II. KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dikemukakan beberapa konsep penting dan aspekaspek lain seperti seks, gender, analisis gender, pangan, peran pangan dalam pembangunan, ketahanan pangan dan indikatornya, serta kaitan antara gender dan ketahanan pangan. Disamping itu juga dipaparkan mengenai kajian pustaka yang dilakukan, baik oleh peneliti di mancanegara maupun di dalam negeri. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh pemahaman yang lebih baik terkait aspek gender dan ketahanan pangan dalam rumahtangga. 2.1.
Seks, Gender dan Analisis Gender Menurut Sumiarni (2004) istilah gender sudah dikenal sejak tahun 1977 di
London, dimana kaum feminis tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan istilah gender. Sedangkan di Indonesia istilah ini mulai banyak dipergunakan dan dikaji pada dekade tahun 90-an. Hal ini dapat dilihat pada penelitian Sajogyo (1983) tentang Peranan Perempuan dalam Perkembangan Masyarakat Desa yang belum menggunakan istilah gender, meskipun penelitian tersebut telah meneliti secara mendalam tentang peran perempuan (bersama pria) di perdesaan. Menurut Fakih (1999) konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep jenis kelamin dan gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalanpersoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Terdapat kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differents) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas.
16 Menurut Lindsey (1990) yang dikutip Sumiarni (2004), gender digunakan untuk mengindentifikasi laki-laki dan perempuan
dari segi sosial budaya,
sementara seks digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah seks lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, seperti perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, dan reproduksi. Sedangkan gender lebih banyak terkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya. 2.1.1. Seks Pengertian jenis kelamin atau seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, misalnya manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Adapun manusia jenis perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan, secara permanen tidak berubah, dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat (Fakih, 1999). Sumiarni (2004) menjelaskan bahwa perbedaan secara biologis antara lakilaki dan perempuan tidak menimbulkan perbedaan pendapat, tetapi efek dari perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan pada perilaku manusia, khususnya
17 dalam relasi gender.
Kalangan feminis berpendapat bahwa perbedaan peran
gender bukan karena kodrat atau biologis, tetapi karena faktor budaya. 2.1.2. Gender Dalam membahas persoalan pembangunan, gender sebagai suatu konsep lebih tepat digunakan daripada istilah ‘jenis kelamin’ (sex) wanita dan pria (Achmad, 1991). Konsep gender merujuk pada suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun budaya. Keadaan ini akan berubah-ubah menurut waktu, lokasi, dan lingkungan sosial budaya yang berbeda pula. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Perubahan juga bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Pada suku tertentu perempuan kelas bawah di perdesaan lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya maupun berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain itulah yang dikenal dengan konsep gender. Selama 1980-1990, perhatian terhadap isu gender dalam pembangunan ditandai dengan pergeseran teoritis dari pendekatan struktural ke penggunaan isu gender sebagai kategori sentral yang merupakan faktor kunci dalam formulasi teoritikal baru pembangunan (Beneria, 2003). Pengertian gender terkait dengan
18 peran perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial, sebagai lawan dari karakteristik biologi dan fisik (Bouta et al., 2005). Gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman (KPP RI, 2006). Mosse (1996) menjelaskan bahwa secara mendasar gender berbeda dari pengertian jenis kelamin (biologis). Setiap masyarakat memiliki ’naskah’ untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran feminin atau maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak kita bayi hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktekkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Perangkat perilaku seperti penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumahtangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga secara bersama-sama memoles ’peran gender’. Sadli (2000) yang dikutip Sumiarni (2004) mengatakan bahwa gender adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seseorang. Gender adalah hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap, dan perilaku yang dipelajari seseorang. Hal-hal yang dipelajari biasanya berkaitan dengan
sifat dan perilaku yang dianggap
pantas bagi dirinya karena ia berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Selanjutnya Sumiarni (2004) menjelaskan bahwa di Inggris abad ke sembilan belas ada anggapan bahwa kaum perempuan tidak pantas bekerja di luar rumah guna mendapatkan upah, khususnya bagi perempuan kelas menengah dan kelas atas. Sedangkan kaum perempuan kelas bawah diharapkan bekerja sebagai pembantu (servants) bagi kaum perempuan yang dilahirkan tidak untuk bekerja sendiri. Kini keadaan serupa juga terdapat di beberapa negara berkembang.
19 Di Bangladesh banyak perempuan muslim yang menganggap bahwa tidak pantas untuk terlibat dalam lapangan kerja yang dibayar. Namun ada banyak perempuan muslim lainnya terpaksa bekerja, seringkali sebagai pembantu rumahtangga. Dengan kata lain, kelas (class) nyaris selalu berkaitan dengan urusan memutuskan peran gender yang pantas karena memiliki jenis kelamin (seks) biologis tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa gender seseorang diperoleh melalui suatu proses yang panjang, sebagai hasil belajar sejak usia dini. Gender juga merupakan hasil interaksi faktor internal (apa yang secara biologis tersedia) dan faktor eksternal (apa yang diajarkan oleh lingkungannya, termasuk tujuan dan harapan lingkungan terhadapnya karena ia berjenis kelamin perempuan atau laki-laki). Gender dapat juga berubah walaupun sulit karena telah mengalami proses yang panjang dalam perkembangan seseorang. 2.1.3. Analisis Gender Memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan selalu menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatan di masa mendatang. Sejarah manusia dalam memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis dan teori sosial yang hingga saat ini masih berpengaruh dalam membentuk sistem kemasyarakatan umat manusia. Dari berbagai gugatan terhadap ketidakadilan tersebut, terdapat satu analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin yang belum pernah disinggung oleh teoriteori sebelumnya, yaitu analisis gender (Fakih, 1999). Sebagaimana layaknya teori sosial lainnya seperti analisis kelas, kultural dan diskursus, analisis gender bermaksud memahami realitas sosial. Sebagai teori,
20 tugas utama analisis gender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi, dan praktek hubungan baru antara laki-laki dan perempuan, serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, dan kultural), yang belum dianalisis oleh teori ataupun alat analisis sosial lainnya (Fakih, 1999). Terdapat beberapa sumber terjadinya ketimpangan gender dalam masyarakat. KPP RI (2005) menyebutkan sumber bias gender berasal dari faktor (1) sosial atau lingkungan, (2) agama, (3) adat istiadat, (4) ekonomi, (5) peraturan peundang-undangan, (6) kebijakan, dan lain-lain. Pada saat ini analisis gender (Gender-Based Analysis) sudah diterapkan dalam penyusunan kebijakan dan perundang-undangan di beberapa negara. Status of Woman Canada (1996) memaparkan bahwa pada tahun 1995 pemerintah federal mengadopsi analisis gender untuk kebijakan dan perundang-undangan yang akan diambil. Analisis berdasarkan gender adalah sebuah proses yang menilai dampak yang berbeda dari yang diusulkan dan/atau kebijakan yang ada, program dan perundang-undangan terhadap laki-laki dan perempuan. Hal ini memungkinan kebijakan yang diambil memberi penghargaan atas perbedaan gender, dari hubungan alami antara laki-laki dan perempuan dan dari kenyataan perbedaan sosial mereka, harapan hidup, dan keadaan ekonomi. Dengan analisis gender dapat dibandingkan bagaimana dan mengapa perempuan dan laki-laki dipengaruhi oleh isu kebijakan. Analisis ini menentang asumsi bahwa setiap orang dipengaruhi oleh kebijakan, program, dan perundangundangan dalam cara yang sama tanpa memperhatikan gender, atau sering dikenal sebagai ‘kebijakan netral gender’.
21 KPP RI (2005) menjelaskan bahwa dalam melakukan analisis atau perencanaan anggaran berbasis gender, para perencana dapat menggunakan berbagai metode yang tersedia. Setiap metode memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Penggunaannya tergantung pada kebutuhan dan kecocokan dengan situasi yang dihadapi. Terdapat beberapa model teknik analisis gender yang pernah dikembangkan oleh para ahli, antara lain (1) Model Harvard, (2) Model Moser, (3) Model GAP (Gender Analysis Pathway), dan (4) Model Pro BA (Problem Based Approach). Metode Harvard yang dikembangkan oleh Harvard Institute didasarkan pada pendekatan efisiensi WID (women in development) yang merupakan kerangka analisis gender dan perencanaan gender yang paling awal. Model Mosher merupakan tehnis analisis yang didasarkan pada pendapat bahwa perencanaan gender bersifat ‘tehnis’ dan ‘politik’.
Kerangka ini
mengasumsikan adanya konflik dalam proses perencanaan dan proses transformasi serta mencirikan perencanaan sebagai suatu ‘debat’. Metode GAP bertujuan untuk mengetahui ada-tidaknya kesenjangan gender, dengan melihat aspek akses, peran, manfaat, dan kontrol yang diperoleh perempuan dan laki-laki dalam program pembangunan. Metode ini telah banyak digunakan di Indonesia, terutama dalam proses perencanaan program-program responsif gender. Analisis model PROBA didasarkan pada masalah yang ada di setiap instansi atau wilayah, lalu membandingkan dengan rencana yang dicanangkan. Menurut Ellis (1988), peran perempuan dalam aktivitas pertanian sangat besar, namun analisis ekonomi yang ada belum mampu meliput kontribusi tersebut secara tepat. Oleh karena itu, beberapa konsep yang relevan digunakan untuk bisa melihat peran perempuan secara lebih
22 obyektif, adalah (1) gender division of labor (pemisahan tenaga kerja berdasar gender), (2) dampak pemisahan tenaga kerja terhadap alokasi waktu perempuan dan laki-laki, (3) kekakuan dalam pemisahan tenaga kerja, (4) kontrol terhadap sumberdaya, dan (5) dampak dari faktor-faktor di atas terhadap hubungan produktivitas, hasil tenaga kerja, dan distribusi pendapatan rumahtangga pertanian. 2.2.
Pangan, Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan Pangan merupakan kebutuhan yang sangat azasi, yang bila tidak dipenuhi
dapat menyebabkan seseorang tidak dapat beraktivitas dan berprestasi, bahkan bila kekurangan pangan terus berlanjut dapat menyebabkan kematian (Taridala, 1999). Di Indonesia, aturan tentang pangan dituangkan di dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang antara lain menyebutkan bahwa hak atas pangan dilaksanakan secara bersama-sama oleh negara dan masyarakat dalam konteks pembangunan ketahanan pangan. Berdasar pertimbangan bahwa (1) ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, dan (2) sebagai pelaksanaan Pasal 50 Undang-Undang
tentang
pangan
tersebut,
telah
diundangkan
Peraturan
Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. 2.2.1. Peranan Pangan Dalam Pembangunan Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Pangan sebagai sumber zat gizi
23 (karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air) menjadi landasan utama bagi manusia untuk mencapi kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus hidup. Janin dalam kandungan, bayi, balita, anak remaja, dewasa maupun usia lanjut membutuhkan pangan yang sesuai dengan syarat gizi untuk mempertahankan hidup, tumbuh dan berkembang, serta mencapai prestasi kerja (Karsin, 2004). Dari kondisi di atas menunjukkan bahwa pangan (dan gizi) merupakan indikator hidup masyarakat yang berkelanjutan, yang memungkinkan anggotanya mencapai mutu kehidupan melalui cara yang secara ekologi berkelanjutan, antara lain melalui pembangunan pertanian berkelanjutan. Dengan demikian, setiap pemerintah suatu negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi kebutuhan pangan (dan gizi) tersebut. Kegagalan pemerintah memenuhi kewajiban tersebut berarti melanggar hak asasi. Hubungan antara pangan (gizi) dengan pembangunan memiliki kaitan yang erat. Berg (1986) menunjukkan hubungan tersebut dalam Gambar 1. Pangan (dan gizi) yang memadai merupakan kebutuhan penting untuk menurunkan angka kematian bayi dan Balita, menurunkan angka kesakitan, meningkatkan kemampuan belajar anak sekolah, dan daya tahan fisik orang dewasa. Dengan demikian akan dicapai kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Dari Gambar 1 tersebut dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan di suatu negara sangat ditentukan oleh ketersediaan pangan yang bergizi, yang dapat dikonsumsi oleh setiap warga negara yang membutuhkannya.
24
Angka kematian Bayi dan balita
Angka kesakitan
Mendorong KB
Hari kerja
Gizi yang Memadai
Kualitas Kemampuan belajar
Produktivitas
hidup
Anak sekolah Prestasi kerja Daya tahan fisik
Pembangunan berhasil
Orang dewasa
Sumber : Berg, 1986 Gambar 1. Hubungan antara Gizi dan Pembangunan 2.2.2. Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesempatan kerja guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan menjadi lebih baik, merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan (Saliem et al., 2003). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu hal yang sangat penting dalam pembangunan suatu negara adalah bagaimana menyediakan pangan bagi rakyatnya. Negara yang berhasil memenuhi kebutuhan pangan bagi seluruh rakyatnya atau telah mencapai kondisi ’tahan pangan’ (food security) adalah negara yang berhasil dalam pembangunan nasionalnya.
25 Sesuai Undang-Undang No 7/1996 tentang pangan bahwa pangan mencakup pangan dan minuman hasil tanaman dan ternak serta ikan, baik produk primer maupun olahan. Dengan definisi pangan seperti itu tingkat ketersediaan pangan nasional untuk konsumsi diukur dalam satuan energi dan protein, dimana pada tahun 2000 sebesar 2992 Kkal/kapita/hari dan 80 gr protein/kapita/ hari. Angka tersebut telah melebihi standar kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2000 yang masing-masing sebesar 2500 Kkal/kapita/hari dan 55 gr protein/kapita/hari. Walaupun secara nasional ketersediaan pangan telah melebihi standar kecukupan energi dan protein, namun tidak menjamin kecukupan konsumsi di tingkat individu. Ini sejalan dengan Stamoulis et al. (2003) yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan sektor pertanian tidak selalu memiliki dampak besar terhadap ketahanan pangan. Potensi pertanian dan pembangunan pertanian untuk mendorong ketahanan pangan bervariasi berdasarkan relatif pentingnya pertanian dalam matapencaharian masyarakat. Seperti diketahui bahwa tingkat konsumsi rata-rata per kapita per hari penduduk Indonesia pada tahun 1999 adalah sebesar 1849 Kkal atau 82.2 persen dari standar kecukupan. Ketidakcukupan pangan ini mencerminkan pula fakta bahwa (1) prevalensi balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk masingmasing 24.9 persen dan 7.7 persen pada tahun 1999, dan (2) proporsi rumahtangga rawan pangan di lndonesia yang diukur dengan indikator silang antara tingkat konsumsi energi ≤ 80 persen dari standar kecukupan dan pangsa pengeluaran pangan > 60 persen dari total pengeluaran mencapai sekitar 30
26 persen, serta (3) jumlah penduduk miskin di Indonesia (yang juga dapat diidentikkan dengan penduduk yang tidak atau kurang tahan pangan) pada tahun 1998 sebesar 24.23 persen (Jayawinata, 2005). Keadaan ini menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya berhasil dalam pembangunan nasionalnya, karena belum berhasil memenuhi kebutuhan pangan seluruh warga negaranya. 2.2.3. Sistem Ketahanan Pangan Pada tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi isu internasional. Pada tahap ini, konsep ketahanan pangan (food security) difokuskan pada ketersediaan pangan di tingkat nasional maupun internasional, terutama padipadian, karena adanya krisis pangan dunia tahun 1972-1974. Oleh karena itu sejak awal orde baru kebijakan ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyediaan pangan yang dikenal sebagai FAA (food availability approach). Pendekatan ini tidak memperhatikan aspek distribusi dan akses terhadap pangan. Asumsi yang mendasarinya adalah jika pasokan pangan tersedia, maka para pedagang akan menyalurkan pangan tersebut ke seluruh wilayah secara efisien. Selain itu harga pangan akan tetap stabil pada tingkat yang wajar, sehingga dapat dijangkau oleh seluruh keluarga (Setiawan, 2004). Meskipun tersedia pangan yang cukup, sebagian orang masih menderita kelaparan karena tidak mempunyai cukup akses terhadap pangan. Fenomena ini disebut sebagai hunger paradoks. Hal seperti itulah yang menyebabkan pendekatan
ketersediaan
pangan
gagal
mencapai
ketahanan
pangan
berkelanjutan di beberapa negara. Pada tahun 1980-an terjadi pergeseran konsep ketahanan pangan yang ditekankan pada akses pangan di tingkat rumahtangga dan individu. Dimana
27 kerangka ketahanan pangan berada dalam suatu jenjang, yaitu ketahanan pangan wilayah, rumahtangga, dan individu. Ketahanan pangan wilayah tidak menjamin ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan rumahtangga tidak akan menjamin ketahanan pangan individu. Ketahanan pangan individu akan menjamin ketahanan pangan di semua jenjang. Setiawan (2004) mengemukakan definisi ketahanan pangan yang telah diterima secara luas oleh praktisi maupun akademisi adalah acces for all people at all times to enough
food for an active and healthy life. Makna yang
terkandung dalam definisi tersebut adalah setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat. Dalam konteks rumahtangga, definisi tersebut didasarkan pada konsep entitlement atau kemampuan untuk menguasai pangan. Indonesia telah mengadopsi rumusan ketahanan pangan tersebut dan dituangkan dalam UU RI Nomor 7/1996 tentang Pangan. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Implementasi dari Undang-Undang tersebut ditindaklanjuti dengan mengkristalkan konsep ketahanan pangan sebagai suatu sistem seperti terdapat pada Gambar 2 (Dewan Ketahanan Pangan [DKP], 2006). Kinerja dari ketiga subsistem ketahanan pangan akan terlihat pada status gizi masyarakat dan dapat dideteksi antara lain dari status gizi anak Balita (bawah lima tahun). Apabila salah satu atau lebih dari ke tiga subsistem tersebut tidak berfungsi dengan baik maka akan terjadi masalah kerawanan pangan yang berdampak pada
28 peningkatan kasus gizi kurang dan/atau gizi buruk. Dalam kondisi demikian negara atau daerah dapat dikatakan belum mampu mewujudkan ketahanan pangan.
INPUT Kebijakan dan Kinerja Sektor Ekonomi, Sosial, Politik
NASIONAL, PROPINSI, KABUPATEN
Ekonomi - Pertanian , Perikanan, Kehutanan / - Perdagangan Jasa - Industri
KETERSEDIAAN
Prasarana / Sarana - Lahan/pertanahan - Sumber daya air, Irigasi - Perhubungan/ transportasi - Permoda lan
RUMAH TANGGA
PENDAPATAN DAN
KONSUMSI SESUAI KEBUTUHAN
AKSES PANGAN
GIZI
PENGELOLAAN KONSUMSI & POLA ASUH KELUARGA
OUTPUT
S T A T U S G I Z I
DISTRIBUSI SANITASI & KESEHATAN
Kesra - Kependudukan - Pendidikan - Kesehatan
INDIVIDU
Pemenuhan Hak Atas Pangan
Sumberdaya Manusia Berkualitas
PEMANFAATAN OLEH TUBUH
Ketahanan Nasional
KONSUMSI
Stabilitas dan Keamanan Nasional
Sumber : DKP, 2006 Gambar 2. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan Setiawan (2004) menyatakan bahwa sistem ketahanan pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu: (1) ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability, and stability),(2) kemudahan memperoleh pangan (food accessibility, dan (3) pemanfaatan pangan (food utilization). Dengan demikian faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan adalah faktorfaktor yang mempengaruhi ketiga komponen ketahanan pangan tersebut. Komponen ketersediaan dan stabilitas pangan dipengaruhi oleh sumberdaya (alam, manusia, dan sosial) dan produksi pangan (on-farm and off-farm). Akses pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap rumahtangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai
29 dengan norma gizi. Kondisi tersebut tercermin dari kemampuan rumahtangga untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga dan produksi pangan. Hal ini tergantung pada harga pangan maupun tingkat sumberdaya yang terdapat dalam keluarga, yaitu meliputi tenaga kerja (labor) dan modal (capital). Ketersediaan tenaga kerja merupakan dimensi fisik dari sumberdaya keluarga yang diperlukan untuk proses produksi. Se1ain itu juga tergantung pada pengetahuan atau dimensi sumberdaya manusia (human capital), serta sumberdaya sosial. Pemanfaatan pangan mencerminkan kemampuan tubuh untuk mengolah pangan dan mengubahnya ke dalam bentuk energi yang dapat digunakan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari atau disimpan. Dimensi pemanfaatan pangan meliputi konsumsi pangan dan status gizi. Keluaran yang diharapkan dari pembangunan sistem ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak atas pangan (food entitlement) dan berkembangnya sumberdaya manusia yang berkualitas serta meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional, dimana hal tersebut akan berdampak pada manusia Indonesia yang sehat (Setiawan, 2004). 2.2.4. Indikator Ketahanan Pangan Ukuran keberhasilan pembangunan ketahanan pangan, baik di tingkat makro maupun mikro, dapat dilihat dari beberapa indikator berikut : (1) produksi pangan, baik di tingkat rumahtangga, wilayah, regional, dan nasional, (2) tingkat ketersediaan pangan di rumahtangga, wilayah, regional, dan nasional, (3) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumahtangga, (4) fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumahtangga, (5) keadaan konsumsi pangan, (6) status gizi, (7) angka indeks ketahanan
30 pangan rumahtangga, (8) angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah, (9) skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi, (10) kondisi keamanan pangan, (11) keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat, (12) tingkat cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan, (13) kemampuan untuk melakukan stok pangan, (14) indeks diversifikasi pangan, dan (15) indeks kemandirian pangan (Saliem et al., 2002). Maxwell dan Frankenberger (1992) yang dikutip Setiawan (2004) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan oleh ketersediaan dan akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung. Selanjutnya dijelaskan bahwa indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial. Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan dan akses terhadap kredit modal. Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumahtangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Strategi tersebut dikenal sebagai coping ability indicator. Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan. Indikator dampak secara tidak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi. Untuk menganalisis ketahanan pangan, FAO merekomendasikan penggunaan indikator outcome yang meliputi : (1) umur harapan hidup (UHH),
31 (2) prevalensi anak kurang gizi, dan (3) angka kematian bayi (BAPPENAS, 2002). Gervais (2004) dalam Edralin dan Collado (2005) mengadopsi definisi bank dunia dan menggunakan indikator untuk mengukur ketahanan pangan yaitu : (1) ketersediaan pangan – cukupnya ketersediaan pangan secara fisik, (2) akses pangan – akses secara fisik dan ekonomi oleh seluruh rumahtangga dan individu, dan (3) pemanfaatan pangan – penggunaan pangan yang layak secara biologis yang tersedia bagi rumahtangga dan individu yang sesuai dengan pola makan dan kebutuhannya. Indikator ketahanan pangan alternatif menurut Ilham (2006) adalah pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran. 2.3.
Tinjauan Studi Terdahulu
2.3.1. Studi di Mancanegara Pada bagian ini dikemukakan beberapa hasil kajian terkait aspek gender dan ketahanan pangan, juga terkait partisipasi angkatan kerja dan pembagian kerja gender dalam rumahtangga yang dilakukan oleh beberapa peneliti di mancanegara. Beberapa literatur yang dirujuk dalam penelitian ini, ringkasannya disajikan dalam Lampiran 4. 2.3.1.1. Gender dan Ketahanan Pangan Gender dan ketahanan pangan saling berhubungan. Penelitian FAO (Undated) memberikan gambaran mengenai perubahan dan peranan mutakhir perempuan dalam ketahanan pangan pada wilayah yang berbeda di dunia, khususnya produsen pangan pada konteks global dan kecenderungan pertanian wilayah. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Keadaan yang tidak merata mengenai informasi pada wilayah dan negara disebabkan adanya gap atau kemiskinan data gender yang tidak terkumpul. Hal ini mengindikasikan perlunya
32 informasi lebih lanjut dan koleksi data dibutuhkan mengenai hal tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa perempuan memegang peranan penting sebagai produsen pangan. Menurut perkiraan FAO (Undated), perempuan menghasilkan lebih dari 50 persen pangan yang tumbuh di dunia secara keseluruhan. Peranan perempuan di bidang pertanian bervariasi, baik antar wilayah maupun negara. Perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang saling melengkapi, berbagi tugas dalam produksi hasil panen, peningkatan peternakan, dan perikanan. Pada kasus lain, perempuan dan laki-laki mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berbeda dalam pemanenan dan peternakan, perikanan, dan kehutanan. Walaupun pemanenan langsung dalam skala besar telah diperkenalkan namun keterlibatan laki-laki lebih diutamakan, khususnya dalam pertanian dengan mekanisasi tinggi. Tanggung jawab perempuan meningkat terhadap produksi pangan dalam skala rumahtangga dan pemanenan langsung dalam skala kecil dengan menggunakan teknologi rendah. Kontribusi perempuan lainnya adalah (1) pemelihara biodiversity, serta (2) pengolah dan penyaji makanan. Peran lain perempuan adalah dalam pengolahan pangan yang berkontribusi terhadap ketahanan pangan melalui penurunan kehilangan pangan, penganekaragaman diet, dan mensuplai vitamin penting bagi tubuh. Perempuan juga bertanggung jawab terhadap waktu konsumsi, penggilingan, pengasapan ikan dan daging, mengolah dan memelihara buah dan sayur yang dihasilkan dari pekarangan rumah, bertanggung jawab secara universal dalam penyiapan makanan keluarga, dan menjamin kualitas gizi seluruh anggota keluarga. Sebagai penerima gaji, perempuan bertanggung jawab dalam penyediaan pangan untuk keluarga. Jika tidak sebagai penghasil, maka sebagai penerima
33 penghasilan, perempuan tetap berkewajiban membeli pangan. Pada perempuan desa dan kota, proporsi terbesar dari upah mereka digunakan untuk membeli makanan bagi anggota keluarga. Selain itu perempuan desa dan kota memiliki tanggung jawab yang berbeda dalam penyediaan makanan. Hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan keluarga mereka. Ketika perempuan mempunyai kontrol terhadap kelebihan penghasilan, maka mereka dapat mempertahankan tingkat kesejahteraan keluarga, khususnya pada perbaikan kualitas gizi anggota keluarga. Faktor yang mempengaruhi ketidakleluasaan peranan perempuan dalam ketahanan pangan adalah ’kebutaan gender dan ketidakmampuan melihat peranan perempuan dalam ketahanan pangan’. Kurangnya kesadaran terhadap peran spesifik yang berbeda pada laki-laki dan perempuan dalam produksi pertanian dan ketahanan pangan menghasilkan ’kebutaan gender’. Ketidaksadaran terhadap adanya perbedaan ini menyebabkan adanya persepsi bahwa kebutuhan petani lakilaki dan perempuan sama, sehingga mereka lebih memilih petani laki-laki daripada perempuan. Secara khusus Horenstein (1989) melakukan penelitian tentang perempuan dan ketahanan pangan di Kenya. Tujuannya adalah mempelajari hubungan kritis melalui penilaian beberapa pengaruh ketahanan pangan rumahtangga dan juga peran spesifik perempuan dan kendalanya di Kenya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas perempuan Kenya (9 dari 10 orang) tinggal di daerah perdesaan. Mereka melakukan peran penting dan menyangkut berbagai bidang di sektor perdesaan sebagai petani kecil, penerima pendapatan, dan sebagai kepala rumahtangga, karena pria berpindah atau
34 merantau ke daerah lain untuk mencari pekerjaan. Hal ini meningkatkan komitmen dan tanggung jawab seorang perempuan. Berhubungan dengan peran mereka sebagai petani, perempuan terlibat dalam memasarkan hasil pertanian. Sebagai penyedia makanan untuk keluarga, perempuan mempunyai peran ganda, yaitu sebagai pembeli dan penjual. Peran lainnya adalah dalam penyimpanan hasil panen, dimana ini sangat mempengaruhi pencapaian ketahanan pangan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Perempuan merupakan penghasil pendapatan (income earners), baik yang diperoleh dari hasil usahatani maupun non usahatani, juga dari kiriman keluarga mereka yang bekerja di luar daerah. Perempuan mempunyai tanggung jawab utama dalam pembelian makanan, kemampuan mereka dalam mengontrol penghasilan menjadi sangat penting dalam pencapaian ketahanan pangan. Perempuan memegang peranan kritis sebagai penyedia makanan : memilih jenis makanan yang tersedia di pasar atau yang dihasilkan dari kebun, mengalokasikan jumlah makanan untuk anggota keluarga, mempersiapkan makanan, dan membuat variasi pada setiap makanan (Clark, 1985 dalam Horenstein, 1989). Gambar 3 di bawah ini menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Rumahtangga pertanian
menyumbangkan
berbagai
bahan pangan.
Penghasilan pangan domestik (makanan yang menjalani proses secara umum, penyiapan, dan penyimpanan) dapat dikonsumsi oleh rumahtangga dan sebagaian lagi dijual ke pasar atau keseluruhan hasil panen langsung dijual. Penghasilan yang diperoleh dari hasil penjualan makanan atau hasil panen dapat juga digunakan untuk membeli bahan makanan yang lain. Sumber penghasilan lain
35 (kiriman, dari pekerjaan sambilan di luar pertanian, upah sebagai tenaga kerja musiman) juga dapat digunakan untuk membeli makanan atau untuk meningkatkan produksi domestik. Kebijakan Pangan Nasional dan Pertanian (harga, pemasaran, insentif produksi, bantuan pangan, subsidi, input, dll)
Akses terhadap lahan, tenaga kerja, pelayanan, input, dan pemasaran
Pengolahan, Penyiapan, Penyimpanan
Produksi Pertanian Rumahtangga
Ketahanan Pangan Rumahtangga
Konsumsi
Kerja di Luar Pertanian
Dijual
Uang Kiriman
Pendapatan
Akses Intra-Rumahtangga Kontrol dan Alokasi Sumberdaya
Belanja Pangan
Belanja Non Pangan Informasi Nutrisi dan Pelayanan
Informasi Kesehatan dan Pelayanan
Sumber : Horenstein, 1989 Gambar 3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga
Akses informasi mengenai gizi dan kesehatan serta pelayanannya, status gizi, dan kesehatan masing-masing individu akan berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian
penghasilan
keluarga
untuk
membeli
makanan
dan/atau
memperoleh manfaat dari makanan yang dikonsumsi. Ketersediaan waktu untuk melakukan berbagai tugas yang berhubungan dengan produksi dan konsumsi makanan
akan
mempengaruhi
tingkat
ketahanan
pangan
dalam
skala
rumahtangga. Oleh karena itu diperlukan penghematan teknologi pada beberapa titik dalam siklus makanan. Adanya hubungan antara semua faktor menjadi hal
36 yang kritis dan dinamis terhadap pencapaian ketahanan pangan pada skala rumahtangga. Hal ini terkait dengan pengetahuan dan pemahaman para pelaku rumahtangga yang diperlukan oleh pelaku rumahtangga terkait bagaimana cara mendapatkan, mengawasi, mengalokasikan, dan menggunakan sumberdaya secara proporsional. Fokusnya adalah apa dan berapa banyak tanaman yang dialokasikan untuk dijual dan dibeli, seiring dengan penambahan pengetahuan mengenai siapa yang memperoleh penghasilan dan bagaimana penghasilan tersebut digunakan merupakan variabel kunci untuk mencapai ketahanan pangan dalam rumahtangga. 2.3.1.2. Perempuan, Ketahanan Pangan dan Pembangunan Untuk menguji peran perempuan dalam pembangunan terhadap kelaparan dan kematian anak-anak, Scanlan (2004) menggunakan Ordinary Least Square (OLS) dan data cross-sectional tahun 2000. Untuk mengukur partisipasi perempuan dalam pembangunan digunakan Gender-Related Development Index (GDI) atau Indeks Pembangunan Gender (IPG), untuk membangun dua ukuran ’pendekatan bagi kesetaraan gender’ dalam masyarakat di tahun 2000. Dalam penelitian ini diukur
gap antara GDI dan HDI, yang
mengindikasikan adanya perbedaan rasio atau skor antara keduanya. Tujuannya adalah untuk mengisolasi komponen gender dari HDI (HDI mengukur kualitas pembangunan masyarakat secara keseluruhan). Dengan menggunakan perbedaan nilai antara GDI dan HDI dapat dipastikan bahwa dampak pembangunan yang ada menimbulkan ketimpangan gender dan bukan disebabkan oleh pembangunan ekonomi yang rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan memberi kontribusi yang sangat besar atas pencapaian kesejahteraan manusia dalam pembangunan
37 masyarakat dan oleh karena itu harus dimasukkan ke dalam program dan kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan, khususnya yang terkait dengan kelaparan dan kematian anak-anak (keduanya memiliki keterkaitan spesifik). Peran perempuan yang sangat vital dalam pembangunan di negara-negara less-industrialized, dapat dilihat dari level pembangunan ekonomi, tekanan populasi, demokratisasi, globalisasi atau wilayah. Pemberdayaan perempuan dan menginkorporasikan gender ke dalam program pembangunan tidak hanya akan meningkatkan kesempatan hidup perempuan, tetapi juga memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, khususnya bagi kelompok yang paling rawan dari populasi dunia, yaitu anak-anak. Hasil analisis yang diperoleh merupakan evaluasi empiris atas kontribusi perempuan terkait aspek kelaparan dan kematian anak-anak. Pemahaman mengenai ketahanan pangan dan pembangunan terkait aspek perempuan dalam perspektif pembangunan, harus secara terus menerus diinkorporasikan dalam inisiatif penelitian dan kebijakan. Negara-negara yang mengintegrasikan gender ke dalam pertimbangan kebijakan dan program akan memperoleh manfaat dalam bentuk outcomes pembangunan dalam bidang sosial dan ekonomi. Temuan lain adalah dengan memasukkan aspek gender ke dalam analisis maka akan dapat menangkap dinamika pembangunan ekonomi yang penting.
2.3.1.3. Gender, Pembagian Tenaga Kerja, Penggunaan Waktu dan Partisipasi di Pasar Tenaga Kerja Survei mengenai penggunaan waktu anggota rumahtangga merupakan input penting ditujukan untuk keluarga dan sikapnya terkait gender, juga tentang informasi bagi analisis kebijakan, karena memberikan informasi tentang alokasi waktu rumahtangga untuk kegiatan produksi rumahtangga sebagai substitusi
38 output pasar, juga informasi atas alokasi kegiatan santai (leisure). Sudah jelas bahwa analisis ekonomi dari kebijakan yang didasarkan pada model perilaku individu dan rumahtangga menunjukkan bahwa kesejahteraan tergantung pada konsumsi dan leisure (Apps, 2004). Lewin-Epstein dan Stier (2006) menggunakan bagian dari data Program Survey Sosial Internasional tahun 2002, di mana respondennya berusia di atas 18 tahun. Dalam kuesioner yang diajukan kepada responden terutama mengenai pembagian tenaga kerja rumahtangga dan curahan waktu atas pekerjaan di rumah. Variabel dependen yang digunakan, yaitu pembagian tenaga kerja keluarga, yang dalam hal ini menunjukkan adanya pemisahan dalam tenaga kerja rumahtangga, atau sebaliknya adanya sharing pasangan dalam tugas rumahtangga, diukur sebagai respon rata-rata untuk 4 (empat) item yang merepresentasikan tugas utama harian rumahtangga, yaitu mencuci, membersihkan, menyiapkan makan, dan belanja. Skala untuk setiap item adalah 1 bila hanya isteri yang bertanggung jawab untuk aktivitas tersebut dan 5 (lima) bila hanya suami yang bertanggung jawab. Rendahnya skor total menunjukkan bahwa perempuan merupakan pengatur utama pekerjaan di rumah. Sebaliknya, nilai skor yang tinggi menggambarkan bahwa laki-laki lebih bertanggung jawab atas pekerjaan seharihari yang dilakukan oleh rumahtangga tradisional. Bila nilainya intermediate, berarti bahwa pembagian tenaga kerja dalam rumahtangga lebih egalitarian. Hasil penelitian adalah perempuan dan laki-laki Israel mencurahkan waktu yang lebih sedikit dalam pekerjaan rumahtangga dan pekerjaan rumahtangga di Jerman lebih terpisah. Hal ini disebabkan karena kedua negara berbeda dalam karakteristik
demografi
penting
yang
selalu
mempengaruhi
pekerjaan
39 rumahtangga, yaitu umur, pendidikan istri, pendidikan suami, isteri dalam angkatan kerja, suami dalam angkatan kerja, jam kerja mingguan isteri di pasar, jam kerja mingguan suami di pasar, anak < 6 tahun, anak 6-17 tahun, ketergantungan pendapatan, ideologi gender, dan outsourcing housework. Keputusan untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja secara umum dimodelkan sebagai maksimisasi individu atas lifetime utility (happiness) dengan kendala anggaran dan waktu yang tersedia. Bila utilitas dari upah marjinal harapan lebih tinggi daripada jam marjinal pada pekerjaan non pasar, maka individu akan memasuki angkatan kerja (Cunningham, 2001). Tetapi dalam kenyataannya, terdapat variabel non ekonomi yang berpengaruh. Misalnya variabel yang terkait dengan agama atau kepercayaan. Glass dan Nath (2006) menguji pengaruh dari konservatisme agama terhadap perilaku angkatan kerja perempuan yang menikah atau menambah anak terhadap rumahtangganya. Data yang digunakan adalah Survei Nasional Keluarga dan Rumahtangga. Paper ini fokus pada pengaruh ideologi agama konservatif dan afiliasi agama terhadap pekerjaan dan penghasilan perempuan seperti transisi mereka dalam peran keluarga (isteri, ibu) dimana partisipasi tenaga kerja sangat dilarang. Dalam hal ini diukur peran agama dan kepercayaan dalam keputusan perempuan untuk mengurangi keterlibatan mereka di pasar setelah menikah dan melahirkan. Ukuran yang digunakan dengan 3 (tiga) indikator adalah perubahan dalam jam kerja, komposisi gender dari pekerjaan yang dilakukan dan upah per jam. Pada saat ini, perkembangan peran perempuan di pasar tenaga kerja terus berkembang, meskipun tetap saja terjadi ketimpangan gender pada beberapa aspek. Maume (2006) menyebutkan bahwa dalam keluarga yang egalitarian,
40 diharapkan perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan pekerjaan prioritas dan kewajiban keluarga. Penelitian Maume (2006) menganalisis faktor-faktor penentu dari kendala tempat atas usaha kerja (misalnya mengurangi jam kerja, menolak untuk perjalanan) untuk kepentingan kehidupan keluarga. Fokus penelitian ini adalah untuk mengukur apakah laki-laki akan lebih fokus atas kehidupan keluarga ketika perempuan mengejar karirnya. Data yang digunakan adalah dua sampel dari pekerja penuh-waktu yang telah menikah (studi nasional perubahan angkatan kerja). Hasil menunjukkan bahwa perempuan lebih memilih menukar pekerjaan dalam merespon usaha kerja suami, dimana kendala pekerjaan laki-laki tidak responsif terhadap karakteristik keluarga. Disimpulkan bahwa pekerjaan prioritas dan kewajiban keluarga adalah lebih dipengaruhi oleh tradisionalisme gender daripada egalitarianisme. Binswanger dan Rosenzweig (1981) menemukan bahwa peran perempuan di pasar tenaga kerja perdesaan juga memperoleh sedikit perhatian. Aspek menarik adalah terkait pertanyaan ‘mengapa pola pekerjaan dan tingkat upah perempuan, dalam tugas atau jabatan tertentu, berbeda dengan laki-laki?’ Bardhan (1979) dan Rosenzweig (1979) dalam Binswanger dan Rosenzweig (1981) menguji perbedaan perilaku penawaran tenaga kerja perempuan dan laki-laki. Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa penelitian yang dikutip Binswanger dan Rosenzweig (1981) adalah bahwa di negara-negara berkembang seperti juga di negara-negara maju, pasar tenaga kerja perdesaan menunjukkan perbedaan pola antara pekerjaan dan penghasilan laki-laki dan perempuan. Upah perempuan secara umum lebih rendah dan tingkat pengangguran lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perempuan juga sering tidak mendapat tempat pada segmen tertentu di pasar tenaga kerja. Di
41 Banglades, perempuan tidak berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan secara keseluruhan, karena hambatan sosial dari sisi agama (tetapi di Indonesia, perempuan muslim berpartisipasi pada berbagai lapangan pekerjaan, sehingga agama secara sendiri tidak cukup untuk menjelaskan tak adanya partisipasi perempuan Banglades). Pada banyak lokasi di India, adanya fakta bahwa perempuan kelas atas tidak berpartisipasi di pasar tenaga kerja adalah berhubungan dengan larangan terkait kasta. Pola-pola yang ada di berbagai negara dengan corak sosial budaya yang berbeda, tidak mudah dijelaskan, baik dengan pembagian tenaga kerja (division of labor) terkait kemampuan melahirkan anak dan produksi rumahtangga, ataupun dengan perbedaan produktivitas pasar. Fakta bahwa terdapat keterbatasan pekerjaan dan mobilitas dari usahatani ke usahatani oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki berimplikasi pada efisiensi produksi dan menciptakan kesulitan dalam mengevaluasi kesejahteraan dari mekanisme pasar tenaga kerja perdesaan. 2.3.2. Studi di Indonesia Dalam bagian berikut disajikan hasil-hasil penelitian terkait aspek ketahanan pangan, kesempatan kerja dan alokasi waktu perempuan dan laki-laki berdasar gender yang dilakukan oleh peneliti-peneliti di Indonesia. Literaturliteratur yang dilakukan di Indonesia yang dirujuk dalam penelitian ini, ringkasannya disajikan dalam Lampiran 5. 2.3.2.1. Faktor-Faktor Penentu Partisipasi Perempuan dalam Sektor Ekonomi Keputusan seorang perempuan atau laki-laki untuk bekerja atau tidak bekerja di sektor produktif, merupakan hak individu tersebut. Dilihat dari aspek
42 gender, keputusan seseorang untuk masuk ke pasar tenaga kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor ekonomi maupun non ekonomi. Dengan demikian, ketika seorang perempuan atau laki-laki mengambil keputusan untuk bekerja atau tidak bekerja di sektor produksi, maka perlu dipertanyakan lebih lanjut mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusannya tersebut. Widarti (1998) melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan partisipasi perempuan menikah di pasar tenaga kerja (sisi penawaran). Analisis didasarkan pada data SUPAS Jakarta Tahun 1985. Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan analisis multivariat, dimana variabel dependennya bersifat dikotomi, sehingga digunakan model logit. Diasumsikan bahwa perempuan dapat memilih satu dari dua alternatif ekslusif mutualisme, yaitu berpartisipasi atau tidak berpartisipasi di pasar tenaga kerja. Probabilitas untuk memilih ditentukan oleh karakteristik individual dan karakteristik keluarga, yang dalam studi ini dikelompokkan menjadi : (1) variabel sosiodemografi, yaitu umur, umur ketika pertama menikah, pendidikan, etnis, lama bermigrasi, adanya anak, dan (2) variabel status ekonomi, yaitu pendidikan suami, pekerjaan suami, pengeluaran rumahtangga, indeks rumah, dan status pekerjaan suami. Variabel upah tidak dimasukkan, karena tidak terdapat di dalam data SUPAS. Juga data pendapatan, penggantinya digunakan data pengeluaran rumahtangga. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keputusan perempuan menikah di Jakarta untuk bekerja atau tidak bekerja ditentukan oleh tingkat pendidikannya. Variabel lain yang juga berpengaruh pada semua kelompok pendidikan adalah adanya anak berumur di bawah lima tahun. Variabel ini berpengaruh negatif terhadap partisipasi perempuan menikah di pasar tenaga kerja.
43 Senada dengan itu, Rachman et al. (1988) melakukan penelitian tentang faktor-faktor penentu curahan kerja ibu rumahtangga di perdesaan. Dengan menggunakan data Patanas, disusun model regresi linear berganda untuk menjawab tujuan yang ingin dicapai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curahan kerja ibu rumahtangga di sektor ekonomi perdesaan dipengaruhi oleh umur ibu rumahtangga, jumlah anggota keluarga, total jam kerja dalam keluarga, dan luas lahan garapan. Hasil penelitian Koesoemowidjojo (2000) menunjukkan bahwa alokasi waktu isteri di sektor publik dipengaruhi secara signifikan oleh besar penerimaan rumahtangga, pendapatan suami, kehadiran Balita, dan pola perkreditan (Kredit Usaha Mandiri, KUM). Variabel penerimaan rumahtangga berpengaruh positif, sedangkan variabel lainnya berpengaruh negatif. 2.3.2.2. Analisis Pasar Tenaga Kerja Kajian mengenai pasar tenaga kerja di Indonesia telah dilakukan para peneliti, hal ini karena tenaga kerja merupakan salah satu faktor krusial yang mempengaruhi peningkatan output atau Produk Domestik Bruto (PDB). Perubahan struktur ekonomi dari pertanian ke industri berdampak antara lain terhadap peningkatan output, penyerapan tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, dan kesejahteraan tenaga kerja. Penelitan Margono (2005) bertujuan menganalisis produktivitas dan ketenagakerjaan. Untuk analisis makro ekonomi digunakan data time series tahun 1972-2002, sedangkan untuk analisis mikro digunakan data SAKERNAS tahun 2002, SUSENAS tahun 2002, dan data hasil survei penulis. Hasil penelitiannya adalah bahwa peningkatan output antara lain dipengaruhi secara
44 signifikan oleh tenaga kerja dan barang modal. Tenaga kerja sendiri dipengaruhi oleh upah riil, investasi, dan output. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja di wilayah JABODETABEK adalah usia, jam kerja, jenis kelamin, pengalaman, tingkat pendidikan, dan wilayah kota-desa. Kesejahteraan tenaga kerja dipengaruhi oleh pendapatan, wilayah kota-desa dan tingkat pendidikan. Mobilitas antar sektor di wilayah JABODETABEK dipengaruhi oleh jenis kelamin, pengalaman kerja, dan tingkat upah di bawah Rp 1 (satu) juta. Menurunnya kinerja pasar tenaga kerja akan berpengaruh terhadap meningkatnya pengangguran, bila tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan berbagai masalah sosial. Sukwika (2003) tertarik mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi keragaan pasar tenaga kerja dan migrasi, dengan menggunakan model ekonometrika dalam bentuk sistem persamaan simultan. Data yang digunakan adalah pooled data. Dalam peneli-tian ini dilakukan analisis kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor yang secara langsung dapat mempengaruhi variabel eksogen, yaitu kesempatan kerja, pengangguran, dan migasi. Hasil penelitian antara lain adalah (1) upah bukan merupakan faktor pendorong utama peningkatan angkatan kerja dan (2) peningkatan kesempatan kerja sektor pertanian lebih responsif terhadap perubahan upah riil sektor pertanian, investasi sektor pertanian, dan jumlah pengangguran. Untuk mencapai tingkat kesempatan kerja yang tinggi, pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan di sektor ketenagakerjaan. Kebijakan tersebut secara langsung mempengaruhi pasar tenaga kerja dan kondisi perekonomian makro. Lisna (2007) menggunakan model sistem persamaan simultan berdasarkan data time series tahun 1980-2004 untuk meneliti dampak kebijakan
45 ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia. Hasil penelitiannya antara lain adalah meskipun upah minimum ditargetkan bagi buruh tanpa pengalaman dan nol masa kerja, dalam pelaksanaannya telah menyebabkan kenaikan upah rata-rata bagi buruh di semua tingkatan, mendorong tingkat pengangguran, dan inflasi yang pada akhirnya menurunkan GDP. 2.3.2.3. Peranan Produksi Usahatani dan Gender dalam Ekonomi Rumahtangga Produksi usahatani merupakan sumber pendapatan tunai (cash income) dan sekaligus menjadi sumber ketersediaan pangan natura bagi rumahtangga pertanian. Soepriati (2006) melakukan penelitian tentang peranan produksi usahatani dan gender dalam ekonomi rumahtangga petani lahan sawah di Kabupaten Bogor. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah primer yang diperoleh dari wawancara dengan petani contoh terpilih dan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Metode pendugaan perilaku ekonomi rumahtangga petani adalah model ekonometrika. Metode pendugaan model persamaan digunakan Two Stage Least Squares (2 SLS). Hasil analisis menunjukkan bahwa peran anggota rumahtangga yang terdiri dari suami, istri, anak lakilaki, dan perempuan memberikan kontribusi curahan kerja bagi keluarga pada kegiatan usahatani. Kontribusi curahan kerja istri pada usahatani lebih kecil dibandingkan suami dan anak laki-laki. Peran istri dalam kegiatan reproduktif lebih tinggi dari pada suami, karena istri melakukan pekerjaan rumahtangga, kegiatan sosial dan kegiatan pribadi termasuk mengurus anak, memasak, pengaturan konsumsi pangan,
46 dan non pangan. Hal yang sama juga berlaku bagi anak perempuan dewasa yang dituntut untuk melakukan pekerjaan domestik. Alokasi waktu reproduktif suami dan anak laki-laki lebih banyak untuk kegiatan sosial dan waktu luang. Pendapatan rumahtangga merupakan kontribusi pendapatan suami, istri, anak laki, dan anak perempuan. Sitorus (1994) menyebutkan bahwa peran ekonomi perempuan pada rumahtangga nelayan miskin di Indonesia sangat besar. Terdapat dua peran, yaitu (1) berpartisipasi secara substansial dalam bentuk strategi nafkah ganda dan strategi
ekonomi
kesejahteraan
asli,
rumahtangga, dimana
dan
(2)
rumahtangga
partisipasinya mereka
dalam
lembaga
memperoleh
beberapa
penyelesaian untuk kesulitan ekonomi dan jaminan nafkah. Meskipun belum seperti di pedesaan sawah, untuk memenuhi kebutuhan hidup, rumahtangga miskin menerapkan strategi nafkah ganda, yaitu suami, isteri dan anak-anak usia kerja terlibat mencari nafkah di dalam dan di luar perikanan/pertanian sekaligus. Kalau pada rumahtangga menetap, peran suami dan isteri relatif tegas, namun tidak demikian pada rumahtangga sirkulator. Pada rumahtangga yang lelakinya merupakan sirkulator, pembagian peran tidak setegas keluarga menetap, banyak pekerjaan produktif yang ditangani perempuan, sebaliknya laki-laki sirkulator mau melakukan pekerjaan rumahtangga. Pada musim hujan, sebagian pendapatan dihasilkan dari kerja bersama dalam bidang pertanian. Pada musim kemarau, pendapatan keluarga berasal dari suami sendiri dan isteri sendiri (Sajiharjo, 1990). Koesoemowidjojo (2000) meneliti peran gender dalam rumahtangga penerima kredit peningkatan pendapatan petani kecil di Bogor. Data primer
47 yang digunakan dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif, yaitu menggunakan model regresi berganda. Hasil penelitian antara lain adalah (1) rata-rata lama pendidikan istri (5.9 tahun) lebih rendah daripada suami (7.3 tahun), (2) sekitar 29 persen isteri sepenuhnya hanya mengurus rumahtangga, selebihnya bekerja di sektor publik, dan (3) rumahtangga dengan keadaan ekonomi minim, isteri yang hanya mengurus rumahtangga mencapai 36 persen. Sedangkan rumahtangga yang lebih mampu, isteri yang mengurus rumahtangga hanya mencapai 16.7 persen. Ini merupakan indikasi bahwa adanya usaha industri rumahtangga mendorong isteri mengalokasikan waktunya untuk bekerja memperoleh pendapatan. Untuk menganalisis pengaruh dari variabel-variabel dependen, Setyawati (2008) menggunakan Model Regresi Berganda. Hasil penelitian menunjukkan peran yang dilakukan perempuan adalah selain aktivitas domestik, di luar rumah juga mengerjakan aktivitas produktif (bekerja) dan juga melakukan pekerjaan sosial kemasyarakatan. Peran perempuan dalam ekonomi rumahtangga diukur dari sumbangan pendapatan yang diperoleh perempuan, kontribusi perempuan berupa keputusannya dalam kegiatan rumahtangga, kegiatan sosial dan koperasi. Sedangkan kaum laki-laki, hanya melakukan aktivitas produktif dan sosial kemasyarakatan. Penelitian Soenarno (2007) dengan menggunakan data primer
dan
menganalisis data dengan mengkombinasikan analisis SWOT (Strenghts, Weakness, Opportunities, Threats) dan AHP (Analytical Hierarchy Process). Hasil penelitian antara lain adalah isteri bertanggung jawab dan lebih dominan sebagai pengambil keputusan dalam urusan rumahtangga dan keuangan,
48 sedangkan suami lebih dominan dalam pengambilan keputusan terkait kegiatan produksi dan urusan kemasyarakatan. Hasil penelitian Ariyanto (2004) tentang ‘alokasi waktu dan ekonomi rumahtangga pekerja pada sektor industri formal’ menunjukkan bahwa dalam hal mencari nafkah, suami merupakan pemegang kendali yang dominan, namun peran isteri dalam mencari nafkah sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan rumahtangganya terutama ketika pendapatan suami menurun. Selanjutnya ditemukan bahwa perempuan yang bekerja di sektor publik memiliki beban kerja yang sangat berat, karena disamping harus bekerja di luar rumah, juga masih harus menyelesaikan pekerjaan rumahtangga. Meskipun suami turut membantu pekerjaan domestik, tetapi waktu yang dicurahkan suami untuk pekerjaan rumahtangga relatif lebih sedikit dibanding perempuan.
Dengan
demikian, waktu senggang isteri cenderung lebih sedikit dibandingkan suami. Hasil analisis Ariyanto (2004) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dominan mempengaruhi alokasi waktu dan ekonomi rumahtangga pekerja lakilaki adalah umur anak terkecil, gaji pokok, jenis industri, alokasi waktu suami untuk bekerja di luar industri, jenis pekerjaan isteri, pendapatan disposibel, konsumsi pangan, konsumsi selain pangan, jumlah anak yang sekolah, dan tabungan rumahtangga. Sedangkan faktor-faktor yang dominan mempengaruhi alokasi waktu dan ekonomi rumahtangga pekerja perempuan adalah pendapatan isteri dari luar industri, umur anak terkecil, gaji pokok, jam lembur, alokasi waktu isteri untuk bekerja di luar industri, pendidikan suami, total pendapatan rumahtangga,
ukuran
rumahtangga,
rumahtangga, dan konsumsi rumahtangga.
pendapatan
disposibel,
tabungan
49 Peran gender dalam pengolahan dan pemasaran hasil perikanan menunjukkan bahwa kegiatan produktif masih didominasi oleh laki-laki. Sedangkan untuk kegiatan reproduktif, perempuan lebih banyak mencurahkan waktunya dibandingkan laki-laki. Bias gender pada beban kerja ini terjadi karena adanya pandangan masyarakat bahwa semua pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan, sehingga sejak dini perempuan terisolasi untuk melakukan peran domestik. Profil akses dan kontrol menunjukkan bahwa perempuan tersubordinasi pada tiga macam keputusan, yaitu pada peralatan nelayan, hasil tangkapan, dan hasil penjualan (Munaf, 2004). Subordinasi yang dialami perempuan pada beberapa aspek kehidupan tidak
mengurangi
peran
pentingnya
dalam
pencapaian
kesejahteraan
rumahtangga. Prihatini (2006) menganalisis peran pendapatan perempuan secara deskriptif dan analisis statistik (chi-squares dan korelasi). Hasil analisis menunjukkan : (1) pendapatan ibu rumahtangga memiliki kaitan positif yang sangat signifikan dengan kesehatan dan kesejahteraan keluarga, dan (2) adanya kredit dapat memberikan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan ibu rumahtangga. 2.3.2.4. Gender dan Sistem Usahatani Perempuan dan laki-laki masing-masing memegang peranan penting dalam setiap usahatani yang dikelola oleh rumahtangga petani. Peran tersebut dipengaruhi oleh persepsi, pengetahuan, sikap dan tindakan. Hasil penelitian Mugniesyah et al. (2002) pada petani lahan kering di Desa Kemang Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa perempuan maupun laki-laki memiliki akses terhadap lahan usahatani sawah dan lahan kering. Namun demikian, meskipun perempuan memiliki lahan sawah yang lebih luas daripada laki-laki, status perempuan tetap dikategorikan sebagai
50 pekerja keluarga. Ini terkait dengan sistem nilai yang dianut masyarakat, bahwa suamilah yang menjadi kepala keluarga, sedangkan anggota keluarga lainnya berstatus sebagai pekerja keluarga. Meskipun demikian, Hendratno (2006) menemukan bahwa dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan produksi dan konsumsi dalam rumahtangga, selalu ada kompromi kooperatif antara suami dan isteri. Meskipun dalam kegiatan produksi secara umum suami lebih dominan. Hasil temuan Mugniesyah et al. (2002) menunjukkan setidaknya terdapat enam siklus tahapan suksesi lahan kering yang telah dikembangkan rumahtangga pertanian di desa ini, dimana pemilihan pola tersebut oleh suami-isteri sangat tergantung pada luasan lahan usahatani yang dimiliki, dukungan pendapatan non pertanian dan kebutuhan akan padi huma (ladang). Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat perilaku merusak hutan oleh petani berlahan sempit atau tidak tidak memiliki lahan, yang dilakukan karena kebutuhan mendesak untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Ini tentu saja tidak diharapkan. Penelitian Fausia dan Nasyiah (2005) menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam yang berakibat pada kerusakan lingkungan ternyata sangat dirasakan oleh kaum perempuan, yaitu menyebabkan meningkatkan beban kerja perempuan di sektor reproduktif. Karena sebagian besar pekerjaan rumahtangga sangat terkait dengan sumberdaya alam, seperti air dan kayu bakar untuk memasak. Sebaliknya, peran domestik perempuan tersebut juga dapat berpengaruh terhadap kerusakan atau menurunnya kualitas alam. Terkait pembangunan yang berkelanjutan, dimana petani perlu mengelola usahatani yang memperhatikan aspek lingkungan (di samping aspek sosial dan ekonomi), Hartomo (2007) dan Sitepu (2007) melakukan penelitian tentang sistem
51 usahatani berkelanjutan yang responsif gender. Hartomo (2007) menggunakan data primer yang digunakan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan instrumen Socio Economic and Gender Analysis (SEAGA), AHP serta Indeks Kesetaraan dan Keadilan
gender
(IKKG).
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
untuk
mengembangkan sistem usahatani yang berkelanjutan, maka faktor yang paling menentukan adalah aspek sosial (kelembagaan), lingkungan (jenis komoditas), dan aspek ekonomi (produksi). Dari enam pola usahatani yang diteliti, yang paling memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan responsif gender adalah pola usahatani tanaman hias, dilihat dari bobotnya yang paling besar dibandingkan bobot pola usahatani lainnya. Hasil penelitian Sitepu (2007) menunjukkan bahwa pola relasi gender pada dimensi ekologi dan sosial umumnya didominasi oleh laki-laki. Pada dimensi ekonomi, karena terbatasnya air pada pengelolaan lahan kering, sehingga mendorong laki-laki mencari pekerjaan lain di kota. Pada kondisi demikian, perempuan dominan perannya pada seluruh atribut dimensi ekonomi. 2.3.2.5. Analisis Faktor Penentu Ketahanan Pangan dan Ekonomi Rumahtangga Pertanian Ketahanan pangan merupakan permasalahan lintas sektoral yang muncul sebagai isu nasional seiring dengan merebaknya berbagai kasus rawan pangan di sejumlah daerah di Indonesia (Muflich, 2006). Upaya mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumahtangga bukan persoalan yang sederhana. Sulitnya menanggulangi sumber-sumber distorsi akses terhadap pangan mengakibatkan kasus-kasus rawan pangan dalam bentuk Kekurangan Energi dan Protein (KEP) senantiasa terjadi dan bahkan menjadi salah satu masalah utama peningkatan kualitas sumberdaya manusia dari aspek gizi (Hardono, 2003).
52 Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian ketahanan pangan. Saliem et al. (2005) menguraikan beberapa karakteristik inheren pada tiap subsistem ketahanan pangan yang mempengaruhi pencapaiannya, yaitu : (1) terkait subsistem ketersediaan, diantaranya adalah bahwa produksi pangan tidak dapat dihasilkan sepanjang tahun, kapasitas produksi beras nasional cenderung stagnan, sedangkan kebutuhan masyarakat terus meningkat, dan harga gabah cenderung rendah dalam beberapa tahun terakhir, (2) pada subsistem distribusi, antara lain adalah konflik kepentingan antara konsumen dengan produsen berkenaan dengan harga, dan (3) karakteristik inheren dalam mewujudkan ketahanan pangan terkait aspek konsumsi, diantaranya adalah tingginya tingkat pengangguran dan daya beli masyarakat. Karakteristik sosial ekonomi keluarga sangat menentukan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Yuliana et al. (2002) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi bayi di Kota Bogor. Hasil temuan dari studi ini adalah bahwa besar keluarga berpengaruh negatif terhadap status gizi. Artinya, semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka semakin besar resiko terjadinya gizi kurang. Karena semakin banyak anggota keluarga, maka semakin banyak makanan yang harus disediakan. Hardono (2003) menganalisis dampak perubahan faktor-faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan rumahtangga pertanian dengan metode simulasi menggunakan data PATANAS tahun 1999. Penelitian ini menggunakan pendekatan Model Rumahtangga Pertanian (RTP). Dalam hal ini, skala produksi usahatani ditentukan oleh tingkat pemanfaatan sumberdaya seperti luas lahan garapan, tenaga kerja, maupun modal, disamping pengaruh faktor eksternal pasar input
53 dan output. Penerimaan usahatani dan usaha produktif lain secara bersama-sama akan menentukan tingkat pendapatan rumahtangga. Peningkatan kecukupan gizi atau energi berarti peningkatan terhadap derajat sehat. Semakin tinggi derajat sehat menunjukkan kualitas sumberdaya manusia yang makin baik, yang akan dapat mengurangi pengeluaran lain dalam rumahtangga, khususnya biaya kesehatan. Tabungan rumahtangga mempunyai beberapa peran, pada konteks ketahanan pangan, perannya adalah sebagai stabilisator konsumsi dalam menghadapi ancaman rawan pangan. Spesifikasi model menghubungkan dua subsistem, yaitu produksi dan pengeluaran (konsumsi). Subsistem pertama mencakup keputusan usahatani dan usaha produktif lain pembentuk struktur pendapatan. Subsistem kedua mencakup keputusan penggunaan output produksi, pengeluaran rumahtangga (pangan, tabungan dan investasi sumberdaya manusia), serta pembentukan modal rumahtangga. Dalam subsistem ini termasuk perilaku kecukupan energi sebagai proksi kecukupan gizi. Model disusun secara linear aditif. Hasil analisis menunjukkan kenaikan alokasi sumberdaya internal rumahtangga (waktu berburuh dan luas garapan) berdampak positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga pertanian. Dampak negatif akibat kenaikan harga-harga input (pupuk dan upah buruh tani) dapat dikompensasi bila kenaikan harga tersebut diikuti dengan kenaikan harga output secara proporsional. Model ekonomi rumahtangga juga digunakan oleh Asmarantaka (2007) dalam menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga petani di Provinsi Lampung. Karena terdapat perbedaan karakteristik rumahtangga yang spesifik antara pertanian tanaman pangan (padi dan ubikayu) dengan tanaman perkebunan (kopi), maka
54 diduga akan memberi dampak yang berbeda terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani, terutama dalam curahan kerja, pendapatan, pengeluaran konsumsi,
investasi
maupun tabungan keluarga.
Analisis
ekonomi
RTP
mempergunakan tabulasi, uji beda, dan ekonometrika melalui persamaan simultan. Hasil analisis ekonomi antara lain menunjukkan pendapatan dari desa padi dan perkebunan terutama berasal dari pertanian, sedangkan desa ubikayu berasal dari non pertanian. Penggunaan tenaga kerja keluarga untuk mencari nafkah belum memenuhi kriteria waktu kerja penuh BPS, meskipun sudah memenuhi kriteria tahan pangan. Produksi padi tidak responsif terhadap perubahan harga (kecuali di desa kebun), tetapi responsif terhadap penggunaan tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja di desa pangan dipengaruhi oleh tingkat upah sedangkan desa kopi sangat dipengaruhi dan responsif terhadap nilai produksi kopi. Konsumsi pangan di tiga desa dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, meskipun hanya desa padi yang responsif. Di desa kebun, konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh nilai produksi kopi. Kenaikan penggunaan tenaga kerja keluarga yang diiringi dengan kenaikan harga input dan output, mempunyai dampak positif terhadap produktivitas usahatani dan pendapatan RTP terutama di desa pangan padi. Dengan menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif (regresi berganda), Sauqi (2002) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi dan ketahanan pangan rumahtangga di daerah rawan pangan di Kabupaten Lombok. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Hasil penelitiannya antara lain adalah faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga keluarga prasejahtera yaitu ketersediaan pangan dan daya beli rumahtangga. Ketiga penelitian di atas secara implisit berasumsi bahwa petani
55 menghadapi pasar bersaing sempurna, baik di pasar input maupun output. Hal yang berbeda dilakukan Kusnadi (2005) yang juga menggunakan model RTP, tetapi dengan asumsi bahwa petani menghadapi pasar yang bersaing tidak sempurna. Ketidaksempurnaan pasar ditangkap dengan penggunaan harga bayangan untuk tenaga kerja dalam keluarga dan lahan. Dalam kondisi ini, perilaku ekonomi rumahtangga petani lebih responsif terhadap perubahan harga produk dibandingkan perubahan harga input. Rindayati (2009) melakukan studi tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di Jawa Barat. Untuk mengukur pencapaian ketahanan pangan, digunakan enam indikator ketahanan pangan rumahtangga, yaitu : (1) jumlah konsumsi beras, (2) konsumsi energi, (3) konsumsi protein, (4) prevalensi anak gizi kurang, (5) Angka Kematian Bayi, dan (6) Usia Harapan Hidup. Salah satu hasil dari analisis yang dilakukan penulis adalah bahwa pendapatan/kapita merupakan variabel yang berpengaruh signifikan dan positif terhadap jumlah konsumsi beras, konsumsi energi, konsumsi protein, dan prevalensi anak gizi kurang. 2.3.2.6. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumahtangga Penelitian yang dilakukan oleh Baliwati (2001) ini didasari oleh pemikiran bahwa ketahanan pangan rumahtangga petani perlu mendapat perhatian serius karena
mempunyai
nilai
strategis
dalam
mendukung
terselenggaranya
pembangunan nasional yang berkelanjutan serta merupakan indikator penting keberhasilan
pembangunan
karena
mencerminkan
tingkat
kesejahteraan
masyarakat. Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan meliputi data primer dan
56 sekunder. Analisis secara deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui keragaan rumahtangga petani berdasarkan peubah pada setiap komponen ketahanan pangan. Hasil analisis validitas dan sensitivitas yang diperoleh merupakan justifikasi bahwa model konseptual dapat digunakan sebagai instrumen untuk menilai situasi ketahanan pangan rumahtangga petani. Hasil penerapan model tersebut pada kasus di desa hulu menunjukkan bahwa sebagian besar (82 persen) rumahtangga petani berada pada kondisi ketidaktahanan pangan. 2.4. Sintesis Hasil Kajian Studi Terdahulu Kajian-kajian yang dilakukan para peneliti, baik di Indonesia maupun di mancanegara menganalisis aspek yang beragam tentang keterkaitan peran gender (perempuan dan laki-laki) dalam pembangunan dan ketahanan pangan. Namun demikian terdapat benang merah yang dapat ditarik bahwa peran perempuan dan laki-laki dalam pembangunan, yang dapat dilihat dari perannya dalam aktivitas produksi dan reproduksi adalah sangat penting, terutama dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Pencapaian ketahanan pangan di tingkat rumahtangga akan menentukan pencapaian ketahanan pangan di tingkat wilayah yang lebih tinggi dan seterusnya hingga tingkat nasional. Peran gender tersebut dapat dilihat dari alokasi waktu yang dicurahkan untuk berbagai aktivitas, baik aktivitas di dalam rumahtangga, dalam usahatani keluarga, di luar usahatani keluarga, maupun yang dilakukan di luar sektor pertanian. Keseluruhan aktivitas tersebut akan memberikan penghasilan, baik berupa pendapatan tunai maupun natura, yang akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Bagi keluarga petani yang hidup di perdesaan, pemenuhan kebutuhan pangan masih merupakan prioritas utama,
57 akibat rendahnya kemampuan ekonomi yang dimiliki. Dengan demikian, sebagian besar pendapatan yang diperoleh perempuan dan laki-laki dari berbagai aktivitas tersebut, merupakan penentu utama pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Disamping pendapatan dari usahatani keluarga, sumber pendapatan penting keluarga adalah dari alokasi waktu gender pada berbagai kegiatan di luar usahatani keluarga. Dalam hal ini, keputusan gender (perempuan dan laki-laki) untuk bekerja di luar usahatani keluarga dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik ekonomi (misalnya upah) maupun non ekonomi (misalnya budaya, tingkat pendidikan, umur). Oleh karena itu, analisis terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi keputusan gender dalam partisipasinya di luar usahatani keluarga tersebut, akan memberikan masukan yang berarti dalam rangka mendukung pencapaian ketahanan pangan rumahtangga pertanian. Dari kajian pustaka yang dilakukan nampak bahwa baik dalam aktivitas produksi maupun reproduksi, terdapat peran-peran yang cenderung lebih umum dilakukan oleh perempuan atau laki-laki, yang dapat berbeda pada tempat dan masyarakat yang berbeda. Hal umum yang ditemui adalah terdapat banyak aktivitas yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki, hanya dengan pola alokasi waktu yang berbeda, yaitu perempuan yang lebih besar perannya, atau laki-laki yang lebih berperan dalam suatu jenis aktivitas. Dari berbagai kajian tersebut nampak bahwa secara khusus perempuan mempunyai kontribusi esensial dalam aktivitas reproduksi, terutama terkait aspek akses, jumlah, dan kualitas pangan keluarga. Sedangkan laki-laki lebih berperan dalam aspek produksi, terutama dalam usahatani keluarga. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa penelitian-penelitian tersebut masih memungkinkan untuk
58 dikaji lebih mendalam, baik terkait dengan tujuan penelitian, cakupan, dan juga metode penelitian. Oleh sebab itu penelitian yang dilakukan ini berusaha untuk mengkaji peran gender terhadap ketahanan pangan dengan mengkhususkan pada wilayah di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Analisis gender ini akan dilakukan berdasarkan alokasi waktu perempuan dan laki-laki, terutama dalam kegiatan produktif dan reproduktif pada rumahtangga pertanian, serta
sumbangan
pendapatan
yang
diperoleh
dari
aktivitas
ekonomi.
Bagaimanapun, budaya masyarakat Indonesia memandang bahwa perempuan memiliki peran tradisional sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik dalam rumahtangga. Sedangkan laki-laki mempunyai tugas utama sebagai pencari nafkah bagi seluruh anggota keluarga. Salah satu hal menarik dalam penelitian ini adalah dari kajian yang menyeluruh terhadap peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki dalam seluruh alokasi waktunya, sehingga dapat dihasilkan sintesis yang utuh dan terintegrasi tanpa mengabaikan peran salah satu gender.