BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka ini dipilih beberapa tulisan yang berkaitan dengan pembahasan Batik Magetan seperti penelitian-penelitian terdahulu dalam bentuk skripsi. Anita Dewi Setyaningrum (2011) Skripsi berjudul Batik Pring Desa Sidomukti ( Studi Nilai Budaya dan Perkembangan Kerajinan Batik di Kabupaten Magetan). Pada penelitian ini menjelaskan tentang perkembangan batik pring sidomukti dan bagaimana usaha PEMDA Magetan dalam mempertahankan eksistensi batik pring. Joharlian Wahyunanda (2013) Skripsi berjudul Kepemimpinan Kepala Desa Dalam Meningkatkan Potensi Batik Masyarakat Desa (Studi: Di Desa Sentra Batik Sidomukti Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan). Hasil dari penelitian tersebut adalah peran Kepala Desa dalam meningkatkan potensi batik ditunjukkan dengan visi misi, motivasi, tujuan dan harapan serta keinginan. Adanya kekuasaan ketrampilan untuk merealisasikan visi yang ditunjukan dengan mengembalikan ekstitensi batik dan menstimulasi dan mentransformasi dengan memberikan fasilitas pelatihan, pencarian modal hingga hak paten. Gaya kepemimpinan kepala desa yaitu kepemimpinan partisipatif dan demokratif. Inovasi dan capaian yg dihasilkan kepala desa selama menjabat hingga memunculkan motif batik pring sedapur sebagai icon khas Kabupaten Magetan.
8
9
Astri Wulan Herdiana (2013) Skripsi berjudul Perkembangan Ragam Hias Batik Pring Sedapur Tahun 2002 - 2012 Di Dusun Papringan Desa Sidomukti Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan. Penelitian tersebut membahas kajian pada ragam hias batik pring sedapur, perkembangan, warna, potensi daerah. Perkembangan batik Pring Sedapur dipengaruhi oleh potensi yang ada di Kabupaten Magetan. Warna yang digunakan untuk dasaran banyak menggunakan warna gelap pada awalnya yang berkembang menjadi variasi. Ayu Handayani (2014) Skripsi berjudul Perkembangan Jenis Motif, Visualisasi dan Fungsi Batik Berpola “Pring” pada Kelompok Pengrajin Batik Mukti Rahayu Desa Sidomukti Kabupaten Magetan. Dalam kajian ini fokus pada pada jenis motif, visualisasi dan fungsi batik di kelompok pengrajin Mukti Rahayu. Dalam pengkajian ini pembuatan motif mulai dari 2002-2012 dibagi menjadi 2 periode. Periode pertama tahun 2002-2006 dan periode kedua tahun 2007-2012. Batik tersebut mengalami perkembangan pada ornamen motif, warna, bentuk stilasinya, dan juga kesan berdasarkan keseimbangan dan prinsip lainnya. Warna yang ditampilkan cerah dan termasuk ke dalam batik pesisir. Selain aspek keindahannya peneliti juga menganalisa fungsi dari batik tersebut. Batik ini berfungsi untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari mulai dari seragam, pakaian, taplak meja, gorden, dan souvenir. Berdasarkan penelitian diatas telah dijelaskan beberapa kajian tentang batik pring yang ada di Desa Sidomukti, maka kebaruan penelitian ini adalah pada kajian tentang Batik Magetan dimana tidak hanya membahas batik yang ada di Desa Sidomukti namun juga di daerah lain di Magetan seperti di Desa Pragak Kecamatan Parang Kabupaten Magetan. Dalam tulisan ini akan membahas latar belakang pola
10
batik Magetan, perkembangan pola batik Magetan dan visualisasi pola Batik Magetan. Dalam kajian ini dipilih beberapa literatur yang berkaitan dengan pembahasan Batik Magetan seperti mengenai pengertian batik, faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan ragam hias batik, penyusunan motif batik dan mengenai susunan raport motif batik.
1. Batik
Batik adalah sehelai wastra yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional, beragam pola batik tertentu, yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam atau lilin batik sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok: teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik. (Doellah, 2002 : 10). Secara etimologi, kata batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti lebar, luas, kain dan “titik” yang berarti titik atau matik yang kemudian berkembang dengan istilah “batik” yang berarti menghubungkan titik – titik menjadi gambar pada kain yang luas atau lebar. Dalam bahasa Jawa, “batik” ditulis dengan “bathik”, mengacu pada huruf Jawa “tha” yang menunjukkan bahwa batik adalah rangkaian dari titik – titik yang membentuk gambaran. Batik identik dengan suatu teknik (proses) dari mulai penggambaran hingga pada pelorodan. Salah sau ciri khas batik adalah cara penggambaran pada kain menggunakan proses pemalaman yaitu menggoreskan malam (lilin) dengan menggunakan canting, (Wulandari, 2011 : 4).
11
Menurut Herry Lisbijanto (2003:10-12) ada 3 jenis batik menurut cara pembuatannya, dimana masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. Jenis batik tersebut adalah: a. Batik Tulis Kain batik yang cara membuatnya, khususnya dalam membuat motif atau pola batik dengan menggunkan tangan dan alat bantu berupa canting. Setiap lembar kain batik dibuat dengan teknik ini secara telaten sehingga memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Kain batik tulis umumnya mempunyai ciri kas tidak sama persis bentuk motifnya, karena dibuat secara manual. Sehingga membuat harga kain batik tulis sangat mahal. b. Batik Cap Kain yang cara pembuatan pola dan motifnya dengan menggunakan cap atau semacam stempel yang terbuat dari tembaga. Cap tersebut menggantikan fungsi canting dalam membatik, dengan cap ini maka satu helai kain batik cap ini kurang mempunyai nilai seni. Harga kain cap lebih murah karena cara pembuatanya bisa dilakukan secara masal. c. Batik Lukis Kain batik yang proses pembuatanya dengan cara dilukis pada kain putih, dalam melukis juga menggunakan bahan malam yang kemudian diberi warna sesuai dengan kehendak seniman tersebut. Motif dan pola batik lukis ini tidak terpaku pada pakem motif batik yang ada tetapi sesuai dengan keinginan pelukis tersebut. Batik lukis ini sebenarnya merupakan pengembangan motif batik diluar batik tulis dan
12
batik cap. Harga batik lukis ini cukup mahal karena dibuat dalam jumlah yang terbatas dan mempunyai ciri ekslusif. Menurut perkembangan, batik di klasifikasikan menjadi dua yaitu batik klasik dan batik kontemporer. 1. Batik Klasik Batik klasik adalah batik yang memiliki pakem atau batasan-batasan tertentu pada ornamen maupun warnanya (Kusrianto, 2013 : 311). Keunikan batik klasik antara lain: a. Motif – motifnya merupakan suatu lambang yang mengarah pada tujuan yang baik. b. Motif – motifnya mengandung pesan ajaran hidup, doa, keselamatan dan penolak bala. Pencipta selalu memasukkan nilai-nilai spriritual dalam penciptaan pola. c. Pola tersebut diberi nama oleh penciptanya dengan nama yang penuh arti. 2. Batik Kontemporer Batik kontemporer adalah batik yang sudah mengalami pengembangan dan inovasi baru. Desain dan warna tidak terikat pada pakem tertentu menyebabkan pengerjaannya relatif mudah dan dapat di kerjakan dalam waktu singkat. Motif tidak serumit batik klasik, (Musman, Ambar, 2011 : 52).
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi Pembentukan Ragam Hias Batik
13
Ragam hias batik merupakan ekspresi yang menyatakan keadaan diri dan lingkungan penciptanya. Ragam hias dapat merupakan imajinasi perorangan maupun kelompok, sehingga menggambarkan cita-cita seseorang atau kelompok. Seperti halnya kebudayaan, ragam hias dapat mengalami perubahan. Perubahan ini dipengaruhi oleh lingkungan dan norma-norma yang berkembang, (Anas, 1997 : 5). Ragam-ragam hias batik teramat banyak jumlahnya dan hadir dalam ungkapan seni rupa yang sangat beragam baik dalam variasi bentuk maupun warna. Hal ini terjadi oleh karna perbedaan latar belakang yang mendasari pembuatan kain batik seperti letak geografis, kepercayaan, adat istiadat, tatanan sosial, gaya hidup masyarakat serta lingkungan alam setempat, (Anas, 1997 : 41 – 42). Djoemana (1986:1), ragam hias batik biasanya dipengaruhi oleh faktor-foktor sebagai berikut: a. Letak geografis daerah pembuat batik bersangkutan. b. Sifat dan tata penghidupan daerah bersangkutan. c. Kepercayaan dan adat istiadat yang ada didaerah daerah bersangkutan. d. Keadaan alam sekitar, termasuk flora dan fauna. e. Adanya kontak hubungan antar daerah pembatikan. (Djoemana, 1986 : 1) mengemukakan bahwa sebagai akibat dari letak geografis kepulauan Indonesia di jalur perdagangan di Utara ke Selatan dan dari Barat ke Timur terurama di pesisir Pulau Jawa sebelah utara sering disinggahi kapal-kapal asing. Datangnya orang-orang asing tersebut yang memicu kegiatan tukar menukar berbagai barang dari luar dengan hasil bumi Indonesia. Kebudayaan dan kesenian dari luar kemudian diserap dan disaring oleh masyarakat bumi
14
Indonesia, kemudian dipadukan dengan kebudayaan yang ada sehingga melahirkan karya-karya baru dengan keunikan, keindahan dan kepribadian sendiri. Faktor kedua dan ketiga adalah sifat tata kehidupan daerah pembatikan dan kepercayaan serta adat istiadat dari wilayah pembatikan. Seni kerajinan batik di Indonesia berkaitan erat dengan seni tradisi sosial yang berlaku di dalam suatu lingkungan masyarakat, hal tersebut terlihat dari penyajian polanya. Oleh karena itu perkembangan batik senantiasa sejalan dengan nilai tradisi dan dinamika masyarakat pendukung. Rancangan motif yang diciptakan tidak lepas dari kehidupan keagamaan dan kebudayaan bangsa, sehingga sampai saat ini batik dirasakan sebagai kebanggaan bangsa Indonesia yang bernilai adiluhung. Faktor ke empat yang mempengaruhi adalah keadaan alam sekitar termasuk flora fauna. Keadaan alam ini mencakup kondisi yang ada disekitar wilayah pembatikan seperti kondisi alam yang mendukung mata pencaharian, ataupun fauna yang menjadi ciri khas di setiap wilayah pembatikan. Faktor terakhir adalah faktor adanya kontak atau hubungan daerah sekitar, salah satu contohnya adanya kontak tersebut misalnya di daerah pesisir Madura yang masyarakatnya terkenal sebagai pelaut yang menyinggahi pelabuhan Lasem, Indramayu, dan sebagainya. Persinggahan tersebut dapat menjadi penyebab seringkali dijumpai persamaan dalam ragam hias atau warna pada batik antar daerah pembatikan, ( Djoemena, 1986 : 40). 3. Penyusunan Pola Batik Motif batik merupakan suatu dasar atau pokok dari suatu pola gambar yang merupakan pangkal atau pusat suatu rancangan gambar, sehingga makna dari tanda,
15
simbol atau lambang dibalik motif batik dapat diungkap. Motif menjadi pangkalan atau pokok dari suatu pola. Motif mengalami proses penyusunan dan diterapkan secara berulang – ulang sehingga diperoleh sebuah pola. Pola itulah yang nanti akan diterapkan pada benda lain yang nantinya menjadi sebuah ornamen, (Wulandari, 2011 : 113). Motif batik adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan. Motif batik disebut juga corak batik atau pola batik, (Susanto, 1980 : 212). Pattern atau pola dalam kamus mempunyai arti sebagai susunan gambar dan warna. Penciptaan pola batik tidak hanya terpancang pada keindahan visual saja namun perlu mengedepankan jiwa dari pola yang di ciptakan. Jiwa dari pola adalah arti- makna dari pola tersebut secara keseluruhan. Jiwa atau simbol yang terkandung dalam suatu pola sesuai dengan motif, sesuai dengan visualnya dan harus menggambarkan keindahan serta bersifat luhur, (Susanto, 1980 : 283). Menurut unsur-unsurnya, maka motif batik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu: ornamen motif batik dan isen motif batik. Ornamen motif batik dibagi menjadi dua, yaitu: Ornamen utama, merupakan suatu bentuk ragam hias yang menentukan dari pada pola tersebut. umumnya ornamen utama masing-masing mempunyai arti sehingga susunan ornamen tersebut dalam suatu motif membuat jiwa atau arti dari motif itu sendiri. Ornamen pengisi bidang atau tambahan yang umumnya tidak mempunyai arti dalam pembentukan motif dan berfungsi sebagai pengisi bidang. Isen motif adalah berupa titik-titik, garis-garis, gabungan titik dan garis yang memiliki fungsi mengisi
16
ornamen-ornamen dari motif atau mengisi bidang diantara ornamen-ornamen tersebut. (Susanto, 1980 : 212) Berdasar pada pembagian bidang letak susunan motif, maka motif batik dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu: a. Golongan pertama, motif-motif yang dapat dibagi menurut bidang - bidang geometris, ini disebut golongan geometris. Motif batik yang tergolong geometris ini, terdapat didalamnya susunan dari ragam hias geometris. Suatu ciri dari pada ragam hias geometri ini adalah motif yang mudah dibagi-bagi menjadi bagianbagian motif yang disebut satu “Raport”. Golongan geometris ini pada dasarnya digolongkan menjadi dua macam, yaitu pertama yang rapornya berbentuk seperti ilmu ukur biasa seperti bentuk-bentuk segi empat, segi empat panjang atau lingkaran, sedang yang kedua tersusun dalam garis miring, sehingga raportnya berbentuk belah ketupat. b. Golongan kedua adalah golongan non geometris, yaitu motif-motif yang tidak dapat dimasukkan geometris. Motif-motif golongan non-geometris yaitu motif semen, dan buketan - terang bulan. Motif-motif golongan non-geometris adalah tersusun dari ornamen-ornamen tumbuhan, meru, pohon hayat, binatang, burung, garuda, ular atau naga, dalam susunan tidak teratur menurut bidang geometris, meskipun dalam bidang luas akan terjadi berulang kembali susunan motif tersebut, (Susanto, 1980 : 215).
4. Susunan Raport Motif Batik
17
Penggambaran dalam penciptaan ragam hias batik perlu suatu panduan dalam mendesain pola sehingga dapat meminimalisasi keraguan dan kekeliruan dalam penyusunan pola batik. Panduan dasar tersebut adalah susunan raport motif. Raport motif merupakan bentuk laporan yang menginformasikan tentang pembagian susunan motif dalam sebuah ragam hias, dimana penyusunan raport motif dibagi menjadi empat, yaitu: a. ABCD = Repeat satu langkah ke semua arah Repeat satu langkah kesemua arah artinya bahwa raport ABCD harus disusun ke arah horisontal dan vertikal dan bergeser satu langkah. Sistim ini disebut sistim “Tubruk”.
Gambar 1. Sistem raport ABCD atau 1 langkah ke semua arah Sumber : Susanto, 1980 b. KLMN = Repeat ½ langkah kiri – kanan, 1 langkah ke depan dan ke belakang. Artinya raport KLMN harus disusun ke arah horisontal (ke kiri- ke kanan) dan bergeser satu langkah ke arah vertikal (ke depan – ke belakang) bergeser setengah langkah. Sistim ini disebut “onda-ende”.
18
Gambar 2. Sistem raport KLMN atau Repeat ½ langkah Sumber : Susanto, 1980
c. OPQR = Repeat satu langkah miring Repeat dengan sitem raport OPQR harus disusun ke arah miring ke kanan saja atau ke kiri saja dengan sistem geser 1 langkah. Sistim in disebut sistim “Parang” atau sistim miring.
Gambar 3. Sistem raport OPQR (miring) 1 langkah Sumber : Susanto, 1980 d. WXYZ = Repeat satu langkah Artinya raport WXYZ harus disusun ke arah garis miring ke kanan maupun ke arah kiri bergeser satu langkah. Sistim ini disebut sistim “Tubruk” miring, (Susanto, 1980:217 - 218).
19
Gambar 4. Sistem raport WXYZ perulangan miring 1 langkah. Sumber : Susanto, 1980
B. Kajian Teori dan Kerangka Pikir Landasan dalam menganalisis pola yang berkembang dalam Batik Magetan ini menggunakan azas-azas desain menurut pendapat Dharsono Sony Kartika. Berikut ini azas- azas desain menurut pendapat Dharsono: 1. Kesatuan (Unity) Kesatuan adalah kohesi, konsistensi, ketunggalan atau keutuhan, yang merupakan isi pokok dari komposisi. Kesatuan merupakan efek yang dicapai dalam suatu susunan atau komposisi diantara hubungan unsur pendukung karya, sehingga secara keseluruhan menampilkan kesan tanggapan secara utuh. Berhasil tidaknya pencapaian bentuk estetik suatu karya ditandai oleh menyatunya unsur - unsur estetik, yang ditentukan oleh kemampuan memadukan keseluruhan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada komposisi yang tidak utuh (Dharsono, 2004: 59).
20
2. Keseimbangan (Balance) Keseimbangan menurut Dharsono (2004: 59) adalah keadaan atau kesamaan antara kekuatan yang saling berhadapan dan menimbulkan adanya kesan seimbang secara visual ataupun secara intensitas kekaryaan. Keseimbangan adalah stabilitas atau kesan adanya daya tarik yang sama antara bagian yang satu dengan yang lain tanpa meniadakan aksentuasi/klimaks atau yang menjadi pusat perhatian pada susunan karya seni (Nursantara, 2007: 75). Balance adalah seimbang atau tidak berat sebelah. Keseimbangan bisa didapat dengan menggerombolkan atau mengelompokkan bentuk-bentuk dan warna-warna disekitar pusat sedemikian rupa sehingga akan terdapat suatu daya perhatian yang sama pada tiap-tiap sisi dan pusat tersebut (Purnomo, 2004: 55). Bobot visual ditentukan oleh ukuran, wujud, warna, tekstur, dan kehadiran semua unsur dipertimbangkan dan memperhatikan keseimbangan. Ada dua macam keseimbangan yang diperhatikan dalam penyusunan bentuk, yaitu: a.
Keseimbangan Formal (Formal Balance) Keseimbangan formal adalah keseimbangan pada dua pihak berlawanan dari
satu poros. Keseimbangan formal kebanyakan simetris secara eksak atau ulangan berbalik pada sebelah menyebelah. b. Keseimbangan Informal (Informal Balance) Keseimbangan informal adalah keseimbangan sebelah menyebelah dari susunan unsur yang menggunakan prinsip susunan ketidaksamaan atau kontras dan selalu asimetris. Keseimbangan ini mempunyai keunikan yang didasarkan atas
21
perhitungan kesan bobot visual dari unsur-unsur yang dihadirkan ataupun ukuran bentuk yang dominan. Jadi dapat disimpulkan bahwa keseimbangan yaitu persamaan bobot dari unsur-unsur karya. Secara wujud dan jumlahnya mungkin tak sama, tapi nilainya dapat seimbang. 3. Kesederhanaan (Simplicity) Kesederhanaan dalam desain pada dasarnya adalah kesederhanaan selektif dan kecermatan pengelompokan unsur-unsur artistik dalam desain. Adapun kesederhanaan ini tercakup beberapa aspek, diantaranya sebagai berikut: kesederhanaan unsur artinya unsur-unsur dalam desain atau komposisi hendaklah sederhana, sebab unsur yang terlalu rumit sering menjadi bentuk yang mencolok dan penyendiri, asing atau terlepas sehingga sulit diikat dalam kesatuan keseluruhan. Kesederhanaan struktur artinya suatu komposisi yang baik dapat dicapai melalui penerapan terstruktur yang sederhana, dalam artinya sesuai dengan pola, fungsi atau efek yang dikehendaki. Kesederhanaan teknik artinya suatu komposisi jika mungkin dapat dicapai dengan teknik yang sederhana. Kalaupun memerlukan perangkat bantu, diupayakan untuk menggunakan perangkat apa saja, bagaimanapun nilai estetik dan ekspresi sebuah komposisi, tidak ditentukan oleh kecanggihan penerapan perangkat bantu teknis yang sangat kompleks kerjanya (Ahmad Sjafi‟I dalam Dharsono, 2004: 63). 4. Aksentuasi (Emphasis) Desain yang baik mempunyai titik berat untuk menarik perhatian (center of interest). Ada berbagai cara untuk menarik perhatian kepada titik berat tersebut, yang dapat dicapai dengan melalui perulangan ukuran serta kontras antara tekstur,
22
nada warna, garis, ruang, bentuk, atau motif. Susunan beberapa unsur visual atau penggunaan ruang dan cahaya bisa menghasilkan titik perhatian pada fokus tertentu. Berbagai macam cara untuk menarik perhatian kepada titik berat suatu ruang, yaitu dengan beberapa cara. Aksentuasi melalui perulangan, misalnya kain bermotif dengan beberapa warna hijau, dan biru, didekatkan pada kain polos berwarna hijau, maka warna hijau dalam kain bermotif akan nampak lebih menonjol, dan begitupun sebaliknya pada warna biru (Dharsono, 2004: 63). Dengan demikian bahwa perulangan unsur desain dan perulangan warna dapat memberikan penekanan pada aksentuasi.
23
Kerangka Pikir
Batik
Tokoh
Magetan
Masyarakat
Pola Batik Magetan
Perkembangan Pola Batik Magetan tahun 2014 sampai sekarang Magetan
Kesatuan
Keseimbangan
Kesederhanaan
Aksentuasi
Tata Susun Pola
Gambar 5. Bagan Kerangka Pikir Keberadaan batik Magetan dipengaruhi tokoh masyarakat yang mempunyai gagasan menjadikan bambu sebagai icon pada pola batik di Magetan. Batik Magetan tidak dapat dilepaskan dari sosok Tikno yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Sidomukti. Inovasi baru yang di lakukan Tikno untuk memajukan batik yang ada di Magetan adalah dengan membuat ciri khas yaitu bambu sebagai ide pembuatan setiap pola batiknya yang berbeda dengan batik didaerah lainnya. Ide dasar bambu ini merujuk pada kondisi wilayah Magetan yang banyak di tumbuhi tanaman bambu.
24
Perkembangan pola batik Magetan semakin tampak pada tahun 2014 dengan berdirinya beberapa lokasi pembatikan baru yang secara otomatis mempengaruhi semakin berkembangnya pola batik Magetan. Perkembangan itu tampak pada bertambahnnya teknik batik yang digunakan, berkembangnya teknik pewarnaan maupun dalam penggayaan pembuatan polanya. Pola batik Magetan tersusun dari motif - motif yang merujuk pada kondisi geografis. Pola Batik Magetan kemudian akan dikaji berdasarkan azas -azas desain menurut pendapat Dharsono Sony Kartika yaitu kesatuan, keseimbangan, kesederhanaan dan aksentuasi. Kesatuan yang dimaksudkan melalui kesatuan warna, keseimbangan dalam komposisi pola, kesederhanaan unsur maupun komposisi dalam penggayaan dan aksentuasi atau pusat perhatian dari keseluruhan pola.