II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Industri Menengah: Tulang Punggung Industrialisasi Sejak liberalisasi ekonomi dan globalisasi perdagangan dilaksanakan di tahun 1980-an dibawah jargon global market for better future, kondisi perekonomian global masih belum membaik.
Sebagian pihak bahkan
menentang dan mengatakan bahwa: (1) pasar global tersebut hanya mendatangkan keuntungan kecil bagi negara berkembang tetapi sebaliknya keuntungan yang lebih besar dinikmati oleh negara maju, (2) jumlah negara miskin dan penduduk miskin bahkan semakin meningkat, dan (3) keberadaan industri kecil dan menengah (IKM) semakin terpinggirkan oleh industri besar (IB) yang memperoleh keuntungan maksimal dari global market tersebut. Kondisi perekonomian nasional sesudah 1980-an bukannya menjadi semakin baik, tetapi justeru semakin buruk7 dan memuncak sehingga menimbulkan ledakan krisis ekonomi di tahun 1997. Pada saat terjadinya krisis ekonomi itulah keberadaan IKM benar-benar diuji dan kemudian terbukti bahwa IKM tetap bisa survive dan bahkan menjadi safety valve dari hancurnya sistem perekonomian yang berbasiskan IB. Secara riil, jika diukur dengan nilai tambah sebagai ukuran pertumbuhan ekonomi, peranan IKM masih berada di bawah peranan IB. Peranan IK sendiri juga masih sangat kecil. Meskipun demikian jika dilihat dari berbagai sisi lainnya, misalnya dalam hal penciptaan lapangan kerja dan 7
Beberapa penulis bahkan mengatakan kemajuan perekonomian yang terlihat di era 1980-an sungguh begitu luar biasa, khususnya di kawasan ASIA sehingga mendapat julukan Miracle Asia, sebenarnya hanya semu seperti suatu bubble economy yang setiap saat bisa dengan mudah meletus dan hancur berkeping-keping (Stiglitz dan Yusuf, 2001).
26 inovasi, peranan IKM sangatlah besar (Audretsch, 2001). Artikel dari Eropa Bersatu (European Union) (1998) menunjukkan adanya pengakuan bahwa peranan IKM dalam Pasar Eropa Bersatu tetap besar.
Secara berencana
peranan itu bahkan akan diperbesar dengan: (1) memberi perlindungan yang lebih baik, (2) menghapuskan hambatan, dan (3) mendirikan berbagai kelembagaan
untuk
pendidikan
dan
pelatihan
manajemen
dan
enterpreneurship. APEC (2002) juga mengakui bawa secara struktural peranan IKM sangat penting karena: 1. merupakan 98 persen dari total unit usaha yang ada, 2. menyediakan 60 persen kesempatan kerja dari sektor swasta (atau 30 persen dari total angkatan kerja), 3. menghasilkan 50 persen dari nilai tambah dan 30 persen dari ekspor, serta 4. menarik sekitar 10 persen dari nilai foreign direct investment (FDI) (atau 50 persen dari jumlah unit FDI). Tabel 5 menunjukkan konstribusi IKM dalam PDB, tenaga kerja, ekspor dan unit usaha di beberapa negara. Tabel 5. Kontribusi Industri Kecil dan Menengah di Beberapa Negara No
Negara
1 Amerika Serikat 2 Jepang 3 Korea 4 Hongkong 5 Taiwan 6 Singapura 7 Malaysia 8 Muangthai 9 Indonesia 10 Filipina 11 Cina Sumber: Tambunan (2003).
Tahun 1985 1985 1981 2000 1986 1992
Kontribusi IKM dlm. PDB (%) 50.0 57.0 38.0 57.0 55.0 22.6 28.9 30.0 22.6 63.6
Kontribusi IKM dlm. Thd. TK (%) 40.0 79.0 66.0 62.0 70.0 52.2 41.2 49.8 75.0 52.2
Kontribusi IKM dlm. Ekspor (%) 7.0 52.0 32.0 17.0 66.0 15.9
28.0
Kontribusi IKM thd. Jml Usaha (%) 95.0 99.3 97.5 98.0 90.0 98.0 99.0 98.6 99.9
27 Pelajaran yang dapat ditarik dari data pada Tabel 5 tersebut adalah bahwa untuk mengejar petumbuhan ekonomi yang tinggi, diperlukan perluasan peranan IKM. Peranan tersebut terutama dalam hal kemampuan IKM untuk penciptaan lapangan kerja. Data BPS (1993) menunjukkan angkatan kerja industri dalam jumlah dominan (80 persen) bekerja pada IKM. Oleh karena itu, usaha penciptaan lapangan kerja akan lebih berhasil apabila pemerintah tidak hanya memfokuskan harapannya pada pengembangan industri besar saja. Salah satu sifat dari IKM adalah naluri untuk survive dan sifat easy market entry and out of market dalam dunia ekonomi, sehingga membuat produktivitas usaha ini sukar ditingkatkan. Bahkan menurut Urata (2003) IKM memiliki lack of managerial skill serta lemah penguasaan pasar dan teknologi. Survei pada industri kecil dan rumah tangga (IKRT) oleh BPS antara lain menemukan bahwa manajer dan pemilik IKRT kebanyakan hanya tamatan SD, bahkan jarang yang melebihi SD 6 tahun. Kondisi ini sungguh jauh berbeda dengan kondisi industri menengah (IM) yang pada umumnya sudah dikelola oleh manajer profesional dengan pendidikan SMA ataupun Sarjana (Tambunan, 2003). Industri menengah pada dasarnya adalah satu entitas tersendiri yang menjadi bagian dalam satu struktur industri yang secara keseluruhan terdiri atas IB, IM, IK, dan IRT. Karena adanya bias kebijakan industrialisasi, entah lebih condong ke IK atau bahkan lebih condong ke IB, keberadaan IM seringkali terabaikan dan hilang. Industri menengah, yang seharusnya menjadi tulang punggung struktur industrialisasi yang sehat dan menjadi industrial ladder dari IK ke IB, menjadi tidak berperan sama sekali.
28 Salah satu upaya untuk memunculkan keberadaan IM secara lebih nyata adalah dengan menggunakan definisi IM yang tepat. Meskipun sebagian besar sistem perekonomian menggunakan jumlah tenaga kerja sebagai dasar pembagian strukturnya, masih banyak faktor-faktor lain yang digunakan sebagai acuan pembagian. Tabel 6 menunjukkan keberagaman cara pembagian struktur industri di beberapa negara. Tabel 6. Definisi Industri Menengah di Beberapa Negara Country
Institution
Year
Classification
Malaysia
Min. In&Trade
1995 1995 1986
South Korea
Min of Rural Dev. Rep. Act. No. 6977 and NEDA (National Economic Development Authority) The Framework Act on SMEs
Asset: Rm 0.5 – 2.5 million Workers <200 Asset: Rm 50 000 – 2.5 million Asset P 5 – 20 million
Australia
AusIndustry
1998
China Canada
Dept of Industry ESBO (Entrepreneurship and Small Business Office)
1992 --
Taiwan, ROC
Statute of SME Development
1991
Philipina
UK
Companies Act
1995
1985
Sektor All sectors Industry, Agribusines and/or Services
Workers: 21 – 300 Workers: 21 – 50 Workers: 6 – 20 Employees 20 – 99 or Sales A$ 5 – 99 million Prod. Capability 100 – 600 units Employees 50 – 500 Sales Volome C$ 5 – 20 mil. Eployees > 100 Paid-in capital<= NT$ 80 million or, Employee <= 200 Total operating revenue <= NT$ 100 mil or, Employee <= 50 Size Turnover < 11.2 M Pounds or Balance Sheet Value < 5.6 M Pounds Employees 50 - 250 employees
Industry Construction Commerce Industry Ferous Metal All Sectors Manufacturing Manufacturing, construction, mining and quarrying Agriculture, fishing, etc. All Sector
Sumber: Tambunan (2003).
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa masing-masing negara mendefinisikan
dan
mengklasifikasikan
industri
menengah
dengan
menggunakan variabel yang berbeda-beda dan batasan yang berbeda-beda pula. Secara umum terlihat bahwa variabel yang digunakan adalah ukuran tenaga kerja (employees) dan ukuran keuangan, misalnya nilai penjualan (sales). Tenaga Kerja. Tenaga kerja pada umumnya digunakan sebagai dasar klasifikasi karena kemudahan penggunaan dan pertimbangan teknisnya saja.
29 Jika dibandingkan dengan ukuran lainnya, misalnya total penerimaan operasional (total operating revenue) yang masih bisa dibuat sesuai dengan yang diinginkan, maka ukuran jumlah tenaga kerja jelas lebih pasti dalam menghitungnya. Pada umumnya jumlah tenaga kerja yang digunakan adalah antara 20 sampai 250 orang. Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah tenaga kerja paling sedikit yang digunakan adalah antara 6-20 orang, yakni batasan industri menengah untuk sektor keuangan di Korea. Sementara untuk batasan tenaga kerja yang paling banyak adalah pada batasan yang digunakan di Canada, yakni 50-500 orang untuk semua sektor. Penggunaan jumlah tenaga kerja meskipun secara teknis paling mudah untuk digunakan tetapi juga paling mudah untuk menimbulkan kesalahan dalam memahami besaran suatu usaha yang sebenarnya. Oleh karena itu seringkali ukuran besaran tenaga kerja ini diterapkan secara berbeda untuk sektor yang berbeda atau secara bersamaan disandingkan dengan ukuran-ukuran kinerja keuangan. Ukuran Keuangan.
Selain tenaga kerja, indikator lain yang juga
sering digunakan sebagai batasan kriteria dari industri menengah adalah beberapa ukuran/indikator keuangan tertentu seperti nilai penjualan (sales), omset produksi, total biaya operasi, total pendapatan usaha, nilai perputaran modal, total nilai asset dan sebagainya. Ukuran-ukuran kinerja keuangan ini diterapkan dengan begitu beragam, dari satu negara ke negara lainnya, tanpa ada kesepakatan ataupun keseragaman penggunaan kriteria yang sama. Bahkan dapat terjadi bahwa untuk sektor yang berbeda digunakan ukuran keuangan yang berbeda pula. Misalnya di Korea, untuk sektor manufaktur, konstruksi, pertambangan dan penggalian digunakan kriteria paid-in capital,
30 sementara untuk sektor lainnya (pertanian dan sebagainya) digunakan kriteria total operating revenue. Industri menengah merupakan satu entitas industri yang berada diantara IK dan IB. Karena posisinya diantara IK dan IB tersebut, IM memiliki ciri dan keberadaan yang khas, karena menjadi too big to be small but too small to be big (Schiffer dan Weder, 2001). Studi empiris terhadap IM di enam propinsi (Sumut, Jabar, Jatim, Sulsel, Bali dan DIY) menunjukkan bahwa IM, sesuai dengan klasifikasi BPS, memiliki kondisi yang mulai mandiri tetapi pada beberapa hal masih sama kondisinya dengan IK. Karena karakteristiknya yang khas tersebut, telaah terhadap IM harus dipisahkan dari IK dan IB serta dilakukan secara tersendiri sebagai satu entitas bisnis yang mandiri. Pemisahan IM dengan IK maupun IB akan dapat dilakukan dengan tegas antara lain dengan melalui pembuatan dan penggunaan definisi IM yang tepat. Definisi IM yang tepat akan dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk memunculkan keberadaan IM dalam struktur industri secara lebih jelas. Dengan definisi yang jelas dan terukur, maka keberadaan IM akan dapat diketahui secara lebih pasti.
Berbagai literatur juga menunjukkan bahwa
masalah definisi skala usaha sangatlah penting (size is matter), sehingga keberadaan IM menjadi nyata sehingga nyata pula potensinya untuk dikembangkan menjadi lokomotif perekonomian (Beck et.al., 2002; Schiffer dan Weder, 2001; Keasey dan Watson, 1993). Begitu pentingnya skala usaha, sehingga dalam bisnis industri informatika pun dikenal slogan agar lebih berhasil dengan melalui skala yang besar atau melalui ekstrim lain sebagai ceruk pasar (bagian yang kecil namun dalam) atau sebaliknya bukan sebagai
31 keduanya. Slogan tersebut dikemukakan sebagai: get big, get niche or get out (Wood, 2002). Penelitian ini secara umum akan menganalisis keberadaan struktur industri di Indonesia, yakni tentang bagaimanakah keberadaan struktur industri tersebut dalam kaitannya dengan perananannya dalam perekonomian nasional. Selanjutnya secara lebih khusus, penelitian ini akan melihat kondisi dan keberadaan IM, baik secara umum/menyeluruh maupun secara lebih khusus dalam kaitannya dengan basis industrinya (pertanian dan non-pertanian). Secara khusus penelitian ini ingin menjawab pertanyaan: apakah IM memang memiliki ciri-ciri dan potensi untuk menjadi tulang punggung perekonomian nasional, ataukah kondisi dan keberadaannya masih seperti IK tetapi dalam skala yang sedikit lebih besar. Atau dengan kata lain, IM yang selama ini dianggap sudah lebih besar dan maju daripada IK pada kenyataannya masih sama saja dengan IK. Penetapan skala industri akan dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari Sensus Industri Menengah dan Besar yang dilakukan oleh BPS tahun 1996 sampai 2000. Sesuai dengan batasan yang digunakan oleh BPS, penelitian ini juga akan menggunakan jumlah tenaga kerja sebagai batasan skala industri. 2.2. Tinjauan Teoritis 2.2.1. Dinamika Industri Suatu unit usaha industri, atau disebut sebagai industri, seringkali dipahami sebagai suatu sistem yang hidup dan memiliki perilaku seperti makhluk hidup yang lainnya. Suatu industri perlu mendapatkan pasokan input
32 yang terus menerus dan dari proses pengolahan yang dilakukan terhadap input tersebut selanjutnya akan dihasilkan dan dikeluarkan output. Suatu industri juga dapat tumbuh dan berkembang, tetapi sebaliknya industri tersebut juga akan dapat mengalami penurunan dan bahkan kematian. Suatu industri juga memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan demi mempertahankan kehidupannya (Shepherd, 1985). Dalam menjalankan aktivitasnya, suatu unit industri senantiasa berada pada suatu sitem yang terdiri atas: (1) pasar, (2) pemasok dan konsumen, serta (3) keuangan. Ketiga komponen sistem tersebut akan memberikan pengaruh bagi industri untuk menjalankan kegiatan usahanya.
Dengan tanpa
memperhatikan bentuk dan ukuran usahanya, kegiatan utama suatu industri adalah mengkombinasikan berbagai input dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan output.
Secara umum kegiatan tersebut dapat digambarkan
dalam Gambar 2 berikut. Shareholders Directors Input Labor Materials and Services Capital Goods
Inputs TC= Qx x Px
Managers Peroduction Process
Ouputs
Buyers
TR= QY x PY
Gambar 2. Kegiatan Industri Dinamika industri menengah dapat dipahami sebagai perubahan yang terjadi secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal dipahami sebagai suatu kondisi yang memungkinkan industri menengah mengalami perkembangan atau kenaikan status menjadi industri besar dan sebaliknya atau industri
33 menengah yang mengalami penurunan status menjadi industri kecil dan sebaliknya (Kwasnicki dan Kwasnicka, 1992). Secara horizontal dinamika industri dipahami sebagai peluang untuk usaha baru (new entry) masuk sebagai industri menengah. Dalam kondisi pasar yang
bersaing
sempurna,
suatu
industri
akan
mengalami
dinamika
pertumbuhan mulai dari fase memulai usaha (new entry), fase pertumbuhan dan perkembangan (growth) hingga mencapai kematangan (market maturity) (Gambar 3).
Fase pertumbuhan horizontal ini sangat tinggi ditemukan di
negara-negara maju, seperti Jepang dan Inggris. Total TK
besar medium
kecil
RT Tahap ke-1
ke-2
ke-3
Sumber: Suarez-Villa dalam Giaoutzi, et.al. (1989)
ke-4
Tingkat Perkembangan
Gambar 3. Dinamika Perkembangan Industri Sementara itu, dalam dinamika pertumbuhan vertikalnya, suatu unit usaha (industri) akan dapat mengalami pertumbuhan yang positif sehingga mengalami kenaikan status, misalnya dari industri menengah menjadi industri besar.
Atau sebaliknya, mengalami pertumbuhan yang negatif sehingga
mengalami penurunan status, industri kecil/RT (Gambar 4).
misalnya dari industri menengah menjadi
34 Industri Besar
Naik Kelas Turun kelas Industri Menengah
Naik Kelas
Turun kelas Industri Kecil
Gambar 4. Dinamika Vertikal Industri Secara umum, lingkungan bisnis (business environment) akan berpengaruh terhadap dinamika industri (Tambunan, 2000). Sejalan dengan definisi ILO (2000), lingkungan bisnis yang dimaksud adalah: (1) institusi kelembagaan (structural institution), (2) institusi keuangan (financial institution), dan (3) institusi teknis (technical institution). Secara bersama ketiga institusi tersebut akan menciptakan suatu lingkungan bisnis yang akan bersifat mendorong atau menghambat perkembangan industri menengah. Secara garis besar model dinamika industri menengah tersebut dapat digambarkan sebagai Gambar 5. Dinamika Industri Industri Besar
New Entry
Lingkungan Bisnis 1. Kelembagaan
Industri Menengah
2. Keuangan 3. Teknis
Industri Kecil
Gambar 5. Lingkungan Bisnis dan Dinamika Industri Menengah Secara
keseluruhan
dinamika
industri
menengah
akan
dipengaruhi oleh keberadaan lingkungan bisnis yang kondusif.
sangat
Tambunan
35 (1999) menunjukkan bahwa lingkungan bisnis yang mendukung tersebut secara lebih mendalam dapat dilihat dari faktor E-3, yakni Enabling Economic Environment. Yang dimaksud dengan faktor E-3 tersebut adalah suatu kondisi pasar
input
dan
output
yang
dapat
diatur
mekanismenya
dengan
memperhatikan faktor internal dan eksternal yang dihadapi. Secara umum diagram keterkaitan diantara masing-masing faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. Sisi Supply Input Sektor
Faktor Makro
Faktor Internal IM
Pertumbuhan Eko. Inflasi Bunga uang Daya Beli Employment Instabilitas Harga
Biaya Ketidakpastian Resiko Persaingan Harga Barang Lain
Biaya Produksi
Modal Bahan Baku Tenaga Kerja Pemasaran
Dinamika
IM
Keuntungan (Profit) Potensi Sisi Demand Government Spending Ekspor Swasta
Lingk. Eksternal IM Liberalisasi Perdagangan dan Investasi Kebijakan Desentralisasi
Sumber: Tambunan (1999), dimodifikasi.
Gambar 6. Model Keterkaitan Dinamika Industri Menengah Studi terhadap dinamika pertumbuhan industri menengah pada umumnya dilakukan dalam satu kesatuan dengan industri kecil, sehingga menjadi studi pada IKM. Sampai sejauh ini belum ada hasil telaah yang dilakukan secara khusus terhadap IM. Tetapi karena berbagai penelitian IKM pada umumnya menggunakan kriteria tenaga kerja sampai 200 orang, maka
36 hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai literatur pendukung dalam penelitian ini. Beberapa hasil studi dan literatur industri pada umumnya sedikit memaparkan dinamika perkembangan industri secara historis. Dapat disebut misalnya Hill (1988) dan Siahaan (2000) yang melakukan paparan dinamika industri di Indonesia secara historis. Meskipun telaah tidak dilakukan secara mendalam, tetapi paparan dinamika industri dalam waktu setelah Indonesia merdeka, sebelum krisis dan sesudah krisis dipaparkan dengan cukup akurat. Telaah terhadap dinamika industri selanjutnya juga dapat dilakukan dengan melakukan studi komparatif diantara beberapa negara tertentu. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Kita dalam IPMP (1987) yang melakukan studi komparatif 2 negara antara Korea dan Taiwan. Untuk satu negara, misalnya yang dilakukan Rao dalam Baud dan de Bruijne (1993), menemukan adanya empat faktor/unsur yang mendorong perkembangan industri kecil dan menengah kulit di India. Kita dalam IPMP (1987) mengemukakan secara jelas dinamika struktur industri kecil dan menengah di Jepang yang sangat mendukung perkembangan industri. Adanya perubahan tanggung jawab pembinaan industri kecil dan menengah yang kemudian menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (perfecture) dengan tanggung jawab yang berbeda-beda, terbukti sangat positif bagi dinamika yang terjadi.
Jika
sebelumnya pemerintah hanya sebagai penyedia jasa layanan (services provider) maka selanjutnya pemerintah harus mampu menjadi pengatur (regulator) yang baik. Stewart-Smith (1995) menemukan bahwa perubahan peranan pemerintah dari sekedar penyedia jasa layanan menjadi pengatur
37 kebijakan (regulator) memungkinkan munculnya tantangan (challenges) dan peluang (opportunities). Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, telaah terhadap literatur menunjukkan bahwa penelitian tentang IM senantiasa dilakukan dalam kerangka IKM. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pioner dalam penelitian khusus tentang industri menengah.
Penelitian ini
bertujuan untuk melakukan telaah terhadap industri menengah secara mandiri, artinya tidak terjebak pada kerangka IKM yang memasukkan dan menyamakan IM dengan IK (menjadi IKM) ataupun dengan IB (menjadi IMB). Kemudian, dinamika IM akan diuji dari aspek dinamika vertikal, yakni apakah dalam satu periode pengamatan tertentu IM kemudian secara vertikal naik kelas menjadi IB atau sebaliknya turun kelas menjadi IK. Meskipun sangat sedikit IM yang mengalami dinamika, penelitian ini diharapkan dapat menambah daftar kajian yang khusus tentang industri menengah.
2.2.2. Kondisi Missing of the Middle Sampai dengan saat ketika krisis ekonomi melanda pada tahun 1997, Indonesia senantiasa dipuji karena berbagai capaian pertumbuhan ekonominya sejak akhir tahun 1960-an. Pada masa-masa puncaknya capaian pertumbuhan PDB per tahun cukup tinggi, yakni sekitar 7 persen per tahun, dengan peningkatan pendapatan per kapita sekitar 5 persen per tahun. Capaian ini terutama dimotori oleh keberhasilan proses industrialisasi, baik yang dicapai melalui strategi substitusi impor (import substutition strategy/ISI) yang dilaksanakan sampai tahun 1986-an, maupun melalui strategi promosi ekspor
38 (export promotion/EP) yang diterapkan awal tahun 1990-an ketika sistem perekonomian mulai terbuka (Siahaan, 2000). Perkembangan tersebut terlihat sangat nyata di kelompok industri manufaktur. Sumbangan industri manufaktur terhadap PDB meningkat dari sekitar 10 persen di tahun 1970 menjadi 25 persen di tahun 1986, dengan ratarata peningkatan output sebesar 12.5 persen per tahun dan peningkatan serapan tenaga kerja dari 7.8 persen di tahun 1971 menjadi 12.6 persen di tahun 1996. Peranan industri manufaktur pada total ekspor juga meningkat drastis dari 4 persen di tahun 1984 menjadi 48 persen 1992, dengan nilai riil ekspor dari 1.8 milyar menjadi 16.1 milyar dolar (Hill, 1996). Industri manufaktur tersebut tetap dalam kondisi yang dinamis sampai krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1997. Struktur industri yang sehat dan kokoh senantiasa akan memposisikan setiap level industri yang ada pada posisi yang sejajar dan seimbang. Melalui perhatian yang sama, masing-masing level industri akan mampu berperan secara aktif untuk secara bersama-sama membangun dan menciptakan suatu struktur industri yang sehat dan kokoh (Hoselitz dalam Livingstone, 1981). Nijkamp, et.al., dalam Giaoutzi, et.al., (1989) menemukan bahwa IKM memiliki peranan yang penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara/wilayah. Sebagai salah satu bagian dari struktur industri, peranan yang penting dari IKM tersebut terutama terjadi pada aspek-aspek berikut: 1. Penyerapan Tenaga Kerja. Salah satu ciri IKM adalah sifatnya yang low and medium labor intensive. Artinya IKM mampu menyerap tenaga kerja yang berketrampilan rendah dan sedang dalam jumlah besar. Data BPS
39 (1999) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 2.5 juta IM dari 40 juta unit IKM8. 2. Pemerataan Pendapatan. Karena sifatnya yang lebih locally resource based, IKM dapat ditemukan mulai di kota sampai di pelosok pedesaan dan memberi pendapatan pada low-skilled labor yang tidak akan terserap oleh industri besar. 3. Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Lebih dari 70 persen IKM berkaitan dengan kegiatan pertanian dan berada di pedesaan. 4. Peningkatan Ekspor Non-migas. IKM memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan IB, khususnya untuk memenuhi niche market yang ada di pasar ekspor. Pengembangan IKM dapat diharapkan menjadi pendorong ekspor non-migas. Dewasa ini industri menengah telah dipahami memiliki karakteristik dan perilaku yang sudah jauh berbeda dengan industri kecil. Karena sifatnya yang khusus, yakni its too small to be big and yet too big to be small, adalah satu tindakan yang naif untuk senantiasa menyatukan industri menengah dengan industri kecil (Snaith dan Walker, 2002b). Snaith dan Walker (2002a) bahkan mengajukan satu teori untuk memahami industri menengah sebagai satu entitas tersendiri sebagai TOME (Theory of Medium Enterprise). Salah satu dasar utama pengajuan teori tersebut adalah bahwa pemahaman tentang IM tidak dapat sekedar dengan melihat numerical structural quantity-nya saja, tetapi juga harus melihat functional quality-nya.
8
Di Korea dan Taiwan serapan tenaga kerja oleh IKM senantiasa lebih dari 80 persen dari total angkatan kerja sektor industri (World Bank, 1998).
40 Keberadaan industri kecil dan menengah telah dipahami dapat menjadi motor penggerak perekonomian.
Schiffer dan Weder (2001) bahkan
mengatakan bahwa pengembangan IKM akan menjadi sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi dan upaya menurunkan tingkat kemiskinan. Haarhoff (2002) juga mengemukakan bahwa dalam struktur industri yang kokoh, peranan industri kecil dan menengah sangatlah penting.
Oleh karena itu
berbagai upaya pembinaan dilakukan untuk mengembangkan keberadaan industri kecil dan menengah. Sayangnya
berbagai
bentuk
pembinaan
yang
ditujukan
pengembangan industri kecil banyak yang kurang berhasil.
bagi
Salah satu
penyebab dari kurang berhasilnya program pembinaan tersebut adalah karena pembinaan terhadap industri kecil dan menengah (IKM) selama ini lebih banyak diarahkan pada aspek sosial daripada aspek ekonomi dan bisnis. Sebagai akibatnya, perhatian pengembangan lebih diarahkan pada industri kecilnya daripada industri menengahnya. Proses pembangunan ekonomi seharusnya secara alamiah dapat memberi kesempatan berkembang bagi semua kegiatan ekonomi pada seluruh skala industri yang ada. Perhatian dan binaan yang dilakukan harus dapat diarahkan bagi berkembangnya potensi internal unit usaha secara maksimal dalam suatu lingkungan bisnis yang kondusif, apakah itu dilakukan terhadap industri menengah atau terlebih lagi pada industri kecil.
Penentu utama
muncul dan berkembangnya kegiatan ekonomi senantiasa berhubungan dengan alasan-alasan ekonomi, sosial, budaya dan sejarah yang selanjutnya akan menentukan kinerja usahanya, dan bukan pada rasa belas kasih dan sosial yang
41 melatarbelakanginya (Tambunan, 2000).
Akibat dari tidak seimbangnya
perhatian tersebut maka terjadilah ketimpangan dalam struktur industri di Indonesia. Sampai saat ini belum ada satu pengamatan dan/atau penelitian yang secara khusus mencermati ketimpangan yang terjadi pada struktur industri di Indonesia, khususnya dari sudut pandang mobilitas unit usaha dari satu skala ke skala usaha lainnya. Terlepas dari masalah ini, yang sangat menarik adalah mengapa jumlah industri menengah sangat kecil sehingga terdapat kesenjangan yang besar jika dibandingkan dengan jumlah unit industri kecil, sehingga terjadilah bentuk yang tidak seimbang dalam piramida struktur industri. Piramida susunan industri yang pincang ini sering disebut sebagai kondisi missing of the middle (MoM) dari struktur industri (Tambunan, 2002). Kondisi pincang ini diperkuat lagi oleh kenyataan bahwa dalam tangga struktur industri (firm ladder), sangat sedikit IK yang dapat meningkat menjadi IM dan demikian juga IM menjadi IB. Kepincangan yang lebih serius lagi dari struktur industri ini adalah adanya kenyataan bahwa penguasaan aset oleh industri besar melebihi 70 persen dari seluruh aset total unit usaha, padahal jumlah unit usahanya relatif lebih sedikit.
Artinya, industri skala menengah, kecil dan mikro yang
jumlahnya lebih dari 80 persen dari total unit industri yang ada, hanya menguasai 30 persen dari aset total unit usaha. Struktur ini menunjukkan adanya kesenjangan yang sangat parah antara jumlah unit industri besar dengan industri skala kecil dan industri menengah, baik dari sisi jumlah unit usaha
42 maupun pada arah yang berlawanan dari sisi penguasaan assetnya. Kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 7.
IB IM
11.000 unit 70.000 unit
Industri Kecil
640.000 unit
Industri RT
1.900.000 unit
(Tidak Termasuk Pertanian)
Keterangan:
----- Struktur Ideal
Nilai Tambah (total)
Sumber: Survei Industri, BPS (diolah)
Gambar 7. Piramida Industri Indonesia
Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa dari segi jumlah terdapat kondisi yang sangat tidak seimbang. Jumlah IKRT jumlahnya sangat banyak dan tidak seimbang jika dibandingkan dengan jumlah IMB. Kalaupun jumlah industri menengah dan besar tidak bisa sebanding dengan jumlah industri kecil, minimal jumlah keseluruhan struktur industri membentuk piramida yang sempurna (tidak patah). Selain itu kondisi yang menarik lainnya adalah struktur perolehan nilai tambah yang membentuk piramida terbalik. Artinya semakin banyak jumlah industrinya maka nilai tambah yang dihasilkannya semakin sedikit, sehingga kondisi ini menunjukkan adanya ketidakefisiensian skala IKRT. Kondisi ini juga menegaskan adanya kepincangan dalam struktur industri di Indonesia. Secara umum, dengan menggunakan jumlah tenaga kerja, klasifikasi struktur industri di Indonesia adalah terdiri dari IB, IM dan IKRT. Perhatian terhadap pengembangan industri sebenarnya cukup besar. Sayang, dengan masing-masing alasan yang berbeda, perhatian tersebut masih lebih banyak
43 ditujukan pada IKRT dan IB sehingga IM menjadi terabaikan. Akibat dari biasnya
perhatian
tersebut,
kedudukan
dan
perekonomian nasional masih belum berkembang.
keberadaan
IM
dalam
Kondisi ini seringkali
dikatakan sebagai kondisi atau gejala hilangnya skala menengah (missing of the middle/MOM). Gejala MOM ini secara harafiah diartikan sebagai jauh lebih sedikitnya jumlah IM jika dibandingkan dengan IK (dan mungkin juga IB), tetapi pada umumnya gejala MOM juga diartikan sebagai kurang berperannya skala menengah dalam struktur industri yang ada. Kurangnya peranan ini terutama bukan dilihat dari jumlahnya yang memang sedikit, tetapi lebih pada produktivitasnya yang ketinggalan daripada IK dan IB. Industri menengah (IM), sebagai bagian dari kelas menengah dalam struktur perekonomian nasional, belum dapat berperan sebagai agen demokratisasi bagi penciptaan struktur industri yang lebih demokratis. Dewasa ini berbagai negara, termasuk negara maju sekalipun, mulai merasakan pentingnya pengembangan IM sehingga bisa menjadi lokomotif perekonomian dan tidak terjadi kondisi missing of the middle (MOM) yang merugikan. Keberadaan MOM membawa konsekuensi sebagai berikut: 1. Mengakibatkan hilangnya atau tidak berperannya fungsi keterkaitan (lack of linkages) IKRT dengan IB. 2. Mengakibatkan hilangnya fleksibilitas dan daya saing (lack of flexibility and competitiveness) IB, karena IB kemudian hanya bersaing dan berhadapan dengan IKRT yang jauh berbeda kondisinya (different playing fields).
44 3. Membuat
tidak
dapat
berkembangnya
daya
kompetensi
internal
(underdevelopment of core competences) dari IB, karena IB kemudian menjadi pemain tunggal (single player) dalam dunia bisnis. 4. Meningkatnya
kerentanan
perekenomian
jika
terjadi
penurunan
(downturns) ekonomi, misalnya karena adanya PHK dan penurunan kapasitas produksi, akibat dominasi IB pada struktur industri. Analisis terhadap keberadaan MOM dalan penelitian ini akan dilakukan dari sisi jumlah, output dan produktivitas tenaga kerja.
Setelah dilakukan
reklasifikasi terhadap jumlah industri yang ada pada Sensus Industri Menengah dan Besar maka akan dapat dilihat apakah dari sisi jumlah memang terdapat gejala MOM. Hal yang sama akan dilakukan terhadap jumlah output dan produktivitas tenaga kerja.
2.2.3. Skala Usaha Dalam setiap proses industrialisasi, keberadaan skala usaha menjadi salah satu faktor utama yang perlu diperhatikan. Keberadaan skala usaha akan menjadi dasar pemahaman terhadap peta kondisi struktur industri yang lebih baik sehingga dapat digunakan sebagai dasar penentu dan arah kebijakan industrialisasi yang akan diterapkan.
Dengan demikian setiap upaya
pengembangan akan benar-benar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Misalnya, satu kebijakan penurunan suku bunga pinjaman yang seharusnya ditujukan untuk industri menengah memang benar-benar akan sampai dan dinikmati oleh industri menengah yang dimaksud dan bukan dinikmati oleh
45 industri besar yang karena kesalahan penentuan skala usahanya masih dianggap sebagai industri menengah. Dalam struktur industri, penentuan skala usaha pada umumnya dilakukan dengan batasan jumlah tenaga kerja. Meskipun jika dilihat dari jumlah tenaga kerjanya posisi IM sudah jelas, tetapi pada kenyataannya selama ini IM sebenarnya berada pada posisi yang rancu (serba salah dan ambivalen). Pada kondisi tertentu, untuk menunjukkan posisi dan peranan sektor industri dalam perekonomian Indonesia, data IM disatukan dengan kelompok IB sehingga dalam data statistik BPS menjadi Statistik Industri Menengah dan Besar (IMB). Sebaliknya pada kondisi lain, misalnya ketika akan diluncurkan program bantuan kredit berbunga rendah untuk industri kecil, IM masih dianggap sama dan disatukan dengan industri kecil sehingga menjadi satu kelompok industri atau IKM. Akibat dari posisinya yang rancu tersebut, IM acapkali menjadi kelompok yang tertinggalkan (left behind) dari setiap upaya pengembangan industri. Di satu sisi IM dianggap sudah terlalu besar untuk diperlakukan sebagai IK, tetapi di sisi lain IM juga dianggap masih terlalu kecil untuk diperlakukan sama dangan industri besar. Kerancuan ini akan mengakibatkan tidak berkembangnya secara maksimal potensi industri menengah dalam kaitannya dengan upaya memperkuat struktur industri yang ada, serta menjadi industrial ladder dari IK ke IB (Tambunan, 2003). Beck, et.al., (2002), dari hasil studinya terhadap 4.000 industri yang ada di 54 negara, menemukan bahwa masalah skala usaha sungguh perlu diperhatikan dalam upaya menelaah hambatan dan kendala yang dihadapi oleh
46 sektor industri. Masing-masing skala usaha menghadapi jenis dan macam hambatan dan kendala yang berbeda untuk bertumbuh. Ketika membuka RBC Capital Markets Canadian Financial Services CEO Conference, Raymond (2004), President dan CEO dari National Bank of Canada, meskipun lebih untuk industri keuangan, mengemukakan bahwa skala usaha adalah penting (size is matter). Menjadi skala menengah bukanlah merupakan suatu kerugian dan kelemahan, tetapi justeru menjadi keunggulan kompetitif dalam usaha. Secara lengkap ia mengemukakan: “I believe that in today’s business world, bigger is not always better. In fact, National Bank’s medium size gives us numerous competitive advantages. We are big enough to benefit from economies of scale, yet small enough to maintain focus, agility and close control of operations. Perbedaan skala usaha juga mengakibatkan kemampuan industri untuk mengakses sumber daya permodalan menjadi berbeda pula.
Lembaga
keuangan yang besar cenderung akan memberikan pinjaman modal pada industri yang besar, lebih tua umurnya, dan terutama pada IKM yang lebih aman usahanya (Haynes, et.al., 1999). Selain itu, lembaga keuangan yang besar juga dapat memberikan tingkat suku bunga yang lebih rendah pada industri besar serta memiliki prospek usaha yang menguntungkan (Berger dan Udell, 2004). Secara
umum
definisi
industri
menengah
dilakukan
dengan
menggunakan batasan tenaga kerja (pada umumnya bersumber dari batasan yang digunakan BPS) dan omset usaha (pada umumnya bersumber dari Deperindag). Dengan batasan tenaga kerja, industri menengah adalah usaha
47 yang memiliki jumlah tenaga kerja 20 sampai 99 orang. Sementara itu jika menggunakan batasan omset usahanya, industri menengah adalah usaha yang memiliki omset usaha per tahun dari 1 milyar sampai 5 milyar rupiah. Variabel dan batasan yang digunakan pada dasarnya dapat berbeda antara satu instansi dengan instansi lainnya, bahkan antara satu negara dengan negara lainnya. Guna menganalisis keberadaan skala yang ada dan upaya penentuan skala industri menengah yang lebih tepat, penelitian ini akan menggunakan batasan tenaga kerja sebagai dasar penentuan skala industri. Artinya, pada tahap awal, struktur industri akan direklasifikasi dengan menggunakan batasan jumlah tenaga kerja.
2.2.4. Sumber Pertumbuhan Industri Menengah Industri kecil dan menengah (IKM) telah diakui, baik oleh negara sedang berkembang maupun negara maju, memiliki peranan yang sangat berarti dalam perekenomian, khususnya dalam hal kemampuannya untuk menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja, mempertahankan kesetaraan ekonomi sosial dan stabilisasi harga, demikian juga karena sumbangannya pada pertumbuhan, produktivitas, inovasi, persaingan dan perdagangan (Berry et al., 2001; Urata dan Kawai, 2001; Ngiik, et.al., 2004). Sumbangan IKM pada perekonomian nasional dan global bahkan akan tetap berlanjut di masa globalisasi dan perdagangan bebas. Sumbangan IKM pada perdagangan dunia semakin meningkat. Sumbangan IKM pada perdagangan dunia pada tahun 2002 bahkan telah mencapai antara 20 sampai 25 persen dari nilai total perdagangan dunia (Worldbank, 2003).
48 Industri menengah (IM), yang seringkali disatukan pemahamannya dengan IK, memiliki posisi yang khas dan unik dalam struktur industri yang ada. Sayangnya, dengan posisi yang unik tersebut, keberadaannya seringkali justeru menjadi tertinggalkan dan terabaikan. Industri menengah dianggap sudah terlalu besar untuk mendapat bantuan sebagaimana diterima oleh IK, tetapi juga masih terlalu kecil jika disetarakan dengan IB yang telah mampu mengembangkan dirinya secara mandiri.
Kondisi inilah yang antara lain
kemudian memunculkan gejala tipisnya lapisan menengah dalam struktur industi (Berry dan Levy, 1998). Salah satu asumsi dari keadaan munculnya kondisi missing of the middle (MOM) tersebut adalah bahwa meskipun IM memiliki dinamika usaha yang tinggi tetapi secara keseluruhan keadaan IM adalah stagnan dan bahkan dapat dikatakan tidak dinamis dalam arti jumlahnya sangat lamban untuk berkembang. Hal ini dapat dilihat antara lain dari jumlah total IM yang relatif tetap. Jumlah IM yang meningkat skala usahanya menjadi IB memang cukup besar, tetapi jumlah IM yang turun skala usahanya menjadi IK dan jumlah IB yang turun menjadi IM relatif sama, sehingga secara total jumlah IM seolaholah menjadi tidak berkembang dan memunculkan kondisi MOM tersebut. Tetapi jika ditelaah lebih mendalam terlihat bahwa ada kondisi yang begitu dinamis, dalam arti senantiasa ada yang meningkat kinerjanya maupun meningkat skala usahanya dan pada saat yang bersamaan juga ada yang mengalami penurunan skala usaha (Hoverstadt dan Bowling, 2002; UNCTAD, 2001a).
49 Karena IKM beroperasi pada lingkungan usaha yang dinamis dan kompetitif, maka IKM dituntut untuk senantiasa meningkatkan produktivitas dan daya saingnya sehingga memampukan mereka untuk memiliki peran yang lebih besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing IKM dalam lingkungan usaha yang semakin dinamis dan penuh persaingan tersebut adalah dengan memahami dinamika IKM dan faktor-faktor pendorong dinamika tersebut. Salah satu upaya untuk memahami kondisi dinamika industri menengah tersebut antara lain dapat dilakukan melalui analisis terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas dan pertumbuhan IKM (sources of growth) (Price, 1999).
Pemahaman dan analisis terhadap faktor-faktor penyumbang
produktivitas dan pertumbuhan IKM tersebut antara lain dapat dilakukan melalui analisis total factor productivity (TFP). Produktivitas pada umumnya diterjemahkan sebagai tingkat efisiensi perubahan satu satuan input menjadi output dalam proses produksi. Semakin banyak output yang dihasilkan dari satu satuan input yang sama maka produktivitasnya semakin tinggi.
Oleh karena itu produktivitas dapat
dinyatakan sebagai rasio antara total output riil dengan total input. Salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk menganalisis produktivitas tersebut adalah model pertumbuhan satu input yang mula-mula diperkenalkan oleh Solow (1957). Menurut model pertumbuhan Solow, produktivitas dapat diukur dari rasio output dengan satu jenis input, terutama adalah tenaga kerja. Sayangnya, dengan model Solow ini maka pengaruh input lain seperti kapital, input antara
50 dan teknologi, menjadi sulit dianalisis pengaruhnya. Beberapa
penulis
kemudian
metode
mengungkapkan
satu
cara
pemecahannya
dengan
pertumbuhan TFP (Aw, 2001; Urata dan Kawai, 2001; Lidholm, 2001). Menurut Helmut et.al. (2002) analisis pertumbuhan TFP memungkinkan untuk memisahkan unsur unsur utama yang berpengaruh pada pertumbuhan produktivitas sehingga secara empiris dapat menunjukkan sumber-sumber utama pertumbuhan.
Jorgenson et.al. (1987) memodifikasi
pendekatan Solow (1957) dengan cara mendekomposisi laju pertumbuhan output menjadi laju pertumbuhan masing-masing faktor produksi (input), yakni tenaga kerja dan kapital ditambah dengan residualnya, yang adalah juga TFP. Dengan cara ini, TFP dihitung dari selisih laju pertumbuhan output dengan laju pertumbuhan masing-masing input, yakni input tenaga kerja dan kapital. Metode TFP kemudian menjadi metode yang cukup banyak digunakan untuk menganalisis pertumbuhan dan produktivitas industri.
Tsao (1980),
dengan menggunakan analisis TFP pada perekonomian Singapura, menemukan bahwa kontribusi kapital terhadap laju pertumbuhan adalah lebih tinggi daripada sumbangan tenaga kerja.
Marks (2005) juga menemukan bahwa
sumbangan kapital stok lebih penting daripada sumbangan tenaga kerja pada pertumbuhan ekonomi Indonesia antara tahun 1985 dan 1990. Tybout (1998) bahkan mengajukan alternatif lain, yakni dengan model ekonometrika, untuk mengukur produktivitas. Conrad (1997) bahkan sudah membuat satu metodelogi ekonometrika yang dapat digunakan untuk mengestimasi keberadaan fungsi produksi. Meskipun berbagai studi tentang dinamika pertumbuhan telah dilakukan dengan menggunakan analisis TFP,
51 tetapi masih sedikit yang secara khusus dilakukan terhadap dinamika IKM dan bahkan lebih sedikit lagi terhadap IM. Penelitian ini secara khusus akan menanalisis faktor-faktor yang menjadi sumber-sumber pertumbuhan dari IM.
Analisis akan dilakukan
dengan menggunakan model TFP yang diturunkan dari model residual dari Solow (1957) dan dikembangkan oleh Jorgenson, et.al., (1987).
Analisis
sumber-sumber pertumbuhan dengan metode TFP sebenarnya sudah banyak dilakukan, baik terhadap IKM maupun IMB. Tetapi analisis TFP yang secara khusus mempelajari IM, yang terpisah dari IKM maupun IMB, masih sangat sedikit dilakukan. Jika dibandingkan dengan berbagai penelitian sebelumnya, penelitian ini akan secara lebih khusus melihat keberadaan IM, sebagai motor penggerak dinamika industri.
Berbagai penelitian sebelumnya lebih menekankan
kemajuan IKM, dan tidak secara khusus menunjukkan peranan IM. Metode pelacakan keberadaan industri selama 5 tahun yang digunakan dalam penelitian ini juga dapat menjadi satu alternatif pengembangan kemampuan metodologi yang relatif masih baru.
2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual Sejalan dengan telaah pada penelitian-penelitian sebelumnya, serta latar belakang permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka susunan permasalahan dan analisis dalam penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
52 PERMASALAHAN
STRUKTUR INDUSTRI
DINAMIKA INDUSTRI MENENGAH DAN GEJALA MISSING OF THE MIDDLE
SKALA USAHA DAN SUMBERSUMBER PERTUMBUHAN
KEBIJAKAN INDUSTRI Gambar 8. Kerangka Pemikiran Konseptual Sejalan dengan kebijakan pengembangan sektor industri, IM perlu mendapatkan perhatian yang sama dengan IK dan IB. Tumpuan perhatian pada IM dapat dilaksanakan dalam tiga aspek utama yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, dalam hal: (1) struktur industri, (2) dinamika IM dan keberadaan gejala MOM, dan (3) skala usaha dan sumber-sumber pertumbuhan IM. Sebagai suatu studi tentang struktur dan dinamika industri, penelitian ini akan difokuskan pada permasalahan struktur dan dinamika yang dihadapi oleh IM, tentunya dengan tidak mengabaikan peran penting dari IK dan IB dalam sistem perekonomian Indonesia.
Perhatian secara khusus pada IM
diharapkan dapat meningkatkan pemahaman atas pentingnya peranan dan keberadaan IM sebagai tulang punggung struktur industri yang kokoh. Temuan yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi mesukkan bagi penetapan strategi kebijakan pengembangan sektor industri yang lebih seimbang, baik pada IK, IM dan IB. Penetapan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan dan potensi masing-masing skala industri
53 diharapkan akan lebih memperkokoh posisi dan peranan sektor industri dalam sistem perekonomian nasional.