ALKITAB BAHASA ASLI Umat Kristen pasti mempunyai rasa ingin tahu ('curiosity') tentang Alkitab bahasa asli. Terlebih ketika Alkitab terjemahan tidak menyelesaikan persoalan, maka timbul pikiran untuk melihat Alkitab dalam bahasa aslinya. Alkitab bahasa asli adalah 'final authority' untuk menyelesaikan segala macam perdebatan teologia maupun percekcokan doktrinal. Semua Alkitab terjemahan hanya memuat kebenaran konseptual bukan kebenaran secara arti kata dan tata bahasa. Oleh sebab itu, jika melakukan pembahasan Alkitab secara etimologi, maka harus kembali ke Alkitab bahasa asli karena peralihan bahasa menyebabkan perubahan bentuk kata dan juga susunan kalimat. Disadari pula bahwa ada perbedaan antara satu bahasa dengan yang lain. Ada bahasa yang banyak 'vocabulary'nya dan ada bahasa yang sedikit. Tidak dapat dikatakan bahwa Alkitab hasil terjemahan akan salah atau kurang bermutu, tetapi hanya ada kekurangan dalam menyampaikan semua idea penulis. Misalnya 'agape' dan 'fileo' dalam bahasa Indonesia kedua‐duanya tetap diterjemahkan dengan kata "kasih" saja, sedangkan 'kurios' mempunyai makna ganda yaitu "Tuhan" dan "Tuan". Karena Allah mengilhamkan kebenaran‐Nya dengan bahasa manusia, maka pemakaian tiap‐tiap kata dalam wahyu tertulis‐Nya pasti adalah dipilih‐Nya secara khusus. Bahkan tata bahasa yang dipergunakan‐Nya juga pasti yang sesuai dengan aturan tata‐bahasa manusia pemakai bahasa itu agar tidak menyebabkan kebingungan bagi penerima wahyu. Selanjutnya karena Allah memakai bahasa Ibrani untuk penulisan kitab Perjanjian Lama dan bahasa Yunani untuk penulisan kitab Perjanjian Baru, maka kitab Perjanjian Lama yang bahasa Ibrani serta kitab Perjanjian Baru yang bahasa Yunani itu sangat enting setidaknya untuk dikenal oleh setiap orang Kristen, apalagi seorang penyampai Firman Tuhan, misalnya pendeta atau Pastur. Kitab Perjanjian Lama orang Kristen itu berasal dari kitab suci orang Yahudi. Jumlah kitab Perjanjian Lama bertambah sesuai dengan berjalannya waktu sampai nabi Maleakhi menuliskan pasal 4 ayat 6 yang jatuh pada kira‐ kira 400 tahun sebelum kelahiran Yesus. Pada waktu kejatuhan Yerusalem ke tangan Babilon, kelihatannya kitab‐kitab Perjanjian Lama yang sudah ada pada saat itu diselamatkan oleh nabi Yeremia. Nabi Yeremia yang tahu persis apa yang akan terjadi menyadari bahwa kitab suci jauh lebih berharga dari apapun. Nebukadnezar yang tahu bahwa Yeremia menubuatkan kejatuhan Yerusalem sangat menghormati Yeremia. Bahkan ia membiarkan Yeremia memilih apakah ia mau tinggal di Yerusalem atau mau ikut ke Babel, dan akhirnya Yeremia memilih tinggal di Yerusalem. Hal ini dapat dibaca dalam Yeremia 39:11‐14, "Mengenai Yeremia, Nebukadnezar, raja Babel, telah memberi perintah dengan perantaraan Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, bunyinya: 'Bawalah dan perhatikanlah dia, janganlah apa‐apakan dia, melainkan haruslah kaulakukan kepadanya sesuai dengan permintaannya kepadamu!' Maka Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, beserta Nebusyazban, kepala istana, dan Nergal‐Sarezer, panglima, dan semua perwira tinggi raja Babel, mengutus orang ‐ mereka menyuruh mengambil Yeremia dari pelataran penjagaan, lalu menyerahkannya kepada Gedalya bin Ahikam bin Safan untuk membebaskannya, supaya pulang ke rumah. Demikianlah Yeremia tinggal di tengah‐tengah rakyat." Ketika Nebukadnezar merebut Yerusalem, ia membawa pergi sekitar 25.000 orang, bagian terbesar adalah penduduk Yerusalem, ke pembuangan di Babel. Hal ini merupakan deportasi ke‐3. Akan tetapi, orang‐orang miskin di negeri itu ditinggalkan untuk menjadi tukang kebun anggur dan peladang di Palestina. Tidak mungkin orang‐ orang seperti itu akan mengadakan pemberontakan melawan kekuasaan Babel atas negeri tersebut, setelah para pemimpin politik terbunuh atau dideportasi. Nebukadnezar menunjuk seorang Yahudi bernama Gedalya untuk memerintah atas orang‐orang Yahudi yang tetap tinggal di Palestina. Orang ini mengadakan ibu kotanya di Mizpa, sekitar 11 km sebelah utara Yerusalem. Yeremia datang ke Mizpa agar dapat bersama dengan Gedalya setelah kepala pasukan Nebukadnezar membebaskan nabi Yeremia dan menasehati dia untuk kembali kepada Gedalya. Serangan Nebukadnezar pada tahun 605, 597, dan 589‐586 sebelum Masehi mengakibatkan banyak kerusakan dan kehancuran di Yehuda. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa banyak dari kota‐kota Yehuda telah dihancurkan dan tidak dibangun kembali, suatu fakta yang secara khusus terbukti dalam penggalian‐penggalian di Aseka, Bet‐ Semes dan Kiryat‐Sefer, dan juga melalui pemeriksaan permukaan tanah di beberapa tempat. Penggalian di Lakhis juga menunjukkan bukti tentang penghancuran oleh Babel. Penyerbuan terakhir, pada tahun 589, memuncak
dalam pengepungan dan penghancuran Yerusalem yang disusul oleh deportasi terakhir pada tahun 586 sebelum Masehi. Sekembali dari pembuangan, orang Yahudi mengalami kebangunan rohani. Mereka bukan hanya pergi ke Yerusalem tiga kali setahun, bahkan mendirikan 'sinagoge' di seluruh Israel. Keberadaan 'sinagoge' itu bukan hanya untuk kegiatan keagamaan, bahkan bermanfaat sebagai sekolahan membaca bagi anak‐anak. Keadaan ini menyebabkan dibutuhkannya kitab‐kitab Perjanjian Lama karena itu adalah bahan bacaan satu‐satunya. Keadaan ini juga sekaligus melestarikan kanon kitab Perjanjian Lama karena jumlahnya menjadi semakin banyak sehingga kalau yang satu rusak, masih ada yang lain. Kini terkumpul sekitar 200.000 naskah kuno dalam bentuk 'fragment' dalam bahasa Ibrani dan Aramik. Dengan cara demikian Allah memelihara firman‐Nya, yaitu agar orang‐orang di kemudian hari dapat memperbandingkannya. Ada orang bertanya, "Apakah kitab Perjanjian Lama yang ada di tangan umat Kristen masih asli?" Jawabannya, "Tentu, karena ada kurang lebih 200.000 'fragment' yang terkumpul dan dibanding‐ bandingkan." Ketika Alexander Agung mengalahkan dunia pada abad ketiga sebelum kelahiran Yesus, bahasa Yunani menjadi bahasa internasional. Satu abad kemudian, yaitu abad kedua sebelum kedatang Yesus, generasi muda Yahudi perantauan menjadi lebih fasih berbahasa Yunani sehingga penerjemahan kitab Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani dirasakan sangat diperlukan. Kemudian sebuah kitab terjemahan dihasilkan oleh 72 orang penerjemah, dan disebut 'Septuaginta' yang artinya tujuh puluh, yaitu angka genap dari jumlah penerjemahnya. Akhirnya pada masa kehadiran Yesus, kitab Perjanjian Lama yang beredar ada dua macam, yaitu yang berbahasa Ibrani dan berbahasa Yunani ('Septuaginta'). Selain terdiri dari dua macam bahasa, ada juga versi yang dipakai di 'sinagoge' dan versi yang dipakai oleh pribadi di rumah. Versi 'sinagoge' disalin ulang dengan sangat teliti. Menurut Gleason L. Archer dalam bukunya "The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible" (Grand Rapid: Zondervan Publishing House, 1982), jika ditemukan empat kesalahan, maka dianggap rusak dan segera dimusnahkan. Mereka tidak menghendaki kehadiran salinan yang ada kesalahan agar jangan sampai makin hari makin banyak salinan yang salah. Kemudian pada tahun 70 Masehi terjadi penghancuran kota Yerusalem beserta Bait Allah. Orang Israel terkocar‐ kacir dan tersebar ke mana‐mana. Mereka kehilangan identitas sebagai bangsa. Setelah melalui sebuah periode waktu yang agak panjang, sebagian orang Israel menyadari bahwa mereka perlu berbuat sesuatu agar identitas bangsa mereka tidak hilang sama sekali. Mereka menyadari bahwa kitab Perjanjian Lama adalah tumpuan jati diri orang Yahudi serta merupakan pusat integritas keluarga Yahudi. Jika masih ada kanon kitab Perjanjian Lama yang terus‐menerus dibacakan di 'sinagoge' dan dalam keluarga masing‐masing, maka keyahudian mereka pasti tidak akan hilang. Pada periode 70‐900 Masehi, sekelompok orang Yahudi yang disebut 'Baly ha‐masoret' ('master of tradition' atau guru adat‐istiadat) berusaha mengumpulkan salinan‐salinan untuk memantapkan eksistensi kitab Perjanjian Lama. Perlu diketahui bahwa yang terbakar adalah yang ada di kota Yerusalem, tetapi masih ada banyak salinan yang tersimpan di 'sinagoge‐sinagoge' yang bisa dijadikan patokan. Alasan yang mendorong mereka melakukan pekerjaan itu ialah karena salinan yang ada hanya tertulis dengan huruf mati sedangkan generasi muda Yahudi yang sudah tersebar mengalami kesulitan untuk membaca tanpa huruf hidup. Bagi yang lancar berbahasa Ibrani, ia tidak membutuhkan huruf hidup, melainkan cukup dengan huruf mati (konsonan) saja sudah bisa membaca dan mengerti artinya. Jadi kalau kalimatnya, "Musa turun dari gunung Sinai" itu hanya ditulis "Ms trn dr gnng sn". Jadi "Baly ha‐masoret" itu berusaha mengumpulkan salinan‐salinan dan berusaha membubuhkan huruf hidup (vokal) agar generasi yang kurang fasih berbahasa Ibrani bisa belajar membaca. Hasilnya bukan saja iman Yudaisme mereka tetap terpelihara, bahkan bahasa Ibrani tetap lestari sementara bahasa Mesir, Persia dan lain‐lain musnah terkikis waktu. Dengan demikian jati diri mereka sebagai orang Yahudi tetap terpelihara sekalipun mereka tersebar ke segala penjuru dunia. Dalam melaksanakan tugas yang sangat berat itu para 'Baly ha‐masoret' dibantu oleh ahli tata‐bahasa ('grammar') yang dalam bahasa Ibrani disebut 'nag danim'. Karena kitab Perjanjian Lama asli yang ditulis Musa, Daud, Samuel dan lain‐lain tidak memakai huruf hidup ('vokal') dan juga tanpa tanda baca, maka sulit dimengerti oleh generasi muda Yahudi maupun bangsa lain yang mempelajari bahasa asli kitab Perjanjian Lama. Para 'Baly ha‐Masoret' dan 'nag danim', orang‐orang Yahudi yang masih sangat fasih bahkan ahli dalam bahasa Ibrani itu, menolong
memasang huruf hidup dan tanda baca ke dalam teks yang tadinya hanya terdiri dari huruf mati dan tanpa tanda baca. Kesederhanaan teks yang ditulis jauh sebelum Masehi itu tentu bukanlah suatu kesalahan karena perkembangan pengetahuan bahasa pada saat itu cuma hanya sampai pada tahap itu. Penambahan huruf hidup dan tanda baca itu sama sekali bukan menambahi firman Tuhan, melainkan hanya menjadikan bunyi yang sudah ada ke dalam tanda baca. Misalnya, "makan" kalau dulu ditulis "mkn" saja, maka sekarang ditambahkan dua huruf "a" sehingga menjadi "makan". Bahkan bahasa Indonesia pernah mengalami beberapa kali penyempurnaan. Dulu "Soekarno" sekarang menjadi "Sukarno". Dulu "djangan" sekarang menjadi "jangan", dan dulu "tjepat" sekarang menjadi "cepat". Para 'Baly ha‐Masoret' dan 'nag danim' yang hidup sesudah 70 Masehi, yang menguatirkan keimanan anak‐cucu bangsa Israel telah dipakai Allah untuk memelihara kitab Perjanjian Lama yang sangat dibutuhkan jemaat Perjanjian Baru. Hasil karya mereka disebut 'Masoretic Text' (Teks Masoretik), dipakai oleh baik kaum Yahudi maupun Kristen. Pada tahun 1947 dunia kekristenan dikejutkan dengan diketemukannya Dead Sea Scroll. Seorang bocah Baduin yang berusaha mencari dombanya yang hilang tanpa sengaja memasuki gua di Wadi Qumran, sebelah barat daya Laut Mati. Di dalam gua yang gelap ia tersandung pada gulungan benda yang dua kaki panjang dan sepuluh inci tebal. Para gembala itu menjualnya ke toko antik di Bethlehem yang memberi beberapa gulung, dan seorang 'Archbishop' dari gereja Orthodox Syria membeli sisanya. Beberapa orang ahli menelitinya dan menyimpulkan bahwa itu tidak ada nilainya. tetapi E.L. Sukenik, dari Hebrew University di Yerusalem, mengenal keunikan gulungan itu dan membeli tiga gulungan. Gulungan lain dibawa ke American School of Oriental Research, diteliti oleh J.C. Trever dan W.F. Albright, seorang arkeolog Alkitab, akhirnya pada tahun 1948 menyadari bahwa itu adalah gulungan kitab‐kitab Perjanjian Lama. Pada akhir tahun 1951 kembali di sekitar gua‐gua Laut Mati, yaitu di gua Wadi Murabba'at ditemukan lagi gulungan‐gulungan lain di antaranya juga terdapat gulungan teks 'Masoretik'. Pada tahun 1952 dilakukan eksplorasi yang lebih intensif dan di gua yang terletak di sebelah barat Khirbet Qumran ditemukan hampir keseluruhan kitab Perjanjian Lama kecuali kitab Ester. Adapun isi dari 'manuscript' (MSS) yang ditemukan di Qumran itu ada sebagian berbeda dari Teks Masoretik namun sama dengan 'Septuaginta' (LXX). Tetapi lebih banyak kesamaannya dengan Teks Masoretik daripada dengan LXX. Kelihatannya MSS yang ditemukan di Qumran adalah teks yang dipergunakan oleh pribadi, bukan yang dipergunakan di 'sinagoge', karena ada banyak catatan pinggir, dan naskah tua yang diperkirakan sebelum Yesus, ternyata ada tambahan huruf hidup (vokal). Diketahui bahwa naskah bahasa Ibrani sebelum para 'Baly ha‐Masoret' memasangkan huruf hidup (vokal) naskah resmi yang dipakai di Bait Allah dan 'sinagoge' itu hanya terdiri dari huruf mati (konsonan) saja. Jadi kalau ada naskah sebelumnya yang terdapat selipan huruf hidup adalah naskah pribadi yang dipakai di keluarga. Biasanya karena anak‐anak mereka belum terbiasa membaca tanpa huruf hidup, maka orang tua mereka membantu dengan menambahi huruf hidup bagi mereka. Kalangan Liberal menjadi kalang‐kabut dengan ditemukannya 'Dead Sea Scroll', namun sebagian mereka menjadikannya dasar untuk membangun 'Critical Texts' (Teks Pengritik) untuk mendiskreditkan Teks Masoretik. Tetapi kalangan Fundamental tetap yakin bahwa Teks Masoretik adalah teks terpercaya karena bukan hanya telah dikerjakan dengan sangat hati‐hati, bahkan sumber landasannya adalah naskah resmi yang dipakai di 'sinagoge‐ sinagoge', bukan naskah pribadi yang telah banyak penambahan dan pengurangan. Bisa dipahami kalau sesuatu itu milik pribadi maka bisa ditambah dan dikurangi seperti yang dilakukan terhadap Alkitab hari ini, di mana umat Kristen membuat catatan di pinggir dan menandainya dan lain sebagainya. Naskah‐naskah kitab Perjanjian Baru telah terpelihara melalui orang‐orang percaya yang menyayangi naskah itu sehingga orang berusaha memilikinya dengan memperbanyaknya. Dengan cara diperbanyak, maka naskah ini tidak dapat dimusnahkan, dan sekaligus dijaga keotentikannya karena di kemudian hari umat Kristen dapat membanding‐bandingkannya. Menurut The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible volume V, kini telah tersimpan ± 3,000 copy naskah Perjanjian Baru tulisan tangan dalam bahasa Yunani dalam bentuk fragment dan 2,000 copy dalam bentuk penjelasan (telah ditambahkan berbagai penjelasan) untuk kebutuhan pembacaan tiap hari, 8,000 manuscript dalam bahasa Latin, dan sekitar 2,000 terjemahan versi kuno. Tersedianya naskah‐naskah kuno itu telah menjamin sehingga pekerjaan mengedit sebuah kitab Perjanjian Baru ke dalam buku setelah kertas dan alat cepat ditemukan
itu dapat dilakukan. Naskah ini telah dipelihara dengan cara diperbanyak dan disimpan hingga manusia dapat menjilidnya menjadi sebuah kitab pada saat menusia telah menemukan alat cetak dan kertas. Sesungguhnya naskah‐naskah Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani telah tersebar ke mana‐mana. Sesudah abad ketiga kelihatannya bahasa Latin menjadi bahasa yang cukup penting, terutama disebabkan karena pemerintahan Roma telah berlangsung cukup lama. Pada saat itu menurut Agustinus, hampir setiap orang yang tahu dua bahasa, yaitu Yunani dan Latin, berusaha menerjemahkan kitab‐kitab Perjanjian Baru walaupun tidak lengkap. Itulah sebabnya kini terdapat sekitar 8,000 naskah kuno kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Latin. Secara resmi pada tahun 382, Paus Damasus menunjuk Jerome untuk menerjemahkan atau sebenarnya mengedit terjemahan‐ terjemahan tidak resmi terhadap empat Injil. Hasil revisi yang dikerjakan oleh Jerome itu itu kemudian dikenal dengan 'Vulgate' dalam bahasa Latin itu berarti "umum", mungkin maksudnya dipakai untuk umum. Versi 'Vulgate' dipakai secara resmi oleh gereja Katolik ratusan bahkan ribuan tahun. Buku tertua dalam cetakan ialah buku dalam tulisan Tionghoa 'Diamond Sutra', yang dicetak pada tahun 868 dengan alat cetak kayu. Pada abad ke‐11, orang Tionghoa meningkatkan penciptaan alat cetak bergerak dengan tanah liat. Namun apa yang telah dicapai di China tidak ada hubungannya dengan penemuan alat cetak di Eropa. Menurut The New Book of Knowledge, Volume XV, Johannes Gutenberg adalah orang pertama yang menemukan alat cetak pada tahun 1440 di benua Eropa. Buku pertama yang dicetak oleh percetakan Gutenberg ialah Alkitab versi Vulgate yang cakap dalam ukuran folio, yang selesai pada tahun 1456, yang terkenal dengan sebutan 'Gutenberg Bible'. Pada tahun 1502, persiapan pencetakan Alkitab bahasa Yunani dimulai di bawah pimpinan Kardinal Ximenes dari Spanyol. Kitab Perjanjian Baru dicetak dalam bahasa Latin dan Yunani, dan Perjanjian Lama dicetak paralel tiga bahasa, yaitu Latin, Ibrani dan Yunani LXX. Proyek ini dilakukan di kota Alcala yang dalam bahasa Latin disebut Complutum sehingga Alkitab itu disebut 'Complutension Polyglot'. Perjanjian Baru selesai pada tahun 1514 dan Perjanjian Lama selesai 1517, namun belum pernah beredar karena pada tahun 1520 baru diterima oleh Paus dan pada tahun 1522 baru dipublikasikan. Sementara itu pada tahun 1515 seorang ahli bahasa yang bernama Desiderius Erasmus berusaha mengedit kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani dengan mendasarkannya pada lima 'manuscript' tradisional yang tersimpan di Basel dan menerbitkannya pada bulan Maret tahun 1516. Dengan demikian maka kitab Perjanjian Baru bahasa Yunani yang pertama dicetak adalah 'Complutension Polygot' sedangkan yang pertama terbit dan beredar di masyarakat adalah edisi Desiderius Erasmus. Tidak dapat dipungkiri bahwa kitab Perjanjian Baru ini telah memungkinkan Martin Luther menyadari kesalahan Gereja Katolik, demikian juga dengan Bapak‐bapak Reformasi yang lain. Sangat disayangkan karena naskah yang dimiliki oleh Erasmus itu ternyata enam ayat terakhir dari kitab Wahyu telah hilang sehingga ia menerjemahkannya sendiri dari 'Vulgate' ke bahasa Yunani. Namun kemudian setelah ia mendapatkan naskah yang memiliki enam ayat terakhir kitab Wahyu masih utuh, ia memperbaikinya pada edisi kedua. Kemudian setelah melihat 'Manuscript Codex 61' Erasmus memasukkan 1 Yohanes 5:7,8 yang di kalangan teolog disebut 'Johannen Coma'. Dan Luther menerjemahkan edisi kedua yang terbit 1519 dan yang telah disempurnakan ini ke dalam bahasa Jerman. Penyempurnaan demi penyempurnaan dilakukan setelah melihat naskah‐naskah kuno dan membanding‐bandingkannya dengan 'Polyglot' sehingga keseluruhannya Erasmus menerbitkan lima edisi. Dalam tiap perbaikan itu tidak ada penambahan atau pengurangan firman Tuhan, melainkan memeriksa hasil karyanya dan membandingkannya dengan naskah‐naskah yang jumlahnya sekitar tiga ribu naskah kuno. Rupanya menurut Robert Estienne, (yang lebih dikenal dengan Stephanus), hasil karya Erasmus masih perlu diperbagus lagi. Ia menerbitkan empat edisi berturut‐turut tahun 1546, 1549, 1550, 1551, yang tiap edisinya terdapat perbaikan‐perbaikan yang tidak terlalu berarti, seperti penambahan judul perikop dan lain‐lain. Edisi ketiga (1550) dari Stephanus ini dikenal dengan sebutan 'Royal Edition (Edition Regia)'. Edisi keempat terbit tahun 1551 dengan dilengkapi pasal dan ayat sebagaimana yang dipakai oleh umat Kristen hari ini. Umat Kristen patut berterima kasih kepada Stephanus yang telah menolong mereka agar lebih gampang mencari bagian firman Tuhan yang diinginkan. Bayangkan jika tidak ada pasal dan ayat, pasti mereka (umat Kristen dan pembaca lainnya) akan mengalami banyak kesulitan. Mungkin Anda dapat melengkapi kajian kita bersama tentang pembagian ayat‐ayat Al~Qur'an, siapakah nama mereka yang terlibat dalam pembagian ayat‐ayat ini, karena umat Islam pun patut berterima kasih kepada mereka yang berjasa ini.
Theodore Beza, seorang yang tersohor di kalangan Protestan, juga menerbitkan kitab Perjanjian Baru bahasa asli dalam ukuran folio dengan memakai teks Stephanus sebagai dasar. Ketenaran Theodore Beza turut mempopulerkan teks Erasmus dan Stephanus yang dipakainya sebagai dasar sehingga kalangan reformasi memakai teks mereka sedangkan kalangan Katolik memakai 'Polyglot'. Keluarga Elzevir, pemilik penerbit berbagai buku klasik, ikut meramaikan penerbitan kitab Perjanjian Baru bahasa asli yang sangat digemari masyarakat yang baru mengalami reformasi itu. Pada edisi kedua terbitannya tercantum tulisan, "Kini Anda memiliki teks yang telah diterima oleh semua kalangan, yang di dalamnya tidak ada penambahan maupun kesalahan." Akhirnya ungkapan 'received text' atau 'textum receptum' yang biasa disingkat dengan TR, menjadi nama dari teks yang pertama diedit oleh Desiderius Erasmus, diperlengkapi dan diperindah oleh Stephanus, dipromosikan Theodore Beza dan keluarga Elzevir, diberikan kepada teks yang diterima dan dipakai di kalangan umat Kristen. Teks ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk ke dalam bahasa Inggris, 'King James Version', yang diterjemahkan pada tahun 1611 atas perintah raja Inggris yang bernama James dan dikerjakan oleh lebih dari lima puluh ahli bahasa. Teks yang mereka pakai sebagai dasar ialah Teks Stephanus edisi ketiga dan empat dan edisi Beza terbitan tahun 1598. Masyarakat, terutama umat Kristen, sangat bersukacita atas tersedianya kitab suci dalam bentuk cetakan bahkan dalam bahasa mereka yang dapat mereka miliki secara pribadi dengan harga yang relatif lebih murah dari sebelumnya. Menurut The New Book of Knowledge volume XV, sebelumnya harga sebuah Alkitab tulisan tangan yang rapi itu sama dengan harga sebuah gedung berlantai dua di dekat 'London Bridge'. Sungguh amat disayangkan mereka yang tidak menghargai firman Tuhan yang ada di tangannya hari ini. 'Textum Receptum' (TR) dipakai oleh orang‐orang Kristen di seluruh dunia, dan diterjemahkan ke berbagai bahasa oleh misionari modern yang dipelopori oleh misionari Baptis, William Carey, ke India dan akhirnya banyak misionari ke seluruh penjuru dunia. Selama ± 380 tahun tidak ditemukan cara untuk menghalangi tersebarnya firman Tuhan ke seluruh dunia walaupun dilakukan juga serangan kecil‐kecilan yang tidak membawa efek terhadap TR. Karl Lachmann dari Jerman tercatat adalah orang pertama yang menerbitkan edisi Perjanjian Baru yang sifatnya menyerang TR pada tahun 1831. Setelah dua edisi teks pengritik 'Critical Texts' (CT) diterbitkannya ternyata tidak ada yang menggubrisnya. Pada tahun 1857 Samuel Prideaux Tregelles di Inggris juga menerbitkan 'Critical Text' untuk menyerang TR. Kemudian Constantin Tischendorf seorang yang menemukan naskah Codex Sinaiticus turut menerbitkan teks Perjanjian Baru yang bersifat menyerang keakuratan TR. Serangan yang kelihatannya memakan banyak korban adalah yang dilakukan melalui dua orang, yaitu Brooke Fos Westcott, seorang Bishop gereja Anglikan, dan Fenton John Anthony Hort, seorang dosen dari Cambridge University. Untuk mempersingkat nama mereka, biasanya hanya ditulis WH. Mereka menerbitkan 'Critical Text' (CT) untuk menyerang 'Textum Receptum' (TR) pada tahun 1881. Mereka mendasarkan edisi yang mereka terbitkan pada naskah yang diberi nama 'aleph' yang ditemukan di Sinai yang juga disebut 'Sinaiticus' dan naskah yang diberi nama B yang kata mereka tersimpan di perpustakaan Vatikan. Menurut Dr. D.A. Waite dalam bukunya 'Defending the King James Bible', antara CT hasil WH dengan TR yang sudah dipakai lebih dari tiga ratus tahun terdapat 5,604 perbedaan yang terdiri dari 1,952 penghilangan (35%), 467 penambahan (8%), dan 3,185 perubahan (57%). Dengan perubahanyang besar‐besar an ini kelihatannya serangan terhadap firman Tuhan semakin serius dan intensif. Gelombang pertama yang tumbang berjatuhan adalah teolog‐ teolog Liberal di Jerman. Keraguan mereka terhadap firman Tuhan mulai muncul bahkan akhirnya mereka melihat Alkitab hanya sekedar buku sejarah. Sementara teolog Jerman tumbang, kemudian angin pukulan CT melanda Eropa sehingga muncul berbagai kritik terhadap Alkitab (buku yang telah berjasa mengubah orang Eropa menjadi manusia bermoral). Akhirnya angina serangan terhadap Alkitab itu sampai juga ke Amerika. Bersama dengan itu muncul berbagai Alkitab bahasa Inggris terjemahan modern yang didasarkan pada teks CT, antara lain: English Revised Version (1881), American Standard Version (1901), New American Standard Version (1960), New English Version (1961), New International Version (1969). Bagaimana dengan Alkitab bahasa Indonesia? Dulu Alkitab bahasa Indonesia diterjemahkan dari TR. Kelihatannya Alkitab Terjemahan Baru sedikit terpengaruh oleh CT dari WH. Banyak pembaca tidak menyadari maksud di balik
banyak ayat dalam Alkitab Terjemahan Baru yang diberi tanda kurung, contoh [...]. Sebagian dosen sekolah teologia di Indonesia yang sudah terhembus angin Liberalisme mengatakan kepada murid‐murid mereka bahwa ayat itu tidak ada dalam Alkitab bahasa aslinya. Penjelasan demikian tentu akan mengundang banyak pertanyaan susulan, yaitu siapa yang menambahkan dan mengapa ditambahkan? Ternyata Lembaga Alkitab Indonesia memberi tanda kurung pada ayat‐ayat yang ada dalam teks TR namun tidak ada dalam teks CT. Tindakan demikian masih baik daripada menghilangkan ayat itu sama sekali. Namun sebenarnya lebih baik tidak perlu diberi kurung karena itu adalah firman Tuhan. Westcott adalah seorang Bishop gereja Anglikan, gereja yang Doktrin Gereja ('ecclesiology')nya hampir sama dengan Gereja Roma Katolik. Perbedaannya hanya Gereja Roma Katolik berpusat di Roma sedangkan gereja Anglikan berpusat di London. Dan Gereja Roma Katolik dikepalai Paus sedangkan gereja Anglikan dikepalai Raja atau Ratu Inggris. Sedangkan Hort adalah seorang dosen Universitas Cambridge. Dr. D.A. Waite yang meneliti buku‐ buku yang ditulis mereka menyimpulkan bahwa sesungguhnya mereka bukan seorang yang telah "lahir baru". Istilah "lahir baru" ini dipergunakan oleh umat Kristen untuk menyatakan "bertobat". Dr. D.A. Waite tersebut menulis, "In this study, I quote from their writings extensively and show from five of their books that they are apostates, liberals, and unbelievers." Selain Westcott dan Hort, siapa lagi di balik CT yang makin hari makin dominan itu? Critical Text yang hari ini banyak dipakai di Sekolah Theologi adalah edisi ke‐26 yang disebut Nestle/Aland Greek New Testament, 26th edition. Eberhard Nestle dan Kurt Aland, kedua‐duanya orang Jerman yang membentuk sebuah komisi yang terdiri dari Kurt Aland sendiri, Matthew Black seorang yang imannya diragukan, Carlo M. Martini seorang Kardinal Gereja Katolik, Bruce Metzger dari Princeton, universitas yang sangat liberal, dan Alan Wigren dari Chicago. Mereka inilah yang mengatakan bahwa Rasul Matius salah tulis karena tidak melihat catatan di Bait Allah sehingga yang seharusnya Asa namun ditulis Asaf, demi untuk membela konsep mereka bahwa naskah kuno yang mereka pakai adalah yang terbaik, yang tidak terjamah oleh tangan‐tangan jahil. Sebaliknya orang‐orang yang mengedit Textum Receptum adalah orang‐orang mengasihi Tuhan, menurut umat Kristen. Desiderius Erasmus, yang sering dikritik karena humanis, adalah humanis abad pertengahan yang berusaha melepaskan diri dari kungkungan universalisme gereja Roma. Ia bukan humanis masa kini yang filosofinya berpusatkan pada manusia dan mengagungkan manusia. Sedangkan Stephanus adalah orang Protestan, orang yang rela mengorbankan nyawa demi membela kebenaran. Apalagi Theodore Beza, teman dekat John Calvin, adalah tokoh reformasi yang sangat terhormat. Edisi Stephanus dan Beza‐lah yang secara umum diterima oleh orang‐orang Kristen yang baru mendapat kebangunan rohani melalui gerakan reformasi. Edisi keempat Stephanus tahun 1551 yang telah dilengkapi pasal dan ayat telah menjadi berkat bagi jutaan orang, terlebih setelah dijadikan dasar untuk penerjemahan ke berbagai bahasa termasuk King James Version. Baik Erasmus, Stephanus, maupun Beza, mereka berusaha mewujudkan kitab Perjanjian Baru bahasa asli hanya agar orang‐orang Kristen memiliki firman Tuhan di tangan mereka yang praktis, agar mereka dapat mempelajari dan memberitakannya. Mereka tidak memikirkan masalah hak cipta dan lain sebagainya. Hasil karya mereka menyebabkan banyak orang melihat terang Tuhan. Masyarakat Eropa berubah total setelah reformasi dan tersedianya Alkitab dalam cetakan telah memungkinkan mereka membaca dan mempelajarinya. Tingkat moral masyarakat menjadi semakin tinggi demikian juga dengan tingkat kepatuhan mereka terhadap hukum. Setiap kali orang menyebut firman Tuhan, tentu yang dimaksud adalah Textum Receptum atau terjemahannya pada masing‐ masing bahasa. Namun setelah Westcott dan Hort menerbitkan edisi mereka, kebingungan mulai melanda, pertama‐tama di kalangan intelektual, karena mereka terpaksa harus memilih teks mana yang harus mereka jadikan patokan, dan akhirnya juga melanda seluruh kekristenan. Di Indonesia hal ini tidak terasa karena umat Kristen hanya memiliki satu versi Alkitab yaitu terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. Tetapi bagi masyarakat yang berbahasa Inggris, dengan tersedianya berbagai versi Alkitab, maka agak kerepotan juga. Pukulan yang paling menyakitkan ialah tertawaan dari pihak luar, misalnya pihak Islam, yang mengatakan bahwa Injil asli orang Kristen sudah tidak ada, yang ada sekarang adalah yang palsu. Adanya kesalahan pada teks Westcott dan Hort biasanya mereka jadikan bukti untuk statemen mereka. Mereka dapat mengatakan, "lihat, nama silsilah saja salah catat, tidak salah toh kalau itu adalah yang palsu?" Kehadiran Critical Text telah menyebabkan perdebatan yang tidak ada habis‐habisnya. Musuh Alkitab mencatat sukses karena mereka berhasil menggoncang dasar iman orang Kristen dan meletakkan batu sandungan terhadap sebagian orang yang belum percaya. Sebagian orang yang tidak memahami masalah ini sempat tersandung karena mereka dipaksa untuk mempertanyakan aspek 'human error' dari teks bahasa asli yang ada pada saat ini. Tentu
karena mereka tidak diberi informasi bahwa usaha pengeditan yang teliti telah dilakukan oleh Erasmus, Stephanus, Beda dengan membanding‐bandingkan naskah demi naskah hingga akhirnya tidak ditemukan lagi kesalahan dan orang‐orang yang benar‐benar Kristen pun secara universal telah menerimanya. Pada saat Alkitab terjemahan tidak jelas terhadap suatu masalah atau terdapat perbedaan antara satu terjemahan dengan terjemahan yang lain, kemanakah umat Kristen akan mencari otoritas final untuk menjelaskannya? Mau tidak mau, Alkitab bahasa asli adalah otoritas final untuk menyelesaikan masalah baik yang praktis maupun yang bersifat doktrinal. Jika dunia kekristenan hanya memiliki satu versi Alkitab bahasa asli seperti keadaan abad 16, 17 dan 18, maka dengan gampang dan dengan kebulatan hati semua orang Kristen akan mengacu kepada Alkitab bahasa asli yang hanya satu itu. Kini setidaknya tersedia dua Alkitab bahasa asli yang didalamnya terdapat ± 5,604 perbedaan, maka dengan terpaksa setiap orang Kristen harus menetapkan versi manakah yang akan diakuinya sebagai Alkitab bahasa asli yang benar, atau otoritas yang final (The Final Authority). Teks yang diakui, Received Text atau Textum Receptum yang diedit pertama kali oleh Erasmus dan diperlengkapi oleh Stephanus dan Geza adalah yang telah diperiksa dan ternyata tidak ditemukan kesalahan serta telah membawa manfaat bagi penduduk Kristen dunia lebih dari tiga abad. Sedangkan Critical Text yang diedit oleh Westcott dan Hort serta diedit ulang oleh komite yang dipimpin oleh Nestle dan Aland ternyata terdapat kesalahan yang sangat konyol, yaitu Asa ditulis dengan Asaf. Masih ada banyak kesalahan lain lagi yang mereka akui, namun pada umumnya kesalahan itu mereka lemparkan kepada sang penulis untuk membangun asumsi bahwa penulis Alkitab tidak diilhami, atau bahwa Alkitab itu bukan buku istimewa melainkan sama seperti catatan sejarah lain. Untuk membangun doktrin yang benar, umat Kristen membutuhkan dasar yang benar. Doktrin alkitabiah adalah doktrin yang didasarkan "hanya" pada Alkitab saja. Lalu kalau diperhadapkan dua versi Alkitab bahasa asli, yang manakah yang akan mereka pilih? Kini banyak theolog telah kemasukan angin liberalisme, demikian juga sekolah‐ sekolah theologia. Masalah Alkitab bahasa asli bisa menjadi salah satu faktor untuk mengenal aliran sebuah sekolah theologia. Rata‐rata sekolah theology aliran liberal lebih senang memakai Critical Text karena ketika dosen di sekolah tersebut belajar ke luar negeri, ia sudah terlanjur masuk ke sekolah liberal dan yang memakai Critical Text. Namun sekolah theologia aliran fundamental tetap bertahan pada Received Text atau Textum Receptum yang tidak ada kesalahan dan telah mendatangkan manfaat bagi umat Kristen. ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ Sumber: Doktrin Alkitab Alkitabiah, Dr. Suhendra Liauw, Graphe: Jakarta (c) 1997