BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ulkus Ulkus peptikum merupakan istilah yang mengacu pada erosi lapisan mukosa di mana saja di saluran pencernaan, namun biasanya mengacu pada erosi di lambung atau duodenum. Ada dua penyebab utama ulkus: terlalu sedikit produksi mukus atau terlalu banyak asam yang diproduksi dalam lambung atau dikirim ke usus (Corwin, 2008). 2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi mukus Ulkus umumnya berkembang ketika sel-sel mukosa usus tidak menghasilkan mukus yang cukup untuk melindungi terhadap pencernaan asam. Penyebab penurunan produksi mukus dapat mencakup apa saja yang menurunkan aliran darah ke usus, menyebabkan hipoksia lapisan mukosa dan cedera atau kematian sel-sel yang memproduksi mukus. Jenis ulkus ini disebut ulkus iskemik. Penurunan aliran darah terjadi dengan semua jenis shock. Suatu jenis tertentu dari ulkus iskemik yang berkembang setelah luka bakar parah disebut ulkus Curling (Corwin, 2008). Penyebab utama penurunan produksi mukus berhubungan dengan infeksi bakteri H. pylori. H. pylori menginfeksi sel-sel yang mensekresi mukus lambung dan duodenum, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk menghasilkan mukus. Sekitar 90% dari pasien yang memiliki ulkus duodenum dan 70% dari pasien yang memiliki ulkus lambung disebabkan infeksi H. pylori. Penurunan produksi mukus dalam duodenum juga dapat terjadi sebagai akibat dari penghambatan kelenjar penghasil mukus, yang disebut kelenjar Brunner. Aktivitas mereka dihambat oleh
Universitas Sumatera Utara
stimulasi simpatis, stimulasi simpatis meningkat dengan stres kronis. Sehingga menjadi suatu rangkaian antara stres kronis dan pengembangan ulkus (Corwin, 2008). 2.1.2 Pertahanan mukosa lambung Menurut Malik (1992), mukosa lambung merupakan sawar antara tubuh dengan berbagai bahan, termasuk makanan, produk-produk pencernaan, toksin, obat-obatan dan mikroorganisme yang masuk lewat saluran pencernaan. Bahan-bahan yang berasal dari luar tubuh maupun produk-produk pencernaan berupa asam dan enzim proteolitik yang dapat merusak jaringan mukosa lambung. Oleh karena itu, lambung memiliki sistem protektif yang berlapis-lapis dan sangat efektif untuk mempertahankan keutuhan mukosa lambung. Proteksi (faktor pertahanan) tersebut dilakukan oleh adanya beberapa faktor: 1. Faktor pre-epitelial Faktor pre-epitel merupakan faktor proteksi paling depan saluran pencernaan yang letaknya meliputi secara merata lapisan permukaan sel epitel mukosa saluran pencernaan. Cairan mukus dan bikarbonat yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar dalam mukosa lambung berfungsi sebagai faktor preepitelial untuk proteksi lapisan epitel terhadap enzim-enzim proteolitik dan asam lambung. Bikarbonat berfungsi menetralisir keasaman di sekitar lapisan sel epitel. Suasana netral dibutuhkan agar enzim-enzim dan transpor aktif di sekeliling dan dalam lapisan sel epitel mukosa dapat bekerja dengan baik (Guyton dan Hall, 1997). Menurut Guyton dan Hall (1997), mukus adalah sekresi kental yang terutama terdiri dari air, elektrolit dan campuran beberapa glikoprotein, yang terdiri dari sejumlah besar polisakarida yang berikatan dengan protein dalam jumlah yang lebih
Universitas Sumatera Utara
sedikit. Menurut teori dua komponen sawar mukus dari Hollander, lapisan mukus lambung yang tebal dan liat merupakan garis depan pertahanan terhadap autodigesti. Lapisan ini memberikan perlindungan terhadap trauma mekanis dan kimia (Wilson dan Lester 1994). Mukus menutupi lumen saluran pencernaan yang berfungsi sebagai proteksi mukosa. Fungsi mukus sebagai proteksi mukosa: (a) pelicin yang menghambat kerusakan mekanis (cairan dan benda keras), (b) sawar terhadap asam, (c) sawar terhadap enzim proteolitik (pepsin) dan (d) pertahanan terhadap organisme patogen (Julius 1992). 2. Faktor epitelial Integritas dan regenerasi lapisan sel epitel berperan penting dalam fungsi sekresi dan absorbsi dalam saluran pencernaan. Kerusakan sedikit pada mukosa (gastritis/duodenitis) dapat diperbaiki dengan mempercepat penggantian sel-sel yang rusak. Sel-sel epitel saluran pencernaan terus menerus mengalami pergantian dan regenerasi setiap 1-3 hari dipengaruhi oleh banyak faktor (Malik, 1992). 3. Faktor sub-epitelial Integritas mukosa lambung terjadi akibat penyediaan glukosa dan oksigen secara terus menerus. Aliran darah mukosa mempertahankan mukosa lambung melalui oksigenasi jaringan yang memadai dan sebagai sumber energi. Selain itu, fungsi aliran darah mukosa adalah untuk membuang atau sebagai buffer difusi balik ion H+. Sistem pencernaan juga diproteksi oleh sistem imun baik lokal maupun sistemik serta sistem limfe terhadap berbagai toksin, obat dan bahan lainnya. Sistem imun lokal terdapat dalam saluran pencernaan, sedangkan sistem imun sistemik terdapat dalam sistem peredaran darah. Komponen dari sistem imun dalam saluran cerna adalah sel-
Universitas Sumatera Utara
sel radang lokal saluran cerna (sel plasma, limfosit, monosit) dan jaringan limpoid yang bersifat sistemik (Malik, 1992). Selain beberapa faktor pertahanan di atas, pada selaput lendir saluran pencernaan juga terdapat komponen protektif mukosa yaitu prostaglandin (PG) (Julius 1992). Prostaglandin merupakan kelompok senyawa turunan asam lemak arakhidonat yang dihasilkan melaui jalur siklooksigenase (COX). Prostaglandin meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotik, termis atau kimiawi dengan cara regulasi sekresi asam lambung, sekresi mukus, bikarbonat dan aliran darah mukosa. Dalam suatu telah telah ditunjukkan, bahwa pengurangan prostaglandin pada selaput lendir lambung memicu terjadinya ulkus. Hal ini membuktikan salah satu peranan penting prostaglandin untuk memelihara fungsi sawar selaput lendir (Kartasasmita, 2002).
Gambar 2.1.Faktor-faktor penyebab ulkus (Liu dan Crawford, 2005) 2.1.3 Cairan lambung (gastric juice) Cairan lambung (Gastric juice) adalah campuran heterogen dari cairan jernih, flocculent, dan mukus jernih. Konstituen utama dari cairan lambung (gastric juice) adalah asam hidroklorida, protease lambung (pepsin dan gastricsin), faktor
Universitas Sumatera Utara
hematopoietic (faktor intrinsik dan pengikat vitamin B12), hormon lambung, dan mucosubstance
(aminopolysaccharides,
mucopolyuronides,
mucoids,
dan
mucoproteins). Protease lambung yang utama adalah pepsin dan gastricsin, pepsinogen adalah prekursor yang diubah menjadi pepsin aktif oleh HCl bebas dan oleh proses autokatalitik (Perigard, 2000). Pengujian fungsi lambung biasanya dilakukan pada sampel asam lambung yang dikumpulkan melalui intubasi langsung (direct intubation) ke dalam lambung. Kandungan lambung dalam puasa (normal, 20 – 30 ml) dan sekresi lambung tersebut dikumpulkan dalam keadaan basal, atau setelah stimulasi oleh pemberian oral kafeinbenzoat atau alkohol, atau pemberian histamin parenteral, insulin, atau hormon pentagastrin. Sampel dikumpulkan melalui aspirasi terus menerus dan dianalisis untuk keasaman dan aktivitas protease lambung pada berbagai interval waktu (Dressman, et al., 1998; Perigard, 2000). Keasaman dapat ditentukan dengan pengukuran pH secara sederhana dan konversi ke mEq H+ atau dengan titrasi asam lambung. Asam lambung yang keluar (basal acid output ) adalah sekitar 1 mEq/jam pada kondisi normal dan 2 sampai 4 mEq pada pasien ulkus duodenum. Puncak keluaran asam (peak acid output/PAO) setelah stimulasi histamin adalah 10 sampai 20 mEq/jam dalam normal dan 40 sampai 50 mEq/jam dalam ulkus duodenum, PAO setelah stimulasi pentagastrik mirip dengan histamin (Perigard, 2000). 2.1.5 Helicobacter pylori Helicobacter
pylori
memproduksi
urease
dalam
jumlah
besar
yang
menghidrolisis urea dalam asam lambung dan mengubahnya menjadi amoniak dan
Universitas Sumatera Utara
karbon dioksida. Efek buffer lokal dari amoniak menciptakan lingkungan kecil yang netral di sekitar bakteri yang melindungi dari efek asam lambung yang mematikan. H.pylori juga memproduksi protein penghambat asam yang memungkinkan untuk beradaptasi dengan lingkungan pH rendah di lambung (Berardi dan Welage, 2005).
Kerusakan mukosa langsung dihasilkan oleh faktor virulensi (vacuolating cytotoxin, protein gen terkait cytotoxin dan faktor inhibitor pertumbuhan, enzim pengurai dari bakteri (lipase, protease, dan urease). H.pylori juga memproduksi protein toksin (Vac A) yang bertanggung jawab untuk pembentukan vakuola seluler. Lipase dan protease mendegradasi mukus, ammonia yang dihasilkan oleh urease bersifat toksik terhadap sel epitel dan penempelan bakteri meningkatkan pemasukan toksin ke dalam sel epitel. Infeksi H.pylori mengubah respon inflamasi dan merusak sel epitel secara langsung oleh mekanisme kekebalan yang dimediasi oleh sel atau secara tidak langsung dengan mengaktifkan neutrofil atau makrofag mencoba untuk memfagosit bakteri atau produk dari bakteri (Berardi dan Welage, 2005). 2.2 Metronidazol 2.2.1. Uraian umum metronidazol (Depkes RI, 1995) Sinonim
: 2-Metil-5-nitroimidazol-1-etanol
Rumus Molekul : C6H9N3O3 Berat Molekul
: 171,16
Pemerian
: Hablur atau serbuk hablur, putih hingga kuning pucat; tidak berbau; stabil di udara, tetapi lebih gelap bila terpapar oleh cahaya.
Universitas Sumatera Utara
Kelarutan
: Sukar larut dalam eter; agak sukar larut dalam air, dalam etanol, dan dalam kloroform.
Jarak lebur
: antara 159 dan 163oC
NO2 OH N
N CH3
Gambar 2.1 Rumus bangun metronidazol 2.2.2 Farmakologi metronidazol Metronidazol mempunyai aktivitas antibakteri yang mampu melawan semua cocci anaerobik dan basil anaerobik gram negatif (termasuk Bacteroides spp.) serta basil anaerobik gram positif penghasil spora (Brunton, et al., 2008). Metronidazol digunakan dalam amubiasis hepatik dan intestinal, giardiasis, trichomoniasis saluran urogenital dan vaginosis bakterial. Juga digunakan dalam pengobatan infeksi mikroba anaerob di gigi dan profilaksi pembedahan saluran cerna, serta dalam infeksi campuran aerobikanerobik lainnya. Metronidazol juga diandalkan dalam penanganan ulkus duodenal akibat H.pylori dalam kombinasi dengan obat lain (Yellanki, et al., 2010). Metronidazol adalah suatu prodrug yang diaktivasi dengan cara reduksi gugus nitro oleh organisme yang suseptibel. Berbeda dengan patogen aerobik, patogen anaerobik dan mikroaerofilik seperti T. vaginalis, E. hystolitica, dan G. lamblia serta bakteri anaerobik mempunyai komponen transpor elektron dengan potensial redoks yang cukup negatif untuk mendonorkan elektron kepada metronidazol. Transpor elektron menghasilkan anion nitro radikal yang sangat reaktif yang membunuh bakteri
Universitas Sumatera Utara
yang suseptibel melalui mekanisme radical-mediated yang merusak DNA (Brunton, et al., 2008). Selain bersifat antiinfeksi, metronidazol juga bersifat antiinflamasi. Ia mempengaruhi motilitas neutrofil, aksi limfosit, dan imunitas seluler (Haveles, 2007). 2.3 Gastroretentive Drugs Delivery System (GDDS) Kandidat obat yang sesuai untuk sediaan yang tertahan di lambung atau gastroretentif (Garg dan Gupta, 2008; Swetha, et al., 2012): a.
Obat-obat untuk aksi lokal dalam lambung misalnya: misroprostol, antasida, dan antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi Helicobacter pylori.
b.
Obat-obat yang kelarutan rendah dalam pH alkalis misalnya: furosemida, diazepam, verapamil, dan klordiazepoksida.
c.
Obat-obat yang terutama diabsorbsi dalam lambung atau bagian atas dari saluran pencernaan misalnya: amoksisilin.
d.
Obat-obat yang mempunyai rentang absorpsi sempit dalam saluran pencernaan misalnya: siklosporin, metotreksat, levodopa, dan riboflavin.
e.
Obat-obat yang diabsorbsi cepat dari saluran pencernaan misalnya: metronidazol, dan tetrasikilin.
f.
Obat-obat yang tidak stabil dan terdegradasi didalam kolon misalnya ranitidin, metronidazol, dan metformin HCl.
g.
Obat-obat
yang
mengganggu
mikroba
kolon
misalnya
antibiotik
untuk
Helicobacter pylori. Kelebihan sediaan gastroretentif (Swetha, et al., 2012): a. Digunakan untuk aksi lokal dalam lambung. b. Dalam pengobatan dari penyakit ulkus peptikum.
Universitas Sumatera Utara
c. Digunakan untuk penghantaran obat-obat dengan rentang absorbsi yang sempit. d. Mengurangi frekuensi pemberian. e. Meningkatkan bioavailabilitas obat. f. Digunakan untuk obat-obat yang tidak stabil di dalam cairan usus. g. Digunakan untuk menahan penghantaran obat. h. Digunakan untuk mempertahankan konsentrasi obat sistemik dalam rentang terapeutik. Kekurangan sediaan gastroretentif (Swetha, et al., 2012): a. Memerlukan jumlah yang cukup besar cairan lambung, bagi sistem untuk mengapung dan bekerja efisien. b. Tidak cocok untuk obat-obat dengan masalah stabilitas dan kelarutan dalam lambung serta obat-obat yang mempunyai efek iritasi pada lambung. 2.3.1 Jenis-jenis gastroretentif Pendekatan untuk sistem penghantaran obat tertahan di lambung secara umum terdiri dari : 1. Sistem pengembangan dan pembesaran (swelling and expandable system). Ini merupakan bentuk sediaan yang setelah ditelan, dalam lambung mengembang pada taraf tertentu yang mencegah mereka keluar dari pylorus, seperti terlihat pada Gambar 2.2. Akibatnya, bentuk sediaan masih dipertahankan dalam lambung untuk jangka waktu yang panjang. Formulasi tersebut dirancang untuk tertahan di lambung (gastric retention) dan pelepasan obat dikontrol dalam rongga lambung (Kumar, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 GDDS dengan sistem pengembangan dan pembesaran (Kumar, 2012) 2. Sistem bioadhesif (bioadhesive systems). Sistem bioadhesif digunakan sebagai perangkat penyampaian obat untuk meningkatkan absorpsi di tempat spesifik (site specific) dalam lambung. Pendekatan ini melibatkan penggunaan polimer bioadhesif, yang dapat menempel pada permukaan epitel di lambung (Dubernet, et al., 2004). Beberapa eksipien yang paling menjanjikan yang telah umum digunakan di sistem ini meliputi polycarbophil, karbopol, kitosan dan gliadin (Kumar, et al., 2012). Sistem bio/muko-adhesif dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 GDDS dengan sistem bio/muko-adhesif (Al-Qadi, et al., 2012) Mekanisme bioadhesif/mukoadhesif untuk berikatan antara polimer dengan permukaan mukus/epitel dapat dibagi menjadi tiga kategori:
Universitas Sumatera Utara
a. Adhesi yang dimediasi oleh Hidrasi Polimer hidrofilik tertentu memiliki kecenderungan untuk menyerap sejumlah besar air dan menjadi lengket, sehingga memperoleh sifat bioadhesif. Gastroretensi yang diperpanjang dari sistem pengiriman bio/muko-adhesi selanjutnya dikendalikan oleh laju disolusi polimer. b. Adhesi yang dimediasi oleh ikatan Adhesi polimer pada mukus/permukaan sel epitel melibatkan berbagai mekanisme ikatan. Ikatan fisik atau mekanik dapat dihasilkan dari deposisi dan masuknya bahan perekat di celah-celah mukosa tersebut. Ikatan kimia sekunder, berkontribusi terhadap sifat bioadhesif, terdiri dari interaksi disperssif (yaitu interaksi van der Walls) dan interaksi ikatan hidrogen. Gugus fungsional hidrofilik bertanggung jawab untuk membentuk ikatan hidrogen adalah hidroksil (-OH) dan kelompok karboksilat (-COOH) (Chien, 1992). c. Adhesi yang dimediasi oleh reseptor Polimer tertentu memiliki kemampuan untuk mengikat reseptor spesifik pada permukaan sel. Peristiwa yang dimediasi reseptor berfungsi sebagai pendekatan potensial dalam bio/muco-adhesi, sehingga meningkatkan retensi lambung dari bentuk sediaan (Kumar, et al., 2012). 2. Sistem pengapungan (floating systems) Sistem ini memiliki kerapatan massa yang kurang dari cairan lambung sehingga mengapung di lambung tanpa mempengaruhi tingkat pengosongan lambung untuk jangka waktu lama, obat dilepaskan perlahan pada tingkat yang diinginkan dari system. Setelah pelepasan obat, sistem residual dikosongkan dari lambung. Sistem
Universitas Sumatera Utara
floating dapat dibagi ke dalam sistem effervescent dan non-effervescent (Kumar, 2012). Sistem floating dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 GDDS dengan sistem floating (Kumar, 2012) 3. Sistem berdensitas tinggi (High Density Systems) Sedimentasi telah digunakan sebagai mekanisme retensi untuk pelet yang cukup kecil untuk disimpan dalam lipatan lambung dekat daerah pilorus, yang merupakan bagian dari organ dengan posisi terendah dalam postur tegak. Pelet padat (sekitar 3 g/cm-3) terjebak dalam lipatan juga cenderung untuk menahan gerakan peristaltik dari dinding lambung, seperti terlihat pada Gambar 2.5. Waktu transit GI dapat diperpanjang rata-rata 5,8 - 25 jam, tergantung pada kepadatan dan diameter pellet tersebut. Eksipien yang biasa digunakan adalah barium sulfat, seng oksida, titanium dioksida dan serbuk besi. Bahan-bahan ini meningkatkan kepadatan hingga 1,5 2,4g/cm-3 (Kumar, et al., 2012).
Gambar 2.5 GDDS dengan sistem berdensitas tinggi (High Density Systems) (Kumar, 2012)
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Penelitian terdahulu tentang GDDS dan sediaan gastroretentif di pasaran Penelitian terdahulu telah menjelaskan tentang sistem penyampaian obat-obat yang tertahan di lambung (Gastroretentive Drugs Delivery System/GDDS), diantaranya sebagai berikut: a. Sediaan gastroretentif dengan pembawa alginat-kitosan: - Formulasi mikropartikel alginat-kitosan sebagai mukoadhesif yang mengandung prednisolon untuk pelepasan terkontrol (Wittaya, et al., 2006). - Sediaan floating dan mukoadhesif dari bead alginat-kitosan yang mengandung amoksisilin sebagai gastroretentif mampu memperpanjang pelepasan obat selama lebih dari 6 jam dalam lambung (Sahasathian, et al., 2010). - Sediaan mikrobead dari campuran natrium alginat dengan natrium NaCMC dan disalut enterik dengan kitosan untuk tujuan pelepasan terkontrol dari amoksisilin di dalam lambung (Angadi et al., 2012). - Pengembangan jenis baru dari floating beads inner berpori. Bead dibuat dengan tetesan larutan busa ke dalam larutan CaCl2, larutan busa terdiri dari berbagai gelembung mikro dengan poloxamer 188 sebagai agen pembusa, dan alginat sebagai stablizer (Yao Huimin, et al., 2012). b. Sediaan gastroretentif dari bahan lainnya: - Nayak, et al., (2012), pembuatan sistem keseimbangan hidrodinamis ofloksasin menggunakan laktosa, HPMC K4M, PVP K 30, dan parafin cair, yang dapat meningkatkan waktu tinggal dalam lambung, dan memungkinkan dapat melepaskan
obat
maksimal
di
lokasi
penyerapan
untuk
meningkatkan
bioavailabilitas oral.
Universitas Sumatera Utara
c. Sediaan gastroretentif antasida: - Sediaan antasida dengan masa tinggal yang diperpanjang di lambung (Antacid Compositions With Prolonged Gastric Residence Time) telah ditemukan dan dipatentkan oleh Spickett, et al., (1994 ). Sediaan ini memiliki fase internal antasida yang padat (serbuk, tablet) dan dikelilingi oleh excipient dengan fasa eksternal padat yang mengandung suatu substansi hidrofobik seperti ester dari gliserol dengan asam palmitat atau stearat, polialkena hidroksilasi dan emulsifier non-ionik. - Sediaan antasida dengan durasi diperpanjang (Extended duration antacid product) juga dipatentkan oleh Wallach, et al., (1996), merupakan suatu produk antasida yang memiliki masa tinggal diperpanjang dalam lambung dan sistem pencernaan bagian atas. Produk antasida ini memuat campuran 10-70% nonfosfolipid dalam bentuk vesikel lipid. Penelitian ini menunjukkan bahwa selama enam jam dari sediaan masih dipertahankan dalam lambung. d. Sediaan gastroretentif dengan bentuk film. - Sediaan gastroretentif bentuk matriks film dengan menggunakan HPMC dan eudragit sebagai polimer dan dibutil ftalat sebagai plastisizer menunjukkan bahwa sediaan film mampu bertahan dalam lambung hingga 6 ± 0,5 jam dalam kondisi puasa dan 8 jam dalam keadaan makan (Sathish, et al., 2013). 2.4 Natrium alginat Asam alginat diekstraksi dari ganggang coklat dan dinetralisasikan dengan natrium bikarbonat untuk membentuk natrium alginat. Karakteristik natrium alginat adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Pemerian
: Serbuk tidak berbau dan berasa, putih sampai coklat kekuningan pucat.
Kelarutan
: Larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol, eter, pelarut organik dan asam.
Tak tercampurkan : Dengan turunan acridine, kristal violet, fenilmerkuri asetat dan nitrat, garam kalsium, logam berat (Rowe, dkk., 2009) Natrium alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D-mannuronat (M) dan α-L-guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linier. Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1981). Struktur alginat dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Rumus bangun β-D-mannuronat dan α-L-guluronat (Rees dan Welsh,1977)
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kitosan Kitosan merupakan aminopolisakarida hasil deasetilasi dari kitin, kitosan terdapat dalam cangkang crustacea seperti udang, lobster dan kepiting. Kitosan menunjukkan sifat polimer biomedis seperti nontoksik, biokompatibel dan biodegradabel (Felt, et al., 1998). Kitosan merupakan biopolimer yang linear, tidak bercabang, polimer yang dibangun dari monomer-monomer glukosamin dan N-asetilglukosamin yang terikat pada pola β-(1-4). Struktur kimia dari kitosan ditunjukkan seperti pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Struktur kimia kitosan (Felt, et al., 1998) 2.6 Interaksi antara Alginat dengan Kitosan Alginat yang merupakan polianionik dan kitosan yang merupakan polikationik dapat berinteraksi melalui gugus asam karboksilat dari alginat dan gugus amino dari kitosan membentuk kompleks polielektrolit dari muatan mereka yang berlawanan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8. Kompleks polielektrolit yang terbentuk diharapkan dapat memberikan aplikasi farmasetika yang lebih baik karena keunikan struktur dan sifatnya (Takahashi, et al., 1990).
Gambar 2. 8 Reaksi antara alginat dan kitosan (Takahashi, et al., 1990)
Universitas Sumatera Utara