BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Elemen Dasar Proses Pemesinan Berdasarkan gambar teknik, dimana dinyatakan spesifikasi geometrik suatu produk komponen mesin harus dipilih sebagai suatu proses atau urutan proses yang digunakan untuk membuatnya. Bagi suatu tingkatan proses, ukuran objektif ditentukan dan pahat harus membuang sebagian material benda kerja sampai ukuran objektif itu dicapai. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara menentukan penampang geram (sebelum terpotong). Selain itu, setelah berbagai aspek teknologi ditinjau, kecepatan pembuangan geram dapat dipilih supaya waktu pemotongan sesuai dengan yang dikehendaki. Pekerjaan ini akan ditemui dalam setiap perencanaan proses pemesinan. Untuk itu perlu dipahami lima elemen dasar proses pemesinan yaitu : 1.
Laju pemotongan (cutting speed)
: v (m/min)
2.
Laju pemakanan (feeding speed)
: v f (mm/min)
3.
Kedalaman potong (depth of cut)
: a (mm)
4.
Waktu pemotongan (cutting time)
: t c (min)
5.
Kadar pembuangan material : Z (dm 3 /min)
(rate of metal removal)
Elemen proses pemesinan tersebut (v, v f , a, t c , Z) dihitung berdasarkan dimensi benda kerja dan/atau pahat serta besaran dari mesin perkakas. Oleh sebab itu rumus yang dipakai dalam setiap proses pemesinan bisa berlainan. Karena
5
Universitas Sumatera Utara
dalam penelitian ini penulis menggunakan mesin bubut (turning) maka yang akan dibahas dalam bab ini hanya mengenai elemen dasar proses pemesinan dari mesin bubut (turning). Elemen dasar dari proses bubut (turning) dapat diketahui atau dihitung dengan menggunakan rumus yang dapat diturunkan dengan memperhatikan Gambar 2.8. Kondisi pemotongan ditentukan sebagi berikut : Benda Kerja :
Pahat
:
Mesin Bubut :
d0
= diameter luar ; mm
dm
= diameter dalam ; mm
lt
= panjang pemesinan ; mm
κr
= sudut potong utama ;
γ0
= sudut geram ;
a
= kedalaman potong; mm = (d 0 - d m )/2
0
0
; mm, ….…………….(2.1)
f
= gerak makan ; mm/(r)
n
= putaran poros utama (benda kerja ; (r)/min
6
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Proses Bubut
(Sumber : Rochim, 1993)
Dari Gambar 2.1 diatas, terlihat bahwa proses bubut tersebut menggunakan suatu proses pemotongan miring (oblique cutting) yaitu suatu sistem pemotongan dengan gerakan relatif antara pahat dan benda kerja membentuk sudut potong utama (κr) selain 90º. Kecepatan makan (vf) dihasilkan oleh pergerakan dari pahat ke benda kerja. Elemen dasar dapat dihitung dengan rumus-rumus berikut : 1. Laju pemotongan : v=
π.d.n ; m/min, ………………………….(2.2) 1000
dimana : v = Kecepatan potong ; m/min d = Diameter rata-rata, yaitu : d = (d 0 + d m ) /2 = d 0 ; mm, ………….………………….(2.3) n = Putaran poros utama ; rpm Kecepatan potong maksimal yang diijinkan tergantung pada : a. Bahan benda kerja
: makin tinggi kekuatan bahan, makin rendah
kecepatan potong.
7
Universitas Sumatera Utara
b. Bahan pahat
: Pahat Karbida memungkinkan kecepatan yang lebih tinggi
daripada pahat HSS. c. Besaran asutan : Makin besar asutan, makin kecil kecepatan potong. d. Dalamnya pemotongan : makin besar dalamnya pemotongan, makin kecil kecepatan potong. 2. Laju pemakanan : vf = f . n
; mm/min ……….…………..(2.4)
dimana : v f = kecepatan makan
; mm/min
f
; mm/(r)
= gerak makan
n = putaran poros utama (benda kerja) ; rpm 3. Waktu pemotongan : tc = lt / vf
; min ……….………………..(2.5)
dimana : t c = waktu pemotongan
; min
l t = panjang pemesinan
; mm
v f = kecepatan makan
; mm/min
4. Kecepatan penghasilan geram : Z = A . v …...………………………………(2.6) Dimana, penampang geram sebelum terpotong A = f . a ;mm 2 , Maka : Z =f.a.v
; dm 3 / min ……..….………...(2.7)
Dimana :
8
Universitas Sumatera Utara
Z = kecepatan penghasilan geram ; dm 3 / min f = gerak makan ; mm/(r) a = kedalaman potong ; mm v = kecepatan potong ; m/min Pada Gambar 2.9 diperlihatkan sudut potong utama (κr, principal cutting edge angle) yaitu merupakan sudut antara mata potong mayor dengan kecepatan makan vf. Besarnya sudut tersebut ditentukan oleh geometri pahat dan cara pemasangan pahat pada mesin perkakas (orientasi pemasangannya). Untuk harga a dan f yang tetap maka sudut ini menentukan besarnya lebar pemotongan. (b, widh of cut) dan tebal geram sebelum terpotong (h, underformed chip thicknes) sebagai berikut: a. Lebar pemotongan
:
b = a / sin κr
b. Tebal geram sebelum terpotong
; mm, …..……………(2.8)
:
h = f sin Kr
; mm, …...……………(2.9)
Dengan demikian penampang geram sebelum terpotong dapat dituliskan sebagai berikut : A=f.a =b.h
;mm 2 …………(2.10)
Perlu dicatat bahwa tebal geram sebelum terpotong (h) belum tentu sama dengan tebal geram (hc, chip thicknes) dan hal ini antara lain dipengaruhi oleh sudut geram, kecepatan potong dan material benda kerja.
2.2 Proses Pembuangan Bahan (Metal Removal Process) Ada
banyak
ragam
operasi
pembuangan
bahan/material
yang
menggunakan geometri pahat yang berbeda dan hubungan kinematik antara kerja
9
Universitas Sumatera Utara
dan pahat. Beberapa operasi pembuangan material yang utama adalah sebagai berikut : 1. Proses turning menghasilkan permukaan silinder 2. Proses milling menghasilkan permukaan yang datar dan permukaan dengan geometri
yang kompleks
3. Proses boring, drilling, reaming menghasilkan bentuk lubang Bahan yang terbuang dapat diasumsikan sebagai geram. Geram yang terbentuk pada proses pemesinan, awalnya diperkirakan terbentuk karena adanya retak mikro (micro track) yang timbul pada benda kerja tepat diujung pahat pada saat pemotongan dimulai. Dengan bertambahnya tekanan pahat, retak tersebut menjalar kedepan sehingga terjadilah geram, lihat gambar 2.2.
Gambar 2.2 Teori tradisional (awal) yang menerangkan terjadinya geram (Sumber : Rochim, 1993)
Berkat hasil berbagai penelitian, anggapan mengenai pembentukan geram ini sekarang sudah ditinggalkan. Logam yang pada umumnya bersifat ulet (duktile) apabila mendapat tekanan akan timbul tegangan (stress) didaerah disekitar konsentrasi gaya penekanan mata potong pahat. Tegangan pada logam
10
Universitas Sumatera Utara
(benda kerja) tersebut mempunyai orientasi yang kompleks dan pada salah satu arah akan terjadi tegangan geser (shearing stress) yang maksimum. Apabila tegangan geser ini melebihi kekuatan logam yang akan terjadi deformasi plastik (perubahan bentuk) yang menggeser dan memutuskan benda kerja diujung pahat pada suatu bidang geser (shear plane). Bidang geser mempunyai lokasi tertentu yang membuat sudut terhadap vektor kecepatan potong dan dinamakan sudut geser (shear angle, Φ), lihat Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Teori modern (yang dianut) yang menerangkan terjadinya geram (Sumber : Rochim, 1993)
2.2.1 Komponen Gaya Pembentukan Geram Suatu analisis mekanisme pembentukan geram yang dikemukakan oleh Merchant
mendasarkan teorinya atas model pemotongan sistem tegak
(Orthogonal System). Sistem gaya yang bekerja pada proses pemotongan logam dipandang hanya pada satu bidang (bukan ruang) maka gaya total yang bekerja dapat diuraikan menjadi dua komponen gaya yang saling tegak lurus. Tergantung pada cara penguraian dalam hal ini dapat dikemukakan tiga cara yaitu, 1.
Gaya total (F), ditinjau dari proses deformasi material, dapat diuraikan menjadi dua komponen yaitu,
11
Universitas Sumatera Utara
a. Gaya geser (Fs) yang mendeformasikan material pada bidang geser sehingga melampaui batas elastik. b. Gaya normal pada bidang geser (Fsn) yang menyebabkan pahat tetap menempel pada benda kerja. 2.
Gaya total (F) dapat diketahui arah dan besarnya dengan cara membuat dinamometer (alat ukur gaya dimana pahat dipasang padanya dan alat tersebut dipasang pada mesin perkakas) yang
mengukur dua
komponen gaya yaitu, a. Gaya potong (Fv), searah dengan laju potong. b. Gaya makan (Ff), searah dengan laju makan. 3.
Gaya total (F) yang bereaksi pada bidang geram (Aγ, face, bidang pada pahat dimana geram mengalir) diuraikan menjadi dua komponen untuk menentukan ‘koefisien gesek geram terhadap pahat’ yaitu, a. Gaya gesek (Fγ) pada bidang geram. b. Gaya normal (Fγn) pada bidang geram. Oleh karena berasal dari satu gaya yang sama, gaya-gaya tersebut dapat
dilukiskan pada suatu lingkaran dengan diameter yang sama dengan gaya total (F), atau biasa disebut sebagai lingkaran Merchant’s seperti diperlihatkan pada Gambar 2.4. Lingkaran yang diciptakan oleh M. Eugene Merchant tersebut digambarkan persis diujung pahat sedemikian rupa sehingga semua komponen menempati lokasi seperti yang dimaksud.
12
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Lingkaran Merchant’s (Sumber : Rochim, 1993) Gambar 2.4. merupakan gambaran sistem gaya pada pemotongan orthogonal dan dalam prakteknya dapat dilakukan dengan pendekatan menggunakan pahat dengan sudut κr = 90o dan Sudut λs = 0o (sudut miring, inclination angle) dengan kecepatan potong yang jauh lebih tinggi daripada kecepatan makan. Berdasarkan analisis geometrik dari lingkaran gaya (Merchant) dapat diturunkan rumus dasar gaya potong Fv. Dari, Fv = F cos ( η − γ 0 ) , dan
Fs = F cos (Φ + η - γ 0 )
…………….(2.11)
Fs cos(η − γ 0 ) cos(Φ + η − γ 0 )
……….......(2.12)
Maka, Fv =
13
Universitas Sumatera Utara
Gaya geser Fs dapat digantikan dengan penampang bidang geser dan tegangan geser yang terjadi padanya yaitu : Fs = Ashi . τshi ; N
..…………....(2.13)
Dimana : Ashi = Penampang bidang geser, = A / sin Φ ;mm2 A
= penampang geram sebelum terpotong = b. h ; mm2
τshi = tegangan geser pada bidang geser,
; N/mm2
Dengan demikian rumus gaya potong adalah : Fv = τshi.b.h
cos(η − γ 0 ) ;N sin Φ cos(Φ + η − γ 0 )
.……(2.14)
Dari persamaan (2.14) dapat disimpulkan beberapa variabel yang mempengaruhi gaya pemotongan sebagai berikut : 1. Tegangan geser menentukan besarnya gaya potong maka kekuatan benda kerja merupakan faktor penentu dalam proses pemesinan. Dalam praktek telah diketahui bahwa untuk kondisi pemotongan yang sama maka gaya potong bagi benda kerja Aluminium lebih rendah daripada gaya potong bagi benda kerja baja. 2. Semakin besar penampang geram, gaya potong akan semakin besar. 3. Sudut geram, sudut geser dan sudut gesek (ditentukan oleh koefisien gesek µ) menentukan besarnya gaya potong.
14
Universitas Sumatera Utara
Untuk menentukan besar gaya gesek dan gaya normal pada bidang geram (Fγ dan Fγn) dapat diturunkan dari gaya potong dan gaya makan (Fv dan Ff), yaitu : Fγ = Ff cos γ0 + Fv sin γ0 , dan Fγn = Fv cos γ0 – Ff sin γ0
…….....(2.15)
dimana ; Ff = gaya makan ; N (0.5 s.d 0.75 Fv tergantung pada kondisi pemotongan) γ0
=
sudut geram
Sehingga dari hasil tersebut, dapat diperoleh harga koefisien gesek :
µ = tanη =
Fγ Fγ n
=
F f + Fv tan γ 0
……………(2.16)
Fv − F f tan γ 0
dimana : η = sudut gesek Berdasarkan persamaan (2.6) tersebut diatas, dinyatakan bahwa koefisien gesek dipengaruhi oleh sudut geram. Tetapi rumus tersebut tidak menyatakan bahwa dengan mengubah sudut geram gaya potong dan gaya makan tidak berubah. Dalam kenyataan, gaya potong dan gaya makan berubah dengan berubahnya sudut geram dan hal ini disebabkan oleh perubahan sudut geser Ф. 2.2.2 Sudut Geser dan Rasio Pemampatan Tebal Geram Dari persamaan (2.4), dikarenakan gaya potong (Fv) merupakan fungsi dari sudut geser (Ф) maka sudut geser maksimum dapat dicari dengan cara deferensiasi dan hasilnya disamakan dengan nol, ∂Fv =0 ∂Φ
.……………………(2.17)
cos Ф cos (Ф + η – γ0) - sin Ф sin (Ф + η – γ0) =0 cos (2Ф + η - γ0) = 0
15
Universitas Sumatera Utara
yang berarti: 2 Ф + η - γ0 = 90º
……………………(2.18)
maka ; Ф = 45º +
γ0 2
−
η 2
……….……………(2.19)
Berdasarkan logika, dari persamaan (2.19) diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa: Sudut geser Ф ditentukan oleh sudut geram γ0. Semakin besar sudut geram
1.
maka sudut geser akan membesar dan menyebabkan penurunan bidang luas bidang geser (lihat Gambar 2.3) sehingga menurunkan gaya potong. 2.
Koefisien gesek tidak mungkin sama dengan nol. Dengan demikian, berdasarkan analisis geometrik gaya (lingkaran Merchant) maka sudut geser tidak mungkin melebihi suatu harga yaitu, Ф < 45º +
γ0 2
Tebal geram sebelum terpotong h hanya mungkin sama besar dengan tebal geram hc bila, Ф = 45º +
γ0 2
Oleh sebab itu, berdasarkan hal diatas dan kenyataan dalam praktek maka, hc > h sehingga seolah-olah geram dimampatkan, yang biasa disebut dengan Rasio Pemampatan Tebal Geram yang merupakan perbandingan antara tebal geram dengan tebal geram sebelum terpotong. Atau dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
16
Universitas Sumatera Utara
λh =
hc >1 h
…………………..(2.20)
λh =
hc cos(Φ − γ 0 ) = h sin Φ
....………………..(2.21)
maka,
Dari rumus diatas, dapat dicari harga sudut geser Ф berdasarkan pengukuran λ
h,
yaitu ; tan Ф =
cos γ 0 λh − sin γ 0
………..………...(2.22)
Secara grafis Gambar 2.5 di bawah menunjukkan hubungan antara sudut geser Ф sebagai fungsi rasio pemampatan tebal geram λ
h
untuk sudut geram
λ γ0 = 20º, 0º, dan -20º. Dari gambar berikut terlihat bahwa untuk
h
yang besar
perbedaan γ0 tidak mempunyai arti terhadap sudut geser Ф.
Gambar 2.5 Sudut geser Ф sebagai fungsi dari rasio pemampatan tebal geramλ h (Sumber : Rochim, 1993) Jika sudut geram telah ditetapkan, maka sudut geser dapat dihitung dengan mengukur rasio pemampatan tebal geram. Akan tetapi tebal geram tak dapat diukur secara langsung tanpa mengakibatkan kesalahan pengukuran sebab,
17
Universitas Sumatera Utara
a.
Permukaan geram relatif kasar, dan
b.
Geram tidak lurus karena dalam kenyataan bidang geser tidak lurus melainkan melengkung yang diakibatkan oleh distribusi tegangan geser yang tidak merata
Dikarenakan adanya pemampatan tebal geram, maka kecepatan aliran geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong. Gambar 2.6 menunjukkan kecepatan aliran geram (vc) dan kecepatan potong (v).
Gambar 2.6 Arah kecepatan geser (vs), kecepatan aliran geram (vc) dan kecepatan potong (v) (Sumber : Rochim, 1993) Dari Gambar 2.6 diatas, arah kecepatan geser (vs) ditentukan oleh kecepatan aliran geram (vc) dan kecepatan potong (v). Berdasarkan aturan/kaidah tangan kanan, dari Gambar 2.5 arah pergerakan mata pahat (vf) searah pada sumbu x, dan kecepatan potong (v) yang terbentuk terletak pada sumbu z. Kecepatan geser (vs) akan lebih tinggi daripada kecepatan potong (v) untuk sudut geram γ0 negatif (Rochim, 1993). Sehingga berdasarkan polygon kecepatan tersebut maka dapat dirumuskan sebagai berikut : vc =
v sin Φ v sin Φ = cos(γ 0 − Φ ) cos(Φ − γ 0 )
18
………..(2.23)
Universitas Sumatera Utara
dimana : vc = kecepatan aliran geram v = kecepatan potong cos(Φ − γ 0 ) ; sin Φ
λh =
(persamaan 2.21)
maka, vc =
v
…………………...(2.24)
λh
Karena λh > 1 maka kecepatan geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong. Selanjutnya kecepatan geser dapat diketahui dari poligon yaitu ;
vs =
vc cos γ 0 , sin Φ
……………………(2.25)
vs =
v cos γ 0 cos(Φ − γ 0 )
…………………….(2.26)
19
Universitas Sumatera Utara
2.3 Pemotongan Orthogonal
Gambar 2.7 Proses pemotongan orthogonal (Sumber : Rochim, 1993) Analisis mekanisme pembentukan geram tersebut dikemukakan oleh Merchant berdasarkan teorinya atas model pemotongan sistem tegak (orthogonal system). Sistem pemotongan tegak merupakan penyederhanaan dari sistem pemotongan miring (oblique system) dimana gaya diuraikan menjadi komponen gaya yang bekerja pada suatu bidang. Pemotongan tegak (Orthogonal cutting) merupakan suatu sistem pemotongan dengan gerakan relatif antara mata pahat dan benda kerja membentuk sudut potong tepat 90º atau yang dinamakan dengan sudut potong utama (κr), dan besarnya lebar mata pahat lebih besar dari lebar benda kerja yang akan dipotong. Menurut Rochim (1993), sudut potong utama (κr) mempunyai peran antara lain : 1.
Menentukan lebar dan tebal geram sebelum terpotong (b dan h)
2.
Menentukan panjang mata potong yang aktif atau panjang kontak antara geram dengan bidang pahat, dan
3.
Menentukan besarnya gaya. Untuk kedalaman potong a dan gerak makan f yang tetap, maka dengan
20
Universitas Sumatera Utara
memperkecil sudut potong utama (κr) akan menurunkan tebal geram sebelum terpotong h dan menaikkan lebar geram b. Akan tetapi, pemakaian sudut potong utama yang kecil tidak selalu menguntungkan sebab akan menaikkan gaya radial Fx. Gaya radial yang besar mungkin menyebabkan lenturan yang terlalu besar ataupun getaran (chatter) sehingga menurunkan ketelitian geometrik produk dan hasil pemotongan terlalu kasar. Tergantung pada kekakuan (stiffness) benda kerja dan pahat serta metode pencekaman benda kerja serta geometri benda kerja. Sudut geram mempengaruhi proses pembentukan geram pada proses pemotongan orthogonal. Untuk suatu kecepatan potong tertentu, sudut geram yang besar akan menurunkan rasio pemampatan tebal geram (λh) yang mengakibatkan kenaikan sudut geser (Ф). Jenis material benda kerja juga akan mempengaruhi pemilihan sudut geram. Pada prinsipnya, untuk material yang lunak dan ulet (soft & ductile) memerlukan sudut geram yang besar untuk mempermudah proses pembentukan geram, sebaliknya bagi material yang keras dan rapuh (hard & brittle) memerlukan sudut geram yang kecil atau negatif untuk memperkuat pahat.
2.4 Analisis Teoritik Umur Pahat Kerja/energi mekanik dalam proses pemotongan yang bebas getaran seluruhnya diubah menjadi panas/kalor. Energi mekanik per satuan waktu atau daya mekanik yang diubah menjadi energi panas persatuan waktu tersebut dapat dituliskan sebagai berikut : Qt = Qsh + Qγ + Qα ;W ..……………(2.27)
21
Universitas Sumatera Utara
dimana, Qt = Panas total yang dihasilkan perdetik Qsh =
Fv .v ; J s atau W ……...…………(2.28) 60
Qsh = panas yang dihasilkan perdetik pada bidang geser,
Qγ =
Fs .vs ; J s atau W ………..….………(2.29) 60
Qγ = Panas yang dihasilkan perdetik pada bidang geram,
Qα =
Fγ .vc 60
; J s atau W .….……………...(2.30)
Qα = Panas yang dihasilkan perdetik pada bidang utama Berdasarkan hasil penelitian pada berbagai kondisi pemotongan, prosentase panas yang dihasilkan pada bidang geser, bidang geram dan bidang utama masing-masing berkisar diantara harga 80%, 18% dan 2%. Panas tersebut sebagian akan terbawa geram, sebagian mengalir menuju ke pahat dan benda kerja dengan prosentase sebagai berikut : Qt = Qc + Qs + Qw ;W ………………………(2.31) dimana, Qc =
panas yang terbawa oleh geram dengan prosentase sekitar 75%,
Qs =
panas yang merambat melalui pahat dengan prosentase sekitar 20%
Qw =
panas yang merambat melalui benda kerja dengan prosentase sekitar 5%
Semakin tinggi kecepatan potong semakin besar prosentase panas yang terbawa oleh geram. Panas total yang ditimbulkan permenit dapat dihitung dari rumus berikut :
22
Universitas Sumatera Utara
Qt = k s . A.v ; J / min, ……………………….(2.32) dimana, ks . A = Fv = gaya potong ; N ks
= gaya potong spesifik ; N/mm2
A
= penampang geram ; mm2
v
= laju pemotongan ; m/min
Panas yang terbawa oleh geram adalah : Qc = ∆θ c .W .cw ; J / min ……………………..(2.33) dimana, ∆θ c
= kenaikan temperatur geram; oK.
W
= berat geram yang terbentuk permenit; g/min = Z .ρ w = A.v.ρ w
Z
= kecepatan pembentukan geram; dm3/min
ρw
= berat spesifik material (benda kerja); g/dm3
cw
= panas spesifik benda kerja ; J/(g.K) Apabila ηq menyatakan rasio panas yang dibuang oleh geram terhadap
panas total yang dihasilkan proses pemotongan, maka :
ηq =
Qc ∆θ c . A.v.ρ w .cw …………………………..(2.34) = Qt k s . A.v
ηq =
∆θ c .ρ w .cw ∆θ c .cvw ………………………….(2.35) = ks ks
dimana, cvw = panas spesifik volumetric benda kerja; J/(cm3 K). Dengan demikian temperatur geram relatif terhadap temperatur bneda kerja paling tinggi hanya akan mencapai :
23
Universitas Sumatera Utara
∆θ c =
ks o ; C …………………………..….(2.36) cvw
yaitu bila harga ηq mencapai satu (umumnya berharga 70% s.d. 75%). Persamaan di atas menyatakan bahwa benda kerja mempunyai gaya potong spesifik yang rendah serta panas spesifik volumetrik yang tinggi akan mneghasilkan temperatur geram yang relatif rendah. Meskipun prosentase panas yang terbawa geram sangat tinggi tidaklah berarti bahwa temperatur geram mnejadi lebih tinggi daripada temperatur pahat. Panas mengalir bersama-sama geram yang selalu terbentuk dengan kecepatan tertentu, sedangkan panas yang merambat melalui pahat terjadi sebagai proses konduksi panas yang dipengaruhi oleh konduktivitas panas material pahat serta penampang pahat yang relatif kecil. Dengan demikian temperatur rata-rata pahat akan lebih tinggi (kurang lebih dua kalinya) daripada temperatur rata-rata geram. Gambar di bawah akan menunjukkan temperatur pahat (pada bidang geram yang ‘bergesekan’ dengan geram), temperatur rata-rata geram, serta temperatur benda kerja, sebagai fungsi dari laju pemotongan dalam proses mengefreis.
Gambar 2.8 Garis-garis isoterm pada geram dan pahat sewaktu proses pemotongan berlangsung.
24
Universitas Sumatera Utara
Hampir seluruh energi pemotongan diubah menjadi panas melalui proses gesekan, antara geram dengan pahat dan antara pahat dengan benda kerja, serta proses perusakan molukuler atau ikatan atom pada bidang geser (shear plane). Panas ini sebagian besar terbawa oleh geram, sebagian merambat melalui pahat dan sisanya mengalir melalui benda kerja menuju ke sekeliling. Panas yang timbul tersebut cukup besar dan karena luas bidang kontak relatif kecil maka temperatur pahat, terutama bidang geram dan bidang utamanya, akan sangat tinggi. Karena tekanan yang besar akibat gaya pemotongan dan temperatur yang tinggi maka permukaan aktif dari pahat akan mengalami keausan. Keausan tersebut makin lama makin membesar yang selain memperlemah pahat juga akan memperbesar gaya pemotongan sehingga dapat menimbulkan kerusakan fatal. Analisis
dimensional
banyak
digunakan
secara
intensif
dalam
memecahkan masalah perpindahan panas dan aliran fluida dengan hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, analisis tersebut dapat pula dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah temperatur pemotongan ini. Pada garis besarnya dalam analisis dimensional diusahakan untuk mencari besaran tak berdimnesi (dimensionless quantity) yang didapat dengan cara menggabungkan beberapa besaran fisik yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang paling dekat (paling logis) dengan masalah yang dihadapi. Kemudian dilakukan percabaan untuk melihat korelasi antara dua atau beberapa besaran tak berdimensi. Apabila mereka ternyata tidak mempunyai korelasi (hubungan fungsional) yang jelas berarti ada kesalahan fundamental dalam pemilihan besaran fisik. Jika demikian halnya perlu dilakukan modifikasi besaran fisik untuk memperoleh besaran tak berdimensi lain yang mungkin lebih terkolerasi dengan jelas.
25
Universitas Sumatera Utara
Analisis dimensional dapat digunakan untuk mencari korelasi yang dimaksud dengan cara menentukan besaran-besaran fisik yang dianggap penting. Adapun besaran fisik yang dimaksud adalah seperti yang diberikan pada tabel berikut. Tabel 2.1 Besaran fisik Besaran Fisik
Simbol
Dimensi Dasar
Waktu Pemotongan
tc
T
Temperatur Pahat
θs
θ
Penampang Geram
A
L2
Kecepatan Potong
V
LT-1
Gaya Potong Spesifik
ks
ML-1T-2
Besaran Panas Terpadu
H = λw . cvw
M2T-5θ-2 (Sumber : Rochim, 1993)
λw
= konduktivitas panas benda kerja
; J/(s.0K.cm)
cvw
= panas spesifik volumetric benda kerja
; J/(cm3.0K)
= ρw . cw ρw
= berat spesifik benda kerja
; g/cm3
cw
= panas spesifik benda kerja
; J/(g.0K).
Menurut Teorema Phi dari Buckingham, karena ada enam besaran fisik yang penting (n1 = 6) dengan empat dimensi dasar (n2 = 4) maka paling sedikit dapat dibentuk dua besaran tak berdimensi (nx = n1 . n2 = 2) guna mengolerasikan enam besaran fisik di atas. Pemilihan jenis dan jumlah besaran fisik sebagai anggota dari setiap besaran tak berdimensi ditentukan oleh dimensi dasar besaran
26
Universitas Sumatera Utara
fisik yang bersangkutan. Dalam hal ini, karena ada 4 dimensi dasar, maka dapat dipilih 4 besaran fisik
yang mempunyai dimensi dasar yang cukup lengkap
sebagai anggota dari kedua besaran tak berdimensi tersebut. Kemudian salah satu dari kedua besaran fisik sisanya dipilih untuk menjadi anggota dari salah satu besaran tak berdimesi. Dua besaran tak berdimensi dapat dibentuk sebagai berikut:
π 1 = t ca v b k sc H d θ s , dan π 2 = t ce v f k sg H h A . Dengan memasukan dimensi dasarnya bagi masing-masing besaran fisik, maka pangkat tersebut dapat ditentukan harganya, sehingga : H 2 θs 1
π1 =
π2 =
1
tc 2 v k s
, ……………..…………….(2.37)
A ………………..……………..(2.38) v t c2 2
Dari hasil percobaan dapat ditunjukan bahwa korelasi antara kedua besaran tak berdimensi di atas adalah :
π 1 = Cπ 2m ...............................……………..(2.39) Penyelesaian persamaan (2.17) akan menghasilkan :
θs =
CA m k s v (1− 2 m ) t c( H
1
1
2 −2m)
…..……………..(2.40)
2
Dari salah satu hasil percobaan (Frederich test) harga m adalah sebesar 0.22, sehingga kondisi pemotongan yang tetap (A, ks, dan H tetap), persamaan (2.40) dapat ditulis sebagai berikut :
27
Universitas Sumatera Utara
θ s = C1 v 0.56 t c0.06 ......................……………..(2.41) Kecepatan potong mempengaruhi tingginya temperatur, oleh sebab itu temperatur setaraf dengan besarnya dimensi keausan yang dianggap sebagai batas/tanda saat berakhirnya umur pahat, dan waktu pemotongan yang bersangkutan setaraf dengan umur pahat. Dengan demikian persamaan (2.40) dapat ditulis sebagai berikut :
Wo =
C 2 A m k s v (1− 2 m )T ( H
1
1
2 −2m)
………….........(2.42)
2
Dimana : Wo
= batas dimensi keausan (VB atau K)
T
= umur pahat ; menit.
Untuk harga yang tetap bagi batas dimensi keausan dan penampang geram, serta kombinasi pahat dan benda kerja yang tertentu, maka persamaan (2.42) dapat dituliskan sebagai berikut :
vT
1− 4 m 2−4 m
= CT ………………………………(2.43)
atau vT n = CT ……………………………..(2.44) Persamaan (2.44) dikenal dengan nama Persamaan Umur Pahat Taylor* 1. Harga eksponen n dalam rumus Taylor ditentukan oleh harga eksponen m dari kolerasi dua besaran tak berdimensi π1 dan π2. berbagai kemungkinan harga eksponen tersebut ditunjukan pada tabel lampiran 1 dengan harga yang sesuai bagi suatu jenis pahat berdasarkan hasil yang diperoleh dalam praktek untuk pemotongan baja yang dilunakan. *
F.W. Taylor sendiri, pada tahun 1907, mengemukakan persamaan umur pahat tersebut berdasarkan percobaan laboratorium (rumus empirik) yang ia lakukan selama bertahun-tahun. Dengan analisis dimensional yang sederhana hal ini dapat dibuktikan dengan mudah.
28
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Harga m dan n untuk berbagai jenis pahat m
0.
0.125 0.125 0.188 0.2
n
0.5
0.4
Jenis
0.333 0.2
0.167 0.125 0.1
....Keramik….
Pahat
0.214 0.222 0.228 0.46 0.08
0.01
0.25 0.
………HSS………
….Karbida……….
………Carbon Tool
Steel……. <…Arah perkembangan penemuan material pahat jenis baru (Sumber : Rochim, 1993)
Semakin kecil harga eksponen n, maka umur pahat yang bersangkutan sangat dipengaruhi oleh kecepatan potong. Sebagai contoh, kenaikan kecepatan potong sebesar 10% akan membawa akibat perubahan umur pahat sebesar :
HSS :
T2 v 2 = T1 v1
Karbida :
T2 v 2 = T1 v1
−
−
1 0.15
1 0.3
= 1.1−6.67 = 0.53
; penurunan 47%
= 1.1−3.33 = 0.73
; penurunan 27%
Perbedaan yang begitu besar antara kedua jenis pahat tersebut membawa akibat akan perlunya perubahan akan konstruksi mesin perkakas sejak diketemukannya material pahat dari karbida.
2.5 Rumus Empirik Umur Pahat Untuk menentukan harga eksponen n dan konstanta CT dari rumus Taylor (rumus 2.44) diperlukan suatu percobaan permesinan. Dari hasil percobaan tersebut didapat persamaan fungsi linier yaitu :
29
Universitas Sumatera Utara
log v + n log T = log C T …………………….(2.45) Dapat diperkirakan dengan menggunakan analisa garis regresi (metoda kuadrat terkecil, least squares method) untuk menentukan harga terbaik dari eksponen n dan konstanta CT masing-masing beserta harga deviasi standartnya. Analisis pendekatan secara grafis dapat pula ditempuh dengan cara mengeplot data pengamatan pada skala dobel logaritma. Sebagaimana yang telah dibahas dalam analisis teoritik umur pahat, harga eksponen n merupakan harga spesifik bagi suatu kombinasi pahat dengan benda kerja. Demikian pula halnya dengan konstanta CT, dimana selain geometri pahat (α, γ, λ, r dan terutama κ) dan kondisi benda kerja (nontreated, annealed, normalized) maka kondisi pemotongan (a dan f) dan batasan keausan maksimum yang diperbolehkan, sangat mempengaruhi harga CT. Dari hasil penelitian dengan dengan menggunakan berbagai macam kombinasi pahat dan benda kerja serta dilakukan pada berbagai kondisi pemotongan, secara lebih umum konstanta Taylor dapat dituliskan seperti rumus empiric berikut :
CT =
C TVB VB m h pbq
……………………………(2.46)
Dimana : VB: Keausan tepi yang dianggap sebagai batas saat berakhirnya umur pahat; mm Tergantung pada keuletan (toughness) pahat, dan benda kerja serta berat ringannya kondisi pemotongan, harga batas keausan tersebut dapat dipilih dari 0.3 s/d 1 mm, demi untuk menghindari kerusakan fatal.
30
Universitas Sumatera Utara
m:
Pangkat untuk batas keausan. Tergantung pada kualitas pahat serta jenis dan kondisi benda kerja. (m = 0.4 s/d 0.5 ; rata-rata = 0.45).
h:
Tebal geram sebelum terpotong. Ditentukan berdasarkan kondisi pemotongan optimum, yaitu sebesar mungkin bila merupakan proses pengasaran, atau sesuai dengan batas minimum bila merupakan proses penghalusan.
p:
Pangkat untuk tebal geram sebelum terpotong. Tergantung pada jenis dan kualitas pahat (sesuai dengan pemakaian serta jenis dan kondisi benda kerja). Harga rata-rata pangkat kurang lebih sebagai berikut :
Keramik
0.12
b:
Karbida
HSS
P01 s/d
P30 s/d
M10 s/d
p20
P40
K01
0.26
0.35
0.15
M 30
0.20
0.40
lebar pemotongan :mm. ditentukan berdasarkan dimensi mula dan akhir benda kerja. Menentukan jumlah langkah pemotongan untuk mencapai obyektif yaitu dimensi produk.
q:
Pangkat bagi lebar pemotongan. Harga relatif kecil, berkisar antara 0.05 s/d 0.13. Kadangkala pengaruh lebar pemotongan diabaikan.
31
Universitas Sumatera Utara
CTVB: kecepatan potong ekstrapolatif (m/min), yang secara teoritik menghasilkan umur pahat sebesar 1 menit, untuk VB = 1 mm, h = 1 mm dan b = 1mm. Merupakan harga spesifik bagi kombinasi suatu jenis pahat dan benda kerja. Dipengaruhi oleh geometri pahat terutama sudut potong utama efektif κre. kekakuan sistem pemotongan, gaya pemotongan dan kondisi benda (nontreated, annealed, normalized, dan sebagainya) sangat berpengaruh. Pemakaian cairan pendingin yang cocok dapat menaikan harga CTVB.
2.6 Pembahasan Atas Rumus Empirik Umur Pahat Rumus empirik Taylor jikalau ditranformasikan ke dalam harga logaritma akan mempunyai bentuk linier sebagai berikut : log T =
p q m 1 1 log C TVB − log v + log VB − log h − log b ………....(2.47) n n n n n
Turunan dari persamaan di atas akan menghasilkan : dT 1 dv dVB p dh q db ………………………..(2.48) =− +2 − − T n v VB n h n b
Harga rata-rata eksponen n, m, p dan menurut tabel … adalah : n = 0.25, m = 0.45, p = 0.25, q = 0.1. Jikalau dimasukan dalam persamaan 2.42 akan dihasilkan : dT dv dVB dh db ………………………..(2.49) = −4 +2 − − 0.4 T v VB h b Untuk mendapatkan data umur pahat diperlukan waktu dan biaya yang sangat mahal. Sebab, untuk suatu kombinasi antara satu jenis pahat dengan satu jenis
32
Universitas Sumatera Utara
benda kerja saja sudah diperlukan pembuangan material (menjadi geram) yang amat banyak. Guna memperkecil usaha pengamatan, diperlukan perencanaan percobaan yang baik, misalnya dengan cara factorial (factorial design of experiment). Karena ada 3 variabel yang dapat diubah harganya (v, f dan a) dan satu variable yang diamati (T) maka paling sedikit diperlukan 8 kali percobaan apabila untuk masing-masing variabel hanya diubah pada 2 harga (8 = 23). Data hasil percobaan dapat dianalisis dengan menggunakan salah satu teknik analisis statistic yaitu analisis regresi linier multi dimensi (1 variabel diamati, dan 3 variabel ditetapkan). Untuk itu diperlukan transformasi logaritmik supaya fungsi yang diselidiki dapat dianggap menjadi linier. Tujuan dari analisis regresi ini adalah untuk memperkirakan harga β0, β1, β2 dan β3 dari rumus korelasi berikut : log T = β 0 + β 1 log v + β 2 log f + β 3 log a ………………..(2.50) Dengan mengetahui harga β0, β1, β2 dan β3 maka eksponen n, p dan q serta kontanta C dapat diketahui, yaitu : n = 1/β1, p = β2/β1, q = β3/β1, dan C = anti log β0/β1. Kebagusan atas persesuaian antara data dengan rumus regresi di atas dapat diketahui dengan memeriksa harga varian residu yang harus berharga kecil. Selain itu, data tambahan yang diperoleh dengan melakukan percobaan untuk harga kombinasi variabel lain, dapat digabungkan dengan data semula guna dianalisis sekali lagi dengan menggunakan regresi multi dimensi.
33
Universitas Sumatera Utara
2.7 Hubungan Antara Umur pahat (T) Dengan Volume Bahan Terbuang (Q) Volume bahan terbuang (Q) yang dihasilkan pada proses pembuangan geram (metal removal process) dipengaruhi oleh kecepatan penghasilan geram (Z) dan waktu pemotongan ( tc ) atau dapat dituliskan sebagai berikut. Q = Z . t c …………………………………………………....(2.51) Jika persamaan (2.51) dengan Z = A . v disubstitusikan ke persamaan umur pahat Taylor, maka akan diperoleh :
Q n T = CT ………………………………………………(2.52) tc . A
34
Universitas Sumatera Utara