II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DIVERSIFIKASI PANGAN Diversifikasi konsumsi pangan menurut Peraturan Pemerintah RI No 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan Pasal 1 ayat 9 dijabarkan sebagai upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (BBKP 2002). Hasil penelitian Martianto et al. (2009) mengenai percepatan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal menunjukkan bahwa perspektif diversifikasi pangan terdiri dari diversifikasi semua jenis pangan dan diversifikasi pangan pokok. Salah satu kendala pada diversifikasi pangan adalah tingginya konsumsi beras. Berdasarkan data BPS (2009), konsumsi pangan di Indonesia belum memenuhi pola pangan harapan karena konsumsi beras masih sebesar 64.1% dibandingkan dengan anjuran konsumsi beras yaitu 50% dari total asupan konsumsi. Tingginya tingkat konsumsi beras di Indonesia selain pola konsumsi masyarakat yang sulit berubah dari beras ke bahan pangan lain. Hal tersebut disebabkan oleh faktor sosial antara lain masyarakat menganggap mengonsumsi sumber beras termasuk dari status sosial dan hanya akan mengonsumsi sumber karbohidrat lain (gaplek atau tiwul) jika jumlahnya terbatas atau tidak mampu membeli beras (Tarigan 2003). Upaya penerapan diversifikasi pangan pokok di Indonesia berfokus pada pengurangan konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi sumber karbohidrat lokal seperti jagung, sagu, sorgum dan umbi-umbian. Salah satu contoh nyata program pemerintah yang saat ini dilaksanakan adalah program “One Day No Rice” (Satu Hari Tanpa Nasi) di kota Depok. Namun, masih terdapat kendala dalam program tersebut. Kendala yang ditemui adalah masyarakat masih belum terbiasa mengonsumsi makanan tersebut bersama lauk karena makanan tersebut biasa dimakan sebagai kudapan saja. Oleh karena itu, upaya lebih lanjut diperlukan untuk menarik minat masyarakat terhadap makanan tersebut dengan mengolahnya menjadi makanan yang dapat diterima masyarakat. Salah satu upaya yang dapat menjadi solusi masalah tersebut adalah pengoptimalan pengembangan teknologi pangan. Adanya perkembangan teknologi pangan dapat membantu upaya diversifikasi dengan cara mengolah bahan-bahan sumber karbohidrat menjadi produk yang diterima masyarakat. Salah satu bentuk olahan dari bahan tersebut adalah beras analog. Karakteristik beras analog ini diharapkan dapat lebih diterima masyarakat karena memiliki bentuk dan rasa yang menyerupai beras sehingga masyarakat tidak perlu mengubah pola makannya karena cara konsumsi beras analog sama seperti beras yang berasal dari padi.
2.2 BERAS ANALOG Beras analog merupakan sebutan lain dari beras tiruan (artificial rice). Beras analog adalah beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras dengan bentuk menyerupai beras dan dapat berasal dari kombinasi tepung lokal atau padi (Samad 2003; Deptan 2011). Metode pembuatan beras analog terdiri atas dua cara yaitu metode granulasi dan ekstrusi. Perbedaan pada kedua metode ini adalah tahapan gelatinisasi adonan dan tahap pencetakkan. Hasil cetakan metode granulasi adalah butiran sedangkan hasil cetakan metode ekstrusi adalah bulat lonjong dan sudah lebih menyerupai beras. Pembuatan beras analog yang telah dipatenkan oleh Kurachi (1995) dengan metode granulasi diawali dengan tahap pencampuran tepung, air, dan hidrokoloid sebagai bahan pengikat. Proses pencampuran dilakukan pada suhu 30-80oC sehingga sebagian adonan telah mengalami gelatinisasi (semigelatinisasi). Setelah itu adonan dicetak menggunakan granulator, kemudian dikukus (gelatinisasi) dan dikeringkan.
Metode pembuatan beras analog oleh Budijanto et al. (2011) dengan cara ekstrusi memiliki sedikit perbedaan dengan metode granulasi yaitu adanya tahap penyangraian dan ekstrusi. Tahap penyangraian bertujuan untuk menggelatinisasi sebagian adonan (semigelatinisasi) atau pengondisian (conditioning) adonan sebelum diekstrusi. Tahap ekstrusi meliputi proses pencampuran, pemanasan (gelatinisasi) dan pencetakan melalui die. Tahap berikutnya adalah ekstrudat dikeringkan menggunakan oven dryer pada suhu 60oC selama 4 jam. Teknologi pembuatan beras analog menggunakan metode ekstrusi juga dilakukan oleh Mishra et al. (2012). Proses pembuatan beras analog meliputi persiapan bahan, pembentukkan adonan, pengondisian adonan (pre-conditioning), ekstrusi dan pengeringan. Bahan yang digunakan antara lain tepung beras, air, bahan pengikat (sodium alginate), setting agent (kalsium laktat dan kalsium klorida), fotificants (multivitamin), antioksidan dan pewarna (titanium). Tujuan dari tahap pre-conditioning adalah untuk mencampur dan mengadon air atau uap dengan bahan-bahan yang telah mengalami pemanasan sebelumnya.
2.3 SORGUM Sorgum (Sorgum bicolor L) merupakan salah satu tanaman serealia yang termasuk dalam famili Graminae. Tanaman sorgum memiliki daya adaptasi yang tinggi karena dapat tahan terhadap kekeringan, genangan air, masih dapat berproduksi pada lahan marginal dan relatif tahan terhadap gangguan hama atau penyakit. Daerah penghasil sorgum di Indonesia adalah Jawa Tengah (Purwodadi, Pati, Demak, Wonogiri), Daerah Istimewa Yogyakarta (Gunung Kidul, Kulon Progo), Jawa Timur (Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Probolonggo) dan sebagian Nusa Tenggara Timur (Sirappa 2003). Tanaman sorgum dapat dimanfaatkan menjadi pangan, pakan dan bahan baku industri. Bagian tanaman sorgum yang digunakan sebagai pangan adalah biji sorgum. Bagian daunnya dapat digunakan sebagai pakan ternak dan batangnya dapat menghasilkan nira yang dapat diolah menjadi bioetanol. Banyaknya manfaat yang dihasilkan tanaman sorgum dan kemampuan adaptasi yang tinggi membuat tanaman sorgum memiliki nilai potensi yang tinggi untuk dikembangan. Biji sorgum mengandung karbohidrat sebesar 80.42%, protein 10.11%, lemak 3.65%, serat 2.74% dan abu 2.24% (Suarni 2001). Dengan kandungan karbohidrat yang tinggi, sorgum juga digunakan sebagai bahan makanan pokok alternatif maupun sebagai tepung substitusi beberapa produk makanan. Sorgum juga mengandung protein glutenin dan gliadin tetapi protein sorgum kurang dapat membentuk gluten jika dibandingkan protein tepung terigu (Suarnib 2004). Salah satu kendala dalam pengolahan biji sorgum menjadi bahan makanan adalah kandungan taninnya yang tinggi yaitu sekitar 3.67-10.66% (Suarni dan Singgih 2002). Tanin dapat membuat rasa biji sorgum menjadi pahit. Kandungan tanin pada sorgum juga memberikan efek warna gelap pada produk sehingga dibutuhkan upaya pengurangan kadar tanin dengan penyosohan. Penyosohan sorgum dapat mengurangi kadar tanin hingga 75% (Suarni a 2004). Produk berbasis sorgum yang asam warna gelap tanin memudar menjadi abu atau putih. Di Namibia sorgum diolah menjadi bubur yang asam sehingga warna bubur menjadi lebih putih agar lebih disukai. Meskipun menimbulkan rasa pahit, tanin memberikan manfaat bagi tubuh karena dapat bersifat sebagai antioksidan dan antikanker terutama kanker kolon. Sorgum dengan kadar tanin yang tinggi lebih disukai di Afrika karena memberikan efek kenyang yang lama sehingga baik bagi penderita diabetes (Dykes dan Rooney 2006). Namun, pada produk beras analog ini sorgum yang digunakan adalah sorgum yang disosoh karena tidak dilakukan pengurangan tanin dan produk juga tidak bersifat asam sehingga diharapkan tidak ada rasa pahit pada produk.
5
Sorgum dapat diolah menjadi berbagai macam produk. Produk dari biji utuh adalah beras sorgum dan beras sorgum instan. Biji utuh juga dapat digunakan sebagai pengganti barley dalam pembuatan bir (Dykes dan Rooney 2006). Biji sorgum juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri gula, monosodium glutamate (MSG), asam amino dan industri minuman (Sirappa 2003). Produk antara biji sorgum yang dapat diolah lebih lanjut adalah tepung sorgum. cara pembuatan antara lain penyosohan (alternatif), perendaman dalam air, penirisan, penggilingan, dan pengeringan tepung sorgum. Sorgum yang diolah menjadi tepung sorgum dapat diolah menjadi berbagai produk. Tepung sorgum dapat diolah menjadi bahan baku snack ekstrusi, mi, maupun sebagai tepung substirtusi pada berbagai produk seperti roti, cookies, pop sorgum, bubur, mie dan snack ekstrusi (Sirappa 2003). Pembuatan cookies menggunakan tepung sorgum masih diperlukan penambahan maizena untuk mengurangi rasa sepat dan sebagai bahan perekat (Suarni b 2004). Sorgum juga memiliki sifat fungsional seperti antioksidan dan berpotensi sebagai antikanker. Hasil penelitian Awika et al. (2009) menunjukkan bahwa sorgum mengandung kadar antioksidan yang bervariasi tergantung varietasnya. Varietas yang memiliki kadar tanin paling tinggi memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi. Varietas yang memiliki kadar tanin rendah (white shorgum) memiliki aktivitas induksi enzim fase II yang menunjukkan aktivitas anti-kanker (chemoprevention) yang tinggi terutama pada kanker kolon.
2.4 MOCAF (MODIFIED CASSAVA FLOUR) Mocaf atau mocal adalah singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti tepung singkong yang telah mengalami modifikasi. Singkong (Manihot utilisma) termasuk ke dalam umbi-umbian yang berpotensi menjadi sumber karbohidrat alternatif. Mocaf dapat digolongkan sebagai produk edible cassava flour berdasarkan Codex Standard, Codex Stan 176-1989 (Rev 11995). Cara pembuatan mocaf yaitu singkong dikupas, dikerik lendirnya kemudian dicuci sampai bersih. Singkong yang bersih dipotong-potong dan difermentasi selam 12-72 jam. Singkong yang telah difermentasi kemudian dikeringkan dan ditepungkan sehingga dihasilkan tepung singkong termodifikasi (Subagyo et al. 2008) Proses modifikasi yang dimaksud adalah proses modifikasi sel-sel pada singkong melalui fermentasi. Mikroorganisme yang berperan dalam proses modifikasi adalah bakteri asam laktat (BAL) yang menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong sehingga terjadi liberasi granula pati. Proses fermentasi pada pembuatan mocaf juga mempengaruhi kandungan gizi mocaf. Perbedaan kandungan gizi mocaf dan tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan gizi mocaf tidak terlalu berbeda dengan tepung singkong. Namun, kandungan protein mocaf yang lebih sedikit mempengaruhi sifat fisiknya yaitu warna yang lebih putih karena tidak mengalami reaksi browning. Granula pati yang bebas dapat terhidrolisis menjadi monosakarida yang kemudian dapat menjadi senyawa asam organik. Senyawa asam ini akan bercampur dengan tepung sehingga ketika tepung tersebut diolah dapat menghasilkan cita rasa yang khas yang dapat menutupi cita rasa singkong yang umumnya tidak disukai konsumen. Ketika proses fermentasi juga terjadi kehilangan komponen pembentuk warna, terutama pigmen pada singkong kuning. Akibatnya warna mocaf lebih putih dibandingkan tepung singkong (Subagio et al. 2008). Mocaf dapat diolah menjadi berbagai macam produk antara lain mie, roti, biskuit, cookies dan snack. Mocaf dapat digunakan sebagai bahan baku maupun sebagai tepung substitusi. Mocaf juga dapat digunakan dalam tepung campuran siap pakai dalam pembuatan keripik bayam. Dalam pengolahan mocaf terkadang dibutuhkan modifikasi proses agar memiliki hasil yang mirip dengan
6
terigu. Dalam pengolahan muffin diperlukan proses pemanasan margarin dan garam agar muffin yang dihasilkan mengembang dengan baik. Tabel 1. Perbandingan Kandungan Gizi Mocaf dan Tepung Singkong
Kandungan gizi
Mocaf
Tepung Singkong
Kadar air (%) Pati (%) Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Serat (%) HCN (mg/kg)
Max 13 85-87 Max 1.0 0.4-0.8 Max 0.2 1.0-3.4 Tidak terdeteksi
Max 13 82-85 Max 1.2 0.4-0.8 Max 0.2 1.0-4.2 Tidak terdeteksi
Sumber : Subagyo et al. (2008) Mocaf juga dapat digunakan sebagai bahan baku beberapa kue seperti sponge cake, brownish, kue kukus, dan kue basah. Namun, produknya tidak sama persis karakteristiknya dengan tepung terigu beras, atau yang lainnya. Sehingga diperlukan sedikit perubahan dalam formula atau prosesnya sehingga akan dihasilkan produk dengan mutu optimal. Untuk produk berbasis adonan mocaf akan menghasilkan mutu prima jika menggunakan proses sponge dough method, yaitu penggunaan biang adonan. Disamping itu, adonan dari mocaf akan lebih baik jika dilakukan dengan air hangat (40-60oC).
2.5 JAGUNG Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman jenis serealia yang termasuk dalam famili yang sama seperti beras dan sorgum yaitu Graminae atau Poaceae. Tanaman ini merupakan bahan pangan terpenting kedua setelah beras. Tanaman jagung banyak tumbuh di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2011), jumlah produksi jagung di Indonesia pada tahun 2011 adalah sebesar 17.23 juta ton dan daerah penghasil jagung tertinggi yaitu Jawa Timur (5 juta ton) dan Jawa Tengah (2 juta ton). Jumlah tersebut dapat meningkat seiring meningkatnya kapasitas produksi jagung yang mencapai 10 ton per hektar (Supit 2010). Hal tersebut menjadikan jagung berpotensi sebagai sumber karbohidrat alternatif pengganti beras. Peningkatan produksi jagung sebaiknya seiring dengan pemanfaatan produk jagung. Bagian tanaman jagung yang dapat dimanfaatkan adalah daun, batang dan biji. Daun dan batang dapat diolah menjadi pakan ternak maupun pupuk kompos. Biji jagung yang muda dapat diolah menjadi sayur, sedangkan biji jagung yang tua dapat diolah menjadi emping, beras jagung, nasi jagung, grits maupun tepung jagung. Biji jagung tua juga merupakan pakan sumber karbohidrat bagi hewan ternak dan juga digunakan sebagai bahan baku etanol bagi industri (Supit 2010). Tepung jagung menurut SNI adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung yang baik dan bersih (SNI 01-3727-1995). Syarat mutu tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 2. Proses pembuatan tepung jagung terdiri dari dua cara yaitu penggilingan basah dan penggilingan kering. Pada penggilingan basah dilakukan perendaman dalam air bersih terlebih dahulu. Tepung yang dihasikan melalui penggilingan basah biasanya memiliki rendemen yang lebih tinggi namun kandungan gizinya lebih rendah dibandingkan tepung yang dihasilkan dengan penggilingan kering (Suarni 2009). Tepung jagung juga dapat dimodifikasi dengan perlakuan
7
fermentasi oleh bakteri asam laktat dan dapat menghasilkan tepung dengan kualitas lebih baik (Richana 2010). Kandungan gizi jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Perbedaan kandungan gizi dipengaruhi oleh varietas, faktor genetik dan kondisi penanaman. Selain mengandung karbohidrat dan protein yang cukup, jagung yang berwarna kuning juga memiliki kelebihan yaitu mengandung betakaroten (provitaminA). Jagung juga mengandung serat yang cukup tinggi terutama pada bagian bekatulnya sehingga dapat berpotensi menjadi bahan baku untuk pembuatan makanan tinggi serat (Suarni 2009). Tepung jagung dapat diolah lebih lanjut menjadi bahan baju pembuatan mi, cookies, muffin, brownies maupun cake. Dengan kandungan gluten yang rendah (<1%) biasanya jagung hanya digunakan untuk membuat produk yang tidak memerlukan pengembangan yang tinggi (Suarni 2009). Tingkat substitusi tepung jagung pada produk roti dan mi adalah sebesar 20%, sedangkan tepung jagung termodifikasi dapat mensubstitusi hingga 40%. Pada produk cake, kue basah dan kue kering tepung jagung dapat mensubstitusi hingga 100% (Richana 2010). Tabel 2. Syarat Mutu Tepung Jagung (SNI 01-3727-1995) No.
Kriteria Uji
1. 1.1 1.2 1.3 2. 3. 4. 5. 5.1 5.2 6. 7. 8. 9. 10. 11. 11.1 11.2 11.3 12. 13. 13.1 13.2 13.3
Keadaan: Bau Rasa Warna Benda-benda asing Serangga dalam bentuk stadia Jenis pati lain selain pati jagung Kehalusan 80mesh 60mesh Air Abu Silikat Serat kasar Derajat asam Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba Angka lempeng total E. coli Kapang
Satuan
Persyaratan
-
Normal Normal Normal Tidak boleh ada Tidak boleh ada Tidak boleh ada
% % % bb % bb % bb % bb ml. N. NOH/100gr mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Min 70% Min 99 Maks 10 Maks 1,5 Maks 0,1 Maks 1.5 Maks 4,0 Maks 1,0 Maks 10 Maks 40 Maks 0,03 Maks 0,3
Koloni/gr APM/gr Koloni/gr
Maks 106 Maks 10 Maks 104
8
Tabel 3. Kandungan Gizi Jagung
Kandungan gizi Karbohidrat Protein Lemak Serat Ca (mg) Fe (mg)
Jagung 73 9.2 4.6 2.8 26 2.7
Sumber : FAO (1995)
2.6 MAIZENA (PATI JAGUNG) Maizena adalah nama lain bagi pati jagung. Kandungan pati pada jagung mencapai 54,171.7%. Pati jagung diperoleh melalui ekstraksi pati melalui penggilingan jagung, penambahan air, pengendapan dan pengeringan pati. Pati jagung memiliki ukuran yang beragam yaitu 1-7 µm untuk granua kecil dan 15-20 µm untuk granula besar. Granula pati yang kecil akan memperlihatkan ketahanan yang lebih kecil terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula yang besar. Kandungan gizi pati jagung sebagian besar adalah karbohidrat, akan tetapi masih mengandung zat gizi lainnya seperti protein, abu dan lemak. Data kandungan gizi pati jagung dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Gizi Maizena dan Sagu Aren
Jenis Pati Maizena Sagu Aren
Kadar Air 9.16 7.75
Kadar Abu 7.31 0.21
Kadar Protein 0.88 0.45
Kadar Lemak 4.4 0.74
Kadar Serat 0.57 0.23
Sumber : Aini dan Haryadi (2007); Alam dan Saleh (2009) Kadar amilosa dan amilopektin pada jagung juga sangat beragam. Berdasarkan kadar amiosa dan amilopektinnya pati jagung dibagi menjadi empat yaitu jenis normal, waxy, amilomaize, dan jagung manis. Pati jagung normal mengandung 24-46% amilosa dan 74-76% amilopektin. Jagung waxy mengandung 99% amilopektin dan hampir tidak mengandung amilosa. Jagung amilomaize mengandung 40-70% amilosa dan 20% amilopektin. Jagung manis mengandung 42.6-67.8% amilosa dan mengandung sejumlah sukrosa disamping pati (Singh et al. 2006). Amilosa merupakan polimer dari 490 unit glukosa dengan ikatan lurus 1-4 α glukosida sedangkan amilopektin merupakan polimer dari 22 unit glukosa dengan ikatan rantai lurus1-4 α glukosida dan ikatan cabang 1-6 α glukosida. Pati jagung waxy banyak dimanfaatkan karena sifatsifatnya yang khas (viskositas, stabilitas panas, dan pH), sedangkan pati amilomaize digunakan dalam industri tekstil, permen, gum dan perekat papan. Kadar amilosa yang tinggi pada pati akan menurunkan daya absorpsi dan kelarutan. Kadar amilopketin yang terlalu tinggi akan menyebabkan suhu gelatinisai pati lebih tinggi (Richana dan Suarni 2006). Pati jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku gula. Gula dari pati diperoleh dari hidrolisis pati. Gula pati dapat berbentuk sirup glukosa, fruktosa, maltosa, manitol dan sorbitol. Gula dari pati memiliki rasa dan tingkat kemanisan yang hampir sama dengan gula tebu. Sirup glukosa dapat diproduksi melalui hidrolisis enzimatis maupun hidrolisis asam. Rendemen
9
glukosa dipengaruhi oleh banyaknya amilosa. Semakin tinggi jumlah amilosa maka rendemen sirup glukosa semakin tinggi (Richana dan Suarni 2006).
2.7 SAGU AREN (PATI AREN) Sagu aren atau tepung aren merupakan pati yang diperoleh dari ekstraksi batang pohon aren dengan spesies Arenga pinnata. Spesies ini tidak menghasilkan nira yang cukup banyak sehingga petani menebang pohon ini dan mengirimkannya ke unit pengolahan agar dapat diolah menjadi sagu aren. Cara pembuatan sagu aren dapat dilihat pada Gambar1. Kandungan gizi sagu aren dapat dilihat pada Tabel 4. Sagu aren juga dapat digunakan sebagai bahan baku bihun (starch noodle). Pengolahan sagu aren menjadi bihun meliputi pengadonan, pemanasan, pencetakan dan pengeringan. Hasil penelitian Rahim dan Hariyadi (2008) menunjukkan bahwa bihun sagu aren dapat dihasilkan dengan formulasi sagu aren : air yang tepat. Sedangkan Alam (2008) memproduksi bihun sagu aren dengan melakukan penambahan tepung tapioka untuk memperbaiki karakteristik produk. Sagu aren dapat diolah menjadi berbagai macam produk seperti mihun, cendol, bakmi, sohun dan hunkwe. Berdasarkan penelitian Kusumaningrum dan Rahayu (2007) sagu aren juga dapat diolah menjadi makanan pendamping ASI (MP-ASI). Sagu aren digunakan untuk mengurangi penggunaan beras.
2.8 GLYSEROL MONOSTEARAT Gliserol Monostearat (GMS) adalah surfaktan non-ionik yang banyak digunakan oleh industri stabilizer dan emulsifier. Nama IUPAC bagi senyawa ini adalah 2,4-dihidroksipropil oktadekanoat dan dikenal dengan nama lain gliserin monostearat atau monostearin. Senyawa ini secara alami terdapat dalam tubuh manusia dan produk berlemak. Salah satu bahan baku pembuatan GMS adalah asam lemak yang berasal dari minyak sawit. Surfaktan non-ionik adalah suatu zat amfifil yang molekulnya terdiri dari 2 bagian, hidrofil dan lipofil. Zat ini bila dilarutkan dalam air tidak memberikan ion. Kelarutannya dalam air disebabkan adanya bagian dari molekul yang mempunyai afinitas terhadap pelarut. GMS adalah ester gliserol dengan asam lemak stearat yang banyak digunakan dalam shampoo, pearlizing agent, emulsifier, lotion, dan sebagai opacifier dalam cream, ice cream dan butter. Penambahan GMS pada pembuatan cookies juga dapat memperbaiki kualitas karena meningkatkan kerenyahan dan meningkatkan kelembutan cookies (Sindhuja et al. 2005) Penggunaan GMS dalam proses pembuatan mi berbahan dasar jagung dan pati kentang menunjukkan bahwa mi memiliki cooking time yang lebih tinggi namun memperbaiki produk karena mengurangi cooking weight dan cooking loss selama pemasakan (Kaur et al. 2004). Jumlah amilosa pada bahan pembuat mi sangat berpengaruh terhadap proses emulsifikasi GMS karena GMS berikatan dengan amilosa. GMS yang ditambahkan membentuk kompleks dengan amilosa untuk membentuk kompleks inklusi heliks, yang mencegah granula pati untuk mengembang yang dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan pengembangan dan kelarutan. Lapisan yang tidak larut dapat terbentuk pada permukaan granula pati, yang dapat menunda transpor air menuju granula sehingga menurunkan pengembangan dan mencegah pelepasan amilosa. Berdasarkan penelitian Singh et al. (2000), GMS juga berfungsi sebagai pelumas pada barel ekstrusi sehingga dapat mengurangi panas proses ekstrusi. Pengaruh penambahan GMS terhadap ekstrusi grits jagung yaitu mengurangi WSI (Water Solubility Index) atau indeks kelarutan dalam air, SEC (Specific Energy Consumption), dan expansion (pengembangan produk) tetapi meningkatkan WAI (Water Absorption Index). Fungsi-fungsi tersebut sangat dibutuhkan
10
untuk membuat beras analog yang diproses pada suhu ekstrusi yang tinggi dan menghasilkan produk yang tidak mengembang serta tidak mudah larut dalam air.
Gambar 1. Struktur Gliserol Monostearat
2.9 EKSTRUSI Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang mengombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan pembentukan. Bahan pangan dipaksa mengalir di bawah pengaruh kondisi operasi melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi dalam waktu singkat (Fellows 2000). Alat dalam proses ekstrusi disebut ekstruder. Fungsi ekstruder meliputi gelatinisasi, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, dan pengeringan. Kombinasi satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam proses ekstrusi. Munculnya teknologi ekstrusi telah membuka kesempatan bagi pengusaha makanan untuk membuat produk pangan yang mempunyai bentuk dan tekstur yang beraneka ragam. Pemasakan ekstrusi dipakai untuk menggantikan metode pemasakan konvensional karena berbagai sebab: (1) dapat diubah-ubah sehingga mesin yang sama dapat memasakdan mengolah produk yang mempunyai formula berbeda-beda, (2) member bentuk dan tekstur pada hasil produk, (3) kemampuan produksi yang kontinyu, (4) pengoperasian yang efisien dari segi tenaga, energo dan luas pabrik, (5) pasteurisasi produk akhir dan (6) proses dalam keadaan kering dengan sedikit atau tanpa tumpahan (Muchtadi 2008). Berdasarkan suhu prosesnya, teknologi ekstrusi dibagi menjadi dua yaitu Hot Extrusion (Ekstrusi Panas) dan Cold Extrusion (Ekstrusi Dingin). Teknologi Hot Extrusion menggunakan suhu di atas 70oC sedangkan Cold Extrusion menggunakan suhu di bawah 70oC. Kedua teknologi tersebut telah digunakan untuk memproduksi beras ekstrusi berbahan dasar tepung beras. Pada Hot Extrusion bahan diproses pada suhu tinggi. Suhu bahan yang tinggi dapat diperoleh melalui proses pre-conditioning dan atau transfer panas bahan selama proses ekstrusi.
2.9.1 Ekstruder Ekstruder adalah alat yang digunakan untuk memproses suatu bahan menggunakan teknologi ekstrusi. Ekstruder juga dapat diartikan sebagai mesin yang memiliki karakteristik ulir Archimedean atau ulir yang bergerak di dalam sebuah silinder yang menggerakan fluida yang memproses produk secara kontinyu (Riaz 2000). Ekstruder dapat didesain sedemikian rupa sehingga dapat melakukan berbagai macam proses seperti grinding, mixing, homogenizing, cooking, cooling, shaping, cutting, dan filling. Proses ektrusi yang terjadi pada ektruder terdiri dari tiga tahap yaitu pra ekstrusi, ekstrusi dan tahap setelah ekstrusi. Tahap pre-ekstrusi meliputi proses pencampuran, dan penambahan air. Tahap ekstrusi meliputi perlakuan shear and stress pada adonan. Tahap terakhir adalah proses pemberian tekanan ke arah die dan proses pencetakkan melalui die. Setelah produk keluar dari
11
die, alat pemotong otomatis akan berputar dan memotong produk sehingga produk akhir akan memiliki bentuk seperti beras. Ekstruder dapat digolongkan berdasarkan jumlah ulirnya menjadi dua kelompok yaitu ekstruder berulir tunggal (Single Screw Extruder) dan ekstruder berulir ganda (Twin Screw Extruder)
Single Screw Extruder Single Screw Extruder atau ekstruder berulir tunggal memiliki satu buah ulir yang berputar pada barel. Ekstruder berulir tunggal banyak digunakan dalam menghasilkan produk pasta, permen, cookies dan pengembangan produk baru seperti snack, makanan bayi dan produk modifikasi pati. Ekstruder jenis ini paling awal digunakan. Produk yang dihasilkan sangat beragam meliputi snack, pasta, sereal hingga makanan hewan.
Gambar 2. Single Screw Extruder
Twin Screw Extruder Ekstruder berulir ganda memiliki dua ulir silinder yang dapat bergerak searah, berlawanan arah, baik berkaitan atau tidak. Ekstruder ini terbilang baru dibandingkan Single Screw Extruder. Beberapa kelebihan Twin Screw Exstruder antara lain memiliki kontrol dan keseragaman produk lebih baik, pemotongan (shear) lebih merata sehingga setiap partikel bahan dapat diproses dengan lebih konsisten, dan fleksibilitas yang lebih baik dibandingkan Single Screw Extruder. Terdapat empat pembagian zona proses di dalam ekstruder. Pembagian zona proses dapat dilihat pada Gambar 4. Zona pertama adalah zona feeding. Zona ini merupakan tempat bahan memasuki awal proses ekstrusi. Zona kedua adalah zona kneading. Zona ini merupakan tempat bahan mengalami proses pressing, shearing dan cooking. Bahan kemudian masuk ke zona ke-tiga yaitu zona final cooking dan akan mengalami proses yang sama dengan zona kedua. Zona terakhir adalah zona shaping dimana bahan akan melalui proses pressing sehingga dapat melalui die yang akan mencetak bahan menjadi produk (Riaz 2000)
12
Ekstruder yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstruder berulir ganda. Ekstruder berulir ganda dipiih karena proses ekstrusi untuk beras analog mirip dengan ektsrusi pasta. Proses ekstrusinya adalah hot extrution atau dengan pemanasan karena produk yang diharapkan telah mengalami gelatinisasi namun tidak mengembang seperti produk sereal.
Gambar 3. Twin Screw Extruder
Gambar 4. Zona Proses Ekstrusi
13