II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pasteurisasi dan Pendinginan Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif o
cukup rendah (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100 C) dengan tujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk, sehingga bahan pangan yang di-pasteurisasi tersebut akan mempunyai daya awet beberapa hari (seperti produk susu pasteurisasi) sampai beberapa bulan (seperti produk sari buah pasteurisasi) (Bejan dan Alan, 2003). Walaupun proses ini hanya mampu membunuh sebagian populasi mikroorganisme, namun pasteurisasi ini sering diaplikasikan terutama jika: (1) Dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang lebih tinggi akan menyebabkan terjadinya kerusakan mutu (misalnya pada susu). (2) Tujuan utama proses pemanasan hanyalah untuk membunuh mikroorganisme patogen (penyebab penyakit, misalnya pada susu) atau inaktivasi enzimenzim yang dapat merusak mutu (misalnya pada sari buah). (3) Diketahui bahwa mikroorganisme penyebab kebusukan yang utama adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap panas (misalnya khamir/ragi pada sari buah). (4) Akan digunakan cara atau metode pengawetan lainnya yang dikombinasikan dengan proses pasteurisasi, sehingga sisa mikroorganisme yang masih ada setelah proses pasteurisasi dapat dikendalikan dengan metode pengawetan tersebut (misalnya pasteurisasi dikombinasikan dengan pendinginan, penambahan gula dan/atau asam, dan lain-lain). Proses kombinasi pasteurisasi dan pengawetan lain ini di antaranya diaplikasikan dalam proses hot filling, seperti dalam proses pengolahan saus dan jem. Proses pasteurisasi secara umum dapat mengawetkan produk pangan dengan adanya inaktivasi enzim dan pembunuhan mikroorganisme yang sensitif terhadap panas (terutama khamir, kapang dan beberapa bakteri yang tidak membentuk spora), tetapi hanya sedikit menyebabkan perubahan/penurunan mutu gizi dan organoleptik. Keampuhan proses pemanasan dan peningkatan daya awet yang dihasilkan dari proses pasteurisasi ini dipengaruhi oleh karakteristik bahan
3
pangan, terutama nilai pH. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1, kondisi dan tujuan pasteurisasi dari beberapa produk pangan dapat berbeda-beda, tergantung dari pH produk. Tabel 1. Kondisi dan Tujuan Pasteurisasi dari Beberapa Produk Pangan Jenis Produk
Tujuan Utama
Tujuan
Kondisi Minimum
Pangan
Pasteurisasi
Sampingan/Ikutan
Proses Pasteurisasi
Inaktivasi enzim
Membunuh
65 C selama 30
(pektinesterase
mikroorganisme
dan
pembusuk (kapang
poligalakturonas
dan khamir)
pH < 4,5 Sari Buah
e) Bir
Membunuh
-
mikroorganisme
o
o
menit; 77 C selama o
1 menit, 88 C selama 15 detik o
65-68 C selama 20 menit (dalam botol);
pembusuk (kha-
o
72-75 C selama 1-4
mir,
menit pada tekanan
Lactobacillus
900-1000 kPa
sp.) dan sisa khamir/ragi yang ditambahkan pada proses fermentasi (Saccharomyces sp.) pH>4,5 Susu
o
Membunuh
Membunuh
63 C selama 30
mikroorganisme
mikroorganisme
menit;
patogen
pembusuk dan
(Brucella
beberapa enzim
abortis,
o
71,5 C selama 15 detik
4
Mycobacterium tuberculosis (Coxiella burnettii) Telur cair
Membunuh
64,4 C selama 2,5
mikroorganisme
mikroorganisme
menit;
pathogen
pembusuk
Salmonella sp. Es Krim
o
Membunuh
o
60 C selama 3,5 menit
Membunuh
Membunuh
mikroorganisme
mikroorganisme
patogen
pembusuk
o
65 C selama 30 o
menit; 71 C selama o
10 menit; 80 C selama 15 detik
Sumber : Hariyadi dan Feri (2008)
Peralatan pasteurisasi yang digunakan dapat berupa sistem batch atau sinambung. Dalam sistem batch, pasteurisasi menggunakan bak air panas pada suhu yang telah ditentukan, dimana bahan pangan yang akan di-pasteurisasi dicelupkan ke dalam air panas tersebut selama selang waktu yang telah ditentukan (Gambar 1). Jika pemanasan telah tercapai, maka produk tersebut diangkat dan kemudian dicelupkan ke dalam bak lain yang berisi air dingin. Proses pasteurisasi dalam sistem sinambung menggunakan konveyor yang secara sinambung akan mentransportasikan produk masuk melalui bak air panas dan akhirnya melalui bak air pendingin (Gambar 2). Waktu pemanasan dapat dikendalikan dengan mengendalikan kecepatan konveyor. Disain alat pasteurisasi kontinyu adalah berupa suatu terowongan yang dapat dibagi menjadi 3 bagian utama, dimana pada masing-masing bagian dilengkapi dengan penyemprot (sprayer ataupun atomizer) yang akan menyemprotkan air panas atau air dingin. Selain menggunakan air panas, terowongan pasteurisasi dapat menggunakan uap panas sebagai medium pemanas. Keuntungannya adalah bahwa proses pemanasan akan berjalan lebih cepat, sehingga tidak memerlukan ruangan yang terlalu besar.
5
Proses pasteurisasi yang dilakukan sebelum dikemas dapat menerapkan sistem sinambung. Teknologi ini terutama digunakan memproses produk cair (susu, sari buah, telur cair, dll) ataupun produk semi padat (pasta, yoghurt, bubur, dll), dimana proses pemanasannya dapat dilakukan dengan alat penukar panas (heat exchanger) yang umumnya beroperasi secara sinambung/kontinyu. Beberapa produk memerlukan perlakuan aerasi (misalnya sari buah dan produk anggur/wine) untuk mencegah kerusakan oksidatif. Karena itu sebelum proses pasteurisasi, produk demikian biasanya disemprotkan ke dalam ruangan vakum sehingga udara terlarut akan terhisap oleh pompa vakum.
Gambar 1. Bak Pasteurizer untuk Proses Pasteurisasi Sistem Bak
Gambar 2. Terowongan Pasteurisasi
6
B. Titik Terdingin Selama proses pasteurisasi atau sterilisasi berlangsung, akan terjadi perubahan suhu retort terhadap waktu yang dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu (a) fase pemanasan (heating), dimana suhu retort meningkat sehingga tercapai suhu yang diinginkan; (b) fase holding, yaitu mempertahankan suhu retort pada suhu proses yang diinginkan; dan (c) fase pendinginan (pendingin), yaitu menurunkan suhu retort pada suhu tertentu. Pola perubahan suhu terhadap waktu tersebut dapat diilustrasikan pada Gambar 3. Pada kenyataannya, suhu bahan pangan di dalam retort akan mencapai suhu yang lebih rendah dibandingkan suhu retortnya (TR), karena panas harus berpenetrasi ke wadah dan mencapai titik terdinginnya. Gambar 4 menunjukkan profil suhu retort (TR) dan suhu kaleng (TC). Suhu retort berangsur meningkat o
hingga mencapai suhu yang diinginkan, yaitu 250 F. Setelah mencapai suhu tersebut, suhu retort dipertahankan selama beberapa waktu (holding), kemudian didinginkan (pendingin). Suhu kaleng pun meningkat selama proses pemanasan, tetapi selalu lebih rendah dibanding suhu retortnya (pada waktu tertentu akan mendekati suhu retort).
Gambar 3. Perubahan Suhu Retort Terhadap Waktu Selama Proses Termal (Richardson, 2000) Keterangan : t = waktu IT = suhu awal (suhu awal produk sebelum di-pasteurisasi)
7
tc = waktu antara dimulainya pemanasan sampai mencapai suhu pasteurizer yang diinginkan dan biasanya disebut dengan CUT tp = waktu dari berakhirnya tc sampai dengan waktu akhir pemanasan T = Suhu pada waktu tertentu TC = Suhu ditengah kontainer (kemasan) yang disebut dengan coldest point (suhu terendah dan diberi istilah CP) TR = Suhu retort dalam hal ini suhu pasteurizer
Gambar 4. Perubahan Suhu Bahan (Kaleng) Terhadap Suhu Retort (Richardson , 2000) Data penetrasi panas diperlukan untuk menentukan kurva hubungan antara suhu bahan terhadap waktu selama proses termal, mulai dari tahap pemanasan, holding hingga pendinginan, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3. Pengukuran data penetrasi panas dilakukan dengan menggunakan termokopel yang dipasang pada titik terdingin dari kemasan dan dihubungkan dengan rekorder
8
yang akan mencatat data perubahan suhu terhadap waktu. Titik terdingin atau the coldest point (CP) dari kemasan adalah titik dari bagian kemasan yang paling lambat menerima panas selama proses termal. Pengukuran penetrasi panas dilakukan pada bagian retort yang paling lambat menerima panas, yaitu ditentukan dengan cara mengukur distribusi panas. Gambar 4 menunjukkan profil distribusi panas di titik-titik tertentu di dalam retort. Titik terdingin dari retort adalah yang paling lambat menerima panas. Dalam grafik tersebut, termokopel di titik no. 10 yang paling lambat menerima panas.
Gambar 5. Profil data penetrasi panas. Termokopel pada titik ke-10 (T10) adalah yang paling lambat menerima panas (Hariyadi dan Feri, 2008) Titik terdingin menjadi perhatian penting dalam proses termal, karena apabila titik terdingin telah mendapat pemanasan yang mencukup, maka titik-titik lain dalam kemasan dianggap sudah mendapat panas yang mencukupi pula. Penentuan titik terdingin produk dapat diperkirakan dari sifat perambatan panas yang terjadi, bentuk kemasan dan ukuran headspace. Menurut Richardson (2000) perambatan panas dengan konduksi dengan bentuk kaleng silindris serta headspace yang minimal maka titik terdingin akan terdapat di tengah kaleng. Jika headspace-nya diperbesar maka titik terdingin akan mendekati permukaan (tutup kaleng). Sedangkan perambatan konveksi pada kemasan kaleng dengan bentuk silindris vertikal akan memberikan titik terdingin di bagian dasar kemasan. Untuk produk yang dikemas dengan pengemas yang mempunyai bentuk dan bahan lain
9
maka posisi titik terdinginnya harus dicari dengan cara mengukur kecepatan panas pada seluruh daerah dalam kemasan dan ada pencatatan data yang dilakukan dapat diketahui titik mana yang merupakan titik terdingin. Gambar 5 memperlihatkan titik terdingin dari kaleng silinder dan posisi termokopel yang dipasang pada titik terdingin tersebut. Gambar 6 mengilustrasikan pemasangan termokopel dalam pengumpulan data penetrasi panas di dalam sistem bak pemanas. Dalam mengukur data penetrasi panas, terdapat faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebagai berikut: (1) Formulasi, variasi berat ingredien harus konstan (termasuk didalamnya ukuran, bentuk dan berat produk padat, viskositas produk cair, penambahan beberapa ingredien seperti garam), perubahan formulasi akan menyebabkan perubahan penetrasi panas. (2) Kemasan, yaitu bahan dasar pengemas seperti kaleng, gelas jar, cup plastik dll harus dicatat. (3) Metode pengisian, suhu pengisian produk harus dikontrol sebab akan mempengaruhi suhu awal. (4) Penutupan dan sealer, penutupan harus dilakukan sebaik dan sekuat mungkin agar kondisi hermetis dapat dijaga selama proses termal. (5) Sistem retort (sistem pemanas) yang digunakan.
Perambatan Panas Konduksi
Perambatan Panas Konveksi
Gambar 6. Titik terdingin dari produk
10
C. Proses Pembuatan Minuman di PT. Triteguh Manunggal Sejati Adapun bagan alir proses pembuatan minuman di PT. Triteguh Manunggal Sejati ialah : Mixing/Cooking
Filling
Pemanasan
Pra-pendingin
Pendingin
Packaging Gambar 7. Bagan Alir Pembuatan Minuman 1. Mixing/Cooking Bertujuan untuk mencampur dan memanaskan bahan – bahan yang diperlukan. Suhu output produk sekitar 850C 2. Filling Bertujuan untuk mencampur bahan-bahan yang ada dengan komposisi tertentu. Bahan-bahan dari mixing/cooking dialirkan ke filling secara gravitasi. Produk sudah dalam kemasan cup setelah melalui proses filling. Suhu output produk sekitar 600C. 3. Pemanasan Bertujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme yang berada dalam produk. Suhu output produk sekitar 820C. Pemanasan dilakukan
11
secara continius, produk dari proses filling masuk ke proses pasteurisasi melalui konveyor. Pemanasan menggunakan steam yang dialirkan melalui pipa yang berada di bawah konveyor ke bak pasteurisasi. Sebelum steam dialirkan, terlebih dahulu bak pasteurisasi diisi dengan air biasa. Panjang bak pasteurisasi 12 m, lebar 1.5 m dan lama proses 3.5 – 7 menit. Suhu output sebesar 820C. 4. Pra-pendingin. Bertujuan untuk menurunkan suhu produk setelah melewati proses pasteurisasi. Pendinginan dilakukan dengan menggunakan air bersuhu ruangan (± 300C) yang dialirkan melalui pipa di atas konveyor. Panjang bak pra-pendingin sebesar 6 m dengan lebar 1.5 m. lama proses prapendingin 3 – 6 menit. 5. Pendingin Bertujuan untuk menurunkan suhu produk setelah melewati proses prapendingin. Pendinginan dilakukan dengan menggunakan air dingin (suhu ±200C) yang dialirkan melalui pipa di atas konveyor. Panjang bak pendingin sebesar 6 m dengan lebar 1.5 m. proses pra-pendingin dan pendingin berlangsung selama 4.5 – 8 menit. 6. Packaging Bertujuan untuk mengemas produk yang telah melewati proses pendingin.
12