Ibnu Subarkah, Kebebasan Dalam Kekuasaan Peradilan Pidana
77
KEBEBASAN DALAM KEKUASAAN PERADILAN PIDANA Ibnu Subarkah1 e-mail:
[email protected] Abstrak Persoalan kekuasaan peradilan pidana, didasarkan pada analisis teori keadilan, yang menekankan pada satu sisi pembatasan kekuasaan, dan pada sisi lain menekankan pada penggunaan kekuasaan. Kekuasaan yang ada selama ini telah diatur dalam peraturan perundang-undangan baik Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Pasal 24 ayat 1, dan Pasal 28 D ayat 1 Undang-undangDasar Tahun 1945. Permasalahan yang muncul apakah sesuatu yang berlebihan penggunaan kekuasaan ataukah telah terjadi kebebasan dalam kekuasaan itu sendiri dengan mengutip beberapa kasus Jessica, penistaan agama. Oleh karena itu sebagai solusi dilakukan analisis, perubahan perundang-undangan kiranya perlu dilakukan, mengingat masih ada keterbatasan karena perkembangan nilai-nilai, asas-asas hukum dan perlu disusun suatu norma-norma untuk mengatasi ketidaklengkapan norma yang ada. Bila hal ini tidak sampai bisa diatasi, maka dimungkinkan akan terus terjadi abuse of freedom by criminal justice. Perundang-undangan yang disusun didasarkan pada kegiatan suatu analisis sistemik, karena sistem peradilan pidana berjalan sistemik dari mulai tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kata kunci: kebebasan,kekuasaan, peradilan pidana,sistem peradilan pidana.
PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah Negara Hukum,2yang memiliki ciri-ciri antara lain: adanya jaminan dan perlindungan hak asasi manusia, peradilan yang merdeka, dan legalitas dalam segala bentuk aktivitas kehidupan. Oleh karena itu hal tersebut telah menjadi perilaku bangsa dan negara Indonesia. Perilaku bangsa dan negara Indonesia, mengalami perubahan dan perkembangan yang begitu cepat dari masa kolonial hingga masa orde reformasi. Nilai-nilai yang ada dan terjadi serta perubahan dan perkembangannyapun layak untuk menyesuaikan dengan iklim serta keadaan sosiologis, budaya bangsa yang akan mempengaruhi keadaan negara. Nilai-nilai yang berubah diharapkan sesuai dengan bentuk kristalisasi keadaan substansial di Indonesia, tentunya berimbas pada penghormatan asas-asas dan penyusunan norma yang inheren dengan suasana kebangsaan dan kenegaraan. Hal ini disebabkan bahwa masalah perilaku bangsa dan negara Indonesia, memiliki perbedaan dengan suasana perilaku bangsa dan negara lain di dunia ini. Berdasarkan kenyataan (conditio sine quanon), kekuatan perilaku bangsa dan negara Indonesia, persoalan dengan kekuatan dan ketahanannya lebih rendah dan lemah dibanding dengan negara lain, yang dalam kalimat lain bahwa telah terkooptasi oleh suasana perilaku bangsa dan negara lain. 1 2
Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Jl. Borobudur 35 Malang Lihat Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, (2010), Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945, Bab I, Bentuk dan Kedaulatan, Mahkamah Konstitusi, hlm. 5
78
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Berdasar hal tersebut di atas, pengaruhnya pada bidang hukum, seperti sesuatu yang diterima begitu saja tanpa disesuaikan dengan perilaku bangsa dan negara Indonesia yang memiliki suasana kebatinan sebagai variabel pembeda. Oleh karena itu, teori keadilan3 perlu dicanangkan sebagai pisau analisis bekerjanya sistem peradilan pidana. Menurut Romli Atmasasmita,4 dikatakan bahwa: “penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara objektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.” Sebaliknya menurut Rusli Muhammad,5dikemukakanbahwa, “sorotan dan keresahahan dalam proses peradilan pidana nampaknya perlu mendapat perhatian dan dipecahkan oleh ilmu hukum pidana, sebab bila diabaikan berakibat masyarakat tidak sekedar ragu-ragu lagi terhadap lembaga peradilan melainkan timbul kebencian dan penolakan, sehingga pada gilirannya timbul tindakan main hakim sendiri yang berarti pula memperbanyak barisan penjahat dan kejahatan yang justru sangat bertentangan dengan tujuan penegakan hukum pidana yang mengurangi tingkat kejahatan.” Berikutnya adalah persoalan penggunaan kekuasaan dalam sistem peradilan pidanamenekankan bahwa “setiap orang yang terlibat (tersangka atau tertuduh) dalam criminal justice system ada kemungkinan bersalah, dan karenanya pelaksanaan penggunaan kekuasaan pada tangan aparat pemerintah (polisi, jaksa, dan hakim) harus semaksimal mungkin.6 Penggunaan kekuasaan merupakan refleksi dari asas kemandirian peradilan. Bilamana penerapan kemandirian yang berlebihan, dimungkinkan akan terjadi penerapan kekuasaan yang berlebihan pula. Penegakan hukum yang mengedepankan hukum positip atau peraturan perundang-undangan, pada satu sisi yang dilihat pada kelemahan dalam hukum positip, sebagai contoh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak diatur sah/ tidaknya penyelidikan, karena imbas dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, hak tersangka untuk melakukan praperadilan(penetapan tersangka); dan dalam Penuntutan terjadi bolak-balik proses pra penuntutan, dan pada tingkat pengadilan, hakim karena keyakinan memutus karena hukum positip yang ada kurang akomodatif, yang kesemuanya berimplikasi pada masalah pembuktian.Hukum dibuat, melalui proses pentahapan dan perencanaan yang matang. Hukum adalah keadilan, begitu konsep yang dikembangkan oleh hukum alam, maka hukum dibuat untuk masyarakat yang didalam atau isinya mengandung nilai-nilai keadilan, dan kesejahteraannya serta mempunyai kekuatan memaksa dan mengikat dengan daya berlakunya secara yuridis, sosilogis dan filosofis. Dalam suasana pelaksanaan hukum positip dengan terjadinya penggunaan kekuasaan sebagai implikasi dari kurang lengkapnya pengaturan (incompletely norm), pengaruh media, masyarakat dalam bekerjanya pengadilan, maka pengkajian kekuasaan kehakiman masih 3
4 5 6
Romli Atmasasmita, (1996), Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisianisme,Jakarta: Putra Bardin, hlm. 109, dijelaskan Herbert L. Packer telah mengetengahkan dua teori keadilan dalam lingkup “the criminal justice system”, pertama “crime control model” dan kedua “due process model” Ibid, hlm. 39 Rusli Muhammad, (2009), Kemandirian Pengadilan Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 144-145 Rusli, Loc.cit.,
Ibnu Subarkah, Kebebasan Dalam Kekuasaan Peradilan Pidana
79
tetap diharapkan terjaga. Sebagai suatu sistem, masing-masing kelembagaan penegak hukum saling mempengaruhi, tidak hanya horizontal, namun juga vertikal.Oleh karena itu kesempatan dan peluang untuk terjadinya kekuasaan yang disalahgunakan akan menciptakan sistem peradilan pidana memproteksi dirinya semakin besar, dan semakin besar pula dalam mengekspresikan kekuasaan, dengan kata lain kebebasan menggunakan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan yang terlibat dalam peradilan pidana merupakan wujud dari asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence. Asas ini diabstraksikan dalam suatu norma Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 ayat (1) yang disebutkan: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.7 Dalam pelaksanaannya ujian dan daya berlakunya dari asas ini bilamana diperhatikan dalam prakteknya penuh dengan ketidaktaatan. Suatu kasus yang sulit pembuktian peluang untuk itu sungguh besar,teringat ketika persidangan Kasus Racun Sianida Jessica, berikut kasus Penistaan Agama. Peranan media dan masyarakat, turut menentukan dalam penggiringan isu yang akhirnya mengkristal dan mempengaruhi dalam hal putusan hakim dan penetapan tersangka. Oleh karena itu permasalahan dalam penelitian ini adalah: apakah ini sebagai dampak hukum ketidakharmonisan antara asas praduga tak bersalah dengan asas kemandirian peradilan. PEMBAHASAN Masalah yang muncul ketika dijalankan pemeriksaan dalam lingkup berjalannya sistem peradilan pidana, adalah implementasi norma yang berlaku, berikut konsistensi pada asasasas hukum, yang diserasikan dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Asas hukum, sama seperti hukum positip lainnya, dapat kehilangan keberlakuannya, yang disebabkan: “ukuran nilai yang terkandung dalam asas hukum mengalami perubahan-perubahan, yang dicontohkan asas hukum yang ditiadakan pada tahun 1956, yakni asas bahwa wanita yang menikah wajib patuh pada suaminya, yang sebelum tahun itu tercantum dalam Pasal 161 BW. Asas hukum bila dijelaskan merupakan pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuanketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.”8 Kekuasaan kehakiman yang ditopang oleh asas hukum, yakni asas kemandirian, sebagaimana telah diaktualisasikan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa: “dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan” 7 8
Lihat Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman JJ.H. Bruggink. (2011), Refleksi tentang Hukum, Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Suatu terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung: PT Citra Adtya Bakti, hlm.119-120.
80
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
merupakan tindak lanjut Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28 D Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945. Pasal 24 ayat (1) Bab IX “Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”9 Sedangkan Pasal 28 D Bab X tentang Hak Asasi Manusia,menjelaskanbahwa: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Peradilan pidana sebagai suatu sistem dalam bekerjanya mengikuti dan melaksanakan suatu mekanisme pengendali yang dapat berupa peraturan perundang-undangan. Batasan pemeriksaan di pengadilan negeri dalam hal menerapkan pembuktian Pasal 184 KUHAP, dimana normanya mengatur Alat Bukti, tidak ada batasan begitu pula pada tingkat Kejaksaan dan Kepolisian khususnya tindakan penahanan dilakukan bagi pelaku kejahatan. Akan tetapi dalam upaya menghargai asas pemeriksaan yang cepat, dan pembatasan penahanan secara normatif diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kiranya terdapat sesuatu yang opponen atau a contrario, yang dipertegas bahwa antara pemeriksaan dengan model untuk menemukan hukum yang benar dan adil dengan upaya yang dimungkinkan dilakukan penggunaan kekuasaan. Keadaan ini tentunya dapat dimaklumi, bagian dari sistem yang telah rusak harus diperbaiki, bilamana hal tersebut menunjuk pada mechanisme control, maka perundang-undanganyalah yang dirubah, sebagaimana menarik yang disampaikan Satjipto Rahardjo10: “suatu kenyataan untuk berburu kebenaran walaupun dalam masa tertentu harus mengakui kegagalan dan keterbatasannya karena kebenaran hasil karya manusia adalah relatif.” Meskipun demikian negara hukum yang dicita-citakan selayaknya ditegakkan, dengan memperhatikan suatu konsep sebagaimana yang dijelaskanolehJimly Asshiddiqie,11bahwa: “sebagai suatu negara hukum, maka hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Sebagai sebuah sistem, hukum terdiri dari elemen kelembagaan (institutional), kaidah aturan (instrumental), dan perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural), dimana elemen-elemen tersebut mencakup kegiatan pembuatan hukum (law making),; kegiatan pelaksanaan hukum atau penerapan hukum (law administrating) 9 10
11
Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 Satjipto Rahardjo, dikutip oleh Ahmad Mujahidin, (2007), Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hlm.1, dikutip oleh Ibnu Subarkah, (2011), “Dilematika Kekuasaan Lembaga Peradilan dan Keadilan dalam Frame Desentralisasi Pemerintahan”,Jurnal Konstitusi, Malang: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume IV, No. 1 Juni 2011, ISSN 1829-7706), hlm. 134 Jimly Asshiddiqie, dkk, (2007)Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Jakarta: The Biography Institute, hlm. 14. (Lihat pula Marc Galanter, Hukum Hindu dan Perkembangan Sistem Hukum India Modern dalam AAG Peters dan Koesriani Siswosoebroto, (1988), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks, Sosiologi Hukum, Buku II, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), hlm. 147-149, yang menjelaskan karakteristik sistem hukum modern memiliki ciri kas hukum uniform, hukum transaksional, hukum universial, hirarkis, birokrasi, rasionalitas, profesionalisme, perantara, dapat diralat, pengawasan politik, pembedaan
Ibnu Subarkah, Kebebasan Dalam Kekuasaan Peradilan Pidana
81
kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating) atau penegakan hukum dalam arti sempit (law enforcement); pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law aducation); pengelolaan informasi hukum (law information management). Lebih lanjut, beliau mengatakan, keseluruhan elemen, komponen, herarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah tercakup pengertian sistem hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.” Maka sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, pada peradilan pidana perlu juga dilakukan pendekatan “analisis sistemik: “yang dapatmengungkapkan kebijakan umum dan prinsip-prinsip yang berlaku pada tingkat atau tahapan proses yang sangat berbeda. Analisis sistem berguna untuk mengenali nilai-nilai berguna untuk mengenali nilai-nilai bersama yang mendasari aturan hukum, hukum pidana dan hukum acara pidana yang diterapkan.”12 Telah dijelaskan di atas meskipun dikatakan kebenaran manusia adalah relatif, faktor kehatihatian dan kecermatan, yang menyangkut asas-asas dalam penyusunan produk hukum yang baik, yang menyangkut juga keberlakuan yuridis, sosiologis dan filosofis, sudah sepantasnya diperhatikan, termasuk pentingnya partisipasi masyarakat. Saratnya penggunaan kekuasaan dengan ditopang oleh asas-asas serta norma yang ada, pada dasarnya untuk merealisasikan koridor amanah konstitusi Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, suatu peradilan yang merdeka. Nampaknya dalam suasana praktek hukum, mengalami situasi deregulasi yang dibatasi pada ketidaktaatan pada peraturan yang diembannya yakni Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Reformasi hukum pun diharapkan perlu dilakukan. Keadilan substansial, diantara keadilan dengan bentuk lain belum dapat ditemukan, bilamana penegak hukum tidak melakukan upaya-upaya berdasarkan keyakinan dan kebebasannya yang selama ini menurut hemat penulis telah nyata-senyatanya. Bisa jadi dapat dikatakan dengan abuse of freedom by criminal justice atau penyalahgunaan kebebasan oleh peradilan pidana.Sebagai suatu contoh Pemikiran Upaya Reformasi Hukum dengan Menerapkan Restorative Justice merupakan konsep pemikiran dari Kementerian Menpolhukam.
12
Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, (2015), Sosiologi Peradilan Pidana, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI bekerjasama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia
82
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Dari paparan diatas dapatlah dibagankan dibawah ini.
Maka kebebasan di atas mempunyai arti berbeda dengan kebebasan yang mengandung arti kemandirian atau merdeka.13 Alternatif atau pilihan tindakan merupakan suatu bentuk kebebasan, diluar keyakinan yang telah didasarkan pada undang-undang. “Hukum disini merupakan sistem jalinan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.”14 Nilai dianggap sebagai idee directive atau donne ideal yang merupakan sesuatu yang menjadi penggerak manusia kearah pemenuhan hasrat hidupnya. Di dalam hukum biasanya nilai-nilai dapatlah digambarkan sebagai berpasangan (dua-dua) tetapi selalu bertegangan. Suatu contoh konsepsi kebebasan, sebagaimana halnya dengan kepentingan umum, dikenal pula versi-versi fungsional, seperti antara lain “kebebasan politik, kebebasan pers, dan kebebasan akademis, dan kebebasan dapat dipadatkan menjadi kebebasan rohaniah, kebebasan menyatakan pendapat (lisan atau tertulis) dan kebebasan berperikelakuan atau bersikap tindak.15 “Kekuasaan dengan asas-asasnya serta norma-normanya telah diterapkan oleh Hakim, suatu misal kasus Jessica. Akan tetapi sampai menjelang putusan, terdakwa Jessica tidak/ belum mengakui-pada waktu itu hakim majelis, berupaya dengan pertanyaan-pertanyaannya setelah serangkaian pembuktian, mengharapkan Jessica untuk menyampaikan pengakuan-dan akhirnya diputus dengan ancaman pidana 20 (duapuluh) tahun: “Sanksi yang dievaluasi untuk keadilan dan ketidakadilan dievaluasi dalam hal konsekuensi untuk nilai-nilai lain, seperti kebebasan, ketertiban, kebahagiaan, kekayaan, atau kesejahteraan tetapi mereka adalah wujud keprihatinan terpisah.16” 13
14
15 16
Rusli Muhammad, (2004), “Strategi dalam Membangun Kembali Kemandirian Pengadilan di Indonesia”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, No. 26 Vol 11, Perkembangan Lembaga Peradilan di Indonesia, Yogyakarta: FH UIIhlm. 20, kebebasan disini mempunyai makna yang sama dengan kemandirian “ ..hilangnya kebebasan kekuasaan kehakiman dalam upaya penegakan hukum tidak semata-mata bersumber dari pelaku-pelaku dari para penyelenggara negara atau para penegak hukum tetapi kemungkinan besar justru berasal dari ketidakberesan UUD 1945 itu sendiri” Purnadi Purbacaraka, Sorjono Soekanto, (1978), Renungan tentang Filsafat Hukum, Jakarta: CV Rajawali, hlm. 14. Hukum juga diartikan dengan ilmu pengetahuan, disiplin, kaedah, tata hukum, petugas (hukum), keputusan penguasa, proses pemerintahan, perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur. Ibid, hlm. 15 Mohammad Kemal Dermawan dan Mohammad Irvan Oli’i, Op.cit., hlm. 242
Ibnu Subarkah, Kebebasan Dalam Kekuasaan Peradilan Pidana
83
KESIMPULAN Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Bekerjanya sistem peradilan pidana, mengandung arti penggunaan kekuasaan dan pembatasan kekuasaan. Kekuasaan yang telah dinormatifkan dalam perundang-undangan yang ada, di luar hal tersebut peradilan pidana sebagai sistem dalam bertindak menerapkan kebebasan (abuse of freedom by criminal justice); dan 2) Pelaksanaan kebebasan tersebut berakibat pada pentingnya perubahan perundang-undangan, dimana nilai-nilai, asas-asas hukum dan normanya kurang sejalan dengan kondisi penerapan hukum pidana, maka dalam hal merubah menggunakan analisis sistemik bukan parsial, meskipun komponen-komponen atau subsistem bersifat otonom dalam pelaksanaanya. SARAN Rekomendasi dari paparan di atas sebagai berikut: 1) Harapan agar dilakukan perubahan perundang-undangan sistem peradilan pidana, dengan mengingat semakin krusial persoalan peradilan pidana;dan 2) Harapan agar kekuasaan yang telah dilakukan, yang sejalan nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat, untuk dipertahankan dengan menyusun asas hukum baru dan mengkonkretkan dalam norma yang abstraksinya lebih rendah. DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly dkk, (2007), Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Jakarta: The Biography Institute. Atmasasmita, Romli, (1996), Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, Jakarta: Putra Bardin. Bruggink, JJ.H, (2011), Refleksi tentang Hukum, Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Suatu terjemahan oleh Arief Sidharta, Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Dermawan, Mohammad Kemal dan Mohammad Irvan Oli’i, (2015), Sosiologi Peradilan Pidana, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI bekerjasama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Muhammad, Rusli, (2004), “Strategi dalam Membangun Kembali Kemandirian Pengadilan di Indonesia”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, No. 26 Vol 11, Perkembangan Lembaga Peradilan di Indonesia, Yogyakarta: FH UII. ____________(2009), Kemandirian Pengadilan Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press. Mujahidin, Ahmad, (2007), Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: Refika Aditama. Peters, AAG dan Koesriani Siswosoebroto, (1988), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks, Sosiologi Hukum, Buku II, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Purbacaraka, Purnadi, Sorjono Soekanto, (1978), Renungan tentang Filsafat Hukum, Jakarta: CV Rajawali.
84
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, (2010), Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945, Bab I, Bentuk dan Kedaulatan, Mahkamah Konstitusi, Jakarta: MK. Subarkah, Ibnu, (2011), “Dilematika Kekuasaan Lembaga Peradilan dan Keadilan dalam Frame Desentralisasi Pemerintahan”, Jurnal Konstitusi, Volume IV, No. 1 Juni 2011, ISSN 18297706, Malang: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang kerjasama dengan MK. Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.