mentee
If You Were There, Beware A. R. Wibowo
Beberapa tempo yang lalu, saya sempat menonton debat yang disiarkan di salah satu stasiun televisi nasional TvO*e. Debat tersebut membahas tentang kematian seorang anak yang dibunuh orang tua angkatnya. Dalam debat tersebut, salah seorang seniman bernama Ratna Sarumpaet memberikan komentar terkait penyebab kematian Angeline. Berikut adalah verbatim1 dari ungkapan Ratna Sarumpaet (Sarumpaet, 2015): “Angeline tidak menjadi seperti ini kalau dia tidak miskin// Angeline tidak akan mengalami nasib seburuk ini kalau dia tidak miskin// Dia tidak akan mungkin lepas dari ibu kandungnya, kalau dia tidak miskin// Dia tidak akan terlantar/ terlunta-lunta di rumah yang kesepian/ sendirian// Lalu kita temukan dalam keadaan remuk// Karena dia miskin!” Setelah itu, Ratna Sarumpaet membahas tentang kemiskinan yang terjadi di negara Indonesia dan menuntut Presiden Jokowi untuk berhenti membuat kebijakan-kebijakan yang membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin. Ratna Sarumpaet juga berkata bahwa salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kasus ini adalah pembuatan kebijakan oleh Kementrian Sosial untuk memberantas kemiskinan. Tidak berhenti di situ, Ratna Sarumpaet juga berkalikali mengungkapkan rasa kecewanya terhadap Presiden Jokowi karena tidak pernah memperhatikan masyarakat miskin. Apa yang terjadi pada Angeline sudah tidak dapat kita ubah lagi. Gadis belia itu pada kenyataannya sudah meninggal dunia, namun ada beberapa hal penting yang dapat kita lakukan sebagai bangsa Indonesia: memberantas kemiskinan! Sehingga apa yang telah terjadi pada Angeline tidak akan terjadi pada anak Indonesia yang lain. Betapa menggebu-gebu Ratna Sarumpaet menyampaikan pernyataan tersebut di hadapan orang-orang lainnya. Riuh tepuk tangan peserta terdengar setelah beliau menutup pidatonya. Setelah saya mencoba mencerna pernyataan Ratna Sarumpaet, saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri… Apa hubungannya kebijakan ekonomi dengan kasus pembunuhan yang terjadi pada Angeline? Miskinlah yang membuat orang tua Angeline harus melepas putrinya ke tangan orang yang tidak mereka ketahui “siapa”. Miskin lah yang membuat Angeline harus tumuh sendirian di lingkungan yang keras, yang tampaknya tidak memahami arti kata miskin selain untuk dimanipulasi dan dihinakan. Kemiskinan Angeline itulah yang luput dari pembahasan/pengamatan media, yang membuat kecaman publik luput dari kesadaran bahwa “pembunuh Angeline sesungguhnya, adalah kemiskinannya” dan yang bertanggungjawab atas kemiskinannya adalah seluruh penyelenggara Negara (Presiden/Pemerintah, DPR/MPR, Lembaga-lembaga Penegak Hukum) (Sarumpaet, 2015)
1
Verbatim: kata demi kata, di sini saya menuliskan kata demi kata yang diutarakan oleh Ibu Ratna ke dalam bentuk tulisan Garis miring satu kali anggap saja koma, sedangkan garis miring dua kali anggap saja titik. Saya iseng aja pengen nulis kata-kata Ibu Ratna dengan format penulisan sajak. Hehehe. 2
© Tim Ad Hoc Materi KAMABA F. Psikologi UI 2015
Dari pernyataan-pernyataan Ratna Sarumpaet, saya mencoba untuk membuat chain of logic: Premis 1: Angeline dibunuh oleh orang tua yang mengadopsinya Premis 2: Angeline diadopsi karena orang tua kandungnya miskin Premis 3: Kedua orang tua Angeline miskin karena sistem ekonomi yang membuat masyarakat menjadi miskin Premis 4: Sistem ekonomi yang membuat masyarakat miskin merupakan tanggung jawab seluruh penyelenggara negara Kesimpulan: Kematian Angeline merupakan kesalahan penyelenggara negara Berdasarkan chain of logic tersebut, kita dapat melihat betapa masuk akalnya argumen tersebut, namun di saat yang bersamaan kita juga kepikiran “hubungannya emang apa yak??? Kok kayaknya jauh banget deh ” Selain itu, saya juga cukup bingung terhadap sentimen Ibu Ratna terhadap pemerintahan Jokowi. Kedua orang tua Angeline menyerahkan anaknya kepada orang asuhnya delapan tahun lalu. Lantas, mengapa harus Presiden Jokowi yang disalahkan? Argumenargumen yang terkesan cakep, bisa aja ngawur kalau misalnya kita pikirin bener-bener. Kesalahan proses berpikir inilah yang kita sebut dengan sesat pikir. !!!HATI-HATI: SESAT PIKIR DAPAT TERJADI KAPANPUN DAN DIMANAPUN. TETAPLAH KRITIS DENGAN INFORMASI YANG ANDA TERIMA DARI MANAPUN. TERMASUK INFORMASI YANG ANDA TERIMA DARI MODUL MENTEE INI!!! Apa itu sesat pikir? Sesat pikir atau logical fallacy merupakan argumen yang mengandung kesalahan dalam proses penalarannya (Bassham, Irwin, Nardone, & Wallace, 2011). Sebelum membahas lebih jauh mengenai sesat pikir, perlu kita ketahui terlebih dahulu pemahaman dari argumen itu sendiri. Argumen merupakan serangkaian premis yang mengarah pada kesimpulan-kesimpulan tertentu (Johnson, 2000). Sedangkan premis merupakan sebuah pernyataan yang menunjukkan bahwa suatu klaim benar dan dapat diterima (Adrian, 2000). Kesimpulan merupakan hasil pemikiran dari serangkaian premis yang telah dijabarkan. Berikut adalah contoh argumen: Premis 1: Semua mahasiswa Universitas Indonesia memiliki KTM Premis 2: Ifan memiliki KTM Kesimpulan: Ifan merupakan mahasiswa Universitas Indonesia. Berikut juga contoh argumen: Premis 1: Semua orang yang menyebalkan bernafas Premis 2: Socrates bernafas Kesimpulan: Socrates adalah orang yang menyebalkan Apakah kesimpulannya benar? Kalau benar kenapa? Kalau salah kenapa? PR buat kalian pikirin di rumah/kosan/asrama!!!
!
Sesat pikir dapat menyebabkan facepalm, double facepalm, epic facepalm, cengiran miris dari lawan bicara yang lebih jagok mikir, kernyitan dahi yang ditampilkan oleh orang yang sedang berdiskusi dengan kita, ekspresi terkejut, sedih, senang, jijik, marah, atau kombinasi dari semua yang telah disebutkan (silakan bayangin sendiri).
© Tim Ad Hoc Materi KAMABA F. Psikologi UI 2015
Nah, dalam mentoring kali ini, mentee akan melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sesat pikir. Sebelumnya, berikut adalah daftar dari beberapa sesat pikir yang paling sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, tentunya berikut dengan tips and tricks untuk mengatasi dan mengantisipasinya: Daftar logical fallacy yang nista dan menjijikan:
#1: slippery slope “If A happens, Z will happen too. Therefore, A shouldn’t happen.”
#2: appeal to ignorance “Just because you CAN NOT prove it doesn’t exist, doesn’t mean it does.”
#3: straw man “Misinterpreting someone’s argument to make it easier to refute.”
#4: red herring “Cleverly missing the point to draw attention away from the argument.”
#1: SLIPPERY SLOPE “People who jump to conclusions rarely alight on them.” - Philip Guedalla Slippery slope (atau biasa juga dikenal dengan absurd extrapolation, thin edge of the wedge, camel's nose, domino fallacy), merupakan kesalahan berpikir yang dihasilkan melalui beberapa premis berantai. Pada umumnya, slippery slope ini terjadi ketika seseorang mencoba menjelaskan sebuah proses sebab-akibat yang dampaknya sangat besar dan membutuhkan penjelasan-penjelasan tambahan untuk menyimpulkan sebab-akibat itu (Bassham, Irwin, Nordom, & Wallace, 2011). Salah satu contohnya adalah komentar mantan Senator Santorum terhadap hukum Lawrence v. Texas3 yang menyatakan apabila pemerintah memperbolehkan masyarakat untuk menikah dengan sesama jenis, pemerintah juga akan memperbolehkan masyarakat untuk terlibat dalam bigami4, poligami, menikah dengan orang tuanya, berselingkuh, bahkan berhubungan seks dengan binatang (Sean, 2003). Slippery slope juga merupakan sesat pikir yang sangat umum terjadi ketika membantah penggunaan rokok dan minuman beralkohol, dengan argumen bahwa sekadar mabuk, atau ngerokok sekali saja (bahkan icip-icip karena penasaran) bisa menyebabkan adiksi berat, bahkan bisa ngerusak kehidupan kita, dan hal tersebut tak terelakkan/gak bisa dihindari. Gak cuma itu kok, slippery slope juga bisa terjadi ketika membantah pelarangan penggunaan rokok dan minuman beralkohol dengan argumen bahwa kalau misalnya kita melarang orang ngerokok, maka orang-orang akan konsumsi obat-obatan ringan (soft drugs, bukan medicine) dan kemudian akan berpindah ke obat-obatan keras, dan tingkat kriminalitas akan semakin meningkat. Oleh sebab itu, kita harus menanggulangi kriminalitas dengan cara memperbolehkan merokok. Pola slippery slope ini dikhawatirkan akan menghasilkan kesimpulan yang susah diterima karena aneh, totot (tolol total), gak masuk akal, walaupun tidak jarang kesimpulan yang dihasilkan benar ATAU bisa juga menghasilkan kesimpulan yang bisa diterima karena masuk akal, walaupun proses berpikir yang dilakukan untuk mencapai kesimpulan tersebut masih kurang tepat. Pola penyimpulan slippery slope: 1. Biasanya, mereka akan memberikan klaim bahwa sesuatu hal (A) akan berakibat ke hal lain (B), yang akan berakibat ke hal lainnya (C), yang berakibat lagi ke hal lain lagi (D), dan seterusnya. 2. Mereka akan bersikukuh kalau misalnya hal D merupakan hal yang dapat memberikan dampak buruk dalam kehidupan kita, sehingga harus dihindari.
3 4
Hukum di Amerika Serikat yang melegalkan pernikahan sesama jenis (kelamin) Menikah dengan perempuan dan laki-laki © Tim Ad Hoc Materi KAMABA F. Psikologi UI 2015
Faktanya, tidak terdapat alasan valid yang bisa membuktikan bila A akan mengakibatkan D. Kenapa? Ya karena kita gak membuka kemungkinan terhadap hal-hal lain yang bisa menjelaskan kenapa A berakibat ke B, B ke C, C ke D, dan seterusnya. Kita buru-buru menyimpulkan kalau misalnya kita harus menghindari melakukan A, karena bisa berdampak ke D. Masalahnya, kita bisa aja melakukan hal A dan berhenti di situ, atau kita bisa aja melakukan hal A yang berakibat ke B, dan berhenti di situ. Sehingga, penyimpulan bahwa A mengakibatkan D merupakan penyimpulan yang kurang tepat. Berikut adalah beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk terhindar dari slippery slope (Hurley, 2000): 1. Cek lagi premis-premis yang kita gunakan untuk membangun argumen kita. 2. Bukalah segala kemungkinan. Ketika kita belajar Ilmu Psikologi, kita akan sadar kalau misalnya satu tingkah laku bisa disebabkan oleh banyak hal, dan satu tingkah laku bisa menyebabkan banyak hal. 3. Make sure these chains of premises are plausible and reasonable. Jelasin lagi kenapa A menyebabkan B, bukan menyebabkan B1, B2, dan B3, dan seterusnya. #2: APPEAL TO IGNORANCE “Absence of evidence is not evidence of absence.” - Carl Sagan (Carl Sagan jagok) Ketika kita berdiskusi dan kita tidak memiliki bukti-bukti yang cukup dalam mendukung argumen kita, ada baiknya kalau kita menangguhkan/menunda kesimpulan kitaa terhadap isu tersebut. Ketika kita kekurangan bukti dan hal tersebut kita jadikan argumen kita untuk mengklaim bahwa sesuatu itu benar/salah, maka kita telah melakukan sesat pikir appeal to ignorance (Bassham, Irwin, Nordom, & Wallace, 2011). Biasanya, sesat pikir appeal to ignorance terjadi ketika: 1. Seseorang mengklaim bahwa suatu hal disebut benar, dengan alasan bahwa tidak ada yang membuktikan suatu hal tersebut salah. 2. Seseorang mengklaim bahwa sesuatu itu salah, karena tidak ada yang pernah membuktikan bahwa hal tersebut benar. Beberapa contoh dari appeal to ignorance: - Alien hidup di luar angkasa sana, karena gak ada yang bisa ngebuktiin kalau alien gak hidup di luar angkasa. - Alien tidak hidup di luar angkasa sana, karena gak ada yang bisa ngebuktiin kalau alien hidup di luar angkasa. - Bertrand Russell berkata bahwa pada saat ini, sebuah teko (teapot) sedang berada pada orbit matahari dan terletak di antara Mars dan Bumi (Russel, 1952). Gak ada yang membuktikan bahwa teko itu gak ada, maka argumen Russell adalah argumen yang valid. Istilah Russell’s teapot merupakan istilah yang populer digunakan para filsuf untuk menjelaskan analogi Bertrand Russell yang membahas tentang appeal to ignorance (Lowe, 2010). Contoh-contoh di atas memiliki pola kesalahan yang sama, dimana kesimpulan tersebut dihasilkan tanpa adanya bukti kuat yang mendukung (atau menolak) klaim tersebut dan membuktikan bahwa kesimpulan yang dibuat benar (atau salah). Nah, dengan gitu, harusnya kita bisa “membuktikan” semua argumen menjadi sebuah kesimpulan. Contoh appeal to ignorance lainnya: - Saya bisa bilang kalau misalnya jam 09.00 WIB ada nenek-nenek yang mengenakan gaun mini dengan motif polkadot sedang berada di ruang tunggu RS Bunda Margonda. Gak ada yang membuktikan apabila neneknenek yang mengenakan gaun mini bermotif polkadot tidak sedang berada di ruang tunggu rumah sakit Bunda Margonda. Oleh sebab itu, bisa disimpulkan bahwa nenek-nenek tersebut sedang berada di ruang tunggu rumah sakit Bunda Margonda. - Tidak ada yang bisa membuktikan 3650 tahun sebelum masehi tidak terdapat sebuah kapal besar yang ditenggelamkan oleh banjir bandang. Oleh sebab itu, kita dapat menyimpulkan bahwa kapal tersebut pernah ada. Apakah setiap penyimpulan dengan bukti yang tidak cukup dapat menjadi bukti bahwa kesimpulan tersebut benar/salah? Dalam beberapa kasus, ya. Ada dua pengecualian yang dapat kita lakukan terkait sesat pikir appeal to ignorance ini.
© Tim Ad Hoc Materi KAMABA F. Psikologi UI 2015
Yang pertama, terkadang beberapa fakta emang gak harus memerlukan bukti untuk menyimpulkan keberadaan/ketidakberadaaannya. Karena memang mereka sudah usaha untuk nyari buktinya, tapi gak/belum nemu-nemu juga. Contohnya: Polisi telah melakukan pencarian barang bukti pembunuhan di dalam rumah tersangka, dan tidak ada jejak barang bukti yang terdeteksi. Oleh sebab itu, mungkin barang bukti tersebut tidak berada di dalam rumah tersangka. Setelah bertahun-tahun dilakukan penelitian, tidak ditemukan bukti bahwa AIDS tidak menular melalui udara. Karena itulah, masuk akal apabila kita menarik kesimpulan bahwa AIDS tidak akan menular melalui udara. PERLU DIINGAT!!! pengecualian nomor satu ini bisa terjadi jika dan hanya jika: 1. Didukung oleh penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Ada kemungkinan bahwa penelitian/pencarian tersebut bisa dilakukan lagi, kalau memang benar ada sesuatu yang bisa ditemukan dalam penelitian tersebut. (Contohnya: siapa tau di masa yang akan datang, virus AIDS bisa menular melalui udara) Pengecualian yang kedua, ketika kita menemui kasus yang terkait dengan sebuah peraturan “praduga tak bersalah”. Ini contohnya: Dalam sistem hukum di Indonesia, seorang tersangka akan dinyatakan bersalah secara hukum hanya jika kesalahannya dapat dibuktikan dan sangsi dari pihak-pihak lain dapat dibantah. Klien pengacara Rizal tanpa diragukan telah terbukti tidak bersalah. Oleh sebab itu, klien Rizal tidak bersalah secara hukum. Dalam kasus di atas, dapat terlihat bahwa klaim tersebut terikat dengan peraturan hukum, yakni “praduga tak bersalah”, maka kesimpulan tersebut bukanlah sebuah sesat pikir. #3: STRAW MAN FALLACY “ A great many people think that they are thinking when they are merely rearranging their prejudices.” - Willam James Straw man fallacy merupakan kesalahan berpikir logis yang terjadi ketika pendebat membelokkan argumen/klaim lawannya untuk membuat argumen/klaim lawan menjadi lebih mudah untuk diserang (Bassham, Irwin, Nardone, & Wallace, 2011). Selain itu, straw man fallacy ini juga terjadi ketika seseorang (entah dengan atau tanpa sengaja) salah menginterpretasikan argumen lawan diskusi, lalu menyerangnya seakan-akan itulah pandangan/argumen lawan diskusi. Contohnya: Dini: “Film favorit kamu apa, Sa?” Sasa: “Aku sukanya film-film misteri.” Dini: “Ooo… Kalau film-film aksi gitu gimana?” Sasa: “Wah, kurang suka aku. Lebih suka film misteri, sih. Soalnya film-film aksi kerapkali plot-nya gak membuat aku tertarik, bahkan kadang nggak ada plot-nya sama sekali.” Dini: “Jadi, menurut kamu film aksi itu jelek?” Sasa: “Ummm… Enggak. Cuma menurutku film-film aksi itu kurang cocok buat aku yang lebih suka ceritacerita dengan konflik, bukan hanya untuk rekreasi mata dan adrenalin semata, tapi juga buat mikir.” Dini: “Jadi menurutmu orang-orang yang nonton film aksi adalah orang yang bodoh? Gak bisa gitu dong, itu namanya generalisasi! Kan gak semua orang yang nonton film aksi adalah orang yang bodoh!” Nah, dalam hal ini Dini salah menginterpretasikan pandangan Sasa terkait film aksi. Sasa tidak pernah mengatakan bahwa film aksi adalah film yang jelek, hanya karena film misteri lebih dia sukai dibandingkan dengan film misteri. Sasa juga tidak pernah bilang kalau misalnya orang-orang yang nonton film aksi adalah orang yang bodoh, namun Dini salah menginterpretasikan kalimat Sasa. Padahal, apa yang dikatakan Sasa hanyalah pendapat dia terkait film-film yang © Tim Ad Hoc Materi KAMABA F. Psikologi UI 2015
biasa dia tonton. Sasa tidak pernah memberikan klaim bahwa film aksi adalah film yang jelek, dan orang-orang yang menonton film aksi adalah orang yang bodoh. Selanjutnya, kalimat Sasa yang disalahartikan “diserang” oleh Dini (lihat kalimat terakhir yang Dini bilang). Pola dalam sesat pikir straw man fallacy: 1. Si A punya argumen X 2. Si B menyampaikan argumen Y (yang sebenarnya merupakan argumen X yang salah diinterpretasi) 3. Si B menyerang argumen Y 4. Oleh sebab itu, X salah. Argumen yang salah diinterpretasi inilah yang menggambarkan strawman. Orang-orangan. Tapi bukan orang beneran. Mirip kayak orang. Dikira orang oleh yang ngeliatnya.
A menyampaikan argumen X
X salah dinterpretasikan sebagai Y
B menyerang argumen Y
B
Argumen Y
A dengan argumen X
Sesat pikir ini biasanya terjadi karena kita kurang cermat membaca dan memahami maksud lawan diskusi ATAU kita terlalu memiliki kecenderungan untuk mencampur asumsi kita ke dalam argumen lawan diskusi. Berikut tiga tips praktis yang dapat kita lakukan untuk menghindari straw man fallacy, yaitu: 1. Jangan terburu-buru membuat kesimpulan mengenai posisi lawan diskusi sebelum kita membaca dan memahami argumen-argumennya secara cermat. 2. Bila ada hal-hal yang tidak jelas dalam tulisan seseorang atau dalam komentar lawan diskusi, kita perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan klarifikasi. Pertanyaan klarifikasi itu sangat penting untuk mendapat kejelasan dan seseorang wajib memberikan klarifikasi jika lawan diskusi memintanya. 3. Mendengar aktif/active listening #4: RED HERRING FALLACY “Fear not those who argue, but those who dodge.” - Marie von Ebner-Eshenbach. Red herring fallacy merupakan sesat pikir yang terjadi ketika seseorang mencoba untuk mengalihkan pembicaraan dengan cara membahas isu yang tidak relevan dan kemudian mengklaim bahwa isu utama telah dialihkan ke isu tersebut (Bassham, Irwin, Nordom, & Wallace, 2011). Contohnya: Banyak orang yang berkata bahwa Karina merupakan orang yang sangat patut menjadi teladan dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) karena kontribusinya dalam melakukan penelitian mengenai robot yang dapat berfungsi menjadi pembantu rumah tangga. Namun, Karina merupakan orang yang kurang bisa bersosialisasi dengan orang lain. Sudah sangat jelas bahwa Karina bukanlah contoh yang baik bagi masyarakat. Dalam isu yang telah dipaparkan di atas, hal-hal yang dibahas adalah bahwa Karina merupakan orang yang sangat patut menjadi teladan dalam bidang STEM dan kemampuan bersosialisasi Karina yang kurang. Dengan mengalihkan isu utama (Banyak orang yang berkata bahwa Karina merupakan orang yang sangat patut menjadi teladan dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) karena kontribusinya dalam melakukan penelitian mengenai robot yang dapat berfungsi menjadi pembantu rumah tangga) ke argumen lain yang tidak berhubungan © Tim Ad Hoc Materi KAMABA F. Psikologi UI 2015
(Karina merupakan orang yang kurang bisa bersosialisasi dengan orang lain. Sudah sangat jelas bahwa Karina bukanlah contoh yang baik bagi masyarakat) dan kemudian memberikan klaim bahwa premis pertama telah dibantah oleh premis kedua, maka orang tersebut telah melakukan sesat pikir red herring fallacy. Contoh lain dalam red herring fallacy: Masyarakat desa Sukajadi mengkritik Kepala Desa mereka karena tidak pernah memberikan informasi mengenai distribusi beras miskin di daerah mereka. Akan tetapi, Kepala Desa Sukajadi merupakan salah satu kepala desa yang sangat baik, dan kebijakan kepala desa tersebut dalam membangun selokan di daerah periferal merupakan hal yang patut diberi apresiasi. Sangat jelas sekali bahwa kritik masyarakat Sukajadi merupakan kritik yang tidak memiliki dasar apapun. Berdasarkan contoh di atas, terlihat bahwa premis tentang kebaikan Kepala Desa Sukajadi digunakan untuk membantah pernyataan bahwa kritik yang diajukan oleh masyarakat Desa Sukajadi merupakan kritik yang tidak memiliki dasar. Red herring fallacy ini juga bisa terjadi ketika seseorang merespon pernyataan orang lain. Biasanya, orang tersebut akan memberikan respon yang mengalihkan topik utama dari diskusi tersebut (Bassham, Irwin, Nordom, & Wallace, 2011)., misalnya: Miki: Selingkuh merupakan hal yang jelas-jelas salah dan tidak bermoral! Kok bisa sih kamu melakukan itu tanpa melukai perasaan pasangan kamu? Ken: Eitsss.. Yang dimaksud dengan moral itu apa? Miki: Moral itu merupakan kode etik yang disepakati oleh budaya Ken: Tapi, siapa yang menciptakan kode tersebut? Dalam kasus di atas, Ken telah sukses mengalihkan pembicaraan dari kesalahan yang telah dia perbuat menjadi perbincangan filosofis mengenai moralitas. Pola dari sesat pikir red herring: 1. Si A memberikan argumen X 2. Si B memberikan argumen Y (yang tidak relevan terkait argumen X) 3. Argumen X diabaikan/dialihkan IF WE WERE THERE, THEN WHAT SHOULD WE DO??? 1. Tetap fokus terhadap apa yang kita bahas, jangan membahas hal-hal yang tidak relevan ketika mengemukakan argumen kita. 2. Perhatikan bukti-bukti dari setiap argumen yang kita sajikan kepada lawan diskusi kita. Siapa yang bilang? Buktinya apa? Dari mana sumbernya? Apakah sumber tersebut bisa dipertanggungjawabkan? (lihat lebih jelas di materi Thinking 101) 3. Elaborasi/jelaskan dengan lebih detil pernyataan/argumen kita kepada lawan bicara kita untuk menghindari kesalahan interpretasi (gunakan prinsip-prinsip dasar berpikir kritis dan S.M.A.R.T.). Sesat pikir yang dibahas dalam sesi mentoring ini merupakan segelintir sesat pikir dari sekian banyak sesat pikir yang ada. Apabila kalian ingin mengetahui lebih lanjut, himbau mereka untuk pergi ke perpustakaan dan carilah buku dengan keywords “fallacy” atau “logical thinking”. Selain itu, kita juga bisa mencari informasi melalui internet (misalnya melalui artikel, YouTube, dsb), namun ingatkan mereka lagi untuk berhati-hati dalam memilih sumber informasi dan selalu mengklarifikasi setiap pengetahuan yang kita dapatkan dari sumber apapun (that’s the point of learning isn’t it? :) Hehehe)
© Tim Ad Hoc Materi KAMABA F. Psikologi UI 2015
Referensi: Adrian, R. (2000). Dictionary of confusable words. New York, NY: Routledge Bassham, G., Irwin, W., Nardone, H., & Wallace, J. M. (2011). Critical thinking: A student’s introduction. New York, NY: McGraw-Hill. Hurley, P. J. A. (2000). Concise introduction to logic. New York, NY: Thornson Learning Johnson, R. H. (2000). Manifest rationality: a pragmatic theory of argument. New Jersey: Laurence Erlbaum Lowe, F. A. S. C. (2010). Russel’s teapot. The philosophical case against literal truth. New Jersey: Wiley Russel, B. (1952). The collected papers of Bertrand Russell (11) 547–548. Routledge: London. Sarumpaet, R. (2015). Tabloid sorot keadilan. Sean, L. (2003). Santorum under fire for comments on homosexuality.
THANK YOU SO MUCH TO: - Ichum dan Mira, PJ dan WaPJ maester yang selalu sabar ngadepin saya, si deadliner sejati - Para mentor yang saya hormati, yang gak kenal lelah ngebimbing maba - Abang Pijul, yang mau direpotin dan nemenin nongkrong buat ngerjain modul ini - Mas Ivan, yang udah ngasih feedback - Anak-anak Alchemist yang sudah bantu bikin games-games uhuy - Catatonia, yang lagu-lagunya menjadi soundtrack begadang sayah - Tempat ngeprint yang buka 24 jam. Harusnya banyak-banyak buka cabang di sekitar Margonda - Semua orang yang namanya saya pakek buat bikin modul mentee ini baik dengan/tanpa izin. He he.
© Tim Ad Hoc Materi KAMABA F. Psikologi UI 2015