II. TINJAUAN PUSTAKA
A. COOKIES KELADI Cookies keladi atau yam cookies merupakan cookies yang berasal dari Malaysia yang dibuat menggunakan tepung terigu sebagai bahan baku utama. Nama keladi diperoleh karena penggunaan umbi keladi sebagai salah satu indgredien dalam pembuatan cookies tersebut. Pada cookies keladi, umbi keladi yang digunakan sebagai ingredien ditambahkan pada adonan cookies tidak dalam bentuk tepung tetapi dalam bentuk konsetrat umbi keladi atau serbuk umbi keladi. Penambahan umbi keladi dalam bentuk tersebut akan mempengaruhi karakteristik aroma dan tekstur cookies keladi yang dihasilkan. Beberapa cookies keladi produksi Malaysia dapat dilihat pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1. Cookies keladi : (a) produksi Teck Seong Food Industries, (b) produksi Ever Delicious Food Industries. Di Malaysia sendiri, cookies ini merupakan salah satu makanan ringan yang sangat digemari masyarakat Malaysia karena memiliki rasa yang enak, aroma wangi khas umbi keladi, cara konsumsi yang mudah karena dikemas satu per satu dengan praktis, serta memiliki tekstur yang renyah. Karena alasan-alasan tersebut, cookies keladi ini ingin diukur karakteristik teksturnya kemudian dijadikan sebagai standar tekstur agar dapat dihasilkan cookies berbahan baku lain yang memiliki tekstur menyerupai cookies keladi. Di Indonesia sendiri, cookies keladi sangat terkenal dan banyak dijumpai terutama di daerah-daerah di pulau Sumatera yang banyak berbatasan dengan
Malaysia, namun cookies ini juga sudah mulai tersedia di pasar-pasar makanan ringan di Jakarta. B. UBI JALAR 1. Botani Ubi Jalar Ubi jalar (sweet potato) atau ketela rambat diduga berasal dari Benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Dalam bahasa latin ubi jalar disebut Ipomoea batatas. Tanaman ini masuk dalam ordo Solanaceae dengan famili Convolvulaceae. Dalam famili ini, hanya ubi jalar yang merupakan tanaman penghasil pati, memiliki umbi yang manis, dan ditanam dengan area panen sangat luas (Woolfe,1992). Gambar umbi ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 2.
(b)
(a)
Gambar 2. Ubi jalar : (a) varietas Cilembu, (b) varietas Emen Umbi ubi jalar adalah akar yang membesar sebagai tempat menyimpan cadangan makanan bagi tanaman ubi jalar. Warna kulit dan daging umbi bervariasi mulai dari putih, krem, merah muda, jingga, kuning, dan ungu tua tergantung jenis dan kandungan pigmen yang terdapat pada kulit dan daging umbi. Rukmana
(1997)
menyebutkan
bahwa
tanaman
ubi
jalar
membutuhkan hawa panas dan udara yang lembab untuk pertumbuhan, dimana daerah paling ideal untuk budidaya ubi jalar adalah daerah bersuhu 21-27oC dengan kelembaban udara antara 50-60%. Di Indonesia yang beriklim tropik, tanaman ubi jalar cocok ditanam di dataran rendah hingga ketinggian 500 m dpl (Najiati, 1998). Pertumbuhan dan produksi yang
optimal untuk usaha tani ubi jalar tercapai pada musim kering (kemarau). Pada musim kemarau, varietas yang sama akan menghasilkan kadar tepung yang lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan. Di beberapa daerah tertentu, ubi jalar merupakan salah satu komoditi bahan makanan pokok. Ubi jalar merupakan komoditi pangan penting di Indonesia dan diusahakan penduduk mulai dari daerah dataran rendah sampai dataran tinggi. Tanaman ini mampu beradaptasi di daerah yang kurang subur dan kering. Dengan demikian tanaman ini dapat diusahakan sepanjang tahun. 2. Komposisi Kimia Ubi Jalar Ubi jalar merupakan salah satu komoditas tanaman pangan penghasil karbohidrat, protein, lemak, serat yang tinggi diantara jenis umbi-umbian. Kandungan zat gizi dalam 100 gram umbi-umbian dan padi disajikan pada Tabel 2. Selain untuk pangan, ubi jalar juga digunakan untuk pakan, bahan baku industri pembuatan tepung, gula cair, makanan ternak, alkohol, dan makanan siap saji. Sedangkan umbi segar juga telah di ekspor ke Singapura, Malaysia dan Jepang (Widodo et al., 1996). Tabel 2. Kandungan gizi utama umbi-umbian dan padi (per 100 gram) Tanaman Ubi Jalar Ubi Kayu Talas Padi
Berdasarkan berat kering (%) Karbohidrat Protein Lemak Serat 85,5 5,0 1,0 3,3 92,5 1,8 0,5 2,5 83,8 6,6 1,7 88,6 8,0 0,9 0,2
Energi (kj) 479 643 475 1.478
Sumber: Widodo et al. (1996)
Ubi jalar merupakan tanaman pangan yang berpotensi sebagai pengganti beras dalam program diversifikasi pangan karena efisien dalam menghasilkan energi, vitamin, dan mineral, serta efisien berdasarkan produktivitas per hektar per hari dibandingkan dengan tanaman pangan lain. Komposisi kimia ubi jalar dipengaruhi oleh varietas, lokasi, dan musim tanam (Lingga et. al., 1996). Dari segi nutrisi, ubi jalar merupakan sumber energi yang baik, mengandung sedikit protein, tetapi merupakan bahan pangan sumber vitamin dan mineral berkualitas tinggi (Horton et al., 1999).
Ubi jalar merah mengandung vitamin A dalam bentuk provitamin A sampai 7000 IU/100g, sedangkan ubi jalar kuning mengandung provitamin A sebesar 900 IU/100g (Damarjati dan Widowati, 1994). Kandungan mineral kalsium dan vitamin A pada ubi jalar merupakan yang terbaik dibandingkan dengan beras, ubi kayu, dan jagung kuning (Woolfe, 1992). Komponen gizi dalam ubi jalar selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Komponen gizi ubi jalar per 100 gram bahan segar Kandungan gizi Kalori (kal) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g) Air (g) Serat kasar (g) Abu (g) Kadar gula (g) % Bagian yang dapat dimakan
Ubi jalar meraha 123 27,9 1,8 0,7 68,5 0,9 0,4 0,4 86,0
Ubi jalar putiha 123 27,9 1,8 0,7 68,5 1,2 1,2 0,4 86,0
Ubi jalar kuningb 360 32,3 1,1 0,4 68,5 1,4 0,3 0,3 -
Sumber : a Direktorat Gizi Depkes RI (1993) b Suismono (1995)
Selain mengandung zat-zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh, ubi jalar juga mengandung zat anti gizi yakni tripsin inhibitor, dengan jumlah 0,26-43,6 IU/100g ubi jalar segar. Adanya tripsin inhibitor akan menutup gugus aktif enzim tripsin sehingga aktivitas enzim tersebut terhambat dan tidak dapat melakukan fungsinya sebagai pemecah protein. Namun, aktivitas tripsin inhibitor ini dapat dihilangkan dengan pengolahan sederhana yakni dengan pengukusan, perebusan, dan pemasakan. (Santosa, et al., 1994) 3. Karbohidrat Ubi Jalar Ubi jalar merupakan sumber energi yang baik dalam bentuk karbohidrat. Hal ini ditunjukan dengan kadar protein dan lemak pada ubi jalar jumlahnya rendah, tetapi mengandung karbohidrat dalam jumlah cukup banyak (Lingga et al., 1996). Kandungan karbohidrat pada ubi jalar bervariasi antara 6,17% sampai 38,75% tergantung kultivar. Komponen karbohidrat utama pada ubi jalar adalah amilosa dan amilopektin. Rasio
amilosa dan amilopektin pada ubi jalar secara umum adalah 1 : 3 atau 1 : 4. Kandungan amilopektin yang tinggi dan amilosa yang rendah diduga bertanggung jawab terhadap karakteristik tekstur ubi jalar (Hammet dan Barrantine di dalam Woolfe, 1999). Menurut Woolfe (1999), kandungan total gula pada ubi jalar akan mengalami perubahan setelah pemasakan dan jumlahnya berbeda-beda tergantung kultivar. Kandungan total gula ubi jalar setelah pemasakan cenderung meningkat dibandingkan dengan ubi jalar mentah. Hidrolisis pati menjadi dekstrin akan menyebabkan peningkatan kadar maltosa secara drastis. Akan tetapi gula dalam ubi jalar tetap didominasi oleh sukrosa. Setelah mengkonsumsi ubi jalar, karbohidrat didalamnya memiliki kecenderungan menyebabkan timbulnya flatulensi. Menurut Damardjati (2003), flatulensi ini disebabkan oleh gas flatus yang merupakan hasil samping dari fermentasi karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh mikroflora usus, antara lain resistant starch, oligosakarida tak tercerna, dan polisakarida non pati seperti serat makanan. Karbohidrat yang dikandung ubi jalar masuk dalam klasifikasi Low Glycemix Index (LGI, 54) sehingga sangat cocok untuk penderita diabetes. karena tidak secara drastis menaikkan gula darah, berbeda halnya dengan sifat karbohidrat dengan glycemix index tinggi, seperti beras dan jagung. Sebagian besar serat ubi jalar merupakan serat larut, yang menyerap kelebihan lemak/kolesterol darah, sehingga kadar lemak/kolesterol darah tetap normal (Muchtadi, 2001). 4. Tepung Ubi Jalar Proses pembuatan tepung ubi jalar cukup sederhana. Pembuatan tepung ubi jalar meliputi proses pembersihan, pengupasan, penghancuran (pengirisan), dan pengeringan sampai kadar air tertentu. Menurut Sugiyono (2003), tepung ubi jalar dapat dibuat dengan dua cara yaitu pertama ubi diiris tipis lalu dikeringkan (chips/sawut kering) kemudian ditepungkan, dan kedua ubi jalar diparut atau dibuat pasta lalu dikeringkan dan ditepungkan.
Tepung ubi jalar dapat dibuat dengan menggunakan beberapa metode pengeringan, diantaranya pengeringan menggunakan sinar matahari (Santosa et. al., 1994) dan pengeringan menggunakan alat pengering seperti mesin pengering sawut ubi jalar (Sutrisno dan Ananto, 1999), oven, serta drum drier (Koswara et al., 2003). Tepung ubi jalar juga dapat diproduksi dengan pengering semprot ataupun pengering bertingkat dari irisan-irisan ubi jalar yang telah dibuat (Rukmana, 1997). Metode pengeringan yang digunakan mempengaruhi mutu tepung ubi jalar yang dihasilkan. Tabel 4 memperlihatkan perbedaan komposisi kimia tepung dari dua varietas ubi jalar dengan metode pengeringan oven dan drum drier. Tabel 4. Komposisi kimia tepung ubi jalar dua varietas dengan dua cara pengeringan Komposisi kimia Ubi jalar SQ-27 Ubi jalar Ceret (% berat basah) drum drier oven drum drier oven Air 3,95 6,31 5,06 8,91 Abu 2,65 1,70 2,80 2,33 Protein 4,75 3,63 4,55 3,76 Lemak 4,44 1,01 5,32 1,26 Serat 1,91 4,99 2,13 5,90 Karbohidrat (by 82,30 82,36 80,14 77,84 different) Sumber : Koswara et al. (2003)
Tepung ubi jalar memiliki kegunaan yang sangat beragam, baik sebagai bahan baku industri pangan maupun industri kimia. Kandungan gizi tepung ubi jalar dibandingkan dengan tepung gandum dan tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan gizi tepung ubi jalar, tepung terigu, dan tepung jagung Kandungan gizi Air (%) Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Karbohidrat (%) Serat (%) Kalori (kal/100g)
Tepung ubi jalara 7,00 5,12 0,58 3,22 85,26 1,95 366,89
Tepung terigua 7,00 13.13 1,29 0.54 85,04 0,62 375,79
Tepung jagungb 16,04 4,28 1,32 74,27 -
Keterangan : - tidak tercantum data tentang kandungan gizi yang bersangkutan Sumber : a Antarlina (1998) b Antarlina (1994)
C. RASA PAHIT 1. Penyakit pada Ubi Jalar Penyakit pada ubi jalar dapat disebabkan karena serangan serangga, fungi/cendawan, virus, nematoda, dan kondisi lingkungan tempat tumbuh. Penyakit-penyakit tersebut dapat terjadi pada tanaman ubi jalar sehingga menyebabkan umbi menjadi pahit dan berbau busuk, layu, mengalami kebusukan/kerusakan tanaman dan umbi, pengkerdilan tanaman, serta ketidaknormalan lainya. Umbi yang terserang penyakit juga dapat mengkontaminasi umbi yang sehat pada saat penyimpanan sehingga menyebabkan pengkisutan atau pengeriputan kulit serta pecahnya jaringan internal umbi (Elmer, 1987). Kumbang Cylas formicarius F. merupakan hama utama pada ubi jalar di dunia, baik di daerah tropika maupun subtropika. Hama Cylas foemicarius F. ini dikenal juga dengan sebutan hama lanas. Hama lanas terdapat pada hampir seluruh pertanaman ubi jalar di Amerika, Afrika, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, dan kepulauan Pasifik. Di Indonesia, hama ini terdapat di semua daerah penghasil ubi jalar (Supriyatin, 2001). Hama ini dapat merusak umbi di lapangan dan pada saat penyimpanan. Menurut Supriyatin (2001), pada musim kemarau, kehilangan hasil akibat serangan hama lanas berkisar antara 10% hingga 80%. Kerusakan yang ditimbulkan ditandai oleh adanya lubang-lubang kecil pada umbi dan mengeluarkan bau busuk yang khas. Larva Cylas formicarius merusak umbi dengan menggerek, membuat lorong-lorong dan sisa gerekan ditumpuk di sekitar lubang gerekan dalam umbi. Bagian umbi yang rusak karena serangan hama lanas sering disebut sebagai bagian yang boleng. Ubi jalar yang terserang hama lanas dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Ubi jalar putih yang terserang hama lanas
Umbi yang rusak akibat serangan hama akan menghasilkan terpen yang menyebabkan umbi terasa pahit sehingga tidak dapat dikonsumsi dan dikhawatirkan berbahaya bagi kesehatan. Black rot juga merupakan penyakit pada ubi jalar. Penyakit ini disebabkan oleh fungi Ceratocystis fimbriata dan bersifat sangat dekstruktif. Ciri ubi jalar terinfeksi black rot adalah terdapat sesuatu pada permukaaan ubi berbentuk agak bundar, berukuran kecil, agak cekung, disertai spot berwarna gelap (coklat). Jika basah, spot gelap ini akan berubah warna menjadi hitam kehijauan sampai hitam dan menjadi keabu-abuan jika kering Menurut Sikora (2004), jaringan umbi yang dekat dengan spot berwarna gelap di atas akan memiliki rasa yang pahit dan akhirnya bagian dalam umbi akan busuk. Ubi jalar yang kelihatan sehat saat dipanen dapat terserang kebusukan ini pada saat penyimpanan, selama transportasi, atau saat berada di pasar. Di Indonesia sendiri, areal pertanian ubi jalar lebih sering mengalami serangan hama lanas dibandingkan dengan serangan fungi black rot. Serangan hama lanas dapat mengalami peningkatan yang sangat signifikan terutama pada saat musim kemarau.
2. Komponen Penyebab Rasa Pahit Secara umum, rasa pahit biasanya disebabkan oleh senyawa kimia seperti alkaloid dan fenolik. Tetapi beberapa komponen organik seperti amida
dan
thiourea
(thioamida)
serta
terpen
juga
berkontribusi
menyebabkan rasa pahit (Shallenberger, 1993). a. Alkaloid Alkaloid merupakan kelompok senyawa yang mengandung atom nitrogen basa dan dapat diekstrak menggunakan asam encer (Fessenden dan Fessenden, 1995). Alkaloid mengandung C, H, N, dan pada umumnya mengandung atom O. Menurut Hart (1990), alkaloid merupakan
senyawa
nitrogen
heterosiklik
atau
secara
umum
mengandung paling sedikit satu buah atom nitrogen yang bersifat basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Kebanyakan alkaloid
berbentuk padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Alkaloid dapat juga berbentuk amorf atau cairan. Sebagian besar alkaloid bersifat larut air. Alkaloid banyak ditemukan pada akar, biji, kayu, serta daun pada tumbuhan dan umbi-umbian. Kegunaan alkaloid bagi tumbuhan adalah sebagai pelindung dari serangan hama dan pengatur kerja hormon. Alkaloid dapat diproduksi oleh berbagai jenis organisme termasuk bakteri, fungi, tumbuhan, dan hewan sebagai produk alami (metabolit sekunder) organisme tersebut dan sebagai cadangan bagi biosintesis protein. Menurut Dewanti dan Nuraida (2007), metabolit sekunder merupakan hasil metabolisme makhluk hidup yang dikeluarkan dan pada umumnya dihasilkan untuk mempertahankan hidup. Metabolit sekunder ini dapat berupa flavor, antibiotik, dan toksin. Karena alkaloid merupakan metabolit sekunder, banyak alkaloid yang dihasilkan organisme bersifat toksik bagi organisme lain. Beberapa alkaloid mempunyai rasa yang pahit. Steroid alkaloid (yang termasuk dalam terpenoid) seperti
solanin dan tomatin pada
kentang dan tomat juga merupakan alkaloid. Solanin terbukti secara ilmiah memberikan rasa pahit pada kentang. b. Komponen Fenolik Komponen fenolik telah terbukti menghasilkan rasa pahit pada serealia dan sayur-sayuran. Kebanyakan senyawa fenolik merupakan ester yang terbentuk dari quinic acid dan caffeic acid. Menurut Gibe (2005), ubi jalar mengandung ester fenolik yang berfungsi sebagai antioksidan seperti asam klorogenat, asam isoklorogenat dan asam kaffeat. Komponen fenolik pada ubi jalar ini berfungsi untuk melawan kehadiran free radical dan senyawa toksik. Kandungan komponen fenolik dalam ubi jalar disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Kandungan komponen fenolik ubi jalar (mg/100g berat basah) Bagian Asam Asam Asam Total klorogenat isoklorogenat kaffeat Umbi 11,2 7,1 0,3 18,6 Kulit 30,6 25,5 0,0 56,1 Daun 56,0 35,5 1,5 93,0 Sumber : Gibe (2005)
c. Phytoalexin Phytoalexin adalah senyawa antimikroba dengan berat molekul yang kecil yang yang terakumulasi dalam tanaman sebagai akibat dari infeksi atau cekaman (Kuc 1995). Lebih dari 350 phytoalexin telah dikarakterisasi secara kimia dari sekitar 30 famili tanaman. Phytoalexin phenylpropanoid terdistribusi diantara famili Leguminosae, Solanaceae, Convolvulaceae, Umbelliferae, dan Gramineae. Phytoalexin isoflavonoid umum
terdapat
pada
Leguminosae,
sedangkan
phytoalexin
sesquiterpenoid umum terdapat pada Solanaceae dan Convolvulaceae. Phytoalexin terakumulasi pada situs infeksi dan menghambat pertumbuhan dan bakteri in vitro, sehingga phytoalexin menjadi senyawa pertahanan tanaman untuk melawan penyakit. Phytoalexin tidak selalu bersifat antimikroba, meskipun terakumulasi pada saat infeksi hingga level yang cukup untuk menghambat perkembangan beberapa fungi dan bakteri (Kuc, 1995). Beberapa senyawa dalam kelompok alkaloid seperti terpenoid dan glikosteroid termasuk dalam phytoalexins (Suwarno, 2008) d. Terpenoid Terpenoid
atau
isoterpenoid
atau
isoprenoid
merupakan
hidrokarbon yang dihasilkan dari kombinasi beberapa unit isoprene (Anonim, 2009). Struktur kimia isoprena dapat dilihat pada Gambar 4.
X Gambar 4. Struktur kimia isoprena Menurut Shallenberger (1993), terpenoid merupakan golongan senyawa turunan karbohidrat yang beberapa berperan membentuk flavor suatu
bahan pangan. Beberapa senyawa dalam salah satu kelompok terpen, diterpen, merupakan senyawa yang bertanggung jawab terhadap rasa pahit (bitter). Beberapa senyawa sesquiterpen seperti (+) 6S 1’S – hernandulcin berkontribusi memberikan rasa manis hingga tingkat kemanisan 1000 kali sukrosa. Akan tetapi epimernya, (+) 6S, 1R – epihernandulcin sama sekali tidak manis Sesquiterpen termasuk dalam salah satu kelas terpen, yang terdiri dari 3 unit isoterpene dengan rumus molekul C15H24. Sesquiterpen dapat bersifat asiklik, monosiklik, bisiklik, dan trisiklik. Oleh karena itu, beberapa sesquiterpen berperan memberi rasa manis, sedangkan beberapa yang lainnya bertanggung jawab terhadap hadirnya rasa pahit. Selain (+) 6S, 1R – epihernandulcin, masih banyak senyawa sesquiterpen lain yang bertangung jawab terhadap rasa pahit atau menjadi prekursor biosintesis senyawa penghasil rasa pahit (Shallenberger, 1993). Sebagai contohnya adalah dehydroipomeamarone, sesquiterpeoid pada ubi jalar, yang merupakan prekursor ipomaemarone (Oguni dan Uritani,2003 ). Ipomaemarone adalah phytoalexin, berbentuk furano-terpenoid, pada ubi jalar yang terkena penyakit black rot akibat infeksi dari fungi Ceratocystis fimbriata (Oguni dan Uritani, 2003). Ubi jalar yang terkena serangan hama kumbang penggerek Cylas formicarius pada ubi jalar dapat menghasilkan phytoalexin dalam bentuk senyawa sesquiterpen yang rasanya pahit (Palaniswami dan Chattopadhyays, 2005). Menurut Uritani et. al. (1995), larva Cylas formicarius merusak umbi ubi jalar secara internal dan menyebabkan terjadinya produksi senyawa terpenoid yang berkontribusi menghasilkan rasa pahit pada umbi ubi jalar. Sampai saat ini belum diketahui secara rinci nama senyawa terpenoid pada ubi jalar yang terserang hama lanas, namun senyawa sesquiterpen dapat bersifat toksik apabila dikonsumsi oleh mamalia. D. COOKIES Cookies termasuk jenis biskuit, yang biasanya mengandung kadar lemak dan gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis biskuit lainnya, seperti biskuit keras, crakers, dan wafer. Cookies memiliki kadar air yang
rendah (kurang dari 5%) sehingga teksturnya renyah, bila dikemas akan terlindung dari kelembaban, dan memiliki umur simpan yang lama (Brown, 2000). Cookies merupakan jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak dengan sifat yang lebih renyah karena teksturnya yang kurang padat. Menurut SNI (1992), cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah bila dipatahkan, dan penampang potongannnya bertekstur padat. Cookies berbahan dasar non terigu termasuk dalam golongan short dough (Manley, 2001). Syarat mutu cookies sampai saat ini mengacu pada syarat mutu biskuit. Syarat mutu biskuit menurut Standar Nasional Indonesia (SNI-01-2973-1992) dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2971-1992 Kriteria Energi (kkal/100g) Air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Abu (%) Serat kasar (%) Logam berbahaya Bau dan rasa Warna
Syarat Minimum 400 Maksimum 5 Minimum 9 Minimum 9,5 Minimum 70 Maksimum 1,5 Maksimum 0,5 Negatif Normal dan tidak tengik Normal
Sumber : BSN (1992)
1. Bahan Baku Cookies Menurut Matz dan Matz (1978), bahan baku yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies antara lain tepung, gula, lemak, susu skim, telur, garam, leavening agent (baking soda), dan flavor. a. Tepung Tepung merupakan komposisi dasar pada produk bakery. Dalam adonan, tepung berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikanya secara merata, serta berperan dalam membentuk cita rasa (Matz dan Matz, 1978). Umumnya, cookies dibuat dari tepung terigu. Tepung terigu yang biasanya digunakan untuk membuat cookies adalah tepung terigu lunak, dengan kadar protein rendah (7-9%). Tepung
terigu lunak digunakan karena cenderung membentuk adonan yang lebih lembut dan lengket. Adonan cookies memang tidak diinginkan terlalu mengembang selama pemanggangan. Oleh karena itu, pada produk cookies, tepung lain yang tidak mengandung gluten berpotensi sangat besar untuk menggantikan tepung terigu (Manley, 1998). b. Gula Gula ditambahkan dengan tujuan memberi rasa manis. Gula dalam bentuk sukrosa berfungsi lain sebagai pembentuk tekstur (pelembut), pemberi warna, dan pengontrol penyebaran cookies. Karena gula dapat menurunkan Aw bahan pangan, maka gula juga berfungsi sebagai pengawet. Dalam pembuatan produk cookies, gula yang biasa digunakan adalah gula halus. Penggunaan gula pasir dapat membuat tekstur cookies yang dihasilkan menjadi lebih kasar karena rekristalisasi butiran gula yang ukurannya lebih besar, sedangkan gula halus akan menghasilkan tekstur cookies yang lebih halus (Matz dan Matz, 1978). Jumlah gula yang ditambahkan akan mempengaruhi tekstur dan penampakan cookies. Menurut Matz dan Matz (1978), semakin tinggi jumlah gula yang ditambahkan dalam adonan maka semakin keras pula produk yang dihasilkan. c. Lemak Menurut Matz dan Matz (1978), lemak berfungsi untuk memberikan efek shortening dengan memperbaiki struktur fisik cookies seperti volume pengembangan, tekstur, kelembutan, dan memberi flavor karamel. Jenis lemak yang digunakan akan mempengaruhi penyebaran dan penampakan cookies. Menurut Almond (1992), penggunaan margarin akan menghasilkan cookies dengan volume pengembangan yang lebih besar dan rasa yang lebih lembut dan halus dibandingkan dengan butter yang menghasilkan akan cookies dengan butiran-butiran yang lebih kasar serta volume cookies lebih rendah. d. Telur Telur mempengaruhi tektur cookies karena memiliki sifat pengemulsi, pengaerasi, pelembut, dan pengikat. Telur juga berfungsi meningkatkan nilai gizi produk. Telur dapat mempengaruhi warna, rasa, dan melembutkan
tekstur cookies dengan daya emulsi yang terdapat pada kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur. Dalam pembuatan cookies, penggunaan kuning telur tanpa putih telur akan menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas cita rasa yang sangat baik. Tetapi tekstur cookies tidak sebaik jika ditambahkan telur secara keseluruhan. Oleh karena itu, agar adonan lebih kompak sebaiknya ditambahkan putih telur secukupnya (Matz dan Matz, 1978). e. Garam Garam digunakan untuk membentuk efek rasa dan peningkat rasa. Menurut Matz dan Matz (1978), penggunaan garam dalam sebagian besar formula cookies paling banyak sebesar 1%. f. Susu skim Selain meningkatkan nilai gizi, susu berfungsi untuk memperbaiki tekstur, memberi aroma, dan memperbaiki warna permukaan. Laktosa dalam susu merupakan gula pereduksi yang dapat bereaksi dengan protein melalui reaksi Maillard dan proses pemanasan, memberikan warna coklat yang menarik pada permukaan cookies setelah dipanggang. g. Bahan pengembang Menurut Codex Alimentarius Commission (2001) dikutip oleh Branen et al. (2002), bahan pengembang merupakan senyawa kimia atau kombinasi senyawa kimia yang akan terurai menghasilkan gas di dalam adonan sehingga dapat meningkatkan volume adonan. Bahan pengembang berfungsi untuk mengembangkan dan memperbaiki tekstur cookies. Bahan pengembang yang biasa digunakan untuk membuat cookies adalah baking powder dan ammonium bikarbonat. Menurut Matz dan Matz (1978), baking powder bersifat cepat larut dalam suhu kamar dan tahan selama pengolahan. Ammonium bikarbonat larut dalam air dan dapat terdekomposisi pada suhu 104oC (Stauffer, 2000). Ammonium bikarbonat biasa digunakan untuk produk dengan kadar air kurang dari 5% seperti cookies dan crakers.
2. Proses Pembuatan Cookies Proses pembuatan cookies meliputi tahap pembuatan adonan, pencetakan, dan pemanggangan (Matz, 1992). Metode yang digunakan untuk pencampuran adonan adalah metode krim. Pada metode ini bahan baku dicampur secara bertahap. Pertama, pencampuran lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna dan flavor, lalu susu dan bahan kimia aerasi berikut garam. Penambahan tepung dilakukan di paling akhir. Metode krim baik digunakan dalam pembuatan cookies karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten yang berlebihan seperti pada pembuatan roti (Matz, 1992). Pada tahap pencetakan, adonan cookies diratakan dengan ketebalan tertentu kemudian dicetak. Adonan yang sudah dicetak ditata dalam loyang yang telah diolesi lemak lalu dipanggang dalam oven. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa semakin sedikit jumlah gula dan lemak yang digunakan, suhu pemanggangan dapat dibuat semakin tinggi (177-204oC). Suhu dan lama pemanggangan akan mempengaruhi kadar air cookies. Ketika adonan dimasukkan, suhu oven tidak boleh terlalu panas, karena bagian luar cookies akan cepat matang sehingga menghambat pemanggangan dan mengakibatkan permukaan cookies
menjadi retak
(Manley,1998). Cookies hasil pemanggangan harus segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mencegah terjadinya pengerasan akibat memadatnya gula dan lemak. Waktu mendinginkan biasanya 2-3 kali lebih lama daripada waktu pemanggangan (Manley, 1998).
E. FLAVOR Flavor adalah gabungan persepsi yang diterima oleh indera manusia yaitu bau, rasa, penampakan, sentuhan, dan bunyi pada saat mengkonsumsi makanan. Tiga sensasi yang ditimbulkan flavor pada indera kita adalah rasa, bau, dan tekstur (Lindsay di dalam Winarno, 2002). Istilah flavoring digunakan untuk membedakan pengertian sifat intrinsik produk yang berkaitan dengan flavor dengan bahan-bahan yang ditambah dari luar untuk mengubah atau menghasilkan profil flavor tertentu
dari produk. Flavoring adalah senyawa kimia tunggal atau campuran, alami atau sintetis, yang digunakan untuk memberikan sebagian atau keseluruhan sensasi flavor tertentu pada makanan dan produk lain yang masuk ke dalam mulut. Tujuan flavoring (Winarno, 2002) diantaranya adalah meningkatkan daya tarik pangan, menstandarisasi flavor produk akhir, dan menguatkan flavor awal yang lemah. Selain itu juga menggantikan flavor yang hilang selama pengolahan, menutupi karakter-karakter yang tidak menyenangkan, dan karena alasan ekonomi. Menurut Burdock (1991), klasifikasi flavor berdasarkan legal status adalah flavor natural (alami), flavor natural identikal, dan flavor artifisial. Flavor dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu savory flavour, sweet flavour, dan tobacco flavour. Savory flavour banyak digunakan pada industri mie instan, sedangkan sweet flavour biasa digunakan untuk produk-produk industri minuman (sirup dan sari buah), confectionary, dan produk bakery. Untuk produk bakery seperti biskuit, cookies, dan crakers, jenis sweet flavour yang sering dipakai adalah almond, butter, chocolate, vanila, karamel, dan coconut (Winarno, 2002). Menurut Manley (1998), biskuit dan produk bakery dapat ditambah flavor dengan tiga metode yaitu : (1) ditambah flavor dalam adonan sebelum dipanggang; (2) ditaburkan atau disemprotkan setelah dipanggang; (3) flavor yang tidak ikut dipanggang seperti pelapisan krim, jam, icing, dan mallow. Karena biskuit dan produk bakery diolah dengan pemanggangan dimana penggunaan panasnya dapat mencapai 250oC, maka flavor yang dipilih harus tahan panas, tidak rusak pada suhu 100oC sampai 300oC.
F. TEKSTUR PRODUK PANGAN 1. Definisi Tekstur merupakan salah satu faktor penting penentu penerimaan produk pangan oleh konsumen selain penampakan dan flavor. Jika salah satu dari ketiga faktor tersebut tidak memenuhi harapan konsumen, produk menjadi kurang disukai dan bila dikonsumsi akan menimbulkan respon negatif dari konsumen. Menurut Brean (1980) sebagaimana dikutip Faridi
dan Faubion (1990), tekstur merupakan atribut sensori yang dipersepsikan oleh indera manusia melalui sentuhan, penglihatan, dan pendengaran. Tekstur bukan merupakan atribut berdimensi tunggal, tetapi merupakan atribut multidimensional, dimana atribut tekstural produk pangan dapat didefinisikan sebagai : (1) merupakan kelompok atributatribut fisik, (2) merupakan turunan dari struktur produk, (3) merupakan atribut mekanikal dan reologikal produk, (4) dipersepsikan oleh indera peraba, dan (5) pengukuran objektif dari atribut tekstural biasanya melibatkan fungsi dari massa, jarak, tekanan, dan waktu. Faridi dan Faubion (1990) mengutip Szczesniak (1963) menyatakan bahwa,
parameter-parameter
tekstur
yang
digunakan
untuk
mengklasifikasikan atribut tekstur secara sensori terdiri dari tiga kategori, yaitu : (1) karekteristik mekanikal, yaitu reaksi bahan pangan terhadap tekanan yang dipersepsikan oleh indera kinestetik, meliputi kekerasan, kohesivitas, viskositas, dan kerenyahan; (2) karakteristik geometrikal, yaitu karakteristik yang berhubungan dengan ukuran, bentuk, dan orientasi partikel yang dipersepsikan oleh syaraf pengecap dalam mulut atau dengan sentuhan, meliputi gritty, grainy, flaky, stringy, dan smooth; dan (3) karakteristik lain, meliputi mouthfeel yang berhubungan dengan persepsi terhadap lemak dan air selama proses pengunyahan dan penelanan. 2. Pengukuran Tekstur Secara Objektif Menurut Bourne (1989) sebagaimana dikutip Faridi (1994), beberapa langkah
efektif
dalam
evaluasi
tekstural
produk
pangan
secara
objektif/instrumental, diantaranya : (1) mempertimbangkan semua prinsip yang dapat dilakukan dalam pengukuran tekstur, (2) memilih prinsip pengujian yang paling cocok dengan sifat produk, (3) memilih instrumen yang menggunakan prinsip pengujian di atas, dan (4) melakukan prosedur pengujian dengan benar agar didapatkan korelasi yang tinggi dengan pengukuran tekstur secara sensori. Pengukuran tektur produk pangan secara objektif sangat bervariasi dalam prinsip pengujian dan alat yang digunakan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan metode pengukuran tekstur secara intrumental yang tepat dan akurat yaitu sifat alami produk,
tujuan pengujian, tingkat ketepatan pengukuran yang diinginkan, jenis pengujian (destruktif atau non-destruktif), biaya yang dibutuhkan, waktu pengujian yang dibutuhkan, dan lokasi pengujian. Sifat alami produk berkaitan dengan jenis bahan yang digunakan (renyah, berongga, omogen, plastis, berpasir, heterogen, dan lain-lain). Sifat alami produk akan mempengaruhi prinsip pengukuran yang digunakan. Tujuan pengukuran dapat berupa bagian dari proses quality control, pengembangan produk, penentuan standar, atau untuk tujuan penelitian. Ukuran sampel yang besar dan jumlah sampel yang banyak akan memberikan tingkat ketepatan yang lebih tinggi, tetapi membutuhkan banyak produk, menghasilkan rentang gaya yang tinggi, dan membutuhkan waktu yang lama, sehingga dibutuhkan penyesuaian antara biaya dan waktu yang dibutuhkan dengan ketepatan pengukuran yang diinginkan. Jenis uji destruktif akan merusak sampel sehingga sampel tidak bisa digunakan lagi untuk pengukuran selanjutnya atau untuk tujuan lain, sedangkan pengujian non-destruktif tidak merusak sampel sehingga pengukuran selanjutnya dapat menggunakan sampel yang sama. Biaya yang dibutuhkan meliputi biaya pembelian, operasional dan perawatan, serta biaya operator yang mengoperasikan alat. Scott-Blair (1958) dalam Rosenthal (1999) mengklasifikasikan pengukuran tekstur secara instrumental dalam tiga kategori, yaitu : (1) pengukuran fundamental, yaitu metode yang mengukur atribut reologi atau fisik seperti viskositas dan modulus elastik, (2) pengukuran imitatif, yaitu metode pengukuran yang didesain dengan mengimitasi proses pengunyahan di dalam mulut manusia, dimana proses metode ini paling banyak dilakukan dengan Texture Profile Analysis (TPA), dan (3) pengukuran empiris, yaitu metode yang mengukur atribut mekanik produk dengan mengkombinasikan beberapa tipe prinsip pengujian seperti penetrasi, kompresi, dan pemotongan. Prinsip pengukuran dalam evaluasi produk pangan secara instrumental sangat bervariasi. Beberapa prinsip pengukuran yang biasa digunakan untuk pengukuran tekstur produk bakery, termasuk cookies disajikan pada Tabel 8.
Selain melakukan pemilihan metode pengukuran secara instrumental yang tepat, faktor-faktor yang mempengaruhi variabilitas data dalam pengukuran tekstur juga harus diperhatikan. Christensen dan Vickers di dalam
Faridi
mempengaruhi
(1994) menyebutkan variabilitas
data,
bahwa
yaitu
:
ada (1)
dua faktor yang kondisi
pengukuran
(kelembaban, suhu, tekanan uap, laju deformasi, dan waktu respon dari recorder), dan (2) faktor internal dari produk itu sendiri yang meliputi umur produk, bahan yang digunakan, kadar air, kandungan lemak, ukuran dan bentuk, keseragaman pemanggangan, dan pencampuran. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan perbedaan hasil pengukuran yang dilakukan pada jenis alat yang sama, antar jenis alat yang berbeda, dan antara pengukuran instrumental dengan evaluasi secara sensori. Tabel 8. Prinsip pengukuran tekstur produk bakery Prinsip
Variabel yang diukur Deformation Gaya atau jarak Snapping Gaya Puncture/probing Gaya Sawing Density Texture press Texture profile analysis
Waktu Volume Gaya Beberapa variabel
Produk Roti dan produk beragi lainya Crakers dan cookies Sebagian besar produk nonragi Crakers dan cookies Roti dan cake Crakers, pastries Semua produk