II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Binatang Penyerbuk Merupakan Agen dari Jasa Lingkungan Istilah jasa ekosistem atau jasa ekologi didefinisikan secara luas sebagai kondisi dan proses-proses dalam ekosistem dan spesies yang merupakan bagian didalamnya dapat membantu kelestarian dan memenuhi kebutuhan manusia. (Daily 1997), Kearns et al. (1998) menyatakan bahwa manusia bergantung pada binatang penyerbuk secara langsung maupun tak langsung untuk tiap sepertiga makanan yang kita makan. Dengan peran yang sangat berharga bagi menusia sehingga banyak penilaian potensi bintang penyerbuk dilakukan dengan pendekatan ilmu ekonomi yang dipadukan dengan ilmu ekologi (Kevan & Phillips 2001). Serangga memegang peran yang sangat penting dalam menjaga dan melindungi fungsi ekosistem, serta memberi banyak jasa melalui bermacammacam mekanisme seperti mendekomposisi serasah dedauan, penyerbukan, menahan pertumbuhan tumbuhan, dan sebagai mangsa dari pemangsa (Hamond & Miller 1998; Black et al. 2001) sebagai tambahan, serangga juga memberikan indikator ekologi (Basset et al. 2004) dan baik dipakai untuk memonitor efek dari perubahan lansekap dan perubahan penggunaan lahan, kerusakan habitat, isolasi habitat, dan modifikasi habitat, dengan didasarkan pada kelimpahannya, kekayaan jenis, dan kehadiran serangga tersebut (Groombridge 1992) Kremen et al. (2002) menemukan bahwa keanekaragaman adalah hal penting bagi kelestarian jasa tersebut, karena variasi pada komposisi komunitas dari tahun ke tahun. Degradasi yang berkelanjutan pada lanskap pertanian alami akan menghancurkan jasa “gratis ini”. Perhatian telah ditingkatkan pada penyerbuk invertebrata tanaman liar dan perkebunan yang menurun sebagai akibat dari praktek pertanian moderen, degradasi habitat, masuknya haman dan penyakit. (Ghazaol 2005). Meskipun
hilangnya
beberapa
jenis
serangga
penyerbuk
tidak
mempengaruhi pada hasil pertanian dengan tanaman yang penyerbukannya dibantu oleh angin dan dapat melakukan penyerbukan sendiri atau self-pollinated
(Ghazoul 2005). Namun di daerah tropis, serangga merupakan agen penyerbuk utama di berbagai dan beragam jenis tanaman (Bawa 1990). Penyerbukan memerlukan dua pihak yaitu tumbuhan yang diserbuk dan binatang yang menyerbuk, yang mana hubungan tersebut terjalin berkat suatu proses yang disebut koevolusi (Adisoemarto 1994; Buchori & Sartiami 1994) yaitu proses perkembangan yang menghasilkan sifat baru yang terjadi pada dua jenis atau dua kombinasi antara tumbuhan, hewan, dan jasad renik. Serangga berkunjung ke bunga bukan untuk menyerbuk, karena sebagian besar serangga melakukan kunjungan ke bunga untuk mencari nektar (Adisoemarto 1994) dan juga nutrisi lain seperti polen (Potts et al. 2004), sehingga kefisienan penyerbukan juga tergantung pada desain bunga (Adisoemarto 1994; Boulter et al. 2005) 2. 2 Pengaruh Jarak Hutan Terhadap Keanekaragaman Serangga Klein et al. (2003) menemukan bahwa di daerah tropis, jarak terdekat dengan hutan diketahui memberi dampak kepada keragaman penyerbuk. Keanekaragaman serangga penyerbuk di dalam hutan akan memperngaruhi keanekaragaman serangga penyerbuk di ekosistem pinggir hutan, yang berkaitan dengan aktifitas foraging. Hal ini seperti yang dilaporkan oleh Steffan-Duwenter et al. (2002), bahwa Bumble bees sebagai penyerbuk tanaman sawi (mustrad) dan radish
mempunyai
keanekaragaman
yang
semakin
menurun
dengan
meningkatnya jarak dari habitat alami. Semakin tinggi keanekaragaman serangga penyerbuk maka semakin besar pula jasa penyerbukan yang dapat diberikan dari ekosistem tersebut. (Kremen et al. 2002). Jumlah spesies lebah sosial berkurang seiring dengan jarak dari hutan, dimana jumlah jenis lebah sosial meningkat seiring dengan intensitas cahaya (sedikit naungan) dan tempat dengan kuantitas bunga mekar yang lebih besar. Selain itu, kepadatan yang lebih tinggi juga ditemukan pada lebah sosial yang berada lebih dekat dengan hutan daripada yang lebih besar jaraknya dari hutan, hal ini diperkirakan karena hutan memberikan tempat bersarang yang sehat untuk coloni lebah (Klein et al. 2003) Namun dalam kontrasnya, beberapa lebah soliter ditemukan membangun sarang diluar lebatnya hutan, lebih memilih sedikit naungan, dan sedikit humus seperti yang ditawarkan oleh area terbuka kepada banyak spesies yang bersarang
di tanah (Klein et al. 2003). Naungan juga mempengaruhi populasi hama bagi serangga, pengaruh dari penyakit, dan alang-alang (Perfecto et al. 1996). Intensitas cahaya sering dikorelasikan dengan jumlah tanaman berbunga, sehingga kebanyakan lebah soliter lebih manyukai habitat terbuka (Klein et al. 2003). 2. 3 Fragmentasi Habitat dan Teori Island Biogeography Teori island biogeography merupakan sebuah model yang menawarkan prediksi tentang jumlah spesies yang ditemui pada suatu pulau (MacArthur & Wilson 1967). Teori tersebut menyatakan bahwa pulau-pulau yang dekat dengan daratan utama cenderung memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dari pulaupulau yang terletak jauh dari daratan utama. Kedekatan pulau dengan daratan utama menularkan tingkat imigrasi secara besar-besaran. Selanjutnya, pulau-pulau yang dekat dengan daratan utama akan menerima kolonis lebih banyak dengan lompatan yang menyebar dari pada pulau-pulau yang lebih jauh dari daratan utama. Berdasarkan hipotesis ini, pulau-pulau yang disituasikan lebih jauh dari daratan utama cenderung memiliki kekayaan jenis yang lebih rendah. Pada habitat teresterial, hipotesis islands biogeography diadaptasi kedalam konsep pulau-pulau ekologi, dimana habitat alami merupakan sumber (source) bagi banyak spesies kemudian lahan pertanian yang disituasikan di tepi sumber tersebut merupakan kolam (sink). Modifikasi dari hipotesis islands biogeography memberikan dasar untuk memprediksi efek pada komunitas jenis akibat meningkatnya isolasi habitat alami yang berlokasi diantara lansekap pertanian. Klein et al. (2002) menyatakan dalam 5 tahun terakhir, beberapa penelitian tentang efek isolasi terhadap spesies serangga telah dilakukan di berbagai lansekap tropis. Secara umum, agroekosistem menyebabkan mosaik lansekap yang kompleks dan terdiri dari banyak habitat pertanian pangan maupun perkebunan non-pangan (Sahari 2004). Isolasi agroekosistem dari habitat alami memberi dampak pada kekayaan jenis dan struktur komunitas. Klein et al. (2003) melaporkan bahwa jumlah lebah sosial mengalami penurunan secara signifikan seiring jaraknya dari hutan terdekat. Pada sebuah percobaan tentang isolasi terhadap dua tanaman tahunan yang tidak dapat melakukan penyerbukan sendiri, Steffan-Dewenter & Tscharntke (1999) menemukan bahwa pembuahan menurun dengan seiring meningkatnya jarak dari habitat alami yang tersisa.
Fragmentasi dan kerusakan habitat bisa jadi penyebab yang mengganggu interaksi tanaman dengan penyerbuk (Steffan-Dewenter et al. 2002). Praktik pertanian dapat menyebabkan hilangnya atau punahnya suatu jenis, berkurangnya habitat alami, dan meningkatnya fragmentasi dan isolasi habitat (Rosenzweig 1995). Kerusakan dan fragmentasi habitat merupakan penyebab utama menurunnya keanekaragaman hayati (Quinn & Harrison 1998). Fragmentasi habitat tidak hanya berpengaruh terhadap kekayaan jenis penyerbuk, tetapi juga berpengaruh terhadap perilaku foraging dan ukuran tubuh (Rathcke & Jules 1993). Kerusakan habitat yang cepat juga menjadi penyebab kepunahan beberapa jenis serangga terutama bagi beberapa grup Hymenoptera yang sensitive terhadap gagngguan lingkungan (Sahari 2004) 2. 4 Struktur Komunitas, habitat, dan Keragaman Serangga Sebuah komunitas tersusun atas segala organisme yang terdapat pada suatu tempat (Schowalter 2000), tiga pendekatan umun untuk mendeskripsikan struktur komunitas dapat diketahui dari; keanekaragaman spesies, interaksi spesies, dan organisasi fungsional. Setiap pendekatan memberikan informasi yang berguna, dan dalam pemilihan sebagian besar merupakan pencerminan dari tujuannya dan pertimbangan praktikal. Keragaman jenis tidak hanya berarti kekayaan atau banyaknya jenis, tetapi juga kemerataan dari kelimpahan individu tiap jenis (Odum 1971). Krebs (1978) menambahkan bahwa konsep ukuran keragaman (diversity) dibedakan atas tiga ukuran yang dikenal secara umun yaitu kekayaan jenis (species richness), heterogenitas (heterogenity), dan kemerataan (evenness). Pada tingkat yang sederhana, keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai jumlah spesies yang ditemukan pada suatu komunitas, suatu ukuran yang disebut kekayaan spesies (Primack et al. 1998). Keanekaragaman
spesies
merupakan
inti
dari
tema
ekologi.
Keanekaragaman dapat terwakilkan dengan beberapa cara (Magurran 1983). Keterwakilan yang paling sederhana ialah sebuah katalog spesies, atau jumlah total spesies (species richness), sebuah ukuran yang dapat mengindikasikan variasi spesies dalam suatu komunitas (α diversity). Keanekaragaman spesies biasanya muncul ke puncak pertengahan tingkat gangguan (the intermediate
disturbance hypothesis) dikarenakan suatu kombinasi kecukupan sumberdaya dan tidak cukupnya waktu untuk persaingan keluar (Connell 1978; Huston 1979 dalam Schowalter 2000). Variasi spesies di suatu komunitas tidak sama dengan kelimpahan. Biasanya, sedikit spesies adalah berlimpah, dan banyak spesies hanya terwakili oleh satu atau sedikit individu (Magurran 1988; Stiling 1996 dalam Schowalter 2000). Faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman dalam komunitas alamiah menurut Campbell (2004) adalah: 1. ketersedian energi; peningkatan radiasi matahari di daerah tropis meingkatkan
aktivitas
fotosintesis
tumbuhan,
yang
menyediakan
peningkatan dasar sumberdaya untuk organisme lain dan dengan demikian kemampuannya lebih besar untuk mendukung spesies. 2. Heterogenitas habitat; dibandingkan dengan daerah lain, daerah tropis seringkali mengalami ganguan yang lebih bersifat lokal (seperti pohon tumbang, angin ribut, dan banjir), dan memiliki ketidak seragaman lingkungan yang lebih besar, memungkinkan keanekaragaman yang lebih besar pada spesies tumbuhan untuk membentuk dasar sumberdaya bagi komunitas hewan yang sangat beranekaragam. 3. Spesialisasi relung; iklim tropis yang memungkinkan banyak organisme untuk mengalami spesialisasi terhadap kisaran sumberdaya yang lebih sempit. Relung yang lebih kecil akan mengalami persaingan dan memungkinkan tingkat pembagian sumberdaya yang lebih baik diantara spesies-spesies, yang selanjutnya akan menggalang keanekaragaman spesies yang besar. 4. Interaksi populasi; keanekaragaman dalam satu pengertian adalah memperbanyak diri sendiri karena interaksi populasi yang kompleks mengalami
koevolusi,
interaksi
pemangsa-mangsa,
dan
interakasi
simbiotik dihasilkan dalam komunitas yang beranekaragam untuk mencegah agar suatu populasi tidak menjadi dominan Kelimpahan adalah jumlah organisme per unti area (kapadatan absolut) atau sebagai kapadatan relatif, yaitu kepadatan dari satu populasi terhadap populasi lainnya. Kelimpahan relatif adalah perbandingan kelimpahan individu tiap jenis terhadap kelimpahan
seluruh individu dalam satu komunitas (Krebs 1978). Sedangkan menurut Odum (1971) menyatakan bahwa kelimpahan adalah istilah umum yang sering digunakan untuk suatu populasi satwa dalam hal jumlah yang sebenarnya dan kecenderungan untuk naik dan turunnya populasi atau keduanya. Secara sederhana, Odum (1971) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu tempat dimana organisme dapat ditemukan. Habitat adalah kawasan yang terdiri dari bebeapa kawasan baik fisk maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat
hidup
dan
berkembangbiaknya
satwaliar.
Satwaliar
menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya (Alikodra 2002). Komponen fisik dan biotik habitat membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwaliar. Suatu habitat merupakan hasil interaksi dari sejumlah komponen. Secara terperinci, komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang, sedangkan komponen biotik terdiri dari vegetasi mikro dan makro fauna serta manusia (Alikodra 2002). Habitat terdiri dari beberapa habitat mikro yang seringkali sangar besar pengaruhnya terhadap satwa karena adanya variasi iklim mikro. Untuk jenis-jenis serangga, iklim mikro erat kaitannya dengan aktivitas foraging atau mencari pakan. Bailey (1984) menyatakan bahwa kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam termasuk makanan, perlindungan, dan faktor lain yang diperlukan oleh suatu spesies untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil. Hal ini menunjukan bahwa habitat merupakan hasil interaksi antara berbagai komponen seperti fisik yang terdiri dari tanah, air, topografi, dan iklim serta komponen biologis yang mencakup tumbuhan, satwaliar, dan manusia.
2. 5 Bio-ekologi Serangga Serangga dimasukkan ke dalam kelas Hexapoda (Insecta / Serangga), Subfilum Mandibulata, filum Arthropoda (Sunjaya 1970). Tubuhnya terdiri dari kepala, toraks, dan abdomen. Pada kepala terdapat sepasang antena yang ukurannya bervariasi, alat mulutnya memiliki berbagai bentuk yang disesuaikan dengan macam makanannya, diantaranya mempunyai bentuk mulut yang berfungsi untuk menggigit dan mengunyah, menghisap, menusuk dan menghisap, serta menjilat. (Kahono et al. Tanpa tahun).
Ciri utama serangga adalah pada bagian kepalanya memilki sepasang sungut, sepasang mandibel (istilah untuk rahang-rahang yang berpasangan, tidak beruas, terletak tepat dibelakang labrum), sepasang maksila (istilah untuk struktur yang berpasangan terletak di belakang mandibel, beruas, dan masing2 maksila mengandung organ seperti perasa), sebuah hipofaring (istilah untuk lidah pendek yang terletak diatas labium diantara maksilae, tempat bermuara kelenjar-kelenjar air liur), sebuah labium (istilah untuk bibir atas). Kemudian pada bagian memiliki tiga pasang tungkai, dengan satu pasang pada masing-masing ruas toraks. Pada bagian abdomennya dicirikan dengan liang kelamin pada bagian posterior abdomen, tidak ada embelan-embelan lokomotor pada abdomen dewasa. Bila ada embelan-embelan terletak pada ujung abdomen dan terdiri dari sepasang sersus, sebuah epiprok, dan sepasang paraprok (sersus merupakan istilah untuk satu dari sepasang embel-embelan pada ujung posterior abdomen, epiprok merupakan sebuah juluran / embelan yang terletak di atas dubur dan kelihatan timbul dari ruas abdomen ke-sepuluh yang sebenarnya merupakan bagian dorsal ruas abdomen yang ke-sebelas, dan paraprok merupakan istilah untuk satu dari sepasang gelambir yang berbatasan dengan dubur di sebelah lateroventral). Beberapa jenis serangga hidup di tanah (teresterial) dan ada pula yang hidup di air (akuatik) untuk seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya (Schowalter 2000). Kebanyakan serangga aktif pada siang hari (diurnal), namun tidak sedikit yang aktif pada malam hari (nokturnal). Serangga tergolong sebagai binatang berdarah dingin atau poikilothermal, oleh karena itu suhu badannya tidak tetap, naik turun mengikuti suhu lingkungannya. Suhu optimum serangga darat adalah sekitar 26˚C dengan kisaran suhu maksimalnya adalah 48 – 50 ˚C, sedangkan titik-titik estivasi berada disekitar 38 – 50˚C (Sunjaya 1970). Istilah suhu dalam ekologi pada hakekatnya adalah produk faktor suhu dan waktu karena sebagian besar jenis serangga hidup pada lingkungan di dekat dan dibawah permukaan tanah, maka suhu muka tanah dan suhu diatas permukaan tanah menjadi tolak ukur dalam mempelajari serangga (Sunjaya 1970). Dari segi makanannya, serangga digolongkan ke berbagai macam golongan diantaranya fitofag, predator, skavanger, dan juga parasit. Evans (1984) manyatakan bahwa
50% dari hampir keseluruhan serangga ialah herbivora yang kemudian dibagi dalam 3 tahap tingkatan konsumen / heterotropik yaitu: 1. konsumen utama / primer; a. Fitofagus = pemakan tanam-tanaman 2. konsumen tingkat lebih tinggi / sekunder dan tersier; a. Predator = seekor hewan yang menyerang dan memakan hewan lainnya. Biasanya hewan yang lebih kecil atau kurang kuat dari dirinya. Korban biasanya dibunuh atau dimakan seluruhnya. Banyak individu korban dimakan oleh masing-masing pemangsa b. Parasitoid = hewan yang hidup di dalam atau diatas dari hewan hidup lainnya, dengan jangka yg relatif lama, makan semua atau makan jaring-jaringan ringannya dan kemudian membunuhnya. c. Parasit = seekor hewan yang hidup di dalam atau diatas dari hewan hidup lainnya, makan jaring-jaringan induk semangnya 3. pengurai; a. Skavenger = seekor hewan yang makan tumbuh-tumbuhan atau hewan yang mati, atau material-material yang membusuk atau limbah-limbah hewan. b. Saprofagus = makan material tumbuh-tumbuhan atau hewan sedang membusuk, seperti bangkai, tinja, kayu gelondongan yang mati, dsb. Sunjaya (1970) menerangkan bahwa setiap jenis serangga memiliki keterbatasan yang berbeda dalam membedakan warna, seperti lebah madu hanya dapat melihat 4 golongan warna berdasarkan panjang gelombang cahaya yaitu; 6500 – 5000 Å (warna merah, kuning, dan hijau); 5000 – 4800 Å (biru kehijauhijauan); 4800 – 4000 Å (biru dan ungu); 4000 – 3100 Å (ultra viollet). Ditambahkan pula bahwa warna hijau kekuning-kuningan dengan panjang gelombang antara 5330 – 5350 Å adalah warna yang sangat efektif untuk menarik jenis-jenis lebah, karena warna kuning dan biru dapat memantulkan kembali sinar ultra violet dengan kuat, sedangkan kebanyakan warna putih menyerap cahaya ultra voilet dari matahari, sehingga warna putih sering dianggap tidak terlihat.
Kelas hexapoda (serangga) terdiri dari berbagai ordo diantaranya adalah Coleoptera, Dermaptera, Hemiptera, Lepidoptera, Diptera, dan Hymenoptera. Diantara ordo-ordo tersebut, terdapat 3 ordo yang berperan penting dalam proses penyerbukan yaitu; Lepidoptera, Diptera, dan Hymenoptera. Ordo coleoptera adalah ordo yang terbesar dari serangga-serangga dan mengandung kira2 40% dari jenis terkenal dalam hexapoda. Salah satu sifat coleoptera adalah struktur sayap-sayapnya, memiliki 4 sayap dengan sepasang sayap depan (elytra / elytron = tunggal) yang menebal seperti kulit, keras, atau rapuh. Bila dalam keadaan istirahat, sayap belakang terlipat dibawah sayap depan yang bertindak sebagai selubung / pelindung. Bagian-bagian mulut dalam ordo ini sebagai tipe mulut pengunyah, dan mandibel sangat bagus dan berkembang, dan dipakai untuk menggilas biji atau meremukan kayu. Binatang dari ordo coleoptera yang paling umum dikenal adalah kumbang. Kumbang mengalami metamorfosis sempurna, banyak diantaranya yang memakan tumbuhan (memakan bagian-bagian bunga) dan zat organik yg membusuk (Borror et al. 1996). Ordo Dermaptera atau yang biasa disebut dengan cocopet merupakan serangga yang memanjang, meramping, agak gepeng, dan memiliki sersi (sersus) seperti capit. Dewasa kadang bersayap dan tidak besayap. Bila bersayap, sayap depan pendek seperti kulit, tidak mempunyai rangka sayap (tegmia / elitra). Dan sayap belakang (bila ada) bersalaput tipis dan membulat. Dermaptera memiliki jumlah tarsi 3 ruas, bagian mulut tipe pengunyah, dan mengalami metamorfosis sederhana. Makanan sebagian besar Dermaptera berupa sayuran mati dan membusuk, beberapa makan tumbuhan hidup, dan jarang sebagai pemangsa. Mereka hidup pada malam hari, pada waktu siang terdapat pada celah-celah di bawah kulit kayu dan lubang-lubang kecil (Borror et al. 1996). Ordo Hemiptera atau yang biasa disebut sebagai golongan kepik ini dinamai hemiptera karena berdasarkan struktur sayap-sayap depan dengan bagian dasar yang menebal dan seperti kulit, dan ujungnya berselaput tipis, tipe sayap ini disebut hemelytron (jamak hemeytra). Sayap belakangnya seluruhnya berselaput tipis, agak lebih pendek dari sayap depannya. Bagian mulut merupakan tipe menusuk-menghisap dalam bentuk paruh (probosis) yang biasanya beruas dan ramping. Binatang-binatang ini memakan cairan tumbuhan dan merupakan hama
ganas bagi tanaman-tanaman budidaya. Perbedaannya dengan homoptera yaitu terdapat pada probosis yang mana probosis hemiptera timbul dari bagian depan kepala, sedangkan homoptera probosis timbul dari posterior kepala. Kebanyakan hemiptera dewasa mempunyai kelenjar bau yang bermuara pada sisi toraks. Binatang yang bermetamorfosis sederhana ini biasa meletakkan telur-telur mereka pada atas tumbuhan atau celah-delah tumbuhan. Ordo Lepidoptera dibagi menjadi dua sub ordo penting yaitu; rhopalocera (kupu-kupu) dan heterocera (ngengat). Ordo ini memiliki ciri-ciri utama yaitu sayap yang tertutup oleh sisik-sisik. Binatang ini memiliki daur metamorfosis sempurna, dengan larva merupakan pemakan tumbuhan, dan ketika dewasa tipe mulut berubah fungsi sebagai penghisap. Beberapa jenis mempunyai bagian mulut yang menyusut dan tidak makan pada tahapan yang dewasa, mandibel pada Lepidoptera hampir tidak ada. Ordo Diptera menyusun salah satu dari ordo-ordo yang terbesar dari serangga, secara individual dan jenis adalah banyak, dan terdapat hampir dimanamana. Sayap belakang menyusut (halter) sehingga hanya mimiliki sepasang sayap depan. Tubuh relatif kecil, bertubuh lunak. Tipe mulut penghisap, dan beberapa merupakan penusuk. Penghisap darah, zat organik yang membusuk, beberapa penyerbuk, dan musuh bagi gulma-gulma yang berbahaya. Diptera hidup dengan memakan cairan-cairan hewan dan tumbuhan seperti nektar. Diptera mengalami metamorfosis sempurna (Borror et al. 1996). Khususnya pada famili Syrphidae (lalat-lalat bunga) seringkali ditemukan disekitar bunga, dan melakukan terbang setempat. Banyak jenis dengan warnanya yang cermelang menyerupai lebah madu, namun tidak pernah menggigit atau menyengat. Banyak yang bersifat pemangsa pada aphid, beberapa lainnya hidup dalam serangga-serangga sosial, dan yang lainnya hidup dalam tumbuh-tumbuhan yang membusuk atau kayu-kayu membusuk. (Gaulet & Huber 1993). Ordo Hymenoptera merupakan ordo yang paling berguna dari sudut kepentingan manusia dari keseluruhan kelas serangga yang ada. Meskipun ordo Hyemnoptera secara morfologi mewakili bentuk umum berbagai kelompok serangga, namun Hymenoptera memiliki banyak karakteristik yang menjadikanya sebagai satu kelompok ordo. Hymenoptera hidup di semua habitat teresterial dan
habitat perairan tawar, dan selalu memegang peran penting dalam ekologi (Mason & Huber 1993). Gologan lebah-lebahan ini memiliki 4 buah sayap tipis (bermembran), terkecuali pada sayap yang mengalami reduksi seperti semut pekerja dan semut tentara (Mason & Huber 1993), sayap belakangnya lebih kecil dari sayap depan (Borror et al. 1996). Hymenoptera tampak seperti berbagai serangga primitif lainnya namun venasinya jauh lebih sederhana. Sayap depan ditutupi oleh sclerite (pelat) kecil membulat yang disebut tegula dan antara sayap depan dan belakang tersambung oleh kait kecil yang disebut hamuli (Mason & Huber 1993; Gaulet & Huber 1993). Meskipun karakter-karakter tersebut dapat membantu dalam membedakan Hymenoptera-bersayap dengan kelompok serangga lain, namun hanya sedikit membantu untuk beberapa jumlah spesiesnya dengan sayap yang belum sempurna atau tidak bersayap. Satu lagi karakter yang secara tehnik dapat terlihat ialah segmen pertama pada abdomen yang bersumbu dengan segmen terakhir dari thoraks. Lebih lanjut lagi, Hymenoptera menunjukan pembatasan yang kuat antara segmen abdominal pertama dengan kedua, segmen pertama diacu sebagai propodeum. Dengan begitu, batasan yang kuat tersebut bukan memisahkan thoraks dengan abdomen, tetapi memisahkan thoraks plus segmen abdominal pertama (mesosoma) dari sisa abdomennya (metasoma). Kombinasi karakteristik tersebut dijadikan para peneliti untuk membedakan Hymenoptera dengan serangga-serangga lainya. Hal ini sangat penting untuk dicatat bahwa Hymenoptera juga memiliki holometabolous yang berkembang atau mengalami metamorfosis sempurna (Mason & Huber 1993). Bagian-bagian mulut mandibulat namun bagi kebanyakan lebah, labium dan maksilae membentuk satu struktur seperti lidah, melalui alat itu makanan cairan diambil. Kelamin pada kebanyakan hymenoptera dikontrol oleh pembuahan telur. Telur yang dibuahi berkembang menjadi betina, dan telur yang tidak dibuahi biasanya berkembang menjadi jantan. Hymenoptera memiliki hal yang menarik dalam biologi mereka yaitu mereka menunjukan keragaman yang besar dari kebiasaan-kebiasaan dan kompleksitas kelakuan yang meningkat dalam hal organisasi sosial dari tabuhan, lebah, dan semut (Gaulet & Huber 1993).
Pada famili Andrenidae, semua anggota dari famili ini bersarang di liangliang berdekatan ditemukan pada daerah yang jarang terdapat tumbuh-tumbuhan (Borror et al. 1996) dan sarangnya terkubur di dalam tanah (Gaulet & Huber 1993). Kebanyakan dari andrenid ini bersifat soliter, namun beberapa bersifat komunal, dan tidak ada yang bersifat parasit (Gaulet & Huber 1993). Famili Halictidae juga bersarang di liang di dalam tanah, beberapa jenis dari sub-famili Halictinae bersarang di permukaan tanah dan membuat liang pada tebing-tebing dengan sarang yang saling berdekatan (Borror et al. 1996), terkecuali bagi beberapa jenis yang bersarang di dalam kayu yang melapuk (Gaulet & Huber 1993). Kebanyakan dari famili ini hidup soliter, dan sebagian dari sub-famili Nominae dan Halictinae adalah komunal (Gaulet & Huber 1993), namun menurut Borror et al. (1996) famili Halictidae ini merupakan serangga sosial yang mengembangkan spektrum soliter. Famili Megachilidae memiliki sebutan sebagai lebah pemtong daun, bersarang pada rongga-rongga di alam, terkadang di dalam tanah (Borror et al. 1996), di dalam batang yang berinti, atau menyerupai tempat tinggal Coleoptera di dalam kayu (Gaulet & Huber 1993). Khususnya pada sub-famili Fidelinae membuat liang di dalam tanah dan tidak terbuat dari bahan-bahan material yang berasal dari tempat lain (Gaulet & Huber 1993). Famili ini merupakan serangga yang hidup soliter (Borror et al. 1996). Famili Vespidae merupakan golongan tabuhan yang membuat sarang terbuat dari lumpur yang biasa ditemukan pada liang-liang di dalam tanah dan tebing-tebing (Borror et al. 1996). Kebanyakan dari famili ini hidup soliter meski ada beberapa yang hidup sosial (Gaulet & Huber 1993), sedangkan Borror et al. (1996) menyatakan bahwa famili ini eusosial yang terbentuk dari koloni, dan khusus untuk sub-famili Anthoporinae bersifat soliter namun bersarang komunal. Famili Apidae atau golongan lebah-lebahan merupakan famili yang paling umum dikenal oleh masayarakat umum sebagai lebah madu seperti pada kebanyakan genus Apis yang hidup sosial, dan bersarang di pohon-pohon berlubang (Borror et al. 1996). Pada genus Trigona yang juga umum sebagai lebah madu, hidup berkoloni dengan merawat dan memproduksi keturunan yang dihasilkan dengan cara berkerumun, kemudian ratu lebah yang lama akan
meninggalkan sarang bersama-sama dengan sejumlah besar lebah pekerja (Gaulet & Huber 1993). Trigona sering ditemukan bersarang pada lubang-lubang pohon, batu-batu, atau tanah, dan di Asia Tenggara sering ditemukan pada sarang yang terbuka dengan ruang-ruang sel yang tersusun menyerupai sisir tergantung menempel dibawah cabang-cabang pohon (Gaulet & Huber 1993). Famili Colletidae merupakan lebah-lebah penambal yang membuat liang ke dalam tanah untuk bersarang (Gaulet & Huber 1993; Borror et al. 1996). Pada beberapa genus dari famili ini, betina membawa polen di luar tubuh tepatnya pada bagian scopa kaki belakang (Gaulet & Huber 1993). Genus Hylaeus dicirikan dengan betina yang tidak memiliki scopa, polen dibawa ke sarang bersamaan dengan nektar. Kebanyakan dari genus ini bersarang di lubang-lubang pohon yang mati atau di batang berongga (Gaulet & Huber 1993), juga pada celah-celah dan liang di tanah (Borror et al. 1996). Genus Ceratinini hidup berkoloni, dengan hampir semua spesies dari genus ini bersarang di kayu dan batang (Gaulet & Huber 1993), atau melubangi sumsum dari batang-batang berbagai semak-semak (Borror et al. 1996). Sub-famili Xylacopinae hidup secara komunal, hampir semua jenisnya bersarang di liang-liang dalam tanah, dan beberapa betinanya menggunakan sarang yang sama (Gaulet & Huber 1993). Borror et al. (1996) menambahkan bahwa kemungkinan besar Xylacopinae hidup secara soliter, menggali lorong-lorong di dalam kayu padat, dan batang tanaman. 2. 6 Tanaman Caisin (Brassica rapa L.) B. rapa (caisin) merupakan salah satu tanaman famili Brassicaceae yang mempunyai lebih dari 300 genus dan 3000 spesies. Anggota famili ini dikenal sebagai tanaman komoditas sayuran penting, penghasil minyak biji, dan sebagai tanaman hias. Ciri khas tanaman dalam famili ini adalah tingginya kandungan senyawa glukosinolat yang dapat dirubah oleh enzim mirosinase menjadi senyawa yang berasa pahit seperti isotiosianat, tiosianat, nitril, dan goitrin yang bersifat goitrogenik (penyebab gondok). Pada spesies yang dibudidayakan, kandungan glukosinolat menjadi sangat berkurang. Hingga kini genus Brassica tercatat memiliki sekitar 40 spesies (Rubatzky & Yamaguchi 2000). Caisin merupakan tanaman sayuran penting di Asia dengan ciri-ciri daun bertangkai, berbentuk agak oval, warna hijau mengkilap, tegak, menempel pada
batang, tangkai daun hijau muda, berdaging, tinggi tanaman sebelum berbunga berkisar 15 – 30 cm. Daun dipanen pada umur 30 – 40 hari setelah tanam (Rubatzky & Yamaguchi, 2000). Pembungaan tanaman ini terjadi setelah fase pertumbuhan daun mulai berhenti. Bunga berwarna kuning terang, tersusun dalam tandan, muncul pada batang yang berdaun kecil dengan beberapa percabangan. Setiap bunga terdiri dari 4 petal dengan panjang 6 – 10 mm tersusun dalam posisi bersilangan. Setiap bunga memiliki 6 stamen (benangsari), dua diantaranya lebih pendek dan 4 lainnya lebih panjang dari stylus (tangkai putik). Kepala putik berada di ujung putik (Delaplane & Mayer 2000). Pembungaan berlangsung selama 22-24 hari (Delplane & Mayer 2000). Takayama & Isogai (2005) melaporkan B. rapa bersifat Self-incompatibility sehingga memerlukan penyerbukan silang untuk pembentukan biji yang optimum. Serbuksari bersifat lengket sehingga peran serangga sebagai agen penyerbuk sangat penting. Penyerbukan sendiri tanpa adanya penyerbukan silang akan menurunkan produksi dan ukuran biji. Serbuksari caisin dilindungi oleh lapisan exine kompleks, tanpa kutikula, bertipe triseluler (2 sel generatif dan 1 sel vegetatif). Sel generatif / sel sperma terletak di dalam sitolasma sel vegetatif yang hanya dipisahkan oleh membran sel. Stigma dan Stylus merupakan organ glandular. Metabolisme organ tersebut berkaitan dengan proses pembungaan dan penyerbukan. Stigma mengandung sel-sel penerima untuk mengenali serbuksari dan mengandung substrat untuk membantu perkecambahan. Stigma Brassicaeae hanya dilindungi olehlapisan peiikel atau adesif sebagai eksudat, sehingga digolongkan sebagai stigma kering. Cairan eksudat berperan sebagai nutrisi bagi serbuksari selama pertumbuhan dan sebagai reward (hadiah) bagi serangga penyerbuk (Dafni 1992). Tanaman caisin merupakan tanaman penghasil nektar (Williams 1980), dan selain itu juga menyimpan banyak polen sehingga sangat menarik serangga penyerbuk untuk berkunjung (Potts et al. 2004)