IDENTIFIKASI KOMPONEN ANTIBAKTERI PADA EKSTRAK BUAH TAKOKAK (Solanum torvum Swartz) DENGAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
SKRIPSI
HILDA UTAMI ANWAR F24080027
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
IDENTIFICATION OF ANTIBACTERIAL COMPOUNDS FROM TURKEY BERRY (Solanum torvum Swartz) EXTRACTS BY THIN-LAYER CHROMATOGRAPHY Hilda Utami Anwar, Nuri Andarwulan, and Nancy Dewi Yuliana Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB DarmagaCampus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone 0857 8260 5263, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Turkey berry (Solanum torvum Swartz) is one of medicinal plants and indigenous vegetables which grows abundantly in Indonesia. It has been known to have antibacterial activity againts some pathogen bacterias, including Bacillus cereus. The aim of this study is to determine turkey berry’s metabolites that have antibacterial activity by TLC method. The dried turkey berry was extracted by eight different combinations of methanol and water. These extracts were then divided into two parts: for antibacterial activity analysis and for TLC analysis. Extract with good antibacterial activity and showed more spots in TLC was further identified by two-dimentional TLC. The Rf score of this extract was also compared with reference compounds. F1 extract which was extracted by methanol:water (1:0) showed the highest diameter of inhibition. It also had more TLC spots than other extracts. F1 extract was then chosen to be identified by two-dimentional TLC. It showed 14 sub-spots which have maximum absorption at 200-400 nm. Some sub-spots of F1 extract also showed similar Rf score with reference compounds. Based on its TLC profile, F1 extract may contain saponin, gallic acid, quercetin, myricetin, kaempferol, and apigenin. However, since TLC has limited resolution, it is possible that F1 contains other flavonoids and phenolic acids that may also responsible for its antibacterial activity.
Keywords : antibacterial, medicinal plant, TLC, turkey berry
HILDA UTAMI ANWAR. F24080027. Identifikasi Komponen Antibakteri pada Ekstrak Buah Takokak (Solanum torvum Swartz) dengan Kromatografi Lapis Tipis. Di bawah bimbingan Nuri Andarwulan dan Nancy Dewi Yuliana. 2012.
RINGKASAN
Takokak merupakan salah satu tanaman obat indigenous Indonesia yang bagian buahnya sering dikonsumsi oleh masyarakat. Buah takokak telah diketahui memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Aktivitas antibakteri dari suatu tanaman obat dapat bermanfaat sebagai pengawet alami, antibiotik alami, dan sebagai bahan baku obat (pharmaceutical). Penggunaan tanaman sebagai bahan baku obat dapat dilakukan dengan lebih baik apabila komponen aktif dari tanaman obat tersebut telah diketahui. Salah satu cara untuk mengidentifikasi komponen aktif dari suatu tanaman ialah dengan uji aktivitas dan pemisahan komponen dengan kromatografi lapis tipis. Penelitian identifikasi komponen antibakteri dari buah takokak ini dilakukan melalui lima tahapan utama, yaitu persiapan sampel, ekstraksi bertingkat, uji aktivitas antibakteri, uji profil KLT, dan analisis data serta identifikasi komponen metabolit dari ekstrak terbaik. Pada penelitian ini buah takokak yang diperoleh dari Kampung Konservasi TOGA-Ciampea terlebih dahulu dikeringkan dan dibuat menjadi tepung buah takokak. Tepung buah takokak ini kemudian diekstrak secara bertingkat dengan delapan kombinasi pelarut metanol:air (1:0 (F1); 9.5:0.5 (F2); 9:1 (F3); 8.5:1.5 (F4); 8:2 (F5); 7:3 (F6); 6:4 (F7); 5:5 (F8)) sehingga dihasilkan delapan ekstrak buah takokak. Sebanyak delapan ekstrak buah takokak ini kemudian diuji aktivitas antibakteri terhadap bakteri Bacillus cereus dengan metode difusi sumur. Ekstrak F1 hingga F5 menghasilkan diameter penghambatan pada saat pengujian berdasarkan berat basah ekstrak dan pada pengujian berdasarkan berat kering ekstrak, ekstrak F1 hingga F5 menghasilkan diameter penghambatan masing-masing sebesar 7.1 mm, 5.5 mm, 5.6 mm, 5.6 mm, dan 3.4 mm. Ekstrak F1 yang menghasilkan diameter penghambatan terbesar memiliki nilai MIC sebesar 117.44 mg/ml dari hasil pengujian lanjut menggunakan metode macrodillution broth. Sebanyak delapan ekstrak buah takokak ini juga diuji profil KLT menggunakan berbagai fase gerak sehingga diketahui bahwa ekstrak F1 memiliki jumlah bercak yang lebih besar dan banyak dibanding ekstrak lainnya. Ekstrak F1 menghasilkan bercak terbanyak pada fase gerak kloroform:etil asetat (7:3) yaitu sebanyak 10 bercak. Bercak ini berwarna kehitaman pada penyinaran UV 254 nm dan berwarna merah, jingga, ungu, dan biru ketika disinari UV 366 nm. Penampakan bercak tersebut menunjukkan bahwa ekstrak buah takokak diduga mengandung komponen fenol dan flavonoid. Analisis data dilakukan terhadap hasil uji aktivitas antibakteri dan uji profil KLT terhadap delapan ekstrak buah takokak untuk menghasilkan ekstrak terbaik. Hasil analisis data ANOVA pada uji difusi sumur menunjukkan bahwa ekstrak F1 memiliki nilai diameter penghambatan terbesar dan berbeda nyata dibanding ekstrak lainnya pada p<0.05. Ekstrak F1 juga menunjukkan profil KLT yang terbaik dengan bercak yang lebih banyak dan lebih besar dibanding ekstrak lainnya sehingga ekstrak F1 terpilih sebagai ekstrak terbaik untuk diidentifikasi. Identifikasi menggunakan uji KLT dua dimensi terhadap ekstrak F1 menghasilkan 14 fraksi yang terpisah. Pada uji sifat spektral sebanyak 14 fraksi ini menunjukkan bahwa beberapa fraksi memiliki panjang gelombang maksimum pada 200-400 nm yang menghasilkan dugaan bahwa komponen flavonoid seperti flavonol, flavon, dan flavanon serta asam fenolat dan fenol sederhana terdapat dalam ekstrak F1. Identifikasi juga dilakukan menggunakan senyawa standar yaitu saponin, asam galat, quercetin, kaempferol, myricetin, dan apigenin. Fraksi dari ekstrak F1 memiliki nilai Rf yang mirip dengan kelima senyawa standar tersebut. Pada penelitian identifikasi komponen antibakteri dari buah takokak ini dapat disimpulkan bahwa saponin, asam galat, quercetin, kaempferol, dan myricetin merupakan komponen metabolit yang diduga berperan sebagai antibakteri dari ekstrak buah takokak.
IDENTIFIKASI KOMPONEN ANTIBAKTERI PADA EKSTRAK BUAH TAKOKAK (Solanum torvum Swartz) DENGAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh HILDA UTAMI ANWAR F24080027
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi
: Identifikasi Komponen Antibakteri pada Ekstrak Buah Takokak (Solanum torvum Swartz) dengan Kromatografi Lapis Tipis
Nama
: Hilda Utami Anwar
NIM
: F24080027
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Nuri Andarwulan, M.Si NIP 19630701 198811 2 001
Dr. Nancy Dewi Yuliana, S.TP, M.Sc NIP 19700127 200501 2 001
Mengetahui, Kepala Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc NIP 19680526 199303 1 004
Tanggal ujian tugas akhir : 29 Januari 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Identifikasi Komponen Antibakteri pada Ekstrak Buah Takokak (Solanum torvum Swartz) dengan Kromatografi Lapis Tipis adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Januari 2013 Yang membuat pernyataaan,
Hilda Utami Anwar F 24080027
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
BIODATA PENULIS Hilda Utami Anwar. Penulis lahir di Bogor, 31 Juli 1990 dan merupakan anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Musahar Anwar dan Jubaedah. Pendidikan formal ditempuh penulis di RA. Assa’adah (1995-1996), SD Negeri 1 Ciawi (1996-2002), SMP Negeri 1 Ciawi (2001-2005), dan SMA Negeri 3 Bogor (2005-2008). Penulis melanjutkan pendidikan tingginya di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Sejak tahun 2008 hingga menamatkan kuliah, penulis memperoleh beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (2008 – 2009) dan beasiswa Tanoto Foundation (2009 – 2012). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai kegiatan termasuk menjadi asisten mata kuliah Sosiologi Umum dan asisten praktikum Pengantar Kimia dan Biokimia Pangan pada tahun 2010 – 2011. Penulis juga aktif di kegiatan organisasi yakni menjadi Reporter Koran Kampus pada tahun 2009, sebagai Sekretaris Divisi Internal Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan tahun 2010, dan aktif di berbagai kepanitiaan acara antara lain sebagai Divisi Sponsorship HACCP VIII Himitepa (2010), Tim Soal Food Bowl Quiz (2011), dan Ketua Buku Kenangan ITP angkatan 45 (2012). Pada tahun 2011, penulis menjadi Finalis IPB Business Competition tingkat Nasional dan Sepuluh Besar peserta DSDC-IFT tingkat Departemen. Selanjutnya pada tahun 2012, penulis mendapat peringkat 12 dalam perlombaan DSDC-IFT tingkat Internasional. Penulis juga menjadi Finalis Product Development of Natural Colorant Competition by DD Williamson pada tahun 2012. Penulis mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Identifikasi Komponen Antibakteri pada Ekstrak Buah Takokak (Solanum torvum Sw) dengan Kromatografi Lapis Tipis”.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman. Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan judul Identifikasi Komponen Antibakteri pada Ekstrak Buah Takokak (Solanum torvum Sw) dengan Kromatografi Lapis Tipis di laboratorium Kimia Pangan ITP dan laboratorium mikrobiologi Seafast Center, sejak bulan April hingga Desember 2012. Berbagai pihak telah terlibat dalam pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini. Berkaitan dengan hal tersebut penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Kedua orang tua, Hadiyansyah, Mahdaniar dan Najwa serta keluarga besar dari pihak orang tua atas do’a dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis. 2. Prof. Dr. Nuri Andarwulan, M.Sc sebagai dosen pembimbing utama yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memberikan saran dalam pelaksanaan penelitian. 3. Dr. Ir. Nancy Dewi Yuliana, S.TP, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan kepada penulis serta masukan dan saran dalam pelaksanaan penelitian ini. 4. Dias Indrasti, S.TP, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya dan memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 5. Teman-teman satu bimbingan: Elva Hasna, Harum Fadhillatunnur dan Atikah Bararah. 6. Resi Sindhu Nur Zain, Raudhatussa’adah, Hafiz Fakhrurrozy, Andika BP, Citra Ayu serta temanteman ITP 45 lainnya yang telah memberikan dukungan selama penulis melakukan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian. 7. Teman-teman satu penelitian antibakteri: Rista, Ardy, Andi Faisal serta teman-teman SNSG: Sarah, Qamariyah, Yani, dan Sam. 8. Teman sepermainan Tika Nurmalasari, M Nassa, Angga, dan Oze. 9. Teman-teman kost Harmoni 1 dan Rusunawa lantai 4. 10. Seluruh staf Laboran Departemen ITP dan Seafast Center serta PAU. 11. Semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis tetap menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi masih banyak kekurangannya namun penulis tetap berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi pangan.
Bogor, Januari 2013
Hilda Utami Anwar
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................................................ v DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................... vii I. PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG............................................................................................................ 1 B. TUJUAN ............................................................................................................................... 2 C. MANFAAT ........................................................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................................. 3 A. TAKOKAK (Solanum torvum Swartz) ................................................................................... 3 B. SENYAWA METABOLIT SEKUNDER BUAH TAKOKAK ................................................ 4 C. KOMPONEN ANTIBAKTERI ALAMI ................................................................................. 5 D. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI.......................................................................... 7 E. BAKTERI PATOGEN .......................................................................................................... 8 F. EKSTRAKSI ......................................................................................................................... 9 G. KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS ........................................................................................ 10 III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................................. 12 A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................................................... 12 B. METODE PENELITIAN ..................................................................................................... 12 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................................. 22 A. KARAKTERISTIK SAMPEL BUAH TAKOKAK .............................................................. 22 B. EKSTRAKSI BERTINGKAT BUAH TAKOKAK .............................................................. 24 C. AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK BUAH TAKOKAK............................................ 26 D. PROFIL KLT EKSTRAK BUAH TAKOKAK ..................................................................... 36 E. IDENTIFIKASI KOMPONEN ANTIBAKTERI EKSTRAK TERPILIH .............................. 42 V. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................................... 50 A. SIMPULAN......................................................................................................................... 50 B. SARAN ............................................................................................................................... 50 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 51 LAMPIRAN ................................................................................................................................... 56
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12.
Aktivitas antibakteri tanaman takokak ......................................................................... 4 Komposisi kimia buah takokak .................................................................................... 4 Hasil analisis kualitatif buah takokak ........................................................................... 5 Kelebihan dan kelemahan beberapa metode ekstraksi ................................................... 9 Kombinasi pelarut untuk ekstraksi ............................................................................. 15 Pembuatan larutan ekstrak untuk uji nilai MIC ........................................................... 18 Hasil ekstraksi bertingkat menggunakan kombinasi pelarut terpilih ............................ 25 Hasil uji difusi sumur ekstrak terpilih berdasarkan berak kering ekstrak ..................... 29 Perbandingan hasil aktivitas bakteri penelitian dan referensi....................................... 32 Hasil visualisasi fraksi ekstrak F1 dan dugaan komponen metabolit berdasarkan penampakan warna yang dihasilkan ........................................................................... 45 Hasil uji sifat spektral dan dugaan komponen metabolit berdasarkan referensi ............ 46 Hasil penentuan nilai Rf fraksi ekstrak F1 dan komponen standar serta dugaan kesesuaian nilai Rf fraksi dengan komponen standar .................................................. 48
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22. Gambar 24. Gambar 25. Gambar 26.
Tanaman takokak ........................................................................................................ 3 Struktur beberapa senyawa antibakteri dari tanaman .................................................... 7 Struktur kimia kloramfenikol ....................................................................................... 8 Bacillus cereus ............................................................................................................ 9 Ilustrasi pemisahan senyawa dengan KLT.................................................................. 10 Ilustrasi penentuan nilai Rf ........................................................................................ 11 Diagram alir tahapan penelitian ................................................................................. 12 Diagram alir tahapan pengeringan dengan metode freeze dry...................................... 13 Diagram alir ekstraksi bertingkat ............................................................................... 15 Diagram alir persiapan kultur .................................................................................... 16 Diagram alir uji aktivitas antibakteri metode difusi sumur .......................................... 17 Diagram alir penentuan nilai MIC metode macrodilution ........................................... 19 Ilustrasi pemisahan dengan KLT dua dimensi ........................................................... 20 Tepung buah takokak hasil pengeringan beku ............................................................ 23 Filtrat buah takokak dan ekstrak hasil ekstraksi bertingkat ......................................... 25 Hasil pewarnaan gram bakteri Bacillus cereus ........................................................... 26 Histogram hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak buah takokak ......................... 28 Struktur buah takokak dan biji buah takokak .............................................................. 33 Kurva penghambatan ekstrak F1 terhadap bakteri Bacillus cereus .............................. 36 Kromatogram dan visualisasi hasil pemisahan KLT ekstrak buah takokak pada fase gerak kloroform:metanol ........................................................................................... 38 Kromatogram hasil pemisahan KLT ekstrak buah takokak hasil terpilih ..................... 39 Kromatogram dan visualisasi hasil pemisahan KLT ekstrak F1 pada berbagai fase gerak .................................................................................................................. 40 Kromatogram dan visualisasi hasil pemisahan KLT dua dimensi ekstrak F1 ............... 43 Kromatogram hasil pemisahan KLT ekstrak F1 dan komponen metabolit standar ....... 47 Hasil pemisahan ekstrak F1 dan saponin standar pada fase gerak kloroform:metanol (7:3) .......................................................................................................................... 48
vi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1a. Kadar air buah takokak segar ..................................................................................... 56 Lampiran 1b. Kadar air tepung buah takokak .................................................................................. 56 Lampiran 2. Total fenol tepung buah takokak ................................................................................ 57 Lampiran 3. Contoh perhitungan total fenol tepung buah takokak .................................................. 58 Lampiran 4. Rekapitualasi nilai rendemen ekstrak hasil ekstraksi bertingkat .................................. 59 Lampiran 5. Jumlah kultur awal Bacillus cereus ............................................................................ 60 Lampiran 6. Hasil uji difusi sumur ekstrak hasil ekstraksi bertingkat.............................................. 61 Lampiran 7. Hasil uji aktivitas antibakteri metode difusi sumur pada pelarut ekstrak ...................... 62 Lampiran 8. Kadar air ekstrak terpilih ........................................................................................... 63 Lampiran 9. Lanjutan hasil kadar air ekstrak terpilih...................................................................... 64 Lampiran 10. Hasil uji difusi sumur ekstrak terpilih ........................................................................ 65 Lampiran 11. Hasil uji MIC ekstrak F1 ulangan pertama ................................................................. 66 Lampiran 12. Hasil uji MIC ekstrak F1 ulangan kedua .................................................................... 67 Lampiran 13. Hasil pengujian nilai MIC ekstrak F1 ......................................................................... 68 Lampiran 14. Hasil ANOVA uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi sumur ........................... 69 Lampiran 15. Uji Lanjut Duncan uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi sumur ..................... 70 Lampiran 16. Total fenol ekstrak metanol tepung buah takokak ....................................................... 71 Lampiran 17. Referensi dugaan komponen metabolit berdasarkan penampakan bercak .................... 72 Lampiran 18. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 1 ......................................................... 73 Lampiran 19. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 2 ......................................................... 74 Lampiran 20. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 3 ......................................................... 75 Lampiran 21. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 4 ......................................................... 76 Lampiran 22. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 5 ......................................................... 77 Lampiran 23. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 6 ......................................................... 78 Lampiran 24. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 7 ......................................................... 79 Lampiran 25. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 8 ......................................................... 80 Lampiran 26. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 9 ......................................................... 81 Lampiran 27. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 10 ....................................................... 82 Lampiran 28. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 11 ....................................................... 83 Lampiran 29. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 12 ....................................................... 84 Lampiran 30. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 13 ....................................................... 85 Lampiran 31. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 14 ....................................................... 86 Lampiran 32. Rekapitulasi nilai Rf ekstrak F1 dan beberapa komponen metabolit standar ................ 87
vii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah termasuk di dalamnya berbagai jenis flora yang khas dari tiap daerah. Data Depkes RI (2007) menyebutkan bahwa terdapat sebanyak 30.000 jenis tanaman dan kurang lebih 7.500 jenis diantaranya termasuk tanaman berkhasiat obat yang tersebar di wilayah Indonesia. Jumlah tanaman obat yang digunakan secara rutin dalam industri obat tradisional baru sekitar 300 jenis (BPOM 2011). Salah satu tanaman obat yang juga merupakan sayuran indigenous di Indonesia adalah takokak. Takokak merupakan tanaman obat tradisional untuk pengobatan penyakit lambung, pinggang kaku, batuk kronis, koreng, jantung, dan menurunkan tekanan darah tinggi (Sirait 2009). Buah takokak merupakan buah yang sering dikonsumsi oleh masyarakat di daerah Jawa Barat sebagai lalapan juga sering dikonsumsi sebagai sayuran dengan santan di daerah Sumatera. Selain dapat digunakan sebagai tanaman obat, takokak diketahui memiliki aktivitas antibakteri (Bari et al. 2010; Gupta dan Tripathi 2011; Sivapriya et al. 2011). Menurut Tajkarimi et al. (2010) selain berfungsi sebagai pengawet pada makanan, antibakteri dari tanaman juga dapat berfungsi untuk mencegah atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme termasuk bakteri patogen. Bakteri patogen merupakan bakteri yang menyebabkan kasus keracunan makanan yang masih menjadi masalah di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Data Sentra Informasi Keracunan Nasional (2012) menunjukkan bahwa insiden keracunan akibat makanan merupakan insiden terbanyak pada tahun 2010. Salah satu bakteri yang diduga banyak ditemukan di Indonesia adalah Bacillus cereus. Bakteri ini merupakan bakteri intoksikasi yang banyak ditemukan pada nasi yang disimpan pada suhu ruang (Gibbs 2003). Beberapa penelitian mengenai aktivitas antibakteri takokak terhadap Bacillus cereus telah dilakukan (Bari et al. 2010; Sivapriya et al. 2011). Namun dari penelitian yang telah dilakukan tersebut masih belum ada informasi mengenai komponen dari takokak yang berperan sebagai antibakteri, padahal dengan mengetahui komponen yang paling berperan terhadap aktivitas antibakteri tersebut dapat dilakukan pemurnian. Pemurnian dapat memudahkan pembuatan obatobatan dari tanaman obat sehingga bermanfaat sebagai pharmaceutical atau suplemen kesehatan (Tajkamiri et al. 2010). Untuk mengidentifikasi komponen dari buah takokak yang berperan terhadap aktivitas antibakteri, diperlukan tahapan ekstraksi terlebih dahulu. Ekstraksi yang optimal harus menggunakan pelarut yang sesuai dengan polaritas metabolit yang terdapat pada sampel. Pemilihan pelarut ini dapat dilakukan dengan teknik kromatografi lapis tipis (KLT). KLT dapat memberikan informasi mengenai komponen dari suatu ekstrak, baik secara kualitatif maupun preparatif. Penggunaan KLT didasarkan pada sifatnya yang sederhana, cepat, dan mudah dilakukan (Cserhati dan Forgacs 1999). Selain itu, KLT lebih efisien untuk digunakan karena resiko yang ada lebih sedikit dibandingkan kromatografi cair – tekanan tinggi atau kromatografi gas. Resiko tersebut meliputi prosedur yang lebih sederhana dan mudah serta pemilihan pelarut yang lebih beragam sehingga biaya dalam penggunaan teknik KLT ini relatif lebih murah. Dalam penelitian ini dilakukan tahapan ekstraksi bertingkat yang menggunakan beberapa pelarut dengan polaritas yang berbeda-beda. Tujuan penggunaan pelarut yang berbeda-beda pada teknik KLT adalah untuk memperoleh profil KLT dengan resolusi yang lebih baik dibanding jika hanya menggunakan satu jenis pelarut. Resolusi yang lebih baik tersebut akan memudahkan
penentuan komponen dari ekstrak buah takokak yang berperan sebagai antibakteri. Penelitian mengenai jenis komponen ekstrak buah takokak yang berperan sebagai antibakteri masih belum banyak diteliti. Salah satu penelitian tentang komponen antibakteri pada takokak adalah hasil penelitian Sivapriya et al. (2011) yang menunjukkan bahwa jumlah komponen polifenol dan flavonoid berkorelasi erat dengan aktivitas antibakteri pada ekstrak buah takokak. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan analisis total fenol untuk mengetahui kandungan fenol yang terdapat pada ekstrak buah takokak. Walaupun demikian, komponen antibakteri lainnya yang mungkin berperan belum diketahui, oleh karena itu penelitian ini menjadi menarik untuk dilakukan. Penelitian ini juga dapat menjadi penelitian pendahuluan bagi identifikasi komponen antibakteri yang lebih komprehensif dan isolasi komponen dari ekstrak buah takokak.
B. TUJUAN Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi komponen yang berperan terhadap aktivitas antibakteri dari ekstrak buah takokak dengan menggunakan teknik KLT. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu: 1. Mendapatkan ekstrak buah takokak hasil ekstraksi bertingkat yang menggunakan pelarut dengan polaritas berbeda-beda, 2. Memperoleh profil aktivitas antibakteri dari semua ekstrak buah takokak yang dihasilkan dari ekstraksi bertingkat, 3. Memperoleh profil KLT semua ekstrak buah takokak yang dihasilkan dari ekstraksi bertingkat, 4. Mengidentifikasi fraksi KLT ekstrak buah takokak yang memiliki aktivitas antibakteri terbaik.
C. MANFAAT Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai komponen-komponen dalam ekstrak buah takokak yang kemungkinan memiliki aktivitas antibakteri sehingga informasi ini dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya mengenai identifikasi komponen antibakteri buah takokak secara komprehensif ataupun mengisolasi komponen tersebut untuk aplikasi lebih lanjut.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TAKOKAK (Solanum torvum Swartz) Takokak berasal dari kepulauan Antilles, dan penyebaran tumbuhnya sampai ke negara-negara tropika termasuk Indonesia. Tanaman ini tumbuh di daerah Sumatera, Jawa, dan sampai di dataran rendah hingga 1 – 1.600 meter di atas permukaan laut. Takokak merupakan nama yang dikenal di daerah Jawa Barat, sedangkan nama umum tanaman ini adalah terong cepoka. Di daerah lain seperti Sumatera, tanaman ini dikenal dengan sebutan terong pipit atau terong rimbang (Sirait 2009). Klasifikasi tanaman takokak berdasarkan data yang diperoleh dari USDA adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Tanaman takokak
Kingdom Subkingdom Superdivision Division Class Subclass Order Family Genus Species
Plantae – Plants Tracheobionta – Vascular plants Spermatophyta – Seed plants Magnoliophyta – Flowering plants Magnoliopsida – Dicotyledons Asteridae Solanales Solanaceae – Potato family Solanum L. – nightshade Solanum torvum Sw. – turkey berry
Tanaman takokak merupakan salah satu tanaman obat tradisional untuk pengobatan penyakit lambung, pinggang kaku, batuk kronis, koreng, jantung, dan menurunkan tekanan darah tinggi (Sirait 2009). Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah akar, daun, dan buah. Tanaman ini termasuk tanaman perdu yang tumbuh tegak, tinggi tanaman sekitar 3 m. Batang bulat, berkayu, bercabang, berduri jarang, dan percabangan simpodial berwarna putih kotor. Daun tunggal, berwarna hijau, tersebar, berbentuk bulat telur, tepi rata, ujung meruncing, dan panjang sekitar 27- 30 cm dan lebar 20 – 24 cm, pertulangan menyirip dan ibu tulang berduri. Buah berbentuk buni dan bulat, apabila masih muda berwarna hijau setelah tua berwarna jingga. Buah berbiji pipih, kecil, licin, berwarna kuning pucat, berakar tunggang, dan berwarna kuning pucat. Buah pertama takokak dapat dipanen setelah tanaman berumur sekitar 3 – 4 bulan dari waktu tanam, buah yang dipetik biasanya adalah buah yang hampir tua (Sirait 2009). Hasil beberapa penelitian menyebutkan bahwa takokak memiliki aktivitas antimikroba yang cukup baik. Sivapriya et al. (2011) menunjukkan bahwa jumlah kandungan metabolit, seperti polifenol dan flavonoid pada ekstrak kulit buah takokak, berkaitan erat dengan efektivitas penghambatan bakteri. Gupta dan Tripathi (2011) telah melakukan penelitian dan menunjukkan bahwa daun takokak memiliki aktivitas toksik terhadap kapang patogen yaitu Fusarium sacchari. Penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak metanolik takokak memiliki aktivitas antibakteri yang baik terhadap bakteri-bakteri patogen seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa tanaman takokak terutama bagian kulit buah dan akar memiliki aktivitas antibakteri yang baik dengan nilai diameter penghambatan >20 mm. Dari hasil beberapa penelitian tersebut juga dapat diketahui bahwa aktivitas antibakteri dari tanaman takokak lebih efektif terhadap bakteri gram positif dibandingkan bakteri gram negatif. Walaupun penelitian mengenai aktivitas antibakteri pada tanaman takokak telah banyak dilakukan, namun hingga saat
3
ini penelitian yang dilakukan untuk mengetahui komponen yang berperan sebagai antibakteri dari ekstrak buah takokak belum banyak dilakukan. Tabel 1. Aktivitas antibakteri tanaman takokak
Bagian tanaman takokak yang digunakan
Pelarut ekstrak
Metode pengujian
Bacillus subtilis
Bacillus cereus
Staphylococcus aureus
Escherichia coli
Salmonella typhii
Pseudomonas aeruginosa
Nilai diameter penghambatan (mm) Gram + Gram -
Daun
Air
Difusi cakram
13
-
-
10
-
-
Daun
Metanol
Difusi cakram
0
0
19
0
16
0
Batang
Metanol
Difusi cakram
0
19
19
0
20
0
Buah
Metanol 80%
Difusi cakram
16
-
22
0
0
17
Kulit buah
Etanol 50%
Difusi sumur
21
-
18
18
17
18
Akar
Metanol
Difusi cakram
21
22
22
0
21
0
Referensi
Gupta dan Tripathi (2011) Bari et al. (2010) Bari et al. (2010) Chah et al. (2000) Sivapriya et al. (2011) Bari et al. (2010)
Keterangan: 0 = tidak menunjukkan diameter penghambatan; - = tidak diujikan
B. SENYAWA METABOLIT SEKUNDER BUAH TAKOKAK Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan oleh suatu organisme namun bukan komponen yang harus tersedia bagi kelangsungan hidup organisme tersebut, tidak seperti senyawa makronutrien (protein, karbohidrat, asam nukleat) yang merupakan komponen dasar bagi proses kehidupan suatu organisme (Cannell 1998). Komposisi kimia menyangkut senyawa makronutrien dan beberapa mikronutrien buah takokak telah diteliti oleh Sirait (2009) seperti yang tertera pada Tabel 2. Selain komponen dasar tersebut, buah takokak yang merupakan tanaman obat juga mengandung senyawa metabolit sekunder. Pada umumnya, senyawa metabolit sekunder ini dihasilkan sebagai respon terhadap beberapa keadaan khusus seperti krisis nutrisi atau sebagai bentuk pertahanan diri dan sebagai bentuk regulator molekul (Cannell 1998). Tabel 2. Komposisi kimia buah takokak Komposisi Air Protein Lemak Karbohidrat Serat Kalsium Fosfor Ferum Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Sumber: Sirait (2009)
Satuan g g g g g mg mg mg I.V. mg mg
Jumlah 89 2 0.1 8 10 50 30 2 750 0.08 80
4
Senyawa aromatik merupakan salah satu senyawa metabolit yang sering ditemukan dalam tanaman obat, termasuk takokak. Komponen fenol dan flavonoid merupakan bagian dari senyawa aromatik yang terkandung dalam buah takokak. Kandungan fenol pada takokak adalah sebanyak 92.9109 mg/100 g sampel segar dan 860.2860 mg/100 g sampel kering (Sirait 2009). Berdasarkan hasil penelitian Andarwulan et al. (2012), takokak mengandung total fenol sebesar 153.92 mg asam galat/100 g berat buah segar dan total antosianin sebesar 4.44 mg/100 g berat buah segar. Selain itu, takokak juga diketahui mengandung beberapa komponen asam fenolat yakni asam klorogenat sebesar 33.14 mg/100 g berat buah segar, 2.56 mg/100 g berat buah segar asam kafeat, dan 0.32 mg/100 g berat buah segar asam ferulat. Buah takokak juga diketahui mengandung flavonoid seperti myricetin sebesar 2.30 mg/100 g berat buah segar dan quercetin sebesar 0.66 mg/100 g berat buah segar. Selain komponen aromatik, takokak juga mengandung senyawa metabolit lain yakni alkaloid. Takokak mengandung total alkaloid sebesar 0.12% (bk) dan mengandung beberapa komponen alkaloid seperti glikoalkaloid (0.039%), solasonin (12%), dan solamargin (7.8%). Komponen alkaloid yang terkandung dalam takokak tersebut dapat digunakan sebagai substrat dalam memproduksi steroid untuk kebutuhan farmakologi (Perez-amador et al. 2007). Selain analisis kuantitatif seperti yang telah disebutkan sebelumnya, analisis kualitatif komponen metabolit buah takokak juga telah dilakukan. Hasil analisis kualitatif komponen metabolit takokak yang diekstrak dengan berbagai pelarut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis kualitatif buah takokak Komponen Metabolit Alkaloid Flavonoid Tannin Saponin Steroid Terpenoid
Metanol + + + + -
Referensi
Etil asetat + + +
Pelarut Ekstrak Kloroform Air + + + + + -
Arif dan Fareed (2011)
Petroleum eter + + + + + Kannan et al. (2012)
Heksan + + + + Kusuma (2012)
C. KOMPONEN ANTIBAKTERI ALAMI Sebanyak 12.000 senyawa metabolit telah berhasil ditemukan dalam tanaman, setidaknya 10% diantaranya merupakan bahan utama dari pembuatan obat. Senyawa metabolit ini diproduksi sebagai salah satu bentuk pertahanan tanaman terhadap berbagai ancaman seperti mikroorganisme, serangga, dan herbivora (Cowan 1999). Beberapa struktur komponen metabolit dari tanaman dapat dilihat pada Gambar 2. Komponen metabolit dari tanaman berpotensi sebagai bahan pengembangan obat-obatan. Salah satu pengembangan obat-obatan dari tanaman adalah sebagai antibiotik (Verpoorte 2000). Aktivitas antibiotik dari komponen metabolit tanaman tidak terlepas dari aktivitas komponen tersebut sebagai antibakteri. Beberapa komponen metabolit yang telah diketahui memiliki aktivitas sebagai antibakteri adalah sebagai berikut. 1. Senyawa Fenolik Senyawa fenolik merupakan istilah bagi substansi tanaman yang umumnya mengandung cincin aromatik yang berikatan dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Fenolik 5
banyak terdapat di vakuola sel dan bersifat larut air karena umumnya senyawa ini berikatan dengan gugus gula seperti glukosida. (Harborne 1973). Senyawa fenol sederhana, asam fenolat, dan flavonoid merupakan senyawa fenolik yang diketahui memiliki aktivitas antimikroba (Cowan 1999; Ncube et al. 2008). a. Senyawa fenol sederhana dan asam fenolat Asam fenolat dan senyawa fenol sederhana sering dianalisis secara bersamaan dalam penelitian menggunakan tanaman (Harborne 1973). Letak dan jumlah gugus hidroksil dari senyawa fenol berhubungan erat dengan toksisitasnya terhadap mikroorganisme, semakin banyak gugus hidroksil maka semakin meningkat kemampuan toksisitasnya (Geismann (1963) dalam Cowan 1999). Salah satu senyawa fenol sederhana yakni katekol diketahui memiliki aktivitas sebagai antimikroba. Mekanisme senyawa fenol sederhana sebagai antimikroba diantaranya dengan menghambat reaksi enzimatis, berikatan dengan dinding sel bakteri, dan dengan merusak membran (Cowan 1999; Tiwari et al. 2011). b. Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa fenolik yang terbentuk sebagai C6-C3 yang diikatkan oleh sebuah senyawa aromatik. Senyawa flavonoid disintesis dalam tanaman sebagai respon terhadap infeksi mikroba oleh karena itu tidak mengejutkan apabila berdasarkan penelitian secara in vitro senyawa ini efektif sebagai antimikroba (Cowan 1999; Gould dan Lyster 2006). Jenis flavonoid tertentu seperti katekin, myricetin, quercetin telah diketahui memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Salah satu mekanisme antibakteri dari senyawa flavonoid, yaitu quercetin, adalah dengan menghambat sintesis asam nukleat. Quercetin dapat menghambat aktivitas dari enzim DNA gyrase dari bakteri E. coli dengan berikatan dengan GyrB sehingga menghambat aktivitas enzim ATPase (Cushnie dan Lamb 2005). 2. Alkaloid Alkaloid merupakan salah satu komponen metabolit yang telah digunakan sebagai bahan baku obat-obatan. Alkaloid telah diteliti memiliki efek farmakologi termasuk bersifat sitotoksik dan sebagai antiprotozoa, namun masih sedikit yang meneliti tentang aktivitas alkaloid sebagai antibakteri (Karou2 et al. 2005). Alkaloid merupakan senyawa siklik yang mengandung satu atau dua atom nitrogen yang biasanya merupakan bagian dari struktur siklik tersebut. Jenis alkaloid yang umum ditemukan dalam tanaman famili Solanaceae, yang merupakan famili dari buah takokak khususnya adalah solanine, atropin, dan nikotin (Harborne 1973). Salah satu jenis alkaloid yang diketahui sebagai antimikroba adalah berberine. Berberine diduga berpotensi melawan beberapa mikroorganisme seperti plasmodia dan tripanosoma. Mekanisme dari komponen ini berhubungan erat dengan kemampuannya sebagai DNA intercalator (Cowan 1999; Karou 2 et al. 2005). DNA intercalator adalah senyawa yang dapat berikatan pada struktur DNA sehingga DNA yang seharusnya berbentuk heliks berubah menjadi tidak beraturan. 3. Terpenoid Komponen terpen merupakan kelompok metabolit sekunder yang mengandung struktur isopren dalam jumlah banyak. Secara umum, komponen terpen memiliki struktur kimia 6
C10H16 dan berada dalam bentuk diterpen (C20), triterpen (C30), tetraterpen (C40), hemiterpen (C5), dan sesquiterpen (C15). Ketika komponen tersebut mengandung oksigen maka kelompok ini didefinisikan sebagai terpenoid (Cowan 1999). Terpenoid merupakan komponen yang berperan terhadap aroma dan kandungan minyak esensial dari suatu tanaman (Brielmann et al. 2006). Salah satu triterpen glikosida yang memiliki berat molekul tinggi adalah saponin. Ekstrak saponin dari tanaman Anabasis artadulata diketahui memiliki aktivitas antibakteri yang baik terhadap bakteri Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC 6538, Klebsiella pneumonia, Bacillus subtilis ATCC 6633, dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 14028. Aktivitas antibakteri dari saponin ini lebih baik dibandingkan dengan ekstrak alkaloid dari tanaman yang sama (Maatalah et al. 2012).
Gambar 2. Struktur beberapa senyawa antibakteri dari tanaman
D. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI Antibakteri merupakan senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri. Aktivitas antibakteri dapat berasal baik dari tanaman maupun hewan. Aktivitas antibakteri ini dapat berperan sebagai pengawet alami bagi makanan maupun sebagai antibiotik dan obat-obatan alami (Tajkarimi et al. 2010). Untuk mengetahui nilai aktivitas dari suatu senyawa antibakteri, dapat digunakan beberapa metode, seperti metode difusi sumur, dilusi agar, dan spiral plating. Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode difusi sumur karena metode ini lebih sederhana, mudah dilakukan juga sering digunakan dalam analisis aktivitas antibakteri sehingga tidak asing lagi untuk dilakukan (Parish dan Davidson 1993). Pada metode difusi sumur, aktivitas antimikroba ditunjukkan dengan munculnya zona bening di sekitar areal sumur. Zona bening tersebut memiliki nilai diameter yang menunjukkan aktivitas penghambatan dari senyawa yang diujikan dan dikenal sebagai nilai DIZ (diameter of inhibiton zone). Menurut Sadgic et al. (2005), sampel uji yang menghasilkan diameter penghambatan lebih besar dari 20 mm maka dapat dikategorikan sebagai senyawa antibakteri yang kuat, dikategorikan sedang jika diameter penghambatan yang dihasilkan 16 - 20 mm, dikategorikan tipis jika 10 – 15 mm, dan lemah jika diameter penghambatan yang dihasilkan 6 – 9 mm. Analisis aktivitas antibakteri dengan difusi sumur merupakan analisis secara kualitatif. Pada umumnya, analisis aktivitas antibakteri juga dilakukan dengan kuantitatif sehingga didapatkan nilai MIC (minimum inhibitory concentration). Analisis secara kuantitatif dilakukan untuk menunjukkan aktivitas antibakteri suatu sampel secara lebih lengkap (Parish dan Davidson 1993). MIC merupakan konsentrasi terendah dari suatu senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang diuji dalam suatu kondisi tertentu. Penentuan MIC merupakan 7
tahapan awal untuk mengevaluasi potensi sebagai antibakteri dari suatu senyawa baru (Wiegand et al. 2008). Metode agar dilution dan broth dilution adalah metode yang paling umum digunakan dalam menentukan nilai MIC. Pada metode agar dilution pengujian dilakukan dengan menginokulasikan sejumlah bakteri dengan jumlah tertentu ke permukaan agar yang telah berisi senyawa uji dengan konsentrasi tertentu. Broth dilution menggunakan media pertumbuhan dalam bentuk cairan yang telah berisi senyawa uji dengan konsentrasi tertentu yang selanjutnya diinokulasikan dengan bakteri uji. Nilai MIC ditunjukkan oleh konsentrasi senyawa uji terendah yang menurunkan jumlah bakteri secara signifikan yakni > 90% (Cosentino et al. 1999). Walaupun bersifat kuantitatif, seperti halnya difusi sumur, MIC tidak dapat menunjukkan suatu senyawa uji tersebut bersifat bakterisidal ataupun bakteriostatik. Dalam setiap pengujian aktivitas antibakteri biasanya kontrol negatif dan kontrol positif sebagai pembanding (Gracelin et al. 2011). Kontrol negatif pada penelitian ini adalah DMSO (dimethyl sulfoxide) karena DMSO digunakan untuk melarutkan ekstrak dalam pengujian aktivitas antibakteri. Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah antibiotik komersial yaitu kloramfenikol. Kloramfenikol merupakan salah satu antibiotik bakterisidal yang efektif menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus cereus (Bottone 2010). Struktur kimia kloramfenikol dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur kimia kloramfenikol (Anonim1 2012)
E. BAKTERI PATOGEN: Bacillus cereus Bakteri patogen merupakan penyebab utama dari kasus keracunan pangan yang masih menjadi masalah serius di berbagai negara. Salah satu bakteri patogen yang sering ditemukan dalam nasi yang makanan pokok masyarakat Indonesia, adalah Bacillus cereus. Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang dapat bersifat aerob atau fakultatif anaerob, motil, dan dapat membentuk spora apabila terdapat terdapat oksigen. Bakteri ini termasuk ke dalam golongan bakteri yang berukuran besar yakni lebih dari 0.9µm. Gambar bakteri Bacillus cereus dapat dilihat pada Gambar 4. Resistensi spora Bacillus spp. dalam menghadapi perubahan lingkungan dan kemampuan memproduksi beberapa enzim pengurai makanan, membuat bakteri ini dapat dengan mudah bertahan dan tumbuh dalam berbagai kondisi (Gibbs 2003). Suhu optimum pertumbuhan bakteri ini adalah 28–35°C dengan pH optimum 7.0– 7.5 (Fardiaz 1989). Namun, spora bakteri ini dapat bergeminasi pada kondisi lembab, pangan berasam rendah, dan pada suhu 4-5°C hingga 55°C (EFSA 2005). Bacillus cereus dapat menyebabkan keracunan pangan melalui dua cara yakni, intoksikasi dan infeksi. Intoksikasi disebabkan oleh konsumsi pangan yang telah tercemar oleh toksin emetik dari Bacillus cereus (cereulide) sehingga menimbulkan gejala sulit bernafas. Cara infeksi terjadi ketika dalam bahan pangan yang dikonsumsi mengandung spora/sel bakteri Bacillus cereus sehingga bakteri ini kemudian memproduksi enterotoksin di dalam usus halus dan menyebabkan gejala diare (EFSA 2005). Insiden keracunan pangan di berbagai negara akibat Bacillus cereus salah satunya dipengaruhi oleh konsumsi pangan harian (Gibbs 2003). 8
Antibiotik merupakan salah satu teknik pengobatan yang digunakan dalam kasus infeksi bakteri. Penelitian untuk mencari antibiotik terbaik bagi Bacillus cereus hingga saat ini masih dilakukan terutama secara in vitro. Pada umumnya, Bacillus cereus tahan terhadap antibiotik penicillin dan chepalosporins karena kemampuannya dalam memproduksi β-lactamase (Bottone 2010). Namun, bakteri ini rentan terhadap pengobatan dengan klindamisin, gentamisin, dan kloramfenikol (Drobniewski 1993).
Gambar 4. Bacillus cereus (Anonim2 2012)
F. EKSTRAKSI Ekstraksi merupakan tahapan awal untuk memisahkan sebagian komponen dari keseluruhan (Houghton dan Raman 1998). Ekstraksi didasarkan pada kenyataan bahwa jika suatu zat dapat larut dalam dua fase yang tidak tercampur, maka zat itu dapat dialihkan dari satu fase ke fase lainnya dengan mengaduknya bersama-sama (Achmadi 1992 dalam Haswirna 2006). Berdasarkan fase yang terlibat, terdapat dua jenis ekstraksi, yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi padat-cair. Ekstraksi padat-cair dapat dilakukan dengan menggunakan metode maserasi, Soxhlet, atau sonikasi yang masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan seperti yang terlihat pada Tabel 4. Pada penelitian ini, metode ekstraksi yang digunakan adalah metode sonikasi. Teknik sonikasi merupakan teknik ekstraksi yang memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan frekuensi rendah (20 – 40 kHz). Gelombang ultrasonik yang dihasilkan ini dapat memecah sel membran dari tanaman sehingga membantu difusi dari pelarut untuk membawa komponen bioaktif yang terkandung dalam tanaman (Cseke et al. 2006). Proses ekstraksi dengan teknik sonikasi membutuhkan waktu yang relatif singkat, umumnya 20 menit untuk ekstraksi komponen bioaktif tanaman (Celeghini et al. 2001). Tabel 4. Kelebihan dan kelemahan beberapa metode ekstraksi Metode Ekstraksi
Kelebihan
Kelemahan
Referensi
Maserasi
Metode sederhana dan mudah, murah, dapat digunakan untuk sampel yang tidak tahan panas
Waktu yang diperlukan lama, memerlukan pelarut dalam jumlah banyak
Meloan (1999)
Soxhlet
Proses ekstraksi berjalan dengan efisien karena selalu digunakan pelarut yang baru, suhu ekstraksi dapat dikontrol
Tidak dapat digunakan untuk senyawa yang tidak tahan panas, memerlukan pelarut yang banyak
Wang dan Weller (2006)
Sonikasi
Prosedur sederhana dan mudah, dapat menggunakan berbagai pelarut, menghasilkan rendemen yang lebih banyak dan laju ekstraksi yang lebih cepat
Frekuensi ultrasonik yang tinggi dapat menurunkan kandungan senyawa tertentu
Wang dan Weller (2006)
9
Dalam melakukan proses ekstraksi diperlukan jenis pelarut yang sesuai dengan komponen yang ingin diekstrak. Hal ini sesuai dengan prinsip dari ekstraksi yakni like dissolve like, dimana pelarut polar akan melarutkan komponen polar dan sebaliknya, komponen non polar akan larut pada pelarut non polar. Pemilihan pelarut harus disesuaikan dengan komponen bioaktif yang ingin diekstrak (Ncube et al. 2008). Pelarut yang baik harus memiliki nilai toksisitas yang rendah, mudah diuapkan pada suhu rendah, bersifat mengawetkan, dan tidak menyebabkan ekstrak terurai (Hughes (2002) dalam Ncube et al. (2008)). Pelarut yang paling umum digunakan dalam penelitian aktivitas antimikroba adalah metanol, etanol, dan air. Pada beberapa tanaman obat, komponen semipolar seperti asam fenolat, flavonoid, dan alkaloid telah berhasil diekstrak dengan pelarut metanol atau air (Moco et al. 2007). Beberapa peneliti menggunakan kombinasi pelarut dengan polaritas yang berbeda untuk menghasilkan proses ekstraksi yang terbaik (Cowan 1999). Selain penggunaan campuran pelarut, salah satu teknik ekstraksi yang juga umum digunakan adalah ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut dengan kepolaran yang meningkat, mulai dari pelarut yang non-polar hingga pelarut polar. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan komponen dengan kisaran yang lebih luas. Penelitian Sivapriya et al. (2011) menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri tertinggi dari kulit buah takokak dihasilkan oleh ekstrak dengan pelarut campuran etanol dan air.
G. KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT) Kromatografi lapis tipis merupakan teknik kromatografi yang banyak digunakan sebagai instrumen analisis yang cepat dan mudah dilakukan. KLT dikenal sebagai metode yang cepat untuk mendeteksi suatu senyawa (Cserhati dan Forgacs 1999). KLT lebih efisien untuk digunakan karena resiko yang ada lebih sedikit dibandingkan kromatografi cair – tekanan tinggi atau kromatografi gas. Resiko tersebut meliputi prosedur yang lebih sederhana dan mudah serta pemilihan pelarut yang lebih beragam sehingga biaya dalam penggunaan teknik KLT ini relatif lebih murah. Prinsip KLT ini sangat sederhana, campuran zat terlarut dipisahkan dengan membuat spot kecil pada fase diam kemudian diinkubasi dalam chamber tertutup yang berisi fase gerak. Interaksi antara molekul zat terlarut dengan fase diam dan fase bergerak akan menghasilkan perbedaan mobilitas dan pemisahan pada KLT. Fase gerak akan membawa zat terlarut yang ada dalam campuran senyawa tersebut bergerak pada jarak tertentu (Cserhati dan Forgacs 1999). Zat terlarut ini akan membentuk bercak yang berwarna bila divisualisasi dengan UV dan reagen tertentu. Ilustrasi pemisahan senyawa dengan KLT dapat dilihat pada Gambar 5.
Pelat KLT silika
Fase gerak memisahkan senyawa menjadi fraksi dan dihasilkan bercak/spot
Gambar 5. Ilustrasi pemisahan senyawa dengan KLT (Anonim3 2012) Salah satu teknik sederhana untuk mengidentifikasi komponen dalam pelat KLT ialah dengan penyemprotan reagen penampak bercak (Harborne 1973). Selain itu, apabila pelat KLT yang 10
digunakan telah mengandung indikator fluoresensi maka dapat dilakukan penyinaran dengan sinar UV pada panjang gelombang tertentu sehingga komponen yang terdapat dalam pelat akan bersinar. Pada umumnya, panjang gelombang yang digunakan dalam penyinaran sinar UV adalah panjang gelombang pendek, yakni 254 nm dan panjang gelombang 366 nm. Senyawa yang terpisah dalam pelat KLT akan memiliki nilai Rf yang bersifat spesifik. Nilai Rf merupakan jarak yang ditempuh oleh suatu senyawa relatif terhadap jarak yang ditempuh oleh garis depan fase gerak (Gambar 6). Nilai Rf ini berada diantara nilai 0 hingga 1 (Gritter et al. 1991). Ilustrasi penentuan nilai Rf dapat dilihat pada Gambar 6.
𝑅𝑓 = b
𝑎 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑠𝑒𝑛𝑦𝑎𝑤𝑎 = 𝑏 𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡
a
Gambar 6. Ilustrasi penentuan nilai Rf Aplikasi KLT untuk menganalisis pemisahan senyawa antibakteri telah ditunjukkan oleh beberapa peneliti (Kumar et al. 2010; Haswirna 2006). Penggunaan teknik KLT dalam menganalisis aktivitas antibakteri dari ekstrak yang difraksinasi juga telah dilakukan oleh Nwodo et al. (2010) pada ekstrak tanaman asam jawa (Tamarindus indica). Identifikasi beberapa senyawa dalam buah takokak menggunakan pelat KLT juga telah dilakukan oleh Arif dan Fareed (2011) yang menunjukkan adanya komponen rutin dan digoxin. Hal ini menunjukkan bahwa teknik KLT dapat diaplikasikan untuk mengidentifikasi komponen antibakteri dari suatu ekstrak tanaman.
11
III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bahan untuk tahap ekstraksi, uji aktivitas antibakteri, uji komponen dan identifikasi dengan KLT. Bahan-bahan yang digunakan untuk ekstraksi adalah metanol dan aquades. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji aktivitas antibakteri antara lain kultur Bacillus cereus, media nutrient agar, nutrient broth, DMSO, dan kloramfenikol. Pada pengujian komponen dan identifikasi dengan KLT bahan-bahan yang digunakan berbagai jenis pelarut seperti kloroform, etil asetat, etanol, asam asetat, heksan, dietil eter, n-butanol. Alat yang digunakan untuk ekstraksi adalah loyang alumunium, timbangan kasar, freeze dryer, blender kering, saringan 30 mesh, plastik double seal serta peralatan gelas kimia seperti labu takar, gelas ukur, pipet Mohr, pipet tetes, pipet mikro, neraca analitik, spatula, dan gelas pengaduk, desikator tabung reaksi, tabung vial, gelas piala, spektrofotometer, dan rotary vacuum evaporator. Alat-alat yang digunakan untuk uji aktivitas antibakteri adalah cawan petri, inkubator, pipet Mohr, pipet mikro, tip, bunsen, korek api, kapas, tabung reaksi, plastik, dan autoklaf. Alat untuk uji komponen dan identifikasi adalah pelat untuk KLT, jar, pinset, pipet kapiler, penggaris, dan lampu UV.
B. METODE PENELITIAN Metode penelitian identifikasi komponen antibakteri buah takokak ini terdiri dari lima tahapan utama. Tahap pertama adalah persiapan sampel, selanjutnya tahap kedua adalah ekstraksi bertingkat yang akan menghasilkan delapan ekstrak buah takokak. Sebanyak delapan ekstrak ini kemudian diuji aktivitas antibakteri dan uji pemisahan dengan KLT. Tahap terakhir adalah analisis data dan identifikasi komponen antibakteri dari ekstrak buah takokak yang menunjukkan aktivitas antibakteri tertinggi dan pemisahan KLT yang baik. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
Persiapan sampel
Ekstraksi bertingkat
Sebanyak 8 ekstrak dengan polaritas pelarut yang berbeda
Pengujian komponen dengan KLT
Pengujian aktivitas antibakteri
Analisis data dan identifikasi ekstrak terbaik
Gambar 7. Diagram alir tahapan penelitian 12
1. Persiapan sampel a. Pengeringan buah takokak Buah takokak segar dibeli dari Kampung Konservasi TOGA Bina Sehat Lestari di Gunung Leutik, Desa Benteng, Ciampea – Bogor. Buah takokak yang masih segar disortir dan dicuci kemudian dikeringkan dengan teknik pengeringan beku. Buah takokak yang telah dicuci ditiriskan kemudian disimpan dalam freezer pada suhu -20 °C selama 24 jam hingga membeku. Setelah itu, dilakukan pengeringan dengan freeze dryer pada suhu -50°C ± 5°C dan tekanan ±20 bar selama 48 jam. Buah takokak yang dikeringkan menggunakan freeze dryer tidak semua kering oleh karena itu dilakukan sortasi dengan memilih buah takokak yang kering. Hasil sortasi ini kemudian ditepungkan dengan blender kering lalu diayak menggunakan saringan 30 mesh dan dimasukkan ke dalam plastik ber-seal dan disimpan di dalam freezer hingga nanti digunakan pada penelitian selanjutnya. Diagram alir tahap persiapan sampel dapat dilihat pada Gambar 8.
Buah takokak
Penyortiran
Pencucian
Pembekuan T -20°C, 24 jam
Pengering beku P 0.220 mBar, T -50 ± 5°C, 48 jam
Penyortiran
Penggilingan
Pengayakan 30 mesh
Tepung buah takokak
Penyimpanan di freezer dengan kondisi gelap
Gambar 8. Diagram alir tahapan pengeringan dengan metode freeze dry 13
b. Analisis Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Penetapan kadar air dilakukan dengan pengeringan menggunakan oven dengan dua kali ulangan masing-masing duplo. Analisis kadar air dilakukan terhadap dua jenis sampel, yaitu buah takokak segar dan tepung buah takokak. Tahapan pertama yang dilakukan adalah cawan yang akan digunakan dikeringkan dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 1-2 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan tersebut dan ditimbang. Selanjutnya, cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 3 jam lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan terakhir diulangi terus hingga diperoleh berat kering yang relatif tetap (berat dianggap tetap jika selisih berat sampel yang ditimbang ≤ 0.0005 g). Penetapan kadar air dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut. adar air (g 100 g berat basah)
( 1
2)
100
Keterangan: W = berat sampel sebelum dikeringkan (g) W1 = berat sampel + cawan kosong setelah dikeringkan (g) W2 = berat cawan kosong (g) c. Analisis Total Fenol (Shetty et al. 1995 dengan modifikasi) Penentuan total fenol dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa fenolik pada sampel. Sebanyak 50.0 mg sampel kering dilarutkan dalam 2.5 ml etanol 95%, kemudian divorteks. Setelah itu dilakukan sentrifuse terhadap campuran tersebut dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil sebanyak 0.5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ke dalam tabung reaksi tersebut ditambahkan 0.5 ml etanol 95%, 2.5 ml aquadest, dan 2.5 ml reagen Folin Ciocalteau 50%. Campuran tersebut kemudian didiamkan selama 5 menit lalu ditambahkan 0.5 ml Na 2CO3 5% dan divorteks. Setelah itu, sampel didiamkan di ruang gelap selama satu jam, lalu dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 725 nm. Dalam penentuan total fenol ini digunakan asam galat yang dibeli dari Sigma-Aldrich sebagai standar. Standar asam galat dibuat dengan variasi konsentrasi antara 50-250 mg/ml. Penentuan total fenol dilakukan sebanyak dua ulangan masing-masing duplo.
2. Ekstraksi Bertingkat Sebanyak 50 g tepung takokak ditambah dengan kombinasi pelarut yang pertama sebanyak dua kali volume tepung buah takokak, kemudian divorteks, disonikasi selama 15 menit, disentrifugasi pada 2000 rpm selama 5 menit, disaring dan diambil filtratnya. Sisa ampas kembali ditambahkan kombinasi pelarut yang kedua kemudian diekstrak hingga dihasilkan filtrat yang kedua, begitu seterusnya sehingga dihasilkan delapan buah filtrat ekstrak takokak. Filtrat tersebut kemudian dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 45°C kemudian dikeringkan dengan gas N2. Ekstraksi bertingkat dilakukan menggunakan kombinasi pelarut yang semakin meningkat kepolarannya. Masingmasing ekstrak diberikan kode untuk mempermudah pembahasan, semakin besar nomor ekstrak menunjukkan semakin polar pelarut yang digunakan saat proses ekstraksi. Kombinasi pelarut yang digunakan pada tahap ekstraksi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. 14
Diagram alir tahap ekstraksi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 9. Ekstraksi dibuat dalam tiga kali ulangan. Tabel 5. Kombinasi pelarut untuk ekstraksi Kode Ekstrak
No. Urut
Kombinasi pelarut (Metanol : Air)
F1
1
1:0
F2
2
9.5 : 0.5
F3
3
9:1
F4
4
8.5 : 1.5
F5
5
8:2
F6
6
7:3
F7
7
6:4
F8
8
5:5
Sebanyak 50 gram tepung buah takokak
Penambahan masing-masing 25 ml kombinasi pelarut sesuai urutan yang telah ditentukan pada Tabel 5 Pencampuran
Sonikasi selama 15 menit
Sentrifus pada 2000 rpm selama 5 menit
Penyaringan dengan kertas saring
Ampas
Filtrat
Pemekatan dengan rotavapor pada T 45°C
Pengeringan ekstrak dengan gas N2
Sebanyak 8 ekstrak buah takokak
Gambar 9. Diagram alir ekstraksi bertingkat 15
3. Analisis aktivitas antibakteri a. Persiapan kultur Bacillus cereus Persiapan kultur dilakukan dengan terlebih dahulu menguji keseragaman kultur Bacillus cereus dengan pewarnaan Gram. Pewarnaan Gram dilakukan di atas kaca preparat. Kultur disebar di atas kaca sehingga terbentuk lapisan tipis kemudian difiksasi dan ditambahkan pewarna ungu kristal didiamkan selama 2 menit dan dibilas. Selanjutnya ditambahkan larutan lugol didiamkan selama 1 menit dan kembali dibilas dengan alkohol, terakhir ditambahkan pewarna merah safranin, dan dikeringkan. Morfologi bakteri dilihat menggunakan mikroskop hingga pembesaran 1000x. Sel bakteri dengan morfologi berwarna ungu merupakan bakteri Gram-positif, sedangkan sel bakteri dengan morfologi berwarna merah merupakan bakteri Gram-negatif (Madigan et al. 2003). Selanjutnya dilakukan perhitungan total kultur bakteri uji menggunakan metode Aerobic Plate Count (APC) untuk mengetahui jumlah total bakteri awal sehingga dapat diketahui jumlah pengenceran yang diperlukan agar jumlah bakteri saat pengujian lebih seragam. Tahap persiapan kultur bakteri dapat dilihat pada Gambar 10. Sebanyak 1 ose bakteri Bacillus cereus diinokulasikan pada 5 ml NB steril kemudian diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Kultur bakteri ini yang selanjutnya digunakan dalam pengujian. Media NB yang telah berisi bakteri kemudian diencerkan pada seri pengenceran 102-106 dan ditumbuhkan pada media NA serta diinkubasi selama 24 jam suhu 37°C. Koloni yang tumbuh sebanyak 25 -250 dihitung berdasarkan metode Aerobic Plate Count (APC) (BAM 2001) dengan rumus sebagai berikut. ℎ
Jumlah koloni (cfu/ml) =
(
)
Keterangan: n = jumlah cawan d = pengenceran pada cawan pertama Pengambilan sebanyak 1 ose kultur B. Cereus dalam agar miring
Pengenceran
5 ml NB Inkubasi 37°C, 24 jam
Pengenceran
10-2
Pengenceran -3
10
Pengenceran
Pengenceran -4
-5
10
10
10-6
Penuangan media NA cair steril
Inkubasi pada 37°C, 24 jam dan diamati
Gambar 10. Diagram alir persiapan kultur 16
b. Uji difusi sumur (Shan et al. 2007 yang dimodifikasi) Ekstrak takokak dilarutkan dalam pelarut organik DMSO hingga diperoleh konsentrasi akhir 200 mg/ml. Kultur bakteri Bacillus cereus yang telah disegarkan sehari sebelumnya diencerkan hingga ~105 CFU/mL. Sebanyak 200 μL suspensi bakteri tersebut kemudian diinokulasikan ke dalam 200 ml media NA cair yang bersuhu 40 °C – 42 °C lalu dituang ke dalam cawan dengan volume masing-masing cawan berkisar antara 20-25 ml media. Media tersebut didiamkan selama ± 1 jam agar memadat lalu dibuat sumur berdiameter 5 mm dengan kedalaman ±3-4 mm kemudian sebanyak 60 μL ekstrak dituangkan ke dalam sumur tersebut. Pelarut organik DMSO digunakan sebagai kontrol negatif, dan antibiotik kloramfenikol (25 mg/ml DMSO) digunakan sebagai kontrol positif. Media kemudian diinkubasi selama ± 1 jam dalam refrigerator agar memudahkan ekstrak untuk berdifusi, kemudian kembali diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Aktivitas antibakteri dihitung dengan mengukur diameter zona bening yang dihasilkan di sekitar areal sumur dan dinyatakan sebagai nilai DIZ (diameter of inhibition zone). Uji difusi sumur dilakukan sebanyak tiga ulangan masing-masing duplo. Kultur bakteri Bacillus cereus
Pengenceran hingga ~105 cfu/ml
Inokulasi 200 µl suspensi bakteri ke 200 ml media NA bersuhu 40-42°C
Penuangan 20 ml media berisi bakteri ke dalam cawan dan pembekuan media ± 1 jam dalam refrigerator
Ekstrak buah takokak
Pembuatan sumur berdiameter 5 mm
Pelarutan dalam DMSO hingga konsentrasi 200 mg/ml
Penuangan @ 60 µl ekstrak ke dalam sumur
Inkubasi pada 37°C selama 24 jam
Gambar 11. Diagram alir uji aktivitas antibakteri metode difusi sumur
17
c. Uji nilai MIC dengan metode Macrodilution (Wiegand et al. 2008 yang dimodifikasi) Nilai Minimum Inhibitory Concentratrion (MIC) dari ekstrak metanol buah takokak dihasilkan dengan menggunakan metode pengenceran macrodilution. Ekstrak buah takokak terpilih dilarutkan dengan DMSO hingga konsentrasi 600 mg/ml sebagai larutan stok. Kemudian larutan stok ini diencerkan sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6. Setelah dibuat campuran ekstrak dan NB pada berbagai konsentrasi kemudian masing-masing campuran tersebut diambil sebanyak 1 ml dan ditambahkan 1 ml kultur Bacillus cereus (~105 cfu/ml). Setelah penambahan bakteri dilakukan, secepatnya divorteks dan dihitung jumlah bakteri saat 0 jam dengan metode cawan tuang. Kemudian campuran ekstrak dan bakteri tersebut diinkubasi dalam shaker incubator suhu 37°C selama 24 jam pada kecepatan 150 rpm dan kembali dihitung jumlah bakteri setelah 24 jam dengan metode cawan tuang. Nilai MIC diperoleh dengan membuat kurva hubungan antara persentase penghambatan dan konsentrasi ekstrak yang diuji. Konsentrasi ekstrak terkecil yang menghasilkan persentase penghambatan > 90% merupakan nilai MIC (Cosentino et al. 1999). Uji nilai MIC dilakukan sebanyak dua ulangan masing-masing duplo. Diagram alir pengujian nilai MIC dapat dilihat pada Gambar 12. Tabel 6. Pembuatan larutan ekstrak untuk uji nilai MIC
Tahapan
Konsentrasi Ekstrak (mg/ml)
1 2 3 4 5 6
1.5 0.5 1.5
Konsentrasi Ekstrak Hasil Pengenceran (mg/ml) 300 150 120
Konsentrasi Ekstrak saat Pengujian (mg/ml) 150 75 60
1 1 1
60 40 20
30 20 10
Sumber
V ekstrak yang diambil (ml)
V NB steril (ml)
600 300 300
Stok Tahapan 1 Tahapan 1
1.5 0.5 1
120 120 60
Tahapan 3 Tahapan 3 Tahapan 4
1 0.5 0.5
4. Analisis profil KLT ekstrak buah takokak (Gritter et al. 1991) Sebanyak delapan ekstrak hasil dari ekstraksi bertingkat tepung buah takokak dianalisis dengan metode KLT sehingga didapatkan profil KLT dari masing-masing ekstrak. Prosedur yang dilakukan yaitu masing-masing ekstrak ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, dilakukan elusi dalam bejana yang telah dijenuhkan oleh uap eluen pengembang (fase gerak). Bercak hasil elusi diamati di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm atau menggunakan reagen pewarna bercak seperti vanillin-H2SO4. Pada analisis profil KLT ini hanya dilihat hasil pemisahan dengan KLT dari ekstrak buah takokak. Pemisahan yang baik adalah yang menunjukkan bercak terbanyak dan terpisah satu sama lain.
18
Ekstrak buah takokak terpilih (Ekstrak F1)
Pelarutan dengan DMSO
Ekstrak STOK (600 mg/ml)
Pembuatan seri pengenceran sesuai konsentrasi yang diinginkan (Tabel 6)
Pengambilan sebanyak 1 ml dari masing-masing seri pengenceran
Penambahan kultur bakteri sebanyak 1 ml (~105cfu/ml)
Pencampuran
Pengenceran
Pengenceran -4
10
Inkubasi dalam shaker incubator 24 jam, 37°C pada 150 rpm
10-6
10-5
Pengenceran
Pengenceran
10-4
10-5
10-6
Penuangan media NA cair steril
Inkubasi pada 37°C, 24 jam dan diamati
Penuangan media NA cair steril
Jumlah koloni pada t = 0
Inkubasi pada 37°C, 24 jam dan diamati
Jumlah koloni pada t = 24
Gambar 12. Diagram alir penentuan nilai MIC metode macrodilution
19
5. Identifikasi komponen antibakteri dari ekstrak buah takokak terbaik a. Analisis data hasil uji aktivitas antibakteri dan profil KLT Pada tahap ini dilakukan analisis data hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak buah takokak dan dibandingkan dengan profil pemisahan KLT ekstrak tersebut sehingga didapatkan satu ekstrak terbaik. Analisis data hasil uji aktivitas antibakteri metode difusi sumur dilakukan dengan analisis statistik ANOVA dan uji lanjut Duncan. Selanjutnya hasil analisis data statistik ini dibandingkan dengan profil KLT ekstrak dan dipilih ekstrak yang terbaik. Ekstrak terbaik adalah ekstrak yang menunjukkan aktivitas antibakteri dengan nilai diameter penghambatan terbesar serta yang memiliki profil KLT dengan bercak terbanyak dan terpisah satu sama lain. Selanjutnya ekstrak terbaik ini akan digunakan untuk identifikasi komponen metabolit buah takokak. b. Pemisahan ekstrak terbaik dengan KLT dua dimensi (Gritter et al. 1991)
Pengembangan I
Identifikasi komponen metabolit dari ekstrak terbaik diawali dengan menentukan kandungan total fenol dari ekstrak tersebut. Kemudian dilakukan pembandingan antara profil KLT yang dihasilkan oleh ekstrak dengan profil KLT dari senyawa standar. Senyawa standar ini akan ditentukan dengan studi literatur mengenai komponen aktif tanaman yang diduga berperan terhadap aktivitas antibakteri, seperti komponen polifenol dan flavonoid dari hasil penelitian Sivapriya et al. (2011). Komponen dalam ekstrak terbaik akan dipisahkan dengan KLT dua dimensi sehingga diharapkan lebih banyak komponen yang dapat terpisah dan teridentifikasi. Pada uji KLT dua dimensi pelat dielusi dengan fase gerak yang perama kemudian diangkat dan dikeringkan dan dielusi kembali dengan fase gerak yang kedua. Ilustrasi uji KLT dua dimensi dapat dilihat pada Gambar 13. Parameter yang digunakan untuk tahap identifikasi ini adalah dengan membandingkan nilai Rf dan pola penyerapan sinar UV pada 254 dan 366 nm serta sinar tampak dari fraksi yang terpisah. Nilai Rf diperoleh dengan membandingkan antara jarak yang digerakkan oleh senyawa atau senyawa dengan jarak yang digerakkan oleh pelarut. Pemisahan ekstrak terbaik dilakukan dengan dua ulangan masing-masing duplo.
v
v
Pengembangan II Gambar 13. Ilustrasi pemisahan dengan KLT dua dimensi 20
c. Uji sifat spektral fraksi hasil pemisahan KLT dua dimensi (Susanto 1995) Pemisahan ekstrak dengan KLT dua dimensi akan menghasilkan bercak berwarna setelah divisualisasi dengan penyinaran sinar UV. Bercak ini adalah fraksi dari ekstrak yang dapat diduga sebagai komponen aktif buah takokak. Komponen aktif yang terdapat dalam fraksi ini dapat diketahui dengan uji sifat spektral. Bercak yang terlihat dikerok dan dilarutkan dengan 2 ml etanol kemudian divorteks dan disentrifus. Filtrat hasil sentrifus selanjutnya diuji sifat spektral dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 200-400 nm. Komponen aktif dalam fraksi tersebut dapat diduga dengan membandingkan nilai panjang gelombang maksimum yang dihasilkan dengan studi literatur. d. Uji kesesuaian nilai Rf fraksi ekstrak terbaik dengan komponen standar Identifikasi komponen metabolit juga dilakukan dengan menguji kesesuaian nilai Rf dari fraksi ekstrak terbaik dengan nilai Rf yang dihasilkan oleh komponen standar. Nilai Rf bersifat khas untuk setiap komponen metabolit, oleh karena itu fraksi yang memiliki nilai Rf yang mirip dengan nilai Rf komponen standar dapat diduga mengandung komponen standar tersebut. Komponen standar yang digunakan dalam pengujian ini antara lain saponin, asam galat, quercetin, myricetin, kaempferol, dan apigenin.
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK SAMPEL BUAH TAKOKAK Pada penelitian ini buah takokak yang digunakan berasal dari Kampung Konservasi TOGA Bina Sehat Lestari di Gunung Leutik, Desa Benteng, Ciampea – Bogor sehingga diharapkan karakteristik komponen metabolit buah takokak lebih seragam bila didapatkan dari lokasi yang sama. Lokasi geografis dapat menentukan komponen metabolit yang terdapat dalam suatu tanaman, termasuk pada tanaman takokak. Pada penelitian Perez-Amador (2007) buah takokak yang ditanam di Mexico memiliki kandungan alkaloid yang berbeda dengan buah takokak yang ditanam di India. Dalam pengambilan sampel di lapangan, tanaman yang telah dikumpulkan harus segera mungkin ditangani untuk mencegah degradasi komponen metabolit yang terkandung dalam tanaman tersebut (Cseke et al. 2006). Degradasi komponen metabolit dari suatu tanaman dipengaruhi oleh kandungan air dalam tanaman tersebut. Buah takokak segar yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar air sebesar 84.04% (bb) (Lampiran 1a). Kadar air buah takokak yang cukup tinggi ini dapat menyebabkan kerusakan baik biologis maupun mikrobiologis apabila disimpan dalam keadaan utuh. Kerusakan tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain faktor lingkungan seperti suhu, RH, cahaya, waktu, dan oksigen. Kontaminasi mikroorganisme dan kandungan kimia seperti enzim juga mempengaruhi laju kerusakan yang terjadi (Muchtadi 2008). Penurunan kadar air dapat dilakukan untuk menurunkan laju kerusakan yang terjadi dalam bahan. Penurunan kadar air salah satunya dapat dilakukan dengan proses pengeringan. Pengeringan merupakan cara yang paling umum untuk mencegah degradasi komponen metabolit dari tanaman obat (Rocha et al. 2011). Oleh karena itu, untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan senyawa metabolit yang terkandung dalam buah takokak segar dilakukan proses pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan tujuan agar bahan yang diteliti dapat digunakan setiap saat dengan kondisi yang hampir sama dengan bahan segar (Cseke et al. 2006), proses pengeringan merupakan proses yang kritikal terutama dalam penelitian menggunakan tanaman obat. Metode pengeringan akan berpengaruh terhadap kualitas minyak essensial, senyawa aromatik, dan senyawa aktif yang terdapat dalam tanaman tersebut (Rocha et al. 2011). Proses pengeringan yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan freeze drying. Degradasi komponen aktif dalam tanaman lebih sedikit terjadi pada proses pengeringan dengan freeze drying, bila dibandingkan dengan metode oven pada suhu 50°C dan 70°C (Mahanom et al. 1999). Metode freeze drying menggunakan prinsip sublimasi dimana air yang terkandung dalam bahan pangan terlebih dahulu dibekukan menjadi es kemudian diubah menjadi uap air. Proses sublimasi es menjadi uap air terjadi akibat tekanan yang berkurang hingga tercapai tekanan uap air antara es dalam bahan dan sekelilingnya (Muchtadi 2008). Proses freeze drying terdiri dari tiga tahapan utama, yaitu pembekuan, pengeringan utama dan pengeringan tahap kedua (Tang dan Pikal 2004). Tahap pembekuan pada penelitian ini dilakukan dengan menyimpan buah takokak segar dalam freezer bersuhu -20°C selama 24 jam. Pembekuan ini dapat mencegah reaksi enzimatis yang dapat meningkatkan degradasi komponen metabolit (Cseke et al. 2006). Pada pengeringan utama terjadi proses sublimasi yang dapat menghambat dan tidak memungkinkan aktivitas enzim untuk mendegradasi senyawa metabolit dalam bahan (Chan 2009). Tahap terakhir dalam proses pengeringan beku adalah pengeringan tahap kedua. Pada pengeringan tahap kedua ini air yang tidak membeku dikeluarkan dengan
22
adsorpsi dari fase solut. Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi jumlah air yang tersisa dari pengeringan utama sehingga kandungan air dalam bahan lebih stabil (Tang dan Pikal 2004). Proses pengeringan dengan metode freeze drying menghasilkan buah takokak yang kering dan berwarna hijau yang lebih muda dibanding dengan warna hijau pada buah takokak segar. Menurut Muller dan Hendl (2006), perubahan warna pada tanaman obat yang telah dikeringkan menjadi coklat, menunjukkan telah terjadi proses pencoklatan. Proses pencoklatan dapat terjadi akibat degradasi klorofil, komponen metabolit lain yang terkandung dalam tanaman juga mungkin mengalami degradasi seperti halnya klorofil. Pada Gambar 14 terlihat tepung buah takokak berwarna hijau muda, hal ini menunjukkan bahwa buah takokak dengan pengeringan beku tidak mengalami proses pencoklatan sehingga diharapkan perubahan komponen metabolit yang terkandung dalam buah takokak menjadi lebih sedikit. Buah takokak kering hasil freeze drying ini kemudian dihancurkan dan disaring dengan saringan 30 mesh sehingga dihasilkan tepung buah takokak. Pembentukan tepung buah takokak ini bertujuan untuk memperkecil ukuran sampel sehingga dalam proses ekstraksi, pelarut akan lebih mudah kontak dengan sampel (Khopkar 2003). Tepung buah takokak ini memiliki kadar air sebesar 6.31% (bb) (Lampiran 1b). Menurut Winarno (1980), bahan yang mengandung kadar air 3-7% akan mencapai kestabilan optimum terutama untuk bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh. Tepung buah takokak kemudian disimpan dalam freezer hingga nanti digunakan untuk analisis berikutnya.
Gambar 14. Tepung buah takokak hasil pengeringan beku Selanjutnya dilakukan pengujian total fenol pada tepung buah takokak yang telah disiapkan sebelumnya. Analisis total fenol bertujuan untuk mengetahui total kandungan fenolik yang terdapat pada buah takokak. Komponen fenolik merupakan hasil metabolisme sekunder dari tanaman termasuk sayuran dan buah-buahan yang berperan menurunkan resiko penyakit degeneratif seperti diabetes, kanker, jantung, dan stroke (Crozier et al. 2009). Oleh karena itu, analisis total fenol dilakukan sebagai gambaran umum untuk mengetahui manfaat dari suatu tanaman. Dalam penelitian ini standar yang digunakan adalah asam galat sehingga nilai total fenol yang diperoleh dapat disamakan dengan jumlah kandungan asam galat. Asam galat digunakan sebagai standar dalam pengujian total fenol karena asam galat merupakan komponen fenolik yang umumnya paling banyak ditemukan dalam tanaman dan sayuran (Hedges dan Lister 2008). Selain asam galat, komponen lain yang dapat digunakan sebagai standar pengujian total fenol adalah asam tanat, namun asam tanat berada dalam konsentrasi yang kecil dalam tanaman (Crozier et al. 2009). Asam tanat atau tannin ini banyak ditemukan dalam minuman teh (Chung et al. 1998). Hasil analisis total fenol pada penelitian ini menunjukkan bahwa tepung buah takokak mengandung total fenol sebesar 123.3418 mg GAE/100 g fresh weight (Lampiran 2). Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil uji total fenol buah takokak pada penelitian Andarwulan et 23
al. (2010) yaitu sebesar 158.92 mg GAE/100 g fresh weight, namun lebih besar dari hasil penelitian Sirait (2009) yang menyatakan kandungan fenol buah takokak sebesar 92.9109 mg/100 g fresh weight. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan letak geografis dari sumber sampel diperoleh dan tingkat kematangan yang berbeda. Nilai total fenol dari buah takokak dalam penelitian ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa sayuran indigenous Indonesia lainnya (Andarwulan et al. 2010). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa komponen fenolik merupakan komponen metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antibakteri (Cowan 1999; Ncube et al. 2008). Oleh karena itu, berdasarkan nilai total fenolnya dapat diduga bahwa buah takokak berpotensi sebagai antibakteri yang baik.
B. EKSTRAKSI BERTINGKAT BUAH TAKOKAK Ekstraksi merupakan proses utama dalam analisis komponen metabolit menggunakan tanaman obat. Faktor yang sangat penting dalam proses ekstraksi adalah metode dan jenis pelarut karena metode dan pelarut tersebut yang akan menentukan komponen metabolit yang akan ikut terekstrak (Cseke et al. 2006). Pada penelitian ini, pelarut yang akan digunakan adalah kombinasi antara metanol dan air. Pemilihan metanol dan air didasarkan pada studi literatur tentang aktivitas antibakteri ekstrak buah takokak. Kulit buah takokak yang diekstrak dengan campuran pelarut etanol dan air menunjukkan aktivitas antibakteri yang paling tinggi dibanding pelarut etanol saja atau air saja dan pelarut non polar seperti heksan atau aseton (Sivapriya et al. 2011). Selain aktivitas antibakteri yang tinggi, ekstrak kulit buah takokak dengan campuran pelarut etanol dan air ini juga memiliki kandungan polifenol dan flavonoid yang paling tinggi dibanding ekstrak lainnya. Dalam penelitian lain, buah takokak juga menunjukkan aktivitas antibakteri yang baik terhadap beberapa bakteri patogen saat diekstrak dengan pelarut metanol 80% (Chah et al. 2000). Baik etanol maupun metanol merupakan pelarut organik yang banyak digunakan dalam ekstraksi senyawa metabolit suatu tanaman. Namun, metanol lebih dipilih karena dapat mengekstrak senyawa metabolit lebih banyak dibanding etanol (Cowan 1999). Oleh karena itu, pada penelitian ini kombinasi pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi menggunakan campuran pelarut metanol dan air. Selain pemilihan pelarut, metode ekstraksi juga merupakan faktor yang penting dalam proses ekstraksi. Penelitian Utami et al. (2009) menunjukkan bahwa metode ekstraksi dan kondisi operasi pada saat ekstraksi berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan dari tanaman obat simpur. Metode ekstraksi yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan ekstraksi bertingkat menggunakan sonikator. Ekstraksi bertingkat merupakan metode yang ideal digunakan untuk penelitian komponen metabolit dari tanaman karena dapat digunakan beberapa macam pelarut yang semakin meningkat kepolarannya (Ncube et al. 2008). Ekstraksi bertingkat ini akan meningkatkan resolusi pemisahan pada saat analisis profil KLT bila dibandingkan dengan ekstraksi satu jenis pelarut. Penggunaan satu jenis pelarut akan menghasilkan satu ekstrak dengan kandungan metabolit yang sangat beragam dan menumpuk dalam ekstrak tersebut sehingga akan dihasilkan resolusi pemisahan yang kurang baik sedangkan pada ekstraksi bertingkat akan dihasilkan beberapa ekstrak yang memiliki komponen metabolit berbeda sesuai dengan polaritas dari pelarut yang digunakan. Penggunaan sonikator dilakukan karena metode sonikasi dianggap lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan metode lainnya seperti Soxhlet atau maserasi (Wang dan Weller 2006). Sonikator merupakan alat yang dapat menghasilkan gelombang ultrasonik dalam frekuensi >20kHz yang dapat memecah membran sel sehingga dapat membantu merusak sel tanaman. Pengrusakan sel tanaman ini dapat mempermudah pelarut untuk masuk ke dalam sel dan 24
membawa keluar senyawa metabolit yang terkandung dalam sel tanaman tersebut (Cseke et al. 2006). Hasil ekstraksi menggunakan metode sonikasi menghasilkan yield ekstrak yang lebih banyak dan proses ekstraksi menjadi lebih cepat. Metode sonikasi juga telah banyak digunakan oleh para peneliti dalam mengekstrak komponen metabolit dari tanaman obat (Lang dan Weler 2006). Tepung buah takokak yang dihasilkan pada tahap persiapan sampel diekstrak menggunakan kombinasi pelarut yang pertama (kode F1). Residu atau ampas hasil ekstraksi menggunakan kombinasi pelarut yang pertama kemudian kembali diekstrak menggunakan pelarut kombinasi kedua (kode F2) begitu seterusnya hingga dihasilkan 8 filtrat dari kombinasi pelarut yang berbeda. Warna dari 8 filtrat yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 15. Selanjutnya, masingmasing filtrat ini dipekatkan menggunakan rotary vacumm evaporator pada suhu 45°C lalu dimasukkan ke dalam vial dan disimpan dalam lemari pendingin hingga nanti digunakan untuk analisis selanjutnya. Nilai rendemen dan warna akhir ekstrak dapat dilihat pada Tabel 7 dan Lampiran 4.
Gambar 15. Filtrat buah takokak (atas) dan ekstrak hasil ekstraksi bertingkat (bawah), dari kiri ke kanan adalah ekstrak F1; F2; F3; F4; F5; F6; F7; F8. Tabel 7. Hasil ekstraksi bertingkat menggunakan kombinasi pelarut terpilih Kombinasi Pelarut Metanol : Air
Rendemen* (g/100 g tepung buah takokak)
Warna Ekstrak
F1
1:0
10.53 ± 0.37
Hijau
F2
9.5 : 0.5
9.75 ± 0.66
Hijau tua
F3
9:1
6.24 ± 0.78
Coklat tua
F4
8.5 : 1.5
4.11 ± 0.39
Coklat tua
F5
8:2
2.87 ± 0.72
Coklat
F6
7:3
2.17 ± 0.36
Coklat
F7
6:4
1.63 ± 0.41
Coklat muda
F8
5:5
2.07 ± 0.93
Coklat muda
Kode Ekstrak
*Rendemen merupakan hasil rataan dan standar deviasi dari tiga ulangan
Nilai rendemen ekstrak diperoleh berdasarkan berat ekstrak buah takokak setelah dipekatkan dengan rotavapor dibandingkan dengan berat tepung buah takokak yang digunakan untuk ekstraksi. Rendemen terbesar didapatkan dari proses ekstraksi yang pertama dengan pelarut metanol dengan nilai 10.53±0.37 % (w/w). Hasil rendemen pada penelitian ini lebih besar dibanding rendemen eksrak metanol buah takokak pada penelitian Arif dan Fareed (2011) 25
yakni sebesar 3.71±0.087 % (w/w). Perbedaan hasil rendemen ini dapat diakibatkan oleh proses ekstraksi yang berbeda. Pada penelitian ini digunakan proses ekstraksi dengan metode sonikasi sedangkan pada penelitian Arif dan Fareed (2011) ekstraksi dilakukan dengan metode Soxhlet. Ekstraksi dengan metode sonikasi dapat menghasilkan rendemen ekstrak yang lebih banyak dibanding metode maserasi (Wang dan Weller 2006). Hasil rendemen yang lebih banyak ini berhubungan erat dengan mekanisme metode sonikasi saat proses ekstraksi. Gelombang ultrasonik yang dihasilkan selama proses ekstraksi menyebabkan pori-pori dinding sel tanaman membesar sehingga mempermudah pelarut untuk berdifusi dan meningkatkan perpindahan komponen metabolit ke dalam pelarut (Vinatoru 2001). Pada Tabel 7 terlihat bahwa semakin banyak proses ekstraksi yang terjadi maka semakin rendah rendemen yang dihasilkan pada ekstrak berikutnya, hal ini yang terjadi pada ekstrak F2 hingga F7. Saat proses ekstraksi yang pertama, tepung buah takokak masih mengandung komponen metabolit yang lengkap sehingga ekstrak F1 yang dihasilkan memiliki rendemen yang terbesar. Pada proses ekstraksi yang kedua, tepung buah takokak yang digunakan merupakan sisa dari ekstraksi pertama sehingga komponen metabolitnya telah berkurang. Hal ini mengakibatkan nilai rendemen pada ekstrak F2 hingga F7 berangsur-angsur menurun karena komponen metabolit dalam tepung buah takokak telah berkurang saat proses ekstraksi sebelumnya. Penurunan hasil rendemen terjadi hingga dihasilkan ekstrak F7 namun pada proses ekstraksi yang ke delapan nilai rendemen kembali meningkat. Pada ekstrak F8 nilai rendemen yang dihasilkan kembali meningkat akibat perbandingan jumlah air yang bertambah pada pelarut saat ekstraksi. Jumlah air yang lebih banyak ini menyebabkan komponen gula yang memiliki berat molekul rendah ikut terekstrak sehingga meningkatkan nilai rendemen yang dihasilkan (Harborne 1987).
C. AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK BUAH TAKOKAK 1.
Persiapan kultur Bacillus cereus Persiapan kultur bakteri Bacillus cereus bertujuan untuk menjamin keseragaman bakteri saat pengujian aktivitas antibakteri. Uji konfirmasi dengan pewarnaan Gram pertama kali dilakukan untuk mengetahui apabila terjadi kontaminasi dalam kultur bakteri yang digunakan. Pada Gambar 16 terlihat bahwa bakteri yang diuji berbentuk batang dan merupakan bakteri Gram positif karena menunjukkan morfologi berwarna ungu. Hasil pewarnaan ini sesuai dengan ciri-ciri Bacillus cereus yang berbentuk batang dan merupakan Gram positif (Gibbs 2003).
(a)
(b)
Gambar 16. Hasil pewarnaan gram bakteri Bacillus cereus (a) hasil penelitian dan (b) referensi (Anonim2 2012)
26
Pada penelitian ini jumlah bakteri awal Bacillus cereus diketahui sebanyak 5.3x107 cfu/ml. Jumlah kultur yang digunakan dalam pengujian aktivitas antibakteri harus diseragamkan. Jumlah kultur bakteri yang direkomedasikan adalah ~10 5 cfu/ml. Apabila jumlah kultur yang ditambahkan > ~105 cfu/ml maka nilai MIC akan lebih besar (Wiegand et al. 2008) dan pada uji difusi sumur zona penghambatan tidak dapat terlihat akibat koloni bakteri yang terlalu banyak (Paris dan Davidson 1993). Oleh karena itu, dalam penelitian ini sebelum kultur Bacillus cereus diinokulasikan kultur tersebut terlebih dahulu diencerkan hingga 100 x untuk mendapatkan jumlah yang diinginkan.
2.
Uji difusi sumur Pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi sumur dilakukan dalam dua tahapan. Pada tahapan yang pertama pengujian dilakukan terhadap seluruh ekstrak hasil ekstraksi bertingkat, sedangkan untuk tahapan kedua pengujian dilakukan berdasarkan berat ekstrak kering dari ekstrak yang menunjukkan aktivitas antibakteri pada tahapan pertama. Tahapan kedua bertujuan mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak buah takokak berdasarkan berat ekstrak kering sehingga data yang dihasilkan dapat lebih baik. Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak buah takokak dilakukan menggunakan metode difusi sumur yang mengacu pada metode Shan et al. (2007) yang dimodifikasi. Metode difusi sumur merupakan metode pengujian aktivitas antibakteri in vitro yang bersifat kualitatif (Paris dan Davidson 1993). Hasil aktivitas antibakteri ditunjukkan dengan zona bening di sekitar sumur sehingga akan didapatkan nilai diameter penghambatan (diameter of inhibition zone (DIZ)) dari ekstrak yang diujikan. Nilai DIZ yang diperoleh pada penelitian ini merupakan selisih antara diameter lubang sumur dan zona bening yang terlihat di sekitar sumur. Pengukuran nilai DIZ ini dilakukan menggunakan jangka sorong sehingga diperoleh ketelitian data sebesar 0.1 mm. Pada penelitian ini digunakan konsentrasi 200 mg/ml untuk masing-masing ekstrak dalam pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode difusi sumur. Nilai konsentrasi ini merupakan konsentrasi terendah yang digunakan pada penelitian Kannan et al. (2012) yang menunjukkan adanya aktivitas penghambatan. Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak buah takokak hasil ektraksi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 17a. Pengujian metode difusi sumur dari seluruh ekstrak hasil ekstraksi bertingkat ini merupakan tahapan pendahuluan untuk mengetahui gambaran umum aktivitas antibakteri pada buah takokak. Dari hasil pengujian metode difusi sumur ini terlihat bahwa hanya ekstrak F1 hingga F5 yang menunjukkan adanya aktivitas penghambatan dengan nilai DIZ mulai dari 0.5 hingga 6.6 mm. Ekstrak lainnya, yakni F6 hinggga F8 memiliki nilai DIZ 0 mm yang artinya tidak memiliki aktivitas penghambatan terhadap Bacillus cereus. Pengujian tahapan pertama ini menggunakan ekstrak langsung hasil ekstraksi bertingkat yang diduga masih mengandung residu pelarut. Oleh karena itu, dilakukan juga pengujian aktivitas antibakteri metode difusi sumur terhadap pelarut yang digunakan saat ekstraksi. Hasil pengujian aktivitas antibakteri terhadap pelarut menunjukkan bahwa baik pada pelarut metanol 100% hingga metanol : air (8 : 2) memiliki nilai DIZ 0 mm yang artinya tidak memiliki aktivitas antibakteri (Lampiran 7). Penelitian Dash et al. (2011) menunjukkan bahwa metanol sebagai kontrol negatif tidak membentuk zona penghambatan terhadap bakteri Pseudomonas spp., Shigella dysentriae, Salmonella typhii dan E. coli. Pelarut metanol juga tidak menunjukkan aktivitas penghambatan dengan nilai DIZ 0 mm pada bakteri Bacillus lainnya yaitu Bacillus subtilis (Lachumy et al. 2010). Selain pengujian terhadap pelarut, 27
dilakukan pula pengujian berdasarkan berat ekstrak kering sebagai koreksi terhadap hasil pengujian tahapan pertama akibat adanya residu pelarut yang tertinggal. Hasil pengujian tahapan pertama menunjukkan bahwa hanya ekstrak F1 hingga F5 yang berpotensi memiliki aktivitas sebagai antibakteri sehingga untuk tahapan kedua hanya ekstrak tersebut yang akan diujikan.
Nilai diameter penghambatan* (mm)
7.0
6.6
6.0
5.3 4.7
5.0
3.7
4.0 3.0 2.0 1.0
0.5 0.0
0.0
0.0
F6
F7
F8
0.0 F1
F2
F3
F4 F5 Kode Ekstrak
*Nilai diameter penghambatan yang diperoleh merupakan hasil rataan dari dua ulangan masing-masing duplo
Gambar 17a. Histogram hasil screening awal pengujian aktivitas antibakteri ekstrak buah takokak pada konsentrasi 200 mg berat basah ekstrak/ml Pengukuran kadar air terhadap lima ekstrak yang terpilih dilakukan sebelum pengujian tahapan kedua. Pengukuran kadar air ekstrak ini menggunakan metode oven vakum (AOAC 925.45 1999) karena diduga ekstrak mengandung komponen gula yang cukup tinggi. Hasil pengukuran kadar air dapat dilihat pada Lampiran 8. Kadar air ekstrak buah takokak hasil ekstraksi bertingkat cukup bervariasi yakni antara 6.00% hingga 20.00%. Setelah data kadar air ekstrak F1 hingga F5 didapatkan maka pengujian aktivitas antibakteri ekstrak buah takokak berdasarkan berat ekstrak kering dapat dilakukan. Hasil pengujian tahapan kedua ini dapat dilihat pada Tabel 7. Pada tahapan kedua ini digunakan kontrol negatif yaitu DMSO dan kontrol positif kloramfenikol. Hasil ekstraksi umumnya mengandung komponen yang tidak homogen sehingga diperlukan pelarut untuk mencampurkan seluruh komponen dalam ekstrak tersebut (Cannell 1998). Salah satu pelarut yang cukup banyak digunakan dalam pengujian aktivitas antibakteri adalah DMSO ( Chah et al. 2000; Naz et al. 2011; dan Patel dan Rao 2012). DMSO merupakan pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak dan kloramfenikol. Pengujian terhadap kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelarut organik (DMSO) terhadap aktivitas antibakteri ekstrak buah takokak. Hasil pengujian pada kontrol negatif menunjukkan bahwa baik DMSO maupun kombinasi pelarut F1 hingga F5 memiliki nilai DIZ sebesar 0 mm. Menurut Sagdic et al. (2005), suatu sampel dikategorikan sebagai antibakteri yang kuat apabila memiliki nilai DIZ > 20 mm, sedang bila nilai DIZ 16-20 mm, cukup bila nilai DIZ 10-15 mm, lemah bila nilai DIZ 6-9 mm dan tidak efektif sebagai antibakteri apabila nilai DIZ 0 mm atau tidak menunjukkan adanya zona bening di sekitar areal sumur. Oleh karena itu, kontrol negatif pada pengujian tahap kedua ini dikategorikan sebagai senyawa yang tidak efektif sebagai antibakteri sehingga 28
diduga tidak mempengaruhi hasil aktivitas antibakteri dari ekstrak buah takokak yang diujikan. DMSO juga diketahui tidak memberikan aktivitas penghambatan pada bakteri S. aureus dan E. coli (Bag et al. 2009; Walter et al. 2011) serta B. cereus (Karou1 et al. 2005). Pada pengujian tahap kedua ini juga digunakan kloramfenikol sebagai kontrol positif. Konsentrasi kloramfenikol yang digunakan adalah 25 mg/ml DMSO. Pada Tabel 8 terlihat bahwa kontrol positif yaitu kloramfenikol menunjukkan nilai DIZ yang besar yakni 34.0±0.44 mm dan dapat dikategorikan sebagai aktivitas antibakteri yang kuat (Sagdic et al. 2005). Bila dibandingkan dengan nilai DIZ ekstrak buah takokak maka terlihat perbedaan yang cukup jauh. Ekstrak buah takokak memiliki nilai penghambatan tertinggi pada ekstrak F1 dengan nilai DIZ sebesar 7.1 mm pada konsentrasi 200 mg/ml sedangkan kloramfenikol pada konsentrasi 25 mg/ml atau 8 kali lebih kecil dibanding ekstrak buah takokak memiliki nilai DIZ yang jauh lebih besar. Tabel 8. Hasil uji difusi sumur ekstrak terpilih berdasarkan berat kering ekstrak Kode ekstrak*
Ulangan
1 2 3 Rataan
Kloramfenikol (25 mg/ml)
DMSO
F1
F2
F3
F4
F5
(kontrol +)
(kontrol -)
7.4
5.4
6.0
5.9
4.2
34.2
0.0
8.1
5.6
6.0
5.8
4.1
34.3
0.0
6.8
5.5
5.9
5.6
4.9
34.2
0.0
6.4
5.7
6.0
5.7
1.1
33.2
0.0
7.1
5.3
5.0
5.2
3.1
34.3
0.0
6.6
5.4
4.9
5.3
3.1
34.0
0.0
7.1 ± 0.63
5.5 ± 0.15
5.6 ± 0.54
5.6 ± 0.26
3.4 ± 1.33
34.0 ± 0.44
0.0 ± 0.00
*Konsentrasi ekstrak yang digunakan sebesar 200 mg berat kering ekstrak/ml
Kloramfenikol merupakan antibiotik sintetik yang diketahui dapat menghambat berbagai macam bakteri baik gram positif maupun gram negatif (Balbi 2004). Antibiotik ini juga diketahui efektif terhadap bakteri Bacillus cereus, oleh karena itu kloramfenikol digunakan sebagai kontrol positif (Drobniewski 1993). Kloramfenikol merupakan antibiotik yang bersifat bakteriostatik terhadap berbagai mikroba namun antibiotik ini juga dapat bersifat bakterisidal pada mikroba penyebab meningitis seperti H. influenzae, S. pneumoniae, and N. meningitidis. Sifat kloramfenikol sebagai bakteriostatik berhubungan dengan mekanisme penghambatannya terhadap bakteri. Secara umum, mekanisme kloramfenikol sebagai antibiotik adalah dengan menghambat sintesis protein. Kloramfenikol akan berikatan dengan ribosom sehingga menghambat aktivitas dari peptidyl transferase (Balbi 2004). Mekanisme penghambatan kloramfenikol ini juga berhubungan erat dengan pembentukan gugus hidroksil radikal oleh bakteri ketika berinteraksi dengan antibiotik (Kohanski et al. 2007). Penelitian saat ini menunjukkan bahwa telah banyak bakteri yang bersifat resisten terhadap antibiotik komersial, termasuk kloramfenikol. Selain resistensi bakteri, antibiotik sintetik juga memiliki efek negatif bagi kesehatan, oleh karena itu walaupun aktivitas penghambatan ekstrak buah takokak jauh lebih kecil dibanding kloramfenikol, buah takokak memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai antibiotik yang alami.
29
Pada Gambar 17b menunjukkan bahwa pengujian aktivitas antibakteri berdasarkan berat kering ekstrak pada ekstrak F1 hingga F5 menunjukkan peningkatan nilai diameter penghambatan dibanding pada pengujian tahap pertama. Pada tahap pertama nilai DIZ ekstrak F1 hingga F5 berkisar antara 0.5 mm hingga 6.6 mm namun pada pengujian tahap kedua berdasarkan berat ekstrak kering nilai DIZ menunjukkan peningkatan dengan kisaran 3.4 mm hingga 7.1 mm. Hal ini dapat membuktikan bahwa pada pengujian difusi sumur tahap pertama masih terdapat residu pelarut sehingga berat ekstrak sesungguhnya berkurang. Walaupun terjadi peningkatan nilai DIZ, ekstrak F1 tetap menghasilkan nilai diameter penghambatan yang terbesar dibanding keempat ekstrak lainnya dengan nilai 7.1 ± 0.63 mm.
Nilai diameter penghambatan * (mm)
8.0
7.1 ± 0.63a
7.0 5.5 ± 0.15b
6.0
5.6 ± 0.54b
5.6 ± 0.26b
5.0 3.4 ± 1.33c
4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 F1
F2
F3 Kode Ekstrak
F4
F5
*Nilai diameter penghambatan yang diperoleh merupakan hasil rataan dari tiga ulangan masingmasing duplo Nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda pada tiap batang menunjukkan analisis rata-rata nilai diameter penghambatan berbeda nyata antar sampel (nilai p<0.05)
Gambar 17b. Histogram hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak buah takokak terpilih pada konsentrasi 200 mg berat kering ekstrak/ml Ekstrak F1 merupakan hasil ekstraksi pertama tepung buah takokak yang menggunakan pelarut metanol (100%). Metanol merupakan pelarut yang telah banyak digunakan dalam ekstraksi komponen aktif tanaman obat. Metanol termasuk ke dalam golongan alkohol seperti etanol, namun metanol lebih bersifat polar dibanding etanol. Pelarut alkohol ini lebih efisien dalam mengekstrak komponen polifenol dibanding air, hal ini diduga karena dalam air enzim polifenoloksidase akan aktif dan mendegradasi komponen polifenol yang telah terekstrak namun dalam pelarut alkohol, enzim ini tidak aktif (Tiwari et al. 2011). Polaritas dari pelarut merupakan salah satu faktor penting dalam proses ekstraksi komponen metabolit. Hal ini didasarkan pada prinsip ekstraksi yaitu like dissolve like dimana pelarut polar akan mengekstrak komponen polar dan sebaliknya pelarut non polar akan mengekstrak komponen non polar (Visht dan Chaturvedi 2007). Komponen polifenol seperti flavonols merupakan komponen metabolit yang larut dalam pelarut polar (Cowan 1999). Kelarutan komponen fenolik dipengaruhi oleh keberadaan gugus polar dalam struktur kimianya (Hobson dan Davies 1971). Komponen fenol dan flavonoid diketahui telah dapat terekstrak oleh pelarut metanol (Moco et al. 2007). Metanol juga diketahui dapat mengekstrak komponen aktif antara lain antosianin, terpenoid, saponin, tannin, 30
xanthoxyllin, totarol, quassinoid, lactone, flavon, phenon, dan polifenol (Cowan 1999). Dalam penelitian Arif dan Fareed (2011), ekstrak metanol dari buah takokak diketahui mengandung komponen alkaloid, gula pereduksi, saponin glikosida, flavonoid glikosida, tanin, fenol, dan protein. Aktivitas antibakteri dari ekstrak buah takokak dipengaruhi oleh komponenkomponen aktif tersebut. Salah satunya adalah saponin, saponin yang dapat diekstrak dengan metanol menunjukkan efek sebagai antimikroba (Ncube et al. 2008). Saponin yang diekstrak dari tanaman ginseng menunjukkan aktivitas antimikroba pada beberapa bakteri antara lain Staphylococcus dan E. coli. Selain saponin, komponen flavonoid dan polifenol yang juga dapat diekstrak dengan pelarut metanol telah diketahui memiliki aktivitas antibakteri (Cowan 1999). Senyawa flavonoid merupakan senyawa yang disintesis sebagai respon dari tanaman saat terinfeksi mikroba (Gould dan Lyster 2006). Mekanisme penghambatan mikroba oleh senyawa flavonoid terdiri dari tiga cara antara lain menghambat sintesi asam nukleat, menghambat fungsi membran, dan menghambat metabolisme energi. Quercetin misalnya, yang merupakan salah satu golongan flavonol telah diketahui dapat menghambat DNA gyrase dari bakteri E. coli (Cushnie dan Lamb 2005). DNA gyrase merupakan enzim yang berperan dalam mengurangi tegangan ketika DNA induk terpisah menjadi dua untaian dalam proses replikasi DNA (Campbell dan Reece 2010). Penghambatan DNA gyrase akan menyebabkan proses replikasi DNA terhambat dan bakteri tidak dapat memperbanyak sel. Komponen metabolit lainnya yaitu senyawa fenol sederhana dan asam fenolat mampu menghambat antibakteri dengan berikatan pada sel membran bakteri. Membran bakteri berfungsi memelihara integritas dari komponen-komponen seluler dalam sel dan berperan mengatur keluar masuknya bahan-bahan yang dibutuhkan oleh sel bakteri. Kerusakan pada membran sel dapat mengakibatkan terjadinya lisis sel atau mengganggu pertumbuhan sel bahkan mati (Denyer dan Stewart 1998). Buah takokak diketahui positif mengandung komponen alkaloid dari berbagai tes kualitatif (Chah et al. 2000; Arif dan Fareed 2011; Kannan et al. 2012). Alkaloid merupakan komponen tanaman yang telah banyak digunakan sebagai bahan baku obatobatan. Alkaloid dapat menghambat aktivitas antibakteri dengan berikatan dengan dinding sel dan DNA dari bakteri. Komponen alkaloid dari Sida acuta menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap bakteri Bacillus cereus, beberapa strain S. aureus dan beberapa strain E. coli (Karou2 et al. 2005). Ekstrak F2, F3, dan F4 memiliki nilai DIZ yang mirip yakni sebesar 5.5±0.15 mm, 5.6±0.54 mm, dan 5.6±0.26 mm. Pada tahap pengujian pertama ekstrak F5 memiliki nilai DIZ terendah dibanding ekstrak F1 hingga F4 dengan nilai 0.5 mm, pada tahap kedua F5 juga menunjukkan aktivitas yang terendah dibanding keempat ekstrak lainnya, namun diameter penghambatannya meningkat menjadi 3.4±1.33 mm. Pada ekstrak F2 hingga F5 ini pelarut yang digunakan saat ekstraksi adalah kombinasi dari metanol dan air dengan jumlah air yang semakin meningkat yang berarti semakin polar senyawa yang terekstrak. Air merupakan pelarut universal yang juga telah cukup banyak digunakan dalam analisis aktivitas antibakteri tanaman obat (Sivapriya et al. 2011; Gracelin et al. 2011). Walaupun senyawa fenol dan flavonoid bersifat polar, namun jika ekstraksi dilakukan menggunakan air efektivitas komponen tersebut sebagai antibakteri menjadi berkurang bahkan hilang (Ncube et al. 2008). Komponen fenol yang larut air ini tidak menunjukkan aktivitas antibakteri yang signifikan dan hanya menunjukkan aktivitas sebagai antioksidan (Tiwari et
31
al. 2011). Hal ini yang mungkin menyebabkan semakin bertambahnya jumlah air maka semakin menurun diameter penghambatan yang dihasilkan dari ekstrak buah takokak. Hasil aktivitas antibakteri buah takokak terhadap Bacillus cereus pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengujian aktivitas antibakteri buah takokak pada penelitian Chah et al. (2000) dan Sivapriya et al. (2011). Perbandingan hasil aktivitas antibakteri antara penelitian ini dan penelitian lainnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Perbandingan hasil aktivitas antibakteri penelitian dan referensi Variabel Nilai diameter penghambatan (mm) Pelarut Bakteri uji Bagian buah Tingkat kematangan
Hasil penelitian
Chah et al. (2000)
Sivapriya et al. (2011)
7.1
16
21
Metanol 100% B. cereus Buah Tua
Metanol 80% B. subtilis Buah -
Etanol 50% B. subtilis Kulit buah -
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah jenis pelarut yang digunakan. Pelarut yang digunakan saat ekstraksi mempengaruhi hasil diameter penghambatan yang diperoleh karena pelarut dalam proses ekstraksi yang akan menentukan komponen metabolit yang terekstrak (Moco et al. 2007). Pada penelitian Chah et al. (2000) digunakan pelarut metanol 80% untuk mengekstrak tepung buah takokak hasil pengeringan matahari dan diperoleh nilai DIZ sebesar 16 mm dengan konsentrasi 80 mg/ml terhadap bakteri Bacillus subtilis. Selain itu, pada penelitian Sivapriya et al. (2011) nilai DIZ tertinggi yaitu 21 mm dihasilkan oleh ekstrak kulit buah takokak pada konsentrasi 10 mg/ml yang diekstrak dengan pelarut etanol:air (1:1) dalam pengujian terhadap bakteri Bacillus subtilis. Penggunaan bakteri uji yang berbeda ini juga mungkin menyebabkan perbedaan hasil yang diperoleh. Pengujian ketahanan terhadap antibiotik 75 strain dari enam spesies bakteri Bacillus menunjukkan bahwa perbedaan ketahanan antar spesies lebih besar dibandingkan perbedaan ketahanan diantara bakteri dalam satu spesies (Reva et al. 1995). Bacillus cereus tergolong ke dalam spesies bakteri Bacillus yang memiliki ukuran lebih besar (large-cell) sedangkan Bacillus subtilis tergolong ke dalam spesies yang berukuran kecil (small-cell) (Drobniewski 1993). Namun hingga saat ini belum ada penelitian mengenai pengaruh ukuran terhadap ketahanan bakteri sehingga belum dapat dipastikan bahwa ukuran sel dapat mempengaruhi ketahanan bakteri terhadap senyawa antibakteri. Pada penelitian Sivapriya et al. (2011) dihasilkan nilai DIZ yang tinggi mungkin karena hanya bagian kulit buah takokak yang digunakan sedangkan pada penelitian Chah et al. (2001) dan penelitian ini yang digunakan adalah seluruh bagian buah takokak. Komponen flavonoid pada buah tomat yang juga merupakan famili Solanaceae seperti takokak berhasil diisolasi dari kulit buah tapi tidak ditemukan dalam daging buah. Komponen fenolik lain seperti p-kumarat, ferulat,asam kafeat, dan asam klorogenat juga ditemukan di dinding kulit buah dan hanya sedikit terdapat di bagian dalam buah (Hobson dan Davis 1971). Pada penelitian ini seluruh bagian buah digunakan sehingga bagian kulit buah, yang diduga lebih banyak mengandung komponen metabolit sekunder, lebih sedikit dibandingkan penelitian menggunakan kulit buahnya saja. Selain itu, buah takokak terdiri dari bagian epicarp, mesocarp, endocarp, biji, plasenta dan kolumella septa seperti yang terlihat pada Gambar 18. Biji buah takokak mengandung endosperm yang berisi cadangan 32
makanan untuk biji yang umumnya berupa karbohidrat, protein, dan lemak (Hidayat, 1995). Komponen makromolekul tersebut tidak memiliki aktivitas sebagai antibakteri bahkan gula merupakan bahan makanan bagi bakteri.
Gambar 18. Struktur buah takokak (a) dan biji buah takokak (b) (Arif dan Fareed 2011) Perbedaan hasil pengujian aktivitas antibakteri juga mungkin akibat perbedaan tingkat kematangan buah takokak yang digunakan. Pada pengujian aktivitas antibakteri buah sawo yang merupakan famili Sapotaceae misalnya, diketahui bahwa tingkat kematangan yang buah yang berbeda mempengaruhi hasil diameter penghambatan terhadap bakteri uji. Pada penelitian buah sawo tersebut aktivitas antibakteri tertinggi terhadap bakteri Bacillus cereus diperoleh dari ekstrak metanol buah yang matang (Patel dan Rao 2012). Hal ini menunjukkan setiap tingkat kematangan buah dapat mengandung komponen metabolit yang berbeda dan mempengaruhi aktivitas antibakteri yang dihasilkan. Tomat yang merupakan famili Solanaceae seperti takokak memiliki kandungan polifenolik yang lebih banyak saat masih muda dan semakin matang buah tomat tersebut maka komponen polifenolik ini semakin menurun (vanBuren 1970). Pada penelitian ini buah takokak yang digunakan adalah buah yang tua namun belum matang sehingga kemungkinan komponen polifenolik yang terkandung dalam buah tersebut lebih sedikit dibanding dengan buah takokak yang masih muda. Padahal komponen fenolik ini merupakan komponen metabolit sekunder yang diduga berperan terhadap aktivitas antibakteri dari tanaman obat (Shan et al. 2007). Perbedaan tingkat kematangan buah mempengaruhi kandungan komponen metabolit baik primer maupun sekunder sehingga dapat mempengaruhi aktivitas antibakteri yang dihasilkan. Komponen metabolit primer seperti karbohidrat, protein, dan lemak berperan dalam fungsi seluler tanaman, termasuk organ buah. Pada tomat yang merupakan famili Solanaceae seperti takokak, pati yang merupakan karbohidrat kompleks terdapat dalam jumlah yang cukup signifikan pada buah yang masih sangat muda namun jumlahnya semakin menurun dengan meningkatnya kematangan buah. Sebaliknya, gula pereduksi pada buah jumlahnya semakin meningkat selama proses pematangan (vanBuren 1970). Komponen metabolit primer lainnya seperi protein, secara umum akan semakin meningkat total protein nitrogennya selama proses kematangan (vanBuren 1970). Komponen metabolit sekunder seperti senyawa fenolik umumnya akan terus menurun konsentrasinya seiringan dengan kematangan buah (vanBuren 1970). Komponen metabolit sekunder pada tanaman disintesis melalui tiga jalur utama yaitu shikimat, isoprenoid, dan poliketida. Jalur shikimat merupakan jalur utama yang menghasilkan senyawa aromatik. Jalur shikimat ini dimulai dengan kondensasi antara D-eritrosa 4-fosfat dan fosfoenolpiruvat. Selain menghasilkan komponen metabolit sekunder, komponen metabolit primer juga dapat dihasilkan melalui jalur shikimat ini (Verpoorte 2000). Secara umum 33
pada buah yang semakin matang jumlah kandungan gula pun akan semakin meningkat. Prekursor bagi komponen fenolik yaitu D-eritrosa 4-fosfat dan fosfoenolpiruvat merupakan turunan senyawa dari pemecahan gula (Scott 2008). Jumlah gula yang tinggi pada buah yang semakin matang akan membuat kandungan komponen fenolik menurun karena diduga gula yang ada tidak dipecah melalui jalur shikimat untuk menjadi prekursor bagi sintesis komponen fenolik melainkan digunakan sebagai cadangan energi dalam buah. Sebanyak >20% metabolisme yang terjadi dalam sel terjadi melalui jalur fenilpropanoid. Jalur ini terutama penting dalam pembentukan komponen lignin, lignan, flavonoid, dan antosianin. Kunci utama dalam jalur fenilpropanoid ini adalah enzim PAL (phenylalanine ammonia lyase) yang mengubah fenilalanin menjadi trans-asam sinamat melalui deaminasi non-oksidatif. Sinamat dapat mengalami hidroksilasi atau metilasi sehingga menghasilkan senyawa fenol hidroksisinamat seperti asam kumarat, asam kafeat, asam ferulat, dan asam sinapit. Sinamat ini juga dapat berikatan dengan senyawa ester CoA menghasilkan senyawa coumaryl–CoA. Penggabungan antara coumaryl–CoA dan malonylCoA oleh enzim CHS (chalcone synthase) menghasilkan senyawa naringenin chalcone yang setelah diisomerasi lanjut akan menjadi naringenin yang merupakan kerangka utama bagi senyawa flavonoid (Verpoorte 2000). Buah muda akan mengalami proses pembelahan dan pembesaran hingga menjadi buah yang tua dan matang (Hidayat 1995). Pada buah muda yang berkembang semakin lama kulit buah akan membelah dan membentuk jaringan-jaringan penyokong yang melindungi biji, begitu pula pada tanaman takokak. Pada kulit buah takokak terdapat bagian hipodermis diantara epidermis dan endodermis (Arif dan Fareed 2011). Umumnya, bagian hipodermis tanaman Solanum tersusun atas jaringan kolenkim yang mengandung lignin. Semakin tebal jaringan hipodermis maka semakin kuat konsistensi buah tersebut. Pada buah takokak yang berkembang dari buah muda menjadi tua lalu matang terjadi proses pembelahan sel dan pembesaran sel. Pembesaran sel dapat ditandai dengan jaringan hipodermis yang semakin menebal ke dalam dibanding ke luar (Chiarini et al. 2010). Penebalan jaringan hipodermis ini menyebabkan bertambahnya jumlah lignin yang dibutuhkan. Sinamat dan turunan hidroksinya dapat menjadi prekursor bagi pembuatan lignin dan lignan (Vepoorte 2000) sehingga pada perkembangan buah menjadi tua, komponen tersebut cenderung diubah menjadi senyawa lignin dan lignan. Padahal komponen fenol hidroksisinamat dan flavonoid yang merupakan turunan dari sinamat memiliki aktivitas sebagai antibakteri (Fernandez et al. 1996; Cushnie dan Lamb 2005). Hal ini mungkin yang menyebabkan aktivitas antibakteri yang dihasilkan lebih rendah karena buah yang digunakan adalah buah takokak tua sehingga jumlah komponen fenol dalam buah lebih rendah.
3.
Uji nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) Nilai MIC adalah konsentrasi terendah dari ekstrak yang menunjukkan aktivitas penghambatan sebesar >90% (Cosentino et al. 1999). Penentuan nilai MIC merupakan suatu langkah awal untuk mengetahui potensi suatu senyawa sebagai antibakteri. Penentuan nilai MIC pada penelitian ini menggunakan metode macro dillution (Wiegand et al. 2008). Pada metode ini ekstrak buah takokak terbaik dibuat menjadi beberapa konsentrasi ekstrak tersebut kemudian ditambahkan bakteri uji yaitu Bacillus cereus. Setelah itu campuran ekstrak diiinkubasi selama 24 jam dan diamati jumlah penghambatan dari masing-masing ekstrak.
34
Pada penelitian ini penentuan nilai MIC dilakukan terhadap ekstrak F1 karena ekstrak F1 memiliki nilai DIZ terbesar dibanding ekstrak lainnya sehingga diduga ekstrak F1 memiliki aktivitas antibakteri yang tertinggi. Konsentrasi ekstrak F1 yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 mg/ml 20 mg/ml, 30 mg/ml, 60 mg/ml, 75 mg/ml, dan 150 mg/ml. Nilai konsentrasi yang diujikan ini jauh lebih besar dibanding hasil MIC ekstrak buah takokak yang telah diteliti oleh Sivapriya et al. (2011) dan Chah et al. (2000) karena nilai DIZ yang dihasilkan pada penelitian ini juga jauh lebih kecil dibanding nilai DIZ dari kedua penelitian tersebut. Penentuan nilai MIC didasarkan pada penurunan jumlah bakteri setelah inkubasi sebesar 90% dari jumlah bakteri awal yang diinokulasikan (Cosentino et al. 1999). Pada konsentrasi 60 mg/ml, 75 mg/ml, dan 150 mg/ml saat 0 jam mengalami penurunan hingga 1 log bila dibanding jumlah bakteri awal pada kontrol negatif (Lampiran 13). Padahal pada kontrol positif yakni kloramfenikol jumlah bakteri saat 0 jam dibandingkan dengan kontrol negatif saat 0 jam tidak menurun. Perbedaan penurunan jumlah bakteri saat 0 jam ini dapat disebabkan oleh mekanisme penghambatan yang berbeda antara ekstrak buah takokak dengan kloramfenikol. Kloramfenikol menghambat sintesis protein melalui kompetisi dengan mRNA yang akan berikatan dengan ribosom untuk membentuk formasi ikatan peptida. Kloramfenikol akan membentuk ikatan reversibel dengan ribosom 50S subunit sehingga menghambat kerja peptidyl transferase. Mekanisme ini menyebabkan kloramfenikol bersifat bakteriostatik (Balbi 2004). Sifat bakteriostatik dari kloramfenikol ini yang dapat menyebabkan jumlah bakteri saat 0 jam tidak menurun dan baru setelah inkubasi selama 24 jam jumlah bakteri mengalami penurunan sebesar 90%. Pada ekstrak buah takokak konsentrasi 60, 75, dan 150 mg/ml jumlah bakteri saat 0 jam telah mengalami penurunan hal ini dapat disebabkan oleh mekanisme yang terjadi adalah bakterisidal. Beberapa senyawa yang telah diketahui terkandung dalam ekstrak metanol buah takokak, seperti alkaloid, tannin, flavonoid, dan saponin (Arif dan Fareed 2011) memiliki mekanisme sebagai antibakteri dengan merusak membran atau berikatan dengan dinding sel bakteri (Cowan 1999; Tiwari et al. 2011). Perusakan membran dan dinding sel akibat komponen fenolik tersebut dapat memberikan efek seperti lisis pada sel bakteri (Denyer dan Stewart 1998). Selain itu, pada penelitian Stapleton et al. (2004) salah satu flavonoid yaitu 3-O-octanoyl-(+)-catechin menyebabkan reduksi bakteri S. aureus sebanyak 1000 kali setelah 1 jam dari kontak awal. Hal ini dapat menunjukkan bahwa komponen flavonoid berpotensi memiliki aktivitas sebagai bakterisidal. Mekanisme lain yang dapat menyebabkan penurunan satu log saat 0 jam adalah terjadinya agregasi sel mikroba. Hasil penelitian Stapleton et al. (2004) menunjukkan ketika S. aureus ditumbuhkan bersamaan dengan penambahan (−)-epicatechin gallate atau 3-O-octanoyl-(−)-epicatechin dan dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop transmisi elektron (TEM) terlihat bahwa terbentuk agregat pseudomultiseluler. Hal ini dapat meyakinkan penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ikagai et al. (1993) yang menunjukkan bahwa katekin menyebabkan kerusakan dan agregasi pada liposom yang dianalogikan sebagai membran sel bakteri. Agregasi membran terjadi karena katekin mengganggu fungsi membran sebagai barier dengan merusak jaringan lipid bilayer. Hal ini menyebabkan materi-materi intramembran bocor dan saling bergabung membentuk agregat. Agregasi membran sel bakteri ini yang kemungkinan menyebabkan jumlah sel mikroba yang terhitung menjadi lebih sedikit.
35
Persentase penghambatan (%)
Hasil penelitian menunjukkan setelah penambahan ekstrak dengan konsentrasi yang tinggi yakni 60 mg/ml, 75 mg/ml dan 150 mg/ml terjadi penurunan jumlah bakteri yang pada pengamatan saat 0 jam. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak tentunya semakin banyak jumlah senyawa metabolit yang terkandung dalam ekstrak tersebut. Senyawa metabolit inilah yang kemungkinan langsung bereaksi dengan sel bakteri menyebabkan kerusakan membran secara langsung atau terbentuknya agregasi sel bakteri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sehingga pada saat pengamatan 0 jam terlihat penurunan jumlah bakteri hingga satu log. Oleh karena itu, dalam perhitungan nilai MIC pada penelitian ini, penurunan jumlah bakteri setelah 24 jam dihitung dari jumlah sel bakteri kontrol negatif (saat 0 jam) yang diasumsikan sebagai jumlah bakteri awal yang terdapat dalam campuran ekstrak buah takokak. Berdasarkan perhitungan tersebut, penghambatan bakteri oleh ekstrak F1 mulai terlihat pada konsentrasi 60 mg/ml dengan nilai persentase penghambatan sebesar 83.61% kemudian persentase penghambatan ini meningkat menjadi 83.87% pada konsentrasi 75 mg/ml. Pada konsentrasi 150 mg/ml nilai persentase penghambatan yang didapatkan lebih dari 90% yaitu sebesar 94.18%. Nilai MIC adalah konsentrasi terkecil yang menunjukkan adanya aktivitas penghambatan >90% (Cosentino et al. 1999) oleh karena itu pada penelitian ini nilai MIC ekstrak F1 sebesar 150 mg/ml. Penentuan nilai MIC juga dapat ditentukan dengan pembuatan kurva. 96 94 92 90 88 86 84 82
y = 0.1239x + 75.449 R² = 0.982
117.44 0
50
100
150
200
Konsentrasi ekstrak (mg/ml) Gambar 19. Kurva penghambatan ekstrak F1 terhadap bakteri Bacillus cereus Hasil pengujian nilai MIC ekstrak F1 pada konsentrasi 60 mg/ml, 75 mg/ml, dan 150 mg/ml ini dapat dibuat kurva hubungan antara persentase penghambatan yang dihasilkan dan konsentrasi dari ekstrak tersebut sehingga akan didapatkan suatu persamaan untuk menduga nilai MIC yang sesungguhnya (Gambar 19). Kurva hubungan ini menghasilkan persamaan y = 0.1239 x + 75.449 dengan x adalah konsentrasi ekstrak dalam mg/ml dan y adalah persentase penghambatan dalam satuan %. Dari persamaan tersebut kita dapat menentukan konsentrasi ekstrak F1 yang memiliki penghambatan tepat 90% sehingga didapatkan nilai MIC ekstrak F1 sebesar 117.44 mg/ml.
D. PROFIL KLT EKSTRAK BUAH TAKOKAK Analisis profil KLT ekstrak buah takokak dilakukan menggunakan pelat KLT silica gel F254 dari Merck. Dalam analisis profil KLT ekstrak buah takokak ini digunakan beberapa kombinasi pelarut sebagai fase gerak sehingga dapat diperoleh pemisahan senyawa yang terbaik. Pemisahan senyawa yang baik dalam KLT memiliki ciri yaitu terbentuk bercak yang banyak dan 36
terpisah dengan jelas (Gritter et al., 1991). Analisis KLT dilakukan dalam dua tahap seperti pada uji aktivitas antibakteri difusi sumur. Pada tahap pertama seluruh ektrak hasil ekstraksi bertingkat dianalisis menggunakan pelat KLT dengan fase gerak campuran antara metanol dan kloroform seperti yang terlihat pada Gambar 20. Hasil pemisahan dengan KLT pada fase gerak tertentu akan memisahkan komponen yang terkandung dalam ekstrak dan terlihat sebagai bercak pada pelat KLT. Visualisasi bercak dilakukan dengan penyinaran UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm. Selain penyinaran dengan UV juga digunakan reagen vanilin-H2SO4 sebagai penampak bercak. Hasil pemisahan KLT pada tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 20. Pada Gambar 20 terlihat bahwa pada fase gerak kloroform:metabol (6:5) dihasilkan bercak yang lebih banyak dan pemisahan yang lebih baik dibandingkan pada fase gerak lainnya. Hasil visualisasi pada panjang gelombang 254 nm, kromatogram menunjukkan bercak berwarna hitam dan abu-abu. Dalam Harborne (1973) disebutkan bahwa komponen fenolik akan berwarna hitam apabila dilihat pada panjang gelombang 254 nm. Pada panjang gelombang 366 nm ketiga fase gerak menunjukkan bahwa terdapat empat bercak utama dengan warna biru muda, biru, ungu, dan merah. Bercak berwarna biru dan ungu yang terlihat diduga termasuk ke dalam golongan flavonoid (Marston dan Hostettmann 2006). Bercak berwarna merah diduga merupakan senyawa klorofil, hal ini diperkuat dengan penampakan pada sinar tampak, bercak tersebut berwarna hijau (Harborne 1973). Keempat bercak ini terlihat pada ekstrak buah takokak F1 hingga F5 namun semakin ke kanan yang artinya semakin polar ekstrak, bercak ini semakin memudar bahkan tidak nampak. Hal ini menunjukkan bahwa komponen aktif dalam buah takokak banyak terdapat pada ekstrak F1 hingga F5. Reagen vanilin-H2SO4 menghasilkan warna kuning dan hijau pada hasil pemisahan dengan KLT. Reagen vanilin-H2SO4 umumnya digunakan untuk identifikasi senyawa fenol sederhana dan asam fenolat (Harborne 1973). Senyawa fenol golongan katekin dan proantosianidin akan nampak berwarna merah atau merah-lembayung setelah penyemprotan dan pemasanan (Markham 1988). Hasil penyemprotan dengan reagen vanilin-H2SO4 tidak memberikan hasil yang diharapkan sehingga pada pengujian selanjutnya reagen ini tidak digunakan. Pereaksi vanilin bereaksi dengan semua flavonoid yang memiliki pola oksidasi lingkar-A florogusinol dan lingkar-C jenuh yang umumnya tidak nampak pada penyinaran sinar UV (Markham 1988). Mungkin komponen metabolit tersebut berada dalam jumlah sedikit dalam ekstrak buah takokak sehingga ketika digunakan vanillin, senyawa tersebut tidak nampak. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya reagen vanillin tidak digunakan. Ekstrak F6 hingga F8 tidak menunjukkan bercak berwarna ketika disinari dengan sinar UV dan penyemprotan dengan vanilin-H2SO4 namun hal ini belum dapat memastikan bahwa pada ekstrak tersebut tidak terdapat komponen metabolit. Pemisahan senyawa dengan KLT memiliki resolusi yang rendah sehingga apabila ekstrak ini dipisahkan dengan teknik kromatografi lain seperti HPLC/GC yang resolusinya lebih baik, mungkin akan lebih banyak senyawa lain yang dapat dideteksi (Khatib dan Yuliana 2010). Selain itu, komponen metabolit yang menunjukkan bercak berwarna pada penyinaran UV merupakan golongan yang memiliki struktur aromatik yang dapat berkromofor dan menyerap panjang gelombang pada absorbansi tertentu (Fernand 2003).
37
Penyinaran UV 254 nm
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
F6 F7 F1 F1 F2 F2 F3 F3 F4 F4F5F5 F6 F7 F8 F8
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
Penyinaran UV 366 nm
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
Penyemprotan dengan vanillin-H2SO4
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
(a)
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
(b)
(c)
Gambar 20. Kromatogram dan visualisasi hasil pemisahan KLT ekstrak buah takokak pada fase gerak kloroform:metanol dengan perbandingan: (a) 7 : 3 (b) 5 : 5 (c) 6 : 5 38
Berdasarkan hasil pada tahap pertama tersebut, maka pada tahap kedua dilakukan analisis KLT kembali namun analisis dilakukan hanya pada ekstrak F1 hingga F5 karena pada tahap pertama hanya kelima ekstrak tersebut yang menghasilkan bercak setelah visualisasi dengan penyinaran UV dan reagen vanilin-H2SO4. Pada tahap kedua ini fase gerak yang digunakan adalah campuran kloroform dan metanol dengan perbandingan 6:5 yang merupakan fase gerak terbaik pada analisis KLT tahap pertama. Pada tahap kedua ini sebanyak 200 mg masing-masing ekstrak dilarutkan dengan 1 ml DMSO kemudian sebanyak 1 µl ekstrak ditotolkan pada pelat KLT. Konsentrasi ini disesuaikan dengan konsentrasi saat pengujian aktivitas antibakteri. Hasil pemisahan dan visualisasi bercak ekstrak F1 hingga F5 dapat dilihat pada Gambar 21. .
Penyinaran UV 366 nm
Penyinaran UV 254 nm
F1
F2
F3
F4
F5
F1
F2
F3
F4
F5
Gambar 21. Kromatogram hasil pemisahan KLT ekstrak buah takokak hasil terpilih (konsentrasi 200 mg berat kering/ml, sebanyak 1µl) dengan fase gerak kloroform:metanol (6 : 5) Secara umum, bercak yang dihasilkan ekstrak F1 hingga F5 tidak berbeda, perbedaan terletak pada ukuran bercak saja. Ekstrak F1 hingga F5 diekstrak dengan campuran pelarut metanol dan air pada beberapa kombinasi namun selang perbandingan metanol dan air yang digunakan tidak jauh berbeda. Hal ini yang mungkin menyebabkan komponen metabolit yang terekstrak antara ekstrak F1 dengan ekstrak lainnya mirip bahkan sama. Selain itu, metanol dan air memiliki tingkat kepolaran yang tidak jauh berbeda sehingga kemungkinan komponen 39
metabolit yang terekstrak pun hampir sama (Tiwari et al. 2011). Ekstrak F1 menunjukkan ukuran bercak yang lebih pekat dan lebih besar dibanding ekstrak lainnya. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa ekstrak F1 mengandung komponen metabolit yang lebih banyak dibanding ekstrak lainnya. Ekstrak F1 merupakan ekstrak hasil proses ekstraksi yang pertama sehingga komponen metabolit yang terekstrak lebih banyak karena komponen metabolit dalam tepung buah takokak masih lengkap. Pada proses ekstraksi yang kedua, komponen metabolit dalam tepung buah takokak telah berkurang karena telah terekstrak pada tahap pertama sehingga ekstrak F2 mengandung komponen yang lebih sedikit dari ekstrak F1, begitu seterusnya Hasil pemisahan pada tahap kedua ini tidak jauh berbeda dengan pemisahan pada tahap pertama. Pada panjang gelombang 366 nm kembali terlihat bercak berwarna biru muda, biru, ungu, dan merah namun bercak yang dihasilkan lebih besar dibanding dengan bercak pada tahap pertama. Perbedaan yang cukup signifikan terlihat pada bercak berwarna biru pada panjang gelombang 366 nm dan warna hitam pada panjang gelombang 254 nm. Hal ini dapat disebabkan oleh konsentrasi yang digunakan yaitu 200 mg/ml terlalu besar sehingga pemisahan tidak terlalu baik. Pada analisis tahap kedua ekstrak F1 juga menunjukkan ukuran bercak yang lebih besar dibanding ekstrak lainnya. Hasil ini semakin menguatkan dugaan bahwa pada penelitian ini ekstrak F1 mengandung komponen aktif dari buah takokak yang lebih banyak dibanding ekstrak lainnya. Hasil pemisahan dengan KLT sebelumnya diketahui bahwa ekstrak F1 mengandung komponen metabolit yang lebih banyak dibanding ekstrak lainnya oleh karena itu ekstrak F1 kemudian diuji profil KLT-nya menggunakan berbagai jenis pelarut. Profil pemisahan KLT ini dapat digunakan sebagai gambaran umum mengenai komponen metabolit yang mungkin terkandung dalam buah takokak. Kromatogram hasil pemisahan KLT ekstrak F1 dapat dilihat pada Gambar 22. Pemisahan ekstrak F1 dilakukan menggunakan berbagai kombinasi pelarut sebagai fase gerak.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 22a. Kromatogram hasil pemisahan KLT ekstrak F1 pada berbagai fase gerak, (a) Kloroform : metanol (6 : 5) (b) Butanol : asam asetat : air (c) Kloroform : asam asetat (9 : 1) (d) Kloroform : etil asetat (7 : 3) (e) Heksan : dietileter (7 : 3) (f) Air 40
Penyinaran UV 254 nm
Penyinaran UV 366 nm
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 22b. Kromatogram hasil visualisasi pemisahan KLT ekstrak F1 pada berbagai fase gerak, (a) Kloroform : metanol (6 : 5) (b) Butanol : asam asetat : air (c) Kloroform : asam asetat (9 : 1) (d) Kloroform : etil asetat (7 : 3) (e) Heksan : dietileter (7 : 3) (f) Air Fase gerak kloroform:metanol (6:5) merupakan fase gerak yang menghasilkan pemisahan terbaik pada KLT tahap pertama, oleh karena itu fase gerak ini kembali digunakan. Beberapa fase gerak lainnya diperoleh dengan melihat referensi terutama dalam Harborne (1973) yang memuat tentang pemisahan komponen metabolit menggunakan KLT. Pada analisis profil KLT ekstrak buah takokak hasil ekstraksi bertingkat ini dugaan mengenai komponen metabolit yang berperan sebagai antibakteri belum dapat dipastikan secara jelas. Komponen metabolit ini dapat diketahui dengan melakukan analisis data dan tahapan identifikasi. Identifikasi komponen metabolit dapat dilakukan menggunakan KLT melalui perbandingan nilai Rf dan sifat spektral dari bercak yang dihasilkan (Kumar et al. 2010; Haswirna 2006). 41
E. IDENTIFIKASI KOMPONEN ANTIBAKTERI EKSTRAK TERBAIK Identifikasi komponen metabolit dari ekstrak buah takokak dilakukan terhadap ekstrak yang memberikan hasil uji aktivitas terbaik dan profil KLT yang baik. Pada pengujian difusi sumur ekstrak terbaik adalah ekstrak yang memiliki nilai diameter penghambatan yang tinggi. Penentuan ekstrak terbaik pada uji aktivitas antibakteri ini ditentukan dengan analisis data statistik ANOVA dan uji lanjut Duncan. Selain itu, ekstrak terbaik juga ditentukan dari hasil pemisahan dengan KLT. Ekstrak yang menunjukkan pemisahan KLT yang baik yakni yang mengandung komponen metabolit terbanyak dan terpisah adalah ekstrak yang dipilih. Selanjutnya pada ekstrak terbaik tersebut dilakukan uji total fenol ekstrak, uji KLT dua dimensi, dan uji sifat spektral dari fraksi hasil KLT dua dimensi. Hasil analisis data statistik ANOVA dan uji lanjut Duncan pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa ekstrak F1 memiliki nilai diameter penghambatan yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding ekstrak lainnya. Pada hasil pemisahan dengan KLT diketahui bahwa ekstrak F1, F2, dan F3 menunjukkan bercak yang lebih banyak dibanding ekstrak lainnya namun hanya ekstrak F1 yang memiliki bercak lebih besar dibanding ekstrak F2 dan F3. Berdasarkan hasil kedua uji tersebut maka ekstrak F1 dipilih sebagai ekstrak terbaik dan digunakan dalam uji identifikasi komponen metabolit ekstrak buah takokak. Pengujian kandungan total fenol ekstrak bermanfaat sebagai informasi awal dalam mengidentifikasi komponen metabolit karena pada umumnya komponen metabolit dari tanaman obat berupa komponen fenolik (Cseke et al. 2006). Ekstrak F1 diketahui mengandung total fenol sebesar 48.90 mg GAE/g bk ekstrak (Lampiran 19). Pengujian kadar total fenol bertujuan untuk mengetahui gambaran umum mengenai kandungan komponen fenolik yang terkandung dalam ekstrak buah takokak, namun pada analisis total fenol ini jumlah total fenol yang diperoleh merupakan equivalen dari senyawa asam galat. Komponen fenolik telah diduga sebagai komponen metabolit yang dapat berperan sebagai antibakteri dari suatu tanaman (Sivapriya et al. 2011; Cowan 1999). Pada uji KLT dua dimensi, fase gerak ditentukan dari hasil pemisahan KLT ekstrak F1 dengan berbagai fase gerak pada tahapan analisis profil KLT. Dari hasil tersebut terlihat bahwa ekstrak F1 menghasilkan bercak terbanyak saat dielusi dengan kloroform:etil asetat (7:3) dan heksan:dietileter (3:7). Pada fase gerak kloroform:etil asetat (7:3) bercak yang dihasilkan lebih banyak dibanding fase gerak lain yaitu sebanyak 10 buah fraksi. Selain itu, pada penyinaran UV 366 nm fase gerak ini juga menghasilkan bercak berwarna biru dan ungu yang diduga merupakan komponen flavonoid (Marston dan Hotteman 2006), berada pada posisi tengah sehingga memudahkan dalam pengerukan untuk uji spektral. Oleh karena itu kloroform:etil asetat (7:3) digunakan sebagai fase gerak untuk uji KLT dimensi pertama. Pada fase gerak heksan:dietileter (3:7) dengan penyinaran UV 366 nm, bercak berwarna merah yang terpisah dengan lebih baik dan banyak. Bercak berwarna merah tersebut diduga merupakan klorofil yang bersifat non polar (Harborne 1973). Hal ini menunjukkan bahwa fase gerak tersebut lebih baik dalam memisahkan komponen non polar sehingga lebih tepat digunakan sebagai fase gerak pada dimensi kedua. Setelah dilakukan pemisahan dan visualisasi bercak, kemudian nilai Rf masingmasing fraksi diukur menggunakan jangka sorong. Kromatogram hasil uji KLT dua dimensi dan visualisasi dengan penyinaran UV dapat dilihat pada Gambar 23. Pemisahan dengan KLT dua dimensi ini menghasilkan 14 buah fraksi. Sebanyak 10 buah fraksi dihasilkan dari pemisahan KLT dimensi pertama, setelah dilanjutkan dengan pemisahan KLT dimensi kedua, fraksi 8, 9, dan 10 kembali terpisah menghasilkan fraksi lainnya. Pemisahan KLT dua dimensi ini menghasilkan penampakan warna bercak yang lebih 42
beragam. Penampakan bercak yang dihasilkan umumnya bersifat khas untuk suatu golongan komponen metabolit tertentu sehingga dapat digunakan untuk identifikasi awal komponen metabolit yang terkandung dalam ekstrak F1. Hasil visualisasi bercak dan dugaan mengenai komponen metabolit yang terkandung dalam bercak dapat dilihat pada Tabel10.
Gambar 23a. Kromatogram hasil pemisahan KLT dua dimensi ekstrak F1 dengan fase gerak pada pengembangan I Kloroform : Etil asetat (7:3) dan fase gerak pada pengembangan II Heksan : Dietileter (3:7) Pada Tabel 10 terlihat bahwa beberapa fraksi ekstrak F1 menunjukkan penampakan warna pada sinar tampak, penyinaran UV 254 nm, dan penyinaran UV 366 nm. Bercak yang menampakkan warna pada sinar tampak diduga kuat merupakan komponen pigmen seperti klorofil, antosianin, atau flavonol kuning (Harborne 1973). Pada penyinaran dengan UV 254 nm terlihat bercak berwarna hitam hingga abu-abu dengan latar hijau, penampakan berwarna hitam ini dapat diduga sebagai komponen fenol dan warna abu-abu menunjukkan rendahnya jumlah komponen fenol yang terkandung dalam fraksi tersebut (Harborne 1973; Marston dan Hostettmann 2006). Pada penyinaran UV 366 nm terlihat penampakan warna yang lebih beragam yakni biru muda, jingga, merah, ungu, biru, dan merah muda. Penampakan warnawarna tersebut diduga merupakan komponen flavonoid. Komponen flavonoid yang diduga ini antara lain senyawa flavon, flavonol, isoflavon, dan senyawa quercetin, myricetin, dan luteolin. Hasil dugaan berdasarkan penampakan warna ini diperkuat dengan hasil penelitian lain yang 43
menyatakan bahwa buah takokak mengandung komponen flavonoid seperti senyawa quercetin (Andarwulan et al. 2010), myricetin (Andarwulan et al. 2010; Kusirisin et al. 2009).
Penyinaran UV 254 nm
Pengembangan I
Penyinaran UV 366 nm
12
13 14
8
9 10
12 11
13 14
7 6 5
4 3 2 1
1
Pengembangan II Gambar 23b. Kromatogram hasil visualisasi pemisahan KLT dua dimensi ekstrak F1 dengan fase gerak pada pengembangan I Kloroform : Etil asetat (7:3) dan fase gerak pada pengembangan II Heksan : Dietileter (3:7)
44
Tabel 10. Hasil visualisasi fraksi ekstrak F1 dan dugaan komponen metabolit berdasarkan penampakan warna bercak yang dihasilkan No. Fraksi
Penampakan warna bercak
Dugaan komponen metabolit berdasarkan referensi*
Sinar Tampak
UV 254
UV 366
1
kuning kecoklatan
hitam
biru muda
2 3 4
TB abu-abu kuning pudar
abu-abu TB TB
TB merah muda jingga
5
TB
TB
biru
6
kuning terang
abu-abu
TB
7
TB
TB
ungu
Flavonoid
8
hijau
TB
merah
9
TB
TB
jingga
Klorofil Flavonol, dihidroflavonol; Quercetin, myricetin, 3- dan7-Oglikosida, Luteolin dan 7-Oglikosida,
10
TB
TB
merah muda
11
TB
TB
jingga
12 13 14
hijau muda hijau abu-abu
abu-abu hitam abu-abu
merah muda merah kehitaman merah
Flavon, flavanon glikosida, flavonol, isoflavon Fenol Klorofil Antosianidin 5-desoxyisoflavones dan 7,8dihydroxyflavanones Fenol
Flavonoid Flavonol, dihidroflavonol; Quercetin, myricetin, dan turunan 3and 7-O-glikosida, Luteolin dan 7O-glikosida Klorofil, fenol Klorofil, fenol Klorofil, fenol
Referensi Markham (1988) Harborne (1973) Harborne (1973) Markham (1988) Markham (1988) Harborne (1973) Marston dan Hostettmann (2006) Harborne (1973) Markham (1988); Marston dan Hostettmann (2006) Marston dan Hostettmann (2006) Marston dan Hostettmann (2006) Harborne (1973) Harborne (1973) Harborne (1973)
* Penampakan warna bercak berdasarkan referensi dapat dilihat pada Lampiran 17.
Identifikasi komponen metabolit juga dapat dilakukan dengan menganalisis hasil uji sifat spektral. Sebanyak 14 fraksi yang terpisah dikeruk dan dianalisis sifat spektralnya pada panjang gelombang 200-400 nm. Pengujian sifat spektral akan menghasilkan nilai panjang gelombang maksimum dari fraksi yang diuji. Komponen metabolit terutama senyawa aromatik dapat menyerap warna pada panjang gelombang tertentu akibat ikatan konjugasi yang terdapat dalam strukturnya sehingga menghasilkan penyerapan maksimum pada panjang gelombang tertentu (Harborne 1973). Hasil uji sifat spektral serta dugaan mengenai komponen metabolit yang teridentifikasi dapat dilihat pada Tabel 11 serta Lampiran 18. Dari hasil uji KLT dua dimensi dihasilkan fraksi 1 yang memiliki nilai Rf 0.00 dan menghasilkan warna hitam pada penyinaran UV 254 nm, oleh karena itu diduga fraksi 1 mengandung komponen golongan fenolik (Harborne 1973). Pada hasil uji spektral fraksi 1 memiliki serapan panjang gelombang pada 328.20 nm [2.683 A]; 305.20 nm [2.292 A]; 299.40 nm [2.310 A]; dan 219.40 nm [2.789 A] seperti yang terlihat pada Tabel 11. Dari hasil serapan panjang gelombang maksimum tersebut fraksi 1 diduga mengandung komponen flavonon dan dihidroflavonol yang memiliki serapan spektrum pada 275-295 nm untuk pita II dan 300-330 nm (bahu) untuk pita I (Markham 1988). Selain golongan flavonoid, fraksi 1 ini juga diduga mengandung komponen kafeat yang merupakan golongan fenol yang memiliki serapan panjang 45
gelombang 213 hingga 290 nm (Robbins 2003). Hasil dugaan pada uji sifat spektral F1 ini sesuai dengan hasil dugaan sebelumnya dari penampakan bercak. Tabel 11. Hasil uji sifat spektral dan dugaan komponen metabolit berdasarkan referensi No. Fraksi
1
2 3 4 5
N
ʎ s; Abs 328.20; 2.683 305.20; 2.292 299.40; 2.310 219.40; 2.789 326.80; 0.093 202.40; 0.342 203.00; 0.254 202.00; 0.194 202.20; 0.263 359.40; 0.080
335.00; 0.157 309.00; 0.157 220.40; 0.367
N ʎ s 326, 294, 240, 220 275-295 (Pita I) 300-330 (Pita II) 245-275 (Pita I) 320 205 205 205 250-280 (Pita I) 310-350 (Pita II); 330-360 (Pita II) 226, 312-361 205 213-290/330 250-280 (Pita I) 310-360 (Pita II 226, 312-361 250-280 (Pita I) 330-360 (Pita II)
335.40; 0.129
250-260
260.20; 0.192
203.80; 0.210 203.40; 0.248 358.60; 0.102 267.60; 0.135
250-280 (Pita I) 310-350 (Pita II); 330-360 (Pita II) 205 205 250-280 (Pita I) 330-360 (Pita II)
261.80; 0.145
250-260
224.20; 0.789 203.40; 0.268
226, 312-361 205
6
306.20; 0.094
7
206.40; 0.585 202.40; 0.251 306.20; 0.034
8
9
10
202.80; 0.326
219.00; 0.628 11 12
13
14
Dugaan berdasarkan referensi Komponen metabolit Referensi Kafeat
Robbins (2003)
Flavanon dan dihidroflavonol
Markham (1988)
Isoflavon
Markham (1988)
Etanol Etanol Etanol
Harborne (1973) Harborne (1973) Harborne (1973)
Flavon dan Flavonol
Markham (1988)
p-kumarat Etanol Asam fenolat dan fenol sederhana
Robbins (2003)
Flavon
Markham (1988)
p-kumarat
Robbins (2003)
Flavonol
Markham (1988)
Fenol sederhana/asam amino aromatik/purin/pirimidin Flavon atau Flavonol Etanol Etanol Flavonol Fenol sederhana/asam amino aromatik/purin/pirimidin p-kumarat Etanol
Robbins (2003)
Harborne (1973)
Markham (1988) Harborne (1973) Harborne (1973) Markham (1988) Harborne (1973) Robbins (2003) Harborne (1973)
Fraksi nomor 9 dan 13 menunjukkan nilai panjang gelombang maksimum yang mirip sehingga menghasilkan dugaan komponen metabolit yang mirip yakni p-kumarat dan flavonol. Hasil dugaan pada uji sifat spektral fraksi 9 dan 13 ini juga sesuai dengan hasil dugaan pada penampakan bercak kedua fraksi tersebut. Pada fraksi 10 juga terlihat persamaan nilai panjang gelombang maksimum yang menghasilkan dugaan komponen flavon atau flavonol dan sesuai dengan hasil dugaan penampakan bercak fraksi 10. Fraksi 3, 4, 5, 7, 11, 12, dan 14 memiliki nilai serapan panjang gelombang yang hampir sama yakni di kisaran 202 hingga 203 nm. Panjang gelombang tersebut kemungkinan adalah panjang gelombang dari pelarut etanol yang digunakan untuk melarutkan komponen dari pelat silica, karena diketahui etanol memiliki kisaran panjang gelombang maksimum di 205 nm. 46
Fraksi 2 dan fraksi 8 memiliki nilai panjang gelombang maksimum yaitu 326.80 nm dan 306.20 nm. Komponen metabolit, khususnya flavonoid, memberikan nilai serapan spektrum pada dua pita namun pada fraksi 2 dan fraksi 8 hanya satu nilai panjang gelombang maksimum yang terlihat. Hal ini mungkin terjadi akibat absorbansi dari pita pertama yang sangat rendah sehingga tidak dapat terlihat. Kemungkinan lainnya adalah kedua fraksi tersebut mungkin mengandung komponen metabolit yang menyerap panjang gelombang sinar tampak seperti antosianin atau klorofil. Identifikasi juga dilakukan menggunakan komponen standar antara lain saponin, asam galat, komponen flavonoid yaitu quercetin, kaempferol, myricetin, dan apigenin. Pemisahan KLT dari ekstrak F1 buah takokak kemudian dibandingkan dengan komponen metabolit standar seperti yang terlihat pada Gambar 24. Nilai Rf dari fraksi ekstrak F1 kemudian dibandingkan dengan nilai Rf komponen standar seperti yang terlihat pada Tabel 12 dan rekapitulasi nilai Rf dapat dilihat pada Lampiran 32.
F1 Q
K
M A G S
F1 Q
K
M A G S
(a)
KMA KMA
KMA KMA Q
QQ G
Q
GG
G (b) Gambar 24. (a) Kromatogram hasil pemisahan KLT satu dimensi ekstrak F1 dan komponen metabolit standar dengan fase gerak Kloroform:Etil asetat (7:3); (b) Kromatogram hasil pemisahan KLT dua dimensi komponen metabolit standar dengan fase gerak pengembang I Kloroform:Etil asetat (7:3) dan fase gerak pengembang II Heksan:Dietileter (3:7) Keterangan: F1 Q K M
: ekstrak F1 buah takokak : Quercetin : Kaempferol : Myricetin
A : Apigenin G : Asam galat S : Saponin
47
Saponin
S
Ekstrak F1
Gambar 25. Hasil pemisahan ekstrak F1 dan saponin standar pada fase gerak kloroform:metanol (7:3) Tabel 12. Hasil penentuan nilai Rf fraksi ekstrak F1 dan komponen standar serta dugaan kesesuaian nilai Rf fraksi dengan komponen standar Nilai Rf
No. fraksi
Rf-1
Rf-2
Rf-1*
Rf-2*
Komponen Standar
1
0.00
0.00
0.00
-
Saponin
2
0.02
0.03
0.02
0.02
Asam galat
3
0.06
0.01
4
0.11
0.03
0.18
0.04
Quercetin
5
0.47
0.13
6
0.56
0.21 0.70
0.42
Myricetin
0.68
0.42
Kaempferol
0.71
0.42
Apigenin
7
0.69
0.18
8
0.82
0.00
9
0.82
0.23
10
0.82
0.30
11
0.88
0.41
12
0.47
13
0.94 0.94
14
0.94
0.66
Keterangan: Rf-1 Rf-2 * -
0.59
= Nilai Rf hasil pemisahan dimensi 1 = Nilai Rf hasil pemisahan dimensi 2 = Nilai Rf komponen standar = Tidak diujikan
Hasil perhitungan nilai Rf dari pemisahan dengan komponen metabolit standar ini menunjukkan bahwa fraksi 1 memiliki nilai Rf yang mirip dengan saponin, fraksi 1 juga menunjukkan penampakan warna yang sama dengan saponin. Setelah dilakukan pemisahan dengan fase gerak lain seperti yang terlihat pada Gambar 25, ekstrak F1 juga menunjukkan nilai Rf yang sama dengan saponin yaitu sebesar 0.76. Hal ini kembali menguatkan bahwa buah 48
takokak mengandung komponen saponin. Saponin juga ditemukan pada buah takokak dengan uji kualitatif (Chah et al. 2000; Arif dan Fareed 2011; Kannan 2012). Identifikasi secara lebih detail dapat menggunakan HPLC, beberapa saponin telah dapat dideteksi pada panjang gelombang 203-208 nm dengan berbagai fase gerak dengan alat HPLC (Oleszek 2002). Saponin telah diketahui memiliki aktivitas sebagai antibakteri (Cowan 1999) sehingga dapat diduga bahwa saponin merupakan salah satu komponen metabolit dalam buah takokak yag berperan sebagai antibakteri. Fraksi 2 memiliki nilai Rf sebesar 0.02 yang mirip dengan nilai Rf asam galat yaitu 0.02 dan dan ketika disinari dengan UV 254 nm, fraksi 2 juga menunjukkan ciri-ciri seperti asam galat yakni menampakkan warna abu-abu kehitaman. Pada pemisahan KLT dua dimensi, asam galat memiliki nilai Rf 0.03 dan mirip dengan nilai Rf pada pemisahan dua dimensi fraksi 2 yaitu 0.02. Pada fraksi 4 dihasilkan nilai Rf yang mendekati nilai Rf komponen quercetin namun tidak menunjukkan penampakan seperti quercetin standar. Setelah dilakukan pemisahan KLT dua dimensi terhadap senyawa standar juga diketahui fraksi 4 memiliki nilai Rf yang mirip dengan quercetin yakni 0.03 dan nilai Rf quercetin 0.04. Quercetin standar menunjukkan warna hitam pada UV 254 nm begitu pula dengan fraksi 4 menampakkan bercak berwarna kehitaman namun ketika disinari UV 366 nm penampakan fraksi 4 dan quercetin berbeda. Fraksi 4 menunjukkan warna kuning pudar pada sinar tampak dan berwarna jingga pada penyinaran UV 366 nm namun quercetin standar menunjukkan warna kuning terang. Menurut Marston dan Hotteman (2006), pada penyinaran UV 366 nm, quercetin berwarna kuning kejinggaan. Penampakan yang tidak sama ini dapat disebabkan karena fraksi 4 tidak hanya mengandung quercetin tapi juga mengandung komponen metabolit lain yang menyebabkan quercetin tidak nampak berwarna. Fraksi 7 memiliki nilai Rf 0.69, nilai Rf ini mirip dengan komponen standar yaitu kaempferol, myricetin, dan apigenin yang masing-masing memiliki nilai Rf sebesar 0.68, 0.70, 0.71. Namun penampakan warna fraksi 7 ini tidak sama dengan ketiga senyawa tersebut. Fraksi 7 menampakkan warna ungu pada penyinaran UV 366 nm sedangkan ketiga senyawa tersebut tidak berwarna dan pada penyinaran UV 254 nm ketiga senyawa standar menunjukkan warna hitam sedangkan fraksi 7 menunjukkan warna hitam yang amat pudar. Pada pemisahan KLT dua dimensi, fraksi 7 memiliki nilai Rf sebesar 0.18 sedangkan ketiga komponen standar memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0.42. Fraksi 7 dapat diduga mengandung ketiga senyawa standar ini namun karena jumlah yang sangat sedikit dan berhimpit dengan senyawa lain menyebabkan penampakan yang terlihat cukup berbeda. Buah takokak telah diketahui mengandung komponen quercetin, myricetin (Andarwulan et al. 2010), dan kaempferol (Lu et al. 2011). Komponen metabolit yang nampak pada panjang gelombang UV merupakan komponen yang memiliki struktur aromatik yang dapat berkromofor dan menyerap pada panjang gelombang tertentu. Komponen lain seperti alkaloid umumnya tidak menyerap pada panjang gelombang UV sehingga pada penelitian ini belum dapat diketahui keberadaannya dalam ekstrak buah takokak, walaupun pada beberapa uji kualitatif buah takokak diketahui mengandung alkaloid (Chah et al. 2000; Arif dan Fareed 2011; Kannan 2012). Identifikasi komponen metabolit menggunakan KLT ini dapat bermanfaat sebagai informasi awal. KLT memiliki kekurangan yakni resolusi pemisahan senyawa yang rendah dalam penelitian selanjutnya dapat digunakan teknik kromatografi lain yang memiliki resolusi lebih baik seperti HPLC atau GC sehingga lebih banyak komponen metabolit yang dapat dideteksi dan komponen metabolit yang berperan dalam aktivitas antibakteri buah takokak pun dapat diketahui secara lebih jelas.
49
V. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Penelitian identifikasi komponen antibakteri pada ekstrak buah takokak menghasilkan delapan ekstrak buah takokak dari proses ekstraksi bertingkat menggunakan depalan kombinasi pelarut metanol dan air. Kombinasi pelarut yang digunakan semakin lama semakin polar dengan meningkatnya jumlah perbandingan air yang digunakan. Sebanyak delapan buah ekstrak ini diberi kode F1 hingga F8 berurutan sesuai dengan semakin meningkatnya kepolaran pelarut yang digunakan. Nilai rendemen ekstrak terbesar yaitu 10.53±0.37 g/100 g dihasilkan dari ekstrak F1 yang merupakan hasil ekstraksi pertama menggunakan pelarut metanol. Pengujian aktivitas antibakteri terhadap Bacillus cereus dengan metode difusi sumur dilakukan pada semua ekstrak buah takokak yang dihasilkan. Ekstrak F1 menunjukkan nilai aktivitas antibakteri yang tertinggi karena menghasilkan nilai diameter penghambatan terbesar yaitu 6.6 mm (200 mg (bb)/ml) dan 7.1 mm (200 mg (bk)/ml). Ekstrak F2 hingga F5 berturut-turut memiliki nilai diameter penghambatan sebesar 5.5 mm, 5.6 mm, 5.6 mm, dan 3.4 mm berdasarkan berat ekstrak kering. Ekstrak F6 hingga F8 tidak menunjukkan aktivitas antibakteri pada konsentrasi 200 mg (bb)/ml sehingga tidak kembali diuji berdasarkan berat kering. Ekstrak F1 yang menghasilkan nilai diameter penghambatan terbesar kemudian dipilih untuk pengujian nilai MIC. Hasil pengujian nilai MIC menggunakan metode dillution broth menunjukkan bahwa ekstrak F1 memiliki nilai MIC sebesar 150 mg/ml atau 117.44 mg/ml berdasarkan persamaan regresi linier antara konsentrasi ekstrak dan persentase penghambatan. Pengujian profil KLT terhadap delapan buah ekstrak takokak menunjukkan bahwa ekstrak F1 hingga F8 memiliki bercak yang mirip bahkan sama, perbedaan terletak pada besarnya bercak dan intensitas warna yang dihasilkan. Ekstrak F1 hingga F5 menghasilkan bercak yang lebih banyak dibandingkan ekstrak lainnya pada fase gerak kloroform:metanol (6:5). Ekstrak F1 juga menunjukkan pemisahan bercak terbanyak yaitu 10 buah dan terpisah dengan cukup baik pada fase gerak kloroform:etil asetat (7:3). Analisis data statistik ANOVA terhadap aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak F1 memiliki nilai aktivitas antibakteri tertinggi yaitu 7.1 mm dan berbeda nyata terhadap ekstrak lainnya. Hasil pemisahan dengan KLT juga menunjukkan bahwa ekstrak F1 memiliki bercak terbanyak dengan pemisahan yang baik dibanding ekstrak lainnya. Oleh karena itu, dilakukan identifikasi komponen terhadap ekstrak F1 menggunakan KLT dua dimensi dan uji sifat spektral. Ekstrak F1 diduga mengandung beberapa golongan flavonoid seperti flavonols, flavones, dan flavanons serta golongan fenol sederhana dan asam fenolat dan beberapa komponen pigmen seperti klorofil dan antosianin. Ekstrak F1 juga diduga mengandung saponin, asam galat, quercetin, myricetin, kaempferol, dan apigenin karena memiliki nilai Rf dan penampakan yang hampir sama, sehingga dapat diduga komponen tersebut yang berperan sebagai antibakteri dari ekstrak buah takokak.
B. SARAN Pada penelitian ini aktivitas antibakteri dari ekstrak buah takokak lebih kecil dibanding penelitian lainnya mungkin karena perbedaan bakteri dan pelarut saat ekstraksi yang digunakan. Pada penelitian selanjutnya, penulis menyarankan untuk melakukan pengujian aktivitas antibakteri buah takokak terhadap beberapa jenis bakteri dan menggunakan kombinasi pelarut yang lain. Identifikasi komponen antibakteri pada ekstrak buah takokak juga disarankan menggunakan metode lain seperti HPLC, LCMS, atau FTIR sehingga dapat diketahui secara lebih jelas dan spesifik komponen metabolit yang berperan sebagai antibakteri pada buah takokak. 50
DAFTAR PUSTAKA Andarwulan N, Kurniasih D, Apriady RA, Rahmat H, Rotoc AV, Bolling BW. 2012. Polyphenols, carotenoids, and ascorbic acid in underutilized medicinal vegetables. J Func F, doi:10.1016/j.jff.2012.01.003 Anonim1. 2012. Gambar struktur kimia kloramfenikol http://www.bifcpresidency.tn.gov.in [21 Desember 2012] Anonim2. 2012. Gambar bakteri Bacillus cereus [10 April 2012] Anonim3. 2012. Gambar ilustrasi pemisahan dengan kromatografi lapis tipis. http://chemed.chem.purdue.edu [10 April 2012] AOAC International. 1999. Official Methods of Analysis 925.45, Chapter 44.1.03, hlm 2. Arif M dan Fareed S. 2011. Pharmacognostical studies and evaluation of total phenolic and flavonoid contents of traditionally utilized fruits of Solanum torvum Sw. Ind JNPR, 2 (02), hlm 218 – 224. Bag A, Bhattachaaryya SK, Bharati P, Pal NK, Chattopadhyay RR. 2009. Evaluation of antibacterial properties of Chebulic myrobalan (fruit of Terminalia chebula Retz.) extracts against methicillin resistant Staphylococcus aureus and trimethoprim-sulphamethoxazole resistant uropathogenic Escherichia coli. Afr J Pl Sci, 3 (2), hlm 025-029. Balbi HJ. 2004. Chloramphenicol: a review. Pediatrics in Review, 25 (8), hlm 284-288. BAM. 2001. Bacteriological Analytical Manual Chapter 3 Aerobic Plate Count. http://www.fda.gov/Food/ScienceResearch/LaboratoryMethods/BacteriologicalAnalyticalMan ualBAM/ucm063346.htm [2 Agustus 2012] Bari MA, Islam W, Khan AR, Mandal A. 2010. Antibacterial and antifungal activity of Solanum torvum (solanaceae). Int J Agri Biol, 12, hlm 386-390. Bottone EJ. 2010. Bacillus cereus, a volatile human pathogen. Clin Microb Rev, 23 (2), hlm 382-398. BPOM. 2011. Kebun Tanaman Obat Badan POM RI. http://www.pom.go.id/public/berita_aktual/data/ktobpom.pdf [30 Desember 2011] Brielmann HL, Stzer WN, Kaufman PB, Kirakosyan A, Cseke LJ. 2006. Phytochemicals: the chemical component of plants. Dalam: Cseke LJ, Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber SL, Duke JA, Brielmann HL (eds). Natural Products from Plants. Boca Raton: CRC Press, hlm 149. Campbell NA dan Reece JB. 2010. Biologi I Ed 8. Wulandari DT (penerjemah). Jakarta: Erlangga. Cannell RJP. 1998. How to approach the isolation of a natural product. Dalam: Cannell RJP (ed). Natural Product Isolation. New Jersey: Humana Press, hlm 1-11. Celeghini RMS, Janete HYV, dan Lancas FM. 2001. Extraction and qualitative HPLC analysis of coumarin in hidroalcoholic extract of Mikania glomerata spreng ("guaco") leaves. J Braz Chem Soc, 12 (6), hlm 706-709. Chah KF, Muko KN, Oboegbulem SI. 2000. Antimicrobial activity of methanolic extract of Solanum torvum fruit. Fit, 71, hlm 187-189. Chan EWC, Lim YY, Wong SK, Lim KK, Tan SP, Lianto FS, dan Yong MY. 2009. Effect of different drying methods on the antioxidant properties of leaves and tea of ginger species. Food Chem, 113, hlm 166–172. Chiarini FE, Moyetta NR, Barboza GE. 2010. Fruit anatomy of species of solanum sect. Torva (Solanaceae). Bol Soc Argent Bot, 45 (3-4), hlm 235-244. Chung KT, Wong TY, Wei CI, Huang YW, Lin Y. 1998. Tannin and human helath: a review. Crit Rev Food Sci Nutr, 38 (6), hlm 421-464. Cosentino S, Tuberoso CIG, Pisano B, Satta M, Mascia V, Arzedi E, Palma F. 1999. In-vitro antimicrobial activity and chemical composition of Sardinian Thymus essential oils. J Lett in App Micro, 29 (2), hlm 130–135. 51
Cowan MM. 1999. Plant product as antimicrobial agents. Clin Micr Rev, 12 (4), hlm 564-568. Crozier A, Jaganath IB, Clifford MN. 2009. Dietary phenolics: chemistry, bioavailability and effects on health. Nat Prod Rep, 26, hlm 1001–1043. Cseke LJ, Setzer WN, Vogler B, Kirakosyan A, Kaufman PB. 2006. Traditional, analytical, and preparative separations of natural products. Dalam: Cseke LJ, Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber SL, Duke JA, Brielmann HL (eds). Natural Products From Plants 2nd Ed. Boca Raton: CRC Press, Taylor and Francis Group, hlm 263-317. Cserhati T dan Forgacs E. 1999. Chromatography in Food Science and Technology. Pennsylvania: Technomic Publishing Company, Inc. Cushnie TPT dan Lamb AJ. 2005. Review: Antimicrobial activity of flavanoids. Int J of Antimicro Agents, 26, hlm 343-356. Dash BK, Sultana S, Sultana N. 2011. Antibacterial activities of methanol and acetone extracts of Fenugreek (Trigonella foenum) and Coriander (Coriandrum sativum). LSMR, 27, hlm 1-8. Denyer SP dan Stewart GSAB. 1998. Mechanism of action of disinfectants. Int Biodet & Biodeg, 41, hlm 261-268. Depkes RI. 2007. Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan, Indonesia. Drobniewski FA. 1993. Bacillus cereus and related species. Clin Microbiol Rev,. 6 (4), hlm 324-338. EFSA. 2005. Opinion of the scientific panel on biological hazards on Bacillus cereus and other bacillus spp. In foodstuffs. The EFSA J, 175, hlm 1-48. Fardiaz S. 1989. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Fernand VE. 2003. Initial characterization of crude extracts from Phyllanthusamarus Schum. and Thonn. and Quassia amara L. using normal phase thin layer chromatography. [tesis] Pascasarjana, University of Suriname. Fernandez MA, Garcia MD, Saenz T. 1996. Antibacterial activity of the phenolic acids fraction of Scrophularia frutescens and Scrophularia sambucifolia. J Ethnopharmacol, 53, hlm 11–14. Gibbs P. 2003. Characteristics of spore-forming bacteria. Dalam: Blackburn CW dan McClure J (eds). Foodborne pathogens: Hazards, Risk Analysis, and Control. Woodhead Publishing Limited, hlm 417-435. Gould KS dan Lister C. 2006. Flavonoid functions in plants. Dalam: Andersen OM dan Markham KR (eds). Flavonoids: chemistry, biochemistry, and applications. Boca Raton: CRC Press, hlm 337-442. Gracelin DHS, de Britto AJ, Kumar PBJR. 2011. Antimicrobial activity of few medicinal palnts againts gram negative bacteria. IJABPT, 2, hlm 457-461. Gritter RJ, Bobbill JM, Schwarting AE. 1991. Pengantar Kromatografi Ed Ke-2. Padmawinata K (penerjemah). Bandung: Penerbit ITB. Gupta SK dan Tripathi SC. 2011. Fungitoxic Activity of Solanum torvum against Fusarium sacchari. Plant Protect Sci, 47, hlm 83-91. Harborne JB. 1973. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, terbitan ke1. Padmawinata K dan Soediro I (penerjemah). Bandung: Penerbit ITB. . 1982. Phytochemical Methods, 2nd Ed. London: Chapman and Hall, L.td. Haswirna CS. 2006. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Antibakteri Daun Terong Pungo (Solanum sp) Hasil Penapisan Tanaman dan Hewan Obat Aceh. [tesis] Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hedges JL dan Lister CE. 2008. Nutritional attributes of Indian vegetables. Plant & Food Research Confidential Report, No 2291. Christchurch: New Zealand Institute for Plant and Food Research Limited. Hidayat I. 1995. Fisiologi Tanaman. Bandung: Penerbit ITB.
52
Hobson GE dan Davis JN. 1971. The tomato. Dalam: Hulme AC (ed). The Biochemistry of Fruits and their Products Vol 1. London: Academic Press, hlm 437-475. Houghton PJ dan Raman A. 1998. Laboratory Handbook for The Fractionation of Natural Extracts. London: Chapman dan Hall. Ikigai H, Nakae T, Hara Y, Shimamura T. 1993. Bactericidal catechins damage the lipid bilayer. BBA – Biomems, 1147 (1), hlm 132-136. Kannan M, Dheeba B, Gurudevi S, Singh AJAR. 2012. Phytochemical, antibacterial and antioxident studies on medicinal plant Solanum torvum. J Phar Re, 5 (5), hlm 2418-2421. Karou1 D, Dicko MH, Simpore J, Traore AS. 2005. Antioxidant and antibacterial activities of polyphenols from ethnomedicinal plants of Burkina Faso. Afr J Biotech, 4 (8), hlm 823-828. Karou2 D, Savadogo A, Canini A, Yameogo S, Montesano C, Simpore J, Colizzi V, Traore AS. 2005. Antibacterial activity of alkaloids from Sida acuta. Afr J Biotech, 4 (12), hlm 1452-1457. Khatib A, Yuliana ND, Jinap S, Sarker MZI, Jaswir I, Wilson EG, Chung SK, Verpoorte R. 2009. Identification of possible compounds possessing Adenosine A1 receptor binding activity in the leaves of Orthosiphon stamineus using TLC and multivariate data analysis. J Liq Chro Rel Tech, 32, hlm 2906 – 2916. Khopkar SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Saptorahardjo (penerjemah). Jakarta: Universitas Indonesia. Kohanski MA, Dwyer DJ, Hayete B, Lawrence CA, Collins JJ. 2007. A common mechanism of cellular death induced by bactericidal antibiotics. Cell, 130, hlm 797-810. Kumar KH, Hullati KK, Sharanappa P, Sharma P. 2010. Comparative antimicrobial activity and tlcbioautographic analysis of root and aerial parts of Andrographis serpyllifolia. Int J Pharmaco Pharmaceu Sci, 2, hlm 52-54. Kusirisin WC, Jaikang, Chaiyasut, Narongchai P. 2009. Effect of polyphenolic compounds from Solanum torvum on plasma lipid peroxidation, superoxide anion and cytochrome P450 2E1 in human liver microsomes. J Med Chem, 5, hlm 583-588. Kusuma AR. 2012. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Buah Takokak (Solanum torvum Swartz) [skripsi], Fateta. Bogor: IPB. Lachumy SJT, Zuraini Z, Sasidharan S. 2010. Antimicrobial activity and toxicity of methanol extract of Cassia fistula seeds. RJPBCS, 1 (4), hlm 391-398. Lu Y, Luo J, Kong L. 2011. Chemical constituents from Solanum torvum. Chin J of Nat Med, 9 (1), hlm 30-32. Maatalah MB, Bouzidi NK, Bellahouel S, Merah B, Fortas Z, Soulimani Rm Derdour A, Saidi S. 2012. Antimicrobial activity of the alkaloids and saponin extracts of Anabasis articulata. J of Bio and Phar R, 3 (3), hlm 54-57. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2003. Brock Biology of Microorganisms Tenth Edition. Prentice Hall Inc, USA. Mahanom H, Azizah AH, Dzulkifly MH. 1999. Effect of different drying methods on concentrations of several phytochemicals in herbal preparation of 8 medicinal plants leaves. Mal J Nutr, 5, hlm 47-54. Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Padmawinata K (penerjemah). Bandung: Penerbit ITB. Marston A dan Hotettmann K. 2006. Separation and qualification of flavonoids. Dalam: Andersen OM dan Markham KR (eds). Flavonoid: Chemistry, Biochemistry, and Applications. Boca Raton: CRC Press, hlm 1-36. Meloan CE. 1999. Chemical Separation. New York: J Willey. Moco S, Bino RJ, De Vos RCH, Vervoort J. 2007. Metabolomics technologies and metabolite identification. Trends in Anal Chem, 26, hlm 855-866. Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 53
Muller J dan Heindl A. 2006. Drying of medicinal plants. Dalam : Bogrs RJ, Craker LE, dan Lange D (eds). Med and Arom Pl. Netherlands: Springer, hlm 237-252. Naz R, Bano A, Yasmin H, Samiullah, Farooq U. 2011. Antimicrobial potential of the selected plant species against some infectious microbes used. JMPR, 5 (21), hlm 5247-5263. Ncube NS, Afolayan A, Okoh AI. 2008. Assessment techniques of antimicrobial properties of natural compounds of plant origin: current methods and future trends. Afr J Biotech, 7 (12), hlm 17971806. Nur MA dan Adijuwana H. 1987. Teknik Separasi dalam Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB.
Nwodo UU, Ngene AA, Iroegbu CU, dan Obiiyeke GC. 2010. Effects of fractionation on antibacterial activity of crude extracts of Tamarindus indica. Afr J of Biotech, 9 (42), hlm 7108-7113. Oleszek WA. 2002. Review: Chromatographic determination of plant saponins. J of Chro A, 967, hlm 147-162. Parish ME dan Davidson PM. Methods for Evaluation. Dalam: Davidson PM dan Branen AL (eds). Antimicrobials in Food 2nd Ed. New York: Marcel Dekker, hlm 597-615. Patel PR dan Rao TVR. 2012. Screening of antibacterial activity of some underutilized fruits of Sapotaceae. Int Food Re J, 19 (3), hlm 1227-1231. Perez-Amador MC, Ocotero VM, Castaneda JMG, Esquinca ARG. 2007. Alkaloids in Solanum torvum Sw (Solanaceae). Int J Exp Bot, 76, hlm 39-45. Rahmat H. 2009. Identifikasi Senyawa Flavonoid Pada Sayuran Indigenous Jawa Barat. [skripsi] Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Reva ON, Vyunitskaya VA, Reznik SR, Kozachko IA, Smirnov VV. 1995. Antibiotic susceptibility as a taxonomic characteristic of the genus Bacillus. Int J of System Bac, 45 (2), hlm 409-411. Robbins RJ. 2003. Phenolic acids in foods: an overview of analytical methodology. J Agric Food Chem, 51 (10), hlm 2866-2887. Rocha RP, Melo EC, Radunz LL. 2011. Influence of drying process on the quality of medicinal plants: A review. JMPR, 5 (33), hlm 7076-7084. Sagdic O, Yasar S, Kisioglu AN. 2005. Antibacterial effects of single or combined plant extracts. Annals of Microb, 55 (1), hlm 67- 71. Scott P. 2008. Physiology and Behaviour of Plants. West Sussex: John Willey & Sons Ltd. Sentra Informasi Keracunan Nasional. 2012. Data Insiden Keracunan Pada Tahun 2010. http://ik.pom.go.id [28 Maret 2012] Shan B, Cai YZ, Brooks JD, Corke H. 2007. Antibacterial activity of dietary spice and medicinal herb extracts. Int J Food Microb, 117, hlm 112-119. Shetty, K., Curtis, O.F., Levin, R.E., Witkowsky, R. and Ang, W. (1995). Prevention of vitrification associated with in vitro shoot culture of oregano (Origanum vulgare) by Pseudomonas spp. J Plant Physiol, 147, hlm 447-451. Sirait N. 2009. Terong Cepoka (Solanum torvum) Herba yang Berkhasiat sebagai Obat. Warta Penelitian dan Pengembangan, 15 (3). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Sivapriya M, Dinesha R, Harsha R, Gowda SST, Srinivas L. 2011. Antibacterial activity of different extracts of sundakai (Solanum torvum) fruit coat. Int J Bio Chem, hlm 1-5. SNI 01-2891-1992. Cara uji makanan dan minuman. Badan Standardisasi Nasional. Stapleton PD, Taylor PW, Miller JMTH. 2005. Antimicrobial properties of green tea catechins. Food Sci Techno Bull, 2, hlm 71-81. Susanto TJ. 1995. Isolasi Antioksidan Daun Sirih (Piper betle L.) dengan Metode Kromatografi. [skripsi] Fateta, IPB. Tajkamiri MM, Ibrahim SA, Cliver DO. 2010. Review: Antimicrobial herb and spice compounds in food. Food Contr, 21, hlm 1199-1218.
54
Tang X dan Pikal MJ. 2004. Review design of freeze-drying processes for pharmaceuticals: practical advice. Phar Re, 21 (2), hlm 191-200. Tiwari P, Kumar B, Kaur M, Kaur G, Kaur H. 2011. Phytochemical screening and extraction: A Review. Int Phar Sci, 1 (1), hlm 98-106. USDA. 2012. Plants Profile: Solanum torvum Sw. http://plants.usda.gov [12 November 2012] Utami TS, Arbianti R, Hermansyah H, Reza A. 2009. Perbandingan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Simpur (Dillenia indica) dari Berbagai Metode Ekstraksi dengan Uji ANOVA. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia Van Buren J. 1970. Fruit phenolics. Dalam: Hulme AC (ed). The Biochemistry of Fruits and their Products Vol 1. London: Academic Press, hlm 269-300. Verpoorte R. 2000. Plant secondary metabolism. Dalam: Verpoorte R dan Alfermann AW (eds). Metabolic Engineering of Plant Secondary Metabolism. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, hlm 1-30. Vinatoru M. 2001. An overview of the ultrasonically assisted extraction of bioactive principles from herbs. Ult Son, 8, hlm 303–313. Visht S dan Chaturvedi S. Review: isolation of natural products. CPR, 2 (3), hlm 584-559. Walter C, Shinwari ZT, Afzal I, Malik RN. 2011. Antibacterial activity in herbal products used in Pakistan. Pak J Bot, 43, hlm 155-162. Wang L dan Weller CL. 2006. Recent advances in extraction of nutraceuticals from plants. Trends in Food Sci Tech, 17, hlm 300–312. Wiegand I, Hilpert K, dan Hancock REW. 2008. Agar and broth dilution methods to determine the minimal inhibitory concentration (MIC) of antimicrobial substances. Nat Pro, 3 (2), 163-175. Winarno FG. 1980. Kimia Pangan. Bogor: Pusbangtepa Teknologi Hasil Pertanian Fatemeta, IPB.
55
LAMPIRAN
Lampiran 1a. Kadar air buah takokak segar Ulangan
Duplo
Berat cawan kering kosong (g)
Berat sampel (g)
Berat cawan + sampel kering (g)
KA bb (%)
KA bk (%)
1
4.9779
3.4404
5.5289
83.98
524.39
2 1
4.5260
3.6056
5.0929
84.28
536.02
5.4250
3.2677
5.9544
83.80
517.25
2 1
5.6382 4.9779 4.5260
3.2757 3.4404 3.6056
6.1651 5.5289 5.0925
83.91 83.98 84.29
521.69 524.39 536.47
Rataan
84.04
526.70
St Dev
0.20
7.84
RSD
0.24
1.49
1 2 3
2
Lampiran 1b. Kadar air tepung buah takokak Ulangan
Duplo
1
1 2
2 3
1 2 1 2
Berat cawan kering kosong (g)
Berat sampel (g)
Berat cawan + sampel kering (g)
KA bb (%)
KA bk (%)
6.7371 6.7118 5.3949 5.4643
1.0068 1.0046 0.3009 0.3007
7.6842 7.6547 5.6769 5.7455
5.93 6.14 6.28 6.48
6.30 6.54 6.70 6.93
5.5242
0.2995
5.8048
6.31
6.74
5.5618
0.3004
5.8420
6.72
7.21
Rataan St Dev
6.31 0.27
6.74 0.31
RSD
4.34
4.64
56
Lampiran 2. Total fenol tepung buah takokak
Konsentrasi (mg/ml)
Absorbansi (A)
50
0.183
0.8
100
0.449
0.6
150
0.693
0.4
200
0.924
0.2
250
1.144
1.2 y = 0.0048x - 0.0405 R² = 0.9986
Absorbansi (A)
1
0 0
50
100 150 200 Konsentrasi (mg/ml)
Berat sampel (mg)
Duplo
1
50.6 50.6 50.4 50.4 50.2 50.2
3
300
Abs
Ulangan
2
250
[fenol]
(A)
(mg GAE/ml)
(mg GAE/100 g bk)
(mg GAE/100 g fresh weight)
1 2
0.665 0.662
146.9792 146.3542
775.0898 771.7939
123.7043 123.1783
1 2 1 2
0.652 0.688 0.653 0.641
763.8266 803.5345 767.9771 754.6884
121.9067 128.2441 122.5691 120.4483
Rataan St Dev
144.2708 151.7708 144.4792 141.9792 145.9722 3.3422
772.8184 16.6294
123.3418 2.6540
RSD
2.2896
2.1518
2.1518
57
Lampiran 3. Contoh perhitungan total fenol tepung buah takokak Ulangan 1 Duplo 2 = = = =
Total fenol (mg GAE/100 g bb)
= = 726.1817 mg GAE/100 g bk
Total fenol (mg GAE/100 g bk freeze dry) = = 775.0898 mg GAE/100 g
Total fenol (mg GAE/100 g fresh weight)
= = 123.1783 mg GAE/100 g
58
Lampiran 4. Rekapitualasi nilai rendemen ekstrak hasil ekstraksi bertingkat
KODE EKSTRAK
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
Kombinasi pelarut
W tepung takokak
Metanol : Air
(g)
1:0
9.5 : 0.5
9:1
8.5 : 1.5
8:2
7:3
6:4
5:5
Ulangan
W tabung kosong
W tabung dan ekstrak setelah dipekatkan
W ekstrak
Rendemen
Rataan
(g)
(g)
(g)
(%)
(%)
50.02
1
54.4
59.46
5.06
10.12
50.05
2
211.06
216.47
5.41
10.81
50.04
3
210.93
216.27
5.34
10.67
50.02
1
210.93
215.46
4.53
9.06
50.05
2
205.25
210.44
5.19
10.37
50.04
3
205.16
210.07
4.91
9.81
50.02
1
54.6
57.54
2.94
5.88
50.05
2
211.06
214.63
3.57
7.13
50.04
3
210.93
213.79
2.86
5.72
50.02
1
210.92
213.09
2.17
4.34
50.05
2
205.25
207.42
2.17
4.34
50.04
3
205.18
207.01
1.83
3.66
50.02
1
205.16
207.01
1.85
3.70
50.05
2
211.06
212.3
1.24
2.48
50.04
3
205.14
206.36
1.22
2.44
50.02
1
54.3
55.49
1.19
2.38
50.05
2
205.25
206.44
1.19
2.38
50.04
3
210.92
211.8
0.88
1.76
50.02
1
210.93
211.98
1.05
2.10
50.05
2
211.06
211.79
0.73
1.46
50.04
3
205.15
205.82
0.67
1.34
50.02
1
205.16
205.97
0.81
1.62
50.05
2
205.25
206.82
1.57
3.14
50.04
3
205.16
205.88
0.72
1.44
STDEV
10.53
0.37
9.75
0.66
6.24
0.78
4.11
0.39
2.87
0.72
2.17
0.36
1.63
0.41
2.07
0.93
59
Lampiran 5. Jumlah kultur awal Bacillus cereus
Ulangan
Pengenceran
Duplo 4
5
Jumlah bakteri (CFU/ml) 6
1
1 2
10 TBUD TBUD
10 TBUD TBUD
10 49 55
2
1 2
TBUD TBUD
TBUD TBUD
59 50 Rata-rata
5.2 x 107 5.4 x 107 5.3 x 107
60
Lampiran 6. Hasil uji difusi sumur ekstrak hasil ekstraksi bertingkat Sampel
Ulangan 1
F1 2 1 F2 2 1 F3 2 1 F4 2 1 F5 2 1 F6 2 1 F7 2 1 F8 2
Duplo
Nilai DIZ (mm)
1
7.1
2
6.9
1
6.5
2
5.9
1
4.4
2
6.6
1
4.1
2
3.7
1
5.8
2
5.6
1
4.5
2
5.2
1
4.3
2
4.0
1
3.6
2
2.9
1
2.1
2
0.0
1
0.0
2
0.0
1
0.0
2
0.0
1
0.0
2
0.0
1
0.0
2
0.0
1
0.0
2
0.0
1
0.0
2
0.0
1
0.0
2
0.0
Rataan
St Dev
6.6
0.53
4.7
1.30
5.3
0.57
3.7
0.61
0.5
1.05
0.0
0.00
0.0
0.00
0.0
0.00
61
Lampiran 7. Hasil uji aktivitas antibakteri metode difusi sumur pada pelarut ekstrak Kombinasi Pelarut Metanol : Air
Ulangan
Duplo
Nilai DIZ (mm)
1
1 2
0.0
2
1 2
1:0
1 9.5 : 0.5 2 1 9:1 2 1 8.5 : 1.5 2 1 8:2 2
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
0.0 0.0
Rataan
St Dev
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
62
Lampiran 8. Kadar air ekstrak terpilih
Kode Ekstrak
Ulangan
1 F1-U1 2 1 F1-U2 2 1 F1-U3 2 1 F2-U1 2 1 F2-U2 2 1 F2-U3 2
Duplo
Berat cawan kering kosong (g)
Berat sampel (g)
Berat cawan + sampel kering (g)
KA bb (%)
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
4.4111 4.2205 2.5860 2.5008 4.3906 4.6057 2.4285 3.2030 5.1011 4.6711 2.4762 3.0362
0.1020 0.1011 0.0997 0.0997 0.1004 0.0997 0.0998 0.0998 0.0999 0.0997 0.0997 0.0997
4.5073 4.3155 2.6794 2.5942 4.4843 4.6985 2.5214 3.2960 5.1950 4.7644 2.5693 3.1297
5.69 6.03 6.32 6.32 6.67 6.92 6.91 6.81 6.01 6.42 6.62 6.22
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
3.2674 2.4786 2.1090 3.1094 2.4861 2.8645 2.5515 2.4848 2.8697 2.4348
0.1000 0.0998 0.1021 0.1003 0.0999 0.0998 0.1000 0.1004 0.0997 0.1002
3.3542 2.5651 2.1979 3.1959 2.5698 2.9488 2.6356 2.5699 2.9525 2.5177
13.20 13.33 12.93 13.76 16.22 15.53 15.90 15.24 16.95 17.27
1 2
3.2651 5.1590
0.0997 0.1003
3.3478 5.2415
17.05 17.75
Rataan
St Dev
RSD
6.09
0.30
4.94
6.83
0.12
1.69
6.32
0.26
4.17
13.30
0.35
2.60
15.72
0.43
2.71
17.25
0.35
2.05
KA bk (%) 6.03 6.42 6.75 6.75 7.15 7.44 7.43 7.31 6.39 6.86 7.09 6.63 15.21 15.38 14.85 15.95 19.35 18.39 18.91 17.98 20.41 20.87 20.56 21.58
Rataan
St Dev
RSD
6.49
0.34
5.25
7.33
0.13
1.82
6.74
0.30
4.46
15.35
0.46
3.00
18.66
0.60
3.22
20.85
0.52
2.49
63
Lampiran 9. Lanjutan hasil kadar air ekstrak terpilih 1 F3-U1 2 1 F3-U2 2 1 F3-U3 2 F4-U1
1
F4-U2
1
F4-U3
1
F5-U1
1
F5-U2
1
F5-U3
1
1
2.5876
0.0998
2.6720
15.43
2 1
2.4939 4.7583
0.1001 0.1001
2.5786 4.8429
15.38 15.48
2 1
3.0095 3.0779
0.0998 0.0999
3.0931 3.1543
16.23 23.52
2 1 2 1
3.1728 3.0377 3.1796 5.1589
0.0996 0.0997 0.0996 0.0999
3.2485 3.1123 3.2534 5.2444
24.00 25.18 25.90 14.41
2 1 2
3.2171 3.3384 2.4314
0.0997 0.1001 0.0998
3.3027 3.4237 2.5172
14.14 14.79 14.03
1
2.8266
0.1001
2.9118
14.89
2 1 2 1
3.1649 2.5022 3.1655 3.3708
0.1001 0.0996 0.1004 0.0998
3.2503 2.5784 3.2426 3.4553
14.69 23.49 23.21 15.33
2
2.4294
0.0995
2.5132
15.78
1 2 1 2 1 2
3.2011 4.3557 4.4082 5.0841 4.2201 4.3911
0.0995 0.0491 0.1000 0.1001 0.1000 0.0502
3.2824 4.3957 4.4899 5.1666 4.3049 4.4341
18.29 18.53 18.30 17.58 15.20 14.34
18.25 15.63
0.40
2.57
18.18 18.32
18.53
0.57
3.06
32.73
1.92
5.86
16.75
0.46
2.74
17.35
0.19
1.12
30.46
0.35
1.13
18.42
0.44
2.41
22.57
0.26
1.14
21.87
0.75
3.45
17.33
0.83
4.81
19.38 30.76 24.65
1.09
4.41
14.34
0.34
2.35
14.79
0.14
0.96
23.35
0.20
0.87
15.55
0.32
2.04
31.57 33.65 34.96 16.84 16.47 17.35 16.32 17.49 17.21 30.71 30.22 18.11 18.74
18.41
0.17
0.93
17.94
0.51
2.83
14.77
0.61
4.10
22.39 22.75 22.40 21.33 17.92 16.74
64
Lampiran 10. Hasil uji difusi sumur ekstrak terpilih Sampel
Ulangan 1
F1
2
1 2 1 2 1 2 1 2 1
3
2 1
1
2 1
2 3 1
F2
F3
2 3 1
F4
2 3 1
F5
2 3 1
Kontrol + Kloramfenikol
2 3 1
Kontrol DMSO
Duplo
2 3
2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Nilai DIZ (mm) 7.4 8.1 6.8 6.4 7.1
Rataan
St Dev
7.1
0.63
5.5
0.15
5.6
0.55
5.6
0.26
3.4
1.33
34.0
0.44
0.0
0.00
6.6 5.4 5.6 5.5 5.7 5.3 5.4 6.0 6.0 5.9 6.0 5.0 4.9 5.9 5.8 5.6 5.7 5.2 5.3 4.2 4.1 4.9 1.1 3.1 3.1 34.2 34.3 34.2 33.2 34.3 34.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
65
Lampiran 11. Hasil uji MIC ekstrak F1 ulangan pertama
[ekstrak F1] (mg/ml) 0 10 20 30 60 75 150 Kloramfenikol
Waktu Inkubasi
10-2 1
10-3 2
0
10-4
10-5
10-6
1
2
1
2
1
2
TBUD
TBUD
63
55
8
8
24
1
TBUD
TBUD
24
50
57
13
7
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
2
1
Jumlah koloni (cfu/ml)
2
5.9x105 118
0
10-7
86
15
1.0x108
18
5.4x105 60
5.6x107
51
0
TBUD
TBUD
48
56
3
2
5.2x105
24
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
67
85
7.6x106
0
TBUD
TBUD
47
38
1
2
4.2x105
24
TBUD
TBUD
112
68
19
35
1.0x106
0
166
223
28
36
2
5
2.1x105
24
80
106
18
23
11
9
9.3x104
0
155
145
37
26
3
4
1.6x105
92
91
18
16
72
85
10
17
44
45
12
10
TBUD
TBUD
44
52
44
45
12
5
24
TBUD
TBUD
0 24
223
240
0 24
TBUD
TBUD
9.2x104 3
7.8x104
2
2.5x104 8
4.8x105
4
4.4x104
66
Lampiran 12. Hasil uji MIC ekstrak F1 ulangan kedua
[ekstrak F1] (mg/ml) 0 10 20 30 60 75 150 Kloramfenikol
Waktu Inkubasi 0 24 0 24 0 24 0 24 0 24 0 24 0 24 0 24
10-2 1
10-3 2
134
TBUD 93 163
10-5
10-6
1
2
1
2
1
2
169
179
32
27
5 TBUD 3 TBUD 2 TBUD 6 102 2 0 0
3 TBUD 6 TBUD 2 TBUD 4 91 3 1 0
2
3
165
TBUD 138
10-4
152 TBUD 117 TBUD 76 30 82 31 30 31 141 29
158 131 TBUD 103 TBUD 124 33 94 22 32 39 161 26
23 23 TBUD 21 TBUD 26 2 8 3 6 1 19 1
19 20 TBUD 25 TBUD 12 4 4 1 7 2 23 8
1
10-7 2
156
118
104
75
34
45
1
36
2
Jumlah koloni (cfu/ml) 1.9x105 1.6x108 1.6x105 9.0x107 1.4x105 4.0x107 1.2x105 9.6x106 1.1x105 3.2x104 8.8x104 3.1x104 3.1x104 1.4x104 1.5x105 1.6x104
34
67
Lampiran 13. Hasil pengujian nilai MIC ekstrak F1 [ekstrak F1] (mg/ml)
Ulangan
0 jam
24 jam
Persentase Penurunan
1
5.9x105
1.0x108
-
2 1
5
1.9x10 5.4x105
8
1.6x10 5.6x107
-
2 1
1.6x105 5.2x105
9.0x107 7.6x106
-
2 1 2 1 2 1 2 1 2 1
1.4x105 4.3x105 1.2x105 2.1x105 1.1x105 1.7x105 8.8x104 7.9x104 3.1x104 4.8x105
4.0x107 1.0x106 9.7x106 9.3x104 3.2x104 9.2x104 3.1x104 2.5x104 1.4x104 4.5x104
84.24% 82.97% 84.49% 83.24% 95.75% 92.60% 92.46%
2
1.5x105
1.6x104
91.35%
0 (kontrol -) 10 20 30 60 75 150 Kloramfenikol (kontrol +)
Rataan 83.61% 83.87% 94.18% 91.90%
Contoh perhitungan. Konsentrasi 150 mg/ml ulangan 1 Persentase penurunan =
–
= =
68
Lampiran 14. Hasil ANOVA uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi sumur
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Sampel
F1
6
F2
6
F3
6
F4
6
F5
6
1
5
2
5
3
5
4
5
5
5
6
5
Ulangan
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:DIZ Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
45.208a
9
5.023
12.159
.000
Intercept
886.720
1
886.720
2.147E3
.000
Sampel
40.798
4
10.199
24.690
.000
Ulangan
4.410
5
.882
2.135
.103
Error
8.262
20
.413
Total
940.190
30
53.470
29
Corrected Total
a. R Squared = .845 (Adjusted R Squared = .776)
69
Lampiran 15. Uji Lanjut Duncan uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi sumur
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets DIZ Duncan Subset Sampel
N
1
2
3
F5
6
F2
6
5.4833
F4
6
5.5833
F3
6
5.6333
F1
6
Sig.
3.4167
7.0667 1.000
.707
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .413.
70
Absorbansi (A)
Lampiran 16. Total fenol ekstrak metanol tepung buah takokak 2.000 1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 0.800 0.600 0.400 0.200 0.000
y = 0.0019x - 0.0539 R² = 0.9877
0
200
Ulangan 1 2 3
400 600 800 Konsentrasi (mg/ml)
Berat sampel (mg) 26.62
Duplo
1000
1200
Abs
Konsentrasi (mg/ml)
Absorbansi (A)
100
0.135
250
0.372
500
0.899
750
1.483
1000
1.751
[fenol]
1
(A) 0.884
(mg GAE/ml) 493.6316
(mg GAE/100 g bb) 4635.9089
(mg GAE/100 g bk) 4957.6611
26.62 26.83 26.83 26.68
2 1 2 1
0.826 0.876 0.856 0.915
463.1053 489.4211 478.8947 509.9474
4349.2230 4560.3900 4462.3065 4778.3674
4651.0779 4921.1071 4815.2655 5123.7051
26.68
2
0.867
4541.6437 4554.6399 146.6848
4869.8731
Rataan St Dev
484.6842 486.6140 15.6048
RSD
3.2068
3.2206
3.2107
4889.7816 156.9953
71
Lampiran 17. Referensi dugaan komponen metabolit berdasarkan penampakan bercak Warna pada penyinaran UV
Sinar tampak
254 nm
366 nm
Kuning pucat
-
Coklat
Flavonol glikosida, flavon glikosida, biflavonyls
Tidak berwarna
-
biru
5-desoxyisoflavones dan 7,8-dihydroxyflavanones
-
Hitam
Hijau
-
Merah
Klorofil
-
-
Jingga-kuning
Quercetin, myricetin, dan turunan 3- and 7-O-glikosida
Kuning-hijau
Kaempferol, isorhamnetin, dan turunan 3- and 7-Oglikosida, Apigenin dan 7O-glikosida
-
-
Dugaan
Referensi
Harborne 1973
Fenol
-
-
Jingga
Luteolin dan 7-O-glikosida
-
-
Ungu, merah muda
Flavonoid
-
-
Fluoresensi biru muda
Flavon, flavanon glikosida, flavonol, isoflavon
-
-
Merah jingga
Antosianidin
-
-
Kuning redup, kuning, atau fluoresensi jingga
Flavonol, dihidroflavonol
Marston dan Hostettmann 2006
Markham 1988
72
Lampiran 18. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 1
73
Lampiran 19. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 2
74
Lampiran 20. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 3
75
Lampiran 21. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 4
76
Lampiran 22. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 5
77
Lampiran 23. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 6
78
Lampiran 24. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 7
79
Lampiran 25. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 8
80
Lampiran 26. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 9
81
Lampiran 27. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 10
82
Lampiran 28. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 11
83
Lampiran 29. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 12
84
Lampiran 30. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 13
85
Lampiran 31. Hasil uji sifat spektral fraksi ekstrak F1 fraksi 14
86
Lampiran 32. Rekapitulasi nilai Rf ekstrak F1 dan beberapa komponen metabolit standar
No. Fraksi
Nilai Rf-1 Ulangan 1
Ulangan 2
Rataan
Nilai Rf-2 Ulangan 1
Ulangan 2
Rataan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
0.00 0.02 0.05 0.09 0.45 0.55 0.69 0.81 0.81 0.81 0.86 0.95 0.95
0.00 0.02 0.05 0.09 0.44 0.53 0.67 0.79 0.79 0.79 0.86 0.96 0.96
0.00 0.02 0.07 0.13 0.48 0.56 0.70 0.82 0.82 0.82 0.88 0.92 0.92
0.00 0.02 0.07 0.13 0.49 0.59 0.71 0.84 0.84 0.84 0.90 0.93 0.93
0.00 0.02 0.06 0.11 0.47 0.56 0.69 0.82 0.82 0.82 0.88 0.94 0.94
0.00 0.04 0.02 0.05 0.15 0.25 0.20 0.00 0.18 0.35 0.46 0.51 0.61
0.00 0.05 0.01 0.03 0.12 0.21 0.19 0.00 0.27 0.31 0.44 0.51 0.64
0.00 0.05 0.01 0.02 0.12 0.20 0.17 0.00 0.23 0.28 0.36 0.42 0.55
0.00 0.05 0.01 0.02 0.13 0.19 0.17 0.00 0.23 0.26 0.39 0.46 0.57
0.00 0.05 0.01 0.03 0.13 0.21 0.18 0.00 0.23 0.30 0.41 0.48 0.59
14'
0.95
0.96
0.92
0.93
0.94
0.70
0.70
0.61
0.62
0.66
Nilai Rf Komponen Metabolit Standar Saponin Asam galat Quercetin Myricetin Kaempferol
0.00 0.01 0.18 0.69 0.67
0.00 0.02 0.17 0.70 0.69
0.00 0.01 0.18 0.70 0.69
0.00 0.02 0.17 0.71 0.67
0.00 0.02 0.18 0.70 0.68
0.04 0.04 0.43 0.43
0.03 0.05 0.41 0.41
0.02 0.04 0.42 0.42
0.03 0.04 0.42 0.42
0.03 0.04 0.42 0.42
Apigenin
0.71
0.72
0.72
0.70
0.71
0.43
0.41
0.42
0.42
0.42
87