II. INDUSTRI TPT GLOBAL DAN INDONESIA
2.1.
Sejarah dan Pengertian Industri TPT Industri tekstil merupakan salah satu industri tertua di dunia. Tekstil tertua
ditemukan pertama kali berupa potongan pakaian dari linen di gua orang Mesir pada 5000 sebelum Masehi. Pada awal tahun 1500an sistem pabrik dibangun untuk pertama kalinya, meskipun masih berskala rumah tangga dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Pada abad 18 terjadi revolusi industri di Inggris, dimana mesin pemintalan dan penenunan ditemukan. Tahun 1769 mesin pemintalan Richard Arkwright yang menggunakan gulungan dengan kecepatan yang tidak tetap dipatenkan dan tenaga air telah menggantikan tenaga manual. Pada abad 19 serat buatan telah berkembang (rayon pertama kali diproduksi pada tahun 1910), namun demikian serat alami (wool, kapas, sutera, dan linen) masih digunakan pula secara luas hingga sekarang. Oleh karena harga serat alami lebih mahal, penggunaannya dicampur dalam pembuatan polyester sebagai serat sintetik (Environmental Protection Agency, 1997). Industri TPT mengalami beberapa migrasi produksi sejak tahun 1950an dan semuanya melibatkan Asia. Hal ini menunjukkan peran yang sangat penting negara-negara Asia dalam perkembangan industri TPT di dunia. Pertama kali migrasi produksi terjadi dari negara di Amerika Utara dan Eropa Barat ke Jepang. Impor TPT Jepang di negara-negara barat mendominasi pada era 1950an dan 1960an. Perubahan yang kedua terjadi dari Jepang ke Hong Kong, Taiwan, dan Korea, dimana negara-negara tersebut mendominasi ekspor tekstil dan garmen dunia pada tahun 1970an dan awal 1980an. Pada akhir tahun 1980an dan 1990an terjadi migrasi ketiga, yaitu dari Asian big three (Taiwan, Hong Kong, dan Korea) ke negara berkembang lainnya, termasuk ke daratan China dan beberapa negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Philippina, dan Sri
10
Lanka. Pada tahun 1990an supplier baru terus bermunculan di Asia Selatan dan Amerika Latin. Secara umum industri tekstil dan garmen memiliki karakteristik yang melibatkan beragam tahapan dan keterkaitan antara tahapan tersebut. Oleh sebab itu rantai supply TPT dapat dibagi menjadi lima bagian utama yang terintegrasi, yaitu: (1) jaringan material bahan baku yang meliputi serat alam dan sintetis, (2) jaringan komponen, seperti benang dan kain oleh perusahaan tekstil, (3) jaringan produksi atau perusahaan garmen, (4) jaringan perdagangan, dan (5) jaringan pemasaran di tingkat pedagang eceran atau retail (Gambar 4). Industri Tekstil
Industri Garmen
Retail Outlets
Amerika Utara Sub Kontraktor dari Dalam Negeri dan Mexico/Karibia
Serat Alam (Kapas, Wool, Sutera)
Kain (Penenunan, Perajutan, Penyelesaian Akhir)
Benang (Pemintalan)
Perusahaan Garmen USA (Pembuatan Desain, Pemotongan, Penjahitan, Pemasangan Kancing, Penyetrikaan)
Semua Retail Outlet
Perusahaan Pakaian dengan Nama Merk Tertentu
Departement Store
Specialty Store
Rantai BarangBarang Masal Asia Serat Sintetis (Minyak, Gas Alam)
Jaringan Bahan Baku
Sektor Hulu
Petrochemicals
Serat Sintetik
Jaringan Komponen
Sektor Menengah
Kontraktor Garmen Asia
Jasa-Jasa Pembelian Luar negeri
Discount Chains
Sub Kontraktor dari Dalam Negeri dan Luar Negeri
Perusahaan Perdagangan
Off Price, Factory Outlet, Pemesanan via Surat, dan LainLainnya
Jaringan Produksi
Semua Retail Outlet
Jaringan Ekspor
Jaringan Pemasaran
Sektor Hilir
Gambar 4. Global Value Chain Industri TPT Sumber: Organization for Economic Co-operation and Develpoment, 2004.
Secara umum tekstil adalah bahan pakaian atau kain. Tekstil tidak hanya dapat digunakan untuk pakaian, tapi juga untuk kebutuhan non pakaian, seperti kain korden, taplak meja, tas, parasut, kain layar, jok mobil atau kap mobil, ban pipa atau selang untuk minyak dan pemadam kebakaran, dan lain-lainnya.
11
Tekstil berasal dari bahasa Latin, yaitu textiles yang berarti menenun atau kain tenun. Tekstil berarti pula: (1) Suatu benda yang dibuat dari benang, kemudian dijadikan kain sebagai bahan pakaian, (2) Suatu benda yang berasal dari serat atau benang yang dianyam (ditenun) atau dirajut, direnda, dilapis, dikempa untuk dijadikan bahan pakaian atau untuk keperluan yang lainnya (Gunadi dalam Djafrie, 2003). Dengan proses dan petahapan seperti itu, pengklasifikasian TPT dilakukan berdasarkan tujuan penggunaan TPT itu sendiri, sehingga menimbulkan cara pengklasifikasian. Pada saat ini terdapat dua jenis klasifikasi TPT, yaitu klasifikasi berdasarkan proses produk atau industri (Harmonized System) (Lampiran 1) dan berdasarkan jenis komoditas perdagangan (Standart International Trade Classification) (Lampiran 2). 2.2.
Industri TPT Indonesia Pada awal pemerintahan Orde Baru, kegiatan industri TPT terbatas pada
penenunan dan pemintalan dalam jumlah yang masih sangat terbatas. Tujuan produksinya masih terkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan produk tekstil yang dihasilkan masih sangat sederhana, karena sebagian besar berbentuk kain. Perkembangan industri TPT ini berkaitan dengan strategi pengembangan industrialisasi nasional yang berorientasi pada substitusi impor, yang distimulasi pula dengan penjatahan kain mori dan benang. Proses pendalaman struktur industri tekstil terjadi pada pertengahan tahun 1970an, saat para pengusaha tekstil terjun dalam pembuatan serat sintetik dan mulai melakukan ekspor.Klasifikasi industri TPT yang digunakan Indonesia, adalah sebagai berikut: 1. Sektor hulu (upstream) adalah industri pembuat serat, yaitu serat tekstil, kapas, serat sintetik, serat selulosa, dan bahan baku serat sintetik. Sektor ini
12
merupakan sektor yang sarat dengan teknologi tinggi dengan peralatan yang serba otomatis. a. Serat alam (nature fiber) Tanpa memperdebatkan pengaruh iklim dan skala ekonomi dalam mengembangkan industri serat alami kapas, Indonesia belum mampu menghasilkan serat alam kapas sebagai bahan industri TPT yang mampu bersaing dengan negara lain, seperti Australia, China, Pakistan, dan India (di luar Amerika Serikat). Berbeda dengan serat buatan, serat nabati sangat mungkin untuk dikembangkan di Indonesia. Sedangkan serat hewani, kecuali sutera, sulit dikembangkan karena iklim yang tidak mendukung. Serat haramay adalah jenis serat yang berpeluang besar. Masalah degumming (pembersihan getah dari serat), belum adanya sorting dan grading pada hasil tanaman haramay, membuat industri pemintalan jarang menggunakannya (Istojo, 2002). b. Serat buatan (man made fiber), contohnya serat sintetik Indonesia termasuk pemasok terbesar serat polyester dan pemegang kuota untuk serat polyester di Eropa. Selain itu serat selulosa juga berkembang pesat di Indonesia. Bahan jadi serat ini tidak dikembangkan untuk tujuan ekspor karena sifatnya lebih mendekati kapas atau lebih sesuai untuk daerah tropis. 2. Sektor menengah (midstream) terdiri dari industri pemintalan (spinning), pertenunan
(weaving),
dan
pencelupan
atau
penyempurnaan
(dyeing/finishing). Sektor ini bersifat padat modal dan teknologi yang digunakan telah berkembang pesat serta sangat tergantung pada perubahan teknologi di luar teknologi tekstil. Meskipun demikian sektor menengah menyerap tenaga kerja yang lebih besar dari sektor hulu, terutama pada sub sektor pertenunan sangat dipengaruhi oleh hasil kreativitas para designer
13
dalam mengikuti fashion trend. Di Indonesia industri pertenunan atau perajutan merupakan industri besar, sedangkan di negara maju justru menjadi industri kecil yang menerima job order dari industri besar. Industri pemintalan Indonesia rata-rata menempati posisi lemah untuk produk benang kapas kasar (Ne 30 ke bawah) dan halus (Ne 60 ke atas). Produk benang kapas ukuran menengah (Ne 30-60) dan serat campuran sangat disegani, sehingga industri pertenunan bersikap selektif dalam pembelian bahan baku. Misalkan untuk pembelian benang kapas kelas tinggi diimpor dari China, untuk kelas menengah dibeli dari dalam negeri dan untuk kelas kasar diimpor dari India dan Pakistan. Dengan cara ini maka diperoleh komposisi bahan setengah jadi dengan harga yang paling rendah. Indonesia dikenal sebagai negara eksportir kain weaving grey dengan kapasitas produksi yang cukup besar. Dalam peta konsumsi serat dunia, industri weaving mengkonsumsi sekitar 51 persen dari total serat yang dikonsumsi dunia. Industri finishing dan printing merupakan titik terlemah industri TPT Indonesia, baik dalam total kapasitas maupun variasi kapasitas mesin (Istojo, 2002). Finishing yang ada umumnya ditujukan untuk pemutihan (bleaching) secara masal dan hanya untuk produk buatan sendiri, meskipun kemampuan ini seharusnya dapat digunakan untuk menyempurnakan produk pesanan. Proses finishing tidak berkembang karena tingginya royalty dan licensed fee. Dengan pertimbangan tersebut, maka lebih menguntungkan mengekspor lembaran grey (yang belum diputihkan) dan mengimpor lagi setelah di-printing. Berbeda dengan industri pemintalan, industri finishing dan printing berkembang lebih lambat karena kurang berkembangnya teknologi yang digunakan. 3. Sektor hilir (downstream) meliputi industri pakaian jadi (garment) atau produk tekstil, yaitu sektor padat karya yang tidak padat modal, tetapi dengan
14
modal kerja yang besar. Industri garmen membutuhkan keputusan yang kompleks dalam memperkirakan input dan outputnya. Adapun yang membuat berbeda dengan industri lainnya adalah industri garmen adalah padat karya, selama ini sistem komputerisasi tidak dapat menggantikan keahlian tenaga kerja. Menjahit adalah contoh utama dimana proses ini tidak dapat diotomatiskan. Diperlukan kekompakan dan kecepatan team, karena fleksibilitas yang tinggi dalam melayani konsumen akhir yang sangat variatif. Segmen pasar dunia saat ini dikuasai oleh negara maju, misalnya Perancis dan Italia untuk tekstil halus, sedangkan untuk tekstil kasar oleh China. Oleh sebab itu Indonesia berusaha untuk memasuki kelas antara keduanya. Tujuan pasar utamanya adalah negara berkembang yang tinggi tingkat perekonomiannya. Struktur industri TPT Indonesia terdiri dari banyak pemain dan terdapat persaingan yang sangat ketat antar perusahaan dalam industri. Hal ini terlihat dari volatilitas peringkat pencapaian laba bersih perusahaan yang sangat tinggi (Wibowo, 2000). Berdasarkan data dari Departemen Perindustrian, jumlah perusahaan dalam industri TPT sekitar 88 pada tahun 1987 menjadi 2 000 perusahaan pada tahun 1992 serta mencapai 2 654 perusahaan pada tahun 2003. Dari jumlah tersebut 28 perusahaan di antaranya adalah produsen serat, 204 produsen benang, 1 043 produsen kain, 855 produsen garmen, dan 524 lainnya adalah produsen produk-produk tekstil. Pada tahun 2005, terdapat 1 799 perusahaan dalam industri TPT. Banyaknya pemain menunjukkan bahwa industri TPT masih memberikan insentif ekonomi yang menarik. Namun demikian faktor perubahan nilai tukar Rupiah terhadap US$ sangat mempengaruhi profitabilitas, sehingga ketergantungan industri TPT terhadap pemasok menjadi tinggi. Perlu diketahui bahwa bahan baku berupa kapas sebagian besar masih diimpor dan hal ini membuat bergaining position produsen TPT terhadap pemasok lemah.
15
Kebutuhan kapas tidak dapat dipenuhi di dalam negeri karena dua faktor, yaitu rendahnya nilai ekonomi tanaman kapas dan iklim yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman kapas. Adapun skala usaha yang mendominasi pada industri TPT adalah industri besar (89.71 persen) dengan jumlah tenaga kerja mencapai 100 hingga 13 000 orang, sedangkan yang kedua adalah industri menengah (8.43 persen), dan yang terakhir industri kecil (1.86 persen). Berdasarkan distribusi geografis (Gambar 5), 90 persen industri TPT Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa, khususnya Jawa Barat.
Gambar 5. Lokasi Industri TPT di Indonesia Sumber: Departemen Perindustrian dalam Bank Indonesia, 2006.
Industri TPT mempunyai karakteristik fundamental yang melibatkan aktivitas besar, sehingga banyak menggunakan kombinasi antara tenaga kerja dan modal. Produksi tekstil memerlukan kebutuhan modal yang lebih tinggi dibandingkan kebutuhan akan tenaga kerja. Sistem produksi tekstil banyak dilakukan secara mekanik dan terintegrasi. Oleh sebab itu pemasangan mesin sebagai kapasitas terpasang di sektor industri tekstil sangat sarat dengan modal dan cenderung kurang fleksibel dalam menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Pada tahun 2005, penggunaan kapasitas terpasang industri tekstil rata-rata mencapai 75 persen, sedangkan industri garmen rata-rata mencapai 80 persen.
16
Menurut PT. Sucofindo, 57 persen mesin-mesin perusahaan TPT di Indonesia telah berumur 15 tahun, 18 persen di antaranya berumur 10-15 tahun, 18 persen berumur 5-10 tahun, dan 7 persen berumur di bawah 5 tahun (Tabel 2). Terdapat lebih dari 4 100 perusahaan tekstil, sebanyak 774 perusahaan di antaranya membutuhkan pergantian mesin-mesin yang telah usang. Keadaan mesin pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan memproduksi TPT. Tabel 2. Kondisi Mesin Industri TPT di Indonesia Tahun 2004 No.
Sub Sektor
1.
Pemintalan (Spinning)
2.
Penenunan (Weaving)
3.
Printing, Dying, Finishing
4.
Pakaian Jadi(Garment)
Umur (tahun) < 5 < 10 < 20 < 30 30 + < 5 < 10 < 20 < 30 30 + < 5 < 10 < 20 < 30 30 + < 5 < 10 < 20 < 30
Jumlah (unit) 629 4 490 4 014 1 568 1 587 1 152 8 134 8 437 3 350 1 267 827 3 246 690 888 828 204 209 160 320 31 140 857
Sumber: Sucofindo diolah dalam Indocommercial, 2004.
Sejak enam tahun silam Thailand, Pakistan, Turki, China, dan Korea telah melakukan
modernisasi
di
sektor
industri
pemintalan
dan
penenunan.
Dibandingkan dengan negara-negara tersebut, produktivitas industri pemintala dan penenunan Indonesia sangat rendah (Asosiasi Pertekstilan Indonesia, 2005). Oleh sebab itu peremajaan dan modernisasi permesinan akan menjadi kunci penting TPT Indonesia dalam persaingan dengan TPT dunia. Perkembangan industri TPT tahun 1980-2005 berdasarkan sub sektor, ekspor TPT Indonesia didominasi oleh sub sektor garmen (52.58 persen), kain (27.17 persen), benang (13.16 persen), tekstil lainnya (4.51 persen), dan serat
17
(2.58 persen). Komposisi nilai ekspor sub sektor serat yang relatif kecil disebabkan sebagian besar output industri ini digunakan sebagai input industri berikutnya di dalam negeri. Sedangkan garmen merupakan produk yang dapat secara langsung dikonsumsi oleh konsumen akhir dan mempunyai pangsa ekpor yang besar ke negara Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pada tahun 1950an dan 1960an, industri TPT lebih banyak berstatus Badan Umum Milik Negara (BUMN), karena komitmen intervensi ekonomi di masa pemerintahan Soekarno menjadikan negara lebih banyak terlibat dalam produksi benang dan kain serta pengaturan impor. Akan tetapi pada tahun 2005, industri TPT banyak yang bersatus Pemilik Modal Dalam Negeri (PMDN) yaitu sebesar 54.28 persen, sedangkan perusahaan yang berstatus BUMN sebanyak 31.97 persen. Sisanya adalah perusahaan-perusahaan berstatus Pemilik Modal Asing (PMA). Kebijakan penting yang dikeluarkan pemerintah dan sangat mempengaruhi investasi adalah UU No. 01 tahun 1967 tentang PMA dan UU No. 06 tahun 1968 tentang PMDN. Perkembangan ini menunjukkan bahwa peran perusahaan-perusahaan swasta dalam mengelola dan mengembangkan industri TPT semakin besar dibandingkan peran perusahaan pemerintah. 2.3.
Kebijakan Perdagangan TPT
2.3.1. Kebijakan Perdagangan TPT Dunia Proteksi TPT menjadi sejarah yang panjang di negara Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pada tahun 1950an, Jepang, Hong Kong, China, India, dan Pakistan menyetujui secara suka rela untuk membatasi ekspor TPT dari kapas ke pasar Amerika Serikat. Pada tahun 1960an Long Term Agreement (LTA) dalam perdagangan internasional tekstil kapas ditandatangani dengan bantuan GATT. LTA melakukan beberapa negosiasi hingga akhirnya digantikan dengan Multi Fiber Arrangement (MFA) pada tahun 1974.
18
A.
Multi Fiber Arrangement Tahun 1974-1994 Dari tahun 1974 sampai akhir Putaran Uruguay, perdagangan TPT diatur
dalam kerangka MFA, yaitu suatu kerangka perjanjian yang bersifat sepihak (bilateral atau unilateral) untuk menetapkan kuota dalam membatasi impor (jumlah)
ke
negara-negara
tertentu
yang
industri
domestiknya
sedang
menghadapi masalah serius atau gangguan pasar dari impor yang meningkat dengan cepat. Menurut Hady (2004), kuota MFA memiliki beberapa karakteristik, yaitu pertama kebijakan tersebut berimplikasi diskriminasi pada beberapa negara eksportir dan tidak kepada negara yang lain. Kedua, kuota dinegosiasikan secara bilateral dan tidak berlaku global, antara negara satu dengan negara lain berbeda dalam cakupan produk serta tingkat pembatasannya. Yang ketiga kuota tersebut terlibat secara terbatas dalam ekspor, transferring rent dari negara importir ke negara eksportir. MFA, seperti namanya, adalah mencakup pembatasan perdagangan TPT yang meliputi wool dan serat buatan yang masih mengandung kapas. Pada tahun 1970an, ilmu pengetahuan tentang analisis kebijakan perdagangan kuantitatif tidak berkembang dengan baik, oleh sebab itu penetapan kuota suatu negara menjadi lemah. Ada enam negara maju yang menerapkan sistem kuota di bawah MFA, yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Austria, Canada, Finlandia, dan Norwegia. Pada 1 Januari 1995 MFA digantikan Agreement on Textiles and Clothing atau ATC untuk menjembatani proses transisi penghapusan kuota sampai akhir. Menurut ketentuan GATT/WTO, sistem kuota ini hanya dapat digunakan untuk (1) melindungi hasil pertanian, (2) menjaga keseimbangan Balance of Payment, dan (3) melindungi kepentingan ekonomi nasional (Hady, 2004).
19
B.
Agreement on Textiles and Clothing Tahun 1995-2004 Agreement on Textiles and Clothing (ATC) bukan perkembangan dari
MFA, namun merupakan sarana transisi ke dalam proses integrasi penuh dan dibangun berdasarkan unsur-unsur kunci sebagai berikut, yaitu
1. Pemenuhan produk berdasarkan volume perdagangan TPT tahun 1990 dan produk yang diintegrasikan harus mencakup benang, kain, pakaian jadi, dan produk tekstil yang diolah,
2. Suatu program pengintegrasi yang progresif untuk produk tekstil dan pakaian jadi ke dalam aturan GATT tahun 1994,
3. Suatu proses liberalisasi untuk memperbesar kuota yang ada secara progresif melalui peningkatan laju pertumbuhan tahunan pada setiap tahapannya,
4. Terdapat mekanisme safeguard khusus untuk menangani kasus-kasus baru yang berhubungan dengan ancaman serius terhadap produsen domestik sepanjang periode transisi,
5. Menetapkan Badan Pengawas Tekstil (Textile Monitoring Body atau TMB) untuk mengawasi pelaksanaan dari persetujuan dan memastikan bahwa aturan-aturan itu dijalankan sesuai ketentuan dan
6. Ketentuan-ketentuan lain mencakup aturan atas tindakan circumvention terhadap kuota, administrasi, perlakuan pembatasan non MFA, dan komitmen sesuai prosedur dan persetujuan WTO yang berkaitan sektor ini. Cakupan produk yang didaftarkan dalam lampiran ATC meliputi semua produk yang tunduk kepada MFA atau MFA-type quota sedikitnya di satu negara pengimpor. Proses pengintegrasian (artikel 2 ATC) menetapkan anggota mengintegrasikan produk-produk yang terdaftar dalam lampiran ke dalam ketentuan-ketentuan GATT tahun 1994 sepanjang periode 10 tahun. Proses ini
20
diharapkan dapat dilaksanakan dalam empat tahapan dan pada akhirnya semua produk dapat terintegrasi di penghujung tahun ke 10. Tahap pertama dimulai tanggal 1 Januari 1995 dengan mengintegrasikan jenis produk tidak kurang dari 16 persen (dari total impor tahun 1990 sebagai tahun dasar) dari semua produk di dalam lampiran tersebut. Pada tahap kedua, dimulai 1 Januari 1998, tidak kurang dari 17 persen atau lebih telah terintegrasi. Tahap ketiga dimulai 1 Januari 2002, tidak kurang dari 18 persen terintegrasi. Akhirnya pada tahap keempat, 1 Januari 2005 semua produk sisanya (49 persen) dari total impor tahun 1990 terintegrasi secara penuh sesuai persetujuan (Tabel 3). Tabel 3. Tahap Pengintegrasian Perdagangan TPT ke Dalam Ketentuan GATT Selama 10 Tahun Tahapan Tahap 1, 1 Januari 1995-31 Desember 1997
Persentase Produk yang Dikembalikan ke Dalam Aturan GATT 16 (minimum, dasar perhitungan impor dari tahun 1994)
Persentase Produk Per Tahun
17
8.70
18
11.05
49 (maksimum)
Tidak ada lagi kuota
6.96
Tahap 2, 1 Januari 1998-31 Desember 2000 Tahap 3, 1 Januari 2001-31 Desember 2004 Tahap 4, 1 Januari 2005 Integrasi penuh ke dalam aturan GATT dan penghapusan final dari kuota yang tersisa serta sekaligus ATC berakhir Sumber: World Trade Organization, 2004.
Masing-masing anggota negara pengimpor memutuskan sendiri produk yang akan diintegrasikan pada masing-masing tahapan. Daftar produk yang diintegrasikan harus mengandung empat kategori produk, yaitu benang, kain, produk tekstil yang diolah dan pakaian jadi. Kecepatan pengintegrasian produk dirumuskan dalam suatu formula berdasarkan pada tingkat pertumbuhan yang ada di bawah kerangka MFA. Artikel 3 dalam ATC berkaitan dengan pembatasan
21
kuantitatif berbeda dengan yang ada di dalam MFA. Bagaimanapun pembatasan tersebut tidak dibenarkan dalam ketentuan GATT dan harus disesuaikan dengan aturan GATT atau menghapuskannya dalam jangka waktu sepuluh tahun periode transisi di bawah pengawasan TMB. Lima puluh lima anggota memilih untuk mempertahankan hak ini dan kebanyakan dari mereka menyajikan daftar produk untuk pengintegrasian. Sembilan anggota tersebut adalah Australia, Brunei Darussalam, Chili, Kuba, Hongkong, Islandia, Macau, Selandia Baru dan Singapura memutuskan untuk tidak mempertahankan hak dalam menggunakan mekanisme safeguard ATC. Mereka dianggap telah terintegrasi 100 persen dari awal. Aspek kunci ATC terdapat di dalam Artikel 6. Dimana dalam perjanjian tersebut berhubungan dengan mekanisme transitional safeguard khusus guna melindungi anggota dari impor produk yang belum terintegrasi ke dalam GATT dan tidak diatur di bawah kuota serta merusak pasar dalam negeri sepanjang periode transisi. Ketentuan ini didasarkan pada pendekatan two-tiered. Pertama negara pengimpor harus menentukan bahwa total impor suatu produk spesifik telah menyebabkan kerugian serius atau menjadi ancaman nyata terhadap industri
domestiknya.
Kedua,
memutuskan
perusahaan-perusahaan
yang
mengalami kerugian tersebut. Terdapat prosedur dan kriteria spesifik yang diperkenalkan untuk masing-masing langkah, termasuk negara pengimpor harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan negara pengekspor tersebut. Safeguard dapat diterapkan secara selektif berdasarkan kesepakatan bersama atau jika persetujuan tidak dicapai melalui proses konsultasi dalam waktu 60 hari, tindakan sepihak dapat dilakukan. Jumlah kuota boleh tidak lebih rendah dari realisasi impor untuk negara pengekspor selama 12 bulan dan hal ini dapat berlaku hingga tiga tahun. Jika ukuran tetap selama lebih dari satu tahun, perkecualian, kegiatan tersebut masih diperbolehkan dengan syarat pertumbuhannya tidak
22
kurang dari 6 persen. Safeguard khusus telah digunakan 24 kesempatan di tahun 1995 oleh Amerika Serikat, 8 kali pada tahun 1996 (Brazil 7 kali dan USA 1 kali), 2 kali di tahun 1997 oleh Amerika Serikat, dan 10 kali pada tahun 1998 (Columbia 9 kali dan USA 1 kali). Sedangkan Artikel 5 ATC berisi aturan dan prosedur yang memantau secara ketat dan konsisten mengenai tindakan circumvention kuota, yaitu upaya pengelakan yang dilakukan oleh negara pengimpor terhadap kesepakatan persetujuan, baik melalui transportasi, rerouting, dokumen palsu asal produk, ataupun pemalsuan dokumen pejabat. Hal ini memerlukan konsultasi interalia dan kerja sama dengan instansi yang terkait, hukum dan prosedur administrasi. Ketika sudah tersedia bukti yang cukup, kesulitan yang ada mungkin berkaitan dengan pengingkaran masuknya barang-barang tersebut. Kegiatan administrasi, aturan dan prosedur dikonsultasikan dengan maksud untuk mencapai solusi bersama yang dapat diterima (artikel 4). Ketentuan yang berkaitan dengan tekstil dan pakaian jadi dalam Putaran Uruguay memerlukan komitmen semua anggotanya untuk mentaati aturan sehingga dapat dicapai peningkatan akses pasar, memastikan perdagangan yang adil dan menghindari diskriminasi terhadap impor tekstil dan pakaian jadi (Artikel 7). Jika suatu negara pengekspor tidak mentaati kewajibannya, maka Badan Pengawas Perselisihan atau Council for Trade in Goods akan bertindak. C.
Textile Monitoring Body Textile Monitoring Body (TMB) dibentuk untuk mengawasi implementasi
ATC, menguji semua ukuran atau tindakan yang diambil sesuai dengan persetujuan dan memastikan sesuai dengan aturan. TMB adalah suatu badan yang terdiri dari ketua dan sepuluh anggota TMB dan pengambilan keputusan dilakukan dengan konsensus. Sepuluh anggota tersebut ditunjuk oleh anggota
23
WTO menurut pengelompokan dalam suatu daerah pemilihan yang disetujui juga oleh anggota WTO lainnya. Dapat terjadi rotasi di dalam daerah pemilihan itu. Karakteristik ini membuat TMB menjadi suatu institusi yang unik di dalam kerangka TMB. Pada bulan Januari 1995, Dewan Umum memutuskan komposisi untuk TMB tahap pertama. Pada bulan Desember 1997, Dewan Umum memutuskan komposisi untuk tahap kedua (tahun 1998-2001) dengan anggota TMB yang ditunjuk oleh anggota WTO berasal dari daerah pemilihan, (1) negara-negara anggota ASEAN, (2) Kanada dan Norwegia, (3) Pakistan dan China (setelah accession), (4) Masyarakat Ekonomi Eropa, (5) Korea dan Hong Kong; China, (6) India dan Mesir/Maroko/ Tunisia, (7) Jepang, Amarika Latin dan negara-negara Karibia, (8) Amerika
Serikat,
(9)
Turki,
Swiss,
Bulgaria/Chekoslowakia/Hongaria/Polandia/Rumania/Slovakia/Slovenia.
dan Selain
itu terdapat dua peninjau tanpa partisipasi dari anggota yang tidak diwakili struktur ini, satu dari Afrika dan satu dari Asia. TMB memonitor tindakan yang diambil sesuai dengan kerangka persetujuan dan memastikan tetap konsisten serta melaporkan kepada Council for Trade in Goods untuk meninjau ulang operasi persetujuan sebelum masingmasing tahapan proses pengintegrasian selanjutnya dilaksanakan. TMB juga menangani penyelesaian perselisihan untuk dibawa ke Badan Penyelesaian Perselisihan Reguler WTO. 2.3.2. Kebijakan Perdagangan TPT Indonesia Pemerintah Indonesia melaksanakan ekspor TPT ke negara-negara pengimpor yang memberlakukan pembatasan kuota. Kebijakan tersebut berlandaskan aturan perdagangan TPT dunia yang ditentukan oleh GATT di Jenewa pada tahun 1974 berdasarkan MFA. Persetujuan bilateral maupun
24
multilateral dalam perdagangan TPT pada dasarnya bertujuan untuk menjamin kelancaran transaksi perdagangan TPT antar negara pesertanya. Hal ini dilakukan melalui penetapan pembatasan perdagangan secara kuantitatif dalam bentuk kuota, agar tidak mengganggu pasar di negara importir. Di dalam pembatasan perdagangan dalam bentuk kuota, pemerintah negara pengekspor bersedia mengatur pembatasan ekspornya atau negara pengimpor melakukan pembatasan impor. Ekspor TPT ke negara tradisional (Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Turki, dan Norwegia) mulai dikenakan kuota oleh negara pengimpor sejak sekitar tahun 1980 di bawah kerangka kesepakatan MFA (Indonesian Textile Magazine. 2002a). Di Indonesia pengaturan ekspor TPT dilakukan dengan menggunakan jumlah kuota nasional hasil kesepatan bilateral dan memantau realisasi ekspornya. Berdasarkan jumlah kuota nasional tersebut, selanjutnya pemerintah Indonesia mengalokasikan kuota tersebut kepada pengusaha-pengusaha TPT, baik eksportir produsen maupun ekpsortir non produsen TPT. Ekspor TPT diatur dalam
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
nomor
06/MPP/BKI/I/1996 dan nomor 12/MP/SK/I/1996 dengan petunjuk pelaksanaan Keputusan
Direktur
02/DJPI/KP/I/1996
dan
Jenderal nomor
Perdagangan 03/DJPI/KP/I/1996
Internasional yang
meliputi
nomor tujuan,
pelaksanaan ekspor, tata cara dan persyaratan ETTPT, negara kuota, jenis kuota, pembagian kuota, pemindahan kuota dan pemantauan realisasi kuota ekspor TPT. Instansi yang diberi kewenangan untuk mengatur pengkalkulasian kuota ekspor TPT tahun 1977 sampai tahun 1996 adalah Departemen Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri dan Direktorat Ekspor. Tetapi dengan adanya penggabungan Departemen Perdagangan dengan Departemen Perindustrian, berdasarkan Keputusan Presiden atau Kepres Republik Indonesia nomor 2 tahun 1996, maka kewenangan untuk
25
mengatur pengalokasian kuota TPT ada pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional dan Direktorat Ekspor. Kemudian dengan dikeluarkannya Kepres Republik Indonesia nomor 136 tahun 1999 yang diubah dengan Kepres Republik Indonesia nomor 147 tahun 1999, kewenangan dimaksud menjadi kewenangan Dirjen Perdagangan Luar Negeri atau PLN, Direktorat Ekspor Produksi Industri dan Pertambangan atau EPIP. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki instansi-instansi tersebut, maka dalam mengatur pengalokasian kuota TPT diterbitkan Surat Keputusan dari Menteri Perdagangan atau Menteri Perindustrian dan Perdagangan, sesuai masa keberadaannya, yang ditindaklanjuti dengan keputusan tingkat Direktur Jenderal masing-masing. Pada mulanya peraturan-peraturan yang terbit dalam rangka pengelolaan sistem manajemen kuota adalah Kepmen nomor 53 dan Kepmen 67 tahun 2000 (telah diperbaharui lagi menjadi Kepmen nomor 311/MPP/Kep/10/2001 tentang Ketentuan Kuota Ekspor TPT), dan yang terakhir adalah Kepmen no 374 tahun 1998, dimana seluruh kuota ekspor TPT dialokasikan oleh pejabat tingkat Dirjen dan pengambilalihan hak kuota tersebut (khusus KT) hanya dapat dilakukan oleh Eksportir Terdaftar TPT atau ETTPT melalui Bursa Komoditi Indonesia atau BKI yang dikelola oleh Badan Pengelola Bursa Komoditi atau BAPEBTI di Jakarta Pusat. Sedangkan Kanwil Depperindag daerah tekstil bertugas untuk mencatat dan menyampaikan alokasi kuota ekspor TPT tersebut kepada masing-masing ETTPT maupun melaksanakan pencatatan dan pelaporan setiap mutasi kuota tersebut termasuk realisasi ekspornya. Setelah berlakunya Kepmen nomor 311 tahun 2001 dimaksud dengan Keputusan
Direktur
11/DJPLN/KP/XI/2001
Jenderal dan
Perdagangan
Luar
03/DJPLN/KP/II/2002
Negeri
sebagai
nomor petunjuk
pelaksanaannya, maka kewenangan untuk melakukan alokasi kuota ekspor TPT
26
kepada ETTPT yang termasuk Perusahaan Kecil dan Koperasi atau ETTPT-PKK dan pelaksanaan pengambilalihan hak kuota ekspor TPT dilakukan oleh Kanwil Depperindag daerah tekstil, sedangkan untuk ETTPT Perusahaan Menengah Besar atau ETTPT-PMB dilakukan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri. Kuota nasional yang diperoleh dari kesepakatan bilateral dibagikan kepada ETTPT dan pelaksanaan realisasinya dipantau oleh PT. Sucofindo (Persero) yang ditunjuk oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan sebagai pelaksana sistem Monitoring Kuota Tekstil atau MKT. Sesuai dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 558/MPP/Kep/12/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor yang lampirannya telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir dengan Surat
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
nomor
575/MPP/Kep/VIII/2002, kebijakan ekspor Indonesia dalam pelaksanaannya hampir seluruh barang sudah tidak memiliki pembatasan (barang bebas) kecuali beberapa komoditas yang pengaturannya dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu (1) barang yang dilarang ekspor, (2) barang yang diawasi ekspornya, dan (3) barang yang diatur ekspornya. TPT termasuk barang yang diatur ekspornya dengan alasan untuk peningkatan mutu, optimalisasi kuota dan berkaitan dengan perjanjian luar negeri. Ekspor TPT ke negara USA, Kanada, Uni Eropa dan Turki wajib sertai dengan Surat Keterangan Asal atau SKA. Keputusan
Menteri
Perdagangan
No.
04/M/Kep/12/2004
tentang
Ketentuan Ekspor TPT mencabut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 53/MPP/Kep/2/2000 tentang Pengambilalihan Kuota TPT dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 311/MPP/Kep/10/2001 tentang Ketentuan Kuota Ekspor TPT. Kebijakan ini diambil untuk menyesuaikan dengan ATC-WTO, dimana sistem kuota ekspor berakhir 31 Desember 2004 dan sejak 1 Januari 2005 perdagangan TPT dunia mengikuti ketentuan umum GATT.
27
Di samping itu juga untuk meningkatkan, mengembangkan, dan menjamin kepastian berusaha di bidang TPT. Sedangkan di bidang kebijakan impor TPT, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tataniaga Impor Tekstil dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/Per/9/2005 tentang Ketentuan Impor TPT. Peraturan ini dilatarbelakangi untuk mempertahankan iklim usaha di bidang TPT agar tetap kondusif di pasar domestik dan dalam rangka untuk mencegah praktek perdagangan tidak adil yang mengakibatkan kerugian terhadap industri dan konsumen TPT. Importasi hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai Impotir Produsen Tekstil (IP Tekstil). Tekstil yang diimpor oleh IP Tekstil hanya dapat dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk proses produksi dari industri yang dimiliki oleh IP Tekstil dan dilarang untuk diperjualbelikan maupun dipindahtangankan. Berdasarkan penjelasan tentang perkembangan industri TPT global dan Indonesia, maka Indonesia memiliki tingkat produktivitas yang rendah bila dibandingkan dengan negara Pakistan, Turki, Thailand, China, dan Korea, khususnya pada industri pemintalan dan penenunan. Selain itu kapasitas terpasang yang mampu dipakai oleh industri tekstil hanya sebesar 75 persen dan garmen sebesar 80 persen. Meskipun TPT Indonesia memiliki struktur industri yang lengkap dari hulu sampai hilir, namun peremajaan dan modernisasi permesinan TPT Indonesia akan menjadi kunci penting dalam persaingan TPT di dunia yang semakin ketat. Restrukturisasi permesinan TPT Indonesia harus ditunjang
oleh
kebijakan-kebijakan
yang
kondusif
meningkatkan produksi dan ekspor TPT Indonesia.
untuk
menstimulasi