II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
YOGURT SINBIOTIK
Dewasa ini, yogurt merupakan minuman yang diminati oleh masyarakat Indonesia. Yogurt telah lama diketahui sebagai produk dengan banyak manfaat yang diharapkan bagi konsumen dan juga penting bagi kesehatan konsumen. Yogurt adalah minuman fermentasi yang dibuat dari susu segar dan/atau susu skim dengan menggunakan bakteri asam laktat (BAL) sebagai starter. Menurut Standar Nasional Indonesia (2009), yogurt merupakan produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus dan atau BAL lain yang sesuai, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Yogurt yang berupa minuman cair kental dengan rasa asam (dari akumulasi asam laktat) dan flavor yang khas (dari komponen asetaldehida, sejumlah kecil diasetil, aseton, asetoin, dan sebagainya) merupakan hasil dari aktivitas starter bakteri (BAL) dalam fermentasi susu. Syarat mutu yogurt berdasarkan SNI 2981-2009 dilampirkan pada Lampiran 1. Yogurt dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam tubuh, seperti enteropathogenic Escherichia coli (EPEC). Mekanisme penghambatan yogurt terhadap EPEC adalah dengan menurunkan pH lingkungan pertumbuhan EPEC. Asam organik yang dihasilkan oleh BAL dapat menurunkan pH hingga kurang dari 4 sehingga pertumbuhan EPEC dapat terhambat. BAL yang sering digunakan sebagai starter yogurt adalah Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Namun, ternyata BAL tersebut belum cukup untuk menjaga kesehatan saluran pencernaan karena tidak dapat bertahan di dalam saluran pencernaan sehingga tidak berperan dalam saluran pencernaan manusia (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus berperan untuk membentuk tekstur dan flavor yogurt. L. bulgaricus berkontribusi terhadap flavor yogurt melalui produksi asam laktat, asetaldehida, asam asetat, dan diasetil (Ma’rifah 2008). Oleh karena itu, dalam penelitian ini, ke dalam yogurt, ditambahkan bakteri probiotik yang mampu bertahan hidup, berkembang biak, berkompetisi dalam hal adhesi dan substrat fermentasi serta mengeluarkan zat antimikroba dalam saluran pencernaan manusia, sehingga dapat menjaga keseimbangan mikroflora usus. Dalam penelitian kali ini, selain probiotik, ditambahkan juga prebiotik sehingga yogurt yang dihasilkan adalah yogurt sinbiotik. Yogurt sinbiotik merupakan salah satu produk susu fermentasi yang dibuat dengan menggunakan campuran beberapa kultur BAL seperti Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus, Lactobacillus achidophilus, dan Bifidobacterium bifidum, yang dikombinasikan dengan prebiotik seperti fruktooligosakarida (FOS). Kombinasi probiotik (BAL) dan prebiotik dapat meningkatkan daya tahan bakteri probiotik. Hal ini karena substrat yang spesifik telah tersedia untuk fermentasi sehingga tubuh mendapat manfaat yang lebih sempurna dari kombinasi ini. Inilah yang merupakan kelebihan dari yogurt sinbiotik dibandingkan dengan yogurt konvensional. Oleh sebab itu, yogurt sinbiotik merupakan salah satu pangan alternatif yang lebih menyehatkan dan baik jika dikonsumsi rutin, karena dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya diare.
3
2.1.1
Probiotik
Probiotik adalah sediaan sel mikroba atau komponen dari sel mikroba yang memiliki efek yang menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya (Tamime et al. 2005). Menurut FAO (2006), probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang ketika diberikan (diatur) dalam jumlah yang cukup, memberikan manfaat kesehatan pada inangnya atau ketika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup sebagai bagian dari pangan, memberikan manfaat kesehatan pada inangnya. Mikroba probiotik umumnya dimasukkan ke dalam pangan fermentasi yang berbasis susu. Alasannya adalah karena produk susu fermentasi (yogurt) telah dikenal sebagai pangan yang menyehatkan. Probiotik dapat dijadikan sebagai alternatif untuk mengobati infeksi saluran pencernaan dan untuk mencegah diare. Sejak dahulu, bakteri probiotik dianjurkan karena dapat memberikan manfaat bagi orang yang mengonsumsinya terutama terhadap pencegahan dari infeksi saluran pencernaan (Commane et al. 2005). Studi kini telah mengindikasikan bahwa bakteri probiotik memberikan efek lain terhadap inangnya seperti menekan alergi, mengontrol kadar kolesterol darah, memodulasi fungsi imun, dan mencegah kanker kolon (Commane et al. 2005). Perlawanan kompetitif terhadap patogen merupakan klaim kesehatan yang paling penting dari bakteri probiotik (Rinkinen et al. 2003). Jumlah minimal sel probiotik yang dapat memberikan efek kesehatan masih kontroversial, tetapi beberapa peneliti menyebutkan bahwa dosis terapinya (yang berefek terhadap kesehatan manusia) adalah harus lebih dari 107 dan 108 cfu/ml (Kailasapathy dan Rybka 1997), harus mencapai 108 sel probiotik hidup per hari (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001), minimum 105 sel hidup setiap gram atau ml produk (Farida 2005), atau 107-1010 cfu/hari (Lee dan Salminen 2009). Walaupun demikian, dosis tersebut sebetulnya sangat tergantung dari jenis makanan dan strain yang digunakan (Rahayu 2004). BAL merupakan bakteri yang telah dikenal sebagai probiotik. BAL adalah bakteri Gram positif yang bersifat mikroaerofilik, tidak berspora, dan mampu memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat. Penggunaan BAL sebagai probiotik (non-patogen, mikroorganisme turunan inang yang bermanfaat bagi inang dengan memperbaiki keseimbangan mikrobial yang sesuai) telah dianjurkan untuk memperbaiki dan mempertahankan kesehatan selama lebih dari seratus tahun (Reid 2000). Lactobacillus, Enterococcus, Bifidobacterium, dan beberapa Propionibacterium telah dikenal sebagai probiotik di dalam produk pangan (Collado et al. 2010). Sementara itu, menurut Lee dan Salminen (2009), kelompok bakteri yang merupakan probiotik adalah Lactobacilli, Bifidobacteria, kamir, dan Enterococci. Lactobacillus dan Bifidobacterium merupakan genus utama yang biasanya digunakan sebagai mikroorganisme probiotik dan pangan probiotik yang tersedia bagi konsumen (FAO 2006). Walaupun demikian, untuk dapat bersifat sebagai probiotik, BAL harus memenuhi beberapa syarat berikut (Seveline 2005): 1. Tahan terhadap asam, terutama asam lambung yang memiliki pH antara 1.5-2.0 sewaktu tidak makan dan pH 4.0-5.0 sehabis makan, sehingga mampu bertahan dan hidup lama ketika melalui lambung dan usus. 2. Stabil terhadap garam empedu dan mampu bertahan hidup selama berada dalam usus kecil. 3. Memproduksi senyawa antimikroba seperti asam laktat, hidrogen peroksida, dan bakteriosin. 4. Mampu menempel pada sel usus manusia, dapat membentuk koloni, memiliki aktivitas antagonis terhadap patogen, mampu mengatur sistem daya tahan tubuh, dan mempercepat penyembuhan infeksi. 5. Tumbuh baik dan berkembang dalam saluran pencernaan. 6. Dapat berkoagregasi (kemampuan untuk berinteraksi antarkultur untuk saling menempel) membentuk lingkungan mikroflora yang normal dan seimbang.
4
7.
Aman digunakan oleh manusia. BAL memiliki peranan yang penting dalam kehidupan manusia karena BAL memiliki kemampuan untuk menghasilkan makanan fermentasi dan hidup di dalam saluran pencernaan. BAL ini dapat menghasilkan asam laktat dan senyawa-senyawa tertentu lainnya (asam organik, hidrogen peroksida, karbondioksida, diasetil, reuterin, dan bakteriosin) yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain yang tidak dikehendaki. Kemampuan BAL untuk hidup di dalam saluran pencernaan, dapat menekan pertumbuhan bakteri enteropatogenik (EPEC) sehingga dapat dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan tubuh (saluran pencernaan). Inilah alasan yang menyebabkan BAL berpotensi sebagai probiotik. Dengan demikian, kini probiotik menjadi perhatian dalam potensinya untuk terapi bagi penyakit diare sehingga studi tentang probiotik semakin meluas. Sekarang ini probiotik umum digunakan sebagai terapi alternatif untuk penyakit diare (Miyazaki et al. 2010). Probiotik tidak hanya mengatur lingkungan mikroba saluran pencernaan, tetapi juga mempengaruhi bakteri patogen secara langsung. Probiotik mampu menstimulasi sistem imun yaitu dengan meningkatkan fungsi fagositosis dari makrofag, sel natural killer (NK), monosit, dan neutrofil (Hartanti 2010). BAL tertentu juga memiliki aktivitas antioksidatif. BAL dapat mengurangi risiko akumulasi ROS (reactive oxygen species) dalam tubuh inang dan berpotensi sebagai suplemen probiotik pangan untuk mengurangi stres oksidatif (Songisepp et al. 2004). Tujuan dari produk pangan fungsional seperti probiotik adalah untuk mengontrol kesehatan seluler dan meningkatkan kapasitas pertahanan endogenus dari sel (Zubillaga et al. 2001). Berbagai mekanisme dan manfaat kesehatan dari probiotik (Zubillaga et al. 2001) terangkum pada Tabel 1.
Tabel 1. Mekanisme dari probiotik (Zubillaga et al. 2001) Mekanisme Manfaat Aktivitas antimikroba - Mengontrol rotavirus dan Clostridium - Mengontrol penyakit yang berhubungan dengan Heliobacter pylori - Sebagai terapi antibiotic - Dapat dijadikan treatment bagi penderita diare Resistensi kolonisasi Menjaga keseimbangan mikroflora kolon Efek imun • Ekspresi sitokin - Meningkatkan respon imun • Stimulasi fagositosis melalui leukosit darah peripheral - Meningkatkan respon imun • IgA sekretori Mempengaruhi aktivitas enzim - Mereduksi enzim fekal yang terlibat dalam inisiasi kanker - Mereduksi kolesterol serum Menghasilkan enzim Memperbaiki gejala malabsopsi laktosa Efek antimutagenik Efek antigenotoksik
2.1.1.1
Lactobacillus plantarum
Lactobacillus plantarum adalah bakteri Gram positif yang memproduksi asam laktat dan hidup pada berbagai lingkungan yang berbeda, termasuk pada beberapa pangan dan saluran pencernaan manusia (EBI 2010). L. plantarum merupakan bakteri yang bersifat aerotoleran yang
5
dapat tumbuh pada suhu 15°C, tetapi umumnya tidak dapat tumbuh pada suhu 45°C (Wikipedia 2010). L. plantarum berbentuk batang, tidak berspora, non-motil, dan termasuk heterofermentatif fakultatif (Ma’rifah 2008). L. plantarum adalah spesies yang penting dalam fermentasi berbagai produk sayuran dan daging. L. plantarum juga diketahui memproduksi senyawa antimikroba, seperti plantaricin, yang aktif dalam melawan bakteri patogen (Son et al. 2009). Menurut Liong (2007), strain L. plantarum dapat menginduksi pelepasan sitokin dari donor manusia sehat melalui leukosit darah periferal mononuklear dan meningkatkan produksi interleukin-10 (IL-10) oleh makrofag dan sel T dari mukosa usus. Menurut Lee dan Salminen (2009), L. plantarum dapat meningkatkan masa penyembuhan pasien infeksi bakteri enterik dengan cara menguatkan fungsi proteksi mukosa usus melalui pencegahan kolonisasi bakteri patogen. L. plantarum juga dapat membantu menghasilkan lactolin yang merupakan antibiotik alami, membasmi patogen dari makanan fermentasi, meningkatkan jumlah sel sistem kekebalan, dan mensintesis asam amino antiviral (L-lisin) (Lee dan Salminen 2009). Dengan demikian, L. plantarum ini berpotensi sebagai probiotik.
2.1.1.2
Lactobacillus fermentum
Lactobacillus fermentum adalah bakteri Gram positif yang umumnya ditemukan pada bahan tumbuhan dan hewan fermentasi (Wikipedia 2010). L. fermentum merupakan bakteri yang tidak membentuk spora dan bersifat heterofermentatif (Songisepp et al. 2004). Kullisaar et al. (2003) melaporkan bahwa konsumsi dari susu fermentasi yang mengandung L. fermentum menunjukkan efek antioksidatif dan antiaterogenik. Sementara itu, menurut Reid (2000), strain L. fermentum dapat memproduksi hidrogen peroksida yang berperan sebagai senyawa antimikroba. Songisepp et al. (2004) juga menyebutkan bahwa L. fermentum memiliki aktivitas antimikroba dan antioksidatif yang tinggi karena sel-selnya dapat memproduksi Mn-SOD (Mnsuperoksida dismutase). Selain itu, L. fermentum juga memiliki kemampuan untuk mencegah infeksi urogenital (Probiologics Inc.). H 2 O 2 yang diproduksinya dapat menghambat pertumbuhan patogen di usus dan saluran urogenital. Peran et al. (2006) menyebutkan bahwa perlakuan dengan L. fermentum menunjukkan pemulihan dari respon inflamasi pada tikus kolitis (mengalami radang usus besar). Peran et al. (2006) juga menyebutkan bahwa secara in vitro, L. fermentum dapat memproduksi komponen antioksidan, seperti dipeptide γ-Glu-Cys, pada tikus percobaan yang mengalami kolitis. Menurut Zoumpopoulou et al. (2008), L. fermentum menunjukkan potensi probiotik karena memiliki karakteristik probiotik di antaranya memiliki aktivitas mikrobial dan imunomodulator yang diuji secara in vitro yang dikonfirmasi dengan pengujian in vivo menggunakan tikus percobaan. Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Bao et al. (2010) yang menyatakan bahwa L. fermentum memiliki karakteristik probiotik yang potensial karena bakteri ini memiliki ketahanan terhadap pH rendah serta mampu menstimulasi enzim pada saluran pencernaan dan garam empedu.
2.1.2
Prebiotik
Prebiotik merupakan komponen pangan yang non-viabel yang memberikan manfaat kesehatan pada inangnya terkait dengan modulasi mikrobiota (FAO 2007). Menurut LourensHattingh dan Viljoen (2001), prebiotik merupakan gula kompleks yang tidak dapat dimetabolisme
6
secara langsung oleh manusia, tetapi dapat menjadi sumber karbohidrat bagi flora usus. Dengan demikian, prebiotik adalah salah satu strategi untuk memanipulasi mikroflora usus. Penambahan prebiotik seperti oligosakarida ke dalam pangan adalah terutama bertujuan untuk mendukung pertumbuhan organisme probiotik tertentu dalam kolon sehingga dapat memperbaiki kesehatan inangnya. Prebiotik tidak digunakan oleh bakteri usus lainnya. Contoh dari prebiotik antara lain adalah pati resisten, polisakarida non-pati (pektin, selulosa, guar, dan xylan), gula, dan oligosakarida (laktosa, laktulosa, rafinosa, stakiosa, dan fruktooligosakarida). Untuk dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik, suatu ingridien pangan harus tidak dapat dihidrolisis atau tidak dapat diserap di dalam saluran pencernaan atas, namun dapat difermentasi secara selektif oleh sejumlah terbatas bakteri yang berpotensi menguntungkan di dalam kolon, sehingga mengubah komposisi mikrobiota kolon menjadi koloni yang lebih menyehatkan (Franck 2008). Efek yang paling penting dari prebiotik adalah untuk memperkuat ketahanan tubuh dalam melawan patogen sehingga dapat mencegah terjadinya diare (Dutcosky et al. 2006). Prebiotik memiliki efek yang tidak langsung karena prebiotik secara selektif menstimulasi satu atau sejumlah terbatas mikroorganisme sehingga menyebabkan modifikasi selektif dari mikroflora usus inang (terutama kolon) (Wang 2009). Manfaat prebiotik terhadap kesehatan (Rastall dan Gibson 2004), antara lain: 1. Melindungi dari kanker kolon Perlindungan prebiotik terhadap kanker kolon melibatkan produksi metabolit protektif. Butirat merupakan produk akhir fermentasi prebiotik oleh mikrobiota kolon yang diketahui dapat menstimulasi apoptosis dari sel-sel kanker kolon. 2. Memiliki efek antagonis terhadap patogen Prebiotik dapat meningkatkan ketahanan terhadap patogen melalui peningkatan jumlah Bifidobacteria dan Lactobacilli. Asam laktat yang diproduksi oleh bakteri tersebut diketahui memiliki sifat penghambatan. 3. Meningkatkan penyerapan kalsium Fermentasi dari prebiotik menghasilkan asam lemak rantai pendek yang menyebabkan penurunan pH kolon. Hal ini mengakibatkan kelarutan kalsium meningkat sehingga penyerapannya meningkat. 4. Memiliki efek imunologi Secara tidak langsung, prebiotik dapat memberikan efek imunologi. Bakteri asam laktat yang dapat menggunakan prebiotik dapat menstimulasi sejumlah sel yang terlibat dalam respon imun spesifik dan non-spesifik. Prebiotik yang biasanya ditambahkan ke dalam pangan dan dapat mendukung pertumbuhan Bifidobacteria di dalam usus dikatakan memiliki faktor bifidogenik. Oligosakarida, seperti fruktooligosakarida, laktulosa, rafinosa, stakiosa, dan oligomer inulin, biasanya disebut sebagai prebiotik atau faktor bifidogenik (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Vrese dan Offick (2010) juga menyebutkan bahwa inulin, oligofruktosa, atau oligosakarida yang dikombinasikan dengan bakteri probiotik dapat meningkatkan Bifidobacteria dan Lactobacilli atau menghambat strain bakteri patogen pada manusia dan hewan. Menurut Franck (2008), inulin, oligofruktosa/fruktooligosakarida, dan galaktooligosakarida telah dievaluasi oleh pihak-pihak kesehatan yang berwenang di berbagai negara dan telah dinyatakan aman. Efek samping dari prebiotik tersebut hanya menyebabkan kembung, flatulensi, dan feses yang lembut. Namun, dalam prakteknya, tingkat penggunaan prebiotik (umumnya 2-4 g/saji) jauh di bawah jumlah yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan saluran pencernaan. Menurut Pascal (2008), dalam pernyataan yang disampaikan oleh Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2000,
7
FOS dinyatakan GRAS untuk digunakan pada tingkat yang berbeda (antara 0.1% dan 5%). Menurut Ramchandran dan Shah (2008) diacu dalam Michael (2010), suplementasi FOS sebanyak 2-5% memberikan manfaat nutrisional dan fungsional pada yogurt. Fruktooligosakarida (FOS) merupakan oligosakarida dengan berat molekul yang rendah yang memiliki efek terhadap Bifidobacteria usus (bifidogenik) (Nadal et al. 2010) dan merupakan prebiotik yang penting. FOS ini juga memiliki sifat larut dalam air, tidak dicerna di dalam usus halus, tidak bersifat viscous, tidak mengikat asam empedu, dan sangat mudah difermentasi (Schneeman 1999). FOS memiliki nilai DP (derajat polimerisasi) lebih rendah daripada inulin, yaitu berkisar antara 2-8 (Franck dan Leenheer 2005). FOS berantai pendek secara alami terdapat di dalam bawang, bawang putih, Jerusalem artichoke, asparagus, gandum, dan gandum hitam. Fruktooligosakarida memiliki efek bifidogenik. Menurut Nadal et al. (2010), 5% fruktooligosakarida merupakan promoter pertumbuhan yang terbaik terhadap Bifidobacteria. Nadal et al. (2010) juga menyebutkan bahwa dalam studi in vitro, dilaporkan bahwa 3% fruktooligosakarida juga memperbaiki ketahanan probiotik selama melalui saluran pencernaan. FOS sudah diaplikasikan di beberapa produk-produk pangan yang umum, seperti yogurt, susu fermentasi, keju, minuman yang mengandung susu, desserts, dan meal replacer (Franck 2008). Hal ini disebabkan oleh kemampuannya dalam memperbaiki mouthfeel dan memberikan efek rasa yang sinergis dalam kombinasinya dengan pemanis lainnya. Menurut Franck (2008), fruktooligosakarida (FOS) dapat dihidrolisis secara parsial dalam kondisi yang sangat asam, namun dapat berkontribusi terhadap tekstur dan mouthfeel, menunjukkan kemampuannya sebagai humektan, mengurangi aktivitas air untuk menjamin stabilitas mikrobiologi yang tinggi, berpengaruh terhadap titik didih dan titik beku, serta memiliki energi yang moderat. Menurut Nadal et al. (2010), pangan sinbiotik yang mengandung L. fermentum dan fruktooligosakarida diselidiki dapat mengurangi mukositis (peradangan usus) pada tikus percobaan. Dengan demikian, FOS ini merupakan ingridien yang baik sebagai pengganti gula yang juga dapat mengurangi kandungan kalori dari produk akhir dan bersifat sebagai prebiotik.
2.2
DIARE
Diare merupakan salah satu penyakit menular yang penting di Indonesia karena diare berpotensi menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), selain demam berdarah dengue dan chikungunya (Depkes RI 2008). Menurut Depkes RI (2008), diare dan gastroenteritis akibat infeksi tertentu (kolitis infeksi) merupakan penyebab kematian terbanyak ke-3 pada penderita rawat inap di rumah sakit pada tahun 2006 dengan persentase 3.23%, setelah stroke dan perdarahan intrakranial. Depkes RI (2008) juga menyebutkan bahwa diare dan gastroenteritis akibat infeksi tertentu (kolitis infeksi) merupakan penyakit terbanyak pada pasien rawat inap, dengan persentase 7.95%. Sementara itu, menurut Depkes (2009), pada tahun 2008, dilaporkan terjadi KLB diare di 15 provinsi dengan jumlah penderita sebanyak 8,443 orang dan jumlah kematian sebanyak 209 orang. Depkes RI (2009) menyebutkan bahwa diare dapat didefinisikan sebagai perubahan konsistensi feses dan frekuensi buang air besar. Dikatakan diare bila feses lebih berair dari biasanya. Selain itu, diare dapat juga didefinisikan bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar yang berair, tetapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam. Jumlah cairan yang banyak dalam feses (kotoran) disebabkan oleh gangguan dari usus halus dan usus besar dalam proses penyerapan elektrolit, sari-sari makanan, dan cairan. Gejala penyakit diare biasanya muncul dalam 2-3 hari setelah terinfeksi dan berakhir sampai beberapa minggu. Akibat dari diare ini adalah terjadinya
8
dehidrasi (kehilangan cairan dan garam-garaman, terutama natrium dan kalium) yang cepat, terutama pada anak-anak dan dapat menyebabkan kematian jika tidak diberikan pengobatan. Salah satu penyebab diare adalah infeksi bakteri ke dalam usus, seperti infeksi oleh bakteri enteropathogenic Escherichia coli (EPEC). Bakteri ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang dikonsumsi. Setelah masuk ke dalam tubuh (saluran pencernaan), bakteri ini dapat tumbuh, berkembang biak, dan menimbulkan penyakit seperti diare. Bakteri tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel-sel usus sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan penyerapan oleh usus dan dapat menurunkan kekebalan tubuh. Dengan demikian, diare akibat infeksi EPEC mengindikasikan bahwa terdapat ketidakseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan karena dalam keadaan normal, jumlah mikroflora yang menguntungkan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah bakteri patogen.
2.2.1
Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)
EPEC tidak sama dengan bakteri Escherichia coli normal yang terdapat di dalam usus besar. EPEC menyebabkan penyakit dengan cara berikatan dengan permukaan sel-sel inangnya dan secara langsung menginjeksi faktor virulens ke dalam sel tersebut (Vallance dan Finlay 2000). Menurut Janda dan Abbott (2006), dosis infeksi EPEC adalah berkisar antara 106-1010 cfu/ml, dengan waktu inkubasi berkisar antara 9-19 jam, dan durasi dari terjadinya diare rata-rata adalah selama lima hari. Gejala-gejala yang umum timbul akibat infeksi EPEC adalah diare, sakit perut, dan demam yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi (Janda dan Abbott 2006). Mekanisme EPEC dalam menyebabkan infeksi adalah dengan melakukan penempelan pada sel-sel epitelial tubuh. EPEC menempel dengan pola localized adherence (LA) di mana EPEC dalam bentuk mikrokoloni menempel dengan kuat pada lokasi-lokasi tertentu dari permukaan sel epitelial dan menyebabkan kerusakan pada mikrovili usus (Janda dan Abbott 2006). EPEC juga dapat memproduksi sitotoksin berupa CDLT (cytolethal distending toxin) yang bersifat letal untuk mempengaruhi sel, di mana sel tersebut akan menjadi memanjang secara abnormal dibandingkan dengan sel normal sebelum kematian sel, sehingga pada akhirnya dapat menginduksi kerusakan jaringan (Janda dan Abbott 2006). Selain dapat menyebabkan diare, infeksi EPEC juga dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus, dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Apabila mikroorganisme asing masuk ke dalam tubuh, terdapat dua pertahanan utama yang berperan, yaitu efek perusakan oleh bahan-bahan kimiawi yang larut (seperti enzim bakterisidal) dan mekanisme fagositosis (Roitt 2002). Di dalam jaringan, fagositosis dilakukan oleh makrofag. Dalam peristiwa fagositosis, akan terjadi penghancuran benda asing (EPEC), di mana makrofag akan mengeluarkan radikal-radikal bebas. Menurut Roitt (2002), ketika fagositosis dimulai, terjadi peningkatan yang mencolok dari kegiatan hexose monophosphate shunt yang membangun NADPH. Kemudian elektron-elektron keluar dari NADPH menuju ke flavoprotein membran yang mengandung FAD dan selanjutnya menuju ke suatu sitokrom membran plasma yang khas, yang berikutnya memungkinkan elektron untuk mengurangi oksigen molekuler langsung menjadi anion superoksida. Dalam penghancuran benda asing (EPEC) tersebut, terjadi pengeluaran radikal bebas dan menyebabkan terjadinya peradangan (inflamasi) pada sel-sel tubuh di sekitarnya. Gejala yang tampak pada systemic inflammatory syndrome diduga disebabkan oleh disregulasi fagosit PMN (polimorfonuklear) yang menghasilkan radikal superoksida dan mieloperoksida yang berlebihan
9
(Kresno 2001). Jika tubuh tidak dapat mengatasi hal ini, akan terjadi stres oksidatif yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Oleh karena itu, untuk menetralkan banyaknya radikal bebas yang dihasilkan tersebut, diperlukan enzim superoksida dismutase (di jaringan), glutation peroksidase (di mitokondria), dan katalase (di peroksisom). Jadi, jika benda asing (EPEC) yang masuk atau terinfeksi ke dalam tubuh berada dalam jumlah yang banyak, enzim penetral radikal yang diperlukan (dikeluarkan) juga banyak.
2.2.2
Keseimbangan Mikroflora Saluran Pencernaan
Mikroflora saluran pencernaan yang seimbang dan “baik” adalah prasyarat untuk hidup sehat, terutama untuk kebaikan saluran pencernaan, perkembangan sistem imun, serta pencegahan dari infeksi patogen dan diare (Vrese dan Offick 2010). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa flora intestinal yang seimbang dapat menyediakan suatu keteraturan yang semakin membaik, menstimulasi sistem imun, memproduksi enzim pencernaan, dan membantu mengontrol pembentukan radikal bebas (Dutcosky et al. 2006). Namun, tidak ada suatu kesepakatan yang menjelaskan bagaimana mikrobiota yang “ideal” itu, tetapi ada suatu kesamaan pemikiran bahwa mikrobiota yang “ideal” itu umumnya bersifat saccharolytic dan dapat menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek, serta terdiri atas Lactobacilli dan Bifidobacteria dalam jumlah banyak dibandingkan dengan bakteri yang berpotensi berbahaya (Vrese dan Offick 2010). Bakteri usus diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu berbahaya, menguntungkan, dan netral yang berhubungan dengan kesehatan manusia (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Bakteribakteri yang menguntungkan tersebut antara lain Bifidobacterium dan Lactobacillus. Bakteri-bakteri yang berbahaya antara lain Escherichia coli, Clostridium, Proteus, dan Bacteroides. Bakteri-bakteri tersebut memproduksi berbagai senyawa berbahaya, seperti amina, indol, hidrogen sulfida, atau fenol, dari komponen pangan dan menyebabkan masalah usus tertentu (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Menurut Lourens-Hattingh dan Viljoen (2001), flora pada orang dewasa relatif stabil, tetapi semakin bertambah usia, flora usus berubah kembali. Bifidobacteria akan menurun, bahkan bakteri tertentu yang berbahaya dapat meningkat. Komposisi yang kompleks dari flora usus relatif stabil pada manusia yang sehat (LourensHattingh dan Viljoen 2001). Beberapa gangguan yang mempengaruhi keseimbangan mikroflora usus ini, pada akhirnya menyebabkan dominasi dari mikroorganisme yang tidak diharapkan dalam usus dan kemudian menyebabkan pula penyakit-penyakit infeksi (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Oleh karena itu, menjaga keseimbangan saluran pencernaan merupakan hal yang penting. Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan adalah dengan mengonsumsi produk probiotik dan prebiotik secara teratur.
2.3
ENZIM SUPEROKSIDA ANTIOKSIDAN
DISMUTASE
(SOD)
SEBAGAI
Enzim superoksida dismutase (SOD) merupakan salah satu enzim antioksidan yang tergolong antioksidan endogenus, selain katalase, glutation peroksidase (GSH-Px), serta glutation reduktase (GSH-R) (Winarsi 2007). Enzim antioksidan bekerja dengan melindungi jaringan dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas oksigen seperti anion superoksida (O 2 y-), radikal hidroksil (OHy), dan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ). SOD bekerja mengkatalisis dismutasi dari superoksida dan mencegah peroksidasi lipid dari membran plasma, katalase mengkonversi hidrogen
10
peroksida menjadi H 2 O dan O 2 , glutation peroksidase mentransfer elektron dari GSH untuk mereduksi peroksida menjadi air, sedangkan glutation reduktase menstimulasi reduksi dari glutation disulfida (GSSG) menjadi glutation tereduksi (GSH) (Agarwal 2005). Akumulasi berlebih dari radikal bebas dapat diminimalisir dengan antioksidan enzimatis (Son et al. 2009). Superoksida dismutase (SOD) merupakan enzim antioksidan yang terdapat di dalam sel. SOD melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya proses peradangan yang disebabkan oleh radikal bebas (Winarsi 2007). SOD ini adalah penangkal utama radikal superoksida (O 2 y-) yang merupakan hasil reduksi satu elektron oksigen dan dapat terjadi pada hampir semua sel aerobik yang melakukan reaksi transfer elektron. SOD memiliki peranan yang sangat penting pada garis depan sistem pertahanan antioksidan. SOD menunjukkan fungsi kritikal dalam pertahanan seluler terhadap reactive oxygen species (ROS) dengan mengkatalisis dismutasi anion superoksida (O 2 y-) yang sangat reaktif menjadi oksigen (O 2 ) dan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) yang tidak terlalu reaktif (Doucette 2004). Enzim ini menghambat kehadiran simultan dari O 2 y- dan H 2 O 2 yang berasal dari pembentukan radikal hidroksi (OHy). Gambar 1 menunjukkan bahwa SOD mengkatalisis radikal superoksida menjadi oksigen dan hidrogen peroksida.
Gambar 1. Kerja Cu, Zn-SOD dalam pertahanan seluler (University of South Carolina 2006) Terdapat tiga jenis SOD berdasarkan ion logam yang terikat pada sisi aktifnya (Taniguchi 1992, Ji dan Hollander 2000), yaitu: 1. Cu, Zn-SOD (Copper, Zinc-Superoxide Dismutase) - Merupakan enzim yang sangat stabil. - Terdapat di dalam sitosol (sitoplasma) dan inti sel dari sel-sel eukariot, seperti kamir, tanaman, dan hewan. - Merupakan dimer dengan berat molekul 32,000. - Tersusun atas dua subunit identik yang dihubungkan oleh dua ikatan kovalen yang masingmasing mengandung satu ion Cu2+ dan satu ion Zn2+. 2. Mn-SOD (Manganese-SOD) - Merupakan tetramer dengan berat molekul 88,000. - Terdapat di dalam matriks mitokondria sel eukariot. - Tidak sestabil Cu, Zn-SOD. 3. Fe-SOD (Feri-SOD) - Terdapat pada bakteri. - Tersusun atas dua subunit protein yang mengandung satu atau dua ion Fe per molekul enzim (Fe yang terikat pada Fe-SOD adalah Fe3+). 4. EC-SOD (Extracellular SOD) - Terdapat di dalam plasma (cairan ekstraseluler) pada hewan mamalia dan paru-paru. - Merupakan tetramer dengan berat molekul 135,000 - Tergolong ke dalam Cu, Zn-SOD.
11
Aktivitas enzim SOD memiliki peran penting dalam sistem pertahanan tubuh terhadap pengaruh buruk beberapa metabolisme oksigen, terutama terhadap aktivitas senyawa oksigen reaktif yang dapat menyebabkan stres oksidatif. SOD ditemukan pada semua organisme (hewan dan tumbuhan) yang menggunakan oksigen dan akan menyusun mekanisme pertahanan melawan keracunan yang disebabkan oleh oksigen. Di antara keempat jenis SOD tersebut, Cu, Zn-SOD inilah yang paling berperan sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap pengaruh buruk beberapa metabolisme oksigen. SOD dapat menghilangkan superoksida yang dihasilkan oleh NADPH-oksidase dalam neutrofil (Baker et al. 1996 diacu dalam Sikka 2004). Menurut Halliwell dan Gutteridge (1999), Cu, Zn-SOD memiliki efek anti-inflamatori pada hewan percobaan yang mengalami inflamasi akut, dengan cara menurunkan jumlah neutrofil yang memasuki bagian yang mengalami inflamasi. Cu, Zn-SOD disebut juga SOD 1 (Winarsi 2007). Dalam Cu, Zn-SOD ini, ion Cu2+ penting untuk berfungsinya katalitik enzim (reaksi dismutasi) dengan mengalami oksidasi dan reduksi, sedangkan ion Zn2+ tidak berperan dalam siklus katalitik, tetapi penting untuk membantu kestabilan enzim (Halliwell dan Gutteridge 1999). Berikut adalah reaksi oksidasi dan reduksi yang dialami oleh ion Cu2+ dari SOD. Enzim-Cu2+ + O 2 y- → enzim-Cu+ + O 2 Enzim-Cu+ + O 2 y- + 2H+ → enzim-Cu2+ + H 2 O 2 Reaksi bersih: O 2 y- + O 2 y- + 2H+ → H 2 O 2 + O 2 Penyakit infeksi (terutama infeksi karena virus, bakteri, maupun parasit) dapat menyebabkan stres oksidatif yang membahayakan (Winarsi 2007). Stres oksidatif merupakan suatu kondisi yang berhubungan dengan peningkatan kerusakan sel yang diinduksi oleh oksigen dan oksidan derivat oksigen yang secara umum dikenal sebagai reactive oxygen species (ROS) (Sikka et al. 1995). Reactive oxygen species (ROS) merupakan agen pengoksidasi yang sangat reaktif yang termasuk dalam kelompok radikal bebas (Sikka et al. 1995). Reactive oxygen species (ROS) terdiri atas radikal oksigen (O 2 y- dan OHy) dan derivat oksigen yang nonradikal (H 2 O 2 , HOCl, serta agen pengoksidasi dan pengklorinasi yang diproduksi oleh fagosit yang teraktivasi) (Halliwell dan Gutteridge 1999). ROS dapat menyebabkan kerusakan berbagai target secara in vivo, termasuk lipid, protein, dan DNA. Toksisitas oksigen tersebut disebabkan oleh produksi yang berlebihan dari superoksida (O 2 y-) (Halliwell dan Gutteridge 1999). Beberapa O 2 y- diproduksi dengan sengaja secara in vivo, misalnya oleh sel-sel fagosit yang teraktivasi, seperti neutrofil, monosit, makrofag, dan eusinofil (Halliwell dan Gutteridge 1999). Fagosit yang teraktivasi menghasilkan superoksida sebagai bagian dari perannya sebagai agen bakterisidal (Cheeseman dan Slater 1993). Senyawa radikal bebas dibentuk oleh sel neutrofil dan makrofag ketika tubuh terinvasi oleh mikroorganisme (Ernst 1999). Aktivasi makrofag dan neutrofil merupakan bentuk mekanisme pertahanan tubuh terhadap serangan infeksi mikroorganisme. Dalam hal ini, enzim oksidase dan oksigenase akan membentuk berbagai senyawa radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif, termasuk asam hipoklorit (HOCl), yang akan menyerang dan menghancurkan virus atau bakteri (Winarsi 2007). Walaupun radikal bebas hanya diproduksi pada bagian di antara membran plasma fagosit dan bakteri, beberapa kebocoran dari superoksida, hidrogen peroksida, dan ROS lainnya tidak dapat dihindari (Cheeseman dan Slater 1993). Oleh karena itu, terbentuknya senyawa radikal tersebut juga berpotensi menyerang sel tubuh. Jika hal ini tidak
12
terkontrol secara benar oleh sistem pertahanan tubuh, akan memicu munculnya berbagai penyakit kronis (Winarsi 2007). Pada organisme aerobik yang sehat, produksi ROS seimbang dengan sistem pertahanan antioksidan (Halliwell dan Gutteridge 1999). Peningkatan produksi ROS (stres oksidatif) dapat menghambat aksi dari enzim-enzim antioksidan (SOD, katalase, GSH peroksidase dan reduktase, serta GSH) (Sikka et al. 1995). Ketidakseimbangan antara produksi ROS dan pertahanan antioksidan disebut dengan stres oksidatif (Halliwell dan Gutteridge 1999). Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan sel. Radikal bebas yang terbentuk di dalam sel dapat mengoksidasi biomolekul dan menyebabkan kematian sel serta kerusakan jaringan (Cheeseman dan Slater 1993). Pada kebanyakan penyakit manusia, ROS diproduksi dalam jumlah yang lebih besar sebagai akibat dari kerusakan jaringan (Halliwell dan Gutteridge 1999). Senyawa radikal bebas sangat aktif menyerang molekul penting yang berada di sekelilingnya. Menurut Sikka (2004), kerusakan oksidatif dapat terus terjadi apabila ketidakseimbangan antara radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan terus berlanjut. Adanya ketidakseimbangan antara radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan mengakibatkan status pertahanan antioksidan intrasel tidak mampu atau tidak mencukupi untuk menangkal reaktivitas dan berlebihnya pembentukan radikal bebas, sehingga menurunkan sistem pertahanan enzim SOD intrasel. Penurunan kemampuan antioksidan SOD intrasel menyebabkan berkurangnya eliminasi senyawa ROS (radical oxygen species) yang bertanggung jawab terhadap kerusakan sel DNA dan terbentuknya proses peroksidasi lipid. Kekacauan sistem pertahanan antioksidan tersebut selanjutnya menyebabkan peroksidasi membran fosfolipid oleh radikal bebas. Sebagai konsekuensinya, terjadi perubahan fluiditas dan integritas membran oleh akumulasi peroksidasi lipid. Sanocka dan Kurpisz (2004) menyebutkan bahwa karena radikal bebas dapat bereaksi dengan komponen-komponen membran, terjadinya kerusakan diduga tidak hanya berlangsung pada membran plasma saja, tetapi juga pada bagian internal sel. Akibat peningkatan peroksidasi lipid tersebut, metabolisme sel tidak dapat berlangsung dengan sempurna. Dengan demikian, tubuh membutuhkan agen antioksidatif lain yang dapat membantu enzim SOD untuk menangkal radikal bebas tersebut. Pengukuran aktivitas (profil) enzim antioksidan merupakan salah satu cara untuk mengetahui seberapa tinggi kandungan radikal bebas di dalam tubuh. Aktivitas SOD bervariasi pada beberapa organ tikus. Aktivitas SOD tertinggi terdapat dalam hati, kemudian dalam kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, usus, ovarium, dan timus (Halliwell dan Gutteridge 1999).
2.3.1
Hati
Hati adalah organ solid yang terbesar di dalam tubuh dan terdapat pada bagian kuadran kanan atas abdomen, di bawah diafragma (Langen dan Madsen 2010). Berat hati manusia berada pada jangkauan yang mendekati 1,300 gram pada wanita hingga 1,800 gram pada pria dan merupakan 1.83.1% bagian dari total berat badan (Langen dan Madsen 2010). Hati terbagi menjadi lobus kiri dan kanan, yang masing-masing tersusun lagi oleh unit-unit yang lebih kecil yaitu lobulus. Lobulus terdiri atas sel-sel hati (hepatosit) yang berperan sebagai unit fungsional hati (Corwin 2007). Hati menerima suplai darah dari beberapa sumber yang berbeda (Corwin 2007). Sebagian besar aliran darah hati, melalui vena porta (sekitar 1,000 ml/menit), berasal dari lambung, usus halus, usus besar, pankreas, dan limpa. Darah tersebut kurang mengandung oksigen, tetapi mengandung zatzat gizi dan mungkin juga mengandung bakteri usus, racun, serta obat yang dicerna. Sumber darah hati yang lain adalah arteri hepatika yang mengalirkan darah sekitar 500 ml/menit dan mengandung oksigen yang tinggi.
13
Hati merupakan bagian tubuh utama yang berperan dalam proses detoksifikasi metabolitmetabolit toksik (Banudevi et al. 2006). Hati seringkali menjadi terganggu oleh toksin-toksin dari lingkungan, kebiasaan makan yang kurang baik, dan penggunaan obat-obatan yang berlebihan. Akibatnya, hati menjadi rusak dan lemah serta pada akhirnya menyebabkan hepatitis, sirosis, dan penyakit hati lainnya (Hassan dan Yousef 2010). Sel-sel hati bekerja secara endokrin maupun eksokrin. Kerja hati sebagai kelenjar eksokrin adalah meneruskan empedu ke dalam duodenum dan mengeluarkan produk sisa dari perombakan sel darah merah (biliverdin dan bilirubin), serta mengemulsikan lemak sehingga dapat membantu mengabsorpsi lemak dari usus kecil. Hati merupakan pusat detoksifikasi zat beracun dalam tubuh. Hati menjalankan fungsi detoksifikasi dengan mengolah bahan berbahaya menjadi tidak berbahaya yang selanjutnya akan dibuang oleh ginjal (Cahyono 2009). Kemampuan untuk mendetoksifikasi atau menghilangkan zat-zat racun dari tubuh dikontrol oleh enzim yang terutama berlokasi di dalam hati (Muchtadi 1993), yang salah satunya adalah enzim superoksida dismutase. Kerja endokrin hati sebagai kelenjar endokrin adalah terlibat dalam sekresi faktor pertumbuhan (Corwin 2007). Hati memiliki beberapa peranan, seperti menghilangkan dan mengeksresikan racun, bahanbahan yang tidak berguna bagi tubuh, dan hormon; menghasilkan bilirubin; menyimpan vitamin, mineral, dan gula; memproses nutrien yang diserap oleh saluran pencernaan; memproduksi faktor imun; dan menghilangkan bakteri (Langen dan Madsen 2010). Hati memiliki bagian yang bernama sel Kupffer. Fungsi utama dari sel Kupffer adalah melakukan fagositosis terhadap partikel-partikel asing, membuang endotoksin atau bahan-bahan toksik lainnya, dan memodulasi respon imun dengan adanya mediator (Langen dan Madsen 2010). Mikroflora usus menghasilkan banyak komponen (seperti amonia, etanol, asetaldehida, fenol, dan benzodiazepines) yang mempengaruhi dan dimetabolisme oleh hati (Langen dan Madsen 2010). Selain itu, struktur sel mikroba (lipopolisakarida, DNA, dan lipoteichoic acid) dan faktor-faktor bioaktif yang disekresikan juga dapat mempengaruhi fisiologi dan sistem imun. Fungsi hati dapat terganggu apabila terdapat faktor-faktor yang mengganggu kerja hati, seperti infeksi (virus hepatitis dan bakteri), tumor, tumpukan lemak yang berlebihan, cedera hati pada kasus kecelakaan, dan sebagainya (Cahyono 2009). Adanya gangguan saluran pencernaan dalam mempertahankan mikroba usus di dalam lumen juga berperan penting dalam patogenesis penyebab berbagai penyakit hati (Langen dan Madsen 2010). Sirosis adalah salah satu penyakit hati. Berbagai studi telah melaporkan bahwa pasien yang menderita sirosis hati memiliki berbagai tingkat ketidakseimbangan dari flora usus. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan bacterial overgrowth yang kemudian menimbulkan masalah infeksi bakteri (Langen dan Madsen 2010). Oleh karena itu, mengubah mikroflora saluran pencernaan dengan organisme probiotik yang bersifat non-invasif dan dapat meningkatkan imunitas merupakan usulan yang baik sebagai salah satu terapi untuk mereduksi tingkat translokasi dari bakteri dan mencegah terjadinya penyakit hati.
2.3.2
Ginjal
Ginjal merupakan organ yang penting untuk mempertahankan keseimbangan air, garam, dan elektrolit. Ginjal terdiri atas bagian korteks di sebelah luar yang mengandung semua kapiler glomerulus dan sebagian segmen tubulus pendek, serta bagian medula di sebelah dalam tempat sebagian besar segmen tubulus berada (Corwin 2007). Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi sebagai pengatur komposisi kimia darah dengan mengekskresikan padatan dan air secara selektif. Ginjal terlibat dalam eliminasi dari substansisubstansi toksik (Banudevi et al. 2006). Fungsi utama ginjal adalah mengekskresikan atau
14
mensekresikan zat sisa metabolisme dan zat-zat lain yang berbahaya terhadap tubuh, sambil mempertahankan konstituen darah yang masih berguna (Davey 2006). Fungsi vital ginjal dilakukan dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus, yang kemudian diikuti dengan reabsorpsi sejumlah cairan dan air yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal (Sabiston 1992). Ginjal berperan untuk mempertahankan cairan tubuh pada jumlah yang konstan (Bacha dan Bacha 2000). Dengan demikian, ginjal merupakan organ yang sangat penting sebagai alat saring, alat serap kembali, serta sebagai organ endokrin dan eksokrin. Ginjal dapat mengalami infeksi akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Sebagian besar infeksi saluran kemih, termasuk ginjal, disebabkan oleh bakteri seperti Escherichia coli (Corwin 2007). Area yang paling sering terkena infeksi adalah bagian tubulus (Corwin 2007).
2.3.3 Pengukuran Enzim Superoksida Dismutase (SOD) Salah satu cara untuk mengetahui keberadaan (kandungan) enzim SOD dalam jaringan adalah melalui pewarnaan imunohistokimia. Pewarnaan imunohistokimia bertujuan untuk melihat komponen aktif, seperti enzim dan hormon, yang terdapat di dalam sel atau jaringan. Prinsip dari teknik pewarnaan imunohistokimia adalah ikatan kunci dan gembok antara antigen (enzim Cu, ZnSOD) dan antibodi (antibodi monoklonal Cu, Zn-SOD). Gambar 2 berikut menunjukkan gambaran prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia.
Gambar 2. Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia
SOD yang terdapat dalam jaringan (hati/ginjal) dikenal sebagai antigen oleh antibodi primer (antibodi monoklonal SOD). Kemudian, antibodi primer akan berikatan dengan antibodi sekunder (anti-antibodi primer) yang dikonjugasikan dengan peroksidase (Dako Envision Peroxidase System atau DEPS). Peroksidase ini berfungsi untuk mengkatalisis reaksi antara kromogen (diamino bezidine atau DAB) dan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) sehingga dapat terbentuk endapan warna coklat sebagai visualisasi adanya SOD. Dengan demikian, pembentukan warna coklat menunjukkan adanya ikatan antara antibodi dengan antigen (SOD). Warna coklat juga menunjukkan keberadaan SOD. Semakin tua intensitas warna coklatnya, maka semakin banyak kandungan SOD-nya. Berikut adalah reaksi yang terjadi dalam pembentukan endapan warna coklat.
DAB + H 2 O 2
peroksidase
H 2 O + endapan coklat
15