IDENTIFIKASI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM DUGAAN PROYEK FIKTIF YANG DIBEBANKAN PADA OPERATING COST RECOVERY DALAM PRODUCTION SHARING CONTRACT (KASUS BIOREMEDIASI PT. CHEVRON PACIFIC INDONESIA) Fajar Reyhan Apriansyah Program Studi Ilmu Hukum, Kekhususan Hukum tentang Hubungan Negara dan Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Abstrak Tulisan ini membahas mengenai dua permasalahan. Pertama, mengenai ruang lingkup operating cost recovery dalam Production sharing contract masuk kedalam ruang lingkup keuangan negara atau tidak. Kedua, jika sebuah proyek diduga fiktif dan biaya proyek dibebankan pada operating cost recovery dapat dikatakan sebagai kerugian keuangan negara atau tidak menurut Pasal 1 angka 12 UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Berdasarkan hal tersebut, kasus bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia menjadi objek dalam penelitian skripsi ini. Kasus bioremediasi ini diduga merugikan keuangan negara oleh aparat penegak hukum. Namun, ketidak cermatan aparat penegak hukum mengatakan kasus ini sebagai kerugian keuangan negara penting untuk diteliti dan dianalisis dengan cermat. Kata Kunci : Bioremediasi, Fiktif, Kerugian, negara, Operating cost recovery Abstract This article will cover two problems: First, whether the scope of operating cost recovery in the Production sharing contract is to be considered as the scope of state financial scope or not; Second, if an allegedly fictitious project and project costs are charged to the operating cost recovery can be regarded as the country's financial losses or not, according to Article 1 no. 12 of Law No. 1 Year 2004 on State Treasury. Based on this, the case of bioremediation of PT. Chevron Pacific Indonesia become the object of study of this thesis. This bioremediation case is allegedly cost the state finance loss by law enforcement officers. However, the incautious act of law enforcement officials' by saying this case as a state financial loss is important to be researched and analyzed further. Keywords : Bioremediation, fictitious, loss, State, Operating cost recovery.
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk memberikan kepastian hukum, maka penghitungan kerugian keuangan negara pada kontrak bagi hasil harus dilakukan dengan cermat dan teliti. Terutama terkait dengan pengelolaah Sumber Daya Alam. Oleh sebab itu pengelolaan sumber daya alam merupakan suatu hal yang harus mendapat perhatian dari semua pihak, termasuk pemerintah. Terlebih pengelolaan minyak dan gas bumi yang ada di tanah air. Bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan yang lebih penting lagi minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak, bahkan sumber daya alam ini dapat mempengaruhi kondisi stabilitas suatu negara. Untuk itulah peran pemerintah menjadi sangat besar dalam melakukan pengelolaan minyak dan gas bumi di negaranya. Dalam melakukan pengelolaan minyak bumi biasanya pemerintah akan menyerahkan kepada pihak kontraktor untuk melakukan pengelolaan terhadap minyak bumi yang diambil dari perut bumi. Dengan demikian terdapat dua model kontrak yang biasanya diterapkan dalam melakukan pengelolaan minyak bumi, yaitu Kontrak Karya (konsesi) dan Kontrak Production Sharing (bagi hasil)/Production Sharing Contract. Indonesia dalam melakukan pengelolaan minyak bumi dilakukan dengan sistem Kontrak Production Sharing (bagi hasil)/Production Sharing Contract (PSC). Pencetus ide Kontrak Bagi Hasil adalah Bung Karno, yang mendapatkan ide tersebut berdasarkan praktek yang berlaku di pengelolaan pertanian di Jawa. Kebanyakan petani (Marhaen) adalah bukan pemilik sawah. Petani mendapatkan penghasilannya dari bagi hasil (paron). Pengelolaan ada ditangan pemiliknya1. Dalam PSC, Pemerintah (c.q. Pertamina) membagi hasil produksi bersih menurut suatu persentase tertentu. Hasil produksi bersih merupakan selisih antara hasil penjualan produksi migas (lifting) dengan biaya pokok atau biaya operasinya. Nilai produksi bersih yang akan dibagi oleh pemerintah dengan kontraktor migas disebut sebagai Equity to be Split (ETBS). Perhitungan 1
Widjajono Partowidagdo, “PSC di Indonesia versus Pengusahaan Migas Dunia Cost Recovery versus Peningkatan Produksi Migas di Indonesia” http://gamil opinion.blogspot.com/2008/08/makalah-prof-widjajonopartowidagdo.html, diunduh 27 Desember 2012
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
bagi hasil antara pemerintah dengan perusahaan migas itu dilakukan setiap tahun. Pada hakikatnya, biaya operasi/operating cost yang timbul dalam pelaksanaan kontrak PSC adalah diganti atau ditanggung oleh pemerintah. Kontraktor membayar terlebih dahulu (menalangi) nilai pengeluaran untuk biaya operasi tersebut. Selain menyediakan dana, kontraktor wajib menyediakan teknologi, peralatan dan keahlian yang diperlukan bagi eksplorasi dan eksploitasi migas tersebut dan menanggung semua risiko yang timbul daripadanya. Penggantian biaya operasi oleh Pemerintah tersebut dalam perhitungan bagi hasil disebut sebagai Cost Recovery2. Cost recovery pada prinsipnya merupakan pengembalian biaya operasi yang dibayarkan dari perolehan minyak secara inkind untuk pengembalian biaya di mana kontraktor mempunyai hak mengambil dan bebas menjual/mengekspor. Cost Recovery ini menganut zero balance dengan batasan produksi dan jangka waktu kontrak. Operating Cost akan dikembalikan sepenuhnya dengan mekanisme berdasarkan besarnya produksi pada tahun berjalan, apabila tidak mencukupi maka untuk pengembalian operating cost yang belum terbayarkan (unrecovered) akan diperoleh dari produkasi tahun-tahun berikutnya3. Negara memiliki hak penuh terhadap hasil produksi minyak dan gas atas suatu wilayah kerja sampai titik pelepasan hak atau titik penjualan. Berdasarkan hal tersebut negara dapat secara aktif melakukan pemasaran dan penjualan hasil produksi berupa minyak dan gas. Perhitungan bagi hasil ini berdasarkan pada kuantitas (natura) bukan nilai. Dalam kontrak PSC pembagian hasil produksi minyak dan gas dari suatu wilayah kerja secara terus menerus sampai akhir masa kontrak4. Sistem bagi hasil minyak pada awalnya sebesar 65:35, dimana 65% untuk Negara dan 35% untuk kontraktor. Kemudian pada tahun 1976 perbandingan bagi hasil berubah menjadi 85:15, dimana 85% untuk Negara dan 15 % untuk kontraktor. Sistem bagi hasil untuk gas sebesar 65:35, dimana 65% untuk negara dan 35% untuk kontraktor. Apabila kontraktor
2
BPK RI, “Cost Recovery dalam Kontrak Production Sharing Migas dan Gas Bumi di Indonesia” (Makalah untuk Seminar “Cost Recovery: Daya Tarik Investasi Atau Beban Bagi Negara”, Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti, Senin, 11 Juni 2007) , hlm 2 3
Wahyuni Lestari, “Peranan Work Program & Budget sebagai Alat Perencanaan dan Pengendalian pada Production Sharing Contract,” (Tesis Magister Manajemen Universitas Indonesia, Depok, 2009), hlm. 31 4
Ibid., hlm 32
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
menemukan cadangan gas yang dinilai komersial, maka pemerintah memberlakukan perlakuan yang sama dengan minyak untuk pembiayaan pendirian fasilitas produksinya.5 Konsep dan bentuk cost recovery serta operating cost yang diterapkan oleh perusahaan pengolahan minyak bumi diimplementasikan dalam kegiatan bioremediasi yang dilakukan oleh perusahaan pengolahan minyak bumi. Bioremediasi merupakan metode yang aman untuk membersihkan tanah yang terpapar minyak dengan bantuan mikroba, setelah melalui siklus 3-6 bulan mikroba memakan senyawa minyak dan mengubah senyawa tersebut menjadi air dan gas yang tidak beracun. Proses ini akan mengembalikan tanah ke bentuk semula. Teknologi bioremediasi ini digunakan oleh salah satu perusahaan pengolahan minyak di Indonesia yaitu PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI). PT. CPI telah menerapkan teknologi bioremediasi ini sejak tahun 2003 sampai tahun 2012. Dengan menerapkan teknologi bioremediasi, CPI berhasil secara aman mengolah lebih dari setengah juta meter kubik tanah yang setara dengan ukuran 200 kolam renang berstandar olimpiade. Tanah yang telah diolah tersebut digunakan untuk penghijauan kembali 60 hektar lahan di provinsi Riau, Sumatera yang setara dengan 75 lapangan sepak bola6. Namun ternyata teknologi bioremediasi ini menimbulkan masalah saat ini, dimana proyek pemulihan lahan bekas tambang minyak atau bioremediasi dari tahun 2003-2011 di PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Riau, diduga sebagai proyek yang fiktif dengan nilai kerugian negara ditaksir mencapai US$ 270 juta. Proyek bioremediasi ini merupakan bagian dari proyek kerja sama eksplorasi pertambangan antara PT Chevron Pacific Indonesia dengan BP Migas (sekarang SKK Migas). Dalam proyek bioremediasi tersebut PT Chevron Pacific Indonesia menggandeng PT Green Planet dan PT Sumigita Jaya sebagai kontraktor pelaksana. Prosesnya ada yang melalui tender dan penunjukkan langsung. Sistem anggaran dalam proyek tersebut menggunakan cost recovery. Kedua perusahaan ini diminta melaksanakan proyek terlebih dahulu sementara pembayarannya diajukan atau diklaimkan ke SKK Migas sebagai cost recovery PT Chevron Pacific Indonesia selama rentang waktu 2006 sampai 2011. Setelah mendalami dan menyelidiki kasus ini, pada tanggal 16 Maret 2012, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh orang sebagai tersangka 5
Ibid.,
6
PT. Chevron Pacific Indonesia, “Program Bioremediasi di PT. Chevron Pacific Indonesia” Lembar Fakta Bioremediasi, (12 Juni 2012), hlm. 1
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
dugaan tindak pidana korupsi proyek yang berada di Riau ini. Lima orang dari PT Chevron Pacific Indonesia sedangkan dua lainnya dari kontraktor7. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menurunkan tim untuk memeriksa kondisi tanah di tempat proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) berjalan. Tim penyidik memeriksa dua lokasi lapangan minyak PT. CPI berbeda di daerah Riau, yaitu Duri dan Minas. Pengecekan fisik di Riau dilakukan untuk membuktikan bahwa proyek bioremediasi atau penormalan setelah terkena limbah tidak dilakukan alias fiktif. Padahal, anggaran sebesar AS$23,361 juta atau sekitar Rp200 miliar telah diajukan kepada BP Migas. Anggaran ratusan miliar itu pun telah dicairkan.8 Penyidikan kasus ini dilakukan sejak pertengahan Maret 2012. Berawal ketika CPI mengikat kontrak dengan BP Migas untuk melakukan penambangan minyak tahun 2003-2011. CPI menganggarkan kegiatan penormalan lingkungan secara keseluruhan, meliputi air, udara, dan tanah sebesar AS$270 juta. Untuk melakukan bioremediasi, anggaran sebesar AS$23,361 juta telah diajukan ke BP Migas dan anggaran itu sudah dicairkan. Namun, tidak ada kegiatan bioremediasi yang dilakukan. Program bioremediasi itu diduga fiktif, sehingga negara dirugikan sebesar AS$23,361 juta atau sekitar Rp200 miliar.9 Melihat kasus bioremediasi yang ditetapkan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini kejaksaan menyatakan kegiatan bioremediasi yang dilaksanakan oleh PT.CPI sebagai kasus korupsi dan diduga menimbulkan kerugian negara tentu perlu mendapatkan analisis bahwa sebenarnya apakah benar kegiatan tersebut merugikan keuangan negara berdasarkan teori dan konsep keuangan negara. Untuk memahami hal tersebut, perlu diketahui apa pengertian dasar dari keuangan negara. Keuangan negara adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap tahunnya. Dengan kata lain APBN merupakan deskripsi
7
Julian Cholse, “Meninjau Korupsi dari Segi Etika Bisnis” http://juliancholse.blogspot.com/2012/09/ethics-and-corruption-act-etika-dan.html, diunduh 27 Desember 2012 8 “Tanah Berlimbah, Bukti Korupsi Bioremediasi Chevron,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9162f7bf2d0/tanah-berlimbah--bukti-korupsi-bioremediasi-chevron, diunduh 8 April 2013 9
Ibid
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
keuangan negara dalam arti sempit sehingga pengawasan terhadap APBN juga merupakan pengawasan terhadap keuangan negara10. Sesungguhnya menetapkan suatu perbuatan tindak pidana korupsi sebagai sebagai perbuatan yang merugikan negara tidak hanya dapat disandarkan pada hakikat mengikuti rumusan perbuatan formilnya, yaitu dengan “melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atua orang lain, atau suatu badan.” Akan tetapi, yang lebih penting pada rumusan meteriilnya, yaitu merugikan keuangan negara. Aspek kerugian negara inilah yang selalu kemudian diidentikan dengan keuangan negara11. Namun dalam Undang-undang No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan negara pada pasal 1 butir 22 disebutkan “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Dari rumusan pasal 1 butir 22 Undang-undang No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara jelas disebutkan bahwa unsur dari kerugian negara adalah adanya Kekurangan Uang yang nyata dan pasti jumlahnya, serta perbuatan melawan hukum. Namun jika dikaitkan dengan kasus bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia yang menggunakan sistem dan mekanisme Production Sharing Contract yang didalamnya terdapat Cost Recovery dan Operating System yang dalam menghitung keliebihan atau kekurangannya bukan dihitung dalam bentuk uang melainkan dalam bentuk bagi hasil minyak antara pemerintah dan pihak PT. Chevron Pacific Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil judul “ Identifikasi Kerugian Keuangan Negara Dalam Dugaan Proyek Fiktif Yang Dibebankan Pada Operating Cost Recovery Dalam Production Sharing Contract Tinjauan Kasus Bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia” dalam rangka mengkaji dan membedah kasus bioremediasi ini dengan melihat dari sudut pandang keuangan serta kerugian negara, sehingga dapat terlihat dengan jelas bila proyek tersebut fiktif dan biayanya dibebankan pada operating cost recovery benar kerugian negara atau tidak, dan dapat mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak.
10
Arifin P Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Prespektif Hukum, ed 3, cet 2, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hlm. 98 11
Ibid., hlm 103
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
B. Pokok Permasalahan Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini antara lain : 1. Bagaimana
Operating
cost
recovery
dalam
Production
sharing
contract
dikategorikan ke dalam ruang lingkup keuangan negara? 2. Bagaimana jika diduga sebuah proyek fiktif dan biaya proyek dibebankan pada operating cost recovery dalam Production sharing contract, dapat dikatakan sebagai kerugian negara sesuai dengan Pasal 1 angka 12 UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara? C. Tujuan Penulisan a. Mengetahui konsep operating cost dalam Production sharing contract masuk kedalam ruang lingkup keuangan negara b. Menjabarkan kelebihan penghitungan operating cost dikatakan sebagai kerugian negara sesuai dengan Pasal 1 angka 12 UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara PEMBAHASAN A. Lingkup Keuangan Negara Dalam kasus yang menimpa PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) jaksa penuntut umum mendakwa para karyawan PT. CPI dengan dugaan kerugian keuangan negara. Oleh sebab itu perlu untuk diuraikan terlebih dahulu batasan pengertian keuangan negara di Indonesia. Baik dari segi teori maupun dari segi hukum positif yang berlaku di Indonesia. Lalu penting pula untuk dilihat kedudukan dari operating cost recovery yang terdapat di dalam Production sharing contract, hal ini nantinya akan menentukan posisi operating cost recovery yang tidak masuk dalam ruang lingkup keuangan negara. Di dalam Undang-undang Dasar 1945 pasca perubahan perihal keuangan negara menyebutkan bahwa :
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
“Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.12” Dari Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 pasca perubahan dapat terlihat bahwa APBN merupakan wujud dari pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa APBN merupakan keuangan negara itu sendiri. Jadi jika mengacu pada ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 keuangan negara merupakan segala hal yang berkaitan dengan APBN. Apaapa yang merupakan bagian dari APBN mulai dari pembahasan, pemasukan, pengeluaran dan lain-lain merupakan pengertian dari keuangan negara. Lain lagi pengertian keuangan negara di dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, dalam Undang-undang ini definisi keuangan negara dirumuskan sebagai berikut : “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan miliki negera berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”13 Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 coba diuraikan batasan atau ruang lingkup keuangan negara14 : a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah; g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan 12
Pasal 23 UUD 1945
13
Indonesia, Undang-undang tentang Keuangan Negara, UU No. 17 Tahun 2003, LN No. 47 tahun 2003, TLN No. 4287, Pasal 1 butir 1 14
Ibid., Pasal 2
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dari jenis-jenis ruang lingkup keuangan negara yang terdapat di dalam Undang-Undang 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara tidak satupun menjelaskan serta mengatur mengenai sektor minyak dan gas bumi. Terlebih menjelaskan serta mengatur mengenai operating cost recovery. Untuk itu pada pembahasan selanjutnya akan penulis uraikan letak posisi operating cost recovery yang terdalam di dalam Production Sharing Contract minyak dan gas bumi yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia Cq. BP MIGAS dengan PT. Chevron Pacific Indonesia. B. Lingkup Operating Cost Recovery Sebagaimana yang telah penulis sampaikan di awal, perlu dan penting untuk mengetahui posisi dan kedudukan operating cost recovery dalam Production Sharing Contract antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Chevron Pacific Indonesia. Hal ini tentunya diharapkan akan memperjelas bahwa operating cost recovery yang terdapat didalam Production Sharing Contract tidak termasuk kedalam ruang lingkup keuangan negara. Dari segi hukum positif atau regulasi, operating cost recovery tunduk pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dalam Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa : “Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku untuk kontrak bagi hasil dan kontrak jasa di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi15.”
15
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Biaya Opreasi Yang Dapat dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, PP No. 79 Tahun 2010, LN No. 139 Tahun 2010, TLN No. 5173, Ps. 2
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
Hal ini sudah menunjukkan dengan jelas bahwa hal yang diatur di dalam kontrak bagi hasil (Production sharing contract) minyak dan gas bumi mengacu pada Peraturan Pemerintah ini. Dengan demikian operating cost recovery yang terdapat di dalam kontrak bagi hasil (Production sharing contract) sudah secara otomatis mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010. Pembiayaan proyek bioremediasi yang dilakukan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia tergolong dalam biaya operasi yang nantinya akan di mintakan pengembaliannya kepada pemerintah. Tidak semua biaya operasi dengan serta merta dapat dimintakan pengembaliannya kepada pemerintah melalui mekanisme cost recovery. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 disebutkan kriteria atau persyaratan biaya operasi yang dapat dikembalikan melalui mekanisme cost recovery adalah sebagai berikut16 : a.
Dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan operasi perminyakan di wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan di Indonesia.
b. Menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan; c. Pelaksanaan operasi perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik; d. Kegiatan operasi perminyakan sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6. Selanjutnya di dalam Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil) antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Chevron Pacific Indonesia dijelaskan pengertian dari biaya operasi. Dalam Production Sharing Contract tersebut disebutkan bahwa : “ Biaya Operasi adalah biaya yang setiap tahun ada di mana terjadi produksi secara komersial. Biaya operasi terdiri atas a) Biaya non-Modal Tahun Berjalan, b) deprsiasi 16
Ibid., Ps. 12 ayat (1)
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
Biaya Modal dan c) perolehan kembali tahun berjalan dari biaya opersi yang belum diperoleh kembali pada Tahun sebelumnya17” Dari pengertian di atas terlihat bahwa biaya non modal merupakan biaya operasi yang dapat dikenakan mekanisme cost recovery. Berdasarkan hal tersebut maka biaya bioremediasi yang dikeluarkan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia merupakan biaya non modal. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa keuangan negara pada intinya merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan uang maupun barang. Oleh sebab itu akan penulis sampaikan bahwa operating cost recovery yang dimintakan kepada negara bukanlah dalam bentuk uang tunai ataupun barang, melainkan hanya pengurangan bagi hasil minyak mentah yang menjadi bagian pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 disebutkan bahwa : “Pengembalian biaya operasi untuk minyak bumi dilakukan hanya terhadap lifting minyak bumi, sedangkan pengembalian biaya operasi untuk gas bumi dilakukan hanya terhadap nilai penjualan gas bumi.18” Sedangkan dalam peraturan yang sama disebutkan pengertian lifting minyak bumi adalah sebagai berikut : “Lifting adalah sejumlah minyak mentah dan/atau gas bumi yang dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody transfer point)19.” Hal tersebut diperkuat dengan ketentuan yang terdapat di dalam Production Sharing Contract yang mana di dalam kontrak tersebut sama sekali tidak menyebutkan bahwa pengembalian biaya operasi oleh pemerintah dilakukan dengan melakukan pembayaran sejumlah tertentu. Adapun ketentuan di dalam kontrak tersebut adalah sebagai berikut :
17
Product Sharing Contract antara Pemrintah Republik Indonesia dengan PT. Chevron Pacific Indonesia, 1992, Lampiran C Pasal 2 ayat (1) 18 PP No. 79 Tahun 2010, Op. Cit., Ps. 20 ayat (7) 19
Ibid., Ps. 1 angka 5
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
“Kontraktor akan menerima kembali semua Biaya Operasi dari hasil penjualan atau pelepasan lainnya dari jumlah Minyak Bumi yang disyaratkan senilai Biaya Operasi tersebut, yang dihasilkan dan disisihkan menurut Kontrak ini dan yang tidak digunakan dalam operasi perminyakan....20” Dari regulasi yang dibuat oleh pemerintah terlihat bahwa pengembalian biaya operasi (operating cost recovery) yang diberikan oleh pemerintah tidak dalam bentuk uang tunai. Tetapi memang betul jika minyak tersebut dapat di konversi menjadi uang tunai oleh pemerintah, namun uang yang merupakan hasil konversi minyak gas bumi tersebut tidaklah masuk dalam pengertian keuangan negara. Baik yang menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 maupun di dalam Undang-undang Dasar 1945 pasca perubahan. Sebagai ilustrasi misalnya nilai bagi hasil minyak dan gas bumi antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Chevron Pacific Indonesia sebesar 88:12. Sedangkan dalam melakukan kegiatannya PT. Chevron Pacific Indonesia mengeluarkan biaya operasi yang dimintakan kepada kepada pemerintah. Nantinya pemerintah tidak membayar biaya tersebut dalam bentuk uang kepada PT. Chevron Pacific Indonesia melainkan bagi hasil pemerintah yang dikurangi setara dengan biaya operasi yang dikeluarkan oleh PT. Chevon Pacific Indonesia. Misalnya biaya operasi tersebut setara dengan 5 % hasil produksi minyak PT. Chevron Pacific Indonesia, maka jatah bagi hasil minyak Pemerintah Indonesia diperhitungkan terlebih dahulu biaya operasinya sebelum dilakukannya pembagian minyak mentah sesuai dengan PSC. Ilustrasi di atas diperkuat dengan ketentuan yang terdapat di dalam Production Sharing Contract Contract (Kontrak Bagi Hasil) antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Chevron Pacific Indonesia. Dalam Kontrak Bagi Hasil tersebut disebutkan bahwa : “ Pemotongan kredit investasi dan Biaya Operasi sebelum pengambilan hak (entitlement) oleh masing-masing Pihak sebagaimana ditentukan menurut ayat 1.3 Pasal V tunduk kepada cara penghitungan “prorata” berikut ini : untuk setiap Tahun Takwim Kredit Investasi dan Biaya Operasi yang dapat diperoleh kembali harus ditetapkan pemotongannya dari produksi masing-masing segmen sebagaimana di uraiakan di atas
20
PSC, Op.Cit., Pasal V ayat (1.2)
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
dengan ratio yang sama seperti produksi dari masing-masing segemen dari jumlah total produksi tahunan yang bersangkutan.21” Dari hal di atas semakin jelas bahwa pengembalian biaya produksi yang dimintakan kepada pemerintah dengan menggunakan mekanisme cost recovery, sama sekali tidak ada aliran uang/dana yang dibayarkan. Bahkan pemerintah sama sekali tidak mengalokasikan anggaran dana yang terdapat di dalam APBN untuk membayar biaya operasi kegiatan bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia. Selanjutnya apabila dalam pengembalian biaya operasi minyak bumi atau gas bumi tidak mencukupi dari hasil produksinya maka Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 menyebutkan mekanisme yang dapat digunakan adalah sebagai berikut : “Dalam hal pengembalian biaya operasi minyak bumi atau gas bumi tidak mencukupi dari hasil produksinya atau nilai penjualannya, ditentukan: a. biaya operasi gas bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada hasil produksi minyak bumi; b. biaya operasi minyak bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada nilai penjualan gas bumi.22” Dengan demikian jika memang terdapat hasil minyak bumi dan dikonversi menjadi senilai dengan jumlah uang, maka hal tersebut tidak merupakan bagian dari APBN atau dengan kata lain bukan termasuk dalam bagian penerimaan negara. Hal ini didasarkan pada ketentuan penjelasan di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 disebutkan bahwa : “Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam, antara lain, royalti di bidang perikanan, royalti di bidang kehutanan dan royalti di bidang pertambangan. Khusus mengenai penerimaan dari minyak dan gas bumi walaupun sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 21
Ibid., Ayat (1.3)
22
PP No. 79 Tahun 2010, Op. Cit., Ps. 20 ayat (8)
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara terdapat unsur royalti, namun karena didalamnya terkandung banyak unsur-unsur perpajakan, maka penerimaan yang merupakan bagian Pemerintah dari minyak dan gas bumi tidak termasuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak23.” Operating cost recovery (pengembalian biaya operasi) yang terdapat di dalam Production sharing contract tidaklah termasuk ke dalam ruang lingkup keuangan negara. Bahwasanya memang terdapat nilai uang dalam bagi hasil minyak bumi, tapi bukan berarti hal tersebut dengan serta merta merupakan bagian dari keuangan negara. Sebab dari segi regulasi dan hukum positif yang ada di Indonesia perihal operating cost recovery (pengembalian biaya operasi) yang terdapat di dalam Production Sharing Contract tidak tunduk pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003. C. Kerugian Keuangan Negara yang Tidak Diakibatkan Operating Cost Recovery Dalam posisi kasus PT. Chevron Pacific Indonesia, jaksa penuntut umum mendakwa beberapa karyawan PT. Chevron Pacific Indonesia melakukan kegiatan yang merugikan keuangan negara. Sebab proyek bioremediasi yang dilakukan
oleh PT. Chevron Pacific
Indonesia diduga fiktif dan mengada-ada oleh aparat penegak hukum. Terlepas dari fiktif atau tidaknya proyek tesebut, yang perlu dibatasi dalam konteks ini adalah pemahaman kerugian keuangan negara. Dimana proyek yang diduga fiktif tersebut biaya proyeknya dibebankan kepada negara dengan mekanisme cost recovery. Menurut aparat penegak hukum hal ini merupakan suatu kesalahan yang justru mengakibatkan kerugian keuangan negara. Untuk itulah perlu di uraikan secara hati-hati mengenai pemahaman kerugian keuangan negara tersebut, khususnya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pebendaharaan Negara. Pandangan mengenai Kerugian Keuangan Negara menurut Hukum Administrasi Negara Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004) hanya memberikan definisi tentang “kerugian” dalam konteks kerugian Negara/daerah. Pasal 1 ayat (22) undang-undang ini berbunyi: 23
Indonesia, Undang-undang Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, UU No. 20 Tahun 1997, LN No. 43 Tahun 1997, TLN No. 3687, Ps. 2 huruf b
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
“ Kerugian Negara / daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Dari pasal tersebut dapat disimpulkan unsur dari kerugian keuangan negara adalah sebagai berikut24 : 1. Kerugian hanya merupakan kekurangan atas uang, barang, dan surat berharga; 2. Pasti, maksudnya uang, barang, dan surat berharga yang berkurang telah dipastikan jumlahnya melalui laporan keuangan; 3. Nyata, maksudnya uang, barang, dan surat berharga yang berkurang tersebut telah menjadi hak atau kewajiban negara; 4. Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum (pidana/perdata) atau kelalaian Adanya kerugian negara dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, khususnya hukum pidana, apabila kerugian negara mengandung kekurangan yuridis, yaitu 25: 1. Paksaan atau suapan, yaitu kerugian negara yang terjadi karena paksaan dari pihak manapun, baik langsung ataupun tidak langsung yang diikuti dengan pemberian janji atau usaha pemberian sesuatu. 2. Tipuan yang bersifat muslihat , yaitu kerugian negara yang terjadi akibat penggunaan uang, surat berharga, dan barang yang direkayasa atau seolaholah telah sesuai dengan peraturan yang ada. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara dan Daerah juga memberikan definisi mengenai pengertian Uang Negara , dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan uang negara adalah uang yang dikuasai oleh bendahara umum negara, adapun yang dimaksud sebagai bendahara umum negara adalah menteri keuangan sebagaimana diatur dalam pasal 8 huruf f UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dengan demikian, tidaklah 24
Dian P.N Simatupang, Paradoks Rasionalitas Perluasan Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Pemerintah, (Jakarta : FHUI Press, 2011), hlm. 331 25
Ibid., hlm 332
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
dapat dikatakan sebagai uang negara apabila uang tersebut belum dalam penguasaan menteri keuangan sebagai bendahara umum negara. UU Keuangan Negara hanya memberikan penjelasan mengenai keuangan negara dan UU Pembendaharaan Negara hanya memberikan definisi mengenai kerugian negara/daerah tetapi apabila dapat ditarik kesimpulan bahwa kerugian keuangan negara adalah : 1. Kekurangan semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Yang meliputi : a. Hak Negara untuk memungut Pajak; b. Kewajiban
Negara
untuk
menyelenggarakan
tugas
layanan
umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah; 2. Kekayaan Negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/daerah; (BUMN dan BUMND) 3. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; 4. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. 5. Sudah berada dalam penguasaan Menteri Keuangan Sebagai Bendahara Umum Negara; 6. Bersifat pasti, maksudnya uang berkurang telah dipastikan jumlahnya melalui laporan keuangan; 7. Bersifat nyata, maksudnya uang tersebut telah menjadi hak atau kewajiban negara; 8. Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum (pidana/perdata) atau kelalaian.
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
Dari uraian di atas secara umum dapat diambil sebuah benang merah bahwa kerugian keuangan negara pada intinya merupakan kekurangan atas uang, barang, dan surat berharga miliki negara. Sehingga dalam konteks operating cost recovery proyek bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia tidak telihat adanya kekurangan uang, barang atau surat berharga milik negara. Dalam konsep cost recovery kontraktor mempunyai kewajiban untuk menalangi terlebih dahulu biaya operasi yang diperlukan, yang kemudian diganti kembali dari hasil penjualan atau dengan mengambil bagian dari minyak dan gas bumi yang dihasilkan. Besaran penggantian biaya operasi ini tidak harus selalu penggantian penuh (full recovery), bisa saja hanya sebagian tergantung kepada negosiasi. Sehingga dalam hal ini tidak uang negara yang dikeluarkan untuk mengganti biaya operasi yang sudah dikeluarkan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia. Oleh sebab itu terjadi sebuah kekeliruan terhadap pemahaman cost recovery dan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Jika memang benar dugaan proyek teknologi bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia fiktif seharusnya pemeriksaan terhadap perusahaan tersebut tidak dilakukan oleh aparat kejaksaan. Sebab perlu dilihat terlebih dahulu bahwa bentuk dari PT. Chevron Pacific Indonesia adalah perseroan terbatas, sehingga seharusnya pemeriksaan terhadap perusahaan ini tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa : “Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa : a. Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau b. anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.26” Dalam kasus proyek bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia negara dapat dikatakan sebagai pihak ketiga, karena kasus ini melibatkan tiga pihak yaitu PT. Chevron Pacific Indonesia itu sendiri, PT. Sumigita Jaya dan PT. Green Planet Indonesia selaku kontraktor pelaksana 26
Indonesia, Undang-undang Tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No. 4756, Ps. 138 ayat (1)
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
proyek bioremediasi dan Pemerintah Indonesia selaku pihak yang dibebankan operating cost recovery atas biaya proyek bioremediasi tersebut. Sehingga jika memang pemerintah merasa dirugikan bahwa proyek itu diduga fiktif, seharusnya pemerintah mengajukan permohonan untuk dilakukan pemeriksaan. Pada prakteknya, terhadap PT. Chevron Pacific Indonesia, selalu dilakukan audit rutin oleh SKK Migas, BPK, BPKP, Dirjen Pajak. Sehingga jika ditemukan adanya penyimpangan, diselesaikan oleh mekanisme audit tersebut. Pemerintah dapat mengajukan permohonan pemeriksaan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum PT. Chevron Pacific Indonesia. Sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-undang Perseroan Terbatas bahwa : “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.27” Dengan demikian langkah hukum kejaksaan yang dengan serta merta melakukan pemeriksaan terhadap dugaan fiktif proyek bioremediasi merupakan langkah yang salah dan tidak tepat menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas. Jikalau memang jaksa ingin melakukan proses hukum upaya yang dilakukan seharusnya tidak dengan serta merta melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap proyek bioremediasi tersebut. Sebab seharusnya kejaksaan melakukan tindakan permohonan ke pengadilan pula, sebagaimana disebutkan di dalam Undangundang Perseroan Terbatas : “Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh: a. 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara; b. pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau c. kejaksaan untuk kepentingan umum28.”
27
Ibid., Ps. 138 ayat (2)
28
Ibid., Ps. 138 ayat (3)
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
Oleh sebab itu penting bagi aparat penegak hukum khususnya kejaksaan untuk memahami secara seksama bagaimana status dan bentuk dari perusahaan tersebut. Selain itu harus pula dicermati pemahaman terhadap pengertian dan ruang lingkup kerugian keuangan negara. Ini menjadi penting untuk dipahami oleh aparat penegak hukum untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan akibat kesalahan penerapan peraturan dan pemahaman terhadap konsep yang keliru. Di samping itu, perlu diingat bahwa ketentuan mengenai mekanisme cost recovery diatur secara rinci di dalam Production Sharing Contract antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Chevron Pacific Indonesia. Oleh sebab itu kontrak yang telah ditanda tangani sejatinya menjadi aturan yang mengikat kedua belah pihak, dan kedua belah pihak tunduk pada ketentuan yang telah mereka sepakati. Sehingga apabila terjadi permasalahan seperti yang diperkarakan oleh aparat penegak hukum, tidak semestinya aparat kejaksaan langsung dengan serta merta melakukan tindakan hukum. Sebab ada mekanisme yang harus dilakukan yaitu melakukan arbitrase sebagai sarana yang harus ditempuh apabila memang benar dugaan aparat penegak hukum bahwa dugaan proyek bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia adalah fiktif. Hal ini didasari atas ketentuan yang diatur di dalam Production Sharing Contract antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Chevron Pacific Indonesia yang menyebutkan bahwa : “Sengketa, bila ada yang timbul antara PERTAMINA dan KONTRAKTOR berkaitan dengan kontrak ini atau penafsiran dan pelaksanaan sesuatu klausul kontrak ini dan yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah akan diserahkan kepada keputusan arbitrase.29” Ketentuan yang diatur di dalam Production Sharing Contract tersebut sudah jelas menyebutkan bahwa seharusnya Pemerintah Republik Indonesia jika merasa dirugikan dengan dugaan proyek fiktif yang dilakukan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia dapat mengajukan ke arbitrase. Hal inilah seharusnya yang di cermati oleh aparat penegak hukum. Sebab keputusan arbitarse nantinya akan bersifat mutlak dan mengikat para pihak, sebagaimana yang disebutkan di dalam Production Sharing Contract : “Keputusan mayoritas arbiter adalah mutlak dan mengikat para pihak30” 29
Op.Cit.,PSC Pasal IX ayat (1.2)
30
Ibid.,ayat (1.3)
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
Jika upaya arbitrase telah ditempuh oleh para pihak, namun persoalan dugaan proyek fiktif teknologi bioremediasi ini tidak menemukan titik terang barulah aparat penegak hukum bisa masuk untuk memeriksa kasus ini. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang di atur di dalam Production Sharing Contract : “Apabila para arbiter tidak dapat mencapai keputusan yang disepakati oleh para pihak, maka sengketa akan di bawa ke muka Pengadilan Indonesia untuk diselesaikan31” Aparat penegak hukum sekali lagi harus benar-benar cermat dan teliti dalam memeriksa kasus dugaan proyek fiktif teknologi bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia. Sebab dalam kasus ini banyak aspek yang bersinggungan, tidak serta merta dugaan korupsi saja, namun lebih jauh harus ditinjau adalah ini merupakan ranah dan sektor minyak dan gas bumi yang sudah masuk ke dalam ranah sektor privat. Oleh sebab itu kecermatan dalam menggunakan logika hukum dan penerapan regulasi yang berlaku di Indonesia menjadi penting untuk diperhatikan oleh aparat penegak hukum kejaksaan.
PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya, didapat beberapa kesimpulan. Adapun kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Operating cost recovery yang terdapat di dalam Production sharing contract tidak masuk ke dalam ruang lingkup keuangan negara. Hal ini disebabkan operating cost recovery tidak termasuk ke dalam penerimaan negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Menurut teori keuangan negara mekanisme operating cost recovery merupakan suatu sistem tersendiri yang justru masuk ke dalam ranah sekor privat dan tidak lagi masuk dalam ranah publik. Hal ini berdasarkan ketentuan dan aturan teknis mekanisme cost recovery diatur secara tegas di dalam Production Sharing Contract (Kontrak Bagi 31
Ibid.,ayat (1.4)
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
Hasi) antara Pemerintah Republik Indonesia Cq. BP MIGAS dengan PT. Chevron Pacific Indonesia. Dari hal tersebut sudah dapat terlihat cost recovery merupakan sektor keperdataan karena berkaitan dengan kontrak. Mekanisme operating cost recovery diatur secara teknis di dalam Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. b. Jika dugaan proyek fiktif yang dilakukan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia di mana biaya proyek dibebankan pada mekanisme cost recovery maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai kerugian keuangan negara. Hal ini disebabkan dalam kerugian keuangan negara yang pada intinya merupakan kekurangan atas uang, barang, dan surat berharga miliki negara. Dengan demikian dalam konteks operating cost recovery teknologi bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia tidak telihat adanya kekuarangan uang, barang atau surat berharga milik negara. Sebab dalam konsep cost recovery pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah diambil dari hasil penjualan atau dengan mengambil bagian dari minyak dan gas bumi yang dihasilkan. Dengan demikian dalam hal ini tidak uang negara yang dikeluarkan untuk mengganti biaya operasi yang sudah dikeluarkan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia. Oleh sebab itu terjadi sebuah kekeliruan terhadap pemahaman cost recovery dan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Selain itu langkah pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat kejaksaan tidak tepat dengan langsung memeriksa begitu saja, aparat kejaksaan tidak memperhatikan bentuk badan hukum dari PT. Chevron Pacific Indonesia adalah Perseroan Terbatas. Oleh sebab itu seharusnya pemeriksaan terhadap perusahaan ini tunduk pada ketentuan Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Di mana pemeriksaan dilakukan dengan mengajukan permohonan pemeriksaan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum PT. Chevron Pacific Indonesia. Di samping itu ada hal yang tidak boleh di lupakan, bahwa mekanisme cost recovery diatur secara rinci di dalam Production Sharing Contract, sehingga seharusnya pun jika terdapat beberapa kesalahan atau dugaan pelanggaran/ sengketa seharusnya terlebih dahulu diselesaikan berdasarkan ketentuan yang telah diatur di dalam Production Sharing Contract yang
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
telah ditanda tangani. Jika mengacu pada ketentuan Production Sharing Contract antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT. Chevron Pacific Indonesia, apabila terjadi dispute mekanisme yang ditempuh adalah melalui arbitrase, namun jika tidak menemukan hasil, dapat dibawa ke ranah pengadilan. B. Saran Diharapkan penulisan skripsi ini dapat memberikan saran bagi berbagai pihak terkait dengan persoalan keuangan negara yang terkadang masih menjadi perdebatan. Terlebih dalam kasus dugaan proyek fiktif teknologi bioremediasi, keuangan dan kerugian negara coba diseret ke dalam ranah privat sektor minyak dan gas bumi. Sehingga untuk itu penulis ingin memberikan saran bagi para pihak yang terkait, adapun saran tersebut sebagai berikut : a. Sebaiknya aparat penegak hukum khususnya kejaksaan yang menangani kasus proyek bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia benar-benar memahami ruang lingkup keuangan negara. Terlebih dalam hal kaitannya dengan pengertian kerugian keuangan negara, hal ini menjadi penting untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat agar aparat penegak hukum tidak salah langkah dalam menerapkan aturan dan menggunakan logika hukum b. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pembentuk peraturan hendaknya tidak bias dalam membuat aturan/regulasi yang berkaitan dengan keuangan negara. Selain itu diperlukan aturan yang lebih menegaskan bahwa sektor minyak dan gas bumi, khususnya yang berkaitan dengan mekanisme cost recovery tidak masuk ke dalam ranah keuangan negara. Aturan yang ada saat ini dalam bentuk Peraturan Pemerintah tidak menyebutkan dan menjelaskan itu secara tegas. Hal ini diperlukan agar semua pihak baik aparat penegak hukum, maupun kontraktor minyak dan gas bumi mendapatkan sebuah kepastian hukum. Dengan demikian nantinya kontraktor minyak dan gas bumi tidak lagi gamang dan khawatir ketika ingin menagihkan operating cost kepada pemerintah Republik Indonesia karena sejatinya memang ini merupakan hak kontraktor minyak dan gas bumi berdasarkan kesepakatan PSC, dan aparat penegak hukum pun tidak pula dengan gegabah melakukan kontrol dan pengawasan terhadap hal ini. Memang pengawasan terhadap
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
hal ini perlu juga dilakukan, namun tentu pengawasan yang dilakukan seharusnya tetap pada koridor regulasi dan konsep logika hukum yang tepat. DAFTAR PUSTAKA A. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-undang Dasar. 1945 . Undang-undang Tentang Minyak dan Gas Bumi. UU No. 22 Tahun 2001, LN No 136 Tahun 2001 Indonesia. Undang-undang Keuangan Negara. UU No. 17 Tahun 2003, LN No. 47 Tahun 2003, TLN No. 4286 Indonesia. Undang-undang Perbendaharaan Negara. UU No. 1 Tahun 2004. LN No 5 Tahun 2004 In.. . Undang-undang Tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No. 4756 Indonesia. Peraturan Pemerintah. tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas. PP Nomor 35 Tahun 2004 Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Biaya Opreasi Yang Dapat dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. PP No. 79 Tahun 2010, LN No. 139 Tahun 2010, TLN No. 5173 Production Sharing Contract antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Chevron Pacific Indonesia, 1992 B. BUKU Atmadja, Arifin P. Soeria. Pertanggungajawaban Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta : Gramedia, 1998. . Keuangan Publik dalam Prespektif Hukum. Ed 3. Cet 2. Jakarta : Rajawali Pers, 2010. HS, Salim. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafndo Persada, 2004
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
Lestari, Wahyuni. “Peranan Work Program & Budget sebagai Alat Perencanaan dan Pengendalian pada Production Sharing Contract.” Tesis Magister Manajemen Universitas Indonesia, Depok, 2009 Nugraha, Safri. Et al. Hukum Administrasi Negara. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Simatupang, Dian P.N. Paradoks Rasionalitas Perluasan Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Pemerintah. Jakarta : FHUI Press, 2011 Soepangkat, Edi dan Haposan Lumban Gaol. Pengantar Ilmu Keuangan Negara. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas dan PT. Gramedia Pustakan Utama, 1991 Soepardi, Eddy Mulyadi. Memahami Akuntansi Keuangan. Jakarta: Rajawali Pers, 2006 Syeirazi, M. Kholid. Di Bawah Bendera Asing – Liberalisasi Industri Migas di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009. C. Jurnal/Artikel/Makalah Atmadja, Arifin P Soeria. “Reorientasi Penertiban Fungsi Lembaga Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan Negara.” Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 21 Juni 1997. Atmadja, Arifin P Soeria. ”Carut Marut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuagan Negara.” Makalah Lepas, 2004. BPK RI. “Cost Recovery dalam Kontrak Production Sharing Migas dan Gas Bumi di Indonesia.” Makalah untuk Seminar “Cost Recovery: Daya Tarik Investasi Atau Beban Bagi Negara”, Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti, Senin, 11 Juni 2007 Bahan ajar DR. T.N. Machmud, S.H., MBA. Introduction to Oil and Gas Industry in Indonesia (Highlights of Past and Present Contractual Terms). Disampaikan pada oil and gas course Hakim dan Rekan Konsultan Hukum batch XIII, Rabu 14 November 2012. Bioremediation report, King Publishing Group, Washington DC, 1993 Company Profile PT. Chevron Pacific Indonesia
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
PT. Chevron Pacific Indonesia, “Program Bioremediasi di PT. Chevron Pacific Indonesia” Lembar Fakta Bioremediasi. 12 Juni 2012. Rajagukguk, Erman, “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara.” Makalah pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006. Soemitro, Rocmat. “Tanggung Jawab Keuangan Negara.” Padjajaran 2. April-Juni 1981 D. Internet Cholse,
Julian.
“Meninjau
Korupsi
dari
Segi
Etika
Bisnis”
cholse.blogspot.com/2012/09/ethics-and-corruption-act-etika-dan.html.
http://julianDiunduh
27
Desember 2012. Partowidagdo, Widjajono. “PSC di Indonesia versus Pengusahaan Migas Dunia Cost Recovery versus
Peningkatan
Produksi
Migas
di
http://gamil.opinion.blogspot.com/2008/08/makalah-prof-widjajono
Indonesia.” partowidagdo.html.
Diunduh 27 Desember 2012 “Tanah
Berlimbah, Bukti Korupsi Bioremediasi Chevron,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9162f7bf2d0/tanah-berlimbah--buktikorupsi-bioremediasi-chevron. Diunduh 8 April 2013
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013
Identifikasi kerugian..., Fajar Reyhan Apriansyah, FH UI, 2013