II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Erosi 1. Pengertian Erosi Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya suatu tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah atas yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air (Arsyad 1989). Menurut Kartasapoetra et al.(2005), erosi disebut juga sebagai pengikisan atau kelongsoran, dimana sesungguhnya merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan atau kekuatan air dan angina, baik yang berlangsung secara alami maupun sebagai akibat dari tindakan manusia. Dua penyebab erosi yang utama terjadi secara alami dan aktivitas manusia. Erosi alami terjadi karena proses pembentukan tanah dan proses erosi yang terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Erosi karena faktor alami biasanya masih memberikan media sebagai tempat tumbuh tanaman. Sedangkan erosi yang terjadi karena kegiatan manusia, biasanya disebabkan oleh terkelupasnya lapisan tanah bagian atas akibat praktek bercocok tanam yang tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah maupun dari kegiatan pembangunan yang bersifat merusak keadaan fisik tanah seperti pembuatan jalan di tempat dengan kemiringan lereng besar (Asdak 2010). Di negara tropis seperti diyang Indonesia, penyebab erosi yang paling utama berasal dari hujan. Curah hujan dan intensitas yang tinggi, persentase tutupan lahan dan sifat tanah merupakan penyebab erosi itu sendiri. Periode paling rawan erosi adalah saat pengolahan tanah dan pada awal pertumbuhan tanaman. Pada periode ini, sebagian besar permukaan tanah terbuka, menyebabkan butirbutir hujan dapat memecah bongkah-bongkah tanah menjadi hancur dan terbawa aliran permukaan (Rachman et al. 1990). Erosi merupakan masalah yang besar terutama di daerah dengan curah hujan yang tinggi seperti di Sumatera Selatan. Sebenarnya erosi masih terjadi walaupun tanah dibawah vegetasi hutan, walau demikian jumlahnya kecil atau 3
dikatakan masih dibawah toleransi sekitar 11 ton/ha/th. Begitu lahan dibuka untuk pertanian maka biasanya erosi akan dipercepat, selanjutnya kesuburan tanah juga akan cepat menurun. Kesuburan tanah yang menurun disebabkan oleh terbawanya unsur bersama tanah yang tererosi, disamping pencucian secara lateral di lahan yang miring, seperti pada hasil penelitian selama
6 tahun oleh Castro dan
Rodriguez (1955 dan 1958) cit. Sanchez(1976). Di Indonesia, erosi yang terjadi juga sangat besar, terutama di tanah-tanah yang diberakan atau lahan yang baru dibuka dan tanaman utama belum menutupi tanah. Tanah Regosol yang ditanami jagung dan dibuat teras gulud dan bangku dapat menekan kehilangan hara sebesar 80 hingga 95%, dan menekan kehilangan tanah dari 8 mm menjadi 1.6 dan 0.4 mm (Carson dan Utomo 1986). Sudirman et al. (1986) melakukan penelitian dengan menanam Kedelai di tanah Kambisol Distrik Jambi, ternyata dengan hilangnya lapisan atas tanah setebal 10,20, 40 dan 60 cm telah menurunkan produksi kedelai masing-masing sebesar 48, 65, 79 dan 88% dibandingkan dengan produksi di tanah yang tidak tererosi. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi et al. (2012), diperoleh hasil bahwa erosi yang terjadi pada DAS Saba tergolong sangat ringan sampai sangat berat. Erosi sangat ringan sebesar 0,16 sampai 12,32 ton/ha/th, terdapat pada unit lahan 1, 2, 27, 28, 29 (Desa Pujungan), 9, 15 (Desa Pupuan), 13 (Desa Pucaksari), 21 24 (Desa Patemon), 22 (Desa Ringdikit), 23 (Desa Pengastulan) dan 25 (Desa Bengkel), dengan luas 3.337,616 hektar (26,19 %). Erosi ringan sebesar 37,94 ton/ha/th terdapat pada unit lahan 12 (Desa Bantiran), dengan luas 399,585 hektar (3,14 %). Erosi sedang sebesar 76,26 sampai 165,80 t/ha/th, terdapat pada unit lahan 4, 7, 30 (Desa Pujungan),10 (Desa Subuk), 18 (Desa Kedis), 19 (Desa Bengkel) dan 26 (Desa Patemon), dengan luas 6.101,079 hektar (47,89 %). Erosi berat sebesar 192,02 sampai 403,63 t/ha/th, terdapat pada unit lahan 3, 5 (Desa Pujungan), 6 (Desa Pupuan), 14, 20 (Desa Subuk), 16 (Desa Ularan), 17 (Desa Kedis), dengan luas 1.852,339 hektar (14,54 %). Erosi sangat berat sebesar 545,97 sampai 728,60 t/ha/th, terdapat pada unit lahan 8 (Desa Pujungan) dan 11 (Desa Subuk), dengan luas 1.049,935 hektar (8,24 %).
2. Faktor-faktor Erosi a. Erosivitas Hujan (R) Erosivitas hujan merupakan kemampuan air hujan dalam menghancurkan dan menghanyutkan partikel tanah. Di daerah beriklim basah/tropis, faktor iklim terutama hujan merupakan penyebab yang utama. Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah aliran permukaan serta tingkat erosi yang terjadi. Tenaga pendorong (driving force) yang menyebabkan terkelupasnya dan terangkatnya partkel-partikel tanah ke tempat yang lebih rendah dikenal dengan istilah Erosivitas hujan (R). Erosivitas hujan sebagian terjadi karena aliran air di atas permukaan tanah. Kemampuan air hujan sebagai penyebab terjadinya erosi adalah sumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan yang keduanya mempengaruhi besarnya energi kinetik air hujan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa erosivitas hujan sangat berkaitan dengan energi kinetik, yaitu parameter yang berasosiasi dengan laju curah hujan atau volume hujan (Asdak 1995). Penentuan nilai erosivitas hujan bulanan diperoleh melalui persamaan berikut: IR = 2,21 P1,36 Keterangan: IR
: faktor erosivitas hujan (KJ/ha/tahun)
P
: curah hujan bulanan (cm)
(Hardjowigeno dan Sukmana 1995). b. Erodibilitas Tanah (K) Erodibilitas tanah merupakan kepekaan tanah terhadap proses erosi yang terjadi. Erodibilitas tanah ditentukan oleh sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang meliputi tekstur, struktur, kandungan bahan organik, dan susunan kimia tanah. Selain dari keempat faktor itu, masih ada faktor lain yang berpengaruh terhadap erodibilitas tanah, yaitu faktor kedalaman tanah, topografi, kemiringan lereng, serta aktivitas manusia. Nilai erodibiltas tinggi berarti tanah peka atau mudah mengalami erosi, dan sebaliknya jika erodibilitas rendah berarti tanah sukar untuk
tererosi (Syarief 1989). Besar nilai K ditentukan oleh tekstur tanah, struktur tanah, permeabilitas tanah dan bahan organik tanah. Erodibilitas tanah (K) adalah kepekaan tanah terhadap erosi. Erodibilitas tanah dapat diduga dengan menggunakan nomograf (Gambar 1) (Wischmeier et al. 1971). Sifat-sifat tanah
yang menentukan besarnya nilai K berdasarkan
nomograf tersebut adalah: (1) persen kandungan debu dan pasir halus, (2) persen kandungan pasir, (3) persen kandungan bahan organik, (4) struktur tanah, dan (5) permeabilitas tanah. Untuk itu diperlukan angka hasil penetapan sifat-sifat tanah seperti tekstur dengan 4 fraksi (pasir kasar, pasir halus, debu, dan liat) dan bahan organik tanah, sedangkan struktur dan permeabilitas ditetapkan berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium.
Gambar 1. Nomograf untuk menentukan besarnya faktor K (Wischmeier et al. 1971) Erodibilitas tanah dikatakan tinggi apabila tanah itu peka terhadap erosi, dan erodibilitas tanah dikatakan rendah apabila daya tahan tanah kuat sehingga tahan terhadap erosi (Kartasapoetra 2005).Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda, tergantung fungsi interaksi antara sifatsifat fisik tanah yang ada pada suatu lahan. Sifat-sifat fisik yang mempengaruhi erosi adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi infiltrasi, permeabilitas, dan kapasitas menahan air (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur
tanah terhadap dispersi dan penghancuran agregat tanah oleh tumbukan butir-butir hujan dan aliran permukaan (Arsyad 2010). Perhitungan nilai K adalah sebagai berikut: 100K = 1,292 (2,1) M1,14 (10-4) (12 – a) + 3,25(b – 2) + 2,5(c – 3) Dimana: K
: erodibilitas tanah
M
: (% debu +% pasir sangat halus) – (100 - % klei), bila data tekstur yang tersedia hanya fraksi pasir, debu dan klei, maka % pasir sangat halus dianggap 1/3 dari pasir
a
: % bahan organik
b
: nilai/kode struktur tanah (Tabel 1)
c
: nilai permeabilitas (tabel 2. )
Tabel 1. Kode Struktur Tanah untuk Menghitung Nilai K Kelas Struktur Tanah (ϕ) Kode Gnanuler sangat halus (<1 mm) 1 Granuler halus (1 - 2 mm) 2 Granuler sedang sampai kasar (2 – 10 mm) 3 Berbentuk blok, blocky, plat, massif 4 Sumber : Suripin 2002 Untuk menghitung Permeabilitas tanah, menggunakan rumus: Kp = Q x L/T x H x A (cm/jam) Keterangan: Kp = Permeabilitas tanah Q = banyaknya air yang mengalir (ml) L = tebal contoh tanah (cm) T = waktu pengukuran (jam) H = tinggi permukaan air dari permukaan tanah bagian atas (cm) A = luas permukaan sampel tanah (cm2)
Tabel 2. Kode Permeabilitas untuk Menghitung Nilai K Kelas permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Sangat lambat <0.5 Lambat 0.5 – 2.0 Lambat-sedang 2.0 – 6.3 Sedang 6.3 – 12.7 Sedang-cepat 12.7 – 25.4 Cepat >25.4 Sumber : Suripin 2002
Kode 1 2 3 4 5 6
Tabel 3. Nilai M untuk Beberapa Tekstur Tanah Kelas tekstur tanah Nilai M Klei berat 210 Klei sedang 750 Klei pasiran 1213 Klei ringan 1685 Geluh lempungan 2160 Pasir lempung liatan 2830 Geluh lempungan 2830 Pasir 3035 Pasir geluhan 1245 Geluh berlempung 3770 Geluh pasiran 4005 Geluh 1390 Geluh liatan 6330 Liat 8245 Campuran merata 4000 Sumber : Suripin 2002 Tabel 4. Klasifikasi Nilai Erodibilitas Tanah (K) Kelas Nilai K Pengharkatan 1 0-0.1 Sangat rendah 2 0.11-0.2 Rendah 3 0.21-0.32 Sedang 4 0.33-0.40 Agak tinggi 5 0.41-0.55 Tinggi 6 0.56-0.64 Sangat tinggi Sumber : Arsyad 1989 c. Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S) Topografi memiliki peran dalam menentukan kecepatan aliran permukaan yang membawa partikel tanah saat terjadinya erosi atau kerusakan tanah. Faktor indeks topografi L dan S, masing-masing mewakili pengaruh panjang lereng dan kemiringan lereng terhadap besarnya erosi. Panjang lereng mengacu kepada aliran permukaan, yaitu (Asdak 2002).
Panjang lereng dibatasi sebagai jarak dari titik puncak lahan menuju titik lain dengan lereng menurun sampai luasan daerah pengendapan terjadi, atau aliran permukaan memasuki saluran dengan batas yang jelas (Foth 1991). Faktor LS, kombinasi antara panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S) merupakan nisbah besarnya erosi dari suatu lereng dengan panjang dan kemiringan tertentu terhadap besarnya erosi dari dari plot lahan (Suripin 2002). Kemiringan lereng dapat dinyatakan dalam derajat (o) atau persen (%). Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap limpasan, sehingga semakin curam lereng, semakin besar pula kecepatan limpasan yang terjadi (Munir 2003). Tabel 5. Nilai Faktor Lereng (LS) Pendapat Rumus Wischmeier (1973) LS = λ1/2 (0.00138 S2 +n0.00965 S + 0.0138) Arsyad (1989) LS = √ Wischmeier dan Smith (1978) ] LS = { } [ Sumber : Asdak 1995 Keterangan: λ : panjang lereng (m) S : kemiringan lereng (%) d. Pengelolaan Tanaman/Vegetasi (C) Faktor C menyatakan nisbah antara besarnya erosi (Nisbah Erosi atau NE) yang terjadi dari suatu areal dengan tanaman penutup dan pengelolaan tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah terbuka tanpa tanaman dan diolah.Pengaruh vegetasi penutup lahan terhadap erosi adalah melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, menurunkan kecepatan aliran, menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya, dan mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air (Asdak 1995). Menurut Darmawijaya (1992), vegetasi dapat digunakan sebagai petunjuk terhadap kemampuan tanah atau sifat-sifat tanah tertentu. Perbedaan vegetasi merupakan indikator perbedaan jenis tanah. Sementara menurut Reyes (2007), vegetasi dan penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh keadaan tanah dan ketersediaan air. Lain halnya dengan Hardjowigeno dan Soleh (1995), berpendapat bahwa vegetasai dapat mempengaruhi besarnya erosi. Pengaruh vegetasi terhadap erosi antara lain : (1) menghalangi hujan agar tidak langsung jatuh ke
permukaan tanah atau dengan kata lain mengurangi kekuatan dalam menghancurkan tanah, (2) menghambat aliran permukaan dan memperbanyak infiltrasi, (3) penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh transpirasi (penguapan air) melalui vegetasi. e. Tindakan Pengelolaan Tanah (P) Merupakan rasio tanah yang hilang bila usaha pengeloaan tanah dilakukan (teras, tanaman dalam kontur, dsb) dengan tanpa usaha konservasi. Tanpa adanya konservasi, nilai P = 1. Bila dibuat semacam teras, maka nilai P dianggap sama dengan nilai P untuk strip cropping (Hardjowigeno 2007).Menurut Asdak (2010), faktor P adalah nisbah antara tanah tererosi rata-rata dari lahan yang mendapat perlakuan konservasi tertentu terhadap tanah tererosi rata-rata dari lahan yang diolah tanpa tindakan konservasi. Faktor tindakan pengelolaan tanah (P) adalah jumlah erosi yang terjadi pada lahan yang telah dilakukan tindakan pengelolaan tanah dibandingkan dengan erosi yang terjadi pada lahan tanpa tanaman tanpa tindakan pengelolaan tanah. Nilai P untuk beberapa tindakan pengelolaan khusus ditunjukkan pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Nilai Faktor P untuk Berbagai Tindakan Pengelolaan tanah Tindakan khusus pengelolaan tanah Nilai P 1) Teras bangku : - Konstruksi baik 0,04 - Konstruksi sedang 0,15 - Konstruksi kurang baik 0,35 - Teras tradisional 0,40 Strip tanaman rumput Bahia 0,40 Pengelolaan tanaman menurut garis kontur : - Kemiringan 0 – 8 % 0,50 - Kemiringan 9 – 20 % 0,75 - Kemiringan > 20% 0,90 Tanpa tindakan pengelolaan tanah/konservasi 1,00 1) Catatan: konstruksi teras bangku dinilai dari kerataan dasar teras dan keadaan talud teras. (Arsyad 2010).
B. Permodelan Prediksi Erosi dengan Metode USLE Suatu model parametrik untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah telah dilaporkan oleh Wischemeir dan Smith (1965, 1978), dan dinamai dengan Universal Soil Loss Equation (USLE). Model ini memungkinkan para perencana menduga laju rata-rata erosi di suatu bidang tanah pada berbagai kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap usaha pertanaman dan tindakan pengelolaan tanah yang mungkin dilakukan atau sedang diusahakan (Arsyad 2010). Menurut As-syakur (2008), metode USLE merupakan metode yang umum digunakan untuk memprediksi laju erosi. Selain sederhana, metode ini juga sangat baik diterapkan di daerah-daerah yang faktor utama penyebab erosinya adalah hujan dan aliran permukaan. Wischmeier (1976) cit. Risse et al. (1993) mengatakan bahwa metode USLE didesain untuk digunakan memprediksi kehilangan tanah yang dihasilkan oleh erosi dan diendapkan pada segmen lereng bukan pada hulu DAS, selain itu juga didesain untuk memprediksi rata-rat jumlah erosi dalam waktu yang panjang. Tujuan utama dari model erosi adalah untuk melakukan prediksi erosi dari sebidang tanah, yaitu memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang dipergunakan dalam penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu (Arsyad 1989). Jika laju erosi yang akan terjadi telah dapat diperkirakan dan laju erosi yang masih dapat ditoleransikan sudah dapat ditetapkan, maka dapat ditentukan kebijakan penggunaan lahan dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan dapat dipergunakan secara produktif dan lestari. Persamaan dari USLE tersebut adalah: A = R. K. LS. C. P dimana: A
: besar erosi (ton/ha/thn)
R
: faktor erosivitas hujan
K
: faktor erodibilitas tanah
LS
: faktor topografi yaitu panjang (L) dan kemiringan lereng (S)
C
: faktor pengelolaan tanaman
P
: faktor tindakan konservasi tanah C. Soil Loss Tolerance (T) Mengetahui besar erosi yang terjadi penting dalam usaha pertanian,
sebelum erosi yang terjadi mengganggu produktivitas pertanian. Apabila laju pembentukan tanah berada di bawah laju erosi maka keadaan dapat dikatakan mengkhawatirkan sehingga perlu melakukan tindakan pencegahan sehingga keadaan tidak bertambah fatal. Menurut Kartasapoetra et al. (2005), terjadinya pengendapan sangat tergantung dari adanya erosi, sehingga demi kestabilan lingkungan secara umum berlangsungnya erosi harus dibatasi sampai erosi maksimal yang masih bisa dibiarkan (soil loss tolerance). Dengan adanya pencegahan maupun tindakan perbaikan, produktivitas tanah masih bisa dipertahankan dan pengendapan-pengendapan masih bisa dikendalikan sehingga tidak menimbulkan hal-hal negatif. Soil Loss Tolerance (toleransi tanah yang hilang) atau nilai T, merupakan erosi tanah rata-rata maksimum yang diijinkan sehingga produktivitas tanah tidak berkurang. Soil loss tolerance sangat diperlukan sebagai petunjuk rencana konservasi tanah. Soil loss tolerance digunakan untuk mengestimasi jumlah tanah yang hilang dan mengevaluasi seberapa besar erosi yang terjadi sehingga dilakukan suatu cara untuk penerapan agar tingkat erosi dapat dikurangi (Kirkby dan Morgan 1980). D. Tingkat Bahaya Erosi Menurut Arsyad (2010), evaluasi bahaya erosi atau disebut tingkat bahaya erosi ditentukan berdasar perbandingan antara besarnya erosi tanah aktual dengan erosi tanah yang dapat ditoleransi. Menurut Hardjowigeno dan Soleh (1995), yang dimaksud dengan tingkat bahaya erosi adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum, dibandingkan dengan tebal solum tanah pada setiap satuan lahan bila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan. Lebih jauh dijelaskan menurut (Hardjowigeno dan Sukmana 1995 cit. Winarno et al. 2008) agar suatu lahan tetap dapat berproduktivitas secara lestari, maka jumlah
maksimum tanah yang hilang dari lahan tersebut harus lebih kecil atau sama dengan jumlah tanah yang terbentuk melalui proses pembnetukan tanah. E. Penggunaan Lahan dan Erupsi Merapi 2010 Desa Sidorejo terletak di Kecamatan Kemalang Klaten dan berada pada sisi tenggara dari Gunung Merapi. Pada saat terjadi erupsi, wilayah Sidorejo juga mengalami kerusakan karena sebelah utara yang berada di dekat TNGM terbakar terkena awan panas. Topografi yang bergelombang dan kondisi yang berada di lereng Gunung merapi menjadikan wilayahnya banyak dibudidayakan untuk tanaman sengon. Pasca erupsi Gunung Merapi 2010, di lokasi yang terkena luncuran awan panas tumbuh subur tanaman Acacia decurrens atau Wartel atau Akasiah menurut penyebutan warga setempat. A. decurrens bukan asli tanaman Indonesia. Tanaman ini berasal dari Greater Blue Mountains Area, New South Wales Australia, merupakan tumbuhan berbentuk pohon atau perdu dengan tinggi pohon berkisar antara 2–15 m. Dikatakan jenis ini tergolong sebagai pohon tumbuh cepat bahkan setelah kebakaran (Moore et al. 2002). A. decurrens hidup di dataran tinggi >1000 m dpl dan berkembang biak sangat cepat, biasanya biji tersimpan lama di dalam tanah (Anonim 2008). Jenis invasif A. decurrens mampu berkompetisi dan menggantikan jenis asli di habitat alami tetapi mempunyai sifat baik yaitu dapat mengikat nitrogen dan sebagai sumber pakan ternak serta sebagai bahan kayu bakar (Bakeo 2003). A. decurrens telah berkembang pesat di Gunung Merbabu hingga pada ketinggian 3000 m dpl, terutama di desa Cuntel dengan seluruh kawasan hutan ditumbuhi A.decurrens dan semak-semak. Penelitian ini dilakukan di dua tempat, di Selo dan desa Cuntel dengan menggunakan metode quadrad. Plot didirikan di beberapa ketinggian dari 1600 hingga 2400 m dpl. Hasil dari inventarisasi 7 plot (masing-masing 0,25 ha) tercatat hanya 20 spesies pohon kayu dan populasinya dikuasai oleh A. decurrens. Karakter invasif dari A.decurrens ditunjukkan oleh berbunga sepanjang tahun dan diameter kecil sudah mulai berbunga dan benih tahan terhadap kebakaran hutan. Populasi dari A. decurrens yang berlimpah menyebabkan spesies alami cepat menurun (Purwaningsih 2010).
Kayu sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) merupakan kayu yang bernilai ekonomis tinggi karena merupakan kayu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, baik sebagai kayu pertukangan maupun sebagai kayu penghara. Sengon P. falcataria (L) Nielsen. syn. Albizia falcataria (L) Fosberg dan Albizia falcata Baclur termasuk ke dalam famili Mimosaceae (pete-petean). Sengon mempunyai nama daerah bermacam-macam, antara lain Albizia, Jeungjing (Jawa Barat). Di luar Jawa sengon dikenal dengan nama tedehu pute (Sulawesi), di Maluku dikenal dengan nama rawe, selawoku merah, seka, sika, sika bot, sikahm, atau tawasela. Di Irian Jaya terkenal dengan nama bae, bai, wahagon, wai atau wiie (Martawijaya et al. 1989).Berdasarkan habitusnya, Sengon (P. falcataria) mempunyai tinggi pohon sampai 40 meter dengan panjang batang bebas cabang 10-30 meter. Diameter rata-rata batang pohon sampai 80 cm dengan kulit luar berwarna putih atau kelabu, tidak beralur, tidak mengelupas dan tidak berbanir. Sengon dapat tumbuh pada tanah yang tidak subur dan agak gersang, tanah kering, becek atau agak asin. Tanaman muda tahan terhadap kekurangan zat asam sampai 31,5 hari. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering, pada dataran rendah hingga ke pegunungan sampai ketinggian 1.500 m dpl (Martawijaya et al. 1989).