3
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiasi Ionisasi Radiasi adalah suatu cara perambatan energi dari sumber energi ke lingkungannya tanpa membutuhkan medium (BATAN 2008; Swamardika 2009). Sinar-X merupakan gelombang elektromagnetik atau disebut juga dengan foton sebagai gelombang listrik sekaligus gelombang magnet. Energi sinar-X relatif besar sehingga memilik daya tembus yang tinggi. Panjang sinar-X sekitar 10-0.01 nanometer (1.0 × 10-9 meter), frekuensi 30 petaherzt-30 exaherzt (30 x 1015 Hz – 30 x 1018 Hz) dan memiliki energi 120 elektron Volt (eV)-120 Kilo elektron Volt (KeV) (Thrall 2002). Radiasi pengion adalah jenis radiasi yang dapat menyebabkan proses ionisasi yaitu terbentuknya ion positif dan ion negatif, apabila berinteraksi dengan materi. Partikel alpha, partikel beta, sinar gamma, sinar-X dan neutron termasuk dalam jenis radiasi pengion. Setiap jenis radiasi memiliki karakteristik khusus (BATAN 2008). Proses terbentuknya sinar-X diawali dengan adanya pemberian arus pada kumparan filamen pada tabung sinar-X sehingga akan terbentuk awan elektron. Pemberian beda tegangan selanjutnya akan menggerakkan awan elektron dari katoda menumbuk target di anoda sehingga terbentuklah sinar-X karakteristik dan sinar-X Bremsstrahlung. Sinar-X yang dihasilkan akan keluar dan jika berinteraksi dengan materi dapat menyebabkan beberapa hal diantaranya adalah efek foto-listrik, efek hamburan Compton dan efek terbentuknya elektron berpasangan. Efek foto-listrik memiliki tingkat radiasi yang lebih rendah dibandingkan dengan dua efek lainnya. Radiasi ionisasi akan mengakibatkan efek biologi radiasi, (termasuk efek foto-listrik, hamburan Compton dan terbentuknya elektron berpasangan) yang dapat terjadi secara langsung ataupun secara tidak langsung (Swamardika 2009).
2.1.1 Efek Radiasi Ketika sel normal terpapar oleh radiasi maka akan terjadi kerusakan DNA. Sel dapat memperbaiki diri dari kerusakan akibat radiasi. Dalam proses perbaikan
4
tersebut, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi yaitu tidak ada kesalahan dalam perbaikan, sehingga sel dapat memperbaiki kerusakan kecil dan kembali menjadi normal. Jika kerusakan cukup parah, akan terjadi kematian sel/apoptosis. Kemungkinan lain dari paparan radiasi adalah sel tidak mati, namun terjadi mutasi karena kesalahan dalam perbaikan DNA dan berlanjut menjadi kanker, seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Kemungkinan hasil paparan radiasi terhadap sel normal (Mitcel 2003). Apabila ditinjau dari segi dosis radiasi, efek radiasi dapat dibedakan berupa efek stokastik dan deterministik. Efek stokastik adalah peluang efek akibat paparan sinar-X yang timbul setelah rentang waktu tertentu tanpa adanya batas ambang dosis. Efek deterministik merupakan efek yang langsung terjadi apabila paparan sinar-X melebihi ambang batas dosis dengan tingkat keparahan bergantung pada dosis radiasi yang diterima. Dosis radiasi bersifat akumulatif sehingga dosis paparan yang diterima akan bertambah seiring dengan frekuensi radiasi yang diterima sebelumnya (Ulum dan Noviana 2008). Berbagai kerusakan yang disebabkan oleh radiasi juga terlihat pada sel darah merah perifer seperti penghancuran (destruksi) sel darah merah yang berlebihan, terbentuknya Howell Jolly bodies (Hee 1993; Rask et al. 2008), dan menyebabkan leukemia (Yoshinaga et al. 2005). Menurut USNRC (United State Nuclear Regulatory Commission) (tanpa tahun) dua kategori pengaruh paparan radiasi dosis rendah yaitu efek genetik dan efek somatik. Efek genetik adalah efek yang diderita oleh keturunan dari individu yang terpapar. Efek somatik adalah efek yang langsung diderita oleh individu
5
yang terkena paparan radiasi. Efek somatik disebut juga dengan efek karsinogenik karena efek utamanya berupa kanker. Sel pembentuk darah merupakan sel yang paling sensitif terhadap radiasi ionisasi. Radiasi dengan dosis tinggi akan memperlihatkan gejala yang akut sedangkan radiasi dosis rendah akan berlangsung kronis dengan jangka waktu yang lama. Penggunaan sinar-X yang berlebihan dan paparan sinar gamma dapat menyebabkan kerusakan pada sumsum tulang. Kerusakan ini kemudian berakibat pada gangguan pembentukan sel darah merah dan sel darah putih. Gangguan pada sel darah merah dapat berupa anemia aplasi dan pada sel darah putih berdampak sebagai leukemia (Lusiyanti dan Syaifudin 2008; USNRC tanpa tahun).
2.1.2 Proteksi Radiasi Keselamatan radiasi adalah tindakan yang dilakukan untuk melindungi pasien (hewan), pekerja (operator, dokter hewan dan paramedis), anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi. Syarat proteksi radiasi dalam pemanfaatan sinar-X sebagai sarana penunjang diagnosa radiodiagnostik harus memperhatikan bebrapa hal diantaranya justifikasi pemanfaatan tenaga nuklir, limitasi dosis, dan optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi (Thrall 2002; Ulum dan Noviana 2008). Keselamatan operator, dokter hewan terhadap paparan radiasi dilakukan dengan melakukan radiografi dalam jarak sejauh mungkin dari sumber sinar-X, menggunakan sarana proteksi radiasi seperti, apron Pb, sarung tangan Pb, kaca mata Pb, pelindung tiroid Pb, alat ukur radiasi dan mempersingkat waktu radiasi. Keselamatan lingkungan terhadap bahaya radiasi dilakukan dengan merencanakan desain ruang radiografi yang aman baik bagi pasien, operator dan lingkungan. Ruangan dilapisi dengan Pb dan memperhitungkan beban kerja ruangan terhadap sinar-X yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (Ulum dan Noviana 2008). Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) adalah instansi yang bertugas melaksanakan pengawasan melalui peraturan, perizinan, dan inspeksi terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia (PP no 33 tahun 2007) sedangkan di dunia internasional diatur oleh ICRP (The International Commission on Radiological Protection).
6
2.2. Rosela Rosela mempunyai nama ilmiah Hibiscus sabdariffa Linn, merupakan anggota famili Malvaceae. Rosela dapat tumbuh baik di daerah beriklim tropis dan subtropis. Tanaman ini mempunyai habitat asli di daerah yang terbentang dari India hingga Malaysia. Sekarang tanaman ini telah tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia dan mempunyai nama umum yang berbeda-beda di berbagai negara. Tinggi tanaman rosela dapat mencapai 2-2.5 m dan bunga mencapai diameter 8-10 cm dengan warna putih hingga merah kekuningan dan kelopak rosela berwarna merah segar (Gambar 2) (Maryani dan Kristiana 2009).
Gambar 2 Kelopak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) (Maryani dan Kristiana 2009). Klasifikasi rosela menurut Widyanto dan Nelistya (2009): divisi
: Spermatophyta
kelas
: Dicotyledoneae
bangsa
: Malvales
suku
: Malvaceae
marga
: Hibiscus
jenis
: Hibiscus sabdariffa L. Hibiscus sabdariffa Linn adalah tanaman tahunan yang digunakan sebagai
alat pengobatan di beberapa negara seperti Thailand, Mali, Cina dan Mexico. Kelopak rosela kaya akan senyawa phenolic yang mengandung glukosida, hibiscin, hibiscus antosianin dan hibiscus protocatechuic acid, memiliki efek diuretik dan koleretik, menurunkan viskositas darah, menurunkan tekanan darah dan menstimulasi gerakan peristaltis intestinal (Ali dan Salih 1991, Owulade et al. 2004). Rosela berkhasiat sebagai penurun kadar gula darah, anti bakteri, anti
7
virus, menghambat pertumbuhan kanker, menurunkan asam urat, anti kolesterol, anti hipertensi, dan mampu menurunkan berat badan (Mardiah dan Rahayu 2009). Berbagai kandungan yang terdapat dalam tanaman rosela membuatnya populer sebagai tanaman obat tradisional. Kandungan vitamin dalam rosela cukup lengkap, yaitu vitamin A, C, D, B1, dan B2 sebagaimana Tabel 1. Kandungan vitamin C pada rosela yang dikenal dengan asam askorbat diketahui 3 kali lebih banyak dari anggur hitam, 9 kali dari jeruk sitrus, 10 kali dari buah belimbing, dan 2.5 kali dari jambu biji. Vitamin C merupakan salah satu antioksidan penting. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kandungan antioksidan pada teh rosela sebanyak 1.7 mmol/prolox. Jumlah tersebut lebih tinggi daripada jumlah pada kumis kucing (Widyanto dan Nelistya 2009). Tabel 1 Komposisi kimia kelopak segar bunga rosela per 100 gram bahan Komposisi Jumlah Kalori (kal) 44 Air (%) 86.2 Protein (g) 1.6 Lemak (g) 0.1 Karbohidrat (g) 11.1 Serat (g) 2.5 Abu (g) 1.0 Kalsium (mg) 160 Fosfor (mg) 60 Besi (mg) 3.8 Betakaroten (ig) 285 Vitamin C (mg) 214.68 Tiamin (mg) 0.04 Riboflavin (mg) 0.6 Niasin (mg) 0.5 Sumber: Maryani dan Kristiana (2009).
Kandungan penting yang terdapat pada kelopak bunga rosela adalah pigmen antosianin yang membentuk flavonoid yang berperan sebagai antioksidan. Flavonoid rosela terdiri dari flavonols dan pigmen antosianin. Pigmen antosianin ini yang membentuk warna ungu kemerahan menarik di kelopak bunga maupun teh hasil seduhan rosela. Antosianin berfungsi sebagai antioksidan yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit degeneratif. Antosianin pada rosela berada dalam bentuk glukosida yang terdiri dari cyanidin-3-sambubioside, delphinidin-3glucose, dan delphinidin-3-sambubioside. Sementara itu, flavonols terdiri dari gossypetin, hibiscetine, dan quercetia. (Du dan Francis 1973; Wong et al. 2002; Fakaye et al. 2008; Usman 2010).
8
Tabel 2 Kandungan senyawa kimia dalam kelopak rosela. Nama senyawa Campuran asam sitrat dan asam malat Anthocyanin yaitu gossipetin (hidroxyflavone) dan hibiscin Vitamin C Protein Berat segar Berat kering Sumber: Maryani dan Kristiana (2009).
Jumlah 13% 2% 0.004-0.005% 6.7% 7.9%
Penelitian telah menunjukkan bahwa ekstrak kasar dan beberapa dari konstituen rosela, khususnya antosianin dan asam protocatechuic memiliki aktivitas antioksidan yang kuat secara in vitro dan in vivo (Tanaka et al. 1994; Tanaka et al. 1995; Tsuda et al. 1996; Tseng et al. 1997; Wang et al. 2000). Aktivitas anti hipertensi minuman yang dibuat dari kelopak kering dari tanaman rosela telah teruji pada hewan model dan manusia (Fakaye et al. 2008). Antosianin rosela dapat memberikan kontribusi bermanfaat bagi kesehatan sebagai sumber antioksidan yang baik. Antosianin adalah turunan dari struktur kation flavylum dasar, yang memiliki kekurangan elektron inti, mereka umumnya sangat reaktif. Laju kerusakan antosianin tergantung pada banyak faktor seperti suhu, pH, asam askorbat, dan oksigen. Teknik ekstraksi untuk antosianin rosela juga memainkan peran utama dalam aktivitas antioksidan ekstrak (Fakaye et al. 2008). Aktifitas ekstrak rosela juga tergantung pada pH yaitu pada pH 2 sampai 7. Aktifitas berkurang sebagaimana peningkatan pH. Pada pH konstan, penurunan aktifitas aktioksidan hanya relatif kecil (Sukhapat et al. 2004). Kelopak rosela mengandung antioksidan yang dapat menghambat terakumulasinya radikal bebas penyebab penyakit kronis, seperti kerusakan ginjal, diabetes, jantung koroner dan kanker darah. Antioksidan juga dapat mencegah penuaan dini. Kadar antioksidan yang terkandung dalam kelopak kering rosela jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kumis kucing (Mardiah dan Rahayu 2009). Zat aktif yang paling berperan dalam kelopak bunga rosela meliputi gossypetin, antosianin, dan glucosidehibiscin. Antosianin merupakan pigmen tumbuhan yang memberikan warna merah pada bunga rosela, bersifat antioksidan serta berperan mencegah kerusakan sel akibat paparan sinar ultraviolet berlebih. Salah satu khasiatnya adalah dapat menghambat pertumbuhan sel kanker, bahkan mematikan sel kanker tersebut (Widyanto dan Nelistya 2009).
9
Antioksidan adalah molekul yang berkemampuan memperlambat ataupun mencegah oksidasi molekul lain. Tubuh memiliki antioksidan yang disebut juga dengan antioksidan endogen untuk menetralkan radikal bebas, akan tetapi kandungan antioksidan endogen yang rendah dapat menyebabkan stres oksidatif sehingga radikal bebas dapat merusak sel-sel tubuh (Fang et al. 2002). Karena itulah efek rosela terhadap berbagai penyakit sebenarnya merupakan efek dari antioksidannya (Usman 2010). Antioksidan adalah senyawa dengan struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Radikal bebas akan bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron untuk mencapai kestabilan atom atau molekul (Evans et al. 2004) Pada umumnya antioksidan mengandung struktur inti sama yang mengandung cincin benzene tidak jenuh disertai gugusan hidroksi atau gugus amino. Aktivitas antioksidan terdiri dari beberapa mekanisme diantaranya mencegah reaksi berantai, mencegah pembentukan peroksida, mencegah pengambilan atom hidrogen, mereduksi, dan menangkap radikal (Su et al. 2004; Kim 2005).
2.3. Darah Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan koloid cair yang mengandung elektrolit (Baldy 2006). Darah mempunyai fungsi penting dalam sirkulasi. Secara umum fungsi darah adalah sebagai alat transportasi oksigen, karbondioksida, zat gizi, dan sisa metabolisme, mempertahankan keseimbangan asam basa, mengatur cairan jaringan dan cairan ekstra sel, mengatur suhu tubuh, dan sebagai pertahanan tubuh dengan mengedarkan antibodi dan sel darah putih (Goorha et al. 2003). Komponen darah terdiri dari sel-sel darah dan plasma yang merupakan media cair darah. Sel-sel darah meliputi sel darah merah atau eritrosit, sel darah putih atau leukosit, dan trombosit atau platelet yang tersuspensi dalam plasma.
10
Eritrosit atau sel darah merah adalah sel dengan jumlah terbanyak (99%). Platelet atau trombosit jumlah terbanyak setelah sel darah merah (0.6-1.0%). Jumlah leukosit atau sel darah putih lebih sedikit dari sel darah merah (0.2%). Perbandingan tipe leukosit tergantung pada spesies (Meyer dan Harvey 2004). Sel-sel darah mempunyai umur yang terbatas, sehingga diperlukan pembentukan yang optimal dan konsisten untuk mempertahankan jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Pembentukan dan pematangan darah disebut dengan hematopoiesis. Hematopoiesis terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, vertebrae, pelvis, sternum, thorax dan epifisis proksimal tulang tulang panjang. Jika kebutuhan darah meningkat seperti keadaan pendarahan dan penghancuran sel darah meningkat, maka dapat terjadi pembentukan sel darah di sepanjang tulang panjang (Price dan Wilson 2005). Dua stem sel yang terlibat dalam hematopoiesis yaitu stem sel limfoid dan mieloid sebagaimana Gambar 3. Stem sel limfoid terkait dengan timus dimana sel limfosit dihasilkan. Stem sel mieloid jauh lebih kompleks dari stem sel limfoid. Stem sel mieloid sedikitnya memiliki enam garis keturunan yang berbeda yaitu garis keturunan eritrosit, trombosit, netrofil, eosonofil, basofil, dan monosit /makrofag. Sel-sel ini terbentuk sebelum menjadi matur (dewasa) terjadi di sumsum tulang. Tahap akhir garis keturunan mieloid ini terdapat dalam sel darah perifer normal (Wellman 2010).
Gambar 3 Skema Hematopoiesis (Themi et al. 2004)
11
Volume darah mencit dalam sirkulasi sekitar 6.3-8.0 ml/100 gram berat badan. Pengambilan darah sampai 40% volume darah setelah 24 jam belum tentu meningkatkan kesakitan atau kematian. Mencit yang masih muda memiliki volume darah yang lebih banyak dari pada mencit yang sudah tua. (Weiss dan Wadrop 2010). Pada umumnya volume darah adalah 6-8% dari berat badan (Kresno 1988). Volume darah di dalam tubuh hewan tergantung pada umur, keadaan kesehatan, makanan, ukuran tubuh, waktu menyusu, faktor lingkungan dan derajat aktivitas (Malole dan Pramono 1989). Secara umum, jumlah maksimum darah yang bisa diambil dalam satu kali pengambilan adalah 1% dari berat badan (Thrall 2004). Jumlah total darah yang dapat diambil dari mencit adalah 6%-7% dari berat badan (Meyer dan Harvey 2004).
2.3.1 Sel Darah Merah (Eritrosit) Morfologi normal sel darah merah (eritrosit) bervariasi tergantung kepada spesies. Eritrosit mamalia tidak berinti sedangkan eritrosit bangsa camellidae, reptil, dan aves memiliki inti. Bentuk oval dan bikonkaf dari eritrosit berfungsi sebagai pertukaran oksigen. Sel darah merah mencit mempunyai ketebalan sel 2.1-2.13 μm dan diameter rata-rata 6.2 μm atau sekitar 5.7-7 μm. Waktu hidup sel darah mencit adalah sekitar 43 hari. Sel darah merah terdiri sekitar 20% air, 40%, protein, 35% lemak dan 6% karbohidrat (Weiss dan Wadrop 2010). Fungsi utama dari sel darah merah adalah untuk mengangkut hemoglobin yang membawa oksigen ke jaringan. Membran permeabel yang menutupi komponen sel darah merah terbuat dari lipid, protein, dan karbohidrat. Perubahan komposisi lipid membran dapat menghasilkan bentuk sel darah merah yang abnormal. Ketidaknormalan membran protein juga mungkin menghasilkan bentuk tidak normal dari sel darah merah. Morfologi eritrosit sering digunakan untuk menegakkan diagnosa mengenai penyebab anemia. Morfologi eritrosit dapat dilihat pada preparat darah sesuai dengan warna, ukuran bentuk, struktur di dalam atau di luar eritrosit dan susunan sel pada preparat darah (Thrall 2004).
12
Gambar 4 Sel darah merah normal dilihat secara mikroskopis (Vidinsky 2011). Evaluasi darah tepi merupakan suatu penunjang diagnosa terhadap kelainan hematologi. Pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit (PCV) digunakan bersama untuk identifikasi adanya anemia. Hematokrit atau PCV (Packed Cell Volume) adalah volume eritrosit yang dimampatkan dan dinyatakan dalam % (volume sel-sel eritrosit seluruhnya dalam 100 ml darah). Idealnya untuk menilai anemia selain pengukuran kadar Hb dibutuhkan penilaian terhadap kapasitas oksigen, tapi pada prakteknya sulit menerapkan pemeriksaan ini dalam pemeriksaan darah rutin, sehingga pada pemeriksaan darah sering disertai dengan pengukuran indeks eritrosit yang mengarah pada sifat defek primer anemianya, pendekatan ini dapat juga menunjukkan kelainan yang mendasari sebelum terjadinya anemia yang jelas (Kemuning 2010). Penilaian terhadap indeks eritrosit terdiri dari penghitungan nilai Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC). MCV yaitu volume rata-rata sebuah eritrosit dinyatakan dengan femtoliter (10-15 liter). MCV ditentukan paling akurat dengan pengukuran langsung dengan electronic cell counter. Perhitungan dapat ditentukan secara tidak langsung dengan membagi hematokrit (PCV) dengan jumlah sel darah merah (dalam 106/µL) dan mengalikan dengan 10. MCV bervariasi tergantung spesies dan usia. Nilai MCV yang tinggi (macrocytosis) biasanya berhubungan dengan anemia regeneratif karena volume sel darah yang muda individu terutama dalam keadaan stres, lebih besar dari volume eritrosit matang. Sel-sel makrositik yang muncul berfungsi untuk meningkatkan MCV
13
diatas interval referensi yang normal. MCV yang tinggi dapat terjadi pada hewan dengan gangguan mieloproliferatif (Meyer dan Harvey 2004). MCH atau disebut juga dengan Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata (HER), yaitu banyaknya hemoglobin per eritrosit dan dinyatakan dalam pikogram (pg). MCH dihitung dengan membagi nilai hemoglobin (dalam g/dl) dengan sel darah merah (dalam 106/µL) dan mengalikannya dengan 10. Biasanya MCH berkorelasi langsung dengan MCV hewan (Meyer dan Harvey 2004). MCHC atau disebut juga dengan Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Ratarata (KHER), yaitu kadar hemoglobin yang didapat per eritrosit, dinyatakan dengan persen (%) atau gram hemoglobin per dl eritrosit (g/dl). MCHC merupakan konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam eritrosit yang dihitung dengan membagi nilai hemoglobin (g/dl) dengan PCV dan mengalikannya dengan 100. MCHC dinyatakan sebagai g/dl eritrosit (Meyer dan Harvey 2004). Nilai normal sel darah merah mencit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai normal sel darah merah mencit Jenis Jumlah Jumlah total sel darah merah PCV Hemoglobin MCV MCH MCHC Sumber : Thrall (2004).
6.5-10.1 x 106 sel/µl 32.8-48.0% 10.1-16.1 g/dl 42.3-55.9 fL 13.7-18.1 pg 29.5-35.1%
2.3.2 Howell Jolly Bodies Howell Jolly bodies merupakan sisa inti hasil mitosis yang tidak sempurna berupa fragmen kecil berwarna biru dengan pewarnaan Giemsa dan berdiameter 1 µm di dalam sel darah merah (Thrall 2004). Howell Jolly bodies disebut juga dengan mikronukleus merupakan hasil mutasi dari kromosom utuh yang patah kemudian tampak sebagai nukleus berukuran kecil di dalam sel (Purwadiwarsa et al. 2000). Howell Jolly bodies biasanya tampak pada sel polychromatic erythrocyte (PCE) yang merupakan sel eritrosit muda dan baru mengalami mitosis dan sintesis DNA (Sumpena et al. 2009). Jumlah sel eritrosit polikromatik bermikronukleus
menunjukkan
tingkat
kerusakan
genetik
eritropoitik suatu makhluk hidup (Purwadiwarsa et al. 2000).
dalam
sistem
14
Radiasi sinar-X pada mencit dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas. Radikal bebas ini terbentuk dari interaksi radiasi pada elektron atom dengan molekul air yang ada di dalam tubuh oleh radiasi ionisasi. Radikal bebas memiliki elektron bebas yang tidak mempunyai pasangan pada lapisan terluarnya dan dapat menyebabkan kerusakan pada sel tubuh. Kerusakan tersebut dapat terjadi pada semua sel, namun sel darah adalah sel yang paling sensitif terhadap terjadinya kerusakan (USNRC tanpa tahun). Radiasi ionisasi memicu kerusakan kromosom pada tahap anafase pembelahan sel. Setelah mencapai tahap telofase, elemen sentris menjadi inti sel anak, sedang fragmen kromosom yang tertinggal tetap berada pada sitoplasma membentuk inti kecil yang disebut Howell Jolly bodies (Sumpena et al. 2009). Terbentuknya Howell Jolly bodies (mikronukleus) pada sel merupakan indikasi terjadinya aktifitas mutagenik yang merusak kromosom dan memicu terjadinya kanker. Mikronukleus merupakan hasil mutasi kromosom yang tampak sebagai nukleus berukuran kecil di dalam sel. Mutasi dapat dipicu oleh adanya radiasi ionisasi. Jumlah eritrosit bermikronukleus menunjukkan tingkat kerusakan genetik dalam sistem eritropoietik (Purwadiwarsa et al. 2000).
2.4. Mencit Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit laboratorium (Gambar 5). Mencit (Mus musculus) merupakan hewan rodensia yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetikanya cukup besar, serta sifat anatomis dan fisiologis terkarakterisasi dengan baik (Malole dan Pramono 1989). Mencit telah digunakan sebagai subyek penelitian sejak abad ke-19. Alasan penggunaan mencit sebagai hewan coba yaitu, berukuran kecil, harganya relatif murah dan mudah dipelihara (Sirois 2005). Mus musculus sebagaimana pada Gambar 5 memiliki ciri ukuran tubuh yang kecil sehingga mudah ditangani dan dikembangbiakkan. Pada bagian ekor mencit hanya ditutupi oleh rambut-rambut halus. Berbeda dengan tikus dan mamalia lain, sumsum dari tulang panjangnya selalu aktif seumur hidupnya. Rata-rata umur Mus musculus 1 sampai 3 tahun dengan berat badan umum mencit jantan dewasa berkisar 20 sampai 40 gram dan betina 22 sampai 63 gram. Mencit memasuki usia
15
dewasa pada umur 6 minggu dan masa bunting selama 19 sampai 21 hari (Sirois 2005).
Gambar 5
Mencit laboratorium yang digunakan sabagai hewan percobaan (Mather dan Lausen 2009).
Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Besselsen 2004): kingdom
: Animalia
filum
: Chordata
subfilum
: Vertebrata
kelas
: Mamalia
subkelas
: Theria
ordo
: Rodensia
subordo
: Sciurognathi
famili
: Muridae
subfamili
: Murinae
genus
: Mus
spesies
: Mus musculus
Mencit dapat dikondisikan sesuai dengan kebutuhan penelitian, seperti kastrasi maupun ovariohisterektomi (steril) untuk penelitian yang berkaitan dengan hormonal maupun reproduksi, kondisi hiperglikemia untuk penelitian yang berkaitan dengan glukosa darah, kondisi asam urat untuk penelitian yang berkaitan dengan asam urat. Kondisi diabetes bawaan (genetik) untuk penelitian yang berkaitan dengan diabetes melitus dan sinkronisasi birahi untuk penelitian yang membutuhkan kondisi estrus yang terjadi secara bersamaan untuk menghasilkan jadwal kelahiran yang bersamaan pula. Pada penelitian ini
16
dibutuhkan
keseragaman
parameter
darah
agar
hasil
penelitian
dapat
dipertanggung jawabkan (Sirois 2005; Ulum 2010). Mencit sering digunakan sebagai sarana penelitian biomedis, pengujian dan pendidikan. Mencit digunakan sebagai model penyakit pada manusia dalam hal genetika. Hal tersebut karena kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme, dan biokimianya cukup dekat dengan manusia. Beberapa penyakit manusia yang menggunakan mencit sebagai hewan model adalah toksoplasmosis (Iskandar et al. 2002), jantung coroner (Sukarsa 2004), diabetes (Nugroho 2006), penyakit tifoid (Yuniastuti et al.2010), tumor dan kanker (Rusmarilin 2003; Khoiri 2009).