Bab II
Tinjauan Pustaka
Matahari adalah sumber energi utama bagi bumi dan lingkungannya. Melalui energi yang dipancarkannya, matahari berperan sebagai pengendali iklim yang sangat penting yaitu menggerakkan udara (sirkulasi atmosfer) dan arus laut (sirkulasi lautan) serta berperan penting bagi proses fotosintesis dalam biosfer. Oleh karena itu, iklim juga bergantung kepada variasi fluks energi matahari yang diterima permukaan bumi. Variasi fluks energi matahari tersebut disebabkan oleh variasi siklus aktivitas matahari. Cuaca dan iklim terbentuk ketika permukaan bumi baik daratan maupun lautan menyerap energi matahari, kemudian akan mengaktifkan molekul gas-gas atmosfer sehingga terjadilah cuaca. Dengan demikian iklim adalah suatu manifestasi bagaimana radiasi matahari diserap, didistribusikan kembali oleh atmosfer, daratan dan lautan, dan pada akhirnya diradiasikan kembali ke angkasa. Setiap variasi energi matahari yang diterima di permukaan bumi dan diradiasikan kembali oleh bumi ke angkasa, akan berdampak langsung terhadap perubahan iklim di bumi.
II.1 Aktivitas Matahari Adanya gejolak di permukaan matahari yang kadang-kadang menguat dan kadang-kadang melemah dikenal sebagai aktivitas matahari. Kombinasi aktivitas radiasi dan aktivitas magnetik diduga berperan besar pada siklus aktivitas matahari. Salah satu indikator aktivitas matahari adalah munculnya bintik-bintik hitam di permukaan matahari yang disebut bintik matahari atau sunspot. Bintik matahari adalah suatu daerah di fotosfer matahari yang mempunyai temperatur lebih rendah dibanding temperatur di sekelilingnya sehingga tampak gelap dan muncul akibat adanya medan magnet yang kuat di tempat tersebut. Medan magnet tersebut menghalangi konveksi, sehingga transport energi secara konvektif dari bagian dalam matahari menjadi terhalang. Banyaknya bintik matahari menunjukkan tingkat keaktifan matahari. Makin banyak bintik yang muncul menandakan bahwa matahari makin aktif. Variasi aktivitas matahari dapat mempengaruhi ionosfer, geomagnetik dan lapisan stratosfer. Perubahan cepat pada daerah radiasi ultraviolet (UV) dan sinar-X karena aktivitas matahari jangka
7
panjang (sunspot) maupun jangka pendek (flare) bisa mempengaruhi lapisan ionosfer dan atmosfer baik secara langsung maupun tak langsung melalui sistem kopling magnetosfer-ionosfer-atmosfer (Tsurutani, 1990). Pengaruh langsung dari aktivitas matahari terhadap ionosfer, misalnya perubahan lapisan ionosfer dan kerapatan elektron. Sedangkan pengaruh tak langsung adalah terjadinya badai ionosfer (ionospheric storm) yang disebabkan oleh gangguan geomagnetik yang terjadi setelah peristiwa Coronal Mass Ejection (CME) (Gonzales, 1994). Badai ionosfer terjadi secara global dalam daerah yang luas di permukaan bumi. Distribusi badai ionosfer biasanya tidak sama tergantung pada lintang dan bujur. Pada lintang tinggi biasanya terjadi badai ionosfer paling kuat dan akan melemah dengan berkurangnya lintang. Pengaruh aktivitas matahari jangka panjang (sunspot) pada lapisan stratosfer, antara lain adalah perubahan konsentrasi ozon global. Sedangkan pengaruh jangka pendeknya (flare) antara lain adalah perubahan konsentrasi ozon total (Keating, 1980).
Aktivitas matahari juga berpengaruh terhadap variasi irradiansi matahari yang diterima di permukaan bumi. Simulasi variabilitas irradiansi matahari selama 113 tahun (1880-1993) menunjukkan adanya variasi sebesar 0,5%. Sedangkan pengamatan satelit selama satu siklus menunjukkan adanya variasi sebesar 0,1% antara aktivitas minimum dan maksimum (Lean, 1991; Wilson, 1997). Penentuan nilai konstanta matahari (solar constant) dan variasinya terhadap waktu sangat diperlukan dalam penelitian iklim (Sinambela, 1998). Konstanta matahari memegang peranan penting dalam perencanaan dan analisa teknis suatu peralatan yang memanfaatkan energi matahari (Suwono, 1980).
Hal menarik yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pengaruh aktivitas matahari terhadap konstanta matahari. Kemudian, adakah korelasi antara kedua parameter tersebut dan apabila ada, sejauhmana korelasinya.
II.2 Konstanta Matahari Radiasi matahari yang mencapai batas atas atmosfer tidak mengalami atenuasi, tetapi di dalam penjalarannya melalui lapisan atmosfer bumi radiasi matahari akan
8
mengalami proses hamburan dan penyerapan oleh molekul debu dan partikel awan. Dengan demikian, hanya sebagian kecil saja dari radiasi matahari tersebut yang dapat mencapai bumi. Fluks radiasi sebelum diatenuasi oleh atmosfer pada jarak rata-rata matahari-bumi (1,5 x 108 km) disebut konstanta matahari (solar constant). Konstanta matahari didefinisikan sebagai jumlah total dari radiasi matahari untuk semua panjang gelombang yang jatuh pada satu satuan luas dari permukaan normal terhadap garis matahari-bumi pada kondisi langit cerah (Bayong, 2004).
Gambar II.1 Skema geometris hubungan matahari-bumi (Sumber: Bayong, 2004). Orbit bumi berbentuk elips dengan eksentrisitas sangat kecil (0,017) sehingga orbit bumi hampir berbentuk lingkaran. Eksentrisitas tersebut menyebabkan perubahan jarak antara matahari dan bumi. Jarak terdekat matahari-bumi (1,47 x 108 km) disebut perihelion, terjadi pada tanggal 4 Januari. Sedangkan jarak terjauh (1,52 x 108 km) disebut aphelion, terjadi pada tanggal 5 Juli. Pada jarak rata-rata matahari-bumi, matahari membentuk sudut sebesar 32°. Nilai radiasi pada jarak 1,5 x 108 km ± 1,7% dengan sudut 32° seperti tampak pada Gambar II.1 diatas disebut konstanta matahari.
Sampai saat ini nilai absolut konstanta matahari tersebut masih memiliki ketidakpastian yang cukup tinggi baik secara teoritis maupun observasional. Penentuan konstanta matahari ini telah mengalami sejarah yang cukup panjang, dimulai oleh Smithsonnian Institute pada awal abad ke-20 (Frohlich, 1990).
9
Data pengukuran konstanta matahari yang diperoleh saat itu sangat banyak, tetapi hasilnya belum memberikan nilai konstanta matahari yang meyakinkan. Hal tersebut terjadi karena peralatan radiometer yang digunakan presisinya kurang memadai (Frohlich, 1987).
Beberapa peneliti terdahulu yang telah melakukan pengukuran konstanta matahari tersebut diantaranya adalah Perry Moon (1940), Nikolet (1951) dan Johnson (1954) dalam Hoesin (1980) masing masing mengusulkan konstanta matahari sebesar 1,896 kal.cm-2.menit-1, 1,981 kal.cm-2.menit-1, dan 2,0 ± 2% kal.cm-2. menit-1.
Kemudian
The
International
Radiation
Commission
(IRC)
merekomendasikan nilai konstanta matahari sebesar 1,98 kal.cm-2.menit-1, kemudian diajukan pada International Pyrheliometric Scale (IPS) pada tahun 1956 dan disetujui sebagai standar konstanta matahari saat itu.
Kemudian Drummond dan Hackey (1968) dan disusul Kondratyev dan Nikolsky (1970) dalam Hoesin (1980) masing masing mengusulkan konstanta matahari sebesar 1,952 kal.cm-2.menit-1 dan 1,940 kal.cm-2.menit-1 dengan fluktuasi sebesar 2-2,5% bergantung pada aktivitas matahari. Drummond dan Hackey (1968) melakukan pengukuran konstanta matahari selama 2 tahun (1966-1968) dengan pesawat NASA (B-57B dan CV-990) dan Roket USAF/NASA (X-15) pada ketinggian 12-15 km. Sedangkan Kondratyev dan Nikolsky melakukan pengukuran konstanta matahari selama 6 tahun (1962-1968) menggunakan balon.
Usaha untuk mendapatkan nilai konstanta matahari yang lebih tepat terus dilakukan dan dikembangkan, diantaranya pengukuran menggunakan pesawat dan balon udara dengan variasi ketinggian. Beberapa diantaranya pengukuran tersebut adalah dengan pesawat NASA pada ketinggian 11,58 km, balon udara pada ketinggian 25 km (1967) dan 36 km (1969) dan pesawat X-15 pada ketinggian 82 km (1967). Ke-empat pengukuran tersebut mengusulkan nilai konstanta matahari sebesar 1,940 ± 0,3 kal.cm-2.menit-1 (135,3 ± 2,1 mW.cm-2). Nilai ini 3,1% lebih rendah dibanding nilai yang diusulkan Johnson, yaitu sebesar 2,0 ± 2% kal.cm-2. menit-1.
10
Nilai konstanta matahari tersebut (1,940 ± 0,3 kal.cm-2.menit-1) pertama kali diumumkan tahun 1970 saat diselenggarakannya International Solar Energy Society Conference (ISES) di Melbourne, Australia. Mengingat konstanta matahari tersebut didefinisikan pada jarak rata-rata matahari-bumi (1,496 x 108 km), sedangkan jarak tersebut bervariasi terhadap waktu selama satu tahun, maka nilai konstanta matahari pun bervariasi. Misalnya saat perihelion (4 Januari) nilainya 1399 W.m-2 dan aphelion (5 Juli) nilainya 1309 W.m-2. Gambaran lengkap mengenai variasi konstanta matahari akibat variasi jarak matahari-bumi selama setahun disajikan pada Tabel II.1. Tabel II.1 Variasi konstanta matahari sepanjang tahun (Hoesin, 1980) Konstanta matahari (W.m-2) 1399 1393 1378 1355 1332 1316 1309 1313 1329 1350 1374 1392
Tanggal 4 Januari (perihelion) 1 Februari 1 Maret 1 April 1 Mei 1 Juni 5 Juli (aphelion) 1 Agustus 1 September 1 Oktober 1 November 1 Desember
Radiasi matahari dalam penjalarannya menuju bumi mengalami peristiwa penyerapan, hamburan dan pemantulan pada lapisan atmosfer sebelum sampai ke permukaan bumi. Oleh karena itu fluks energi akan bervariasi terhadap ketinggian, dengan hasil pengukuran seperti ditunjukkan pada Tabel II.2. Tabel II.2 Variasi fluks energi rata-rata terhadap tempat pengukuran (Robinson,1966) Tempat pengukuran Permukaan laut Davos Jungfraujoch Mount Whitney Ballon
Ketinggian dari permukaan laut (m) 0 1580 3400 4350 19500
11
Fluks Energi rata-rata (kal.cm-2.detik-1) 1,40 1,59 1,63 1,72 1,89
Hasil perbandingan beberapa hasil pengukuran konstanta matahari terdahulu setelah diekstrapolasi dan disusun kembali oleh Lake dan Drummond (1968) dirangkum dalam Tabel II.3, Tabel II.4 dan Tabel II.5.
Tabel II.3 Hasil-hasil pengukuran konstanta matahari setelah diekstrapolasi tahun 1923-1968 (Lake dan Drummond, 1968) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Sumber Abbot Linke Mulders Unsold Nicolet Allen Johnson Unsold (revisi) Stair & Johnson Allen (revisi) Allen (revisi) Gast Stair & Ellis Drummond NASA Goddard Space
Flight Center (Thekaekara, 1968) NASA Ames Research Center (Arvesen, 1968)
1923-1952 1932 1934-1935 1938 1951 1951 1954 1955 1956 1958 1965 1965 1966 1966 1967
Konstanta matahari (mW.cm-2) 135,2 135,2 135,9 132,4 138,0 ± 5% 137,3 139,4 ± 2% 136,5 142,8 ± 5% 138,6 ± 1% 139,0 139,0 135,9 ± 3% 136,0 ± 1% 135,0 ± 2%
1967
139,0 ± 3%
1968 1969
136,5 135,3 ± 1%
1970
138,0
Tahun
Labs & Neckel Jet Propulsion Lab. (tidak dipublikasikan) Makarova & Kharitonov
Tabel diatas memperlihatkan bahwa konstanta matahari tidak konstan, tetapi bervariasi terhadap waktu dengan kisaran nilai (135,2 – 142,8) mW.cm-2 atau (1352 - 1428 ) W.m-2.
Selain itu, penentuan konstanta matahari dilakukan pula dengan menggunakan Eppley JPL dari 14 kali penerbangan menggunakan pesawat NASA pada tahun 1966-1968 yang hasilnya disajikan dalam Tabel II.4.
12
Tabel II.4 Penentuan konstanta matahari menggunakan Eppley JPL tahun 19661968 (Lake dan Drummond, 1968) Bulan - Tahun
Pesawat NASA
Juli, Agustus 1966 Maret 1967 Oktober 1967
B-57B B-57B X-15 CV-990 CV-990 CV-990
Juli 1968 Agustus 1968
Jumlah Pengukuran 2 4 1 1 3 3
Konstanta matahari (mW.cm-2) 135,8 136,0 136,1 136,2 135,9 135,8
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa dari 14 kali penerbangan dengan pesawat NASA nilai konstanta matahari bervariasi dengan nilai rata-rata (136,0 ± 0,2) mW.cm-2 atau (1360 ± 2) W.m-2.
Usaha pengukuran terus dilakukan untuk memperoleh nilai standar baru konstanta matahari yang lebih tepat, yaitu dengan memasukkan faktor ketinggian dalam perhitungannya.
Tabel II.5 Hasil pengukuran konstanta matahari beberapa peneliti terdahulu (Lake dan Drummond, 1968) No.
Peneliti
Sumber University of Denver
1.
Murcray
2.
Mc. Nutt & Riley
GSFC
3.
Duncan & Webb
GSFC
4. 5.
Mc. Nutt & Riley Plamondon JPL Kondratyev dan Nicolsky
GSFC
7.
Kruger
GSFC
8.
Drummond
6.
Metode Pengukuran Balon, Eppley NIP NASA 711, A6618 NASA 711, A7635
Konstanta matahari (mW.cm-2)
Hy-Cal Mariner
135,2 ± 2,2 135,2 ± 2,0
Cavity Balon NASA 711, Actinometer B-57B, Cone X-5 CV900, Eppley
Eppley JPL
Radiometer
Nilai rata-rata
133,8 ± 0,6 134,3 ± 2,6 134,9 ± 4,0
135,3 ± 1,4 135,8 ± 2,4 136,0 ± 1,3 135,3 ± 1,8
Tabel diatas menunjukkan variasi nilai konstanta matahari hasil pengukuran beberapa peneliti terdahulu yang mencakup berbagai wahana yang digunakan
13
dalam kegiatan pengukuran mulai dari balon, pesawat terbang hingga Mariner 6 dan Mariner 7. Berdasarkan tabel diatas, diperoleh nilai konstanta matahari sebesar (135,3 ± 1,8) mW.cm-2 atau (1353 ± 18) W.m-2.
Selanjutnya Mecherikunnel (1990) dalam Sinambela (1998) telah merangkum hasil pengukuran irradiansi total matahari (konstanta matahari) menggunakan empat satelit berbeda (Nimbus-7/ERB, SMM/ACRIM-1, ERBS/ERBE dan NOAA-9/ERBE) selama 71 hari pengamatan yang bersamaan waktunya dalam periode 1985-1989. Hasilnya ditampilkan dalam Tabel II.6 berikut:
Tabel II.6 Nilai rata-rata, standar deviasi, nilai maksimum dan nilai minimum konstanta matahari selama 71 hari pengamatan yang bersamaan menggunakan empat satelit berbeda periode 1985 – 1989 (Sumber: Mecherikunnel, 1990) Sensor Nimbus-7/ERB SMM/ACRIM-1 ERBS/ERBE NOAA-9/ERBE
Nilai Rata-rata 1371,47 1367,16 1364,98 1364,61
Konstanta matahari (W.m-2) Standar Nilai deviasi Maksimum 0,34 1372,24 0,40 1369,21 0,42 1364,91 0,61 1366,90
Nilai Minimum 1370,72 1366,54 1364,00 1363,07
Berdasarkan tabel diatas, nilai rata-rata konstanta matahari berkisar antara (1364,61-1371,67) W.m-2. Pengukuran Nimbus-7/ERB berbeda (4,31-6,86)W.m-2 dibanding ketiga hasil pengukuran lainnya. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh ketidakpastian dari instrumen yang digunakan, permasalahan pengarahan alat teleskop, perhitungan koreksi jarak rata-rata matahari-bumi dan sensitivitas alat ukur. Sensor Nimbus-7/ERB memiliki ketelitian 0,5 W.m-2 (Hoyt dan Kyle, 1990).
II.3 Sinar Kosmik Sinar kosmik adalah partikel berenergi yang berasal dari ruang angkasa dan menjalar hingga mencapai atmosfer bumi secara isotropik (sama dari segala arah). Komposisi sinar kosmik tersebut terdiri dari proton (90%), inti helium (9%) dan elektron (1%). Sinar kosmik atau nama lengkapnya Galactic Cosmic Rays (GCR) mempunyai level energi yang tinggi, yaitu pada kisaran 300 MeV sampai 10 GeV.
14
Penyebab utama modulasi sinar kosmik bukanlah tingkat aktivitas bintik matahari, melainkan kuat dan besarnya angin matahari yang bervariasi. Besarnya angin matahari tidak konstan, tetapi bervariasi terhadap perubahan aktivitas matahari selama siklus 11 tahunannya (Yamada, 1998). Partikel-partikel sinar kosmik yang memiliki energi tinggi tersebut memasuki atmosfer bumi dengan kecepatan mendekati 3 x 108 m.s-1. Dengan kecepatan dan energi yang dimiliki partikel sinar kosmik tersebut, sangat memungkinkan untuk terjadinya tumbukan dengan molekul-molekul atmosferik (terutama oksigen dan nitrogen) ketika sinar kosmik memasuki atmosfer bumi. Partikel-partikel sinar kosmik tersebut akan bergerak dengan lintasan mengikuti medan magnet bumi, sehingga terjadi efek pembelokan ke arah kutub. Intensitas tumbukan kuat terjadi di daerah kutub dengan densitas yang lebih tinggi. Tumbukan partikel sinar kosmik dengan kecepatan dan energi yang tinggi tersebut mampu memecah komposisi molekul-molekul yang berada di atmosfer, sehingga terbentuk ion-ion sekunder. Ion-ion sekunder yang dihasilkan oleh sinar-sinar kosmik tersebut berfungsi sebagai inti-inti kondensasi karena memiliki sifat higroskopis, sehingga akan meningkatkan laju pembentukan awan tinggi (pada ketinggian 12 - 15 km). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partikel sinar kosmik berhubungan dengan laju pembentukan awan tinggi yang bervariasi terhadap lintang dan bujur. Meningkatnya laju pembentukan awan tentu berpengaruh terhadap jumlah radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi. Karena sinar-sinar kosmik mempunyai dampak terhadap laju pembentukan awan yang selanjutnya berpengaruh terhadap jumlah radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi, maka sumbangan sinar kosmik terhadap iklim di bumi tidak dapat diabaikan.
II.4 Korelasi Konstanta Matahari, Aktivitas Matahari dan Sinar Kosmik Konstanta matahari sebenarnya tidak konstan tetapi berfluktuasi sebesar ± 1,5% terhadap nilai rata-ratanya (Bayong, 2004). Hasil pengamatan langsung konstanta matahari melalui satelit menunjukkan bahwa nilai konstanta matahari tidak konstan tetapi bervariasi terhadap waktu. Adanya variasi nilai konstanta matahari tersebut terjadi sebagai akibat dari perubahan bentuk aktivitas matahari seperti sunspot gelap atau fakulae terang di permukaan matahari (Sinambela, 1998).
15
Aktivitas matahari (yang ditunjukkan jumlah bintik matahari) mempunyai kaitan erat dengan konstanta matahari yang nilainya tidak konstan. Berlawanan dengan sifat bintik yang menghalangi aliran panas, ternyata dengan semakin banyak jumlah bintik, matahari akan meradiasikan lebih banyak energi disebut matahari terang. Sebaliknya bila jumlah bintik yang semakin sedikit, matahari meradiasikan lebih sedikit energi (matahari gelap). Ternyata bertambahnya iradiasi matahari disebabkan oleh adanya ekses energi fakulae yang lebih besar daripada defisit energi yang dihalangi oleh bintik matahari. Oleh sebab itu, selain bintik matahari, fakulae juga merupakan sumber yang penting dalam variasi konstanta matahari. Bila variasi konstanta matahari tersebut memang berhubungan dengan siklus matahari, maka nilai konstanta matahari dapat diprakirakan (Yatini, 2004).
Bukti pertama bahwa konstanta matahari tidak konstan baru diketahui secara pasti pada tahun 1978 dari data radiometer hasil pengukuran Solar Maximum Misssion (SMM) dan Nimbus-7 ERB, yang membuktikan bahwa matahari adalah benarbenar suatu bintang variabel. Besarnya energi matahari yang dipancarkan dari seluruh permukaan matahari tidak sama, tetapi bervariasi terhadap waktu. Kajian yang dilakukan Hoyt dan Kyle (1990) menduga bahwa konstanta matahari akan berkurang dengan bertambahnya luas sunspot dan akan bertambah dengan keberadaan daerah fakulae cemerlang pada piringan matahari. Berdasarkan penelitian Lean (1991) nilai konstanta matahari pada saat aktivitas matahari minimum tahun 1986 adalah sebesar 1367 ± 3 W.m-2, serta menunjukkan adanya variasi sebesar 0,1% selama siklus matahari ke-21 (1976-1986).
Untuk mengetahui apakah terdapat keterkaitan antara variasi konstanta matahari dengan aktivitas matahari, maka dalam penelitian ini akan dilakukan suatu analisis pengaruh dari aktivitas matahari dengan indikator bilangan sunspot terhadap konstanta matahari menggunakan data dari tahun 1978 sampai dengan 2003.
II.5 Radiasi Matahari Radiasi merupakan alih energi yang terjadi tanpa membutuhkan medium. Radiasi adalah sebuah bentuk energi yang dihasilkan oleh osilasi cepat medan
16
elektromagnet. Radiasi dialihkan oleh foton yang mempunyai sifat mirip dengan partikel dan gelombang. Energi foton sebanding dengan frekuensi radiasi atau berbanding terbalik dengan panjang gelombang radiasi (Bayong, 2006).
Matahari merupakan sumber radiasi atau energi utama bagi bumi. Energi matahari yang jatuh pada permukaan bumi berbentuk radiasi elektromagnetik yang menjalar dengan kecepatan cahaya (3 x 108 m.s-1) dalam bentuk gelombang yang mempunyai panjang gelombang berbeda-beda. Radiasi dari matahari dinyatakan sebagai radiasi gelombang pendek dengan kisaran antara 0,15 hingga 3,0 µm.
Gambar II.2 Kurva distribusi spektral irradiasi matahari di luar atmosfer (m = 0) dan radiasi di permukaan laut (m = 1), m adalah optical air mass yang menggambarkan jumlah penyerapan radiasi matahari. Penyerapan radiasi matahari di atmosfer didominasi oleh uap air, karbon dioksida dan ozon. (Sumber: Robinson, 1966) Radiasi matahari merupakan energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh matahari. Radiasi matahari yang jatuh menimpa suatu permukaan di puncak atmosfer disebut dengan radiasi ekstraterestrial, dimana sekitar 97% didominasi oleh radiasi gelombang pendek yang mempunyai spektrum pada interval 0,29 3,0 µm. Sebagian dari radiasi ekstraterestrial tersebut akan menembus/melintasi atmosfer bumi dan sebagian lainnya akan dihamburkan dan atau diserap oleh
17
molekul-molekul gas, partikel aerosol dan awan yang berada di atmosfer. Sedangkan radiasi terestrial merupakan radiasi gelombang panjang yang diemisikan oleh permukaan bumi dan juga oleh gas-gas, aerosol dan awan yang berada di atmosfer. Atmosfer sendiri terdiri atas campuran gas yang tidak tampak dan tidak berwarna. Campuran gas tersebut sebagian besar (sekitar 99%) terdiri atas nitrogen dan oksigen dan sebagian kecil sisanya terdiri atas beberapa macam gas seperti gas argon, hidrogen, helium, karbon dioksida, uap air, ozon dan lainlain. Meski mendominasi kandungan atmosfer, nitrogen dan oksigen tidak berperan dalam proses penyerapan radiasi matahari di dalam atmosfer. Penyerapan radiasi matahari justru dilakukan oleh komponen atmosfer yang jumlahnya sangat kecil dan berubah-ubah, yaitu uap air, karbon dioksida, ozon dan lain-lain seperti tampak pada gambar II.2. Dalam troposfer, uap air menyerap radiasi matahari terutama dalam daerah inframerah dengan pita absorpsi yang lebar. Gas karbon dioksida menyerap radiasi inframerah dalam daerah panjang terutama pada 2,8 µm dan 4,3 µm. Sementara di atmosfer atas pada ketinggian sekitar 20 km terdapat lapisan ozon (O 3 ) yang menyerap radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang kurang dari 0,3 µm.
Dalam perjalanannya menuju bumi, energi matahari menjalar dengan hantaran gelombang
elektromagnetik.
Gelombang
tersebut
merupakan
gelombang
majemuk yang terdiri atas berbagai ukuran/panjang gelombang. Hampir 99% dari gelombang elektromagnetik tersebut mempunyai panjang gelombang berkisar antara 0,15 - 3,0 µm dan disebut gelombang pendek. Selanjutnya gelombang pendek tersebut terbagi menjadi 3 kelompok berdasarkan panjang gelombangnya seperti terlihat pada gambar II.3, yaitu: •
gelombang ultraviolet dengan panjang gelombang < 0,4 µm (jumlahnya sekitar 9%)
•
gelombang tampak dengan panjang gelombang antara 0,4 µm sampai 0,7 µm (jumlahnya sekitar 45%)
•
gelombang inframerah dengan panjang gelombang > 0,7 µm (jumlahnya sekitar 46%).
18
Gambar II.3 Spektrum gelombang elektromagnet: gelombang pendek (0,15 - 3,0) µm terbagi menjadi 3 kelompok berdasarkan panjang gelombang, yaitu: gelombang ultraviolet (< 0,4 µm), gelombang tampak (0,4 0,7) µm dan gelombang inframerah (> 0,7 µm). (Sumber: Lutgens dan Tarbuck, 1998) Untuk tujuan aplikasi, radiasi matahari yang tiba di permukaan bumi dibedakan menjadi dua komponen, yaitu radiasi langsung dan radiasi baur. Radiasi langsung adalah radiasi yang datang dari matahari secara langsung tanpa mengalami perubahan arah. Radiasi baur adalah radiasi dari matahari yang telah mengalami atenuasi atmosfer dalam bentuk pantulan dan bauran. Pengetahuan akan kedua komponen radiasi matahari tersebut akan membantu dalam menentukan jenis aplikasi yang akan diterapkan di lapangan. Untuk aplikasi elektrik misalnya, lebih memerlukan radiasi langsung. Sementara aplikasi termal memerlukan radiasi baur. Dengan demikian, apabila ingin memasang aplikasi solar cell sebaiknya dipilih lokasi yang banyak menerima radiasi langsung. Selain itu, tidak semua panjang gelombang dalam pita gelombang pendek dapat dimanfaatkan secara efektif. Untuk aplikasi solar cell misalnya, akan bekerja secara efektif pada rentang panjang gelombang antara 0,25 µm sampai 1,25 µm. Sementara aplikasi termal dapat bekerja efektif hampir di seluruh panjang gelombang (0,15 – 3,0 µm). II.5.1. Lama Hari Siang Mengingat bentuk bumi yang bulat dan berputar pada porosnya, maka setiap tempat di permukaan bumi akan menghadap ke arah matahari secara bergantian, 19
sehingga terjadi siang dan malam. Bila suatu tempat di suatu belahan bumi menghadap matahari, maka di tempat tersebut terjadi siang hari. Sebaliknya di belahan bumi yang lain mengalami malam hari karena posisinya membelangkangi matahari. Panjang siang dan malam hari tidaklah sama untuk setiap tempat dan setiap harinya kecuali tempat di ekuator. Hal tersebut dikarenakan bumi mengelilingi matahari (berevolusi) dengan posisi poros yang miring terhadap bidang edarnya. Gerak revolusi bumi dengan kemiringan tersebut (sudut kemiringan 67,5o) menimbulkan kesan seolah-olah matahari bergerak setengah tahun ke arah utara dan setengah tahun berikutnya ke arah selatan. Batas utara terletak pada 23,5o LU yaitu titik balik pergerakan semu matahari dari arah utara berbalik ke selatan. Sedangkan batas selatan terletak pada 23,5o LS yang merupakan titik balik pergerakan semu matahari dari arah selatan berbalik menuju utara. Daerah yang berada diantara kedua batas tersebut dikenal dengan daerah tropis. Pada daerah tropis tersebut, matahari melintas sebanyak dua kali dalam setahun. Selisih antara lama hari siang dan malam pada daerah tropik relatif kecil. Sedangkan diluar daerah tropik (daerah sub tropis dan kutub) perbedaan tersebut akan semakin besar ke arah kutub.
Pada saat matahari tepat di atas khatulistiwa yaitu pada tanggal 23 Maret dan 22 September (ekinoks), semua tempat di belahan bumi utara (BBU), belahan bumi selatan (BBS) dan ekuator mempunyai panjang hari siang sama dengan panjang hari malam, yaitu selama 12 jam.
II.5.2. Lama Penyinaran Matahari Banyaknya energi matahari yang sampai di permukaan bumi dapat diketahui salah satunya dengan mengukur Lama Penyinaran Matahari (LPM). LPM tersebut menunjukkan banyaknya waktu cerah dalam sehari yang memungkinkan radiasi matahari mencapai permukaan bumi. Nilai Lama Waktu Cerah (LWC) dinyatakan dalam % ditentukan dengan persamaan II.1.
II.1
20
Misalnya matahari bersinar dengan kekuatan tertentu sehingga lama waktu cerah adalah 6 jam. Bila Lama Hari Siang (LHS) adalah 10 jam, maka Lama Penyinaran Matahari adalah sebesar 6/10 x 100% = 60%.
II.5.3. Intensitas Radiasi Matahari Tingkat teriknya radiasi matahari umumnya dinyatakan dengan intensitas radiasi matahari dalam satuan kalori per menit atau watt per meter persegi. Pengetahuan mengenai intensitas radiasi matahari pada suatu lokasi merupakan suatu hal penting dalam beberapa aplikasi energi matahari seperti, desain arsitektur bangunan, simulasi sistem berbasis energi matahari, model pertumbuhan tanaman, dan estimasi evapotranspirasi. Radiasi global pada bidang horisontal pada suatu lokasi merupakan suatu parameter penting dalam desain, simulasi dan prediksi unjuk kerja suatu sistem peralatan berbasis energi matahari.
II.6 Model Estimasi Radiasi Matahari Menurut Mihalakakou (2000) dan Tymvois (2005) model estimasi radiasi matahari yang populer adalah model analitik, stokastik, empirik dan model jaringan syarat tiruan. Model analitik disusun berdasarkan pengetahuan dan hukum-hukum fisika yang berkaitan dengan fenomena yang dipelajari. Untuk mengestimasi radiasi matahari, model analitik lazimnya menggunakan persamaan diferensial dengan mempertimbangkan interaksi fisis antara radiasi matahari dan atmosfer
bumi.
Namun
model
jenis
ini
mengalami
kesulitan
dalam
pengembangannya, terutama karena tidak lengkapnya informasi/penggambaran mengenai fenomena yang terlibat. Selain itu terdapat permasalahan mengenai syarat awal dan syarat batas yang tidak selalu dapat ditentukan dengan mudah dan kadang-kadang diperlukan sejumlah parameter input yang tidak/belum tersedia datanya.
Model stokastik kadang tidak mampu mensimulasikan dengan baik proses dinamika alam yang tidak linear. Sedangkan model empirik biasanya mengeksploitasi hubungan antara radiasi matahari dengan parameter-parameter iklim terkait, seperti model empirik Angstrom yang telah banyak dikenal orang.
21
Namun, terkadang model empirik tersebut masih mengandung derau (noise) yang menambah ketidakpastian dalam prediksi.
II.6.1. Model Empirik Besarnya radiasi di permukaan bumi merupakan fungsi dari sudut jam matahari ω, deklinasi δ, lintang lokasi φ. Hubungan ketiga parameter tersebut disebut sudut ketinggian matahari α, yang secara matematis dituliskan sebagai: sin α = sin φ sin δ + cos φ cos δ cos ω
II.2
Sudut deklinasi didefinisikan sebagai sudut antara sinar matahari dan garis tegak lurus terhadap sumbu polar pada bidang sinar matahari. Secara matematis sudut deklinasi dituliskan sebagai : (284 + m ) 365
δ = 23.45 sin 360
II.3
Pada saat matahari berada di utara ekuator sudut deklinasi bernilai positif dan sebaliknya bernilai negatif saat matahari berada di selatan ekuator.
Besarnya radiasi matahari yang dipancarkan sepanjang tahun besarnya bervariasi, perubahan besaran radiasi ini dapat dihitung menggunakan persamaan :
I o (m) = I sc [l + 0,034 cos(360m/365)]
II.4
dengan I sc = 1367 W/m2 (solar constant) dan m = Julian day. Besamya radiasi ektrateresterial total pada permukaan horisontal (H o ) pada jam tertentu per satuan luas dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
H o = I sc [1 + 0,034 cos(360m/365)] sinα
II.5
Besarnya radiasi ektrateresterial dalam selang waktu antara mulai matahari terbit sampai matahari terbenam, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
22
H o = I sc (24/π)(1 + 0,034 cos(360m/365))(cosφ + cosδ sin ω ss + (πω ss /180) sinφ + sinδ)
II.6 Diantara korelasi yang ada, korelasi Angstrom merupakan salah satu korelasi yang dapat digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara radiasi matahari global dengan Lama Penyinaran Matahari (LPM), dimana hubungan tersebut dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut :
n = a + b H0 N
Hg
II.7
dimana : H g = intensitas radiasi matahari global [cal.m−2.day−1] H 0 = intensitas radiasi ekstraterrestrial [cal.m−2.day−1] n = lama penyinaran matahari (LPM) [jam] N = panjang hari [jam] = 2/15 cos-1(-tanφ tanδ). Radiasi matahari yang diterima permukaan bumi per satuan luas dan waktu disebut ‘insolasi’ atau kadang-kadang disebut ‘radiasi global’, yaitu radiasi langsung dari matahari dan radiasi tidak langsung (dari langit) yang disebabkan oleh hamburan dari partikel atmosfer. Rasio intensitas radiasi matahari global terhadap radiasi ekstraterrestrial biasanya dinyatakan dalam k T , sehingga : kT =
Hg H0
II.8
II.6.2. Adaptive Neuro-Fuzzy Inferrence System (ANFIS) ANFIS merupakan suatu teknik optimasi yang menggabungkan konsep jaringan syaraf tiruan (neural-network) dengan logika samar (fuzzy logic). Jaringan syaraf tiruan (neural-network) mengenal pola-pola dan menyesuaikan pola terhadap perubahan lingkungan, sedangkan logika samar (fuzzy logic) menggabungkan cara berfikir manusia (logika) dan mencari kesimpulan untuk membuat suatu keputusan. Jadi ANFIS adalah suatu sistem arsitektur dan aturan pembelajaran dari penarikan kesimpulan logika samar (fuzzy logic) yang didasarkan pada penyesuaian jaringan syaraf tiruan (neural-network). Oleh karena itu, ANFIS
23
dapat diterapkan secara langsung dalam bidang pemodelan, pengambilan keputusan, pengolahan sinyal dan kontrol (Jang, 1997).
Jaringan syaraf tiruan adaptif (adaptive neural-network) merupakan struktur jaringan yang terdiri dari simpul-simpul (nodes) dan hubungan langsung antar simpul, dimana sebagian atau seluruh simpul adalah adaptif sehingga outputnya tergantung pada keterkaitan parameter dengan simpul tersebut, dan aturan pembelajaran (learning rule) menentukan bagaimana parameter-parameter tersebut berubah untuk meminimalkan kesalahan (error).
Model ANFIS yang banyak diaplikasikan dalam bidang pemodelan terdiri dari tiga model, yaitu model Mamdani, Sugeno dan Tsukamoto. Dari ketiga model tersebut, yang paling banyak digunakan untuk pemodelan logika samar dengan menggunakan data sampel adalah ANFIS model Sugeno. ANFIS model Sugeno dikembangkan oleh Takagi, Sugeno dan Kang. Oleh karena itu ANFIS model Sugeno dikenal juga dengan ANFIS model TSK. ANFIS model Sugeno tersebut merupakan suatu pendekatan sistematik untuk mendapatkan aturan-aturan logika samar dari suatu himpunan data input dan output yang diberikan. Contoh ilustrasi mekanisme inferensi fuzzy model Sugeno orde satu dengan dua input x dan y disajikan pada Gambar II.4.
Gambar II.4 Sistem inferensi fuzzy model Sugeno orde satu dengan dua input (sumber : Jang, 1997). II.6.2.1 Prinsip Kerja ANFIS Dalam gambar II.1 diatas, tiap-tiap input dibagi menjadi 2 fungsi keanggotaan, x dibagi dalam A 1 yang menyatakan ‘kecil’ dan A 2 yang menyatakan ‘besar’. 24
Demikian pula y dibagi dalam 2 fungsi keanggotaan, yaitu B 1 yang menyatakan ‘kecil’ dan B 2 yang menyatakan ‘besar’. Dari pemetaan tersebut, x dan y yang semula merupakan input tegas (crysp input) kemudian berubah menjadi variabel samar (fuzzy variable) yang masing-masing mempunyai nilai m ‘kecil’ dan ‘besar’ tertentu. Nilai x adalah mA 1 dan mA 2 , sedangkan y mempunyai nilai mB 1 dan mB 2 . Nilai masing-masing pasangan input tersebut kemudian diagregasi dengan suatu operasi, misalnya AND dan OR. Dengan operasi AND misalnya, maka w 1 = (mA 1 AND mA 2 ) dan w 2 = (mB 1 AND mB 2 ). Untuk sistem inferensi fuzzy model Sugeno tersebut, dapat dipakai basis aturan dengan dua kalimat pengandaian sebagai berikut: Aturan 1: Jika x anggota A 1 dan y anggota B 1 , maka f 1 = p 1 x + q 1 y + r 1 Aturan 2: Jika x anggota A 2 dan y anggota B 2 , maka f 2 = p 2 x + q 2 y + r 2 Kalimat “x anggota A 1 dan y anggota B 1 ” dan “anggota A 2 dan y anggota B 2 ” disebut premis. Sedangkan “f 1 = p 1 x + q 1 y + r 1 ” dan ‘”f 2 = p 2 x + q 2 y + r 2 ” disebut konsekuen. Parameter p 1 , q 1 , r 1, p 2 , q 2 dan r 2 disebut parameter konsekuen. Parameter tersebut ditentukan dengan nilai awal tertentu dan akan berubah dengan proses pembelajaran (algoritma belajar). Disini A 1 , B 1 , A 2 dan B 2 adalah himpunan logika samar (fuzzy sets), sedangkan f 1 dan f 2 merupakan suatu fungsi tegas (crisp).
Jika w merupakan predikat untuk kedua aturan tersebut dan predikat untuk untuk aturan 1 dan 2 masing-masing adalah w 1 dan w 2 , maka dapat dihitung rata-rata terbobot : II.9 Keluaran f merupakan nilai akhir yang dicari.
II.6.2.2 Arsitektur ANFIS Sistem inferensi fuzzy model Sugeno seperti digambarkan pada Gambar II.1, dapat digambarkan dalam bentuk diagram blok (arsitektur ANFIS Sugeno) sebagai berikut:
25
Gambar II.5 Skema arsitektur ANFIS Sugeno orde satu (sumber : Jang, 1997).
Pada Gambar II.2 diatas terlihat bahwa sistem neuro-fuzzy terdiri atas 5 lapisan dengan fungsi yang berbeda untuk tiap lapisannya. Tiap lapisan terdiri atas beberapa simpul yang dilambangkan dengan kotak atau lingkaran. Lambang kotak menyatakan simpul adaptif, artinya nilai parameternya bisa berubah dengan proses pembelajaran. Sedangkan lambang lingkaran menyatakan simpul nonadaptif yang nilainya tetap.
Gambaran setiap lapisan dalam Gambar II.2 di atas adalah sebagai berikut : Lapisan 1 : Setiap simpul i dalam lapisan ini merupakan simpul adaptif (parameter dapat berubah) dengan fungsi simpul :
O 1,i = µ Ai (x), untuk i = 1,2 atau O 1,i = µ Bi-2 (y), untuk i = 3,4.
II.10
dimana x (atau y) adalah input pada simpul i dan Ai (atau B i-2 ) merupakan label linguistik (seperti “kecil” atau “besar”) terkait dengan simpul ini. Dengan kata lain O 1,i menyatakan derajat keanggotaan tiap input terhadap himpunan fuzzy A dan B. Fungsi keanggotaan yang dipakai adalah generalized bell function (gbell) : II.11
26
dimana (a i , b i dan c i ) adalah himpunan parameter. Perubahan nilai parameter ini akan merubah bentuk fungsi bel. Parameter-parameter dalam lapisan ini disebut parameter premis yang adaptif.
Lapisan 2 : Setiap simpul pada lapisan ini adalah non-adaptif (parameter tetap) yang dilambangkan dengan notasi П dimana keluarannya merupakan hasil perkalian dari semua sinyal datang:
O 2,i = wi = µ A,i (x) µ B,i (y),
i = 1,2
II.12
Tiap keluaran simpul menyatakan derajat pengaktifan (firing strength) tiap aturan fuzzy. Fungsi ini dapat diperluas apabila bagian premis memiliki lebih dari dua himpunan fuzzy. Banyaknya simpul pada lapisan ini menunjukkan banyaknya aturan yang dibentuk.
Lapisan 3 : Seperti pada lapisan 2, tiap simpul pada lapisan ini merupakan simpul non-adaptif yang dilambangkan dengan notasi N. Hasil dari lapisan ini menampilkan fungsi derajat pengaktifan ternormalisasi (normalized firing strength) yaitu rasio keluaran simpul ke-i pada lapisan sebelumnya terhadap seluruh keluaran lapisan sebelumnya, dengan bentuk fungsi simpul :
,
i = 1,2
II.13
Lapisan 4 : Setiap simpul pada lapisan ini merupakan suatu simpul adaptif dengan bentuk fungsi simpul :
II.14
Dimana
merupakan faktor normalisasi dari lapisan 3 dan (p i , q i ,
dan r i ) adalah himpunan parameter dari simpul ini. Parameter-
27
parameter dalam lapisan ini disebut juga parameter konsekuen yang adaptif. Lapisan 5 : Simpul tunggal ini merupakan simpul non-adaptif yang dilambangkan dengan notasi Σ yang menjumlahkan secara total semua sinyal yang datang dengan bentuk fungsi simpul :
II.15
Berdasarkan uraian diatas, maka fuzzy inference systems (FIS) merupakan sistem yang berdasarkan aturan-fuzzy, model fuzzy, memori asosiatif fuzzy (fuzzy associative memories, FAM) atau kontrol fuzzy saat digunakan sebagai pengontrol. Menurut Jang (1993) FIS terdiri dari 5 (lima) bagian : 1.
Basis aturan (rule basis), yang memilih aturan-aturan logika samar (if-then fuzzy rule).
2.
Basis data (database) yang mendefinisikan fungsi keanggotaan dari himpunan fuzzy yang digunakan dalam aturan-aturan logika samar.
3.
Satuan pengambil-keputusan (decision-making unit) yang membentuk operasi inferensi aturan (rule).
4.
Antarmuka fuzzifikasi (fuzzification interface) yang mengubah input ke dalam derajat yang sesuai dengan nilai linguistik (linguistic value);
5.
Antarmuka defuzzifikasi (defuzzification interface) yang merubah hasil fuzzy inferensi ke bentuk output yang kompak.
Biasanya basis aturan (rule basis) dan basis data digabung dan disebut basis pengetahuan (knowledge base) seperti tampak pada Gambar II.6.
basis pengetahuan basisdata
INPUT
basis
antarmuka defuzifikasi
antarmuka fuzifikasi
bagian pengambilan keputusan
28
OUTPUT
Gambar II.6 Sistem inferensi fuzzy (sumber : Jang, 1993). Langkah-langkah operasi inferensi pada aturan fuzzy yang dilakukan oleh FIS adalah sebagai berikut : 1. Membandingkan variabel input dengan keanggotaan pada bagian premise untuk memperoleh nilai keanggotaan (pengukuran kompatibilitas) dari masingmasing label linguistik. (Langkah ini sering disebut fuzzifikasi). 2. Menggabungkan melalui operasi tertentu, biasanya perkalian atau pengurangan keanggotaan pada bagian premise untuk mendapatkan bobot masing-masing aturan. 3. Membentuk konsekuen yang memenuhi syarat untuk setiap aturan berdasarkan bobot. 4. Menggabungkan konsekuen yang memenuhi syarat untuk menghasilkan keluaran (output) yang kompak. (Langkah ini sering disebut defuzzifikasi).
II.7 Photovoltaic (PV) sebagai Sumber Energi Ditinjau dari sisi ketersediannya, sumber energi dapat dibagi menjadi energi terbarukan (renewable) dan energi tak terbarukan (non renewable). Energi terbarukan adalah energi yang relatif tidak akan pernah habis, seperti energi matahari, angin, air dan biomassa (sampah rumah tangga dan limbah pertanian). Dikatakan relatif karena suatu saat nanti matahari akan padam. Sebaliknya, energi tak terbarukan merupakan bentuk energi yang tidak dapat diadakan lagi setelah habis, seperti minyak bumi, gas alam dan batubara.
Energi matahari dapat dipergunakan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Menjemur pakaian, ikan asin, gabah, kakao, bawang merah dan produk perikanan dan pertanian lainnya di bawah terik matahari, merupakan contoh penggunaan energi matahari secara langsung. Selain penggunaan secara langsung, energi mataharipun dapat digunakan secara tidak langsung, misalnya dengan cara mengubahnya menjadi energi listrik memakai sistem photovoltaic (PV) atau menangkap panas matahari memakai kolektor surya (solar collector). Energi listrik dari sistem PV tersebut kemudian disimpan dalam baterai, sehingga dapat
29
dipergunakan sewaktu-waktu bila matahari tidak tampak. Kolektor surya dapat digunakan untuk memanaskan udara atau air. Udara panas dari kolektor pemanas udara biasanya diaplikasikan untuk proses-proses pengeringan, misalnya pengeringan produk pertanian (seperti gabah, kopi, kakao, dan lain-lain) dam produk perikanan (seperti ikan asin, ebi/udang kecil, cumi-cumi dan lain-lain). Sedangkan air panas dari kolektor pemanas air (solar water heater) biasanya digunakan untuk mandi. Photovoltaic berasal dari bahasa Yunani “photo” yang berarti cahaya dan nama ahli fisika Allesandro Volta).
Sel surya (solar cell) dibuat dari bahan-bahan semikonduktor, yaitu bahan yang akan menjadi konduktor listrik bila terkena cahaya atau panas, namun akan menjadi isolator pada temperatur rendah. Sel surya bekerja berdasarkan efek fotolistrik yang ditemukan oleh Alexander Baquerel pada tahun 1839. Sel surya mulai dikembangkan pada awal tahun 1950 di Amerika untuk keperluan tenaga satelit. Lebih dari 95% sel surya yang dibuat di dunia berasal dari bahan semikonduktor jenis Silikon (Si) yang tersedia cukup berlimpah. Sel surya biasanya dibuat dalam ukuran 10 x 10 cm2, namun saat ini tersedia juga dalam ukuran 15 x 15 cm2. Setiap sel surya mampu memproduksi listrik 1-2 watt. Ada tiga jenis sel surya berdasarkan bahan pembentuknya, yaitu monocrystalline silicon, polycrystalline silicon dan amorphous silicon. Ketiganya berbeda dalam hal efisiensi seperti ditunjukkan dalam Tabel II.7.
Tabel II.7 Efisiensi sel surya berdasarkan bahan pembentuknya (Gray, 1996) Bahan Monocrystalline silicon Polycrystalline silicon Amorphous silicon
Efisiensi di Laboratorium (%)
Efisiensi Hasil Fabrikasi (%)
24
14 – 17
18
13 – 15
13
5–7
Karena sel surya hanya dapat memproduksi listrik dengan tegangan sangat kecil, maka untuk memenuhi kebutuhan tegangan yang lebih besar, sel surya tersebut dapat dirangkai/dihubungkan secara seri. Apabila dihubungkan secara paralel, maka akan diperoleh arus listrik yang lebih besar. Gabungan sel surya yang 30
disatukan dalam ethyl-vinyl-acetate transparan yang diberi rangka alumunium atau stainless steel dan diberi kaca pelindung, disebut dengan modul surya. Modul surya tersebut mampu memproduksi listrik antara 10 W peak hingga 100 W peak . W peak (watt-peak) merupakan satuan daya puncak (maksimum) modul surya yang diukur dengan standar radiasi 1000 W/m2 pada temperatur sel 25oC. Produk sel surya saat ini memiliki kualitas yang semakin baik sehingga pabrik pembuatnya sering menawarkan garansi hingga 10 tahun atau lebih.
Ada beberapa keuntungan pemanfaatan energi matahari dengan menggunakan sistem PV, antara lain yaitu (Gray, 1996) : a) Memungkinkan pembangkitan listrik di lokasi yang tidak terhubung dengan jaringan listrik umum (off-grid). b) Membangkitkan listrik tanpa menimbulkan kebisingan dan asap. c) Menghasilkan arus listrik searah yang dapat disimpan di baterai. d) Tersedia dalam bentuk modul, sehingga dapat dengan mudah ditambah atau dikurangi sesuai kebutuhan dan dana. e) Ringan, mudah dipasang dan disetel untuk menghasilkan output maksimal. f) Sekali pasang dapat membangkitkan listrik secara gratis selama kurun waktu sangat panjang. g) Awet, bandel dan relatif tahan cuaca. h) Tanpa biaya bahan bakar dan hampir tanpa biaya perawatan (relatif kecil).
31