II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Radiasi Matahari pada Sistem Pertanaman Salah satu unsur iklim yang sering menyebabkan terjadinya kompetisi terutama pada sistem polikultur atau agroforestri adalah radiasi matahari.
Persaingan terhadap radiasi matahari dapat terjadi
karena arsitek tajuk tanaman yang saling menaungi atau juga karena sistem tanam yang rapat.
Intersepsi cahaya pada tanaman tunggal
dipengaruhi oleh arsitektur tanaman baik tinggi tanaman dan ukuran tajuk, serta sudut datangnya radiasi matahari.
Kuantitas cahaya yang
diterima tanaman atau yang diteruskan pada sistem tanaman campuran ditentukan oleh (i) jarak tanam, (ii) tinggi pohon, (iii) lebar tajuk, dan (iv) kepadatan tajuk (Hairiah et al. 2002). Intersepsi radiasi matahari dalam satu sistem pertanaman sangat dipengaruhi oleh populasi tanaman yang ditentukan oleh jarak tanaman yang digunakan (Flenet et al. 1996). Kualitas radiasi matahari yang tiba dipermukaan tanah setelah melewati tajuk tanaman akan berkurang, karena serapan daun terhadap panjang gelombang pada kisaran 400–700nm. Gelombang cahaya warna biru dan merah akan lebih berkurang dibanding hijau dan far -red (Wilson &
Ludlow
1991
diacu
dalam
http://www.fao.org/DOCREP/005/
AC489E/AC48- 9E02.htm). Kejenuhan intersepsi radiasi matahari pada daun tunggal akan terjadi pada tingkat kuantitas tertentu.
Tapi, p ada
tajuk tanaman tidak terjadi demikian, karena terjadi multiple refleksi antar daun dalam tajuk sehingga banyak radiasi matahari yang akhirnya terperangkap dalam sistem tajuk tersebut (Jones 1992). Jumlah, ukuran, dan lokasi dari celah ( gaps) di tajuk yang memungkinkan radiasi masuk ke dalam suatu kawasan hutan, aka n berpengaruh langsung pada ketersediaan dan distribusi radiasi di bagian bawah (understorey) dari kawasan hutan tersebut. Besarnya radiasi yang diteruskan melalui tajuk
menentukan keragaman tanaman,
proses
pertumbuhan, kematian benih, perkembangan atau perubahan struktur (Frazer et al. 1999).
6 Model
intersepsi
radiasi
matahari
pada
sistem
pertanaman
intercroping telah dibuat misalnya oleh Tsubo & Walker (2002) pada tanaman jagung dan buncis. Demikian pula telah dibuat model intersepsi radiasi pada pola tanam hedgerow (sistem pagar) antara Flemingia macrophylla dengan jagung (Friday & Fownes 2001). Prosedur atau model untuk mengetahui transfer radiasi pada barisan tanaman jagung dibuat oleh Ganis (1997). Pendugaan atau model untuk menduga intersepsi radiasi matahari juga telah banyak dibuat. Monteith & Unsworth (1990) atau Zhang & Xu (2002) mengidealkan bentuk tajuk tanaman berdasarkan bentuk geometri tajuk untuk mendapatkan nilai koefisien pemadaman (K) radiasi matahari. Campbell (1986) telah mengembangkan model untuk menduga intersepsi radiasi berdasarkan sudut percabangan daun.
Simulasi
intersepsi radiasi tajuk di kawasan hutan atau pada pohon juga telah dibuat oleh Larsen & Kershaw (1996) dengan membagi bentuk tajuk menjadi tujuh model geometri. Mixlight adalah contoh model berbasis komputer yang dikembangkan untuk menduga radiasi yang tersedia dibawah tajuk pada kawasan hutan yang ada di bagian utara Kanada (Stadt et al. 2001). 2.2 Radiasi Matahari pada Pertanaman Kelapa Dinamika radiasi matahari di pertanaman kelapa merupakan hal penting
yang
perlu
diketahui
untuk
menopang
usahatani
kelapa
berwawasan tanaman campuran. Lamanda et al. (2004) mengemukakan bahwa asosiasi berbagai tanaman pangan atau cash crops dengan tanaman kelapa merupakan isu kunci bagi kesinambungan usahatani kelapa berbasis sistem agroforestry pada daerah tropik basah. Namun efek kompetisi radiasi matahari dan air serta hara perlu mendapat perhatian
untuk
mengoptimalkan
hasil.
Dari
pernyataan
tersebut
menunjukkan bahwa pemahaman tentang dinamika radiasi matahari di pertanaman kelapa sangat penting. Hasil-hasil penelitian untuk mengetahui dinamika radiasi matahari di pertanaman kelapa telah
banyak dibuat baik berdasarkan kultivar,
7 umur, maupun pola tanam. Keragaan pola radias i berdasarkan keragaan tanaman kelapa ternyata cukup tinggi. Bentuk tajuk kelapa mengalami lima fase perkembangan dan setiap fase mempunyai peranan penting dalam pola intersepsi radiasi matahari (Foale et al. 2000 diacu dalam Irianto 2002). Tanaman kelapa umumnya mempunyai bentuk tajuk mulai dari bentuk sapu/tegak, setengah bundar hingga bundar juga jumlah daun yang bervariasi menurut tingkat umur (BALITTRI 1983). Arsitektur tajuk kelapa dengan kedudukan daun yang berkelompok di bagian ujung batang, dan pilotaksis daun yang unik dengan sudut daun dengan batang kelapa rata-rata 45 0 sebenarnya memungkinkan intersepsi tajuk yang lebih efisien dan cukup besar (Darwis 1988). Distribusi
transmisi
radiasi
matahari
pada
kelapa
telah
diklasifikasi berdasarkan beber apa kriteria. Jika hanya berdasarkan pada umur ada peneliti yang membaginya atas tiga tingkatan. Pada tingkatan pertama dikategorikan sebagai good light transmission, yaitu pada umur kelapa kurang dari 5 tahun. Kategori kedua sebagai poor light transmission, yaitu pada umur kelapa antara 5 hingga 20 tahun. Kategori ketiga ketika kelapa berumur lebih dari 20 tahun, dimana pada fase ini besarnya transmisi tergantung sekali pada pertambahan umur kelapa. Kriteria lain membagi umur kelapa menjadi 0 -8 tahun, 8-25 tahun dan lebih dari 25 tahun (http://www.fao.org/DOCREP/005/ AC489E/ AC489E02.htm). Pola distribusi transmisi radiasi matahari juga berhubungan dengan lima stadia tumbuh kelapa, yaitu: Stadia pertama, kelapa berumur 4 hingga 6 tahun. Transmisi radiasi belum jadi masalah karena masih cukup besar yang mencapai bagian bawah dari pertanaman kelapa. Stadia kedua, kelapa berumur 7 hingga 10 tahun. Ciri-cirinya batang mulai meninggi, tajuk telah berkembang penuh, sehingga jika tanaman ditanam rapat, maka besarnya tingkat naungan sangat besar . Di stadia ini, transmisi diperkirakan hanya 20%. Stadia ketiga, kelapa berumur 25 hingga 30 tahun dengan tingkat naungan yang hampir sama denga n pada
8 stadia kedua. Stadia keempat, kelapa berumur 30 hingga 50 tahun, transmisi bervariasi sebesar 23-43%. Stadia kelima, kelapa berumur lebih dari 50 tahun. Kondisi ini sama dengan stadia pertama, biasanya pada tengah hari transmisi bisa mencapai 85% (D arwis 1988). Nelliat et al. (1974) melaporkan bahwa transmisi radiasi matahari bervariasi menurut umur dan berhubungan terbalik dengan tingkat naungan pada lahan dibawah tajuk kelapa. Berdasarkan pada pola tanam, maka ditemukan juga bahwa transmisi radiasi matahari pada pola tanam kelapa segitiga lebih rendah dibanding pola tanam kelapa segiempat ( http://www.fao.org/ docrep/005/ ac489e/ac48-9e02.htm).
Kajian
atau
pengukuran
transmisi
r adiasi
matahari di bawah pertanaman kelapa telah dilakukan di berbagai daerah sentra kelapa di dunia. Di Pilipina telah tersedia data mengenai tingkat transmisi radiasi matahari di pertanaman kelapa pada berbagai tingkat kepadatan populasi, jarak dan pola tanam kelapa hanya untuk yang berumur 20 dan 40 tahun (Davao Research Centre 1998). Persentase radiasi matahari yang diteruskan pada kelapa Genjah Salak (Salak dwarf) dan kelapa Dalam (Tall coconut) berturut-turut sebesar 29% dan 48%, sedangkan pada kelapa Dalam lokal sebesar 40% (Barri & Koesmaryono 2005). Pengukuran yang sama tapi dengan metode berbeda pernah dilakukan pada beberapa umur kelapa Dalam dan kelapa Genjah Salak.
Intersepsi tajuk makin rendah dengan makin tuanya
kelapa, artinya transmisinya makin besar (Irianto 2002). Pengukuran radiasi matahari dalam sistem agroforestri termasuk pada sistem pertanaman kelapa polikultur adalah hal rumit, apalagi jika pertanaman pokok tidak teratur atau sistem dirancang mengikuti model agroforestri yang kompleks. Itulah sebabnya berbagai teknik terus dikembangkan untuk mengatasi hal terebut. Metode pengukuran radiasi matahari paling sederhana telah dibuat untuk pola tanam kelapa segiempat (Moss 1992) dan untuk pola tanam kelapa segitiga (Steel and Whiteman
1980
diacu
dalam
(http://www.fao.org/docrep/005/
ac489e/ac48-9e02.htm). Kedua metode tersebut mengukur radiasi dengan
9 cara berpindah-pindah melalui lintasan yang dibuat di bawa h pertanaman kelapa dan metode ini dikenal dengan istilah mobile sampling. Teknik lain untuk menduga intersepsi radiasi matahari oleh tajuk kelapa yang lebih modern adalah dengan sistem animasi/virtual yang telah dikembangkan peneliti-peneliti dari CIRAD-Perancis (Serra et al. 2001). Selain itu, beberapa model matematika dengan persamaan regresi juga telah dibuat untuk melihat hubungan antara nilai transmisi radiasi dengan
tinggi,
umur
dan
populasi
kelapa
( http://www.fao.org/
docrep/005/ac489e/ac48- 9e02.htm) 2.3 Iklim Mikro dan Produksi Tanaman Iklim mikro yang dimaksud pada pertanaman kelapa terdiri dari radiasi matahari, suhu, kelembaban, angin. Secara umum, semua peubah iklim mikro ini saling berinteraksi dalam sistem produksi tanaman. Penning de Vries & Van Laar (1982) mengklasifikasi sistem produksi tanaman atas empat kategori. Radiasi matahari, suhu dan sifat genetis tanaman akan menjadi faktor pembatas pada kategori pertama karena hara dan air tersedia. Tanaman yang ditanam bersama dalam pola tanaman campuran akan menghadapi berbagai kendala, antara lain kompetisi radiasi matahari, kompetisi air, dan kompetisi hara apabila unsur -unsur tersebut terbatas (Hairiah et al. 2002). Selain itu, antara tanaman sendiri akan saling menimbulkan efek merugikan bagi tanaman lain, seperti menjadi inang hama/penyakit, dan efek naungan. Tapi, jika kombinasi tanaman adalah C3 dan C4, umumnya menguntungkan karena tanaman C4 tidak pernah jenuh cahaya dalam proses fotosintesisnya sebaliknya dengan tanaman C3 (Sugimoto et al. 2005). Radiasi matahari, suhu dan ketersediaan air tanah merupakan unsur-unsur penting bagi sistem produksi
tanaman.
Secara
umum
beberapa
hasil-hasil
penelitian
menunjukkan bahwa besarnya intersepsi radiasi matahari oleh tanaman selalu berbanding lurus dengan produksi biomasa maupun produk si tanaman. Sebaliknya akan terjadi penurunan produktivitas bila energi
10 radiasi matahari yang diterima tanaman tidak sesuai kebutuhan masing masing fase perkembangan tanaman (Squire 1990). Suhu adalah ekspresi dari energi kinetik yang dikeluarkan oleh gerakan-gerakan molekul dan suhu berperan langsung pada respirasi (Handoko 1993). Dalam sistem lingkungan fisik, maka keragaan suhu udara dan tanah sangat dipengaruhi oleh keragaan energi radiasi matahari yang tiba dipermukaan bumi. Itulah sebabnya, keadaan penutupan permukaan lahan oleh tanaman yang berhubungan dengan neraca energi akan mempengaruhi pola suhu udara maupun tanah (Baldy & Stigter 1997). Jika dihubungkan dengan produksi bahan kering, maka seca ra umum dapat dikatakan bahwa setiap kenaikan suhu 10 0 C produksi bahan kering akan meningkat sebesar dua kali (Q 10 ), dengan catatan tanaman tumbuh dalam kisaran suhu optimum (Chang 1974). Suhu udara sangat menentukan pembentukan jaringan baru melalui peng aruhnya terhadap pembelahan dan pemanjangan jaringan meristem. Peranan suhu pada metabolisme tanaman ditunjukkan dengan pengaruhnya yang besar terhadap proses respirasi (Baharsyah 1982). Suhu tanah juga berperan penting
terhadap
perkecambahan
(Sitaniapess y
1982).
Suhu
dan
kandungan air tanah berperan penting pada pertumbuhan tanaman, terutama pada pembentukan daun, reproduksi organ dan pemasakan (Koermaryono & Sabaruddin 2005). Di kawasan hutan suhu udara akan lebih rendah di banding lahan terbuka, dan variasi diurnal suhu tidak terlalu besar. Pengurangan fluktuasi suhu yang terlalu ekstrim, baik suhu tanah maupun suhu udara biasa dilakukan dengan menggunakan pohon pelindung sepe rti pada pertanaman kopi (Beer et al. 1998). Kelembaban udara berhubungan secara tidak langsung dengan proses transpirasi, karena kandungan uap air udara berhubungan langsung dengan laju transpirasi karena perbedaan tekanan uap air (Handoko 1993). Selain suhu dan kelembaban, maka panjang hari juga berpengaruh utamanya pada fase pertumbuhan tanaman dan perpindahan
11 ke
fase
generatif.
Respon tanaman terhadap panjang
hari akan
berinteraksi dengan suhu udara dan berdasarkan pada kebutuhan akan lamanya penyinaran, maka tanaman digolongkan pada tanaman hari pendek, tanaman hari panjang, dan tanaman berhari netral (Jumin 2002). 2.4 Distribusi Hujan di Pertanaman Jumlah air yang masuk ke dalam kawasan hutan atau pertanaman perkebunan/kelapa merupakan sisa dar i hujan bruto setelah dikurangi jumlah yang diintersepsi dan dievaporasi oleh tanaman/tajuk. Setiap model tajuk mempunyai kemampuan intersepsi berbeda terhadap curah hujan dan hal tersebut berhubungan juga dengan curah hujan total. Bruijnzeel & Critchley (1994) melaporkan bahwa di hutan tropis intersepsi
mencapai
10-25%.
Ramirez
&
Senarath
(1999)
juga
menyatakan bahwa nilai intersepsi suatu tanaman berkaitan erat dengan karakter tanaman itu sendiri dan faktor cuaca. Sehubungan dengan jumlah air yang terint ersepsi, maka pada kawasan ternaungi, ketersediaan air tanah umumnya lebih tinggi dibanding pada lahan terbuka. Sehubungan dengan kandugan air tanah dan neraca energi, maka evapotranspirasi pada tanaman sela yang ditanam pada barisan yang lebar lebih tingg i dibanding pada tanaman yang terkena naungan. Selain itu, kandungan air daun potensial lebih tinggi terdapat di daerah ternaung dibanding yang kena radiasi langsung (http://www.fao.org/ docrep/005/ ac489e/ac48- 9e02.htm). Hubungan produksi biomasa tanaman seringkali juga ditunjukkan dengan respon tanaman terhadap kekeringan. Dampak dari kekeringan antara lain pada tingkat ketersediaan/penyerapan hara bag i tanaman dan penurunan efisiensi penggunaan radiasi matahari karena pengaruhnya terhadap ukuran tajuk (Squire 1990). Hasil tanaman di
daerah tropis
yang rendah karena keterbatasan hujan effective baik intensitas maupun distribusinya.
Hasil penelitian didapatkan bahwa efisiensi penggunaan
radiasi matahari yang diintersepsi oleh jagung dan kacang tanah yang
12 ditanam bersama lebih tinggi jika dibandingkan dengan pada masa tanam musim kemarau (Koesmaryono & Sabaruddin 2005). Sehubungan dengan ketersediaan air di lahan perkebunan, maka jumlah air yang masuk ke dalam kawasan hutan atau pertanaman perkebunan merupakan sisa dari hujan bruto atau hujan yang tertakar di kawasan terbuka setelah dikurangi jumlah yang diintersepsi dan dievaporasi oleh tanaman/tajuk. Setiap model arsitek tajuk mempunyai kemampuan intersepsi curah hujan berbeda dan kemampuan tersebut juga berhubungan dengan curah hujan total. Ramirez & Senarath (1999) menyatakan bahwa nilai intersepsi hujan setiap tanaman berkaitan erat dengan karakter tanaman itu sendiri dan faktor cuaca. Di hutan hujan tropis, besaranya intersepsi hujan dapat mencapai 10-25% (Bruijnzeel & Critchley 1994). Hal itu terjadi karena bentuk dan struktur tajuk pohon di hutan hujan tropis
terbentuk dari daun dengan morfologi
kebanyakan lebar dan tersusun sangat padat.
yang
Itulah sebabnya hutan
hujan tropis sangat potensial sebagai kawasan tangkapan air untuk konservasi air dan tanah. Menurut Lee (1988 diacu dalam Japar 2000) ekosistem hutan dan perkebunan mempunyai peranan penting dalam mengendalikan air permukaan tanah dan sebagai bagian dari sistem dalam pengaturan siklus air.
Hujan yang sampai di tajuk tanaman akan dihambat oleh daun,
cabang dan batang pohon sebelum mencapai permukaan tanah, dan penghambatan kecepatan tersebut memperkecil energ i kinetik air untuk mendispersi agregat tanah.
Air hujan yang tiba di permukaan tanah
setelah melalui tajuk tanaman disebut curahan tajuk atau troughflow dan yang melalui batang disebut aliran batang atau stemflow. Air hujan yang bisa tiba ke permukaan t anah melalui curahan tajuk dan aliran batang disebut hujan neto (net presipitation) bagi suatu sistem pertanaman baik hutan, perkebunan atau pertanian tanaman pangan atau campuran atau agroforestri. Pada
kelapa
sawit
Lee (2006
diacu
dalam Pelawi
2009)
mendapatkan bahwa curahan tajuk mencapai 65% dari total hujan yang
13 diterima dan menunjukkan hubungan linear yang kuat dengan curah hujan total. Selanjutnya dilaporkan juga oleh Bently (2007 diacu dalam Pelawi 2009) menunjukkan bahwa aliran batang dan curahan tajuk sawit berturut-turut sebesar 1.97%, 57.3% mimiliki hubungan kuat dengan intensitas hujan dengan R 2 (nilai koefisien determinasi) 0.97 dan 0.98. Profil curah hujan efektif tentunya tergantung pada besaran curahan tajuk dan aliran batang. Sedangkan curahan tajuk dan aliran batang tergantung pada morfologi tanaman atau pohon dan intensitas serta lama kejadian hujan. Hujan yang tertahan di daun atau tajuk tanaman disebut hujan terintersep, dan besarnya tergantung pada arsitek tajuk, yang meliputi bentuk dan ukuran tajuk, posisi daun atau sudut daun, sifat anatomi daun, susunan daun dalam membentuk tajuk. Umumnya, air yang terintersep tajuk akan hilang karena menguap, sehingga air intersepsi biasa dikategorikan sebagai air hilang dari sistem pertananam (interception loss). Beberapa peneliti mendapatkan bahwa selain arsitek tajuk, maka hujan efektif dan intersepsi air hujan juga ditentukan oleh intensitas dan lamanya kejadian hujan (Kaimud din 1994). Tujuan pengawetan air (konservasi air), memerlukan tanaman yang mempunyai nilai curahan tajuk dan aliran batang atau hujan efektif yang besar, karena akan memberi peluang yang besar pula untuk membiarkan air hujan masuk pada sistem penyimpanan di suatu wilayah (water storage). Itulah sebabnya, pemilihan je nis vegetasi akan menjadi penting sejalan dengan tujuan kita untuk konservasi air di suatu wilayah. Hujan efektif tiap jenis tertentu dari suatu vegetasi tentunya mempunyai
nilai
spesifiknya,
sehingga
banyak
penelitian
yang
menghasilkan model-model empiris yang menghubungkan antara arsitek tajuk atau jenis pohon tertentu sebagai faktor biologis dengan hujan efektif atau intersepsi hujan. Arrijani (2007) mengkaji hubungan beberapa bentuk arsitek tajuk pohon dengan distribusi hujan dan dampaknya terhadap erosi tanah. Pada tanaman kelapa sawit umur 8 tahun telah diperoleh model empiris intersepsi tajuk dan hujan efektif
14 yang dihubungkan dengan curah hujan total, dimana hubungannya bersifat eksponensial (Suharto 2007). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan yang ditemukan pada beberapa varietas kelapa, dimana penelit ian yang dilakukan Japar (2000) mendapatkan hubungan linear positif antara curah hujan total dengan hujan efektif, aliran batang dan curahan tajuk, tapi intersepsi cenderung makin menurun. Pada kelapa Dalam, Genjah dan Hibrida diperoleh nilai hujan efektif jauh lebih besar dibanding nilai intersepsi hujan, dan hasil ini bertolak belakang dengan yang diperoleh pada kelapa sawit, padahal dari aspek arsitektur tajuk, kedua jenis tanaman ini mempun yai kemiripan, sehingga seharusnya hasil yang diperoleh mempunyai pola yang sama. Selain itu, penelitian di kelapa sawit tidak membedakan umur tanaman demikian halnya dengan yang dilakukan pada pertanaman kelapa , padahal umur tanaman berhubungan dengan ar sitek tajuk, terutama luas daun dan komposisi daun penyusun tajuk.