II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Faktis Gelap Faktis merupakan minyak yang divulkanisasi dengan sulfur atau sulfur
klorida. Secara umum dikenal dua jenis faktis, yaitu faktis gelap (faktis coklat) dan faktis putih. Faktis gelap dibuat dengan mereaksikan minyak dengan sulfur pada suhu tinggi (150 – 160o C), sedangkan faktis putih dibuat dengan mereaksikan minyak dengan sulfur klorida pada suhu yang lebih rendah (Harrison, 1952). Faktis gelap atau vulkanisat minyak tidak memiliki elastisitas dan kekuatan tarik seperti karet alam atau karet sintetis karena sifat polifungs ional gliserida dalam minyak serta sifat produksi faktis gelap yang lebih mengutamakan pembentukan struktur ikatan silang yang intensif daripada pembentukan rantai panjang linear yang merupakan karakteristik utama karet (Sonntag, 1982). Faktis gelap semakin banyak digunakan dalam kompon karet karena selain mampu menurunkan kekerasan karet juga mampu mengurangi jaringan ikatan molekul dan meningkatkan kualitas penyerapan minyak oleh kompon karet. Sebagai bahan bantu olah, faktis gelap ditambahkan sebanyak 5 – 30 bsm (Alfa, 2002). Aplikasi faktis gelap cukup luas meliputi penggunaan dalam pengolahan karet alam maupun sintetis. Faktis gelap yang berasal dari minyak nabati tervulkanisasi umumnya digunakan dalam pencampuran dengan karet alam maupun sintetis dengan tujuan untuk menghasilkan karakter produk yang halus serta meningkatkan daya tahan terhadap cahaya dan ozon (Lever, 1951). Penggunaan faktis gelap dalam pengolahan karet alam maupun sintetis dapat mengurangi konsumsi energi, mempercepat waktu pencampuran, membantu dalam mengontrol ketebalan lembaran karet dalam proses calendering serta dapat menghasilkan produk yang mengkilap dan lebih halus.
Namun demikian,
terkadang penambahan faktis gelap juga menyebabkan kerugian seperti penurunan kekuatan tarik vulkanisat (Lever, 1951).
Faktis gelap digunakan dalam
pengolahan barang jadi karet berwarna seperti selang air, kawat, kabel, peralatan rumah tangga, gasket untuk lemari pendingin dan produk karet untuk otomotif (Alfa, 2002).
6
Faktis gelap dapat dibuat dari minyak lobak, minyak kedelai, minyak biji kapas dan minyak biji rami (Lever, 1951).
Secara umum, minyak yang
mempunyai bilangan iod antara 80 – 185 g iod/100 g minyak dapat diolah menjadi faktis gelap (Carrington, 1962).
Minyak tidak jenuh terutama minyak
mengering dapat mengalami polimerisasi membentuk berbagai bahan elastis atau dikenal dengan rubber like material. Pada dasarnya reaksi polimerisasi untuk menghasilkan faktis gelap serupa dengan reaksi polimerisasi karet. Sulfur dalam hal ini berfungsi sebagai agen pembentukan ikatan silang disulfida (Sonntag, 1982). Warna faktis gelap dipengaruhi oleh bilangan iod minyak yang digunakan sebagai bahan baku. Minyak dengan bilangan iod yang lebih tinggi menghasilkan faktis gelap yang berwarna lebih gelap. Kandungan asam lemak jenuh yang tinggi menyebabkan faktis gelap yang dihasilkan mempunyai kadar ekstrak aseton yang tinggi. Faktis gelap yang berkualitas tinggi dihasilkan dari minyak dengan kandungan asam lemak jenuh kurang dari 5 persen (Carrington, 1962). Pembentukan
faktis
gelap
melibatkan
reaksi
vulkanisasi
dengan
menggunakan vulkanisator sulfur. Ikatan rangkap dalam dalam asam lemak tidak jenuh minyak nabati akan diadisi oleh sulfur sehingga terbentuk ikatan silang. Dengan demikian, kandungan asam lemak tidak jenuh dalam minyak yang semakin tinggi akan menghasilkan faktis gelap dengan kualitas semakin tinggi pula (Fernando, 1971). Kualitas faktis gelap dapat dikelompokkan berdasarkan kandungan ekstrak aseton. Faktis gelap kualitas I mempunyai ekstrak aseton kurang dari 20 persen, kualitas II mengandung ekstrak aseton antara 20 – 35 persen. Faktis gelap dengan kadar ekstrak aseton lebih dari 35 persen dikelompokkan sebagai faktis mutu III (Carrington, 1962).
Selain kadar ekstrak aseton, kualitas faktis gelap juga
ditentukan oleh kadar sulfur bebas, kadar abu dan pH.
Faktis gelap dengan
kualitas baik mengandung kurang dari 2 persen kadar sulfur bebas, kadar abu kurang dari 5 persen dan pH netral (Fernando, 1971). Mutu faktis gelap terkadang tidak dapat ditentukan melalui uji kimia saja. Kesimpulan yang terpercaya dapat diambil setelah mengaplikasikan faktis gelap dalam vulkanisasi karet.
Faktis
gelap diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap sifat fisik karet.
7
Namun, pada umumnya faktis gelap sebagai bahan bantu olah karet hanya sedikit atau bahkan tidak mempengaruhi sifat fisik karet (Harrison, 1952).
Karakteristik
faktis gelap ko mersial mutu II dan III disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik faktis gelap mutu II dan III Karakteristik
Fakt is gelap mutu II
Fakt is gelap mutu III
26 – 35
47.2
Kadar sulfur bebas (%)
1.8
0.9
Kadar abu (%)
1.5
5.8
pH
Netral
Netral
Warna
Coklat
Coklat tua
Kadar ekstrak aseton (%)
Sumber : Alfa dan Honggokusumo (1997)
Mekanisme reaksi sulfur dengan minyak selama proses pembuatan faktis gelap belum diketahui dengan pasti. Sonntag (1982), menyatakan bahwa reaksi sulfur dalam pembentukan faktis gelap serupa de ngan reaksinya dalam karet, yaitu modifikasi struktur polimer dengan membentuk ikatan silang.
Pada dasarnya
reaksi sulfur dengan minyak merupakan mekanisme vulkanisasi polar secara alami, bukan vulkanisasi radikal bebas. Flint (1955) menjelaskan proses pembentukan faktis gelap. Pada umumnya molekul trigliserida digambarkan sebagai huruf “E” dan dengan struktur molekul tersebut, minyak tidak dapat membentuk faktis gelap.
Struktur molekul
trigliserida yang tepat untuk pembuatan faktis gelap diperoleh dengan memutar cabang terbawah (R3 ) ke posisi perpanjangan cabang yang kedua (R 2 ) (Gambar 1).
Hasil akhir perputaran cabang ketiga ini membentuk struktur trigliserida
seperti “garpu tala”. Perputaran ini terjadi karena asam lemak pada cabang ketiga trigliserida tidak sama dengan asam lemak pada cabang kesatu dan kedua. Pembentuka n faktis gelap merupakan reaksi adisi sulfur terhadap sepasang ikatan rangkap dari dua rantai asam lemak tak jenuh yang berada dalam posisi sejajar. Dalam hal ini diperluka n empat atom sulfur untuk sepasang ikatan rangkap asam lemak da n dihasilkan ikatan monosulfida atau ikatan disulfida.
8
CH2
O O C (CH2)11 CH CH (CH2)7CH3 R1
CH2 O C (CH2)11 CH CH (CH2)7CH3 R2 O CH2 O C (CH2)7 O
CH CH (CH2)7CH3 R3
Gambar 1 Struktur trigliserida yang mengarah pada bentuk “garpu tala”
Pada proses vulkanisasi, dua molekul trigliserida dalam bentuk “garpu tala” saling berikatan melalui ikatan sulfur dari ekor ke ekor (ikatan intermolekuler). Selain itu, ikatan sulfur juga terbentuk melewati cabang “garpu tala” dari masingmasing trigliserida dan membentuk ikatan intramolekuler. Struktur ini merupakan struktur unit pokok faktis gelap (Gambar 2 dan 3). Susunan unit faktis gelap yang menyusun makromolekul faktis gelap dapat berupa : (i) susunan sejajar menyerupa i “tumpukan buku” da n (ii) susunan menyerupa i batu bata di dinding dan (iii) kombinasi keduanya.
1
2
3
C
S C
C
S C
S C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C S
C
C S
C S
C
5
4
S S
S S
S S
6
Gambar 2
S S
S S
S S
S S
S S
S S
Pembentukan ikatan sulfur dari ekor ke ekor pada pembuatan faktis gelap
9
a
b
c
B
A
C
f
e
d
Gambar 3 Struktur unit pokok faktis gelap
2.2. Minyak Jarak Minyak jarak (castor oil) diperoleh dari biji tanaman jarak kepyar (Ricinus communis L.).
Biji jarak mengandung sekitar 35 – 55 persen minyak.
Karakterisitik minyak jarak berbeda dengan minyak nabati lainnya, terutama karena minyak jarak mempunyai bilangan asetil, bilangan iod dan viskositas yang tinggi.
Minyak jarak merupakan senyawa yang mudah dimodifikasi karena
memiliki tiga gugus aktif, yaitu gugus karboksilat, ikatan rangkap dan gugus hidroksil. Selain itu, minyak jarak juga mempunyai kelarutan yang tinggi dalam asam asetat glasial dan sebaliknya mempunyai kelarutan yang rendah dalam pelarut petroleum.
Karakteristik yang spesifik tersebut disebabkan oleh
kandungan asam risinoleat yang tinggi pada minyak jarak. Asam risinoleat adalah asam lemak yang mengandung gugus hidroksil dalam struktur molekulnya (Bernardini, 1983). Minyak jarak tidak dapat digunakan untuk kebutuhan pangan karena dapat meracuni tubuh. Sifat meracuni ini akibat kandungan senyawa ricin, ricinine da n allergen tertentu (Ogunniyi, 2005).
Minyak jarak umumnya
dimanfaatkan di bidang kosmetika, farmasi dan cat (Sontag, 1979). Selanjutnya Bernardini (1983) menjelaskan bahwa kandungan asam risinoleat dalam minyak jarak mencapai sekitar 93 persen dari total asam lemak. Asam lemak
lain yang
linoleat sebesar 4.5 – 5.0 asam
palmitat
terdapat
da lam
persen da n
minyak
jarak
adalah
asam oleat, asam stearat
dalam jumlah yang sangat kecil.
asam serta
Asam lemak risinoleat
10
[CH3 (CH2 )5 CH(OH)CH 2 CH=CH(CH 2 ) 7 COOH], [CH3 (CH2 )4 CH=CHCH 2 CH=CH
(CH2 ) 7 COOH]
linoleat dan
oleat
[CH3 (CH2 )7 CH=CH(CH2 ) 7 COOH] merupakan asam lemak tidak jenuh. Minyak jarak memiliki viskositas tinggi dan tetap cair pada suhu rendah. Pada suhu 24o C dan 85oC, viskositas kinematik minyak jarak murni berturut-turut adalah 295,4 cSt dan 20,3 cSt dengan indeks viskositas 87.
Sifat fisiko kimia
minyak jarak disajikan pada Tabel 2.
Tabe l 2 Sifat fisiko kimia minyak jarak murni No
Sifat fisiko k imia
Nilai
1
Bilangan asam (mg KOH/g minyak)
0.3 – 6.0
2
Bilangan pe nyabunan (mg KOH/ g minyak)
177 – 187
3
Bahan tidak tersabunka n (%)
0.3 – 1.0
4
Bilangan iod (g iod/100 g minyak)
80 – 90
5
Viskos itas kinematik, 25 o C (cSt)
6
Bobot jenis, 15.5o /15.5o C
0.957 – 0.967
7
Kelarutan dalam alkohol, 20o C
“no turbidity”
8
Bilangan asetil
9
Titik api, o C
10
Putaran optik, 200 mm
11
Titik tuang, o C
-23
12
Tegangan pe rmukaan, 20 o C (dyne/cm)
39.0
13
Indeks bias, 25o C
615 – 790
144 – 150 322 +7.5 – 9.0
1.476 – 1.478
Sumber : Kirk dan Othmer (1993)
2.3. Kompon Karet Kompon karet adalah campuran karet mentah dan bahan-bahan tambahan. Pembuatan kompon karet untuk menghasilkan barang jadi karet dengan sifat fisik yang sesuai de ngan kebutuhan. Bahan utama yang dibutuhka n da lam pe mbuatan kompon karet adalah elastomer (karet alam atau karet sintetik) dan bahan pemvulkanisasi (vulcanizing agent). Bahan ini dapat berupa sulfur atau oksida loga m. Bahan pemvulkanisasi bereaksi dengan gugus aktif molekul karet
11
membentuk ikatan silang antar molekul sehingga terbentuk jaringan tiga dimensi (Winspear, 1968). Selain bahan pemvulkanisasi, pembuatan kompon juga memerlukan bahan pencepat (accelerator), bahan penggiat (activator), bahan pengisi (filler) dan bahan ba ntu olah (processing aid).
Bahan pe ncepa t ditamba hka n untuk
mempercepat reaksi vulkanisasi dan memungkinkan vulkanisasi berlangsung pada suhu yang lebih rendah (Craig,
1969).
Bahan penggiat berfungsi sebagai
pengaktif kerja bahan pencepat karena umumnya bahan pencepat organik tidak berfungsi tanpa adanya bahan pengaktif (Craig, 1969). Bahan penggiat terbagi menjadi dua golongan, yaitu anorganik berupa oks ida logam (ZnO, PbO dan MgO) dan organik berupa asam lemak rantai panjang (asam stearat dan asam oleat). Bahan penggiat yang paling banyak digunakan adalah kombinasi ZnO dan asam stearat (Alfa, 2002). Bahan pengisi ditambahkan untuk memperkuat struktur fisik, memperbaiki karakteristik pengolahan dan menambah volume kompon karet. Bahan pengisi terdiri dari dua jenis, yaitu bahan pengisi aktif dan bahan pengisi tidak aktif. Bahan pengisi aktif meningkatkan kekerasan, ketahanan sobek, ketahanan kikis dan tegangan putus barang jadi karet. Bahan pengisi tidak aktif meningkatkan kekerasan dan kekuatan produk. Bahan pengisi aktif antara lain karbon aktif, silika, aluminium silikat dan magnesium silikat., sedangkan bahan pengisi tidak aktif antara lain kaolin, berbagai jenis tanah liat, kalsium karbonat, magnesium karbonat, barium sulfat dan barit (Craig, 1969). Bahan bantu olah merupakan bahan kimia karet yang ditambahkan pada pembuatan kompon karet untuk meningkatkan efektifitas tanpa mempengaruhi karakteristik vulkanisasi barang jadinya. Berdasarkan fungsinya, bahan bantu olah karet terdiri dari senyawa penghomogen (homogenizing agent), bahan pelunak atau pelembut (plasticizer), senyawa pemutus rantai (peptizer), senyawa pendispersi (dispersing agent), senyawa peningkat daya lengket (tackifier), bahan penamba h volume (extender), ba han bantu pelepas dari cetakan (mold release agent) dan ba han bantu peningkat aliran kompon selama ekstrusi/calendering (flow improvement).
12
Perlakuan awal terhadap karet yang akan dibuat kompon adalah mastikasi yang bertujuan untuk melunakkan karet sehingga mudah tercampur dengan bahanbahan lain.
Pelunakan ini terjadi karena pemutusan rantai molekul sehingga
diperoleh bobot molekul yang lebih rendah (Craig, 1969).
2.4. Vulkanisasi Karet Vulkanisasi merupakan proses kimiawi yang bersifat tidak dapat balik dengan menggunakan bahan pemvulkanisasi seperti sulfur, bahan yang mengandung sulfur dan peroksida organik. Tujuan vulkanisasi adalah membentuk ikatan silang pada molekul karet yang fleksibel sehingga menghasilkan jaringan tiga dimensi dan mengubah sifat karet mentah yang rapuh dan plastis menjadi produk yang lebih kuat. Vulkanisasi karet biasanya melibatkan pemanasan karet pada suhu 100 – 180o C dengan bahan pemvulkanisasi serta bahan pencepat dan bahan penggiat (Craig, 1969). Coran (1978) mendefinisikan vulkanisasi sebagai proses yang melibatkan pembentukan jaringan molekuler melalui ikatan kimia dari rantai-rantai molekul bebas.
Proses ini meningkatkan kemampuan karet
untuk kembali ke bentuk semula setelah dikenai gaya mekanik. Vulkanisasi, dengan demikian, merupakan reaksi intermolekuler yang meningkatkan elastisitas karet serta mengurangi sifat plastisitasnya. Morton (1959), menyatakan bahwa vulkanisasi karet alam dilakukan untuk mengurangi sifat karet alam yang rapuh pada suhu dingin dan lunak pada suhu panas. Dengan vulkanisasi, produk karet menjadi lebih fleksibel, stabil terhadap perubahan suhu, daya tahan meningkat dan penggunaan karet alam semakin luas. Pada dasarnya sistem vulkanisasi digolongkan menjadi dua macam, yaitu vulkanisasi dengan sulfur dan bukan sulfur. Sulfur merupakan bahan pemvulkanisasi yang umum digunakan.
Atom
sulfur terikat dengan atom karbon yang memiliki ikatan rangkap membentuk ikatan silang da lam struktur karet. Ikatan silang inilah yang memberikan sifat elastis pada karakteristik karet (www.people.virginia.edu., 23 Juni 2005). Formula umum vulkanisasi dengan sulfur adalah : ZnO 2 – 10 bsk (bagian per seratus karet), asam lemak 1 – 4 bsk, sulfur 0.5 – 4 bsk dan bahan pencepat 1.5 – 2 bsk (Coran, 1978). Secara umum, produk hasil vulkanisasi atau barang jadi
13
karet dikenal dengan istilah vulkanisat. Beberapa pengujian sifat fisik vulkanisat ada lah uji tarik (tensile strength), perpanjangan putus (elongation at break), kekerasan (hardness) dan ketahanan sobek (tear strength) (Maspanger, 2002).
2.5. Penelitian Faktis Gelap Reynolds (1962), menyebutkan bahwa faktis gelap telah diproduksi secara komersial di Eropa pada tahun 1914. Pada waktu itu, kebutuhan faktis gelap di Perancis tercatat sebesar
2 000 ton. Sebenarnya faktis gelap telah dikenal
orang sejak awal abad XIX. Pada waktu itu, di Inggris faktis gelap dikenal dengan nama rubber substitute sebagai terjemahan dari bahasa Perancis “caoutchouc factice” dan di China faktis dike nal de ngan nama “gun-powder and pottery”. Di Eropa, faktis gelap umumnya dibuat dengan bahan baku minyak linseed, rapeseed da n hempseed. Pada pertengahan abad XIX (1846 – 1850), pengembangan faktis gelap memasuki periode “penyimpangan”. Pada periode ini, faktis gelap dibuat dengan mereaksikan minyak dan asam nitrat (bukan dengan sulfur sebagaimana sebelumnya) untuk beberapa jam hingga diperoleh material yang kental. Setelah didinginkan, bahan tersebut dicuci dan dikeringkan. Pada waktu tersebut faktis gelap dikenal dengan nama “oil-rubber”. Sejak tahun 1855 faktis gelap telah dibuat dan dipasarkan pada jumlah yang cukup banyak. Pada periode ini, faktis gelap dibuat dengan mereaksikan minyak linseed, rapeseed dan hempseed dengan sulfur klorida dengan reaksi yang menyerupai proses vulkanisasi karet. Teknologi proses pembuatan faktis gelap dari minyak linseed dengan menambahkan sulfur klorida dipublikasikan oleh French Academy of Sciences pada tahun 1858. Pada awal abad 20, kebutuhan faktis gelap meningkat akibat tingginya permintaan karet dan melambungnya harga karet. Pada masa ini dikembangkan “rubbery material” yang mempunyai karakteristik seperti karet tetapi dengan kandungan karet minimum. Faktis gelap dikembangkan dengan menambahkan minyak nabati ke dalam karet non hevea (seperti Guayule) dan kemudian divulkanisasi dengan sulfur. Penambahan faktis gelap ini dimaks udk an untuk meningkatkan sifat seperti karet (rubber – like properties). Metode lain yang digunakan adalah melarutkan karet ke dalam minyak nabati pada temperatur
14
tinggi dan menambahkan larutan tersebut ke dalam minyak linseed sebelum dilakukan pemanasan dengan sulfur. Dalam sejarah pengembangan faktis gelap, periode ini sering disebut sebagai periode diversifikasi. Faktis gelap lebih banyak digunakan sebagai komponen dalam membuat compound untuk memperbaiki sifat-sifat dari barang jadi karet.
Pada masa ini juga dikembangkan faktis
campuran (mixed factice) yang diperoleh dengan cara vulkanisasi parsial minyak dengan sulfur dan kemudian dilanjutkan dengan sulfur klorida. Pada periode berikutnya, faktis gelap tidak hanya dibuat dari minyak nabati (minyak linseed, minyak rapeseed, minyak hempseed, minyak biji kapuk, minyak olive, minyak poppyseed, minyak jarak, minyak walnut, minyak jagung dan minyak kedelai), tetapi juga dibuat dari minyak ikan (fish oil) minyak ikan paus (whale oil).
Bentuk lain dari diversifikasi pengembangan faktis gelap adalah
pengembangan produk seperti faktis (factice-like product).
Produk ini
dikembangkan dengan memanaskan minyak linseed atau minyak jarak dengan tambahan senyawa amina dan sulfur klorida. Senyawa amina yang digunakan antara lain anilin, meta-aminofenol, urea dan dimetil amin. Produk ini tidak larut dalam alkohol, tetapi larut dalam toluen, xylen dan karbon disulfida. Produk ini dikenal sebagai “amine factice” dan banyak digunakan dalam pembuatan ebonit. Diversifikasi yang lain menghasilkan “loaded factice”. Pada pembuatan faktis gelap ini, ditambahkan ter, resin, silika atau vaselin. Beberapa merk produk yang terkenal adalah Adamanta (fakt is gelap yang dibuat dari minyak linseed dengan penambahan kapur dan resin), Blandite (fakt is gelap yang dibuat dari minyak linseed dengan penambahan silika), Nigrum Elasticum (faktis gelap yang dibuat dari minyak biji kapas dengan penambahan ter petrokimia), Rubberine (fakt is gelap yang dibuat dari minyak linseed dengan penambahan ter dan vaselin) dan Leonard’s (faktis gelap yang dibuat dari minyak jarak atau minyak jagung dengan pe namba han magnesia). Perkembangan berikutnya adalah dihasilkannya faktis putih yang tidak memperlambat proses vulkanisasi.
Faktis putih dibuat dengan menambahkan
proses penanganan pendahuluan, yaitu penambahan alkali untuk menetralkan asam bebas.
Perkembangan lain yang penting adalah ditemukannya senyawa
akselerator yang dapat mempercepat reaksi vulkanisasi menjadi hanya sepertiga
15
dari waktu proses tanpa akselerator.
Dua senyawa akselerator yang banyak
digunakan adalah PPD dan o-tolilbigua nida Alfa dan Honggokusumo (1997) melakukan penelitian untuk membuat faktis gelap dari minyak biji karet. Pada penelitian ini digunakan dua perlakuan pendahuluan, yaitu oksidasi parsial minyak biji karet untuk meningkatkan viskositasnya dan pengolahan minyak biji karet untuk mengurangi kadar kotoran dan asam lemak bebas.
Vulkanisasi minyak biji karet yang telah dioksidasi
parsial dengan 20 bagian per seratus bobot minyak (bsm) sulfur dan satu bsm ZDBC (zink dibutil ditiokarbamat) pada suhu 150o C menghasilkan faktis gelap berwarna coklat muda. Vulkanisasi minyak biji karet olahan dengan penambahan 25 bsm sulfur dan satu bsm ZDBC pada suhu yang sama menghasilkan faktis gelap mutu III yang elastis. Penelitian lain dilakuka n oleh Siskawati (2005 ) yang membuat faktis gelap dari minyak jarak, minyak jagung dan minyak kedelai dengan perlakuan konsentrasi sulfur (25, 30 dan 35 bsm) dan variasi suhu (150 dan 160o C). Ketiga minyak nabati yang digunakan dalam penelitian ini mampu menghasilkan faktis gelap.
Dalam analisis kadar ekstrak aseton, faktis gelap dari minyak jarak
mempunyai kadar ekstrak aseton 99.61 persen, sedangkan faktis gelap dari minyak jagung dan minyak kedelai mempunyai kadar ekstrak aseton masingmasing 36.22 dan 36.15 persen.
Pada tahap selanjutnya dari penelitian ini,
minyak jarak tidak digunakan untuk membuat faktis gelap karena kadar ekstrak asetonnya dinilai sangat tinggi. Untuk bahan baku minyak jagung dan minyak kedelai dan dengan suhu 150o C, faktis gelap terbentuk pada menit ke 120 dan 95. Kombinasi perlakuan terbaik dari penelitian ini adalah bahan baku minyak jagung dan minyak kedelai dengan penambahan sulfur 25 bsm dan suhu vulkanisasi 150o C. Dari bahan baku minyak jagung dihasilkan faktis gelap dengan kadar ekstrak aseton 26.68 persen dan kadar sulfur bebas 1.34 persen, sedangkan dari minyak kedelai dihasilkan faktis gelap dengan kadar ekstrak aseton 23.42 persen dan kadar sulfur bebas 1.51 persen. Kedua faktis yang dihasilkan dari kombinasi terbaik tersebut termasuk faktis gelap mutu II. Kholid (2005) melakukan penelitian pembuatan faktis gelap de ngan ba han baku minyak sawit kasar, minyak kedelai serta campuran minyak sawit dan
16
minyak kedelai.
Dari pengukuran bilangan iod, hanya minyak kedelai dan
campuran minyak sawit dengan minyak kedelai (dengan perbandingan 1 : 1) yang mempunyai bilangan iod yang memenuhi syarat sebagai bahan baku faktis gelap (bilangan iod lebih besar dari 80 g iod/100 g minyak). Dalam penelitian ini diterapkan perlakuan penambahan sulfur 25, 30 dan 35 bsm serta penambahan bahan pencepat ZDEC 1, 2 dan 3 bsm. Dengan suhu operasi 150o C, faktis gelap dari minyak kedelai terbentuk pada menit ke 22 – 62, sedangkan faktis gelap dari campuran minyak sawit dan minyak kedelai terbentuk pada menit ke 107 – 120. Minyak kedelai mempunyai bilangan iod yang jauh lebih besar dibandingkan dengan campuran minyak sawit dan minyak kedelai dengan perbandingan 1 : 1. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penambahan bahan pencepat ZDEC mampu memperpendek waktu proses. Hampir semua perlakuan yang diterapkan menghasilkan faktis gelap yang tergolong mutu III dengan kadar ekstrak aseton antara 37.07 – 55.52 persen de ngan kadar sulfur bebas lebih dari 2 persen, hanya faktis gelap yang diperoleh dari minyak kedelai dan penambahan bahan pencepat ZDEC 3 bsm yang tergolong mutu I dengan kadar ekstrak aseton kurang dari 20 persen. Sejalan dengan penelitian Kholid (2005), Agritha (2005) melakuka n penelitian pembuatan faktis gelap dengan bahan baku campuran minyak sawit kasar dengan minyak jagung. Pada penelitian ini diterapkan dua perlakuan, yaitu campuran minyak sawit kasar dan minyak jagung (1 : 1 dan 1 : 2) dan penambahan sulfur (20, 25, dan 30 bsm). Vulkanisasi dilakukan pada suhu 150o C dengan pe namba han Na 2 CO3 sebanyak 5 bsm.
Faktis gelap terbaik dari
penelitian ini tergolong mutu II dan diperoleh dari campuran minyak sawit kasar dan minyak jagung, baik dengan perbandingan 1 : 1 maupun 1 : 2 dengan penambahan sulfur 20 bsm. Campuran minyak sawit kasar dengan minyak jagung dengan perbandingan yang sama menghasilkan faktis gelap dengan kadar ekstrak aseton 29.79 persen dan kadar sulfur bebas 1.59 persen, sedangkan campuran 1 : 2 menghasilkan kadar ekstrak aseton 27.30 persen dengan kadar sulfur bebas 1.01 persen. Namun demikian, faktis gelap yang dihasilkan dari penelitian ini masih mengandung kadar abu yang tinggi (5.31 persen) dan pH masih tinggi (9.8).
17
Kajian lain pembuatan faktis gelap dilakukan oleh Juningsih (2006). Pada penelitian ini faktis gelap dibuat dari campuran minyak sawit kasar, minyak jarak dan minyak jagung dengan perbandingan 3 : 1 : 1. Perlakuan yang diterapkan adalah konsentrasi sulfur (20 dan 25 bsm) dan konsentrasi bahan pencepat ZDEC (2 dan 3 bsm). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa campuran ketiga minyak yang digunakan belum mampu menghasilkan karakteristik optimum bagi pe mbuatan faktis gelap.
Faktis yang dihasilkan dari penelitian ini termasuk
kategor i mutu terenda h (mutu III) dengan kadar abu yang masih tinggi (5.27 persen) dan kadar sulfur bebas yang juga tinggi (3.16 persen). Kajian pembuatan faktis gelap dari minyak jarak (castor oil) dilakukan oleh Sani (2010).
Pada penelitian ini dikaji pengaruh konsentrasi sulfur dan suhu
terhadap mutu faktis gelap yang dihasilkan. Konsentrasi sulfur yang dicobakan adalah 25, 30, dan 35 bsm, sedangkan level suhu yang dicobakan adalah 140, 150, 160 dan 170o C.
Hasil penelitian ini menghasilkan faktis gelap mutu III
dengan kadar ekstrak aseton lebih besar dari 35 persen, kadar abu lebih dari 5 persen, kadar sulfur bebas lebih dari 2 persen dengan pH yang tidak netral. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa kadar sulfur bebas dipengaruhi secara nyata oleh kombinasi perlakuan konsentrasi sulfur dan suhu.
Profil
pengaruh interaksi konsentrasi sulfur dan suhu terhadap kadar sulfur bebas faktis gelap disajikan pada Gambar 4. Kadar sulfur bebas faktis gelap yang dihasilkan dari konsentrasi sulfur 30 dan 35 bsm cende rung turun de ngan ke naikan suhu, sebaliknya pada konsentrasi 25 bsm, kadar sulfur bebas cenderung naik dengan naiknya suhu. Profil interaksi menunjukkan adanya pola perubahan kadar sulfur bebas yang berbeda antara perlakuan konsentrasi sulfur 30 dan 35 bsm dengan perlakuan konsentrasi sulfur 25 bsm. Pada perlakuan konsentrasi sulfur 30 dan 35 bsm, kadar sulfur bebas faktis gelap meningkat dengan kenaikan suhu proses dari 140oC menjadi 150 o C dan pada kenaikan suhu berikutnya (dari 150o C menjadi 160oC dan 170o C), kadar sulfur bebas turun secara konsisten. Pola yang berbeda terjadi pada konsentrasi sulfur 25 bsm dimana kadar sulfur bebas cenderung konstan dengan kenaikan suhu proses.
18
7
Kadar sulfur bebas (%)
6 5 4 25 bsm
3
30 bsm
2
35 bsm
1 0 140
150
160
170
Suhu oC
Gambar 4 Profil pengaruh interaksi konsentrasi sulfur dan suhu terhadap kadar sulfur bebas (Sani, 2010)
Dari profil pengaruh interaksi konsentrasi sulfur dan suhu, diketahui bahwa perlakuan konsentrasi 25 bsm menghasilkan faktis gelap dengan kadar sulfur bebas yang lebih kecil dari 2 pe rsen. Perlakuan ko nsentrasi 35 bsm menghasilkan faktis gelap dengan kadar sulfur bebas yang cenderung turun mendekati nilai 2 persen pada selang suhu 160o C – 170o C, sedangkan perlakuan konsentrasi sulfur 35 bsm menghasilkan kadar sulfur bebas yang jauh lebih besar dari 2 persen pada semua selang perlakuan suhu. Oleh karena itu, faktor konsentrasi sulfur dan suhu perlu dioptimasi dengan rentang konsentrasi sulfur 25 – 30 bsm dan selang suhu 160oC – 170oC. Kajian lain pembuatan faktis gelap dari minyak jarak dilakukan oleh Mardiyah (2011). Pada penelitian ini dikaji pengaruh cara netralisasi minyak jarak dan kecepatan pengadukan terhadap mutu faktis gelap yang dihasilkan. Dua metode netralisasi minyak jarak yang dicobakan pada penelitian tersebut, yaitu : (i) penambahan Na 2 CO3
tanpa pemisahan sabun yang terbentuk da n (ii)
penambahan NaOH dengan pemisahan sabun sebelum minyak digunakan dalam pe mbuatan faktis gelap.
Metode netralisasi yang pertama merupakan metode
yang selama ini digunakan dalam pembuatan faktis gelap, seperti yang dilakukan oleh Alfa dan Honggokusumo (1997), Siskawati (2005), Kholid (2005), Agrita
19
(2005) dan Juningsih (2006). Hasil penelitian Mardiyah (2011) menunjukkan bahwa penggunaan cara netralisasi yang kedua dalam pembuatan faktis gelap mampu menghasilkan faktis gelap dengan karakteristik yang lebih baik, yaitu kadar abu dibawah 5 persen (rata-rata 4.09 p ersen) dan pH hampir netral (rata-rata 7.3).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktis gelap yang dihasilkan
mempunyai kadar petroleum eter yang baik, yaitu 6 – 14 persen. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa faktor kecepatan pengadukan tidak berpengaruh nyata terhadap semua variabe l respo n yang diuk ur. Dalam hal ini, tiga level kecepatan pengadukan dicoba, yaitu 135, 145 dan 160 rpm. Perlakuan terbaik dari penelitian ini (cara netralisasi dengan penambahan NaOH dan kecepatan pengadukan 135 rpm) menghasilkan faktis gelap dengan kadar petroleum eter kurang dari 20 persen, kadar sisa sulfur kurang dari 2 persen, kadar abu kurang dari 5 p ersen da n pH mendekati netral.
2.6. Teknik Optimas i dan Metode Permukaa n Respon Optimasi merupakan cara mencari nilai yang terbaik dari nilai- nilai yang telah ada.
Optimasi merupakan proses untuk menemukan kondisi yang
memberikan nilai maksimum atau minimum dari suatu fungs i.
Menurut
Montgomery (2001), Response Surface Methodology (RSM) adalah kumpulan dari teknik statistika dan matematika yang berguna untuk menganalisis beberapa variabel bebas yang mempengaruhi beberapa variabel tak bebas atau respon serta bertujuan untuk mengoptimumkan respon tersebut. Park (1996) menyatakan bahwa RSM merupakan sekumpulan alat statistika yang berguna untuk memodelkan dan menganalisis masalah, yaitu satu atau lebih respon yang diamati dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas dan bertujuan untuk mendapa tka n hubungan antara respo n de ngan variabel- variabel bebas tersebut dan mengoptimalkan respon tersebut.
RSM dapat dikatakan sebagai
sekumpulan teknik yang berhubungan dengan : a.
Penyusunan sekumpulan eksperimen (merancang sekumpulan eksperimen) yang akan menghasilkan pengukuran yang dapat diandalkan terhadap respon yang diamati.
20
b.
Penentuan model matematis yang sesuai dengan data yang dikumpulkan dari desain yang telah ditentukan dengan melakukan pengujian-pengujian yang sesuai terhadap hipotesis yang diajukan berkaitan dengan parameter mod el.
c.
Penentuan setting yang optimal dari faktor- faktor yang akan memberikan nilai maksimum atau minimum dari respon yang diamati (Baati et al., 2006, Khuri dan Cornell 1996).
d.
Box dan Drapper (1987) menyatakan bahwa RSM dapat digunakan dalam penelitian untuk : (i) mencari suatu fungsi pendekatan yang cocok untuk meramalka n respo n yang aka n datang,
(ii) menentuka n nilai- nilai dari
variabel bebas yang mengoptimumkan respon yang dipelajari.
Metode
permukaan respon dapat diaplikasikan dalam pemetaan wilayah permukaan dalam wilayah yang terbatas untuk memilih operasi dalam mendapatkan spesifikasi yang diinginkan dan untuk pencarian kondisi optimal. Box et al. (1987) menyatakan bahwa metode permukaan respon memiliki beberapa sifat yang menarik, yaitu metode permukaan respon merupakan suatu pendekatan sekuensial. Hasil dari setiap tahapan akan memandu percobaan yang perlu dilakukan pada tahap selanjutnya. Setiap tahapan iterasi hanya memerlukan sejumlah kecil percobaan sehingga lebih efisien. Ciri kedua metode permukaan respon adalah mengantarkan fokus pe nelitian da lam be ntuk geometri yang muda h untuk dipahami.
Metode permukaan respon menghasilkan ringkasan berupa
grafik da n plot-plot kontur yang mudah untuk dipahami dibandingkan dengan persamaan-persamaan dalam model. Metode permukaan respon pada dasarnya serupa dengan analisis regresi, yaitu menggunakan prosedur pendugaan parameter fungsi respon berdasarkan metode kuadrat terkecil. Pada metode permukaan respon diterapkan teknik-teknik matematik untuk menentukan titik op timum agar dapat diperoleh respon optimum. Penentuan kondisi optimum dilakukan menggunakan analisis kanonik da n analisis plot kontur permukaan respon. Analisis kanonik dalam metode permukaan respon adalah mentransformasikan permukaan respon dalam bentuk kanonik, sedangkan plot kontur adalah suatu seri garis atau kurva yang mengidentifikasikan nilai- nilai
21
peubah uji pada respon yang konstan dan plot kontur ini memegang peranan penting dalam mempelajari analisis permukaan respon. Untuk menentukan kondisi operasi optimum diperlukan fungsi respon ordo dua dengan menggunakan rancangan komposit terpusat (central composit design) dalam mengumpulkan data percobaan.
Rancangan komposit terpusat adalah
rancangan faktorial 2k atau faktorial sebagian yang diperluas melalui penambahan titik-titik pengamatan pada pusat agar memungkinkan pendugaan koefisien parameter permukaan respon ordo dua (Montgomery, 2001). Dalam melakukan optimasi, penting dilakukan pengujian model untuk mengetahui ketepatan model didasarkan atas uji penyimpangan model (lack of fit), koefisien determinasi (R2 ) dan uji signifikansi model.
Model yang baik
mempunyai nilai p yang lebih besar dari nilai kesalahan tipe satu (α) yang ditetapkan.
Nilai koefisien determinasi merupakan ukuran kesesuaian model
dalam menerangkan keragaman variabel respon, semakin besar nilai koefisien determinasi berarti model semakin baik dalam menerangkan keragaman peubah respon atau dengan kata lain model dapat mewakili keragaman data yang diperoleh. Uji signifikansi model dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap respon.
Model dikatakan tepat bila plot residual data
menunjukka n po la distribusi normal (Box et al., 1987).
2.7.
Sintesis Proses Pola kegiatan yang berurutan dan terpadu untuk memasok kesenjangan
informasi memerlukan beberapa asumsi yang berkaitan dengan jenis satuan proses yang digunakan dan rangka ian satuan-satuan serta kondisi proses yang akan diterapkan. Pola kegiatan yang berurutan dan terpadu inilah yang merupaka n suatu sintesis (Seider et al., 1999). Menurut Rudd dan Watson (1973), sintesis proses meliputi lima tahapan , yaitu (i) pemilihan jalur reaksi atau proses, (ii) alokasi bahan atau pereaksi, (iii) pertimbangan teknik pemisahan atau proses hilir, (iv) pemilihan operasi pemisahan dan (v) integrasi rancangan. Dalam melakukan sintesis proses, metode yang dapat digunakan adalah metode kuantitatif (algoritma dan prosedural) dan kualitatif, yaitu dengan menggunakan heuristik (pengalaman).
Menurut Douglas (1988), ada lima
22
langkah heuristik untuk perancangan proses, yaitu :
(i) penentuan proses
curah atau sinambung, (ii) pene ntuan struktur masuka n da n ke luaran untuk penyusunan diagram alir proses, (iii) pertimbangan adanya struktur daur ulang pada diagram alir, (iv) penyusunan struktur sistem pemisahan dan (v) penyusunan jaringan penukar pa nas. Menurut Seider et al. (1999), teknik heuristik untuk perancangan proses terdiri dari lima tahapan, yaitu : (i) pe ngurangan perbedaan jenis molekul bahan atau pemilihan jalur reaksi/proses, (ii) pembagian pereaksi atau bahan dengan cara mempertemukan sumber dan tujuan proses, (iii) pengurangan perbedaan komposisi, yang antara lain dilakukan dengan penerapan sistem pemisahan, (iv) pengurangan perbedaan suhu, tekanan dan fasa dan
(v) pe maduan
tahapan, yaitu menggabungkan kegiatan operasi ke dalam satuan-satuan proses. Hasil akhir dari sintesis adalah tersusunnya rancangan awal diagram alir proses yang menunjukkan proses yang akan dikembangkan serta penentuan satuan operasi serta proses (kimia) yang diperlukan.
2.8.
Kelayak an Teknis dan Ekonomis Rancanga n Pros es Agar dapat mengetahui kelayakan produk
yang dihasilkan untuk
dikembangkan dan diterapkan lebih lanjut, diperlukan evaluasi kelayakan teknis dan ekonomis rancangan proses yang dihasilkan. Analisis evaluasi kelayakan yang lazim digunakan terhadap pengembangan proses meliputi : Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (B/C), Internal Rate of Return (IRR), Break Event Point (BEP) dan Pay Back Period (PBP). Adapun perhitungan kriteria tersebut adalah sebagai berikut : a. Net present value (NPV) Kriteria NPV merupakan suatu nilai selisih antara nilai sekarang (present value) benefit dengan nilai sekarang biaya (cost). Secara matematis, NPV dirumuskan sebagai berikut (De Garmo et al., 1984) :
23
dengan:
Bt = benefit bruto pada tahun ke-t (Rp) Ct = biaya bruto pada tahun ke-t (Rp) n = umur ekonomi proyek (tahun) i = tingkat suku bunga (%) t = tingkat investasi (t = 1,2,3, n)
b. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Nisbah total benefit dengan biaya (net benefit cost ratio, net B/C) memberikan
gambaran tentang perbandingan antara total nilai
sekarang pendapatan dengan total nilai sekarang biaya. Nilai net B/C dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (De Garmo et al., 1984) :
c. Internal Rate of Return (IRR) IRR merupakan gambaran tentang tingkat pengurangan (discounted) yang mengakibatkan jumlah nilai sekarang dalam periode tertentu sama dengan besarnya investasi yang telah dikeluarkan. Dengan demikian suatu usaha dikatakan memberi keuntungan jika nilai IRR-nya lebih besar dari discount rate. Semakin besar nilai IRR semakin layak usaha tersebut untuk dijalankan. Nilai IRR dapat ditentukan dengan pendekatan matematis sebagai berikut (De Garmo, et al., 1984) :
Dengan: NPV1 = nilai NPV yang bernilai positif (Rp),
24
NPV2 = nilai NPV yang bernilai negatif (Rp), i1
= discount rate pada NPV, bernilai positif (%),
i2
= discount rate pada NPV, bernilai negatif (%),
i*
= nilai IRR (%)
d. Break Event Point (BEP) Kriteria titik impas (break event point, BEP) dipengaruhi oleh faktor biaya dan total penjualan. Titik impas/BEP menggambarkan jumlah hasil penjualan minimal yang harus dilalui untuk mencapai titik impas dan secara matematis nilai BEP dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (De Garmo et al., 1984) :
e. Pay Back Period (PBP) Kriteria PBP menggambarkan periode waktu pengembalian investasi yang ditanamkan.
Untuk mengetahui efektifitas suatu usaha ditinjau
dari nilai PBP, dilakukan perbandingan nilai PBP dengan rencana umur ekonomi suatu usaha. Semakin kecil nilai PBP dibandingkan umur ekonomi menunjukkan investasi semakin cepat dikembalikan yang berarti semakin besar manfaat yang dapat diambil dari usaha tersebut. De Garmo et al. (1984) merumuskan cara perhitungan PBP sebagai berikut :
dengan:
m = nilai kumulatif Bt - Ct negatif yang terakhir (Rp) Cn = biaya bruto pada tahun ke-n (Rp) Bn = pe ndapa tan bruto pada tahun ke- n (Rp) n = periode investasi pada saat nilai kumulatif Bt -Ct negatif yang terakhir (tahun)