7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelitian terdahulu oleh Yuliasih (2007) yang berjudul Analisis Ketersediaan Pangan Pokok dan Konsumsi Pangan Keluarga Miskin dan Tidak Miskin di Kabupaten Karanganyar, menunjukkan bahwa ketersediaan pangan pokok keluarga miskin dan tidak miskin tergolong dalam kategori rendah. Ketersediaan pangan pokok keluarga miskin sebesar 878,849 kkal/kap/hari, sedangkan ketersediaan pangan pokok keluarga tidak miskin sebesar 1.054,491 kkal/kap/hari. Kuantitas konsumsi pangan dilihat dari Tingkat Kecukupan Energi dan Protein. Tingkat kecukupan energi dan protein keluarga miskin termasuk dalam kategori sedang. Tingkat kecukupan energi dan protein
keluarga tidak miskin
termasuk dalam kategori baik. Tingkat kecukupan energi keluarga miskin sebesar 67,12 %, dan tingkat kecukupan protein sebesar 65,11 %. Tingkat kecukupan energi keluarga tidak miskin sebesar 92,61 % dan tingkat kecukupan protein sebesar 126,37 %. Kualitas pangan keluarga miskin dan tidak miskin menunjukkan kurang adanya penganekaragaman pangan. Hal ini ditunjukkan skor pangan keluarga miskin sebesar 53,35 dan keluarga tidak miskin sebesar 80,62. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga tidak miskin lebih berpotensi tahan pangan dibandingkan dengan keluarga miskin. Secara keseluruhan, keluarga miskin tidak tahan pangan energi dan protein, sedangkan keluarga tidak miskin cukup tahan pangan energi dan sangat tahan pangan protein. Berdasarkan penelitian Sina et all (2009) yang berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga Petani di Desa
Oenenu Utara Kecamatan Bikomi
Tengah Kabupaten TTU,
menunjukkan bahwa ketersediaan pangan pokok dalam rumah tangga petani di Desa Oenenu Utara sebesar 1.807,53 kkal/kap/hari. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan pangan pokok rumah tangga petani di Desa Oenenu Utara to user pada tingkat ketersediaan yaitu masih berada di bawah AKGcommit yang dianjurkan
7
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebesar 2.200 kkal/kap/hari atau pada tingkat konsumsi sebesar 2.000 kkal/kap/hari. Lama ketersediaan pangan pokok (beras, jagung, ubi kayu, talas, dan ubi jalar) adalah 300 hari. Secara umum, berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, pengaruh gizi ibu, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, produksi pangan pokok, bantuan beras, pemberian beras, dan pembelian beras terhadap ketersediaan pangan pokok rumah tangga petani menunjukkan bahwa p=0,000 (p<0,1) yang artinya bahwa pengetahuan gizi ibu, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, produksi pangan pokok, bantuan beras, pemberian beras, dan pembelian
beras
secara
bersama-sama berpengaruh
nyata
terhadap
ketersediaan pangan pokok rumah tangga petani. Selanjutnya hasil analisis secara parsial menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata (p<0,1) terhadap ketersediaan pangan pokok rumah tangga petani adalah produksi pangan pokok, bantuan beras, pemberian beras, dan pembelian beras. Berdasarkan
penelitian
Ironi
(2011)
yang
berjudul
Analisis
Ketersediaan Pangan Pokok dan Pola Konsumsi Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo, menunjukkan bahwa rata-rata ketersediaan pangan pokok pada rumah tangga petani sebesar 1.275,13 kkal/kap/hari dan termasuk dalam kategori rendah. Beras dalam rumah tangga petani berperan sebagai pangan pokok tunggal. Konsumsi umbi-umbian sebagai pangan sumber energi di samping pangan pokok masih rendah. Pangan sumber protein nabati lebih banyak dikonsumsi daripada pangan sumber protein hewani. Makanan sumber vitamin dan mineral seperti sayursayuran lebih sering dikonsumsi daripada buah-buahan. Rumah tangga mengkonsumsi makanan sesuai selera dan kondisi. Rata-rata Tingkat Konsumsi Energi (TKE) rumah tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo yaitu 70,08 % dan tergolong kurang. Rata-rata Tingkat Konsumsi Protein (TKP) rumah tangga yaitu 95,36 % dan tergolong sedang. Sejumlah 60 % rumah tangga termasuk tidak tahan pangan energi dan 53,33 % termasuk rumah tangga tahan pangan protein. Korelasi antara TKE dengan commit0,581 to user ketahanan pangan energi adalah pada tingkat kepercayaan 99 %.
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Korelasi antara TKP dengan ketahanan pangan protein adalah 0,917 pada tingkat kepercayaan 99 %. Berdasarkan penelitian Widyatama (2012) yang berjudul Analisis Hubungan Proporsi Pengeluaran dan Konsumsi Pangan dengan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Kabupaten Karanganyar, menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga petani di Kabupaten Karanganyar sebesar Rp 1.184.604,17 dan pengeluaran rumah tangga petani sebesar Rp 1.376.370, 50. Besarnya rata-rata proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total adalah 57,60 %, artinya pengeluaran pangan masih mengambil bagian terbesar dari total pengeluaran rumah tangga petani. Ratarata konsumsi energi dan protein adalah 1.321,41 kkal/kap/hari dan 42,82 gram/orang/hari, serta Tingkat Konsumsi Energi 62,25 % dan rata-rata Tingkat Konsumsi Protein 80,73 %. Hubungan antara proporsi pengeluaran pangan dengan konsumsi energi adalah berlawanan, artinya proporsi pengeluaran pangan tinggi, maka konsumsi energi rendah. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga petani terdiri atas kategori tahan pangan (53,33 %), rentan pangan (40,00 %), kurang pangan (3,33 %), dan rawan pangan (3,33 %). Beberapa penelitian tersebut dipilih sebagai referensi dalam penelitian ini karena terdapat kesamaan topik yang dipilih yaitu mengenai ketersediaan pangan pokok dan pola konsumsi pangan, dan juga memiliki kesamaan metode analisis data terutama penelitian yang dilakukan oleh Ironi (2011) yaitu menentukan besarnya ketersediaan pangan pokok, konsumsi pangan, dan ketahanan pangan rumah tangga petani. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti dengan topik Analisis Ketersediaan Pangan Pokok dan Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali yaitu untuk mengetahui tingkat ketersediaan pangan pokok, pola konsumsi pangan, konsumsi pangan dan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga petani. commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Tinjauan Pustaka 1. Pangan Menurut Almatsier (2004), makanan adalah hasil dari proses pengolahan suatu bahan pangan yang dapat diperoleh dari hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan adanya teknologi. Pada istilah umum, makanan merupakan hasil olehan dari bahan makanan, sehingga dengan kata lain, bahan makanan adalah makanan dalam keadaan mentah.
Sedangkan
942/Menkes/SK/VII/2003
Menurut tentang
Kepmenkes
Pedoman
Persyaratan
Nomor Sanitasi
Makanan Jajanan, bahan makanan adalah semua bahan makanan dan minuman baik terolah maupun tidak, termasuk bahan tambahan makanan dan bahan penolong. Pada umumnya bahan makanan mengandung beberapa unsur atau senyawa seperti air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, enzim, pigmen dan lain-lain. Menurut Almatsier (2004), semua bahan yang dapat dijadikan makanan adalah istilah umum dari pangan. Secara rinci, menurut Bappenas (2011), pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dari atau pembuatan makanan dan minuman. Sedangkan menurut Harper et all (2009), pangan adalah bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja dan penggantian jaringan tubuh yang rusak. Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa . Berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi X, Pangan yang digunakan untuk konsumsi sehari-hari dapat dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) kelompok besar. Jenis pangan pada masing-masing kelompok dapat berbeda pada setiap daerah/kota sesuai sumberdaya commitnasional, to user bahan pangan dikelompokkan pangan yang tersedia. Secara
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
menjadi padi-padian (beras, jagung, sorghum dan terigu), umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, kentang talas dan sagu), pangan hewani (ikan, daging, susu dan telur), minyak dan lemak (minyak kelapa, minyak sawit), buah/biji berminyak (kelapa daging), kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah, kacang hijau), gula (gula pasir, gula merah), sayur dan buah (semua jenis sayuran dan buah-buahan yang biasa dikonsumsi), dan lain-lain (teh, kopi, coklat, sirup, bumbu-bumbuan, makanan dan minuman jadi) (WKNPG, 2012). Pangan dikenal sebagai pangan pokok jika dimakan secara teratur oleh suatu kelompok penduduk dalam jumlah cukup besar untuk menyediakan bagian terbesar dari konsumsi energi total yang dihasilkan oleh makanan. Pangan pokok adalah pangan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi atau dikonsumsi secara teratur sebagai makanan utama, selingan, sebagai sarapan atau sebagai makanan pembuka atau penutup (Bappenas, 2011). Menurut Harper et all (2009), padi-padian seperti beras, jagung, atau gandum merupakan bagian terbesar (60-80%) dari susunan pangan penduduk yang tinggal di negara-negara Asia Tenggara, sehingga dengan kata lain, padi-padian merupakan jenis pangan pokok. Di seluruh dunia, padi-padian yang paling umum ditanam dan digunakan adalah beras, jagung, gandum, jelai, jewawut, gandum hitam, dan sorgum. Menurut Irawan dan Sutrisna (2011), beras merupakan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Dalam hal ini beras memiliki kontribusi terbesar terhadap konsumsi kalori sebesar 55% dan konsumsi protein sebesar 44%. Selain padi-padian, jenis pangan umbi-umbian juga merupakan jenis pangan pokok yang dimakan di berbagai negara di Asia Tenggara. Jenis pangan yang termasuk dalam umbi-umbian adalah singkong, talas, kentang, ubi jalar, dan uwi. Pangan umbi-umbian merupakan jenis pangan dengan kandungan pati yang tinggi, sehingga pangan tersebut to user merupakan sumber energicommit yang baik (Harper et all, 2009).
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan pangan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan berikut turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang berjenjang (hierarchial systems) mulai dari nasional, propinsi (regional), lokal (kabupaten/kota) dan rumah tangga. Ketersediaan pangan dapat diukur pada tingkat makro maupun mikro (Braun et all dalam Rahmadanih et all, 2011). Salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap ketersediaan pangan pada tingkat wilayah adalah produksi pangan pada tingkat lokal. Selain itu, ketersediaan sarana dan prasarana distribusi darat dan antar pulau serta pemasaran pangan sangat penting untuk menunjang sistem distribusi yang efisien. Distribusi yang efisien menjadi prasyarat seluruh wilayah (sampai pada tingkat rumah tangga) dapat menjangkau kebutuhan pangannya dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau (Suryana dalam Rahmadanih, 2011). Menurut Harper et all (2009), ketersediaan pangan tergantung pada cukup lahan untuk menanam tanaman pangan, penduduk untuk menyediakan tenaga kerja, uang untuk menyediakan modal pertanian yang diperlukan, dan tenaga ahli untuk membantu meningkatkan baik produksi pertanian maupun distribusi pangan yang merata. Ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu (Maleha dan Sutanto dalam Afrianto, 2010). commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam tataran rumah tangga, ketersediaan pangan dapat mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Tersedianya pangan pokok dalam jumlah yang cukup aman untuk semua anggota rumah tangga, baik yang berasal dari produksi sendiri atau sumber lain, sering disebut sebagai ketersediaan pangan pokok pada tingkat rumah tangga. Pada umumnya, penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di perdesaan biasanya mempertimbangkan jarak waktu antara musim panen dengan musim panen berikutnya (Puslit Kependudukan, 2009). Sustainabilitas mengandung makna kecukupan ketersediaan pangan dalam jangka panjang. Namun pengukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada jangka waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok (on farm dan off farm), atau biasa disebut dengan rumah tangga petani. Dengan kata lain, ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian (non farm). Ketersediaan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh produksi pangan dan pendapatan yang menentukan daya beli seseorang atau sebuah keluarga terhadap pangan. Status sosial budaya seperti sikap, kebiasaan makan tabu terhadap makanan, ketidaktahuan akan gizi dan distribusi pangan dalam keluarga mempengaruhi kecukupan ketersediaan pangan (Harper et all dalam Sukandar et all, 2006). 3. Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang biasa dimakan
mencakup
jenis
dan
jumlah
bahan
makanan
yang
dikonsumsi/dimakan seseorang atau kelompok orang penduduk dalam frekuensi dan jangka waktu tertentu (Bappenas, 2011). Pola konsumsi pada setiap daerah mempunyai gambaran menu yang spesifik dan commit user tatanan menu sehari-hari. Pola membudaya serta tercermin di todalam
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
konsumsi pangan seseorang atau masyarakat menurut Harper et all dalam Sukandar et all (2006) dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, pola sosial budaya dan pribadi. Pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah pendapatan. Pendapatan merupakan faktor utama yang menentukan perilaku rumah tangga dalam melakukan pola konsumsi pangan. Pola konsumsi pada rumah tangga yang berpendapatan rendah lebih mengarah pada pangan pokok yang berbasis potensi lokal, dengan variasi pangan yang kurang mendapat perhatian sehingga dalam hal pemenuhan gizinya masih perlu dipertanyakan. Berbeda dengan rumah tangga yang berpendapatan tinggi. Rumah tangga yang berpendapatan tinggi cenderung untuk mengkonsumsi pangan yang bervariasi dan meningkatkan kualitas pangan dengan cara membeli bahan pangan dengan nilai gizi yang lebih tinggi (Suyastiri, 2008). Menurut Pranadji dalam Damora et all (2008), semakin sering dan semakin berat suatu pangan dikonsumsi maka semakin besar peluang pangan tersebut tergolong ke dalam pola konsumsi. Selain itu, menurut Riyadi dalam Suyastiri (2008), menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang, pada umumnya semakin tinggi pula kesadaran untuk memenuhi pola konsumsi pangan yang seimbang dan memenuhi syarat gizi serta selektif dalam kaitan dengan ketahanan pangan. Pola konsumsi pangan tergantung dari pendidikan rumah tangga. Semakin tinggi pendidikan formal masyarakat, maka pengetahuan dan wawasan tentang kualitas pangan yang dikonsumsi untuk meningkatkan kesehatan semakin tinggi pula, sehingga pangan yang dikonsumsi semakin bervariasi. Dengan bervariasinya pangan yang dikonsumsi, tentunya kebutuhan gizi dan kesehatan diharapkan semakin baik. Selain itu, jumlah anggota rumah tangga akan mempengaruhi pola konsumsi pangan berbasis potensi lokal. Semakin banyak jumlah anggota rumah commit topangan user yang dikonsumsi akan semakin tangga maka kebutuhan konsumsi
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bervariasi, karena masing-masing anggota rumah tangga mempunyai selera yang belum tentu sama (Suyastiri, 2008). 4. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan meliputi konsumsi energi dan protein. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan yaitu gastronomi, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi, serta kekuatan dan kekuasaan (Fieldhouse dalam Rahmadanih et all, 2011). Konsumsi pangan rumah tangga merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesehatan dan kecerdasan serta produktivitas rumah tangga. Terdapat standar minimum jumlah makanan yang dibutuhkan seorang individu agar dapat hidup sehat dan aktif beraktivitas. Hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X yang diselenggarakan pada tahun 2012 menetapkan bahwa angka kecukupan energi (AKE) dan angka
kecukupan
protein
(AKP)
masyarakat
Indonesia
adalah
2.150 kkal/kap/hari dan 57 gr/kap/hari. FAO menetapkan AKE global pada tahun 2006-2008 sebesar 2790 kkal/kap/hari dan AKP global pada tahun 2005-2007 sebesar 85 gr/kap/hari. Sedangkan untuk AKE dan AKP nasional pada tingkat ketersediaan adalah 2.400 kkal/kap/hari dan 63 gram/kap/hari. Kekurangan konsumsi bagi seseorang dari standar minimum tersebut akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan aktivitas serta produktivitas kerja. Dalam jangka panjang, kekurangan konsumsi pangan dari sisi jumlah dan kualitas (terutama pada anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia (Rachman dan Supriyati, 2004). Menurut Ariani dan Purwantini (2008), terdapat kecenderungan tingkat konsumsi energi di desa lebih tinggi daripada di kota dan commit to user sebaliknya tingkat konsumsi protein di desa lebih rendah daripada kota.
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Fenomena ini menunjukkan bahwa pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan memprioritaskan pada pangan dengan harga murah seperti pangan sumber energi, kemudian dengan semakin meningkatnya pendapatan, akan terjadi perubahan preferensi konsumsi yaitu dari pangan dengan harga murah beralih ke pangan yang harganya mahal seperti pangan sumber protein. Pada umumnya tingkat konsumsi pangan, dalam kaitannya dengan pendapatan dapat di bagi menjadi 3 yaitu : a. Pada
pendapatan
terendah,
hampir
semua
pendapatan
akan
dialokasikan untuk makanan. Dalam tahapan ini, kenaikan pendapatan akan menstimulir kenaikan tingkat konsumsi. Tahap ini disebut tahap permulaan atau initial stage pada tingkat konsumsi pangan. Makanan yang dibeli semata-mata hanya untuk mengatasi rasa lapar. Jadi makanan dikonsumsi hanya sebagai sumber kalori, dan biasanya hanya berupa bahan-bahan sumber karbohidrat saja. Dalam hal ini kualitas pangan hampir tidak dihiraukan. Pada karakteristik tingkat ini, ada korelasi erat antara pendapatan dan tingkat konsumsi pangan. Jika pendapatan naik, maka tingkat konsumsi pangan pun akan naik, dengan korelasi linier. Dalam tingkat ini elastisitas permintaannya besar, dan biasanya penduduk dalam keadaan kurang gizi. b. Marginal stage pada tingkat konsumsi pangan. Pada tingkat ini korelasi antara pendapatan dan tingkat konsumsi pangan tidak linier, tetapi logaritmis, dengan kurva eksponensial. Elastisitas permintaan berkurang, kenaikan pendapatan tidak memberikan reaksi yang proporsional terhadap tingkat konsumsi pangan, dan biasanya penduduk juga masih dalam keadaan kurang gizi. c. Stable stage pada tingkat konsumsi pangan. Pada tingkat ini kenaikan pendapatan tidak memberikan respon terhadap kenaikan konsumsi pangan. Pada tingkat ini terdapat kecenderungan mengkonsumsi pangan secara berlebihan, dengan tanpa mempertimbangkan gizi. Hal commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ini akan menimbulkan berbagai macam penyakit yang merupakan masalah gizi, terutama di negara-negara maju (Handajani, 1994). 5. Ketahanan Pangan Pada tingkat global, definisi ketahanan pangan dinyatakan sebagai berikut, food security exists when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life (FAO dalam Suryana, 2008). Dari definisi tersebut dapat diketahi bahwa kondisi ketahanan pangan tercapai apabila: (a) setiap individu pada setiap saat mempunyai akses terhadap pangan baik secara fisik maupun secara ekonomi, dan (b) pangan tersebut harus cukup, aman, dan bergizi guna memenuhi kebutuhan energi untuk menjalankan kehidupan aktif, sehat, dan produktif (Suryana, 2008). Di Indonesia, secara nasional pengertian ketahanan pangan dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang Pangan. Berdasarkan peraturan tersebut, ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. (Suryana, 2008). Menurut Chung dalam Simatupang (2007), ketahanan pangan ditopang oleh “trilogi” (triad concepts), yaitu ketersediaan pangan (food avaibility), akses bahan pangan (food access), dan pemanfaatan bahan pangan (food utilization). Ketiga elemen ini yang menjadi determinan fundamental ketahanan pangan.
Ketersediaan
pangan
(food
avaibility)
mengacu
pada
ketersediaan bahan pangan secara fisik di lingkungan tempat tinggal penduduk dalam jumlah yang cukup dan yang mungkin dijangkau oleh semua penduduk. Akses pangan (food access) mengacu pada kemampuan untuk memperoleh bahan pangan yang telah tersedia tersebut baik melalui media pertukaran (pasar) maupun melalui transfer (institusional). commit to usermengacu pada proses alokasi dan Pemanfaatan pangan (food utilization)
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengolahan bahan pangan yang telah diperoleh (diakses) sehingga setiap individu memperoleh asupan pangan yang cukup. Ketiga elemen dasar ini berkaitan secara hierarkis. Ketersediaan bahan pangan merupakan syarat keharusan, namun tidak cukup untuk menjamin akses bahan pangan yang cukup (Suryana, 2008). Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi yaitu meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Situasi sistem ketahanan pangan rumah tangga dinilai dari ukuran yang dikembangkan dari berbagai indikator. Indikator yang biasa digunakan untuk menganalisis masalah kerawanan
pangan
adalah
konsumsi
energi
dan
protein
(Sukandar et all, 2006). Pada tingkat rumah tangga, ketahanan pangan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan baik di tingkat rumah tangga maupun wilayah (hasil produksi sendiri dan atau dari pembelian), dan daya beli. Daya beli rumah tangga terhadap pangan yang dibutuhkan tergantung dari tingkat pendapatan dan harga-harga pangan. Tingkat pendapatan rumah tangga tergantung dari jumlah dan produktivitas tenaga kerja, jenis pekerjaan, dan tingkat upah. Ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga untuk menghasilkan dan membeli pangan yang dibutuhkan. Selain itu karena pengertian ketahanan pangan mencakup terpenuhinya kebutuhan pangan, maka pola atau tingkat konsumsi merupakan faktor penentu tingkat ketahanan pangan rumah tangga (Rachman dan Supriyati, 2004). C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah Ketersediaan pangan pokok merupakan salah satu indikator dari ketahanan pangan rumah tangga. Pangan pokok merupakan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi oleh seseorang. Salah satu jenis pangan pokok yang sering dikonsumsi masyarakat Pulau Jawa adalah beras. Ketersediaan pangan pokok rumah tangga petani dipengaruhi oleh input commit to user pangan dan output pangan. Sifat dari input adalah menambah ketersediaan
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pangan pokok, sedangkan output adalah menguranginya. Input berasal dari produksi usahatani dan pembelian di pasar. Sedangkan output pangan dikeluarkan untuk dijual, aktivitas sosial, zakat fitrah, dan untuk diberikan kepada orang lain. Pola konsumsi pangan suatu rumah tangga petani ditentukan oleh ketersediaan pangan dalam rumah tangga tersebut. Pola konsumsi pangan akan menentukan jenis pangan apa yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Konsumsi pangan meliputi konsumsi energi dan protein. Pola konsumsi pangan akan menentukan ketahanan pangan rumah tangga petani tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan kerangka berpikir pendekatan masalah sebagai berikut : Rumah Tangga Petani Padi Sawah
Pendapatan Rumah Tangga (Usahatani dan Luar Usahatani) Input : Ketersediaan Pangan Pokok
1. Produksi Usahatani 2. Pembelian
Pola Konsumsi Pangan
Output 1. Dijual
Konsumsi Energi Konsumsi Protein
Konsumsi Pangan Rumah Tangga Petani
2. Aktivitas sosial (Hajatan dan Jimpitan) 3. Zakat fitrah
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Gambar 1. Bagan Kerangka Teori Pendekatan Masalah
commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Asumsi-Asumsi Asumsi dalam penelitian ini antara lain : 1. Responden bersifat rasional yaitu menggunakan pendapatan untuk memenuhi dan memaksimalkan kepuasan anggota keluarga. 2. Jenis dan kualitas beras yang dikonsumsi dan dijadikan persediaan di rumah dianggap sama. 3. Tidak ada beras yang tercecer/hilang pada saat proses produksi sampai pendistribusian. 4. Ukuran rumah tangga (URT) setiap anggota rumah tangga dianggap sama. 5. Pendapatan usahatani pada musim tanam I dan II dianggap sama, karena terjadi pada musim musim penghujan. 6. Pendapatan luar usahatani tiap bulan dianggap sama. E. Pembatasan Masalah 1. Ketersediaan pangan pokok dibatasi pada komoditas beras. 2. Konsumsi yang dihitung adalah makanan yang dikonsumsi oleh petani dan anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. 3. Penilaian konsumsi pangan dibatasi pada konsumsi energi dan protein. 4. Pengukuran ketersediaan pangan pokok dibatasi pada ketersediaan beras rumah tangga petani dalam jangka waktu 1 tahun. 5. Pendapatan usahatani yang diperhitungkan diperoleh dari musim tanam terakhir, yaitu musim tanam II (bulan April – Juli 2012) dan III (bulan Agustus – November 2012), kemudian dikonversikan ke dalam 1 tahun. 6. Pendapatan luar usahatani yang diperhitungkan dibatasi dalam jangka waktu 1 tahun. F. Hipotesis Hipotesis yang diusulkan dalam penelitian ini adalah : 1. Diduga pendapatan anggota rumah tangga petani berpengaruh nyata terhadap konsumsi energi anggota rumah tangga petani padi sawah di Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Diduga pendapatan anggota rumah tangga petani berpengaruh nyata terhadap konsumsi protein anggota rumah tangga petani padi sawah di Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. G. Definisi Operasional Variabel 1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan pembuatan makanan dan minuman. 2. Pangan pokok adalah pangan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi atau dikonsumsi secara teratur sebagai makanan utama, selingan, sebagai sarapan atau sebagai makanan pembuka atau penutup. 3. Ketersediaan pangan pokok adalah tersedianya beras untuk semua anggota rumah tangga, baik yang berasal dari produksi sendiri atau sumber lain yang dinyatakan dalam kg/rumahtangga/tahun kemudian dikonversikan ke dalam gram/kap/hari, dan kemudian dikonversikan lagi ke dalam satuan kkal/kap/hari. 4. Ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002). 5. Konsumsi pangan adalah jumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum penduduk/seseorang, dalam satuan gram/kap/hari untuk konsumsi protein dan dalam satuan kkal/kap/hari untuk konsumsi energi. 6. Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang biasa dimakan mencakup jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang penduduk dalam frekuensi dan jangka waktu tertentu. 7. Konsumsi energi adalah besarnya energi dari pangan yang dikonsumsi penduduk
yang
dinyatakan dalam satuan commit to user dikonversikan ke dalam satuan kkal/kap/hari.
gram/kap/hari
dan
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
8. Konsumsi protein adalah jumlah protein dari pangan, baik hewani maupun nabati, yang dikonsumsi penduduk yang dinyatakan dalam satuan gram/kap/hari dan dikonversikan ke dalam satuan gram/kap/hari. 9. Tingkat Konsumsi Energi (TKE) adalah perbandingan antara jumlah konsumsi energi dengan Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan, dinyatakan dalam %. 10. Tingkat Konsumsi Protein (TKP) adalah perbandingan antara jumlah konsumsi protein dengan Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan, dinyatakan dalam %. 11. Rumah tangga adalah adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur. 12. Rumah tangga petani padi sawah adalah rumah tangga pertanian yang salah satu atau lebih kepala/anggota rumah tangganya melakukan usaha tani padi sawah. 13. Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua orang dalam populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu : hamil dan menyusui. Dalam penelitian ini, AKG mengacu pada Widya Karya Nasional Pangan Gizi X yang diselenggarakan pada tahun 2012. 14. Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) adalah daftar yang menyajikan komposisi bahan makanan untuk menghitung besarnya zat gizi dari bahan makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga dengan cara mengkonversi kebutuhan kalori dan protein yang diperlukan. 15. Pendapatan usahatani adalah sejumlah uang atau barang yang diterima oleh rumah tangga yang berasal dari kegiatan usahatani yang dilakukan oleh kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga lain. Pendapatan diukur dengan satuan rupiah per anggota rumah tangga per bulan. commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
16. Pendapatan luar usahatani adalah sejumlah uang atau barang yang diterima oleh rumah tangga yang berasal dari usaha lain di luar usahatani misalnya buruh, PNS, pedagang, dan lain-lain. Pendapatan diukur dengan satuan rupiah per anggota rumah tangga per bulan.
commit to user