BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Frasa “tindak pidana” merupakan istilah yang diambil dari kata strafbaar feit yang merupakan istilah dari hukum pidana Belanda selain kata delict.Dalam penggunaannya di hukum pidana Indonesia, strafbaar feit diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk.Andi Hamzah dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana Edisi Revisi 2008”, disebutkan bahwa Utrecht menyalin istilah strafbaar feit menjadi peristiwa pidana.1 Beberapa pakar lain memilih menggunakan istilah “perbuatan pidana” untuk merujuk pada tindak pidana. Strafbaar feit yang diartikan oleh Utrecht sebagai “peristiwa pidana” enarik perdebatan diantara ahli hukum.Moeljatno misalnya, menolak istilah “peristiwa pidana” sebagai terjemahan dari strafbaar feit.Menurut Moeljatno, peristiwa itu adalah pengertian yang konkret, yang hanya menunjuk pada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang. 2Hal ini dianggap bertentangan dengan praktiknya, dimana hukum tidak melarang seseorang untuk mati. Hal yang dilarang adalah matinya orang akibat dari perbuatan orang lain. Menurut Moeljatno, istilah strafbaar feit memiliki pokok sebagai berikut: 1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku; 2. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.3
1 2
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi 2008, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h. 86 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka 24 Cipta, Jakarta, 2009, h. 60 3 Ibid, h. 61
Untuk menambah khazanah pengetahuan mengenai arti kata strafbaar feit, berikut Penulis paparkan beberapa pendapat ahli hukum, antara lain: Hazewinkel-Suringa merumuskan istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: Strafbaar feit sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.4 Rumusan mengenai arti kata strafbaar feit juga datang dari Pompe. Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai: Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum atau sebagai de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan de overtreder schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en de behartiging van het algemeen welzijn.5 Jika diambil kesimpulan menurut hukum positif, strafbaar feit adalah sesuatu perbuatan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.6 Luasnya cakupan arti kata strafbaar feit menyebabkan beberapa pakar hukum berpendapat bahwa arti kata initidak hanya terbatas pada suatu perbuatan melainkan terdiri atas handeling dan gevolg (kelakuan dan akibat).Jika strafbaar feit diartikan sebagai perbuatan pidana, maka arti kata tersebut lebih sempit dari seharusnya. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatansaja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.7
4
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, H. 181. Ibid, h. 182 6 Ibid, h 183 7 Moeljatno, Op.cit., h. 62 5
Simons kemudian merumuskan strafbaar feit sebagai: Suatutindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupuntidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.8 Simons merumuskan strafbaar feit seperti itu disebabkan oleh: 1.
Untuk adanya suatu strafbaar feit itu diisyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
2.
Agar sesuatu itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, dan
3.
Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewjiban menurut undangundang itu, pada hakikatnya merupkan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechmatige handeling. Setelah melihat berbagai pengertian tindak pidanayang dirumuskan oleh pakar-pakar
hukum, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan melawan hukum dimana karena perbuatan tersebut sesorang dapat dihukum.Hal ini sesuai dengan kesimpulan yang diambil oleh Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana.9
2.1.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Unsur-unsur tindak pidana terbagi atas dua jika merujuk pada prinsip toeri modern atau teori dualisme.Teori dualisme ini merupakan aliran yang memisahkan antara unsur perbuatan (feit/handlung) dengan unsur pembuat (dader/handelnde).Unsur-unsur subjektif adalah unsur8 9
Lamintang.Op.cit. h.185 Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2003, h. 59
unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.10Berikut adalah unsur-unsur tersebut: a. Unsur perbuatan atau disebut juga unsur objektif:
Mencocoki rumusan delik; dan
Bersifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid (tidak ada alasan pembenar).
b. Unsur pembuat atau disebut juga unsur subjektif:
Adanya kesalahan, baik itu dolus maupun culpa; dan
Dapat dipertanggungjawabkan (tidak ada alsan pemaaf). Mengenai unsur bersifat melawan hukum atau wederrechtelijk, dikatakan bahwa pembuat
undang-undang harus mengisyaratkan adanya unsur ini pada setiap rumusan delik walaupun tidak secara eksplisit tercantum di dalamnya. Hal ini sesuai dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 30 K/Kr/1969 pada tanggal 6 Juni 1970 yang menyatakan bahwa:Di setiap tindak pidana selalu terdapat unsur “melawan hukum” dari perbuatan yang dituduhkan walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan.11Aliran monisme tidak membedakan antara unsur objektif dengan unsur subjektif. Para pemikir aliran ini berpandangan bahwa dimana ada tindak pidana atau delik maka disana juga terdapat orang yang dapat dipidana sehingga unsur-unsur delik dianggap sama dengan syarat-syarat orang dijatuhi pidana.
2.2. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Cyber Crime 10 11
Lamintang, Op.cit. h. 193 Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 235
2.2.1. Pengertian Tindak Pidana Cyber Crime 1. Pengertian Cyber Crime Berbicara masalah cyber crime tidak lepas dari permasalahan keamanan jaringan komputer atau keamanan informasi berbasis internet dalam era global ini, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan informasi sebagai komoditi. Informasi sebagai komoditi memerlukan kehandalan pelayanan agar apa yang disajikan tidak mengecewakan pelanggannya. Untuk mencapai tingkat kehandalan tentunya informasi itu sendiri harus selalau dimutakhirkan sehingga informasi yang disajikan tidak ketinggalan zaman.Kejahatan dunia maya (cyber crime) ini muncul seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat. Untuk lebih mendalam ada beberapa pendapat di bawah ini tentang apa yang dimaksud dengan cyber crime? Di antaranya adalah Menurut Kepolisian Ingris, Cyber crime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan criminal dan/atau criminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital.12 Menurut Peter, Cyber crime adalah “The easy definition of cyber crime is crimes directed at a computer or a computer system. The nature of cyber crime, however, is far more complex. As we will see later, cyber crime can take the form of simple snooping into a computer system for which we have no authorization. It can be the feeing of a computer virus into the wild. It may be malicious vandalism by a disgruntled employee. Or it may be theft of data, money, or sensitive information using a computer system.”13Indra Safitri mengemukakan bahwa kejahatan dunia maya adalah jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang
12
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2005), hal.. 40. 13 Peter Stephenson, Investigating ComputerRelated Crime: A Hanbook For Corporate Investigators, (London New York Washington D.C: CRC Press, 2000), hal. 56.
mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh pelanggan internet.14 Dalam dua dokumen Kongres PBB yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Havana Cuba pada tahun 1990 dan di Wina Austria pada tahun 2000, menjelaskan adanya dua istilah yang terkait dengan pengertian Cyber crime, yaitu cyber crimedan computer related crime.15 Dalam back ground paper untuk lokakarya Kongres PBB X/2000 di Wina Austria, istilah cyber crime dibagi dalam dua kategori. Pertama, cyber crime dalam arti sempit (in a narrow sense) disebut computer crime. Kedua, cyber crime dalam arti luas (in a broader sense) disebut computer related crime. Lengkapnya sebagai berikut: 1. Cyber crimein a narrow sense (computer crime): any legal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer system and the data processed by them. 2. Cyber crime in a broader sense (computer related crime): any illegal behaviour committed by means on in relation to, a computer system or network, including such crime as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network. Pengertian computer dalam The Proposed West Virginia Computer Crimes Act adalah “an electronic, magnetic, optical, electrochemical or other high speed data processing device performing logical, arithmetic, or storage functions, and includes any data storage facility or communications facility directly related to or operating in conjunction with such device, but such
14
Indra Safitri, “Tindak Pidana di Dunia Cyber” dalam Insider, Legal Journal From Indonesian Capital & Investmen Market. Dapat dijumpai di Internet: http://business.fortunecity. com/buffett/842/art180199_tindakpidana.htm. Diakses pada tanggal 12 Desember 2009. 15 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2007), hal.24
term does not include an automated typewriter or typewriter or typesetter, a portable handheld calculator, or other similar device”. Dari pengertian kejahatan computer menurut peraturan perundang-undangan di Virginia dapat dipahami bahwa sesuatu yang berhubungan dengan peralatan pemerosesan data listrik, magnetic, optic, elektro kimia, atau peralatan kecepatan tinggi lainnya dalam melalukan logika aritmatika, atau fungsi penyimpanan dan memasukkan beberapa fasilitas penyimpanan data atau fasilitas komunikasi yang secara langsung berhubungan dengan operasi tersebut dalam konjungsi dengan peralatan tersebut tidak memasukkan mesin ketik otomatis atau tipesetter, sebuah kalkulator tangan atau peralatan serupa lainnya. 16 Di lihat dari beberapa definisi di atas, tampak bahwa belum ada kesepakatan mengenai definisi tentang cyber crime atau kejahatan dunia cyber.Menurut uladi, sampai saat ini belum ada definisi yang seragam tentang cyber crime baik nasional maupun global. Kebanyakan masih menggunakan soft lawberbentukcode of conduct seperti Jepang dan Singapura.17
2.2.2
Jenis-jenis Cyber Crime Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis komputer
dan jaringan telekomunikasi ini dikelompokkan dalam beberapa bentuk sesuai modus operandi yang ada, antara lain: 1. Unauthorized Access to Computer System and Service Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya.Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya
16
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, op. cit, hal. 41. Suara Merdeka, 24 Juli 2002, situs internet: http://www.suaramerdeka.com/harian/ 0207/24/nas13.htm. diakses pada tanggal 3 Maret 2010. 17
dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia.Namun begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya TeknologiInternet/intranet. Kita tentu belum lupa ketika masalah Timor Timur sedang hangathangatnya dibicarakan di tingkat internasional, beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh hacker (Kompas, 11/08/1999). Beberapa waktu lalu, hacker juga telah berhasil menembus masuk ke dalam data base berisi data para pengguna jasa America Online (AOL), sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dibidang ecommerce yang memiliki tingkat kerahasiaan tinggi (Indonesian Observer, 26/06/2000). Situs Federal Bureau of Investigation (FBI) juga tidak luput dari serangan para hacker, yang mengakibatkan tidak berfugsinya situs ini beberapa waktu lamanya. 18 2. Illegal Contents Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke Internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya, pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah dan sebagainya. 3. Data Forgery Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scripless document melalui Internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi "salah
18
(http://www.fbi.org)/. Diakses pada tanggal 3 Maret 2010.
ketik" yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku karena korban akan memasukkan data pribadi dan nomor kartu kredit yang dapat saja disalah gunakan. 4. Cyber Espionage Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan matamata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen ataupun data pentingnya (data base) tersimpan dalam suatu sistem yang computerized (tersambung dalam jaringan komputer). 5. Cyber Sabotage and Extortion Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan Internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. 6. Offense against Intellectual Property Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di Internet. Sebagai contoh, peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di Internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya. 7. Infringements of Privacy Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila
diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil maupun immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi dan sebagainya.
2.3. Tinjauan Umum tentang Pemidanaan Pengenaan pidana terhadap kejahatan dan pelanggaran perbankan umumnya mengacu ke Pasal 10 KUHP: 1.
Pidana pokok dan pidana tambahan (penjara, kurungan denda, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim);
2.
Sanksi administratif oleh Bank Indonesia: denda, teguran, penurunan tingkat kesehatan, larangan ikut kliring, pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha (sanksi administratif tidak mengurangi ketentuan ancaman pidana).19
2.3.1. Pidana Pokok Mengenai pidana pokok diatur dalam KUHP Pasal 10, yaitu: 1.
Pidana mati
2.
Pidana penjara, yang terdiri atas: a. Penjara seumur hidup; dan b. Penjara sementara waktu.
3.
Pidana Kurungan
4.
Pidana Denda Pidana pokok yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan antara lain: 1.
Pidana penjara sementara waktu; 19
Neni Sri Imaniyati, Op.Cit, h. 172
2.
Pidana kurungan; dan
3.
Pidana denda.
2.3.2. Pidana Tambahan Menurut Pasal 10 huruf b KUHP, pidana tambahan terdiri dari: 1. Pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut Pasal 35 KUHP terdiri dari: a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; b. Hak memasuki Tentara Nasional Indonesia; c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; d. Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri; e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; dan f. Hak menjalankan pekerjaan yang ditentukan. 2. Perampasan barang-barang tertentu; dan 3. Pengumuman putusan hakim.
2.4 Tinjauan tentang Kebijakan Penanggulangan Kejahatan 2.4.1. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnyan dan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan sejahtera merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NKRI 1945).Salah satu bagian pembangunan nasional adalah pembangunan dibidang hukum, yang dikenal dengan istilah
pembaruan hukum.Pembaruan hukum nasional sebagai bagian dari rangkaian pembangunan nasional ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum administrasi, dan meliputi juga hukum formil maupun hukum materiilnya. Upaya pembaruan hukum tidak terlepas dari kebijakan publik dalam mengendalikan dan membentuk pola sampai seberapa jauh masyarakat diatur dan diarahkan. Dengan demikian sangat penting untuk menyadarkan para perancang hukum dan kebijakan publik bahkan para pendidik, bahwa hukum dan kebijakan publik yang diterbitkan akan mempunyai implikasi yang luas dibidang sosial, ekonomi, dan politik. Sayangnya, spesialisasi baik dalam pekerjaan, pendidikan maupun riset yang dilandasi dua disiplin tersebut (hukum dan ilmu sosial), sehingga berbagai informasi yang bersumber dari keduanya tidak selalu bertemu bahkan sering kali tidak sama dan sebangun. Secara umum, kebijakan dapat diartikan sebagai prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan publik, masalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan dengan suatu tujuan yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga Negara).20 Upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat pada hakikatnya
merupakan
bagian
integral
dari
kebijakan
atau
upaya
penanggulangan
kejahatan.21Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah “politik kriminal” menurut Sudarto merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.Definisi ini diambil dari Marc Ncel yang merumuskan politik kriminal
20
Wisnusubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h.3. 21 Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi I), h.2.
sebagai “the rational organization of the control of crime by society”.22Tujuan penanggulangan kejahatan yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan dari politik kriminal yang demikian dinyatakan dalam salah satu laporan kursus latihan ke-3 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973: “Most of group members agreed some discussion that “protection of the society” could be accepted as the final goal of criminal policy, although not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms like “happinessof citizens”, “a wholesome and cultural living”, “social welfare” or “equality”.23 Kesepakatan dari hasil kursus tersebut dapat menjadi landasan dalam kebijakan kriminal sebagai upaya penanggulangan kejahatan untuk kesejahteraan sosial dan untuk perlindungan masyarakat.
2.4.2. Upaya Penanggulangan Kejahatan melalui Hukum Pidana Penggunan hukum pidana dalam mengatur masyarakat lewat peraturan perundangundangan pada hakikatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan.Selanjutnya untuk menentukan bagaimana suatu langkah yang rasional dalam melakukan kebijakan tidak dapat pula dipisahkan dari tujuan kebijakan pembangunan itu sendiri secara integral.Dengan demikian, dalam usaha untuk menentukan suatu kebijakan apapun, termasuk kebijakan hukum pidana, selalu terkait dan tidak terlepaskan dari tujuan pembangunan nasional itu sendiri yaitu bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah “politik kriminal” menurut GP Hoefnagles dapat ditempuh dengan: a. Penerapan hukum pidana (criminal law application) b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
22
Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni,Bandung (selanjutnya disingkat Sudarto I),
23
Barda Nawawi I, loc.cit.
h.38.
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kejahatan dan pemidanaan melalui mass media (influencing views pf society on crime and punishment).24 Untuk kategori pertama dikelompokkan kedalam upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal, sedangkan kedua dan ketiga termasuk upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal. Terhadap kedua sarana tersebut, Muladi berpendapat: “Kebijakan kriminal adalah usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.Kebijakan kriminal disamping dapat dilakukan secara represif melalui sistem peradilan pidana (pendekatan penal) dapat pula dilakukan dengan sarana “non penal” melalui berbagai usaha pencegahan tanpa harus menggunakan sistem peradilan pidana, misalnya usaha penyehatan mental masyarakat, penyuluhan hukum, pembaruan hukum perdata dan hukum administrasi, dan sebagainya.” 25 Pendekatan dengan caranon penal mencakup area pencegahan kejahatan yang sangat luas dan mencakup baik kejahatan maupun praktek. Sarana non penal pada dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kode etik sampai dengan pembaruan hukum perdata dan hukum administrasi.Berbicara tentang kebijakan kriminal yang mencakup pendekatan penal melalui sistem peradilan pidana, dengan sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi yang mengatur ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi yang dapat dijatuhkan, baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment).26Sarana kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka “kebijakan hukum pidana” harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa social welfare dan social defence.27
24
Barda Nawawi I, op.cit. h.42. Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta (selanjutnya disingkat Muladi I), h.182. 26 Ibid, h.201. 27 Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta (selanjutnya disingkat Barda Nawawi II), h.77. 25
Sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” sangat vital perannya dalam proses penegakkan hukum untuk menanggulangi kejahatan. Seminar kriminologi ketiga tahun 1976 dalam salah satu kesimpulannya menyebutkan: Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitasi) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat dan masyarakat.28 Politik kriminal yang dilakukan dengan menggunakan sarana penal berarti penggunaan sistem peradilan pidana mulai dari kriminalisasi sampai dengan pelaksanaan pidana.Pendakatan dengan sarana penal harus terus menerus dilakukan melalui pelbagai usaha untuk menyempurnakan
sistem
peradilan
pidana,
baikdari
aspek
legislasi
(kriminalisasi,
deskriminalisasi, dan depenalisasi), perbaikan sarana-prasarana sistem, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana.Secara sistemik, sistem peradilan pidana ini mencakup suatu jaringan sistem peradilan, dengan subsistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan, permasyarakatan, yang mendayagunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya.Hukum pidana dalam hal ini mencakup hukum pidana materiil, formil, dan hukum pelaksanaan pidana.29 Operasionalisasi kebijakan hukum dengan sarana penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas 3 (tiga) tahap yakni: a. Tahap formulasi (kebijakan legislatif) b. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) c. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administrative)30
28
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung,
29
Muladi I, op.cit, h. 156 dan h.182. Barda Nawawi II, op.cit, h.78-79.
h.92. 30
Berdasarkan 3 (tiga) uraian tahapan kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung didalamnya tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif/formulatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan dantahapan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana. 2.4.2.1 Kebijakan Formulasi Dilihat dari perspektif hukum pidana maka kebijakan formulasi harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang berlaku saat ini.Tidaklah dapat dikatakan terjadi harmonisasi/sinkronisasi apabila kebijakan formulasi berada diluar sistem hukum pidana yang berlaku saat ini. Sebagaimana ditulis oleh Barda Nawawi Arief, kebijakan formulasi merupakan tahap yang paling strategis dari ”penal policy” karena pada tahap tersebut legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi apa yang dapat dikenakan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum tetapi juga tugas para pembuat undang-undang (legislatif).31
31
Barda Nawawi II, loc.cit.
Perencanaan dalam penanggulangan kejahatan dengan sistem hukum pidana pada tahapan formulasi pada intinya menurut Nils Jareborg mencakup 3 (tiga) masalah pokok struktur sistem hukum pidana, yaitu masalah: 1. Perumusan tindak pidana/kriminalisasi dan pidana yang diancamkan (criminalization and threatened punishment). 2. Pemidanaan (adjudication of punishment sentencing). 3. Pelaksanaan pidana (execution of punishment).32 Sejalan dengan hal diatas konsep rancangan KUHP baru disusun dengan bertolak pada 3 (tiga) materi/substansi/masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu: 1. Masalah tindak pidana 2. Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana 3. Masalah pidana dan pemidanaan33 Semua hukum pidana materiil/substantif, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.L.H.C Hulsman mengemukakan pengertian sistem pemidanaan sebagai aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the statory rules relating to penal sanctions and punishment). 34 Dari pengertian diatas Barda Nawawi Arief memberikan pengertian pemidanaan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup pengertian: Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan; Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana; Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana; 32
Barda Nawawi II, op.cit, h.215. Barda Nawawi I, op.cit, h.77. 34 Barda Nawawi I, op.cit, h.135. 33
Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).35 Pertanyaan tentang perumusan tindak pidana/kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan. Berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi menurut Sudarto perlu diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut: a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan spiritual) atas warga masyarakat. c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle). d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jaringan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelating).36 Berdasarkan pertimbangan diatas, dapat disimpulkan bahwa alasan kriminalisasi pada umumnya adalah: 1. Adanya korban; 2. Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan; 3. Harus berdasarkan asas “ratio principle”; dan 4. Adanya kesepakatan sosial (public support).37 Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi yaitu perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana dan penalisasi yaitu sanksi apa yang sebaiknya dikenakan pada
35
Barda Nawawi I, op.cit, h.136. Sudarto I, op.cit, h.23. 37 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkattulah, 2005, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Deskriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.23. 36
sipelaku tindak pidana. Kriminalisasi dan penalisasimenjadi masalah sentral yang untuk penanganannya diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi mencakup ruang lingkup perbuatan melawan hukum (actus reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea), maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana maupun tindakan. Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultimum remedium dan menjadi boomerang dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi yang berlebihan yang justru mengurangi wibawa hukum.38 2.4.2.2 Kebijakan Penegakan Hukum Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal sebagai salah satu bagian dari keseluruhan kebijaksanaan penanggulangan kejahatan, memang penegakan hukum pidana bukan merupakan satu-satunya tumpuan harapan untuk dapat menyelesaikan atau menanggulangi kejahatan itu secara tuntas. Hal ini wajar karena pasa hakikatnya kejahatan itu merupakan masalah kemanusian dan masalah sosial yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan hukum Walaupun penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan kejahatan bukan merupakan satu-satunya tumpuan harapan, namun keberhasilannya sangat diharapkan karena pada bidang penegakan hukum inilah dipertaruhkan makna dari negara berdasarkan atas hukum.Peran aparat penegak hukum dalam negara hukum juga dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo, yang menyatakan “hukum tidak memiliki fungsi apa-apa, bila tidak diterapkan atau ditegakkan bagi pelanggar hukum, yang mengakkan hukum dilapangan adalah penegak hukum 39.
38
Muladi, 22 Agustus 2003, “Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime”, Majalah Media Hukum Vol .1 No.3 (selanjutnya disingkat Muladi II), h.1. 39 Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Sakti, Bandung, h.153.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penegak adalah yang mendirikan/menegakkan. Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum, dalam arti sempit hanya berarti polisi dan jaksa.40Di Indonesia istilah ini diperluas sehingga mencakup pula hakim, pengacara dan lembaga pemasyarakatan.Sudarto memberi arti penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan baik perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi (onrecht in potentie).41Menurut Soerjono Soekanto, secara kensepsional, inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.42 Sebagai bagian dari kebijakan sosial, kebijakan penegakan hukum ini meliputi proses apa yang dinamakan sebagai kebijakan kriminal atau criminal policy. Konsepsi dari kebijakan penegakan hukum inilah yang nantinya akan diaplikasikan melalui tataran instutisional melalui suatu sistem yang dinamakan Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana), karenanya ada suatu keterkaitan antara kebijakan penegakan hukum dengan sistem peradilan pidana, yaitu sub sistem dari sistem peradilan pidana inilah yang nantinya akan melaksanakan kebijakan penegakan hukum berupa pencegahan dan penanggulangan terjadinya suatu kejahatan dimana peran-peran dari sub sistem ini akan menjadi lebih acceptable bersama-sama dengan peran masyarakatnya. Tanpa peran masyarakat, kebijakan penegakan hukum akan menjadi tidak optimal.
40 41
Anton M. Moelijono, 1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.912. Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung (selanjutnya disingkat Sudarto
II), h.32 42
Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.5.
Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor yang mungkin mempengaruhinya.Menurut Soejono Soekanto faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Faktor hukumnya sendiri (undang-undang) Faktor penegakan hukum, yakni pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia alam pergaulan hidup.43 Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.Diantara semua faktor tersebut, menurut Soerjono Soekanto, faktor penegak hukum menempati titik sentral sebagai tolak ukur sampai sejauh mana kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. 44 Penegakan hukum sangat terikat dengan hukum acara pidana dan pembuktian. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan siding pengadilan.45Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa, apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dengan alat-alat bukti yang disebut Pasal 184 KUHAP terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatukan hukuman. Adapun alat-alat bukti yang disebutkan dalam pasa 184 KUHAP, ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; 43
Ibid, h.8. Ibid, h.69. 45 M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Bandung, h.252. 44
d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.46 Penjelasan Pasal 184 KUHAP dijelaskan “dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”. 47Bertolak dari pasal 184 dan penjelasannya tersebut, berarti kecuali pemeriksaan cepat, untuk mendukung keyakinan hakim diperlukan alat bukti lebih dari satu atau sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.Untuk hal ini Pasal 183 KUHAP secara tegas dirumuskan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.48Dengan demikian dalam KUHAP secara tegas memberikan legalitas bahwa disamping berdasarkan unsur keyakinan hakim, pembuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah adalah sangat diperlukan untuk mendukung unsur kesalahan dalam hal menentukan seseorang benar-benar terbukti melakukan tindak pidana atau tidak.
2.4.3. Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan globalisasi serta kemajuan teknologi informasi menuntut pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana yang berlaku sesuai dengan nilainilai masyarakat Indonesia. Penanggulangan terhadap tindak pidana teknologi informasi perlu diimbangi dengan pembenahan dan pembangunan sistemhukum pidana secara menyeluruh, yakni meliputi pembangunan kultur, struktur, dan substansi hukum pidana. Dalam hal ini kebijakan pidana menduduki posisi strategis dalam pengembangan hukum pidana modern.
46
Ibid, h.807. Penjelasan Pasal 184 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76. 48 Pasal 183 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 47
Kebijakan hukum dalam arti kebijakan negara dibidang hukum harus dipahami sebagai bagian kebijakan sosial yaitu usaha setiap masyarakat/pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya di segala aspek kehidupan. Hal ini bias mengandung dua dimensi yang terkait satu sama lain, yaitu kebijakan kesejahteraan sosial dan kebijakan perlindungan sosial. 49 Definisi hukum pidana menurut Sudarto adalah memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.50Pemberian pidana dalam arti umum itu merupakan bidang dari pembentuk undang-undang yang berdasarkan asas legalitas.Jadi undang-undang menetapkan dan membatasi perbuatan mana dan pidana (sanksi) mana yang dapat dijatuhkan kepada pelanggarnya.Jadi untuk mengenakan pidana diperlukan undang-undang terlebih dahulu. Pengertian kebijakan hukum dan hukum pidana diatas memberikan definisi kebijakan hukum pidana sebagai, bagaimana mengusahakan atau membuatkan, merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.51 Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy” yang dikemukakan oleh Marc Ancel, bahwa “Penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.52 Sejalan dengan pemikiran demikian Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa upaya melakukan pembaruan hukum pidana pada hakikatnya termasuk bidang “penal policy” yang merupakan bagan dan terkait dengan “law enforcement policy”, “criminal policy”, dan “social policy”. Ini berarti pembaruan hukum pidana pada hakikatnya:
49
Muladi I, Op.cit, h.269. Sudarto I, Op.cit, h.100. 51 Barda Nawawi I, Op.cit, h.25. 52 Barda Nawawi I, Op.cit, h.21. 50
a. b. c. d.
Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbarui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum; Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasioanal) untuk memberantas/menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat; Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional; Merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali dan penilaian kembali pokokpokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai sosio-filosofik, sosial-politik, dan sosiokultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).53
Pembaruan hukum pidana diatas dipengaruhi oleh sistemhukum pidana, Sistemhukum pidana tersebut terdiri dari: 1. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; 2. Suatu prosedur hukum pidana; dan 3. Suatu mekanisme pelaksanaan pidana.54 Pengertian “systemhukum pidana” dari Marc Ancel memberikan landasan A Mulder dalam memberikan pengertian kebijakan politik hukum pidana, untuk menentukan: 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui. 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.55 Bertolak dari kebijakan tersebut diatas, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.Kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal.Dilihat dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.
53
Ibid, h.28. Ibid, h.26. 55 Ibid, h.25-26. 54