Pengetahuan Industri Rumah Tangga Pangan (Jian Septian, Winiati P Rahayu)
PENGETAHUAN INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN TENTANG LABEL KEMASAN PANGAN The Knowledge of Small Scale Food Industries on Food Labels Jian Septian, Winiati P Rahayu Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor Kampus IPB Darmaga e-mail:
[email protected],
[email protected] Abstrak Label memiliki peran penting pada produk pangan kemasan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi kesesuaian dan tingkat pengetahuan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) tentang label kemasan pangan. Penelitian dilakukan dengan metode pengamatan dan survei yang dilakukan terhadap 88 IRTP di Kota Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya tingkat pengetahuan responden terhadap peraturan label pangan masih kurang. Sebanyak >55% label IRTP sudah sesuai dengan peraturan pelabelan, namun hanya 16% IRTP yang benar-benar paham tentang isi peraturan label kemasan pangan. Sumber informasi yang paling diandalkan tentang peraturan pelabelan pangan berasal dari Dinas Kesehatan (50%). Analisis korelasi spearman, menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05) antara karakteristik IRTP (usia, pendidikan, jabatan dan status sosial ekonomi) dengan persepsinya terhadap label kemasan pangan. Kata kunci: industri rumah tangga pangan (IRTP), label kemasan pangan, pengetahuan Abstract Label is one of important part of food packaging. The objective of this research is determining the level of Small-Scale Food Industries' (IRTP) knowledge in Bogor about food labeling. The research was done by surveing 88 respondents in Bogor. The result showed that the knowledge level of respondent was low. More than 55 % IRTP’ labels accordanced to the regulation but only 16 % of IRTP well understood about food labeling. About 50 % of the most reliable source of information about food labeling regulation was derived from Indonesian Health District Office. The results of spearman correlation test showed that the correlation between IRTP characteristics (age, education, occupation and socio-economic status) were not significant (p>0.05) with their perception about food labeling. Keywords: food labeling, knowledge, small-scale food industries
PENDAHULUAN Peran label pada produk pangan sangat penting. Label yang baik dan benar akan memudahkan konsumen dalam pemilihan produk yang diperlukannya. Pelabelan produk pangan dapat dijadikan sumber informasi utama mengenai pangan kemasan. Menurut UU No. 18 tahun 2012 Tentang Pangan, pada pasal 96 ayat (1), label berfungsi untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap produk pangan yang dikemas
sebelum membeli dan/atau mengonsumsi pangan. Aspek pelabelan diharapkan dapat menjadi perangkat efektif pengendali mutu dan keamanan pangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan pada pasal 3 ayat 2 dijelaskan bahwa label tersebut sekurang-kurangnya memuat mengenai 1) nama produk; 2) daftar bahan yang digunakan; 3) berat bersih; 4) nama dan alamat pihak yang memproduksi; 5) tanggal, bulan dan
tahun kedaluwarsa. Sedangkan Menurut UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan juga mengharuskan pencantuman nomor izin edar bagi Pangan Olahan. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) adalah perusahaan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Permasalahan yang sering dihadapi IRTP terkait dengan pelabelan dalam kemasan masih ditemukan beberapa pelanggaran. Diantara pelanggaran tersebut yakni 1) ketentuan data label tidak terpenuhi, 2) tanggal kedaluwarsa yang ditulis tangan, 3) penggunaan BTP tidak dicantumkan pada label, 4) menggunakan nomor IRTP untuk lebih dari satu produk, 5) menggunakan kode MD untuk IRTP (Rahayu WP 2011). Kemungkinan penyebab utama terjadinya pelanggaran pelabelan pangan IRTP adalah kurangnya pengetahuan, kurangnya kesadaran, kurangnya motivasi, kurangnya kemampuan secara finansial, dan sebagian besar belum menerapkan sistem manajemen formal. Karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan IRTP tentang label kemasan pangan dan mengetahui hubungan antara karakteristik IRTP dengan persepsinya tentang label kemasan pangan. METODOLOGI Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data dengan cara wawancara. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive dari daftar IRTP di kota Bogor yang memiliki nomor IRTP, alamat lengkap, nomor
telepon dan mudah untuk diakses. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian dihitung dengan menggunakan rumus slovin (Simamora et al. 2013) dengan kelonggaran 10% sehingga IRTP yang diwawancara berjumlah 88 IRTP. Pertanyaan dalam kuisioner terdiri dari empat blok. Blok I berisi pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden. Blok II berisi pertanyaan mengenai kondisi pelabelan. Selanjutnya, Blok III berisi pertanyaan mengenai pengetahuan responden tentang label kemasan pangan. Sedangkan Blok IV berisi pertanyaan mengenai persepsi responden tentang label kemasan pangan. Kuisioner yang telah disusun diuji cobakan terlebih dahulu pada 30 IRTP dan dilakukan dalam 2 tahap. Setelah dilakukan perbaikan kuisioner tahap 1 maka dilakukan pengujian kuisioner tahap 2. Setelah kuisioner valid dan reliable dilakukan pengambilan data. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak komputer Statistik IBM SPSS Statistics 20 for windows. Untuk memperoleh hubungan karakteristik responden terhadap persepsinya mengenai label kemasan pangan, digunakan uji korelasi spearman (Djamaludin et al. 2012). HASIL DAN PEMBAHASAN Validitas dan Reliabilitas kuisioner Hasil pengujian validitas pada tahap 1 (Tabel 1) ditemukan ada satu pertanyaan yang tidak valid (p>0.05). Pertanyaan tersebut yakni pertanyaan pada blok IV.3 mengenai jumlah keterangan minimum pada label kemasan. Setelah dilakukan perbaikan pada tahap 1, nilai probabilitas dari masing-masing pertanyaan <0.05 yang menandakan bahwa pertanyaan pada kuisioner tersebut dianggap valid dan
sesuai dengan instrumennya. Sedangkan nilai reliabilitas masingmasing pertanyaan >0.361 yang menandakan kuisioner juga bersifat reliabel dan dapat dipercaya. Tabel 1. Hasil uji reliabilitas kuisioner
validitas
dan
Sebagian besar responden memiliki pendidikan SMA/Sederajat yaitu sebanyak 48% dan sarjana (D3/S1/S2/S3) sebanyak 41% (Gambar 1). Berdasarkan hasil ini diperoleh bahwa secara umum dapat dinyatakan bahwa responden memiliki pendidikan yang memadai untuk dapat mengelola IRTP dengan baik. Profil Usaha
Profil Responden Sebagian besar responden (51%) yang diwawancara adalah pemilik IRTP. Berdasarkan tingkat usia, responden pada penelitian ini berada pada rentang usia 36-45 tahun yaitu sebanyak 35% (Gambar 1). Menurut Depkes RI Tahun 2009 yang termasuk dalam kisaran usia produktif adalah usia 15 hingga 64 tahun.
a. Usia
b. Tingkat pendidikan Gambar 1. Profil responden
Sebanyak 30% pangan olahan IRTP di Kota Bogor adalah pangan yang termasuk ke dalam golongan bakeri (kategori pangan 07.0) menurut kategori pangan CODEX 2013. Berdasarkan tempat produksi yang ditempati responden untuk produksi, hanya 40% yang menempati rumah sebagai tempat produksi dan 37% menempati rumah-toko (ruko) (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa yang sesuai dengan definisi IRTP hanya 77% sedangkan yang 23% seharusnya sudah mendapatkan izin MD karena tidak lagi berusaha dirumah tinggal.
a. Jenis usaha
b. Tempat produksi
Gambar 2. Profil usaha Sebagian besar (77%) responden menempati rumah dan ruko sebagai tempat produksinya. Sehingga dapat diperkirakan bahwa status sosial ekonomi responden tergolong menengah-tinggi bila hanya berdasarkan status kepemilikan rumah seperti diuraikan oleh Wachidah (2007) (Tabel 2).
sejalan dengan penelitian Krukowski et al. (2006) yang menyatakan bahwa sekitar 44-57% konsumen tidak mengerti informasi gizi. Hal ini masih menandakan bahwa pencantuman informasi gizi yang minim pada label menyebabkan kebutuhan konsumen akan informasi gizi belum terpenuhi. Tabel 3. Persentase gap tingkat kesesuaian label dengan peraturan
Tabel 2. Pengelompokkan status sosial ekonomi menurut Wachidah (2007)
Kesesuaian Label Kemasan Pangan dengan Peraturan Label Kemasan Kesesuaian label kemasan pangan IRTP dengan peraturan dapat dilihat pada Gambar 3 dan setelah dilakukan analisis gap (Tabel 3) dapat dinyatakan bahwa pada umumnya >55% IRTP telah menerapkan peraturan pelabelan kemasan pangan menurut PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan.
Gambar 3. Kesesuaian label kemasan pangan dengan peraturan Selain itu baru terdapat 27.3% dan 12.5% IRTP yang sudah mencantumkan keterangan halal dan informasi gizi pada label. Hal ini
Pengetahuan dan Persepsi Responden Terhadap Peraturan Label Kemasan Pangan Hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan bahwa adanya gap atau perbedaan jawaban yang diharapkan dengan kenyataan. Ada empat parameter yang belum dapat dijawab dengan benar oleh responden. Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki persepsi yang berbeda meskipun objek yang ditanyakan serupa (peraturan label kemasan). Adanya gap tersebut dapat disebabkan oleh adanya keraguan dari responden dalam memberikan pendapatnya. Keraguan yang timbul dalam diri responden dapat terjadi karena responden memiliki tingkat pengetahuan dan sumber informasi yang terbatas, yang dapat membingungkan responden dalam memberikan kepastian jawaban yang benar. Berdasarkan kriteria yang dikemukakan Khomsan et al. (2009) yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan dikatakan kurang apabila responden menjawab kuisioner dengan skor jawaban benar <60%, maka responden dari IRTP dapat dikatakan memiliki pengetahuan yang masih kurang terkait dengan pengetahuan pelabelan pangan.
Tabel 4. Persentase gap responden dengan jawaban
Sebanyak 23% responden hanya tahu sekilas tentang peraturan pelabelan kemasan pangan dan hanya 16% (Gambar 4) responden yang sudah paham tentang peraturan pelabelan kemasan pangan. Sedangkan sekitar 51% (Gambar 5) responden mampu menjawab dengan benar tentang definisi label. Selain itu, Sebanyak 58% (Gambar 6) responden sudah mengetahui fungsi label. Namun hanya sebanyak 40% (Gambar 7) responden yang mengetahui jumlah keterangan minimum yang harus ada pada label.
Gambar 4. Pengetahuan responden tentang peraturan label Perbedaan persepsi responden tersebut membuktikan bahwa responden memiliki tingkatan persepsi yang berbeda terhadap suatu objek yang sama, dalam hal ini terhadap peraturan label kemasan pangan. Hal ini juga ditemui pada penelitian Jayanti et al. (2011) yang menyatakan bahwa seseorang memiliki tingkatan persepsi yang berbeda terhadap suatu objek yang sama pada persepsi dan perilaku remaja terhadap pembelian Compact Disk (CD) bajakan.
Gambar 5. Persepsi responden tentang definisi label
Gambar 6. Persepsi responden tentang fungsi label kemasan
Gambar 7. Persepsi responden tentang jumlah keterangan minimum Persepsi dapat dipengaruhi oleh pikiran dan lingkungan dan secara substansi berbeda dengan realitas. Meskipun 40% responden sudah mengetahui jumlah keterangan minimum pada label dengan tepat sesuai peraturan label kemasan pangan, namun belum semuanya (70%) dapat menyebutkan jenis keterangan yang harus ada pada label. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
faktor sosial (lingkungan) yang menyebabkan perbedaan persepsi responden tentang jumlah keterangan minimum pada label kemasan pangan. Pengetahuan akan berpengaruh terhadap kepercayaan seorang individu terhadap sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun telah ada sosialisasi tentang peraturan label kemasan pangan oleh dinas terkait, tetapi masih banyak IRTP yang melanggar peraturan pelabelan kemasan pangan tersebut. Pengetahuan tentang perilaku konsumen menjadi hal yang sangat penting tidak hanya bagi produsen tetapi juga kepada pihak yang berwenang, karena merupakan kekuatan pendorong peraturan pangan (Carrillo et al. 2012). Persepsi dapat ditimbulkan oleh adanya sumber informasi yang masuk kedalam memori seseorang. Persentasi terbesar responden (51%) (Gambar 8) untuk mendapatkan informasi tentang label kemasan pangan adalah dari Dinas Kesehatan.
merupakan sumber informasi yang memiliki jangkauan luas (Jayanti et al. 2011), tetapi tidak sepenuhnya media memberikan informasi yang benar kepada konsumen (Hidayat et al. 2009). Penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman responden yang rendah (16%) terhadap peraturan pelabelan kemasan pangan disebabkan oleh sumber informasi sangat beragam. Hubungan Karakteristik IRTP dengan Persepsi Uji korelasi spearman menunjukkan nilai signifikansi dari masing-masing karakter bernilai >0.05 (Tabel 5). Hal ini memperlihatkan bahwa hubungan antar variabel dengan persepsinya tidak signifikan. Tabel 5. Nilai hubungan karakteristik IRTP dengan persepsi
Hubungan antara karakteristik internal (usia, pendidikan, jabatan dan status sosial ekonomi) yang tidak nyata terhadap persepsi tentang label kemasan pangan akan memudahkan Dinas Kesehatan memberikan sosialisasi dengan materi yang sama terhadap semua karakteristik individu.
Gambar 8. Sumber informasi yang diandalkan responden Hal ini dapat dimengerti karena pada saat IRTP memulai usahanya, mereka harus mengikuti pelatihan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan setempat. Materi mengenai peraturan pangan termasuk pelabelan merupakan materi standar yang ada dalam kurikulum pelatihan. Media juga
Praktek pelabelan kemasan pangan yang baik menjadi hal yang sangat penting. Penerapan label yang tidak baik akan berdampak kepada penurunan mutu dari produk pangan dan dapat memberikan efek keracunan pangan yang disebabkan oleh makanan yang terkontaminasi (OSHA 2013). Saat ini, label kemasan pangan menjadi instrumen utama untuk memberikan informasi kepada konsumen tentang aspek gizi seperti nilai kebutuhan energi, lemak, protein,
dan karbohidrat (Wills et al. 2009; Visschers et al. 2009). Selain itu, label kemasan pangan juga membantu dalam pendidikan konsumen. Maka dari itu, pemerintah harus berupaya lebih baik lagi untuk mengatur pelabelan yang baik, untuk memastikan bahwa label dapat digunakan dan dipahami oleh konsumen. KESIMPULAN Mayoritas IRTP (>55%) telah menerapkan jumlah keterangan minimal pada label produknya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan. Namun pengetahuan IRTP terhadap peraturan pelabelan kemasan pangan dikategorikan masih kurang. Hasil analisis korelasi menyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara karakteristik IRTP (usia, tingkat pendidikan, jabatan dan status sosial ekonomi) terhadap persepsinya tentang label kemasan pangan akan memudahkan proses sosialisasi pelabelan pangan di kota Bogor. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada Beasiswa Astaga Peduli Pendidikan (BAPP) yang telah memberikan dukungan pendanaan bagi penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Carrillo E, Varela P, Friszman S. (2012). “Influence of nutritional knowledge on the use and interpretation of Spanish nutritional food labels”. Journal of Food Science. 71(1). doi: 10.1111/j.17503841.2011.02479.x 2. Codex Alimentarius Commision, (2013), Food Categories. http://www.codexalimentarius.net/ (diakses 25 Februari 2013)
3. Departemen Kesehatan RI. 2009. Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 20072011. Jakarta: Departemen Kesehatan. 4. Djamaludin MD, Simanjuntak M, Rochimah N. (2012). “The influence of message appeals and booklet presentation toward perception and knowledge about healthy streetfood”. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen. 5(1): 6776 5. Hidayat IK, Sumarwan U, Yuliati LN. (2009). “The relationship of perception and mothers attitude to nutritional claim on advertisement of formula milk for pre-school children and purchasing decision”. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen. 2(1): 77-85 6. Jayanti TS, Djamaludun MD, Latifah M. (2011). “Perception, knowledge, and behavior of pirated compact disc purchasing”. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen. 4(2): 190-198 7. Khomsan A, Anwar F, Mudjajanto ES. (2009). “Nutrition knowledge, attitude, and practice of posyandu participants”. Journal of Nutrition and Food. 4(1): 33-41 8. Krukowski RA, Harvey-Berino J, Kolodinsky J, Narsana RT, Desisto TP. (2006). “Consumers may not use or understand calorie labeling in restaurants”. J Am Diet Assoc. 106:917-920 9. Occupational Safety and Health Administration (OSHA). (2013). Foodborne disease. http://www.osha.gov/ (diakses 26 Februari 2013) 10. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label Dan Iklan pangan.http://jdih.pom.go.id/produ k/ (diakses 25 November 2012)) 11. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan. http://jdih.pom.go.id/produk/ (diakses 25 November 2012)
12. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan No. HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. http://jdih.pom.go.id/produk/ (diakses 3 januari 2013) 13. Rahayu, WP. (2011). Keamanan Pangan Peduli Kita Bersama. Bogor, IPB Press. 14. Simamora CH, Rosmaini E, Napitupulu N. (2013). “Penerapan teori permainan dalam strategi pemasaran produk ban sepeda motor di FMIPA USU”. Saintia Matematika. 1(2): 129-137 15. Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 Tentang Pangan. http://jdih.pom.go.id/produk/ (diakses 4 Januari 2013) 16. Visschers V, Siegrist M. (2009). “Applying the evaluability principle to nutrition table information: how reference information changes people’s perception of food products”. Appetite. 52:505–12. 17. Wachidah RN. 2007. Pandangan konsumen ibu rumah tangga terhadap label halal pada produk pangan di kota Tanggerang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 18. Wills J, Schmidt D, Pillo-Blocka F, Cairns G. (2009). “Exploring global consumer attitudes toward nutrition information on food label”. Nutr Rev. 67:S102-6