan kadar Mn2+ dalam larutan tanah dari 1 sampai 100 ppm. Peningkatan kadar Mn dalam kondisi reduktif dapat bersifat racun bagi tanaman, terutama apabila kadar Mn mudah direduksi di dalam tanah mencapai 300 ppm (Kyuma 2004a) dan Mn2+ dalam larutan tanah melebihi 2 ppm
(IRRI 2000 dalam Food and Fertilizer Technology Center 2001). Tanaman yang mengalami keracunan Mn, khususnya padi, menunjukkan gejala seperti pertumbuhan lambat, adanya noda berwarna coklat kekuningan diantara urat daun, ujung daun mengering pada saat tanaman berumur 8 MST, klorosis pada daun muda, pertumbuhan yang lambat, dan hasil produksi rendah.