I. TEKNIS ADMINISTRASI A. PENGADILAN AGAMA 1. Penerimaan Perkara a. Pendaftaran Perkara Tingkat Pertama 1)
Petugas Meja I menerima gugatan, permohonan, verzet, permohonan banding, permohonan kasasi, permohonan
peninjauan
kembali,
permohonan
eksekusi dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet). 2)
Perlawanan atas putusan verstek (verzet) tidak didaftar sebagai perkara baru dan Pelawan dibebani biaya untuk pemanggilan dan pemberitahuan pihakpihak yang ditaksir oleh petugas Meja I.
3)
Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) didaftar sebagai perkara baru dalam register gugatan.
4)
Dalam pendaftaran perkara, dokumen yang perlu diserahkan kepada petugas Meja I adalah : a) Surat gugatan atau surat permohonan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang. b) Surat kuasa khusus (dalam hal Penggugat atau pemohon menguasakan kepada pihak lain). c)
Fotokopi kartu anggota advokat bagi yang menggunakan jasa advokat. 1
d) Bagi kuasa insidentil, harus ada surat keterangan tentang
hubungan
keluarga
dari
Desa/Lurah dan/atau surat izin
Kepala
khusus dari
atasan bagi PNS dan anggota TNI/POLRI (Surat Edaran
TUADA
ULDILTUN
MARI
No.
MA/KUMDIL/8810/1987). e) Salinan putusan (untuk permohonan eksekusi). f) Salinan surat-surat yang dibuat di luar negeri harus disahkan oleh Kedutaan atau Perwakilan Indonesia
di
negara
tersebut,
dan
harus
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah yang disumpah. Bila di negara tersebut tidak ada kedutaan/perwakilan RI, yang ada hanya Kamar Dagang, dapat disahkan oleh Kamar Dagang. 5)
Surat
gugatan/permohonan
diserahkan
kepada
petugas Meja I sebanyak jumlah pihak, ditambah 3 (tiga) rangkap termasuk asli untuk majelis. 6)
Petugas
Meja
I
menerima
dan
memeriksa
kelengkapan berkas dengan menggunakan daftar periksa (check list). 7)
Petugas meja I menaksir panjar biaya perkara dengan acuan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama tentang Panjar Biaya Perkara. Di antara
2
komponen biaya yang ditaksir dalam panjar biaya perkara adalah PNBP jenis biaya pendaftaran dan hak redaksi, sedangkan biaya PNBP di luar biaya pendaftaran
dan
hak
redaksi
karena
bersifat
incidental ditaksir tersendiri. 8)
Dalam menentukan panjar biaya perkara, Ketrua Pengadilan Agama harus memperhatikan PP No. 53 Tahun 2008 tentang PNBP, Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2009 tentang Biaya Proses Penyelesaian dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya, Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung RI masing-masing No. 33/WKMA.N.Y/IX/2008 tanggal 26 September 2008 tentang PP No. 53 Tahun 2008 dan
No.
42/WKMA.N.Y/XI/2008
tanggal
4
November 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 53 Tahun 2008, serta peraturan terkait lainnya. 9)
Setiap penaksiran panjar biaya perkara didasarkan pada surat keputusan Ketua Pengadilan Agama,
10) Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama tentang Panjar Biaya Perkara harus ditempel pada papan pengumuman Pengadilan Agama. 11) Dalam penaksiran panjar biaya perkara perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
3
a) Jumlah pihak-pihak yang berperkara. b) Jarak tempat tinggal dan kondisi daerah para pihak. c) Dalam perkara cerai talak harus diperhitungkan juga biaya pemanggilan para pihak untuk sidang ikrar talak. d) Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara. 12) Setelah menaksir panjar biaya perkara, petugas Meja I membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 4 (empat): a) Lembar pertama warna hijau untuk bank yang bersangkutan. b) Lembar
kedua
warna
putih
untuk
Penggugat/Pemohon. c) Lembar ketiga warna merah untuk kasir. d) Lembar
keempat
warna
kuning
untuk
dilampirkan dalam berkas. 13) Petugas Meja I mengembalikan berkas kepada Penggugat/ Pemohon untuk diteruskan kepada Pemegang Kas. 14)
Penggugat/Pemohon membayar uang panjar biaya
4
perkara yang tercantum dalam SKUM ke Bank. 15) Pemegang Kas menerima bukti setor ke Bank dari Penggugat/Pemohon dan membukukannya dalam Buku Jurnal keuangan perkara. 16) Pemegang Kas membubuhkan cap tanda lunas dan memberi nomor pada SKUM. 17) Nomor urut perkara adalah nomor urut pada Buku Jurnal Keuangan Perkara. 18) Pemegang Kas menyerahkan berkas perkara kepada Penggugat/Pemohon
agar
didaftarkan
kepada
petugas Meja II 19) Petugas Meja II mencatat perkara tersebut dalam Buku Register Induk Gugatan/Permohonan sesuai dengan nomor perkara yang tercantum pada SKUM. 20) Petugas Meja II menyerahkan satu rangkap surat gugatan/ permohonan yang telah terdaftar berikut SKUM
rangkap
pertama
kepada
Penggugat/Pemohon. 21) Petugas Meja II memasukkan berkas surat gugatan/ permohonan tersebut dalam map berkas perkara dan melampirkan blanko PMH, blanko penunjukan Panitera Pengganti, blanko penunjukan Jurusita Pengganti serta menyerahkannya kepada Wakil Panitera
untuk
5
disampaikan
kepada
Ketua
Pengadilan Agama melalui Panitera. b. Pendaftaran Permohonan Banding 1)
Permohonan banding didaftarkan kepada petugas Meja I.
2)
Permohonan banding dapat diajukan dalam waktu 14 hari
setelah
putusan
diucapkan
atau
setelah
diberitahukan dalam hal putusan tersebut diucapkan di luar hadir. 3)
Penghitungan waktu 14 hari dimulai pada hari berikutnya (besoknya) setelah putusan diucapkan atau setelah putusan diberitahukan, dan apabila hari ke-14 (keempat belas) jatuh pada hari libur, maka diperpanjang sampai hari kerja berikutnya.
4)
Terhadap permohonan banding yang diajukan melampaui tenggat waktu tersebut di atas tetap dapat diterima dan dicatat, kemudian Panitera membuat surat keterangan bahwa permohonan banding telah lampau waktu.
5)
Petugas Meja I menaksir besarnya panjar biaya banding yang dituangkan dalam SKUM, yang terdiri dari: a) Biaya pendaftaran b) Biaya banding yang dikirimkan ke Pengadilan Tinggi Agama yang besarnya sebagaimana
6
diatur dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA No. 02 Tahun 2009. c) Ongkos pengiriman biaya banding melalui Bank/Kantor Pos. d) Biaya fotokopi/penggandaan dan pemberkasan. e) Ongkos pengiriman berkas perkara banding. f) Ongkos jalan petugas pengiriman. g) Biaya-biaya pemberitahuan, yang berupa: (1) biaya pemberitahuan akta banding. (2) biaya pemberitahuan memori banding. (3) biaya pemberitahuan kontra memori banding. (4) biaya
pemberitahuan
memeriksa
berkas
(inzage) bagi pembanding. (5) biaya
pemberitahuan
memeriksa
berkas
(inzage) bagi terbanding. (6) biaya pemberitahuan amar putusan bagi pembanding. (7) biaya pemberitahuan amar putusan bagi terbanding. 6)
Berkas
perkara
banding
yang
telah
lengkap
dibuatkan SKUM dalam rangkap empat: a) Lembar pertama warna hijau untuk bank yang bersangkutan.
7
b) Lembar
kedua
warna
putih
untuk
Penggugat/Pemohon. c) Lembar ketiga warna merah untuk kasir. d) Lembar
keempat
warna
kuning
untuk
dilampirkan dalam berkas. 7)
Petugas Meja I menyerahkan berkas permohonan banding yang dilengkapi dengan SKUM kepada pihak yang bersangkutan untuk membayar uang panjar yang tercantum dalam SKUM kepada Bank.
8)
Pemegang
Kas
setelah
menerima
bukti
pembayaran panjar biaya perkara banding harus menandatangani dan membubuhkan cap lunas pada SKUM. 9)
Pemegang Kas kemudian membukukan uang panjar biaya perkara banding yang tercantum pada SKUM dalam Buku Jurnal Keuangan Perkara Banding.
10) Apabila panjar biaya perkara banding telah dibayar lunas, Panitera membuat akta pernyataan banding dan mencatat permohonan banding tersebut dalam Buku Register Induk Perkara Gugatan dan Buku Register Permohonan Banding. 11) Permohonan banding dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja harus telah diberitahukan kepada pihak lawan. 12) Tanggal penerimaan memori banding dan kontra
8
memori banding harus dicatat dalam Buku Register Induk Perkara dan Buku Register Permohonan Banding, kemudian salinannya disampaikan kepada masing-masing lawannya dengan membuat Relaas pemberitahuan/penyerahannya. 13) Sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama, kesempatan
kedua belah pihak harus diberi
untuk
memeriksa
berkas
perkara
(inzage) dan hal itu dituangkan dalam akta. 14) Dalam waktu 30 hari sejak permohonan banding diajukan, berkas perkara banding berupa bundel A dan bundel B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama. 15)
Biaya perkara banding untuk Pengadilan Tinggi Agama harus dikirim melalui Bank dan tanda bukti pengiriman uang serta bukti setoran pendaftaran ke Kas Negara harus dikirim dan menyatu dengan berkas yang bersangkutan.
17) Ketua Pengadilan Agama harus membaca putusan banding
dengan
cermat
dan
teliti
sebelum
menyampaikan kepada para pihak. 18) Fotokopi Relaas pemberitahuan amar putusan banding dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Agama.
9
c. Pendaftaran Perkara Kasasi 1)
Permohonan Kasasi didaftarkan kepada petugas Meja I.
2)
Permohonan kasasi dapat diajukan dalam waktu 14 hari
setelah
putusan
diucapkan
atau
setelah
pemberitahuan amar putusan. 3)
Penghitungan waktu 14 hari dimulai pada hari berikutnya (besoknya) setelah putusan diucapkan atau setelah putusan diberitahukan, dan apabila hari ke-14 (keempat belas) jatuh pada hari libur, maka diperpanjang sampai hari kerja berikutnya.
4)
Petugas Meja I menaksir besarnya panjar biaya kasasi yang dituangkan dalam SKUM, yang terdiri dari: a) Biaya perkara kasasi yang dikirim ke Mahkamah Agung
R.I.
yang
besarnya
sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a PERMA No. 02 Tahun 2009. b) Biaya Pendaftaran Kasasi c) Ongkos pengiriman biaya perkara kasasi. d) Biaya pemberitahuan akta kasasi. e) Biaya pemberitahuan memori kasasi. f) Biaya pemberitahuan kontra memori kasasi. g) Biaya fotokopi/penggandaan dan pemberkasan.
10
h) Ongkos pengiriman berkas perkara kasasi. i) Ongkos jalan petugas pengiriman. j) Biaya pemberitahuan amar putusan kasasi kepada Pemohon Kasasi. k) Biaya pemberitahuan amar putusan kasasi kepada Termohon Kasasi. 5)
Berkas permohonan kasasi yang telah lengkap dibuatkan SKUM dalam rangkap empat: a) Lembar pertama warna hijau untuk bank yang bersangkutan. b) Lembar
kedua
warna
putih
untuk
Penggugat/Pemohon. c) Lembar ketiga warna merah untuk kasir. d) Lembar
keempat
warna
kuning
untuk
dilampirkan dalam berkas. 6)
Petugas Meja I menyerahkan berkas permohonan kasasi yang dilengkapi dengan SKUM kepada pihak yang bersangkutan agar membayar uang panjar biaya perkara kasasi yang tercantum dalam SKUM kepada Bank.
7)
Pemegang Kas setelah menerima bukti pembayaran panjar biaya perkara kasasi harus menandatangani dan membubuhkan cap lunas pada SKUM.
8)
Permohonan kasasi dapat diterima apabila panjar
11
biaya perkara kasasi yang tercantum dalam SKUM telah dibayar lunas. 9)
Pemegang Kas membukukan uang panjar biaya kasasi yang tercantum dalam SKUM pada Buku Jurnal Keuangan Perkara kasasi.
10) Apabila panjar biaya perkara kasasi telah dibayar lunas, maka Panitera pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara dan mencatat permohonan kasasi tersebut dalam Buku Register Induk Perkara dan Buku Register Permohonan Kasasi. 11) Permohonan kasasi yang telah terdaftar, dalam waktu 7 (tujuh) hari harus telah diberitahukan kepada pihak lawan. 12) Memori kasasi, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sesudah permohonan kasasi terdaftar, harus sudah diterima pada kepaniteraan Pengadilan Agama. Apabila dalam waktu tersebut memori kasasi belum diterima, Pemohon Kasasi dianggap tidak menyerahkan memori kasasi. Penghitungan 14 (empat belas) hari tersebut sama dengan pada butir 3) di atas. 13) Panitera memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan dalam waktu selambat-lambatnya
12
7 (tujuh)
hari salinan memori kasasi
harus
diberitahukan kepada pihak lawan. 14) Setelah memori kasasi diberitahukan kepada pihak lawan, kontra memori kasasi selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari harus sudah disampaikan kepada kepaniteraan Pengadilan Agama untuk diberitahukan kepada pihak lawan. 15) Dalam waktu 60 hari sejak permohonan kasasi diajukan, berkas permohonan kasasi berupa bundel A dan bundel B harus dikirim ke Mahkamah Agung. 17)
Apabila syarat formal permohonan kasasi tidak dipenuhi oleh Pemohon Kasasi, berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung (Pasal 45 A ayat (3) UU No. 5 Tahun 2004 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009).
18) Yang dimaksud dengan syarat formal permohonan kasasi adalah tenggang waktu permohonan kasasi, pernyataan kasasi, panjar biaya perkara kasasi dan memori kasasi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 dan 47 UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009). 19) Panitera
Pengadilan
Agama
membuat
surat
keterangan bahwa permohonan kasasi tersebut tidak
13
memenuhi syarat formal. 20) Berdasarkan surat keterangan Panitera tersebut dan setelah meneliti kebenarannya, Ketua Pengadilan Agama membuat penetapan yang menyatakan bahwa permohonan kasasi tersebut tidak dapat diterima. 21) Salinan penetapan Ketua Pengadilan Agama tersebut pada butir 21 di atas diberitahukan/disampaikan kepada para pihak sesuai ketentuan yang berlaku. 22) Dengan dikeluarkannya penetapan Ketua Pengadilan Agama tersebut, maka putusan yang dimohonkan kasasi menjadi berkekuatan hukum tetap dan terhadap penetapan ini tidak dapat dilakukan upaya hukum. 23) Petugas Kepaniteraan mencatat kode “TMS” (tidak memenuhi syarat formal) dalam kolom keterangan pada Buku Induk Register Perkara. 24) Ketua Pengadilan Agama melaporkan permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat formal dengan dilampiri penetapan tersebut ke Mahkamah Agung. 25) Biaya permohonan kasasi untuk MA dikirim oleh pemegang kas melalui Bank BNI Syari’ah Kantor Layanan BNI Syari’ah Mahkamah Agung Jl. Medan Merdeka Utara No. 9 – 13 Jakarta Pusat,
14
No.
Rekening
:
179179175
atas
nama
Kepaniteraan Mahkamah Agung (vide : Surat Panitera
Mahkamah
Agung
RI
No.
464/PAN/XI/2008 tanggal 12 November 2008 yang ditujukan kepada para Ketua PN, PA dan PTUN), dan bukti pengirimannya dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan. 26) Tanggal penerimaan memori kasasi dan kontra memori kasasi harus dicatat dalam Buku Register Induk Perkara dan Buku Register Permohonan Kasasi. 27) Ketua Pengadilan Agama harus membaca putusan kasasi
dengan
cermat
dan
teliti
sebelum
menyampaikan kepada para pihak. 28) Fotokopi Relaas pemberitahuan amar putusan kasasi dikirim ke Mahkamah Agung.
d. Pendaftaran Permohonan Peninjauan Kembali 1)
Permohonan peninjauan kembali didaftarkan kepada petugas Meja I.
2)
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan dalam waktu 180 hari setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak ditemukannya bukti baru (novum).
15
3)
Petugas Meja I menentukan besarnya panjar biaya peninjauan kembali yang dituangkan dalam SKUM, yang terdiri dari: a) Biaya
perkara
peninjauan
kembali
yang
dikirimkan ke Mahkamah Agung yang besarnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b PERMA No. 02 Tahun 2009. . b) Biaya pendaftaran. c) Ongkos pengiriman biaya perkara peninjauan kembali melalui Bank/Kantor Pos. d) Biaya pemberitahuan pernyataan dan alasan peninjauan kembali. e) Biaya pemberitahuan jawaban atas permohonan dan alasan peninjauan kembali. f) Biaya fotokopi/penggandaan dan pemberkasan. g) Ongkos pengiriman berkas perkara peninjauan kembali. h) Ongkos jalan petugas pengiriman. i) Biaya pemberitahuan amar putusan peninjauan kembali kepada Pemohon Peninjauan Kembali. j) Biaya pemberitahuan amar putusan peninjauan kembali kepada Termohon Peninjauan Kembali. 4)
Berkas perkara yang telah lengkap dibuatkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap
16
empat, masing-masing : a) Lembar pertama warna hijau untuk bank yang bersangkutan. b) Lembar
kedua
warna
putih
untuk
Penggugat/Pemohon. c) Lembar ketiga warna merah untuk kasir. d) Lembar
keempat
warna
kuning
untuk
dilampirkan dalam berkas. 5)
Petugas Meja I menyerahkan berkas permohonan peninjauan kembali yang dilengkapi dengan SKUM kepada pihak yang bersangkutan agar membayar biaya yang tercantum dalam SKUM kepada Bank.
6)
Pemegang Kas menandatangani dan membubuhkan cap
lunas
pada
SKUM
setelah
menerima
pembayaran biaya tersebut. 7)
Permohonan peninjauan kembali dapat diterima apabila panjar biaya perkara yang ditentukan dalam SKUM telah dibayar lunas.
8)
Pemegang Kas membukukan uang panjar biaya perkara yang tercantum pada SKUM dalam Buku Jurnal Permohonan Peninjauan Kembali.
9)
Apabila panjar biaya perkara telah dibayar lunas, Pengadilan Agama pada hari itu juga membuat akta permohonan peninjauan kembali yang dilampirkan
17
pada berkas perkara dan mencatat permohonan peninjauan kembali tersebut dalam Buku Register Induk Perkara dan Buku Register Peninjauan Kembali. 10) Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari,
Panitera
memberitahukan
permohonan
peninjauan kembali kepada pihak lawan dengan memberikan
salinan
permohonan
peninjauan
kembali beserta alasan-alasannya (Pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985, UU No. 5/2004 dan UU No. 3/2009). 11) Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak alasan peninjauan kembali diterima, jawaban atas alasan peninjauan kembali harus sudah diserahkan di kepaniteraan Pengadilan Agama untuk disampaikan kepada pihak lawan (Pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985, UU No. 5/2004 dan UU No. 3/2009). 12) Jawaban atas permohonan dan alasan peninjauan kembali yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Agama harus dibubuhi hari dan tanggal penerimaan yang dinyatakan di atas surat jawaban tersebut (Pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985, UU No. 5/2004 dan UU No. 3/2009). 13) Dalam waktu 30 hari setelah menerima jawaban
18
tersebut, berkas permohonan peninjauan kembali berupa bundel A dan bundel B harus dikirim ke Mahkamah Agung (Pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985, UU No. 5/2004 dan UU No. 3/2009). 14) Biaya permohonan PK untuk MA dikirim oleh Bendaharawan Penerima melalui Bank BNI Syari’ah
Kantor
Layanan
BNI
Syari’ah
Mahkamah Agung Jl. Medan Merdeka Utara No. 9 – 13 Jakarta Pusat, No. Rekening : 179179175 atas nama Kepaniteraan Mahkamah Agung (vide: Surat Panitera Mahkamah Agung RI No. 464/PAN/XI/2008 tanggal 12 November 2008 yang ditujukan kepada para Ketua PN, PA dan PTUN) dan bukti pengirimannya dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan. 15) Ketua Pengadilan Agama harus membaca putusan peninjauan kembali dengan cermat dan teliti sebelum menyampaikan kepada para pihak. 16) Fotokopi Relaas pemberitahuan amar putusan peninjauan kembali supaya dikirim ke Mahkamah Agung. e. Administrasi Biaya Perkara 1) Pemegang Kas melaksanakan tugas-tugas administrasi biaya perkara. 19
2) Hak-hak
kepaniteraan
yang
berupa
biaya
pendaftaran dikeluarkan dari Buku Jurnal Keuangan Perkara (KI-PA1) dan Buku Induk Keuangan Perkara (KI-PA6) setelah diterimanya panjar biaya perkara. 3) Biaya meterai dan hak redaksi dikeluarkan pada saat perkara diputus. 4) Pembukuan penerimaan dan pengeluaran biaya leges pada tanggal biaya leges tersebut dipungut. 5) Setelah dikeluarkan dari KI-PA1 dan KI-PA6, biaya pendaftaran, hak redaksi dan leges dibukukan pada Buku Penerimaan Hak-Hak Kepaniteraan (KI-PA8). 6) Penerimaan
dan
pengeluaran
uang
hak
kepaniteraan lainnya sebagai PNBP dibukukan dalam buku tersendiri. 7) Semua pengeluaran uang yang merupakan hak-hak kepaniteraan adalah sebagai pendapatan negara. 8) Seminggu sekali Pemegang Kas menyerahkan uang hak-hak kepaniteraan kepada bendaharawan penerima untuk disetorkan ke kas negara. Setiap penyerahan, besarnya uang dicatat dalam kolom 19 (kolom keterangan) KI-PA8 dengan dibubuhi tanggal dan tanda tangan serta nama Bendaharawan Penerima. 9) Pengeluaran
uang
yang
diperlukan
bagi
penyelenggaraan peradilan untuk ongkos-ongkos
20
panggilan,
pemberitahuan,
pelaksanaan
sita,
pemeriksaan setempat, sumpah, penerjemah, dan eksekusi harus dicatat dengan tertib dalam masingmasing buku jurnal. 10) Ongkos-ongkos tersebut
dapat
dikeluarkan atas
keperluan yang nyata sesuai dengan jenis kegiatan tersebut. 11) Pemegang Kas mencatat penerimaan dan pengeluaran uang setiap hari dalam buku jurnal yang bersangkutan dan mencatat dalam buku kas bantu yang dibuat rangkap
dua,
lembar
pertama
disimpan
oleh
Pemegang Kas dan lembar kedua diserahkan kepada panitera sebagai laporan. 12) Panitera atau petugas yang ditunjuk dengan surat keputusan
Ketua
Pengadilan
Agama,
mencatat
penerimaan dan pengeluaran uang dalam Buku Induk Keuangan Perkara yang bersangkutan. 13) Buku Keuangan Perkara terdiri dari : a) Buku Jurnal Perkara Gugatan
(KI-PA1/G).
b) Buku Jurnal Perkara Permohonan
(KI-PA1/P).
c) Buku Jurnal Permohonan Banding
(KI-PA2).
d) Buku Jurnal Permohonan Kasasi
(KI- PA3).
e) Buku Jurnal Permohonan Peninjauan Kembali
(KI-PA4).
21
f) Buku Jurnal Permohonan Eksekusi (KI-PA5). g) Buku Induk Keuangan Perkara
(KI-PA6).
h) Buku Keuangan Biaya Eksekusi
(KI-PA7).
i) Buku Penerimaan Uang Hak-hak Kepaniteraan
(KI-PA8).
l) Buku Keuangan Hak Kepaniteraan lainnya (KI-PA11). 14) Buku Jurnal Keuangan Perkara digunakan untuk mencatat semua kegiatan penerimaan dan pengeluaran biaya untuk setiap perkara: a) Untuk perkara tingkat pertama (gugatan dan permohonan) dimulai dengan penerimaan panjar dan ditutup pada tanggal perkara diputus. b) Untuk perkara banding, kasasi, dan peninjauan kembali dimulai dengan penerimaan panjar dan ditutup pada tanggal pemberitahuan putusan pada tingkat masing-masing kepada para pihak. c) Permohonan eksekusi dimulai dengan penerimaan panjar
dan
ditutup
pada
tanggal
selesai
pelaksanaan eksekusi. 15) Buku jurnal diberi nomor halaman, halaman pertama dan terakhir ditandatangani Ketua Pengadilan Agama dan halaman lainnya diparaf.
22
16) Banyaknya
halaman
pada
setiap
buku
jurnal
dinyatakan oleh Ketua Pengadilan Agama pada halaman awal dan keterangan tersebut ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama. 17) Apabila buku induk keuangan perkara penuh dan pindah ke buku selanjutnya, maka dalam buku baru tersebut ditulis : “Buku ini merupakan lanjutan dari buku sebelumnya terdiri dari ...... halaman” dan ditanda tangani oleh Ketua serta distempel. 18) Buku Induk Keuangan Perkara digunakan untuk mencatat pengeluaran
seluruh
kegiatan
penerimaan
seluruh
perkara
dari
dan
(kecuali
permohonan eksekusi), dan dicatat menurut urutan tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam Buku Jurnal yang terkait, yang dimulai setiap awal bulan dan ditutup pada akhir bulan. 19) Buku Keuangan Biaya Eksekusi digunakan untuk mencatat pengeluaran
seluruh
kegiatan
eksekusi
menurut
penerimaan urutan
dan
tanggal
penerimaan dan pengeluaran dalam Buku Jurnal Eksekusi. 20) Buku Penerimaan Uang Hak-hak Kepaniteraan, digunakan untuk mencatat penerimaan uang hak-hak
23
kepaniteraan, dan dalam kolom keterangan diisi dengan tanggal, jumlah uang yang disetor, serta tanda tangan dan nama Bendaharawan Penerima. 21) Buku Keuangan Biaya Penyitaan digunakan untuk mencatat kegiatan penerimaan dan pengeluaran penyitaan. 22) Buku Induk Keuangan Perkara, Buku Keuangan Biaya Eksekusi dan Buku Penerimaan Uang Hak-hak Kepaniteraan
diberi
nomor
halaman.
Halaman
pertama dan terakhir ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama dan halaman lainnya diparaf. 23) Banyaknya halaman dan adanya tandatangan serta paraf tersebut diterangkan pada halaman awal dari masing-masing
buku,
dan
keterangan
tersebut
ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama. 24) Penutupan Buku Induk Keuangan Perkara dan Buku Keuangan Biaya Eksekusi dilakukan oleh Panitera dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Agama. 25) Pada setiap penutupan Buku Induk Keuangan tersebut, harus dijelaskan sisa uang menurut buku kas, sisa uang dalam kas maupun yang disimpan di Bank, serta perincian dari uang tersebut. 26) Apabila terdapat selisih antara jumlah uang menurut buku kas dengan uang kas sesungguhnya, maka harus
24
dijelaskan alasan terjadinya selisih tersebut. 27) Ketua Pengadilan Agama sebelum menandatangani Buku Induk Keuangan Perkara, harus meneliti kebenaran keadaan uang menurut buku kas dan menurut keadaan yang nyata, baik dalam brankas maupun yang tersimpan di Bank, dengan disertai bukti penyimpanan uang di Bank. 28) Ketua
Pengadilan
Agama
setiap
saat
dapat
memerintahkan Panitera untuk menutup Buku Induk Keuangan Perkara dan meneliti kebenaran setiap penerimaan dan pengeluaran uang perkara, sesuai dengan Buku Jurnal yang berkaitan, dan meneliti keadaan uang menurut buku kas dan uang yang ada dalam brankas maupun yang disimpan di Bank, disertai bukti- buktinya. 29) Penutupan Buku Induk Keuangan Perkara atas dasar perintah Ketua Pengadilan Agama tersebut di atas, hendaknya dilakukan secara mendadak sekurangkurangnya 3 (tiga) bulan sekali, dengan dibuatkan berita acara pemeriksaan. 30) Buku Jurnal dan Buku Induk Keuangan setiap tahun harus diganti dan tidak boleh digabung dengan tahun sebelumnya.
25
f. Register perkara 1)
Pendaftaran perkara dalam Buku Register harus dilakukan dengan tertib dan cermat.
2)
Buku Register Perkara di Pengadilan Agama terdiri dari: (a)
Register Induk Perkara Gugatan.
(b)
Register Induk Perkara Permohonan.
(c)
Register Permohonan Banding.
(d)
Register Permohonan Kasasi.
(e)
Register Permohonan Peninjauan Kembali.
(f)
Register Penyitaan Barang Bergerak.
(g)
Register Penyitaan Barang Tidak Bergerak.
(h)
Register Surat Kuasa Khusus.
(i)
Register Eksekusi.
(j)
Register Akta Cerai.
(k)
Register P 3 HP
(l)
Register Ekonomi Syari’ah.
(m) Register Mediasi. (n) Register Mediator 3) Buku Register diberi nomor halaman, halaman pertama dan terakhir ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama dan halaman lainnya diparaf. 4) Banyaknya halaman pada setiap buku register dinyatakan pada halaman awal dan keterangan
26
tersebut ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama. Bila penuh, maka halaman awal ditulis : “Buku regsiter ini
merupakan
lanjutan
dari
buku
sebelumnya terdiri dari ..... halaman”. 5) Buku Register Induk Perkara memuat seluruh data perkara dalam tingkat pertama, banding, kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi. 6) Buku Register harus diganti setiap tahun dan tidak boleh digabung dengan tahun sebelumnya. 7) Buku Register Induk Perkara Gugatan dan Buku Register Induk Perkara Permohonan ditutup setiap bulan. Nomor urut setiap bulan dimulai dari nomor 1, sedangkan nomor perkara berlanjut untuk satu tahun. 8) Penutupan
Buku
Register
setiap
akhir
bulan,
ditandatangani oleh petugas register, dengan perincian sebagai berikut: a)
Sisa bulan lalu
: …………… perkara
b)
Masuk bulan ini
: …………… perkara
c)
Putus bulan ini
: …………… perkara
d)
Sisa bulan ini
: …………… perkara
9) Penutupan
Buku
Register
setiap
akhir
tahun,
ditandatangani oleh Panitera dan diketahui Ketua Pengadilan Agama, dengan perincian sebagai berikut:
27
a)
Sisa tahun lalu
: …………… perkara
b)
Masuk tahun ini
: …………… perkara
c)
Putus tahun ini
: …………… perkara
d)
Sisa tahun ini
: …………… perkara
10) Buku
Register
Permohonan
Permohonan
Kasasi,
dan
Banding,
Register
Register
Permohonan
Peninjauan Kembali ditutup setiap akhir tahun, dengan rekapitulasi sebagai berikut: a)
Sisa tahun lalu
: …………… perkara
b)
Masuk tahun ini
: …………… perkara
c)
Putus tahun ini
: …………… perkara
d)
Sisa akhir tahun
: …………… perkara
(1) Sudah dikirim
: …………… perkara
(2) Belum dikirim
: …………… perkara
g. Laporan 1)
Laporan Pengadilan Agama terdiri dari : a) Laporan Keadaan Perkara : L.I.PA.1 b) Laporan Perkara yang Dimohonkan Banding : L.I.PA.2 c) Laporan Perkara yang Dimohonkan Kasasi: L.I.PA.3 d) Laporan Perkara yang Dimohonkan PK : L.I.PA.4 e)
Laporan Perkara yang Dimohonkan Eksekusi: L.I.PA.5 28
f) Laporan Kegiatan Hakim
: L.I.PA.6
g) Laporan Keuangan Perkara : L.I.PA.7 h) Laporan Jenis Perkara : L.I.PA.8 i) Laporan Hasil Mediasi j) Laporan Penggunaan Akta Cerai k) Laporan Pertanggungjawaban Uang Iwadl l) Laporan Sebab-sebab Terjadinya Perceraian m) Laporan Tahunan 2) Asli laporan dikirim kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama, sedangkan lembar kedua dikirimkan kepada Mahkamah Agung cq. Direktur Jendral Badan Peradilan Agama. 3) Laporan
Keadaan
Perkara,
Laporan
Keuangan
Perkara, dan Laporan Jenis Perkara dibuat setiap akhir bulan dan harus diterima oleh Pengadilan Tinggi Agama
selambat-lambatnya
tanggal
10
dan
Mahkamah Agung selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. 4) Laporan Perkara yang Dimohonkan Banding, Laporan Perkara yang Dimohonkan Kasasi, Laporan Perkara yang Dimohonkan Peninjauan Kembali dan Laporan Perkara yang Dimohonkan Eksekusi, dibuat setiap 4 (empat) bulan, yaitu pada akhir bulan April, Agustus, dan Desember.
29
5) Laporan Kegiatan Hakim dibuat setiap 6 bulan yaitu pada akhir bulan Juni dan Desember. 6) Laporan Keadaan Perkara berisi tentang keadaan perkara sejak diterima sampai diputus dan diminutasi. 7) Laporan Perkara yang Dimohonkan Banding berisi tentang keadaan perkara yang dimohonkan banding, mulai tanggal putusan, tanggal permohonan banding, sampai
tanggal
pengiriman
berkas
perkara
ke
Pengadilan Tinggi Agama. 8) Laporan Perkara yang Dimohonkan Kasasi berisi tentang keadaan perkara yang dimohonkan kasasi, mulai tanggal penerimaan berkas dari Pengadilan Tinggi Agama sampai dengan tanggal pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung. 9) Laporan Perkara Kembali
berisi
yang tentang
Dimohonkan Peninjauan keadaan
dimohonkan peninjauan kembali,
perkara
yang
mulai tanggal
penerimaan berkas dari Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi Agama sampai dengan tanggal pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung. 10) Laporan Perkara yang Dimohonkan Eksekusi berisi tentang keadaan perkara yang dimohonkan eksekusi, mulai tanggal permohonan eksekusi sampai dengan selesainya eksekusi.
30
11) Perkara yang lebih dari 6 (enam) bulan sejak diterima ternyata belum diputus, harus disebutkan alasannya dalam kolom keterangan. 12) Perkara sebagaimana tersebut pada angka 1) huruf b) sampai dengan huruf e) di atas, tetap dilaporkan dalam setiap laporan sampai perkara diputus. 13) Laporan Kegiatan Hakim berisi tentang jumlah perkara yang diterima, diputus, sisa perkara, serta jumlah perkara yang sudah maupun yang belum diminutasi. 14) Laporan tentang keadaan keuangan perkara harus sesuai dengan Buku Induk Keuangan Perkara. 15) Laporan LI-PA1 sampai dengan LI-PA7 adalah laporan yang bersifat evaluasi, sehingga dari laporanlaporan tersebut dapat dipantau tentang kegiatan para pejabat peradilan secara keseluruhan, baik Hakim maupun pejabat kepaniteraan yang berhubungan dengan jalannya penyelenggaraan peradilan. 16) Laporan LI-PA8 adalah laporan yang berisi tentang: a) jumlah dan jenis perkara. b) jumlah perkara yang diputus. c) sisa perkara yang belum diputus pada setiap akhir bulan. 17) Cara pengisian formulir laporan berpedoman kepada
31
Petunjuk Pelaksanaan Pola BINDALMIN. 18) Tentang ekonomi syari’ah dan Mahkamah Syar’iyah akan dirumuskan dalam pedoman tersediri. 2. Persiapan Persidangan a. Penetapan Majelis Hakim 1)
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah proses registrasi diselesaikan, petugas
Meja
II
menyampaikan
berkas
gugatan/permohonan kepada wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui
Panitera
dengan
dilampiri
formulir
Penetapan Majelis Hakim (PMH). 2)
Majelis Hakim sekurang-kurangnya harus terdiri dari tiga orang hakim (kecuali undang-undang menentukan lain), dengan ketentuan: a) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama selalu menjadi Ketua Majelis. b) Ketua Majelis Hakim hendaknya Hakim senior pada pengadilan tersebut. Senioritas tersebut didasarkan pada lamanya seseorang menjadi hakim. c) Tiga orang hakim yang menempati urutan senioritas terakhir dapat saling menjadi Ketua Majelis dalam perkara yang berlainan. 32
d) Susunan Majelis Hakim hendaknya ditetapkan secara tetap untuk jangka waktu tertentu. e) Untuk
memeriksa
perkara-perkara
tertentu,
Ketua PA dapat membentuk majelis khusus. Misalnya perkara ekonomi syari’ah. f) Majelis Hakim dibantu oleh Panitera Pengganti dan Jurusita. 3)
Ketua Pengadilan Agama selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja menetapkan Majelis Hakim yang akan menyidangkan perkara.
4)
Apabila
Ketua
Pengadilan
Agama
karena
kesibukannya berhalangan untuk melakukan hal itu, maka ia dapat melimpahkan tugas tersebut untuk seluruhnya atau sebagiannya kepada Wakil Ketua Pengadilan Agama atau Hakim senior yang bertugas di Pengadilan Agama itu. 5)
Penetapan Majelis Hakim dicatat oleh petugas Meja II dalam Buku Register Induk Perkara.
b. Penunjukkan Panitera Pengganti. 1)
Panitera
menunjuk
Panitera
Pengganti
untuk
membantu Majelis Hakim dalam menangani perkara 2)
Panitera Pengganti membantu Majelis Hakim dalam persidangan.
33
3)
Penunjukan Panitera Pengganti dicatat oleh petugas Meja II dalam Buku Register Induk Perkara.
c. Penetapan Hari Sidang 1)
Perkara yang sudah ditetapkan Majelis Hakimnya segera diserahkan kepada Ketua Majelis Hakim yang ditunjuk dengan dilengkapi formulir Penetapan Hari Sidang (PHS).
2)
Ketua Majelis Hakim setelah mempelajari berkas dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja harus sudah menetapkan hari sidang. Pemeriksaan perkara cerai dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal
surat
gugatan
didaftarkan
di
kepaniteraan Pengadilan Agama. 3)
Dalam menetapkan hari sidang, Ketua Majelis Hakim harus memperhatikan jauh/dekatnya tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan tempat persidangan.
4)
Dalam menetapkan hari sidang, dimusyawarahkan dengan para Anggota Majelis Hakim.
5)
Setiap Hakim harus mempunyai jadwal persidangan yang lengkap dan dicatat dalam Buku Agenda Perkara masing-masing.
6)
Daftar perkara yang akan disidangkan harus sudah
34
ditulis
oleh
Panitera
pengumunan
Pengganti
Pengadilan
pada
Agama
papan sebelum
persidangan dimulai sesuai nomor urut perkara. 7)
Panitera Pengganti harus melaporkan hari sidang pertama,
penundaan
sidang
beserta
alasannya
alasannya dan perkara putus kepada petugas Meja II dengan menggunakan lembar instrumen. 8)
Petugas Meja II harus mencatat laporan Panitera Pengganti tersebut dalam Buku Register Perkara.
d. Pemanggilan para pihak 1)
Panggilan terhadap para pihak untuk menghadiri sidang dilakukan oleh Jurusita kepada para pihak atau kuasanya di tempat tinggalnya.
2)
Apabila para pihak tidak dapat ditemui di tempat tinggalnya, maka surat panggilan diserahkan kepada Lurah/Kepala Desa dengan mencatat nama penerima dan ditandatangani oleh penerima, untuk diteruskan kepada yang bersangkutan.
3)
Tenggat waktu antara panggilan para pihak dengan hari sidang paling sedikit 3 (tiga) hari kerja
4)
Surat panggilan kepada Tergugat untuk sidang pertama harus Jurusita
dilampiri salinan surat gugatan.
harus
35
memberitahukan
kepada
pihak
Tergugat bahwa ia boleh mengajukan jawaban secara lisan/tertulis yang diajukan dalam sidang. 5)
Penyampaian salinan gugatan dan pemberitahuan bahwa Tergugat dapat mengajukan jawaban tertulis tersebut harus ditulis dalam Relaas panggilan.
6)
Apabila tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang jelas di Indonesia,
maka pemanggilannya
dapat dilaksanakan dengan melihat jenis perkaranya, yaitu : a) Perkara di bidang perkawinan. (1) Pemanggilan dilaksanakan melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lainnya
yang
ditetapkan
oleh
Ketua
Pengadilan Agama. (2) Pengumuman melalui surat kabar atau media massa sebagaimana tersebut di atas harus dilaksanakan sebanyak dua kali dengan tenggat waktu antara pengumuman pertama dan kedua selama satu bulan. Tenggat waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya tiga bulan. (3) Dalam hal panggilan sudah dilaksanakan sebagaimana tersebut dan Tergugat atau
36
kuasa hukumnya tidak hadir dan gugatan dapat
dibuktikan,
maka
gugatan
dikabulkan tanpa hadirnya Tergugat. (4) Apabila dalam persidangan pertama perkara belum
putus
maka
dalam
persidangan
berikutnya Tergugat/Termohon tidak perlu dipanggil lagi. (5) Apabila sebelum hari persidangan yang telah ditetapkan Tergugat/termohon hadir dan/atau diketahui tempat tinggalnya maka Penggugat/pemohon
harus
memperbaiki
surat gugatan/permohonan sesuai dengan tempat
tinggal
Tergugat/termohon
dan
selanjutnya panggilan disampaikan ke tempat tinggalnya. (6) Apabila pada sidang pertama Tergugat atau kuasanya
hadir,
kesempatan
maka
untuk
Penggugat/pemohon
Tergugat
diberi
menjawab;
dan
harus
memperbaiki
surat gugatan/permohonan sesuai dengan tempat
tinggal
Tergugat/termohon
dan
selanjutnya panggilan disampaikan ke tempat tinggalnya.
37
(7) Majelis hakim membatalkan PHS lama dan sekaligus menetapkan PHS baru. (8) Apabila
gugatan
Penggugat
tidak
beralasan, maka harus ditolak, namun bila gugatan Penggugat tidak beralasan hukum, maka harus “NO”. (9) PBT isi putusan ditempel pada papan pengumuman PA selama 14 hari. b) Perkara yang berkenaan dengan harta kekayaaan. (1) Pemanggilan dalam perkara yang berkenaan dengan harta kekayaan dilaksanakan melalui Bupati/Walikota dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama setempat. (2) Surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman Pengadilan Agama (Pasal 390 ayat (3) HIR / 718 ayat (3) RBg). (3) Dalam hal yang dipanggil meninggal dunia, maka panggilan disampaikan kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya tidak dikenal atau tidak diketahui tempat tinggalnya, maka panggilan
dilaksanakan
melalui
Kepala
Desa/Lurah (Pasal 390 ayat (2) HIR/Pasal 718 ayat (2) RBG).
38
7) Pemanggilan terhadap Tergugat/termohon yang berada di luar negeri harus dikirim melalui Departemen Luar Negeri cq. Dirjen Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri dengan tembusan disampaikan kepada Kedutaan
Besar
Indonesia
di
negara
yang
bersangkutan. 8) Permohonan pemanggilan sebagaimana tersebut pada angka 7 tidak perlu dilampiri surat panggilan, tetapi permohonan tersebut dibuat tersendiri yang sekaligus berfungsi sebagai surat panggilan (Relaas). Meskipun surat panggilan (Relaas) itu tidak kembali atau tidak dikembalikan oleh Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, panggilan tersebut sudah dianggap sah, resmi dan patut (Surat KMA kepada Ketua Pengadilan Agama Batam Nomor 055/75/91/I/UMTU/Pdt./ 1991 tanggal 11 Mei 1991). 9) Tenggat
waktu
antara
pemanggilan
dengan
persidangan sebagaimana tersebut dalam angka 7) dan 8) sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak surat permohonan pemanggilan dikirimkan. 10) Terhadap perkara yang telah ditetapkan prodeo tidak dikenakan biaya apapun.
39
3. Pelaksanaan Persidangan a. Ketentuan umum persidangan 1) Perkara harus diperiksa dan diputus selambatlambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan sejak perkara didaftarkan. Jika dalam waktu tersebut belum
putus,
maka
Ketua
Majelis
harus
melaporkan keterlambatan tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Agama dengan menyebutkan alasannya. 2) Sidang Pengadilan Agama dimulai pada pukul 09.00 waktu setempat, kecuali dalam hal tertentu sidang dapat dimulai beberapa saat kemudian pada hari yang sama, namun hal itu harus diumumkan terlebih dahulu. 3) Sidang Pengadilan harus dilaksanakan di ruang sidang. Dalam hal dilakukan pemeriksaan di tempat, sidang sedapat-dapatnya dibuka dan ditutup di kantor Kelurahan/ Kepala Desa atau ditempat lain yang memungkinkan. 4) Ketua Majelis Hakim bertanggung jawab atas jalannya persidangan. Agar pemeriksaan perkara berjalan teratur, tertib dan lancar, sebelum pemeriksaan
dimulai
harus
dipersiapkan
pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. 40
5) Majelis Hakim yang memeriksa perkara terlebih dahulu harus mengupayakan perdamaian/mediasi (Pasal 130 HIR/154 RBg jo Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 jo PERMA No. 1 Tahun 2008). 6) Apabila tercapai perdamaian maka perdamaian di bidang harta kekayaan dituangkan dalam putusan perdamaian. Sedangkan perdamaian dalam perkara perceraian tidak dibuatkan putusan perdamaian, tetapi perkara dicabut oleh para pihak dan dituangkan dalam penetapan pencabutan. 7) Apabila mediasi tidak berhasil mendamaikan para pihak, maka majelis hakim tetap berkewajiban untuk mendamaikan para pihak (Pasal 130 HIR/154 RBg). 8) Dengan adanya upaya perdamaian sebagaimana yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, maka Majelis Hakim agar memperhatikan dan menyesuaikan tenggat waktu perdamaian dengan hari persidangan berikutnya. 9) Sidang pemeriksaan perkara cerai talak dan cerai gugat dilakukan secara tertutup, namun putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. 41
10) Apabila
Ketua
Majelis
berhalangan,
persidangan tetap dibuka oleh Hakim Anggota yang senior untuk menunda persidangan. Apabila salah seorang Hakim Anggota berhalangan, ia dapat digantikan oleh Hakim lain yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama dengan PMH baru. Penggantian Hakim Anggota harus dicatat dalam berita acara persidangan dan buku register perkara. 11) Dalam keadaan luar biasa di mana sidang yang telah ditentukan tidak dapat terlaksana karena semua Hakim berhalangan, maka sidang ditunda dan
penundaan
tersebut
sesegera
mungkin
diumumkan. b. Berita Acara Persidangan 1) Ketua Majelis Hakim bertanggung jawab atas pembuatan dan kebenaran berita acara persidangan dan
menanda-tanganinya
sebelum
sidang
berikutnya. 2) Panitera Pengganti yang ikut bersidang harus membuat berita acara sidang yang memuat segala sesuatu
yang
terjadi
di
persidangan,
yaitu
mengenai susunan persidangan, siapa-siapa yang hadir, serta jalannya pemeriksaan perkara tersebut 42
dengan lengkap dan jelas. Berita acara sidang harus
sudah
ditandatangani
sebelum
sidang
berikutnya. 3) Nomor halaman berita acara sidang harus dibuat secara bersambung dari sidang pertama sampai sidang yang terakhir. 4)
Pada waktu musyawarah Majelis Hakim semua berita acara harus sudah selesai diketik dan ditandatangani sehingga dapat dipakai sebagai bahan musyawarah oleh Majelis Hakim yang bersangkutan.
c. Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim 1) Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim bersifat rahasia (Pasal 19 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004). Panitera
sidang
permusyawaratan
dapat
mengikuti
Majelis
Hakim
rapat apabila
dipandang perlu dan mendapat persetujuan oleh Majelis Hakim. 2) Ketua Majelis Hakim mempersilahkan Hakim Anggota II untuk mengemukakan pendapatnya, disusul oleh Hakim Anggota I dan terakhir Ketua Majelis akan menyampaikan pendapatnya. 3) Semua pendapat harus dikemukakan secara jelas dengan menunjuk dasar hukumnya, kemudian
43
dicatat dalam buku agenda sidang. 4) Jika terdapat perbedaan pendapat, maka yang pendapatnya berbeda tersebut dapat dimuat dalam putusan (Dissenting opinion). 5) Dalam rapat permusyawaratan, setiap hakim wajib me-nyampaikan
pertimbangan
atau
pendapat
tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa. d. Putusan 1) Putusan sedapat mungkin diambil dengan suara bulat. Apabila mengenai sesuatu masalah terdapat perbedaan
pendapat,
maka
suara
terbanyak
menjadi putusan Majelis. Pendapat yang berbeda (disenting
opinion)
dicantumkan
dalam
pertimbangan hukum putusan dan hakim yang berbeda
pendapat
tersebut
tetap
menandatangani putusan. 2) Putusan serta merta hanya dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 180 ayat (1) HIR/191 ayat (1) RBg serta Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2000 dan No. 4 Tahun 2001. 3) Pada waktu diucapkan, putusan harus sudah siap dan segera diserahkan kepada Panitera Pengganti untuk diselesaikan lebih lanjut.
44
e. Pemberitahuan Isi Putusan 1) Jika Penggugat/Pemohon atau Tergugat/Termohon tidak hadir dalam sidang pembacaan putusan, maka
panitera/jurusita
pengganti
harus
memberitahukan isi putusan kepada para pihak yang tidak hadir. 2) Jika Tergugat/Termohon tidak hadir dalam sidang pembacaan putusan dan alamatnya tidak diketahui di seluruh wilayah RI, maka pemberitahuan isi putusan dilakukan melalui pemerintah daerah tingkat II setempat atau yang ditunjuk oleh Pemda
untuk
diumumkan
pada
papan
pengumuman Pengadilan Agama dalam waktu 14 hari, baik dalam perkara bidang perkawinan maupun yang lainnya. f. Minutasi berkas perkara 1) Ketua Majelis Hakim bertanggung jawab atas ketepatan batas waktu minutasi perkara. 2) Selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak putusan diucapkan berkas perkara harus sudah diminutasi. 3) Berkas perkara yang telah diminutasi, disampul, dijahit dan disegel dengan kertas yang dibubuhi stempel Pengadilan Agama sebagai pengaman. 4) Berkas disusun secara berangsur dan kronologis.
45
g.
Penyampaian Salinan Putusan. 1) Petugas Meja III mengirimkan pemberitahuan tentang telah terjadinya perceraian yang telah diputus oleh Pengadilan Agama kepada Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama (KUA) di mana perkawinan dicatat, dan di tempat para pihak berdomisili. (Pasal 72, 84 ayat (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama). 2) Petugas Meja III juga bertugas menerima dan memberikan tanda terima: a) memori banding. b) kontra memori banding. c) memori kasasi. d) kontra memori kasasi. e) jawaban/tanggapan atas alasan PK. 3) Petugas Meja III menyiapkan dan menyerahkan salinan putusan pengadilan kepada para pihak apabila
diminta,
dan
para
pihak
harus
membayar biaya HHKL sesuai PP No. 53 Tahun 2008 tentang PNBP.
46
4. Bundel a. Bundel
A merupakan himpunan surat-surat yang
diawali dengan surat gugatan dan semua kegiatan proses persidangan/ pemeriksaan perkara tersebut yang selalu disimpan di Pengadilan Agama yang terdiri dari : 1) Surat gugatan/permohonan. 2) SKUM. 3) Penetapan Majelis/Hakim. 4) Penunjukan Panitera Pengganti. 5) Penetapan Hari Sidang. 6) Relaas-relaas Panggilan. 7) Berita acara sidang (jawaban/replik/duplik pihakpihak, dimasukkan dalam kesatuan Berita Acara). 8) Surat Kuasa dari kedua belah pihak (bila ada). 9) Penetapan sita conservatoir/revindicatoir (bila ada). 10) Berita Acara sita conservatoir/revindicatoir (bila ada). 11) Lampiran-lampiran surat yang diajukan oleh kedua belah pihak (bila ada). 12) Surat-surat bukti Penggugat (bila ada). 13) Surat-surat bukti Tergugat (bila ada). 14) Tanggapan bukti-bukti Tergugat dari Penggugat
47
(bila ada). 15) Tanggapan bukti-bukti Penggugat dari Tergugat (bila ada). 16) Gambar situasi (bila ada). 17) Surat-surat lain. b. Bundel
B yang berkaitan dengan permohonan
banding yang pada akhirnya akan menjadi arsip Pengadilan Tinggi Agama adalah himpunan suratsurat perkara yang diawali dengan permohonan pernyataan banding serta semua kegiatan berkenaan dengan adanya permohonan banding, yang terdiri dari: 1) Salinan putusan Pengadilan Agama. 2) Akta Banding 3) Akta penerimaan memori banding. 4) Memori banding 5) Akta pemberitahuan banding 6) Pemberitahuan penyerahan memori banding 7) Akta penerimaan kontra memori banding (bila ada) 8) Kontra memori banding (bila ada) 9) Pemberitahuan banding 10) Inzage
48
penyerahan
kontra
memori
11) Surat kuasa khusus (bila ada) 12) Bukti pengiriman biaya perkara banding 13) Bukti setor biaya pendaftaran ke Kas Negara. c. Bundel B yang berkaitan dengan permohonan kasasi yang pada akhirnya akan menjadi arsip berkas perkara pada Mahkamah Agung adalah himpunan surat-surat perkara yang diawali dengan permohonan pernyataan kasasi serta semua kegiatan berkenaan dengan adanya permohonan kasasi yang terdiri dari: 1) Relaas-Relaas
pemberitahuan
amar
putusan
banding kepada kedua belah pihak. 2) Akta permohonan kasasi. 3) Surat kuasa khusus dari Pemohon Kasasi (bila ada). 4) Relaas pemberitahuan akta permohonan kasasi kepada pihak lawan. 5) Memori kasasi. 6) Tanda terima memori kasasi. 7) Surat keterangan Panitera apabila Pemohon Kasasi tidak menyerahkan memori kasasi. 8) Relaas pemberitahuan memori kasasi kepada pihak lawan. 9) Kontra memori kasasi (bila ada). 10) Relaas pemberitahuan kontra memori kasasi
49
kepada pihak lawan. 11) Salinan putusan Pengadilan Agama. 12) Salinan putusan Pengadilan Tinggi Agama. 13) Tanda bukti pengiriman biaya kasasi melalui Bank/Kantor Pos. 14) Surat-surat lain (bila ada). d. Bundel
B yang berkaitan dengan permohonan
Peninjauan Kembali yang pada akhirnya akan menjadi arsip berkas perkara pada Mahkamah Agung adalah merupakan himpunan surat-surat perkara yang diawali dengan permohonan pernyataan peninjauan kembali serta semua kegiatan berkenaan dengan adanya permohonan peninjauan kembali yang terdiri dari: 1)
Relaas pemberitahuan amar putusan kasasi kepada Pemohon Peninjauan Kembali (apabila peninjauan kembali diajukan terhadap putusan kasasi) atau Relaas pemberitahuan amar putusan banding (apabila permohonan peninjauan kembali diajukan atas putusan Pengadilan Tinggi Agama).
2)
Akta permohonan peninjauan kembali.
3)
Surat permohonan peninjauan kembali dilampiri dengan surat bukti.
4)
Tanda
terima
kembali.
50
surat
permohonan
peninjauan
5)
Surat kuasa khusus (kalau ada).
6)
Surat pemberitahuan dan penyerahan salinan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan.
7)
Jawaban surat permohonan peninjauan kembali.
8)
Surat pemberitahuan dan penyerahan salinan jawaban atas permohonan peninjauan kembali.
9)
Salinan putusan Pengadilan Agama.
10) Salinan putusan Pengadilan Tinggi Agama (bila perlu). 11) Salinan putusan kasasi (bila perlu). 12) Tanda
bukti
pengiriman
biaya
permohonan
peninjauan kembali dari Bank/kantor pos. 13) Surat-surat lain (bila ada). 5. Pengarsipan a.
Setelah berkas perkara diminutasi, maka petugas Meja III (tiga) menyimpan berkas perkara untuk keperluan arsip.
b.
Secara umum berkas perkara dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis : 1) Arsip aktif (masih berjalan) yaitu berkas perkara yang telah diputus dan diminutasi, tetapi masih dalam proses banding, kasasi atau peninjauan kembali, dan masih memerlukan penyelesaian 51
akhir. termasuk perkara yang memerlukan eksekusi
tetapi
belum
ada
permohonan
eksekusi, demikian pula perkara cerai talak yang belum dilakukan sidang penyaksian ikrar talak. 2) Arsip tidak aktif (sudah final) yaitu berkas perkara yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak memerlukan penyelesaian akhir. 3) Berkas berjalan harus mempunyai box dan daftar isi box. c. Berkas perkara yang masih berjalan dikelola oleh Panitera Muda Gugatan/petugas yang bertanggung jawab untuk itu, sedangkan arsip berkas perkara yang sudah tidak aktif dipindahkan pengelolaannya pada Panitera Muda Hukum. d.
Penataan berkas perkara dan arsip berkas perkara dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, yakni : 1)
Tahap pertama a) Pendataan dan pemisahan arsip aktif dan tidak aktif. b) Arsip berkas perkara yang masih aktif disusun secara vertikal/horizontal sesuai dengan situasi dan kondisi ruangan. 52
c) Penataan arsip berkas perkara dimasukkan dalam box dengan diberikan catatan :
2)
(1)
Nomor urut box.
(2)
Tahun perkara.
(3)
Jenis perkara.
(4)
Nomor urut perkara.
Tahap Kedua a) Membuat daftar isi yang ditempel dalam box. b) Arsip yang telah disusun menurut jenis perkara,
dipisahkan
perkaranya
dan
menurut
disimpan
klasifikasi dalam
box
tersendiri. c) Menghimpun salinan resmi putusan untuk dijilid sesuai klasifikasi masing-masing dan menyimpannya di perpustakaan. d) Memasukkan berkas perkara dalam box, dan menyimpannya dalam rak/almari. e) Membuat Daftar Isi Rak (DIR) atau Daftar Isi Almari (DIL) 3)
Tahap ketiga a) Memisahkan berkas perkara yang sudah mencapai masa untuk dihapus (30 tahun). b) Menyimpan arsip
berkas perkara yang
memiliki nilai sejarah untuk dimasukkan 53
dalam box untuk disimpan dalam rak/almari tersendiri. c) Menghapus arsip berkas perkara yang telah memenuhi
syarat
penghapusan
dengan
membuat berita acara yang ditandatangani oleh Panitera dan Ketua Pengadilan Agama. d) Melaporkan
penghapusan
arsip
tersebut
kepada Mahkamah Agung dengan dilampiri berita acara penghapusan. e)
Penyimpanan dalam bentuk lain Pengadilan juga dapat menyimpan berkas perkara dalam bentuk lain, seperti pada pita magnetik, disket, atau media lainnya.
6. Penggunaan Instrumen a) Dalam proses penanganan perkara digunakan beberapa instrumen, antara lain meliputi : 1) Daftar Pembagian Perkara 2) Penundaan Sidang 3) Panggilan 4) Sita 5) Amar Putusan 6) Redaksi/Meterai 7) Perincian biaya yang telah diputus 8) Pemberitahuan Putusan Tk. Pertama (PBT.A1,
54
PBT.A2, PBT.A3) 9) Pemberitahuan
putusan
Banding
(Penggugat/Tergugat) 10) Pemberitahuan putusan Kasasi (PBT.C5) 11) Pemberitahuan salinan putusan PK (PBT.D3, PBT. D4) 12) Kirim Biaya (KRB.1, KRB.2, KRB.3) b) Untuk ketertiban pengelolaan administrasi perkara, instrumen-instrumen
tersebut
harus
digunakan
secara efektif. c) Petugas Meja II setelah menerima instrumen yang terkait dengan buku register perkara, pada hari itu juga harus mencatat/memindahkan ke dalam buku register.
B. PENGADILAN TINGGI AGAMA 1. Pendaftaran Perkara Banding a.
Penerimaan berkas perkara 1) Berkas perkara banding yang dikirim oleh Pengadilan Agama diterima oleh Petugas Meja I. 2)
Petugas Meja I mengecek kelengkapan berkas perkara tersebut dan meminta kekurangannya kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan (kalau perlu).
55
3) Dalam hal memori/kontra memori banding disampaikan langsung oleh para pihak ke Pengadilan Tinggi Agama, Petugas Meja I mengirim salinan memori/kontra memori banding tersebut kepada Pengadilan Agama untuk diberitahukan kepada pihak lawan dan Relaasnya segera dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama. 4) Petugas Meja I menerima kembali Relaas pemberitahuan memori/kontra memori banding tersebut untuk disatukan dengan berkas yang bersangkutan. 5) Berkas yang telah lengkap diserahkan kepada Petugas Meja II
untuk dicatat dalam Buku Register Perkara
Banding. b. Administrasi Keuangan Perkara Banding 1) Buku keuangan perkara terdiri dari: a) Buku Jurnal Keuangan Perkara (KII-PA1) b) Buku Induk Keuangan Perkara (KII-PA2) c) Buku Penerimaan Uang Hak-Hak Kepaniteraan. (KIIPA3) 2) Pada waktu akan digunakan, Buku Jurnal Keuangan Perkara, Buku Induk Keuangan Perkara, dan Buku Penerimaan Uang Hak-Hak Kepaniteraan harus diberi nomor
halaman.
Halaman
pertama
dan
terakhir
ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan halaman lainnya diparaf.
56
3) Banyaknya halaman dan adanya tandatangan serta paraf tersebut diterangkan pada halaman awal setiap buku, dan keterangan tersebut ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama. 4) Buku Jurnal Keuangan Perkara, Buku Induk Keuangan Perkara
dan
Buku
Penerimaan
Uang
Hak-Hak
Kepaniteraan, setiap awal tahun harus diganti dan tidak boleh digabung dengan tahun sebelumnya. 5) Buku Jurnal Keuangan Perkara digunakan untuk mencatat semua kegiatan penerimaan dan pengeluaran biaya untuk setiap perkara, dimulai dari tanggal penerimaan biaya perkara dan ditutup pada tanggal perkara diputus. 6) Pemegang Kas menerima uang panjar biaya perkara banding yang diterima dari Pengadilan Agama dan membukukannya dalam Buku Jurnal Keuangan Perkara. 7) Pencatatan penerimaan biaya perkara dalam Buku Jurnal dan pemberian nomor perkara dilakukan setelah berkas perkara diterima. 8) Pemegang
kas
menyerahkan
biaya
pendaftaran
banding (sebagai penerimaan PNBP) ke Bendahara penerima untuk disetor ke Kas Negara. 9) Biaya meterai dan hak redaksi dikeluarkan pada waktu perkara diputus.
57
10) Buku Induk Keuangan Perkara dikerjakan oleh Panitera selaku Bendaharawan Khusus Biaya Perkara dan dalam pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada petugas lain dengan surat penunjukan dari Ketua Pengadilan Tinggi Agama. 11) Buku Induk Keuangan Perkara digunakan untuk mencatat kegiatan penerimaan dan pengeluaran biaya seluruh perkara, masing-masing dicatat menurut urutan tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam Buku Jurnal dan memperhatikan pula HHK sesuai PP No. 53 Tahun 2008 tentang PNBP. 12) Jumlah uang tunai dalam kas tidak boleh melebihi jumlah maksimum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku
dan
sisanya
harus
disimpan
pada
Bank
Pemerintah. 13) Resiko atas pelanggaran ketentuan pada butir 12 di atas menjadi tanggung jawab Panitera. 14) Setiap akhir bulan, Buku Induk Keuangan Perkara ditutup oleh Panitera dengan diketahui oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama. 15) Dalam penutupan tersebut harus dibuat catatan mengenai sisa uang menurut buku, sisa uang menurut kas dan uang yang disimpan di Bank, selisih antara buku dengan kas, dan perincian uang yang ada dalam kas.
58
16) Apabila terdapat selisih antara sisa uang menurut buku dengan kas, maka harus dijelaskan sebab-sebab terjadinya selisih tersebut. 17) Ketua Pengadilan Tinggi Agama sebelum menandatangani catatan tersebut harus mencocokkan sisa uang menurut buku dengan sisa uang menurut kas, baik berupa uang tunai, surat-surat berharga, maupun yang disimpan di Bank. 18) Ketua Pengadilan Tinggi Agama secara insidentil dapat memerintahkan Panitera untuk menutup buku induk keuangan,
meneliti
kebenaran
penerimaan
dan
pengeluarannya sesuai buku jurnal, dan meneliti keadaan uang menurut buku dengan uang menurut kas, berikut bukti-buktinya. 19) Perintah penutupan buku induk secara insidentil tersebut sekurang-kurangnya dilakukan 3 (tiga) bulan sekali secara mendadak dan dibuatkan berita acara pemeriksaan. 20) Buku Penerimaan Uang Hak-hak Kepaniteraan digunakan untuk mencatat penerimaan uang hak-hak kepaniteraan. 21) Pemegang Kas menyetorkan biaya HHK kepada Bendaharawan Penerima. 22) Teknisnya, dalam kolom keterangan buku HHK diisi dengan tanggal, jumlah uang yang disetor, serta tandatangan dan nama Bendaharawan Penerima.
59
23) Biaya HHK yang telah diterima oleh Bendaharawan Penerima selanjutnya disetorkan ke Kas Negara paling lambat 7 hari. c. Registrasi Perkara 1) Registrasi perkara baru dapat dilakukan setelah biaya perkara diterima oleh Pemegang Kas dan dicatat dalam Buku Jurnal. 2) Petugas Meja II mencatat perkara tersebut dalam Buku Register Perkara Banding sesuai dengan urutan tanggal penerimaan. 3) Nomor perkara harus sama dengan nomor urut pada Buku Jurnal. 4) Berkas perkara yang telah diregister hendaknya dilengkapi dengan
formulir
Penetapan
Majelis
Hakim
dan
selanjutnya disampaikan kepada Wakil Panitera untuk diserahkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama melalui Panitera. 5) Pelaksanaan tugas-tugas pada Meja I dan Meja II dilakukan oleh Panitera Muda Banding dan berada dibawah pembinaan dan pengawasan Wakil Panitera. 6) Setiap tahun Buku Register harus diganti dan tidak digabung dengan tahun sebelumnya.
60
7) Buku Register diberi nomor halaman, halaman pertama dan terakhir ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan halaman lainnya diparaf. 8) Pada halaman awal Buku Register diberi catatan yang ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama mengenai jumlah halaman dan adanya tandatangan serta paraf tersebut. 9) Buku Register harus memuat seluruh data perkara dan pengisiannya dilaksanakan dengan tertib dan cermat sesuai dengan perkembangan perkara. 10) Setiap akhir bulan, Buku Register ditutup oleh petugas register dan diketahui oleh Panitera, dengan diberi keterangan mengenai jumlah perkara yang diterima, perkara yang diputus, sisa perkara, perkara yang diminutasi, dan sisa perkara yang belum diminutasi. 11) Setiap akhir tahun, Buku Register ditutup oleh Panitera dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama dengan diberi keterangan sebagaimana pada angka 10 di atas. 2. Persiapan Persidangan a. Berkas perkara yang telah didaftar dalam Buku Register, dilengkapi dengan formulir Penetapan Majelis Hakim dan Penunjukan Panitera Pengganti, diserahkan oleh petugas Meja
61
II kepada Wakil Panitera untuk diteruskan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama melalui Panitera. b. Ketua Pengadilan Tinggi Agama membuat Penetapan Majelis Hakim untuk memeriksa perkara. c. Panitera membuat penunjukan Panitera Pengganti untuk membantu Majelis Hakim. d. Petugas Meja II mencatat susunan Majelis Hakim dan Panitera Pengganti dalam Buku Register dan segera menyerahkan berkas perkara kepada Majelis Hakim yang ditunjuk. 3. Pemberkasan Perkara Banding Berkas perkara banding yang dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari bundel A dan bundel B. Bundel A merupakan asli surat-surat yang diawali dengan surat gugatan, ditambah dengan surat-surat lain yang berkaitan dengan proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama. Sedang bundel B merupakan himpunan surat yang berkaitan dengan permohonan banding, yang diawali dengan salinan putusan Pengadilan Agama, ditambah dengan surat-surat yang berkaitan dengan permohonan banding tersebut. Oleh karena yang dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama adalah aslinya, maka baik bundel A maupun bundel B harus dibuat salinannya untuk tetap disimpan di Pengadilan Agama.
62
a Bundel A terdiri dari: 1) Surat gugatan; 2) Surat kuasa khusus (bila ada); 3) Bukti pembayaran panjar biaya perkara; 4) Penetapan Penunjukan Majelis Hakim; 5) Penetapan hari sidang; 6) Relaas-Relaas panggilan; 7) Berita acara Sidang; 8) Penetapan sita (bila ada); 9) Berita acara sita; 10) Surat-surat bukti Penggugat; 11) Surat-surat bukti Tergugat; 12) Gambar situasi; 13) Surat-surat yang lain (bila ada); b. Bundel B terdiri dari: 1) Salinan putusan Pengadilan Agama; 2) Relaas pemberitahuan amar putusan (bila ada); 3) Akta permohonan banding; 4) Relaas pemberitahuan permohonan banding; 5) Relaas pemberitahuan memori banding (bila ada); 6) Relaas pemberitahuan kontra memori banding (bila ada); 7) Surat keterangan Panitera bahwa para pihak tidak mengajukan memori banding atau kontra memori banding (bila ada);
63
8) Relaas pemberitahuan untuk memeriksa (inzage) berkas perkara banding; 9) Surat kuasa khusus (bila ada); 10) Tanda bukti pengiriman biaya perkara banding; c.
1) Setelah perkara putus, bundel A dikembalikan ke Pengadilan Agama bersama salinan putusan untuk diberitahukan kepada para pihak. Sedang bundel
B
disimpan di Pengadilan Tinggi Agama bersama asli putusan untuk keperluan arsip. 2) Arsip perkara banding disimpan dalam box dan diberi daftar isi box, nomor box, nomor perkara dan seterusnya. 4. Laporan a. Pengadilan Tinggi Agama membuat laporan tentang keadaan perkara dan keuangan perkara setiap bulan, serta laporan kegiatan hakim setiap 6 (enam) bulan. b. Macam Laporan : 1) Laporan Keadaan Perkara (LII-PA1); 2) Laporan Kegiatan Hakim (LII-PA2); 3) Laporan Keuangan Perkara (LII-PA3); c. Pengadilan Tinggi Agama membuat evaluasi atas laporan bulanan keadaan perkara yang berasal dari seluruh Pengadilan Agama di wilayah hukumnya untuk disampaikan kepada Mahkamah Agung.
64
d. Setiap akhir tahun Pengadilan Tinggi Agama membuat rekapitulasi atas laporan dari seluruh Pengadilan Agama di wilayah hukumnya, tentang keadaan perkara banding, kasasi, peninjauan kembali, dan jenis perkara serta mengirimkan kepada Mahkamah Agung. 5. Arsip Berkas Perkara Banding a. Setelah salinan putusan dan bundel A dikirim ke Pengadilan Agama, maka bundel B dan asli putusan diserahkan kepada Panitera Muda Hukum (Meja III) untuk keperluan arsip. b. Pembenahan dan penataan arsip berkas perkara dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu : 1) Tahap pertama Arsip berkas perkara dimasukkan dalam sampul/box dengan diberi catatan : a) Nomor urut box; b) Tahun perkara; c) Jenis perkara; d) Nomor urut perkara; 2) Tahap kedua a) Membuat daftar isi box untuk ditempel pada box; b) Memisahkan arsip menurut jenis perkaranya; c) Menghimpun salinan putusan untuk dijilid dan disimpan di perpustakaan; d) Menyimpan berkas perkara dalam box masing-masing;
65
e) Menyimpan box arsip dalam rak/almari; f) Membuat Daftar Isi Rak (DIR) atau Daftar Isi Almari (DIL); 3) Tahap ketiga (penghapusan berkas perkara). a) Memisahkan dan membuat daftar berkas perkara yang sudah mencapai usia untuk dihapus (30 tahun); b) Menyimpan arsip berkas perkara yang memiliki nilai sejarah untuk dimasukkan dalam box dan disimpan dalam rak atau almari tersendiri; c) Menghapus arsip berkas perkara yang telah memenuhi syarat penghapusan dengan membuat berita acara penghapusan arsip yang ditandatangani oleh Panitera dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama; d) Melaporkan
penghapusan
arsip
tersebut
kepada
Mahkamah Agung dengan dilampiri salinan berita acara penghapusan; c. Penyimpanan dalam bentuk lain Pengadilan juga dapat menyimpan berkas perkara dalam bentuk lain, seperti pada pita magnetik, disket, atau media lainnya. 6. Penggunaan Instrumen a.
Dalam proses penanganan perkara digunakan beberapa instrumen, antara lain meliputi :
66
1) Daftar Pembagian Perkara 2) Penundaan Sidang 3) Amar Putusan 4) Redaksi/Meterai b. Untuk ketertiban pengelolaan administrasi perkara, instrumen-instrumen tersebut harus digunakan secara efektif.
II. TEKNIS PERADILAN A. KEDUDUKAN DAN WEWENANG AGAMA/MAH-KAMAH SYAR’IYAH.
PERADILAN
1. Kedudukan. a. Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. b. Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. 2. Dasar Hukum. a. Pasal 24 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 beserta amandemennya. b. Pasal 10 ayat (2) jo. Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 67
c. Pasal 2, 3 dan 3 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. d. Pasal 128 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 3. Kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. a. Kewenangan Pengadilan Agama meliputi : memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. b. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan perkara bidang ahwalusy al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat Islam yang diatur dalam Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 10 Tahun 2002 serta Qanun Nomor 11 Tahun 2002 . c. Perincian jenis kewenangan Mahkamah Syar’iyah di bidang ahwalusy syakhsiyah meliputi perkawinan, waris dan
68
wasiat. (penjelasan Pasal 49 huruf a Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam). d. Perincian
jenis kewenangan Mahkamah Syar’iyah di
bidang muamalah meliputi hukum kebendaan dan perikatan meliputi jual beli, sewa menyewa, utang piutang,
qiradh,
musaqah,
muzara’ah,
mukhabarah,
wakalah, syirkah, ariyah, hajru, syuf’ah, rahnun, ihyaul mawat, ma’din, luqathah, perBankan, takaful (asuransi), perburuhan, harta rampasan, wakaf, hibah, zakat, infaq, shadaqah dan hadiah (penjelasan Pasal 49 huruf b Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam). e. Perincian jenis kewenangan Mahkamah Syar’iyah di bidang jinayah meliputi jarimah hudud (zina, qadzaf, pencurian, perampokan, minuman keras dan napza, murtad, bughat), jarimah Qishash/Diyat (pembunuhan, penganiayaan),
jarimah
Ta’zir
(maisir/perjudian,
penipuan, pemalsuan, khalwat). Penjelasan pasal 49 huruf c Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam serta pelanggaran terhadap aqidah, ibadah dan syiar Islam yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002. 4. Hukum Materiil bagi Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah. a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-
69
Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang NTCR. b. Undang-Undang
Nomor 1
Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang PerBankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. e. Undang-Undang
Nomor
38
Tahun
1999
tentang
Pengelolaan Zakat. f. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. g. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Nasional. h. Undang-Undang
Nomor
21
Tahun
2008
tentang
Perbankan Syariah. i. Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. j.
Peraturan
Bank
Indonesia
yang
ekonomi sya- riah. k. Yurisprudensi Mahkamah Agung. l. Qanun Aceh. m. Fatwa Dewan Syariah Nasional.
70
berkaitan dengan
n. Akad-akad ekonomi syariah. o. PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik 5. Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. a. Hukum acara Peradilan Agama : 1) HIR; 2) R.Bg; 3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006; 4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ; 5) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI; 6) PERMA dan SEMA RI; 7) Kompilasi Hukum Islam; 8) Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan Peradilan Agama; b. Hukum acara Mahkamah Syar’iyah : 1) Hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama; 2) Hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum; 3) Qanun Aceh tentang hukum acara;
71
6. Asas Personalitas Keislaman. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menganut asas personalitas keislaman, sehingga segala sengketa antara orangorang yang beragama Islam mengenai hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Asas ini tidak berlaku dalam kasus-kasus sebagai berikut : a. Sengketa bidang perkawinan yang perkawinannya tercatat di Kantor Urusan Agama, dimana salah satu pihak (suami atau isteri) keluar dari agama Islam; b. Sengketa bidang kewarisan yang pewarisnya beragama Islam, walaupun sebagian ahli waris non Islam; c. Sengketa bidang Ekonomi Syariah dimana nasabahnya non Muslim; d. Sengketa bidang wakaf walaupun para pihak atau salah satu pihak beragama non Muslim; e. Sengketa bidang hibah dan wasiat yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; Dalam semua sengketa tersebut di atas meskipun sebagian subjek hukumnya bukan beragama Islam, tetap diselesaikan oleh Peradilan Agama. Contoh kasus :
72
a. A dan B kawin secara Islam di Kantor Urusan Agama, B keluar dari agama Islam,
A mengajukan perceraian,
perceraiannya menjadi wewenang Peradilan Agama. b. A beragama non Islam melakukan transaksi bai’ murabahah dengan Bank Muamalat, ketika terjadi sengketa merupakan kewenangan Peradilan Agama. c. A beragama Islam
mempunyai
anak
bernama B, A
menghibahkan sebidang tanah kepada B, B keluar dari agama Islam, A mewakafkan seluruh harta kekayaannya termasuk sebidang tanah yang telah dihibahkan kepada B kepada sebuah yayasan. Jika B bersengketa dengan A mengenai wakaf tersebut, maka pembatalan wakaf tersebut menjadi wewenang Peradilan Agama. d. Perlawanan
terhadap
sita
eksekusi
dan/atau
gugatan
pembatalan lelang atas objek sengketa yang merupakan kelanjutan pelaksanaan eksekusi dari seluruh perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama harus diselesaikan oleh Pengadilan Agama walaupun pihak yang bersengketa ada yang beragama selain Islam. 7. Pilihan Hukum. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka pilihan hukum 73
dalam penyelesaian sengketa waris Islam sudah tidak berlaku lagi. 8. Sengketa Hak Milik. a. Sengketa hak milik hanya terjadi bila objek sengketa atau sebagian objek sengketa milik pihak ketiga yang beragama selain Islam. b. Jika dalam kasus yang diperiksa oleh Pengadilan Agama terdapat objek sengketa atau sebagian objek sengketa terdapat sengketa hak milik, Pengadilan Agama harus memeriksa ada tidaknya bukti kepemilikan tersebut akan tetapi tidak berwenang menilai sah tidaknya bukti hak milik tersebut, dan Pengadilan Agama harus menyatakan gugatan atas objek sengketa atau sebagian objek sengketa tersebut tidak dapat diterima, jika terbukti pihak ketiga yang tidak beragama Islam tersebut memiliki bukti kepemilikan. c. Jika bukti atas hak milik tersebut atas dasar hibah, wasiat, wakaf dan tansaksi-transaksi syari’ah, Pengadilan Agama berwenang untuk menilai sah tidaknya alat bukti hak milik tersebut serta membatalkan alas hak milik tersebut, jika bertentangan dengan hukum dan ketertiban umum.
74
B. PEDOMAN BERACARA PADA PENGADILAN AGAMA 1. PEDOMAN UMUM a.
PERMOHONAN 1) Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama di tempat tinggal Pemohon secara tertulis yang ditanda tangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah (vide Pasal 6 ayat (5) UU No. 1 Tahun 1974). 2) Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama, permohonan tersebut akan dicatat oleh Ketua atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua. (Pasal 120 HIR/Pasal 144 RBg.). 3) Permohonan didaftarkan dalam buku register dan diberi nomor perkara setelah Pemohon membayar verskot biaya perkara yang besarnya sudah ditentukan oleh Pengadilan Agama. (Pasal 121 ayat (4) HIR/ Pasal 145 ayat (4) RBg.). 4) Perkara permohonan dalam pengertian voluntair harus diputus oleh hakim dalam bentuk penetapan. 5) Pengadilan Agama hanya berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau jika ada kepentingan hukum. 6) Jenis-jenis permohonan yang dapat diajukan melalui Pengadilan Agama antara lain : 75
a) Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum mencapai umur
18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan serta tidak di bawah kekuasaan orang tua. (Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). b) Permohonan pengangkatan/pengampu
bagi orang
dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun. (Pasal 229 HIR/Pasal 262 RBg). c) Permohonan dispensasi kawin bagi pria yang belum mencapai umur l9 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (2) Undangundang No. 1 Tahun 1974). d) Permohonan izin kawin bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun (Pasal 6 ayat (5) Undangundang No. 1 Tahun 1974). e) Permohonan pengangkatan anak. f) Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit (Pasal 13 dan 14 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). g) Permohonan
agar
seseorang
keadaan mafqud (tidak hadir) .
76
dinyatakan
dalam
h) Permohonan agar ditetapkan sebagai wali/kuasa untuk menjual harta warisan. i) Permohonan penetapan ahli waris.
b. GUGATAN 1) Gugatan diajukan secara tertulis yang ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama. (Pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg). 2) Penggugat yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Agama, selanjutnya Ketua Pengadilan Agama atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama mencatat gugatan tersebut. (Pasal 120 HIR/ Pasal 144 RBg). 3) Gugatan
disampaikan
kepada
Pengadilan
Agama,
kemudian diberi nomor dan didaftarkan dalam buku Register setelah Penggugat membayar panjar biaya perkara, yang besarnya ditentukan oleh Pengadilan Agama (Pasal 121 ayat (4) HIR/Pasal 145 ayat (4) RBg). c. PERKARA PRODEO 1) Para pihak yang tidak mampu, dapat mengajukan gugatan/permohonan secara prodeo.
77
2) Keadaan tidak mampu itu harus dibuktikan dengan surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan dan diketahui oleh Camat yang bersangkutan. 3) Dalam register perkara hal-hal yang berkaitan dengan permohonan prodeo harus dicatat. 4) Semua penerimaan dan pengeluaran, meskipun nihil, dalam jurnal keuangan perkara harus tetap dicatat. (Pasal 237 HIR/Pasal 273 RBg). 5) Sebelum suatu gugatan dicatat dalam buku register, Penggugat terlebih dahulu harus mengajukan permohonan berperkara secara prodeo, yang apabila dikabulkan, Hakim membuat penetapan tentang izin berperkara secara prodeo,
setelah
sebelumnya
pihak
lawan
diberi
kesempatan untuk menanggapi permohonan tersebut. (Pasal 238 ayat (1) HIR/Pasal 274 ayat (1) RBg). 6) Perihal pemberian izin beracara secara prodeo ini berlaku untuk masing-masing tingkat peradilan secara sendirisendiri dan tidak dapat diberikan untuk semua tingkat peradilan sekaligus. 7) Pihak Tergugat yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, juga
berhak untuk mengajukan permohonan
secara prodeo dengan cara seperti tersebut di atas. (Pasal 238 ayat (2) HIR/Pasal 274 ayat (2) RBg).
78
8) Terhadap permohonan berperkara secara prodeo yang diajukan Tergugat, Hakim membuat penetapan tentang diizinkannya beracara secara prodeo setelah sebelumnya pihak lawan diberi kesempatan untuk menanggapi (Sesuai dengan Pasal 239 ayat (1) HIR dan Pasal 275 ayat (1) RBg). 9) Apabila terhadap perkara gugatan secara prodeo, pihak yang beracara secara prodeo itu mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi Agama, maka berlaku ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12, 13, 14 Undangundang No. 20 Tahun 1947. 10) Jika permohonan prodeo ditolak gugatannya hanya dapat didaftarkan bila sudah dibayar verskot biaya perkara. d. WEWENANG RELATIF 1) Sesuai ketentuan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg, Pengadilan Agama berwenang memeriksa gugatan yang daerah hukumnya, meliputi : a) Tempat tinggal Tergugat, atau tempat Tergugat sebenarnya berdiam (jikalau Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya). b) Tempat tinggal salah satu Tergugat, jika terdapat lebih dari satu Tergugat, yang tempat tinggalnya tidak
79
berada dalam satu daerah hukum Pengadilan Agama menurut pilihan Penggugat. c) Tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan antara
Tergugat-Tergugat
adalah
sebagai
yang
berhutang dan penjaminnya. d) Tempat tinggal Penggugat atau salah satu dari Penggugat, dalam hal : (1)Tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak diketahui dimana ia berada. (2)Tergugat tidak dikenal. (Dalam
gugatan
disebutkan
dahulu
tempat
tinggalnya yang terakhir, baru keterangan bahwa sekarang tidak diketahui lagi tempat tinggalnya). e) Dalam hal Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya dan yang menjadi objek gugatan adalah benda tidak bergerak (tanah), maka gugatan diajukan di tempat benda yang tidak bergerak terletak ( Pasal 118 ayat (3) HIR ). f) Untuk daerah yang berlaku RBg, apabila objek gugatan menyangkut benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan ke Pengadilan yang meliputi wilayah hukum dimana benda tidak bergerak itu berada (Pasal 142 ayat (5) RBg ).
80
g) Jika ada pilihan domisili yang tertulis dalam akta, maka gugatan diajukan di tempat domisili yang dipilih itu. (Pasal 118 ayat (4) HIR/Pasal 142 ayat (4) RBg). 2) Apabila Tergugat pada hari sidang pertama tidak mengajukan tangkisan (eksepsi)
tentang wewenang
mengadili secara relatif, Pengadilan Agama tidak boleh menyatakan dirinya tidak berwenang. (Lihat Pasal 133 HIR/Pasal 159 RBg), yang menyatakan bahwa eksepsi mengenai kewenangan relatif harus diajukan pada permulaan sidang, dan apabila diajukan terlambat, Hakim dilarang untuk memperhatikan eksepsi tersebut. 3) Pengecualian : a) Dalam hal Tergugat tidak cakap untuk menghadap dimuka pengadilan, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama tempat tinggal orang tuanya, walinya atau pengampunya (Pasal 21 B.W). b) Yang menyangkut pegawai negeri, berlaku ketentuan Pasal 118 HIR / Pasal 142 RBg. c) Tentang penjaminan (vrijwaring), yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Agama yang pertama dimana pemeriksaan dilakukan (Pasal R.V). 4) Apabila eksepsi diterima maka putusan berbunyi: Dalam eksepsi :
81
14
-
Menerima eksepsi Tergugat.
- Menyatakan Pengadilan Agama ..…….. (pengadilan yang mengadili sekarang) tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut. e. WEWENANG ABSOLUT 1) Wewenang absolut atau wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan (wewenang) mengadili antar lingkungan peradilan. 2) Eksepsi mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan setiap waktu selama proses pemeriksaan berlangsung. (Pasal 134 HIR/Pasal 160 RBg). 3) Hakim karena jabatannya harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara yang bersangkutan meskipun tidak ada eksepsi dari Tergugat, dan hal ini dapat dilakukan pada semua taraf pemeriksaan, termasuk dalam taraf banding dan kasasi (lihat Pasal 134 HIR/Pasal 160 RBg/Pasal 132 RV). 4) Apabila eksepsi diterima maka putusan berbunyi: Dalam eksepsi : - Menerima eksepsi Tergugat. - Menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut . Catatan : Putusan seperti ini adalah putusan akhir yang dapat dimohonkan banding dan kasasi. 82
5) Apabila eksepsi ditolak, maka Hakim memberikan putusan sela yang amarnya menolak eksepsi tersebut dan memerintahkan untuk melanjutkan pemeriksaan perkara . Putusan sela tidak dituangkan dalam suatu putusan tersendiri, walaupun putusan sela itu harus diucapkan dalam sidang pengadilan, tetapi putusan sela hanya dicatat dalam Berita Acara Persidangan ( Pasal 185 ayat (1) HIR / 196 ayat (1) RBG ). 6) Putusan sela yang tidak diterima para pihak, hanya dapat diajukan banding bersama-sama dengan putusan akhir ( Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 ) .
f.
KUASA/WAKIL 1) Yang
dapat
bertindak
sebagai
Kuasa/Wakil
dari
Penggugat/ Tergugat atau pemohon di pengadilan : a) Advokat (sesuai dengan Pasal 32 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Advokat, Penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-undang Advokat mulai berlaku dan dinyatakan sebagai Advokat). b) Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil Negara/Pemerintah sesuai dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 30 ayat (2).
83
c) Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI. d) Direksi/Pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum. e) Mereka
yang
mendapat
kuasa
insidentil
yang
ditetapkan oleh ketua pengadilan (misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro Hukum TNI/Polri untuk perkara-perkara yang menyangkut anggota/keluarga TNI/Polri). f) Kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga, yang dibuktikan surat keterangan kepala desa/lurah. 2) Kuasa/wakil harus memiliki surat kuasa khusus yang diserahkan di persidangan, atau pada saat mengajukan gugatan/permohonan. 3) Surat Kuasa Khusus harus mencantumkan secara jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu dengan subyek, objek dan Pengadilan tertentu. 4) Dalam surat kuasa tersebut harus dengan jelas disebutkan kedudukan pihak-pihak berperkara. 5) Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi,
84
maka surat kuasa khusus
tersebut tetap sah dan berlaku hingga pemeriksaan tingkat kasasi, tanpa diperlukan suatu surat kuasa khusus yang baru (Lihat SEMA No. 6 Tahun 1994). 6) Kuasa/wakil yang ditunjuk oleh
para
pihak dalam
persidangan, maka cukup dicatat dalam berita acara persidangan. 7)
Kuasa/wakil baru mengakhiri kuasa lama, kecuali ada klausul yang menyatakan bahwa kuasa/wakil lama tetap boleh/berlaku.
g. PERKARA GUGUR 1) Gugatan dapat digugurkan jika Penggugat/para Penggugat telah dipanggil secara sah akan tetapi tidak hadir atau tidak mengirim kuasanya untuk hadir. (Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg). 2) Dalam
hal
perkara
digugurkan,
mengajukan
gugatan
tersebut
Penggugat
sekali
lagi
dapat dengan
membayar panjar biaya perkara. Apabila telah dilakukan sita jaminan, maka sita tersebut harus diangkat. (Pasal 124 HIR/Pasal 146 RBg). 3) Dalam hal-hal tertentu, misalnya apabila Penggugat tempat tinggalnya jauh atau mengirim kuasanya tetapi surat kuasanya tidak memenuhi syarat, maka Hakim dapat mengundurkan sidang dan meminta Penggugat dipanggil
85
sekali lagi. Kepada pihak yang datang diberitahukan agar ia menghadap lagi tanpa panggilan (Pasal 126 HIR/Pasal 150 RBg.). 4) Jika verskot biaya perkara sudah habis sedangkan Penggugat tidak mau menambah biaya verskot untuk keperluan tindakan hukum lain yang dibutuhkan, maka perkara tersebut dapat digugurkan. 5) Gugatan yang dinyatakan gugur dituangkan dalam putusan, sedangkan gugatan yang dicabut maka dituangkan dalam bentuk penetapan. 6)
Apabila Penggugat pernah hadir tetapi kemudian tidak hadir lagi, maka Penggugat dipanggil sekali lagi dengan peringatan
untuk hadir dan apabila tetap tidak hadir
sedangkan Tergugat tetap hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan dan diputus secara kontradiktoir.
h. PERKARA VERSTEK 1) Pasal 125 ayat (1) HIR, Pasal 149 RBg menentukan bahwa gugatan dapat dikabulkan dengan verstek apabila : a) Tergugat atau para Tergugat tidak datang pada hari sidang pertama yang telah ditentukan. b) Tergugat
atau
mengirimkan
para
Tergugat
wakil/kuasanya
menghadap.
86
tersebut
yang
sah
tidak untuk
c) Tergugat atau para Tergugat telah dipanggil dengan patut. d) gugatan beralasan dan berdasarkan hukum. 2) Dalam hal Tergugat tidak hadir pada panggilan sidang pertama dan tidak mengirim kuasanya yang sah, tetapi ia mengajukan jawaban tertulis berupa tangkisan tentang Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili, maka perkara diputus berdasarkan Pasal 125 HIR/Pasal 149 RBg. 3) Dalam perkara penceraian yang Tergugatnya tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak mempunyai tempat kediaman
yang
tetap,
harus
diperhatikan
apakah
dilakukan dengan patut, yaitu dengan cara dipanggil ke alamatnya yang terakhir. Apabila setelah dilakukan hal tersebut masih juga tidak datang, maka diumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan, yang dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggat waktu 1 bulan antara pengumuman pertama dan kedua selanjutnya tenggat waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya
3
bulan (Pasal 27
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975). 4) Baik panggilan pertama maupuin pangglan kedua tetap menunjuk hari dan tanggal persidangan yang sama.
87
5) Lihat surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 9 Tahun 1964 mengenai verstek. i. PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK 1) Sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg. Tergugat/para Tergugat yang dihukum dengan verstek berhak mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14 hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada Tergugat semula jika pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. (Pasal 391 HIR: dalam menghitung tenggat waktu maka tanggal/hari saat dimulainya penghitungan waktu tidak dihitung) 2) Jika putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada Tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning Tergugat hadir, tenggang waktu perlawanan adalah 8 (delapan) hari sejak dilakukan aanmaning (peringatan) (Pasal 129 HIR/Pasal 153 RBg). 3) Jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning, maka tenggat waktunya adalah hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat (2) jo Pasal 196 HIR dan Pasal 153 ayat (2) jo Pasal 207 RBG). Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan verzet terhadap verstek) didaftar dalam satu nomor perkara.
88
4) Perkara verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan putusan verstek. 5) Pemeriksaan verzet dapat dilakukan walaupun ketidak hadiran Tergugat dalam proses sidang verstek tidak memiliki alasan yang dibenarkan hukum. 6) Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara verzet dilakukan secara biasa (lihat Pasal 129 ayat (3) HIR, Pasal 153 ayat (3) RBg. dan SEMA No. 9 Tahun 1964). 7) Apabila dalam pemeriksaan verzet pihak Penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan secara contradictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir, maka Hakim menjatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat (5) RBg). 8) Tenggang waktu perlawanan (verzet) a. 14 hari, apabila pemberitahuan isi putusan disampaikan kepada pribadi tergugat, dan dapat disampaikan kepada kuasanya,
asal
dalam
89
surat
kuasa
tercantum
kewenangan menerima pemberitahuan, terhitung dari tanggal pemberitahuan putusan verstek disampaikan. b. Sampai hari ke-8 sesudah peringatan (Aanmaning) adalah
sampai
batas
akhir
peringatan.
Apabila
pemberitahuan putusan tidak langsung kepada diri pribadi tergugat. c. Sampai hari ke-8 sesudah dijalankan eksekusi sesuai pasal
197
HIR/208
RBG.
Misalnya
eksekusi
dilaksanakan tanggal 1 agustus 2008, tergugat dapat mengajukan perlawanan sampai hari ke-8 sesudah eksekusi dijalankan yakni tanggal 8 Agustus 2008. 9) Proses pemeriksaan perlawanan (verzet) a. Perlawanan (verzet) diajukan kepada PA yang memutus verstek. b. Perlawanan (verzet) diajukan oleh tergugat atau kuasanya. c. Diajukan dalam tenggang waktu seperti disebut di muka. d. Perlawanan (verzet) bukan perkara baru. e. Pemeriksaan dengan acara biasa. f. Pelawan sebagai Tergugat dan Terlawan sebagai Penggugat. g. Membacakan putusan verstek.
90
h. Beban
pembuktian
dibebankan
kepada
terlawan
(Penggugat). i. Pelawan dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil bantahannya dalam kedudukannya sebagai tergugat. j. Surat perlawanan sebagai jawaban tergugat terhadap dalil gugatan. k. Dalam surat perlawanan dapat dilakukan eksepsi. l. Terlawan berhak mengajukan replik, dan pelawan berhak mengajukan duplik. m. Membuka tahap proses pembuktian dan kesimpulan. 10) Bentuk Putusan Verzet a) Putusan Verzet mempertahankan putusan Verstek. - Amarnya berbunyi: - menyatakan
perlawanan
yang
diajukan
oleh
pelawan/tergugat asal dapat diterima. - menyatakan bahwa perlawanan terhadap putusan verstek tanggal .... No. .... tersebut adalah tidak tepat dan tidak beralasan; - menyatakan oleh karena itu perlawanan yang diajukan pelawan adalah perlawanan yang tidak benar; - menyatakan mempertahankan putusan verstek; - menghukum pelawan membayar perkara ini berjumlah Rp ..... (dh)
91
semua biaya
b) Putusan
Verzet
membatalkan
putusan
Verstek,
mengabulkan gugatan pelawan sebagian. - Amarnya berbunyi: - menyatakan
perlawanan
yang
diajukan
oleh
pelawan/tergugat asal dapat diterima; - menyatakan bahwa perlawanan terhadap putusan verstek tanggal .... Nomor .... tersebut adalah tepat dan beralasan. - menyatakan oleh karena itu perlawanan yang diajukan pelawan adalah perlawanan yang benar; - menyatakan, membatalkan putusan verstek dengan mengabulkan perlawanan pelawan untuk sebagian; - menyatakan : ..... (yang dikabulkan sebagian) - menghukum pelawan membayar
semua biaya
perkara ini berjumlah Rp.... (dh) c) Putusan
Verzet
membatalkan
putusan
Verstek
menyatakan gugatan Pelawan tidak dapat diterima. - Amarnya berbunyi: - menyatakan
perlawanan
yang
diajukan
oleh
pelawan/tergugat asal dapat diterima; - menyatakan oleh karena itu perlawanan yang diajukan pelawan adalah perlawanan yang benar; - membatalkan putusan verstek tanggal .... nomor ....
92
- menyatakan bahwa gugatan pelawan tidak dapat diterima - menghukum pelawan
membayar
semua biaya
perkaraini berjumlah Rp.... (dh) d) Putusan Verzet membatalkan putusan verstek, menolak gugatan terlawan - Amarnya berbunyi : - menyatakan,
perlawanan
yang
diajukan
oleh
pelawan/tergugat asal dapat diterima; - menyatakan, oleh karena itu perlawanan yang diajukan oleh pelawan adalah perlawanan yang benar; - membatalkan putusan verstek tanggal ... nomor ... - menolak gugatan terlawan - menghukum pelawan membayar
semua biaya
perkara ini berjumlah Rp.... (dh) e) Putusan Verstek yang kedua (Pasal 129 (5) HIR, 153 (6) RBG): jika kepada tergugat (pelawan) dijatuhkan keputusan tanpa kehadiran untuk kedua kalinya, maka perlawanannya itu tidak dapat diterima. Pasal 89 RV : seorang
pelawan
yang
untuk
kedua
kalinya
membiarkan ia diputus verstek tidak dapat diterima untuk mengadakan perlawanan baru. - Amarnya :
93
- Menyatakan,
perlawanan
yang
diajukan
pelawan/tergugat asal tidak dapat diterima - Menjatuhkan putusan verstek atasan putusan verstek nomor ... tanggal .... - Menguatkan putusan verstek nomor .... tanggal .... - Menghukum pelawan membayar semua biaya perkara ini berjumlah Rp.... (dh) 11) Terhadap putusan verzet tersebut kedua belah pihak berhak mengajukan banding. Dalam hal diajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam satu berkas dan dikirim ke Pengadilan Tinggi dan hanya menggunakan satu nomor perkara. 12) Dalam hal Penggugat mengajukan permohonan banding atas putusan verstek dan Tergugat mengajukan verzet, maka permohonan verzet Tergugat harus dianggap banding.
Jika
diperlukan
pemeriksaan
tambahan,
pengadilan tingkat banding dengan putusan sela dapat memerintahkan
pengadilan
tingkat
pertama
untuk
melakukan pemeriksaan tambahan yang berita acaranya dikirim ke pengadilan tingkat banding.
j.
PENCABUTAN GUGATAN Gugatan dapat dicabut secara sepihak apabila Tergugat belum memberikan jawaban tetapi jika Tergugat sudah memberikan
94
jawaban
maka
pencabutan
perkara
harus
mendapat
persetujuan dari Tergugat (hal ini tidak diatur dalam HIR atau RBg., tetapi ada dalam Pasal 271, 272 Rv).
k. PERUBAHAN GUGATAN 1) Perubahan gugatan diperkenankan, apabila diajukan sebelum Tergugat mengajukan jawaban dan apabila sudah ada jawaban Tergugat, maka perubahan tersebut harus dengan persetujuan Tergugat (Pasal 127 Rv). 2) Perubahan gugatan tersebut dapat dilakukan apabila tidak bertentangan dengan asas-asas hukum acara perdata, tidak merubah atau menyimpang dari kejadian materiil. (Pasal 127 Rv: asal tidak mengubah atau menambah petitum, pokok perkara, dasar dari gugatan). 3) Perubahan gugatan dilarang : a) Apabila
berdasarkan atas keadaan/fakta/peristiwa
hukum yang sama dituntut hal yang lain (dimohon suatu pelaksanaan hal yang lain). b) Penggugat mengemukakan/mendalilkan keadaan fakta hukum yang baru dalam gugatan yang dirubah.
l. REKONVENSI (Gugat Balik atau Gugat Balasan) 1) Gugatan Rekonvensi, menurut Pasal 132 a HIR dapat diajukan dalam setiap perkara kecuali :
95
a) Penggugat dalam gugatan asal menuntut mengenai sifat, sedangkan gugatan rekonvensi mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya. b) Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa tuntutan
balik
itu
berhubung
dengan
pokok
perselisihan (kompetensi absolut). c) Dalam perkara tentang menjalankan putusan hakim. 2) Gugatan dengan
Rekonvensi jawaban
harus
diajukan
bersama-sama
selambat-lambatnya
sebelum
pemeriksaan mengenai pembuktian, baik jawaban secara tertulis maupun lisan. (Pasal 132 b HIR/Pasal 158 RBg.). 3) Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan dalam rekonvensi, maka dalam pemeriksaan tingkat banding tidak dapat diajukan gugatan rekonvensi. (Pasal 132 a ayat (2) HIR/Pasal 156 ayat (2) RBg). 4) Gugatan dalam konvensi dan rekonvensi diperiksa dan diputus dalam satu putusan kecuali apabila menurut pendapat hakim salah satu dari gugatan dapat diputus terlebih dahulu. 5)
Gugatan rekonvensi hanya boleh diterima apabila berhubungan dengan gugatan konvensi.
6) Apabila
gugatan
konvensi
dicabut,
rekonvensi tidak dapat dilanjutkan.
96
maka
gugatan
m. KUMULASI GUGATAN 1) Penggabungan dapat berupa
kumulasi subjektif atau
kumulasi objektif. Kumulasi subjektif adalah penggabungan beberapa Penggugat atau Tergugat dalam satu gugatan. Kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa tuntutan terhadap beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan. 2) Penggabungan beberapa tuntutan dalam satu gugatan diperkenankan
apabila
penggabungan
itu
menguntungkan proses, yaitu apabila antara tuntutan yang digabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan akan memudahkan pemeriksaaan serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling berbeda /bertentangan. 3) Beberapa tuntutan dapat dikumulasikan dalam satu gugatan
apabila
antara
tuntutan-tuntutan
yang
digabungkan itu terdapat hubungan erat atau ada koneksitas dan hubungan erat ini harus dibuktikan berdasarkan fakta-faktanya. 4) Dalam hal suatu tuntutan tertentu diperlukan suatu acara khusus (misalnya gugatan cerai) sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa (gugatan
97
untuk memenuhi perjanjian), maka kedua tuntutan itu tidak dapat dikumulasikan dalam satu gugatan. 5) Apabila dalam salah satu tuntutan hakim
tidak
berwenang memeriksa sedangkan tuntutan lainnya hakim berwenang, maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan.
n.
MASUKNYA
PIHAK
KETIGA
DALAM
PROSES
PERKARA 1) Ikut sertanya pihak ketiga dalam proses perkara yaitu voeging, intervensi/tussenkomst dan vrijwaring tidak diatur dalam HIR atau RBg., tetapi dalam praktek ketiga lembaga
hukum
ini
dapat
dipergunakan
dengan
berpedoman pada Rv, Pasal 279 Rv dst. dan Pasal 70 Rv dst, sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan, baik dalam hukum materil maupun hukum formil. 2) Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada Penggugat atau Tergugat. 3) Dalam hal ada permohonan voeging, Hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, selanjutnya dijatuhkan putusan sela,
dan apabila
dikabulkan maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.
98
4) Tussenkomst adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan oleh karena pihak ketiga
merasa
bahwa
disengketakan/diperebutkan
barang oleh
miliknya
Penggugat
dan
Tergugat. Permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama, yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi. 5) Vrijwaring
adalah
penarikan pihak ketiga untuk
bertanggung jawab (untuk membebaskan Tergugat dari tanggung jawab kepada Penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh Tergugat secara lisan atau tertulis. Misalnya: Tergugat digugat oleh Penggugat, karena barang yang dibeli oleh Penggugat mengandung cacat tersembunyi, padahal Tergugat membeli barang tersebut dari pihak ketiga, maka Tergugat menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut bertanggung jawab atas cacat itu. Misalnya pula Mahar berupa sawah, kebun, balong, pohon kelapa masih dalam penguasaan bapak Tergugat, sehingga bapak tergugat tersebut ditarik oleh tergugat untuk didengar keterangannya.
99
6) Setelah ada permohonan vrijwaring, Hakim memberi kesempatan para pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut. 7) Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut
merupakan
dimohonkan
banding,
putusan tetapi
akhir
yang
pengirimannya
dapat ke
pengadilan tinggi harus bersama-sama dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan banding dari intervenient tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan mengajukan gugatan
dapat
tersendiri.
8) Apabila permohonan dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan putusan sela, dicatat dalam Berita Acara, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabung gugatan intervensi ke dalam perkara pokok.
o.
GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (Class Action) PERMA No. 1 Tahun 2002 1) Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
100
dirinya sendiri atau untuk dirinya dan kelompok yang diwakilinya. 2) Gugatan perwakilan kelompok diajukan dalam perkara wakaf, zakat, infaq dan shadaqah. 3) Gugatan Perwakilan Kelompok diajukan dalam hal : a) Jumlah anggota kelompok semakin banyak sehingga tidaklah efektif dan efesien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan. b) Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar
hukum
yang
digunakan
yang
bersifat
substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya. c) Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya. 4) Surat gugatan kelompok mengacu pada persyaratanpersyaratan yang diatur oleh Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan harus memuat : a) Identitas lengkap dan jelas dari wakil kelompok. b) Definisi kelompok secara rinci dan spesifik walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu.
101
c) Keterangan
tentang
anggota
kelompok
yang
diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan. d) Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok
yang teridentifikasi
maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci. e) Gugatan perwakilan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda. f) Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian. 5) Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok (Pasal 4). 6) Pada awal proses pemeriksaan persidangan, hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok dan memberikan nasihat kepada para pihak mengenai persyaratan gugatan perwakilan
102
kelompok, selanjutnya hakim memberikan penetapan mengenai sah tidaknya gugatan perwakilan kelompok tersebut. 7) Apabila penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok
dinyatakan
sah,
maka
hakim
segera
memerintahkan Penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim. 8) Apabila penggunaan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah, maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim. 9) Dalam proses perkara tersebut Hakim wajib mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara. 10) Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti kecamatan, kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan hakim. 11) Pemberitahuan
kepada
anggota
kelompok
wajib
dilakukan pada tahap-tahap: a) Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan
103
sah. dan selanjutnya anggota kelompok dapat membuat pernyataan keluar. b) Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi ketika gugatan dikabulkan. 12) Pemberitahuan memuat : a) Nomor gugatan dan identitas Penggugat atau para Penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak Tergugat atau para Tergugat. b) Penjelasan singkat tentang kasus. c) Penjelasan tentang pendefinisian kelompok. d) Penjelasan dan implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok. e) Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok. f) Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam, pemberitahuan pernyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan. g) Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan pernyataan keluar. h) Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa yang tepat yang tersedia bagi penyediaan informasi tambahan.
104
i) Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota kelompok
sebagaimana
diatur
dalam
lampiran
Peraturan Mahkamah Agung ini. j)
Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.
13) Setelah pemberitahuan dilakukan oleh wakil kelompok berdasarkan persetujuan hakim, anggota kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim diberi kesempatan
menyatakan
keluar
dari
keanggotaan
kelompok dengan mengisi formulir yang diatur dalam lampiran Peraturan Mahkamah Agung ini. 14) Pihak
yang
telah
menyatakan
diri
keluar
dari
keanggotaan gugatan perwakilan kelompok secara hukum tidak terkait dengan putusan atas gugatan perwakilan kelompok yang dimaksud. 15) Dalam gugatan perwakilan kelompok/class action, apabila gugatan ganti rugi dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok
dan/atau
sub
kelompok
yang
berhak,
mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkahlangkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya
kewajiban
melakukan
notifikasi. (Pasal 9 PERMA).
105
pemberitahuan
atau
p.
GUGATAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM 1) Organisasi Masyarakat
kemasyarakatan/Lembaga dapat
mengajukan
Gugatan
Swadaya untuk
kepentingan masyarakat, dalam perkara wakaf, zakat, infaq dan shadaqah. 2) Organisasi Masyarakat
kemasyarakatan/Lembaga yang
mengajukan
gugatan
Swadaya untuk
kepentingan umum harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang yang bersangkutan.
q.
PERDAMAIAN/MEDIASI. 1) Dalam setiap perkara perdata, apabila kedua belah pihak hadir dipersidangan, hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak. Usaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan dapat dilakukan dalam sidang sidang berikutnya meskipun tarap pemeriksaan lebih lanjut (Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg). 2) Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuat akta perdamaian, yang harus dibacakan terlebih dahulu oleh hakim
dihadapan
para
pihak
sebelum
hakim
menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi perdamaian tersebut.
106
3) Akta/putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat dimintakan kepada Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan. 4) Akta/putusan perdamaian tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali. 5) Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal tersebut harus dicatat dalam berita acara persidangan, selanjutnya pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan menggunakan penterjemah (Pasal 131 HIR/Pasal 155 RBg). 6) Khusus
untuk
gugatan
perceraian,
Hakim
wajib
mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, yang sedapat mungkin dihadiri sendiri oleh suami-istri tersebut. 7) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi (Pasal 82 UU No.7 Thn. 1989 tentang Perkawinan) 8) Apabila usaha perdamaian berhasil, maka gugatan perceraian
tersebut
harus
dicabut,
apabila
usaha
perdamaian gagal maka gugatan perceraian diperiksa
107
dalam sidang yang tertutup untuk umum. (Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008). 9) Dalam mengupayakan perdamaian harus mempedomani PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi, yang mewajibkan agar semua perkara yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. 10) Jika para pihak/salah satu pihak menolak untuk mediasi setelah diperintahkan oleh Pengadilan, maka penolakan para pihak/salah satu pihak untuk mediasi dicatat dalam berita acara sidang dan putusan. 11) Apabila mediasi gagal atau tidak berhasil, maka majelis hakim pada persidangan selanjutnya tetap mengusahakan perdamaian pada setiap sidang pemeriksaan (Pasal 82 (4) UU No.7 Thn.1989 tentang Perkawinan)
r.
PENGGUGAT/TERGUGAT MENINGGAL DUNIA 1) Jika Penggugat setelah mengajukan gugatan meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat melanjutkan perkara. 2) Jika
dalam
proses
pemeriksaan
perkara
Tergugat
meninggal, maka perkara harus dicabut terlebih dahulu oleh Penggugat, selanjutnya Penggugat dapat mengajukan gugatan kembali kepada ahli waris Tergugat.
108
3)
Dalam perkara perceraian jika salah satu pihak suami/isteri meninggal dunia, maka gugatan perceraian digugurkan (Pasal 25 PP No. 9 Tahun 1975).
s.
PENGUNDURAN SIDANG 1) Jika perkara tidak dapat diperiksa pada sidang pertama, pemeriksaan diundurkan sampai sidang berikutnya dalam waktu yang tidak terlalu lama, dengan memperhatikan waktu yang cukup dalam hal ada pihak yang bertempat tinggal di luar wilayah hukum pengadilan tersebut, atau dalam hal pemanggilan tersebut harus dilakukan dengan panggilan umum. 2) Pengunduran sidang harus diucapkan di persidangan, dan bagi mereka yang hadir pemberitahuan pengunduran sidang berlaku sebagai panggilan (Pasal 159 HIR/Pasal 186 RBg), sedangkan bagi pihak yang tidak hadir harus dipanggil lagi. 3) Pengunduran
sidang
diberitahukan
oleh
Panitera
Pengganti kepada petugas register perkara untuk dicatat dalam register yang bersangkutan.
109
t.
HAL-HAL
YANG
DAPAT
TERJADI
SELAMA
PEMERIKSAAN PERKARA 1) Jika selama pemeriksaaan perkara atas permohonan salah satu pihak ada hal-hal atau perbuatan yang harus dilakukan,
misalnya
pemeriksaan
setempat,
maka
biayanya dibeBankan kepada Penggugat dan dianggap sebagai persekot biaya perkara, yang kemudian hari akan diperhitungkan dengan biaya perkara yang harus dibayar oleh pihak yang dengan putusan Hakim dihukum untuk membayar biaya perkara. 2) Pihak Tergugat, apabila ia mau dapat membayarnya, atau jika Penggugat yang memohon tetapi keberatan untuk membayarnya, maka biaya dibeBankan kepada Tergugat. Jika
kedua belah pihak tersebut tidak mau membayar
biaya tersebut, maka hal/perbuatan yang harus dilakukan itu tidak dilakukan. 3) Jika hal/perbuatan itu menurut Hakim memang sangat diperlukan, maka Hakim dapat memerintahkan para pihak membayar biaya tersebut secara tanggung renteng. Dalam hal itu, biaya tersebut sementara akan diambil dari uang panjar biaya perkara yang telah dibayar oleh Penggugat (Pasal 160 HIR/Pasal 187 RBg).
110
u.
TANGKISAN/EKSEPSI 1) Tangkisan menyangkut pokok perkara (Pasal 136 HIR, 162 RBG) atau eksepsi absolut tidak harus diajukan pada permulaan sidang, tapi dapat diajukan selama proses pemeriksaan perkara dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara bahkan eksepsi menyangkut pokok perkara yang belum diajukan di pengadilan tingkat pertama dapat diajukan pada tingkat banding. Terlebih dahulu diputus sela. 2) Tangkisan atau eksepsi tergugat ... yang tidak langsung mengenai pokok perkara atau eksepsi relatif. 3) Tangkisan atau eksepsi yang diajukan oleh Tergugat, diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara,
kecuali
jika
eksepsi
itu
mengenai
tidak
berwenangnya Pengadilan Agama untuk memeriksa perkara tersebut, maka harus diputus dengan putusan sela (Pasal 136 HIR/Pasal 162 RBg). 4) Apabila
eksepsi
yang
diajukan
tidak
mengenai
kewenangan, maka diputus bersama-sama dengan pokok perkara, dan dalam pertimbangan hukum maupun dalam diktum putusan, tetap disebutkan : Dalam eksepsi
: ................ (pertimbangan
lengkap).
111
Dalam pokok perkara :................. (pertimbangan lengkap).
v.
PENGUNDURAN DIRI HAKIM 1) Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat atau panitera, atau dengan pihak yang diadili (Pasal 29 ayat (3) dan (4) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). 2) Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.(Pasal 29 ayat (5) Undang-undang No. 4 Tahun 2004). “Kepentingan langsung atau tidak langsung” menurut penjelasan Pasal 29 ayat (5) adalah termasuk apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya. 3) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut Pasal 29 ayat (5) putusan dinyatakan tidak sah.
112
4) Untuk perkara verzet terhadap verstek, tidak termasuk dalam pengertian tersebut Pasal 29 ayat (5) di atas.
w.
PEMBUKTIAN 1) Pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg menentukan : “Barang siapa mengatakan mempunyai barang suatu hak
atau
mengatakan
suatu
perbuatan
untuk
meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain haruslah membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu”. Dalam hal ini berarti apabila yang didalilkan (dikatakan) dibantah / disangkal maka yang mendalilkan wajib membuktikan, tapi apabila yang didalilkan tidak disangkal maka tidak perlu ada pembuktian. 2) Sesuai ketentuan Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg. ada 5 macam alat-alat bukti, yaitu : a) bukti surat; b) bukti saksi; c) persangkaan; d) pengakuan; e) sumpah; Ad. a) Bukti surat. Ada 2 macam akta yaitu :
113
(1) Akta otentik, sesuai dengan Pasal 165 H.I.R./Pasal 285 RBg, adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berwenang untuk memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya. - Syarat formil akta autentik : a. Bersifat partai, maksudnya dibuat atas kehendak dan kesepakatan sekurang-kurangnya dua pihak tapi ada juga yang bersifat sepihak misalnya : akta nikah, KTP, IMB, Surat Izin Usaha, dsb. b. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, antara lain: gubernur, bupati, walikota, camat, hakim, panitera, dsb. c. Memuat tanggal, hari, dan tahun pembuatan. d. Ditandatangani oleh pejabat yang membuat - Syarat materiel akta autentik : a.
Isi
yang
berhubungan
tertuang langsung
dalam
akta
dengan
autentik
apa
yang
disengketakan di pengadilan b. Isi akta autentik tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum.
114
c.
Pembuatannya
sengaja
dibuat
untuk
dipergunakan sebagai alat bukti - Batas minimal pembuktian akta autentik: Mempunyai
nilai
pembuktian
sempurna
(volledeg) dan mengikat (bindende), maka alat bukti autentik secara hukum dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti, dia tidak memerlukan bantuan alat bukti lain, dengan syarat alat bukti autentik tersebut tidak diajukan alat bukti lawan (tegen bewijs), dengan demikian alat bukti autentik secara mandiri sudah mencapai batas minimal pembuktian. Tapi kalau diajukan bukti lawan sehingga ia lumpuh, maka ia jatuh menjadi alat bukti permulaan, untuk mencapai batas minimal pembuktian harus ditempuh dengan sekurangkurangnya salah satu alat bukti yang lain. - Nilai kekuatan pembuktiannya : - Akta autentik mempunyai nilai pembuktian sempurna dan mengikat ini berarti bahwa alat bukti autentik tidak dilumpuhkan dengan tegen bewijs, maka dia telah mencapai batas minimal pembuktian dengan acuan penerapan sebagai berikut:
115
- Sepanjang tidak dilumpuhkan alat bukti lawan, nilai kekuatan pembuktiannya sempurna dan mengikat. Hal ini berarti bahwa apa yang terdapat dalam alat bukti itu merupakan kebenaran yang tak dapat diingkari oleh para pihak dan hakim. Oleh karena itu putusan perkara harus didasarkan atas kebenaran isi yang dirumuskan dalam akta autentik. Apabila akta autentik dilumpuhkan dengan alat bukti lawan, maka nilai dan derajatnya jatuh menjadi alat bukti permulaan (begin van bewijs),
dengan
sendirinya
gugur
kesempurnaannya sebagai alat bukti yang berdiri sendiri sehingga belum mencapai batas minimal
pembuktian.
Nilai
kekuatan
pembuktiannya hanya sebagai alat bukti permulaan, agar supaya dapat mencapai batas minimal pembuktian, maka harus ditambah dengan sekurang-kurangnya salah satu alat bukti yang lain, dalam keadaan seperti itu nilai kekuatan
pembuktiannya
jatuh
menjadi
kekuatan yang bebas (vrij bewijs kracht) (2)Akta di bawah tangan.
116
Ordonansi Tahun 1867 No. 29 memuat “ketentuanketentuan tentang kekuatan pembuktian dari pada tulisan-tulisan dibawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan mereka.” Pasal 2 Ordonansi menentukan : “Barang siapa yang terhadapnya diajukan suatu tulisan dibawah tangan diwajibkan secara tegas mengakui atau menyangkal tanda tangan, tetapi bagi ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dan padanya cukuplah jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.” Pasal 1 b Ordonansi tersebut berbunyi: “Tulisantulisan dibawah tangan, berasal dari orang-orang Indonesia atau orang-orang yang dipersamakan mereka yang diakui oleh mereka terhadap siapa tulisan-tulisan itu diajukan atau sebagai telah diakui memberikan terhadap pembuktian yang sempurna seperti suatu akta otentik” Selanjutnya perlu dilihat juga Pasal 1875, 1876 dan 1877 KUH Perdata. - Syarat formal akta di bawah tangan : a. Bersifat partai: apa yang tersebut di dalamnya merupakan kesepakatan kedua belah pihak.
117
b. Pembuatannya tidak dihadapan pejabat atau tidak
ada
campur
tangan
pejabat
atas
pembuatannya. c. Harus bermaterai. d. Ditandatangani oleh kedua belah pihak. Kalau cap jempol harus disahkan oleh pejabat atau notaris yang bertanggal dan pejabat yang bersangkutan harus menerangkan bahwa ia kenal atau diperkenalkan dengan orang yang bercap jempol.
- Syarat materiel akta di bawah tangan : a. Isi akta di bawah tangan berkaitan langsung dengan apa yang diperkarakan. b. Isi akta dibawah tangan tidak bertentangan dengan
hukum,
kesusilaan,
agama,
dan
ketertiban umum. c. Sengaja dibuat untuk alat bukti - Batas minimal pembuktiannya : Bila diakui isi dan tanda tangan disamakan nilainya dengan akta autentik, dengan sendirinya bernilai pembuktian yang sempurna dan mengikat sehingga dapat berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti yang lain. Akta di bawah tangan yang tidak
118
diakui isi dan tandatangannya maka jatuh nilai pembuktiannya menjadi alat bukti permulaan (begin van bewijs). Untuk mencapai batas minimal pembuktian, maka harus ditambah dan didukung oleh sekurang-kurangany salah satu alat bukti lain. - Nilai kekuatan pembuktiannya : Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan adalah sama dengan akta autentik jika isi dan tandatangan diakui oleh pihak lawan, jika isi dan tanda tangan yang ada dalam akta di abwah tangan itu disangkal oleh pihak lawan maka akta di bawah tangan itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian
sebagai
alat
bukti
permulaan,
sehingga harus ditambah dengan alat bukti yang lain seperti saksi atau sumpah tambahan. Jika isi dan tandatangan diingkari maka derajatnya menjadi alat bukti permulaan, tidak bisa berdiri sendiri, harus ditambah salah satu alat bukti lain, agar mencapai batas minimal pembuktian. Bila syarat di atas terpenuhi, maka nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik. Alat bukti surat secara sepihak diatur dalam pasal 1877 KUH Perdata dan Pasal 291 RBG bentuknya
119
adalah
berupa
surat
pengakuan
yang
berisi
pernyataan akan kewajiban sepihak dari yang membuat surat bahwa dia akan membayar sejumlah uang atau akan menyerahkan sesuatu atau akan melakukan sesuatu kepada seseorang tertentu. - Syarat formil akta sepihak : a. Ditulis sendiri seluruhnya oleh yang membuat atau yang menandatanganinya. b. Atau sekurang-kurangnya penandatanganan menulis sendiri dengan huruf (bukan dengan angka) tentang jumlah atau tentang sesuatu yang
akan
diberikan
diserahkan
atau
ditandatangani
oleh
dilakukannya. c. Diberi
tanggal
dan
pembuat. - Syarat materiel akta sepihak : a. Isi akta sepihak itu berkaitan langsung dengan pokok perkara yang disengketakan. b. Isi akta sepihak tidak bertentangan dengan hukum, susila, agama, dan ketertiban umum. c. Sengaja dibuat untuk alat bukti. - Batas minimal pembuktiannya : Bila diakui isi dan tandatangan, maka derajat nilai pembuktiannya sama dengan akta autentik yaitu
120
sempurna dan mengikat, dalam hal ini dia bisa berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti yang lain. Jika akta sepihak, tandantangan dan tulisan dimungkiri atau disangkal oleh pihak lawan, maka nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan bukti permulaan. Jika dijadikan alat bukti maka harus ditambah alat bukti lain. -
Nilai kekuatan pembuktiannya : Bila isi dan tandatangan diakui maka sama nilai kekuatan pembuktiannya dengan akta autentik, yaitu nilai kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna dan mengikat. Bila isi dan tandatangan diingkari
maka
jatuh
menjadi
alat
bukti
permulaan sehingga tidak bisa berdiri sendiri, harus ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain untuk mencapai batas minimal pembuktian, dalam hal ini nilai kekuatan pembuktiannya menjadi bebas. Ad. b) Bukti saksi. (1) Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
121
salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil ke persidangan. (2) Dalam menimbang kesaksian hakim harus memperhatikan kesesuaian kesaksian saksi yang satu dengan lainnya, alasan atau sebab mengapa saksi-saksi memberikan keterangan tersebut, cara hidup, adat dan martabat saksi dan segala ihwal yang dapat mempengaruhi saksi sehingga saksi
itu
dapat
dipercaya
atau
kurang
dipercayai.” (Pasal 172 H.I.R./309 RBg). (3) Yang tidak dapat didengar sebagai saksi sesuai Pasal 145 H.I.R./172 RBg adalah : (a) Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak. (b) Suami atau istri salah satu pihak meskipun telah bercerai. (c) Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka sudah berumur lima belas tahun. (d) Orang
tua
walaupun
kadang-kadang
ingatannya terang. (4) Keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi karena keadaan itu
122
dalam perkara tentang keadaan menurut hukum sipil dan pada orang yang berperkara atau tentang suatu perjanjian pekerjaan. (5) Orang yang tersebut dalam Pasal 146 (1) a dan b HIR,
172
RBg
tidak
berhak
minta
mengundurkan diri dari pada memberi kesaksian dalam perkara yang tersebut dalam ayat dimuka. (6) Pengadilan Agama dapat mendengar diluar sumpah anak-anak atau orang-orang tua yang kadang-kadang
terang
ingatannya
yang
dimaksud dalam ayat pertama, akan tetapi keterangan
mereka
hanya
dipakai
selaku
penjelasan saja. (7) Yang dapat mengundurkan diri untuk memberi kesaksian sesuai Pasal 146 ayat (1) H.I.R./174 RBg adalah : (a) Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak. (b) Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki atau perempuan dari suami atau istri salah satu pihak. (c) Sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatannya yang sah
123
diwajibkan menyimpan rahasia akan tetapi hanya semata-mata mengenai pengetahuan yang
diserahkan
kepadanya
karena
martabat, pekerjaan atau jabatannya itu. (8) Testimonium de auditu adalah keterangan yang diperoleh saksi dari orang lain, tidak didengar atau dialami sendiri. Kesaksian de auditu dapat dipergunakan sebagai sumber persangkaan. (9) Unus testis nullus testis yang berarti “satu saksi bukan saksi” adalah keterangan seorang saksi saja tanpa adanya bukti yang lain. Unus testis nullus testis harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain untuk dapat membuktikan dalil yang harus di buktikannya. -
Syarat formal alat bukti saksi : 1. Memberikan keterangan di depan sidang pengadilan 2. Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi (Pasal 145 HIR, 172 RBG) 3. Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri menyatakan kesediaannya untuk diperiksa sebagai saksi. 4. Mengucapkan sumpah menurut agama yang dianutnya.
124
-
Syarat materiel alat bukti saksi : 1. Keterangan
yang
diberikan
mengenai
peristiwa yang dialami, didengar, dan dilihat sendiri oleh saksi. 2. Keterangan
yang
diberikan
itu
harus
mempunyai sumber pengetahuan yang jelas (Pasal 171 (1) HIR, Pasal 368 (1) RBg). Pendapat atau persangkaan saksi yang disusun berdasarkan akal pikiran atau perasaan tidak bernilai sebagai alat bukti yang sah (Pasal 171 (2) HIR, Pasal 308 (2) RBg). 3. Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian satu dengan yang lain atau alat bukti alat bukti yang sah (Pasal 171 HIR, Pasal 309 RBg) - Batas minimal alat bukti saksi : Ialah suatu batas jumlah alat bukti yang sah yang dianggap cukup memadai untuk mendukung ketertiban dalil gugat atau dalil bantahan. Unus testis ulus testis yaitu seorang saksi belum mencapai batas minimal pembuktian, maka untuk mencapai batas minimal pembuktian maka harus sekurang-kurangnya terdiri dari dua orang saksi yang memenuhi syarat formal dan materil, atau
125
sekurang-kurangnya terdiri dari seorang saksi ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain. - Nilai kekuatan pembuktiannya : Apabila alat bukti yang diajukan telah memenuhi syarat formal dan materil dan jumlah alat buktinya
telah
mencapai
batas
minimal
pembuktian maka nilai kekuatan pembuktian yang terkandung di dalamnya bersifat bebas (vrij bewijs kracht). Nilai kebenaran yang terkandung dalam alat bukti saksi tidak sempurna dan tidak mengikat baik kepada para pihak maupun kepada hakim, oleh karena itu hakim bebas untuk menyatakannya sebagai kebenaran atau tidak, atau dengan kata lain hakim bebas memberi penilaian apakah kebenaran nilai pembuktian itu dapat diterima atau tidak. Jika saksi hanya seorang dan tidak dapat ditambah salah satu alat bukti
yang
lain,
maka
nilai
pembuktiannya
bersifat
bukti
disempurnakan
dengan
alat
tambahan,
sehingga
pembuktiannya
berubah
mengikat, dan memaksa.
126
kekuatan
awal, bukti
dapat sumpah
nilai
kekuatan
menjadi
sempurna,
Ad. c) Persangkaan. (1) Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Adapun yang menarik kesimpulan dapat Undangundang atau Hakim (Pasal 1915 KUHPerdata). (2) Tentang
persangkaan-persangkaan
diatur
dalam bab keempat buku keempat B.W, Pasal 1915 dan seterusnya. Menurut
Pasal
undang-undang
1916
B.W.
persangkaan
ialah
persangkaan
yang
berdasarkan suatu ketentuan khusus undangundang,
dihubungkan
dengan
perbuatan-
perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. (3) Pasal 173 HIR, 310 RBG memberikan petunjuk
bagi
mempergunakan
hakim
tentang
tata
pesangkaan
cara yakni
persangkaan-persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan ada persesuaian satu sama lain, maka
persangkaan-persangkaan
dijadikan
pertimbangan
hakim
itu
dapat
terhadap
penjatuhan perkara yang diajukan kepadanya.
127
(4) Persangkaan
hakim
sebagai
alat
bukti
mempunyai kekuatan bukti bebas, apakah akan dianggap sebagai alat
bukti berkekuatan
sempurna atau sebagai bukti permulaan atau akan tidak diberi kekuatan apapun juga. (5) Fax, email, sms, fotocopy, rekaman dan sebagainya
seiring
dengan
perkembangan
teknologi, dapat diterima sebagai dugaandugaan, apabila dugaan-dugaan itu penting, seksama, tertentu dan sesuai satu sama lain dapat dijadikan alat bukti persangkaan. Ad. d) Pengakuan (1) Menurut
Pasal
174
H.I.R./311
RBg:
“Pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan orang yang mengaku itu, entah pengakuan itu diucapkannya
sendiri,
entah
dengan
perantaraan orang lain, yang diberi kuasa khusus.” (2) Sesuai Pasal 175 H.I.R./312 RBg pengakuan yang diberikan di luar sidang itu diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim. (3) Pasal 176 H.I.R./313 RBg memuat azas “Onsplitsbaar aveu” atau pengakuan yang 128
tidak boleh dipisah-pisah, yaitu : “Tiap-tiap pengakuan harus diterima seluruhnya, hakim berwenang untuk menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku itu, kecuali jika seorang debitur dengan maksud melepaskan dirinya menyebutkan hal yang terbukti tidak benar”. (4) Pasal 134 HIR, 311 RBG, 1923-1928 KUH Perdata mengemukakan bahwa pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam satu perkara dimana ia mengakui apaapa yang dikemukakan oleh pihak lawan. - Syarat formal alat bukti pengakuan : 1. Disampaikan di muka persidangan 2. Pengakuan disampaikan oleh pihak yang berperkara atau kuasanya dalam bentuk lisan atau tertulis. 3. Pencabutan pengakuan atau penarikan kembali pengakuan hanya dimungkinkan dalam hal adanya kekeliruan terhadap suatu peristiwa dan dapat dicabut kembali asal pencabutan diganti
dengan
keterangan
yang
dapat
dibuktikan kebenarannya dengan dalil baru. - Syarat meteriel alat bukti pengakuan:
129
1. Pengakuan
yang
diberikan
berhubungan
langsung dengan pokok perkara 2. Tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan yang nyata dan terang. 3. Tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, moral, dan ketertiban umum. Pengakuan sebagai alat bukti dibagi dalam tiga bentuk : 1. Pengakuan murni yakni pengakuan yang sesungguhnya terhadap semua dalil gugagtan yang diajukan oleh penggugat. Misalnya penggugat menuntut tergugat untuk membayar hutang sebanyak satu juta, tergugat mengakui bahwa ia berhutang kepada penggugat satu juta. Dalam hal ini tidak ada alasan bagi hakim untuk memisah-misah pengakuan tersebut karena tidak ada yang perlu dipisahkan. 2. Pengakuan berkualifikasi yaitu pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan penggugat. Misalnya penggugat
menyatakan
bahwa
tergugat
berhutang sebesar lima juta rupiah, dalam hal ini tergugat mengaku telah berhutang kepada
130
penggugat
akan tetapi bukan lima
juta
melainkan tiga juta. 3. Pengakuan berklausula yaitu suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang
bersifat
membebaskan.
Misalnya
penggugat menyatakan bahwa tergugat telah berutang sebesar lima juta, tergugat megakui bahwa ia telah berutang lima juta tetapi tergugat
menyatakan
bahwa utang telah
dibayar lunas, jadi pengakuan disini adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan penyangkalan. - Penerapan asas Onsplitbaar Aveau: Ialah pengakuan bersyarat tidak boleh dipecah atu dipisah-pisahkan dengan cara menerima sebagian dan
menolak
penerapannya
pengakuan
sebagian. bersyarat
Dalam harus
diterima secara keseluruhannya. Rasio dari larangan memecah pengakuan bersyarat adalah untuk menghindari cara-cara penerapan yang menimbulkan kerugian secara tidak adil dan wajar bagi salah satu pihak. - Batas minimal pembuktian pengakuan:
131
a. Pengakuan
murni,
pembuktian mengikat
yang
mengandung sempurna
(bindend),
nilai
(volledeg),
menentukan
atau
memaksa (beslisend, dwingend). Oleh karena itu alat bukti pengakuan murni dan bulat dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti, tidak memerlukan tambahan atau dukungan dari alat bukti yang lain. Dengan demikian pada diri alat bukti pengakuan murni dan bulat sudah mencapai batasan minimal pembuktian. b. Batas
minimal
bersyarat:
tidak
pembuktian mempunyai
pengakuan nilai
yang
sempurna, mengikat dan menentukan. Oleh karena itu tidak dapat berdiri semdiri, harus dibantu sekurang-kurangnya salah satu alat bukti yang lain. Nilai kekuatan pembuktiannya : hanya bersifat bukti pemulaan, tidak dapat berdiri sendiri, harus ditambah sekurangkurangnya salah satu alat bukti yang lain, maka
dalam
hal
ini
nilai
kekuatan
pembuktiannya bersifat bebas. Ad. e) Sumpah (1) Sumpah diatur dalam pasal 182-185 dan 314 HIR, 155-158 dan 177 RBG, serta 1929-1945 132
BW. Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Mahakuasa dari Tuhan yang percaya bahwa siapa yang memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam persidangan di pengadilan. (2) Pasal 177 H.I.R/314 RBg menyatakan bahwa apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah termaksud. (3) Sumpah penambah diatur Pasal 155 H.I.R./182 RBg sebagai berikut : “Jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan melawan gugatan itu tidak menjadi terang secukupnya akan tetapi keterangan adalah
sama
sekali
ada
dan
tiada
kemungkinan akan meneguhkan dia dengan upaya
keterangan
Pengadilan
133
Agama
yang
lain
karena
dapatlah jabatannya
menyuruh
salah
satu
pihak
bersumpah
dihadapan hakim supaya dengan itu keputusan perkara dapat dilakukan atau supaya dengan itu keputusan perkara dapat dilakukan atau supaya dengan itu jumlah uang yang akan diperkenankan dapat ditentukan”. (4) Dalam hal hakim akan menambah bukti baru dengan suatu sunpah penambah, harus dibuat dengan
putusan
sela
lengkap
dengan
pertimbangan yang memuat alasan alasannya. - Syarat formil sumpah penambah/pelengkap: 1. Sumpah
tersebut
untuk
melengkapi
atau
menguatkan pembuktian yang sudah ada tetapi belum mencapai batas minimal pembuktian. 2. Bukti yang sudah ada baru bernilai bukti permulaan. 3. Para pihak yang berperkara sudah tidak mampu lagi menambah alat bukti dengan alat bukti yang lain. 4. Sumpah dibebankan atas perintah hakim dan diucapkan di depan sidang secara imperson atau oleh kuasa dengan surat kuasa istimewa. - Syarat materiel sumpah penambah/pelengkap :
134
1. Isi lafadz sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak
yang
berperkara atau yang mengucapkan sumpah tersebut. 2. Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok perkara dan tidak bertentangan dengan hukum, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum. Bila hanya satu alat bukti maka hakim harus menambah alat bukti lain dalam hal ini hakim memerintahkan untuk menambah alat bukti melalui putusan sela (terlampir).
(5) Sumpah pemutus hanya dapat dimintakan oleh Penggugat pada tingkat Pengadilan Agama, yaitu dalam hal Penggugat tidak mempunyai bukti apapun sedangkan Tergugat menyangkal gugatan Penggugat. Pasal 158 ayat (1) H.I.R./185 ayat (1) RBg menyatakan bahwa tentang hal mengangkat sumpah itu harus diucapkan dalam persidangan Pengadilan Agama, kecuali jika hal dilangsungkan karena ada halangan yang sah. - Syarat formil sumpah pemutus:
135
dapat
1. sumpah pemutus merupakan keharusan dalam proses berperkara apabila sama sekali tidak ada bukti yang diajukan kedua belah pihak. 2. pembebanan
sumpah
pemutus
harus
atas
permintaan salah satu pihak yang berperkara. Apabila
lafadz
dalam
sumpah
mengenai
perbuatan sepihak yang dilakukan oleh pihak yang diminta untuk bersumpah, sumpah tersebut tidak dapat dikembalikan kepada pihak lawan. Apabila yang akan dilafalkan dalam sumpah mengenai perbuatan yang dilakukan kedua belah pihak, pihak yang diminta bersumpah dapat mengembalkan kepada pihak lawanya. 3. sumpah pemutus diucapkan di persidangan secara imperson atau oleh kuasa dengan surat kuasa istimewa. - Syarat materiel sumpah pemutus: 1. isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri atau yang dilakukan bersamasama oleh kedua pihak yang berperkara. 2. Isi sumpah harus mempunyai hubungan langsung dengan pokok perkara yang disengketakan.
136
- Batas minimal pembuktiannya: Baik sumpah tambahan maupun sumpah yang menentukan, maka terkandung nilai pembuktian yang bersifat sempurna, mengikat, menentukan atau memaksa. Oleh karena itu mutlak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti yang lain, dengan demikian pada dirinya sudah mencapai batas minimal pembuktian. - Cara penerapannya : a. sumpah tambahan: harus dengan putusan sela, ada bukti permulaan, berfungsi menyelesaikan perkara, sumpah tidak dapat dikembalikan kepada pihak lawan, dan tidak ada alat bukti lain. b. sumpah pemutus: harus dengan putusan sela, tidak ada bukti sama sekali, diminta salah satu pihak berperkara, harus litis decisoir, apabila hal yang akan dilafalkan dalam sumpah mengenai perbuatan sepihak yang dilakukan oleh pihak yang diminta untuk bersumpah, maka sumpah tersebut tidak dapat dikembalikan kepada pihak lawan. Apabila yang akan dilafalkan dalam sumpah mengenai perbuatan yang dilakukan kedua belah pihak, maka pihak yang diminta
137
bersumpah dapat
mengembalikannya kepada
pihak lawan. Nilai kekuatan pembuktian sumpah pemutus maupun maupun sumpah penambah adalah sama, yakni nilai kekuatan pembuktiannya sangat kuat dan mutlak yaitu bersifat sempurna, mengikat, menentukan, atau memaksa. - Melumpuhkan alat bukti sumpah: Baik sumpah pemutus maupun sumpah penambah hanya dapat dilumpuhkan dengan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap atas dasar bahwa sumpah yang dilakukan adalah sumpah palsu. - Catatan : Sumpah pemutus itu harus “litis decissoir” artinya harus bersifat menentukan. Oleh karena itu sumpah pemutus harus berkenaan dengan hal yang pokok dan
bersifat
tuntas
atau
menentukan
serta
menyelesaikan sengketa yang sedang diperiksa di PA. Menolak untuk mengucap sumpah pemutus akan mengakibatkan kekalahan pihak yang harus mengucapkan sumpah (delaat) dan jika pihak yang harus
mengucapkan
sumpah
mengembalikan
kepada pihak yang meminta lawannya untuk bersumpah (deferent) dan dia tidak bersedia
138
mengucapkan sumpah,
maka
pihak
deferent
haruslah dikalahkan (Pasal 156 HIR, 183 RBG, 1932 KUH Perdata). Sumpah pemutus harus dilakukan dengan putusan sela (terlampir). (6) Dalam hal sumpah pemutus diminta diucapkan ditempat ibadah yang ditunjuk sehubungan dengan kepercayaan yang dianutnya, misalnya : di mesjid, gereja. vihara, atau kelenteng, maka sumpah dilakukan ditempat yang ditunjuk tersebut, dan dibuat berita acara tentang hal itu. (7) Biaya yang timbul sehubungan upacara sumpah tersebut ditanggung oleh pihak yang perkara. (8) Pasal 158 ayat (2) H.I.R./185 ayat (3) RBg menentukan
bahwa
baik
sumpah
penambah
maupun sumpah pemutus hanya dapat dilakukan apabila pihak lawan telah dipanggil dengan patut, dalam hal ia tidak hadir. (9) Sumpah Penaksir (155 HIR, 182 RBG, 1940 KUH Perdata) adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan uang ganti rugi. Penggugat terlebih dahulu membuktikan bahwa ia mempunyai hak atas ganti kerugian dari suatu yang dituntut. Nilai pembuktian sumpah penaksir adalah sama dengan
139
sumpah pemutus dan sumpah penambah. Nilai pembuktiannya
sangat
kuat
dan
mutlak
(sempurna), mengikat dan menentukan, hanya bisa dilumpuhkan dengan putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas dasar bahwa sumpah yang diucapkan itu adalah palsu. Harus dengan putusan sela (terlampir). (10) Sumpah li’an (87-88 UU No.7 1989 tentang PA) dijelaskan bahwa apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan dengan alasan salah satu pihak melakukan
zina,
sedangkan
pemohon
atau
penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon
atau
tergugat
menyanggah
alasan
tersebut, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat bersumpah. Termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama. Apabila sumpah dilakukan oleh pihak suami maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan sumpah li’an. Perbedaan mendasar antara sumpah li’an dengan sumpah pelengkap dan sumpah pemutus adalah sumpah li’an khusus dalam perkara permohonan talak dengan alasan istri berbuat zina. Sedangkan
140
sumpah pelengkap dan sumpah pemutus meliputi semua jenis perkara. Sumpah li’an teks sumpahnya tertentu sedangkan sumpah pelengkap dan sumpah pemutus teks sumpah terserah kepada hakim dan para pihak yang berperkara. - Syarat formil sumpah li’an: 1. Tuduhan istri berbuat zina tercantum atau dibuat secara kronologis dalam surat gugatan atau permohonan. 2. Isteri menyanggah tuduhan suami bahwa dirinya telah berbuat zina dengan laki-laki lain. 3. Sumpah li’an dilaksanakan atas perintah hakim yang memeriksa perkara tersebut. - Syarat materiel li’an 1. Suami tidak dapat melengkapi bukti-bukti atas tuduhan zina terhadap istrinya. 2. Sumpah suami diucapkan dalam sidang yang dihadiri oleh istri . 3. Sumpah suami dibalas pula dengan sumpah istri
yang
disampaikan
dalam
sidang
pengadilan. 4. Sumpah mula’anah (saling melaknat) menurut teks sumpah yang sudah ditentukan.
141
Tata cara sumpah li’an diatur dalam pasal 127 KHI sebagai berikut : 1. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti dengan sumpah kelima dengan kata-kata Laknat Allah atas dirinya bila tuduhan atau pengingkaran tersebut dusta. 2. Istri menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata tuduhan atau pengingkaran tersebut tidak benar diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan atau pengingkaran tersebut benar. 3. Tata cara pada angka 1 dan 2 tersebut merupakan
satu
kesatuan
yang
tidak
terpisahkan. Li’an hanya sah jika dilaksanakan di muka persidangan pengadilan agama yang akibat hukumnya mengakibatkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya. Hakim harus menjatuhkan putusan sela.
142
x.
PEMERIKSAAN SETEMPAT 1) Untuk perkara-perkara mengenai tanah, Hakim wajib memperhatikan SEMA No. 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat, yaitu agar Majelis Hakim melakukan pemeriksaan setempat atas objek perkara, utamanya letak, luas dan batas tanah untuk mendapatkan penjelasan/keterangan secara terperinci atas
objek
perkara agar putusan dapat dilaksanakan (tidak non executable). Apabila tanah terletak diwilayah Pengadilan Agama
lain,
hakim
memberitahukan
pemeriksaan
setempat kepada Ketua Pengadilan Agama tempat tanah sengketa berada. 2) Dalam hal tanah sengketa berada didalam daerah hukum Pengadilan Agama lain. Hakim dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Agama tempat tanah tersebut berada.
y.
SITA JAMINAN 1) Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim/Ketua Majelis sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung dan untuk penyitaan tersebut Hakim/Ketua Majelis
membuat
surat
penetapan.
Penyitaan
dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Agama/Juru Sita dengan dua orang pegawai pengadilan sebagai saksi.
143
2) Ada dua macam sita jaminan. Yaitu sita jaminan terhadap barang milik tergugat (konservatoir beslaag) yaitu menyita barang bergerak dan tidak bergerak milik tergugat untuk menjamin agar putusan tidak ilisoir (hampa). Sita jaminan terhadap barang bergerak milik penggugat (revindicatoir beslag) yaitu menyita barang bergerak milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat. Baik konservatoir beslag maupun revindicatoir beslag terdapat dalam Pasal 226, 227 HIR, Pasal 260, 261 RBg. 3) Sita jaminan dapat dilakukan terhadap barang milik Tergugat (conservatoir beslag) dan sita jaminan terhadap barang milik Penggugat (revindicatoir beslag) (Pasal 227, 226 HIR, Pasal 261, 260 RBg.). Permohonan agar dilakukan sita jaminan, baik itu sita conservatoir
atau
sita
revindicatoir,
harus
dimusyawarahkan Majelis Hakim dengan seksama, apabila permohonan tersebut cukup beralasan dan dapat dikabulkan maka ketua majelis membuat penetapan sita jaminan. Sita jaminan dilakukan oleh panitera/jurusita yang bersangkutan dengan disertai dua orang pegawai Pengadilan Agama sebagai saksi. 4) Sebelum menetapkan permohonan sita jaminan Ketua Pengadilan/Majelis wajib terlebih dahulu mendengar pihak Tergugat.
144
5) Dalam mengabulkan permohonan sita jaminan, Hakim wajib memperhatikan: a) Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang milik Tergugat (atau dalam hal sita revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik Penggugat yang ada di tangan Tergugat yang dimaksud dalam surat gugat), setelah terlebih dahulu mendengar keterangan pihak Tergugat (lihat Pasal 227 ayat (2) HIR/Pasal 261 ayat (2) RBg.). b) Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita acara penyitaan harus didaftarkan sesuai ketentuan dalam Pasal 227 (3) jo Pasal 198 dan Pasal 199 HIR atau Pasal 261 jo Pasal 213 dan pasa1 214 c) Dalam hal tanah yang disita sudah terdaftar/ bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional. Dan dalam hal tanah yang disita belum terdaftar/belum bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Kelurahan. d) Barang yang disita ini, meskipun jelas adalah milik Penggugat yang disita dengan sita revindicatoir, harus tetap dipegang/dikuasai oleh tersita. Barang yang disita tidak dapat dititipkan kepada Lurah atau kepada
145
Penggugat atau membawa barang itu untuk di simpan di gedung Pengadilan Agama. 6) Apabila telah dilakukan sita jaminan dan kemudian tercapai perdamaian antara kedua belah pihak yang berperkara, maka sita jaminan harus diangkat.
z.
SITA
JAMINAN
TERHADAP
BARANG
MILIK
TERGUGAT (Conservatoir Beslag) 1) Dalam sita ini harus ada sangkaan yang beralasan bahwa Tergugat
sedang
berupaya
mengalihkan
barang-
barangnya untuk menghindari gugatan Penggugat. 2) Yang disita adalah barang bergerak dan barang yang tidak bergerak milik Tergugat. 3) Apabila yang disita adalah tanah, maka harus dilihat dengan seksama, bahwa tanah tersebut adalah milik Tergugat, luas serta batas-batasnya harus disebutkan dengan jelas.(Perhatikan SEMA No. 2 Tahun 1962, tertanggal 25 April 1962). Untuk menghindari kesalahan penyitaan diwajibkan membawa Kepala Desa untuk melihat keadaan tanah, batas serta luas tanah yang akan disita. 4) Penyitaan atas tanah harus dicatat dalam buku tanah yang ada di desa, selain itu sita atas tanah yang bersertifikat harus didaftarkan di Badan Pertanahan
146
Nasional
setempat,
bersertifikat
harus
dan atas tanah diberitahukan
yang
kepada
belum Kantor
Pertanahan Daerah Tingkat II Kota/ Kabupaten. 5) Penyitaan harus dicatat di buku khusus yang disediakan di Pengadilan Agama yang memuat catatan mengenai tanah-tanah
yang
disita,
kapan
disita
dan
perkembangannya, dan buku tersebut adalah terbuka untuk umum. 6) Sejak tanggal pendaftaran sita, tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita. Semua tindakan tersita yang dilakukan bertentangan dengan larangan itu adalah batal demi hukum. 7) Kepala Desa yang bersangkutan dapat ditunjuk sebagai pengawas agar tanah tersebut tidak dialihkan kepada orang lain. 8) Penyitaan dilakukan lebih dahulu atas barang bergerak yang cukup untuk menjamin dipenuhinya gugatan Penggugat, apabila barang bergerak milik Tergugat tidak cukup, maka tanah-tanah dan rumah milik Tergugat dapat disita. 9) Apabila gugatan dikabulkan, sita jaminan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam amar putusannya, dan
147
apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus diperintahkan untuk diangkat. 10) Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara dilarang. Pasal 50 Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan “Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap” : a) uang atau surat berharga milik negara/daerah, baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga. b) uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah. c) barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pihak ketiga. d) barang bergerak dan hal kebendaan lainnya milik negara/daerah. e) barang milik pihak ketiga yang dilunasi negara/daerah yang
diperlukan
untuk
penyelenggaraan
tugas
pemerintahan. 11) Hakim tidak melakukan Sita jaminan atas saham. 12) Pemblokiran atas saham dilakukan oleh Bapepam atas permintaan Ketua Pengadilan Tinggi dalam hal ada hubungan dengan perkara.
148
aa. SITA TERHADAP BARANG MILIK PENGGUGAT (Revindicatoir Beslag) 1) Sita revindicatoir adalah penyitaan atas barang bergerak milik
Penggugat
yang
dikuasai
oleh
Tergugat.
(revindicatoir berasal dari kata revindicatoir, yang berarti meminta kembali miliknya). 2) Barang yang dimohon agar disita harus disebutkan dalam surat gugatan atau permohonan tersendiri secara jelas dan terperinci. 3) Apabila
gugatan
dikabulkan
untuk
dilunasi,
sita
revindicatoir dinyatakan sah dan berharga dan Tergugat dihukum untuk menyerahkan barang tersebut kepada Penggugat. 4) Segala sesuatu yang dikemukakan dalam membahas sita conservatoir secara mutatis mutandis berlaku untuk sita revindicatoir. 5) Dalam hal objek yang disita tidak terletak di wilayah pengadilan yang menangani gugatan tersebut maka penyitaan dilakukan oleh Pengadilan Agama dimana objek yang akan disita terletak. Majelis hakim yang mengeluarkan
penetapan
sita
jaminan
wajib
memberitahukan hal tersebut kepada ketua pengadilan, agar
ketua
pengadilan
149
meminta
bantuan
kepada
pengadilan dalam daerah hukum mana objek yang akan disita itu terletak agar penyitaan tersebut dilaksanakan.
ab. SITA PERSAMAAN 1) Sita Persamaan atau Vergelijkend Beslag, diatur dalam Pasal 463 R.V. sebagai berikut : “Apabila juru sita akan melakukan penyitaan dan menemukan barang-barang yang akan disita sebelumnya telah disita, maka juru sita tidak dapat melakukan penyitaan lagi, namun juru sita mempunyai kewenangan untuk
mempersamakan
barang-barang
yang
disita
dengan Berita Acara Penyitaan yang harus diperlihatkan oleh tersita kepadanya. Juru sita kemudian dapat menyita barang-barang yang tidak disebut dalam Berita Acara itu dan segera kepada penyita pertama untuk menjual barang-barang tersebut secara bersamaan dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 466 R.V. Berita Acara sita persamaan ini berlaku sebagai sarana pencegahan hasil lelang kepada penyita pertama”. 2) Sita persamaan tidak diatur dalam HIR maupun RBG, tetapi diatur dalam Pasal 463 Rv yang mengatur tentang eksekusi barang bergerak. Namun demikian telah berkembang dalam praktek bahwa sita persamaan itu dapat saja dilakukan terhadap
150
barang tidak bergerak, yang tata caranya mengikuti ketentuan dalam Pasal 463 Rv . 3) Ketentuan yang hampir serupa terdapat dalam Pasal 11 ayat (12) Undang-undang PUPN, Undang-undang No. 49 Tahun 1960, sebagai berikut : “Atas barang yang terlebih dahulu disita untuk orang lain yang berpiutang tidak dapat dilakukan penyitaan. Jika jurusita mendapatkan barang yang demikian, ia dapat memberikan salinan putusan Surat paksa sebelum tanggal penjualan tersebut kepada Hakim Pengadilan Agama, yang selanjutnya menentukan, bahwa penyitaan yang dilakukan atas barang itu akan juga dipergunakan sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut Surat paksa”. 4)
Apabila setelah dilakukan penyitaan, tetapi sebelun dilakukan penjualan barang
yang disita diajukan
permintaan untuk melaksanakan suatu putusan Hakim yang ditujukan terhadap penanggung hutang kepada Negara,
maka
penyitaan yang telah dilakukan itu
dipergunakan juga sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menuntut putusan Hakim itu dan Hakim Pengadilan Agama jika perlu memberi perintah untuk melanjutkan penyitaan atas sekian banyak barang yang belum disita terlebih dahulu, sehingga akan dapat
151
mencukupi untuk membayar jumlah uang menurut putusan-putusan itu dan biaya penyitaan lanjutan itu. 5) Dalam hal yang dimaksud dalam syarat-syarat 1 dan 2, Hakim Pengadilan Agama menentukan cara pembagian hasil penjualan antara pelaksana dan orang yang berpiutang, setelah mengadakan pemeriksaan atau melalukan panggilan selayaknya terhadap penanggung hutang kepada Negara, pelaksana dan orang yang berpiutang. 6) Pelaksanaan dan orang yang berpiutang yang menghadap atas panggilan termaksud dalam ayat (3), dapat meminta banding
pada
Pengadilan
Tinggi
atas
penentuan
pembagian tersebut. 7) Segera setelah putusan tentang pembagian tersebut mendapat kekuatan pasti, maka Hakim Pengadilan Agama mengirimkan suatu daftar pembagian kepada juru lelang atau orang yang ditugaskan melakukan penjualan umum untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian uang penjualan. 8) Oleh karena Pasal tersebut
berhubungan dengan
penyitaan yang dilakukan oleh PUPN, maka sita tersebut adalah sita eksekusi dan bukan sita jaminan, dan objek yang disita bisa barang bergerak atau barang tidak bergerak.
152
9) Sita persamaan barang tidak bergerak harus dilaporkan kepada Badan Pertanahan Nasional atau Kelurahan setempat. 10) Apabila sita jaminan (sita jaminan utama) telah menjadi sita eksekutorial dilelang atau sudah dieksekusi riil, maka sita persamaan dengan sendirinya menjadi hapus demi hukum. 11) Apabila sita jaminan (sita jaminan utama) dicabut atau dinyatakan tidak berkuatan hukum, maka sita persamaan sesuai dengan urutannya menjadi sita jaminan (sita jaminan utama).
ac.
SITA HARTA BERSAMA 1) Sita harta bersama dimohonkan oleh pihak istri/suami terhadap harta perkawinan baik yang bergerak atau tidak bergerak, sebagai jaminan untuk memperoleh bagiannya sehubungan dengan gugatan perceraian, agar selama proses
berlangsung
barang-barang
tersebut
tidak
dialihkan suami/istri. 2) Bahwa sita terhadap harta bersama dapat juga diajukan oleh suami/istri walaupun tidak terjadi perceraian, bilamana istri/suami melakukan tindakan yang mengarah pada pengalihan harta bersama. (Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam).
153
ad.
SITA EKSEKUSI 1)
Sita jaminan atau sita revindicatoir
yang telah
dinyatakan sah dan berharga dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka sita tersebut menjadi sita eksekusi. 2)
Dalam melakukan eksekusi dilarang menyita hewan atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (Pasal 197 (8) HIR, 211 RBg). Yang tidak dapat disita adalah hewan yang benar-benar dibutuhkan untuk mencari nafkah oleh tersita, misalnya satu atau dua ekor sapi/kerbau yang benar-benar dibutuhkan untuk mengerjakan sawah, sedangkan hewan dalam sebuah peternakan dapat disita. Untuk binatang-binatang lain, seperti kuda, anjing, kucing, burung, apabila harganya tinggi dapat disita.
3)
Sita eksekusi hanya menyangkut pembayaran sejumlah uang
ae.
SITA BUNTUT Sita buntut adalah permohonan sita jaminan yang diajukan setelah putusan pengadilan tingkat I dijatuhkan dan perkaranya dimintakan banding. Menurut Pasal 227 (1) HIR,
154
261 (1) RBG, penyitaan diajukan kepada Ketua Pengadilan Tk I dan Ketua pula yang memerintahkan penyitaan.
af.
PUTUSAN SERTA MERTA 1)
Diatur dalam Pasal 180 (l) HIR, Pasal 191(1) RBg.
2)
Wewenang menjatuhkan putusan serta merta hanya pada Pengadilan
Agama.
Pengadilan
Tinggi
dilarang
menjatuhkan putusan serta merta. 3)
Putusan serta-merta dapat dijatuhkan, apabila telah dipertimbangkan
alasan-alasannya
secara
seksama
sesuai ketentuan, yurisprudensi tetap dan doktrin yang berlaku. 4)
Syarat-syarat untuk dapat dijatuhkan putusan sertamerta adalah : a) Surat bukti yang diajukan sebagai bukti untuk membuktikan dalil gugatan (yang disangkal oleh pihak lawan) adalah sebuah akta otentik atau akta dibawah tangan yang diakui isi dan tanda tangannya oleh Tergugat. b) Putusan didasarkan atas suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewisjde). c) Apabila dikabulkan suatu gugatan provisional. d) Dalam hal sengketa bezit bukan sengketa hak milik.
155
e) Sebelum menjatuhkan putusan serta merta Hakim wajib mempertimbangkan terlebih dahulu apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat secara formil, syarat mengenai surat kuasa dan syarat-syarat formil lainnya. f) Hakim wajib menghindari putusan serta merta yang gugatannya tidak memenuhi syarat formil yang dapat berakibat dibatalkannya putusan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. g) Dilakukannya sita jaminan terhadap barang-barang milik Tergugat atau terhadap barang-barang tertentu milik Penggugat yang dikuasai oleh Tergugat, tidak menjadi penghalang untuk menjatuhkan putusan serta merta apabila syarat menjatuhkan putusan serta merta terpenuhi. h) Putusan serta merta hanya dapat dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama yang memeriksa perkara dan Pengadilan Agama lainnya yang mewilayahi objek sengketa (Pasal 195 HIR, Pasal 206 RBg). i) Putusan serta merta hanya dapat dilaksanakan setelah Ketua Pengadilan Agama memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung
156
(lihat SEMA No. 3 Tahun 2000 dan SEMA No. 4 Tahun 2001). 5) Untuk pelaksanaan eksekusi putusan serta merta, Ketua Pengadilan Agama wajib memperhatikan SEMA No. 3 Tahun 2000 dan SEMA No. 4 Tahun 2001, yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) harus disertai penetapan sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA No. 3 Tahun 2000 yang menyebutkan “Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang
membatalkan
putusan
Pengadilan
Tingkat
Pertama.” Apabila jaminan tersebut berupa uang harus disimpan di Bank Pemerintah (lihat Pasal 54 Rv). 6) Pelaksanaan putusan serta merta suatu gugatan, yang didasarkan adanya putusan Hakim perdata lain yang telah berkekuatan hukum tetap tidak memerlukan uang jaminan.
157
ag.
PUTUSAN PROVISI 1)
Putusan provisi
adalah putusan sementara
yang
dijatuhkan oleh hakim yang mendahului putusan akhir dan tidak boleh menyangkut pokok perkara. 2)
Putusan provisi atas permohonan Penggugat agar dilakukan suatu tindakan sementara, yang apabila putusan provisi dikabulkan, dilaksanakan secara serta merta walaupun ada perlawanan atau banding.
3)
Pengertian “putusan sementara” adalah putusan provisi akan berlaku sampai putusan BHT.
4)
Hakim wajib mempertimbangkan gugatan provisi dengan seksama, apakah memang perlu dilakukan suatu tindakan yang sangat mendesak untuk melindungi hak Penggugat, yang apabila tidak segera dilakukan akan membawa kerugian yang lebih besar.
5)
Putusan provisi dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Agama setelah mendapatkan ijin dari Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
6)
Putusan provisi dapat diajukan permohonan banding dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan provisi dijatuhkan atau diberitahukan kepadanya.
7)
Pemeriksaan banding atas putusan provisi dilakukan bersama-sama pokok perkara.
158
8) Dalam kasus perceraian gugatan yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diajukan dalam gugatan provisi.
ah. EKSEKUSI GROSSE AKTA 1)
Sesuai Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg ada dua macam grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse sita hipotik bpal.
2)
Grosse adalah salinan pertama dan akta otentik Salinan pertama ini diberikan kepada kreditur.
3)
Oleh karena salinan pertama dan atas pengakuan hutang yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan eksekusi, maka salinan pertama ini harus ada kepala Irah-irah yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salinan lainnya yang diberikan kepada debitur tidak memakai kepala / irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asli dari akta (minit) disimpan oleh Notaris dalam arsip dan tidak memakai kepala/irah-irah.
4)
Grosse atas pengakuan hutang yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh Notaris diserahkan kepada kreditor yang dikemudian
159
hari bisa diperlukan dapat langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama. 5)
Eksekusi berdasarkan Grosse akta pengakuan hutang Fixed Loan hanya dapat dilaksanakan, apabila debitur sewaktu ditegur, membenarkan jumlah hutangnya itu.
6)
Apabila debitur membantah jumlah hutang tersebut, dan besarnya hutang menjadi tidak fixed, maka eksekusi tidak bisa dilanjutkan. Kreditur, yaitu Bank untuk dapat mengajukan tagihannya harus melalui suatu gugatan, yang dalam hal ini, apabila syarat-syarat terpenuhi, dapat dijatuhkan putusan serta merta.
7)
Pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang (Geldschieters Ordonantie, S.1938-523), melarang Notaris membuat atas pengakuan hutang dan mengeluarkan grosse aktanya untuk perjanjian hutang-piutang dengan seorang pelepas uang.
8)
Pasal 224 HIR, Pasal 258 RBg, tidak berlaku untuk grosse akta semacam ini.
9)
Grosse akta pengakuan hutang yang diatur dalam Pasal 224 HIR, Pasal 258 RBg, adalah sebuah surat yang dibuat oleh Notaris antara Orang Alamiah/Badan Hukum
yang
dengan
bersangkutan mengaku,
kata-kata
sederhana
yang
berhutang uang sejumlah
tertentu dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu
160
dalam waktu tertentu, misalnya dalam waktu 6 (enam) bulan, dengan disertai bunga sebesar 2 % sebulan. 10) Jumlah yang sudah pasti dalam surat pengakuan hutang bentuknya
sangat
sederhana
dan
tidak
dapat
ditambahkan persyaratan-persyaratan lain. 11) Kreditur yang memegang grosse atas pengakuan hutang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat langsung memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan dalam hal debitur ingkar janji.
ai.
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN 1)
Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibeBankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamalan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
161
2)
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utangpiutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
3)
Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
4)
Sertifikat
Hak
Tanggungan
mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan tersebut, pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Agama yang
162
berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. 5)
Atas
kesepakatan
pemberi
dan
pemegang
Hak
Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996). 6)
Pelaksanaan penjualan di bawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
7)
Surat Kuasa MembeBankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a)
tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum
lain
dari
pada
Tanggungan. b) tidak memuat kuasa substitusi.
163
membeBankan
Hak
c)
mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan.
8)
Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.
9)
Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan
tanah
yang
dibebani
dengan
Hak
tanggungan. 10) Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dari semua beban, kepada pembeli lelang. 11) Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 200 (11) HIR. 12) Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 1178 (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun 1996 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak
164
tanggungan pertama. Janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak tanggungan pertama saja. Apabila pemegang hak tanggungan pertama telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan Pasal 11 ayat (2) j UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila ada Hak tanggungan lainlainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak tanggungan yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa. 13) Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara.
165
14) Penjualan (lelang) benda tetap harus di umumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan objek yang akan dilelang (Pasal 200 (7) HIR, Pasal 217 RBg).
aj.
EKSEKUSI JAMINAN 1)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, butir 1, yang dimaksud dengan FIDUSIA adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
2)
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
3)
Benda objek jaminan fidusia tidak dapat dibebani Hak tanggungan atau hipotek.
166
4)
Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia yang sekurang-kurangnya memuat : a)
identitas pihak pemberi dan penerima fidusia.
b) data perjanjian pokok yang dijamin fidusia. c)
uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
d) nilai penjaminan. dan e) 5)
nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Jaminan fidusia harus didaftarkan oleh penerima fidusia atau kuasanya kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan
kepada
penerima
fidusia
Sertifikat
Jaminan Fidusia yang mencantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. 6)
Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia Penerima Fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan Pernyataan Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Sertifikat Jaminan Fidusia.
167
7)
Pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.
8)
Jaminan fidusia dapat dialihkan kepada kreditor baru, dan pengalihan tersebut harus didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
9)
Apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara: a)
Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia yang mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada Kreditur baru.
b) Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui
pelelangan
umum
serta
mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. c)
Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak (lihat Pasal 29 UU No. 40 Tahun 1999).
10) Prosedur dan tatacara eksekusi selanjutnya dilakukan seperti dalam eksekusi hak tanggungan.
168
ak. EKSEKUSI
PUTUSAN
YANG
BERKEKUATAN
HUKUM TETAP 1)
Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Agama yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding. putusan Pengadilan Tinggi Agama yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi. dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.
2)
Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan, yaitu: a)
Putusan deklaratif, adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, putusan yang menolak gugatan.
b) Putusan konstitutif, adalah putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan hukum baru yang tidak
memerlukan pelaksanaan dengan paksa,
misalnya memutuskan suatu ikatan perkawinan. c)
Putusan kondemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim. Dalam putusan yang bersifat kondemnatoir amar putusan
169
harus mengandung kalimat “menghukum tergugat (berbuat
sesuatu,
tidak
berbuat
sesuatu, sesuatu,
menyerahkan
sesuatu,
membongkar
menyerahkan
sejumlah
uang,
membagi,
dan
mengosongkan). 3) Dari segi isinya tediri a)
Niet Onvankelijk Verklaart (NO). Berarti tidak dapat diterima gugatan dimana putusan pengadilan yang diajukan oleh penggugat tidak dapat diterima karena ada alasan yang dibenarkan oleh hukum, sebagai berikut.
b) Gugatan tidak berdasarkan hukum, artinya gugatan yang diajukan oleh penggugat harus jelas dasar hukumnya dalam menuntut haknya. Jadi kalau tidak ada dasar hukumnya maka gugatan tersebut tidak dapat diterima. c) Gugatan tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung yang melekat pada diri penggugat. Tidak semua orang yang mempunyai kepentingan hukum
dapat
mengajukan
gugatan
apabila
kepentingan itu tidak langsung melekat pada dirinya. Orang yang tidak ada hubungan langsung harus mendapat kuasa lebih dahulu dari orang atau badan
170
hukum
yang
berkentingan
langsung
untuk
mengajukan gugatan. d) Gugatan Kabur (Obscuur Libel) artinya posita dan petitum dalam gugatan tidak saling mendukung atau dalil gugat kontradiksi, mungkin juga objek yang disengketakan tidak jelas, dapat pula petitum tidak jelas atau tidak dirinci tentang apa yang diminta. e) Gugatan prematur adalah gugatan yang belum semestinya diajukan karena ketentuan undangundang belum terpenuhi misalnya hutang belum masanya untuk ditagih atau belum jatuh tempo. f)
Gugatan nebis in idem adalah gugatan yang diajukan oleh
penggugat
sudah
pernah
diputus
oleh
pengadilan yang sama dengan objek sengketa yang sama dan pihak-pihak yang bersengketa juga sama orangnya. Dalam perkara perceraian bisa saja tidak terjadi
nebis
in
idem,
kalau
perkara
yang
sebelumnya telah diputus dengan dalil pertengkaran kemudian tidak diterima kemudian diajukan lagi dengan dalil bahwa tergugat memukul pengugat. g) Gugatan error in persona adalah gugatan salah alamat, ini dapat bersifat gemis aan laeding heid. Misalnya seorang ayah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama untuk anaknya, yang menggugat
171
suami dengan tuntutan agar pengadilan agama menceraikan anaknya dengan suaminya. Jadi bukan anaknya sendiri yang mengajukan gugatan oleh karena itu gugatan seperti ini tidak dapat diterima. h) Gugatan yang telah lampau waktu (daluwarsa)adalah gugatan yang diajukan oleh penggugat
telah
melampaui waktu yang telah ditentukan undangundang. Misalnya dalam Pasal 27 UU no.1 Thn 1974 tetang Perkawinan disebutkan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan
apabila
perkawinan
dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Apabila penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama maka gugatannya tidak dapat diterima karena mengajukan gugatan telah lewat waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang. i)
Gugatan
dihentikan
(aan
hanging)
adalah
penghentian gugatan disebabkan karena adanya
172
perselisihan
kewenangan
mengadili
antara
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Kalau terjadi hal seperti itu maka baik PA maupun PN harus menghentikan pemeriksaan tersebut dan kedua badan peradilan itu hendaknya mengirim berkas perkara ke MA untuk ditetapkan siapa yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
Penghentian
sementara
pemeriksaan
gugatan dapat ditempuh dengan cara mencatat dalam berita acara persidangan atau dapat juga dalam bentuk penetapan majelis. 4) Dari segi jenisnya a) Putusan Sela, adalah putusan yang belum merupakan putusan akhir. Dan putusan sela ini tidak mengikat hakim bahkan hakim yang menjatuhkan putusan sela berwenang mengubah putusan sela tersebut jika ternyata mengandung kesalahan. Pasal 48 dan Pasal 332 RV, putusan sela terdiri dari : b) Putusan
Preparatoir
mempersiapkan
adalah
putusan
putusan
akhir
tanpa
untuk ada
pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir. Contoh putusan untuk menggabungkan dua perkara atau untuk menolak diundurkannya pemeriksaan saksi-saksi.
173
c) Putusan Interlucotoir adalah putusan yang isinya memrintahkan pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir, misalnya putusan untuk memeriksa saksi-saksi atau pemeriksaan setempat. d) Putusan Insidentil adalah putusan atas suatu perselisihan yang tidak begitu mempengaruhi atau berhubungan dengan pokok perkara, misalnya dalam hal terjadi voeging, tussenkomst, prodeo, penetepan sita, dll. e) Putusan Provisi adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil yaitu permintaan para pihak yang bersengketa agar untuk sementara dilakukan tindakan pendahuluan. Misalnya dalam gugatan cerai isteri meminta bahwa selama perkara belum diputus diizinkan untuk tidak tinggal serumah atau memohon kepada mejelis untuk ditetapkan nafkah yang dilalaikan oleh suaminya sebelum putusan akhir dijatuhkan. 5) Putusan untuk melaksanakan suatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang (Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg) dan selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang.
174
6) Penerapan Pasal 225 HIR / 259 Rbg harus terlebih dahulu
ternyata
bahwa
Termohon
tidak
mau
melaksanakan putusan tersebut dan pengadilan tidak dapat / tidak mampu melaksanakannya walau dengan bantuan alat negara. Dalam hal demikian, Pemohon dapat mengajukan kepada Ketua Pengadilan Agama agar termohon membayar sejumlah uang, yang nilainya sepadan dengan perbuatan yang harus dilakukan oleh Termohon. Untuk memperoleh jumlah yang sepadan,
Ketua
Pengadilan Agama wajib memanggil dan mendengar Termohon eksekusi dan apabila diperlukan Ketua Pengadilan Agama dapat meminta keterangan dari seorang ahli di bidang tersebut. Penetapan jumlah uang yang harus dibayar oleh termohon dituangkan dalam penetapan Ketua Pengadilan Agama 7) Putusan untuk membayar sejumlah uang, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, akan dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang dikalahkan, yang sebelumnya harus disita (Pasal 200 HIR, Pasal 214 s/d Pasal 224 RBg). 8) Putusan
dengan
mana
Tergugat
dihukum
untuk
menyerahkan sesuatu barang, misalnya sebidang tanah,
175
dilaksanakan oleh jurusita, apabila perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara. 9) Eksekusi harus dilaksanakan dengan tuntas. Apabila eksekusi telah dilaksanakan, dan barang yang dieksekusi telah diterima oleh pemohon eksekusi, kemudian diambil kembali oleh tereksekusi, maka eksekusi tidak bisa dilakukan kedua kalinya. 10) Jalan yang dapat ditempuh oleh yang bersangkutan adalah melaporkan hal tersebut di atas kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisian) atau mengajukan gugatan
untuk
memperoleh
kembali
barang
(tanah/rumah tersebut) 11) Putusan Pengadilan Agama atas gugatan penyerobotan, apabila diminta dalam petitum, dapat dijatuhkan putusan serta-merta atas dasar sengketa bezit / kedudukan berkuasa. 12) Apabila suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap telah dilaksanakan ( dieksekusi ) atas suatu barang dengan eksekusi riil,
tetapi kemudian putusan yang
berkekuatan hukum tetap tersebut dibatalkan oleh putusan peninjauan kembali, maka barang yang telah diserahkan kepada pihak pemohon eksekusi tersebut wajib diserahkan tanpa proses gugatan kepada pemilik semula sebagai pemulihan hak.
176
13) Pemulihan hak diajukan Pemohon kepada Ketua Pengadilan Agama. 14) Eksekusi pemulihan hak dilakukan menurut tata cara eksekusi riil. Apabila barang tersebut sudah dialihkan kepada pihak lain, termohon eksekusi dalam perkara yang b.h.t. dapat mengajukan gugatan ganti rugi senilai objek miliknya yang telah dieksekusi tersebut dengan eksekusi serta merta. 14) Apabila suatu proses perkara sudah memperoleh suatu putusan namun belum berkekuatan hukum tetap, tetapi terjadi perdamaian di luar pengadilan yang intinya mengesampingkan amar putusan, ternyata perdamaian itu diingkari oleh salah satu pihak dan proses perkara dihentikan
sehingga
putusan
yang
ada
menjadi
berkekuatan hukum tetap, maka putusan yang berkekuatan hukum tetap itulah yang dapat dieksekusi. Akan tetapi pihak yang merasa
dirugikan dengan ingkar janjinya
pihak yang membuat perjanjian perdamaian itu dapat mengajukan gugatan dengan dasar wanprestasi. Dalam hal yang demikian, Ketua Pengadilan Agama dapat menunda eksekusi putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut.
177
al.
LELANG (Penjualan Umum) 1) Pengumuman lelang dilakukan melalui harian yang terbit di kota atau kota yang berdekatan dengan tempat objek lelang terletak (Perhatikan Pasal 195 HIR, Pasal 206 RBg dan Pasal 217 RBg). 2) Lelang
dilakukan
berdasarkan
Lembaran Negara
Tahun 1908
Peraturan No.
Lelang,
189,
yang
bersambung dengan Lembaran Negara Tahun 1940 No. 56. 3) Lelang dilakukan dengan tata cara peraturan lelang. Surat penawaran harus dimasukkan kedalam kotak yang telah disediakan ditempat lelang atau diserahkan oleh calon peserta lelang sendiri kepada Pejabat lelang dari Kantor Lelang. Surat penawaran harus tertulis dalam bahasa Indonesia dengan angka atau huruf latin yang jelas dan lengkap dan ditandatangani oleh penawar. Surat penawaran tersebut setelah memenuhi syarat disahkan oleh pejabat lelang. 4) Penawar tidak boleh mengajukan surat penawaran lebih dari satu kali untuk satu bidang tanah, bangunan atau barang tertentu. 5) Orang yang telah menandatangani surat penawaran tersebut di atas, bertanggung jawab sepenuhnya secara pribadi atas pembayaran uang pembelian lelang apabila
178
dalam penawaran itu ia bertindak sebagai kuasa seseorang, perusahaan atau badan hukum. Untuk dapat turut serta dalam pelelangan, para penawar diwajibkan menyetor uang jaminan yang jumlahnya ditentukan oleh pejabat lelang, uang mana akan diperhitungkan dengan harga pembelian, jika penawar yang bersangkutan ditunjuk selaku pembeli. 6) Agar tujuan lelang tercapai maka sebelum lelang dilaksanakan, kreditur dan debitur dipanggil oleh Ketua Pengadilan Agama untuk mencari jalan keluar, misalnya debitur diberi waktu selama 2 bulan untuk mencari pembeli yang mau membeli tanah tersebut. Apabila hal itu terjadi, pembayaran harus dilakukan didepan Ketua Pengadilan Agama, selanjutnya pembeli, kreditur dan debitur menghadap PPAT untuk membuat akte jual belinya, dan kemudian dilakukan baliknama tanah tersebut menjadi atas nama pembeli. Hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan diperintahkan agar diroya. 7) Apabila dalam waktu paling lambat selama-lamanya 2 bulan debitur tidak berhasil mendapatkan pembeli sesuai dengan harga yang diinginkan, kreditur dan debitur, dibawah
pimpinan
Ketua
Pengadilan
Agama,
menentukan harga limit dari tanah yang akan dilelang.
179
8) Apabila selama 2 bulan tidak ada penawaran, maka penjualan umum diumumkan lagi satu kali dalam harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan tanah yang akan dilelang. Jika pelelangan dengan harga limit tidak tercapai, maka Ketua Pengadilan Agama memberikan kesempatan kepada debitur untuk kembali mencari pembeli selama-lamanya 1 bulan. Dan jika tidak berhasil maka kreditur akan memperoleh tanah tersebut dengan harga limit itu, selanjutnya hutang dibayar dan hak tanggungan yang membebani tanah tersebut diroya. 9) Apabila penawaran tertinggi tidak mencapai harga limit yang ditentukan oleh penjual, maka jika dianggap perlu, seketika itu juga penjualan umum diubah dengan penawaran lisan dengan harga naik- naik. 10) Penawar/pembeli
dianggap
sungguh-sungguh
telah
mengetahui apa yang telah ditawar/dibeli olehnya. Apabila terdapat kekurangan atau kerusakan, baik yang terlihat atau tidak terlihat atau terdapat cacat lainnya terhadap barang yang telah dibelinya itu, maka ia tidak berhak untuk menolak menarik diri kembali setelah pembeliannya disahkan dan melepaskan semua hak untuk meminta ganti kerugian berupa apapun juga.
180
11) Barang yang terjual, pada saat itu juga, menjadi hak dan tanggungan pembeli dan apabila barang itu berupa tanah dan rumah, pembeli harus segera mengurus/membalik nama hak tersebut atas namanya. 12) Pembeli tidak diperkenankan untuk menguasai barang yang telah dibelinya itu sebelum uang pembelian dipenuhi/dilunasi seluruhnya, yaitu harga pokok, bea lelang dan uang miskin. Kepada pembeli lelang diserahkan tanda terima pembayaran. 13) Apabila yang dilelang itu adalah tanah/tanah dan rumah yang sedang ditempati/dikuasai oleh tersita/terlelang, maka dengan menunjuk kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 200 (11) HIR atau Pasal 218 ayat (2) RBg., apabila terlelang tidak bersedia untuk menyerahkan tanah/tanah dan rumah itu secara kosong, maka terlelang, beserta keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa, apabila perlu dengan bantuan yang berwajib dari tanah/tanah
dan
rumah
tersebut
berdasarkan
permohonan yang diajukan oleh pemenang lelang. 14) Ketentuan yang sama berlaku bagi pembelian lelang yang dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara (PUPN). Pasal 11 ayat (11) Undang-undang No. 49 Tahun 1960, LN 1960 No. 156, TLN No. 2014 jo. TLN No. 2104, berbunyi : “Jika orang yang disita
181
menolak untuk meninggalkan barang tak bergerak tersebut, maka Hakim Pengadilan Agama mengeluarkan perintah
tertulis
kepada
seorang
yang
berhak
melaksanakan surat jurusita untuk berusaha agar supaya barang tersebut ditinggalkan dan dikosongkan oleh yang disita dengan keluarganya serta barang-barang miliknya dengan bantuan Panitera Pengadilan Agama lain yang ditunjuk oleh Hakim jika perlu dengan bantuan alat kekuasan Negara”. 15) Dalam hal ini Kepala Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Agama
dimana
barang
tersebut
terletak
dan
pengosongan dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama tersebut. 16) Agar diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 198, 199, 227 ayat (3) HIR atau Pasal 213, 214 dan Pasal 261 ayat (2) RBg, “bahwa penyewa, pembeli, orang
yang
mendapat
hibah,
yang
memperoleh
tanah/tanah dan rumah tersebut, setelah tanah/tanah dan rumah tersebut disita dan sita itu telah didaftarkan sesuai ketentuan dalam Pasal tersebut di atas ini juga termasuk orang-orang yang akan dikeluarkan secara paksa dari tanah/tanah dan rumah tersebut.”
182
17) Orang yang menyewa tanah/tanah dan rumah tersebut sebelum dilakukan penyitaan, baik sita jaminan atau sita eksekutorial seperti tersebut dalam pasal-pasal tersebut di atas, tidak terkena sanksi termaksud. Untuk dapat menguasai tanah/rumah yang dibeli lelang, pembeli Lelang harus menunggu sampai masa sewa habis. 18) Atas Pemberian Hak Tanggungan yang tidak didaftarkan di Kantor Pertanahan setelah tanah tersebut disita, baik sita jaminan, maupun sita eksekusi, sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 198, 199, 227 ayat (3) HIR atau Pasal 213, 214, dan 261 ayat (2) RBg, tidak berkekuatan hukum. 19) Suatu pelelangan yang telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku tidak dapat dibatalkan. 20) Dalam hal terdapat kekurangan atau pelelangan telah dilaksanakan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka pelelangan tersebut dapat dibatalkan melalui suatu gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama. 21) Pembeli lelang yang beritikad baik harus dilindungi.
am. PERLAWANAN TERHADAP EKSEKUSI 1) Perlawanan terhadap eksekusi dapat diajukan oleh orang yang terkena eksekusi/tersita atau oleh pihak ketiga atas
183
dasar hak milik, perlawanan mana diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang melaksanakan eksekusi, lihat Pasal 195 ayat (6) dan (7) HIR. 2) Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi (Pasal 207 (3) HIR dan 227 RBg), kecuali apabila segera nampak bahwa perlawanan tersebut benar dan beralasan, maka eksekusi ditangguhkan, setidaktidaknya sampai dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Agama. 3) Terhadap putusan ini dapat diajukan upaya hukum.
an.
PERLAWANAN PIHAK KETIGA (Derden Verzet) 1) Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi atau sita jaminan hanya dapat diajukan atas dasar hak milik dan pemegang hypotik, jadi hanya dapat diajukan oleh pemilik atau orang yang merasa bahwa ia adalah pemilik barang yang disita dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama dan Pengadilan Agama yang secara nyata menyita (Pasal 195 (6) HIR/Pasal 206 (6) RBg). 2)
Pemegang hak harus dilindungi dari suatu (sita) eksekusi dimana pemegang hak tersebut bukan sebagai pihak dalam perkara antara lain pemegang hak pakai, hak guna bangunan, hak tanggungan, hak sewa dan lainlain.
184
3) Perlawanan
dapat
diajukan
oleh
pemegang
hak
tanggungan, apabila tanah dan rumah yang dijaminkan kepadanya dengan hak tanggungan disita, berdasarkan klausula yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat dengan debiturnya langsung dapat minta eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama atau Kepala PUPN. 4) Dalam perlawanan pihak ketiga tersebut pelawan harus dapat membuktikan bahwa barang yang disita itu adalah miliknya, dan apabila ia berhasil membuktikan, maka ia akan dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diperintahkan untuk diangkat. Apabila pelawan tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah pemilik dari barang yang disita maka pelawan akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar atau pelawan yang tidak jujur, dan sita akan dipertahankan. 5) Perlawanan pihak ketiga yang diajukan oleh istri atau suami terhadap harta bersama yang disita, tidak dibenarkan karena harta bersama selalu merupakan jaminan untuk pembayaran hutang istri atau suami yang terjadi dalam perkawinan, yang harus ditanggung bersama. 6) Apabila yang disita adalah harta bawaan atau harta asal suami atau istri maka istri atau suami dapat mengajukan
185
perlawanan pihak ketiga dan perlawanannya dapat diterima, kecuali : a) Suami istri tersebut menikah berdasarkan BW dengan persatuan harta atau membuat perjanjian perkawinan berupa persatuan hasil dan pendapatan. b) Suami atau istri tersebut telah ikut menandatangani surat
perjanjian
hutang,
sehingga
harus
ikut
bertanggung jawab. 7) Perlawanan pihak ketiga adalah upaya hukum luar biasa dan pada asasnya tidak menangguhkan eksekusi. 8) Eksekusi mutlak harus ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Agama yang memimpin eksekusi yang bersangkutan,
apabila
perlawanan
benar-benar
beralasan, misalnya, apabila sertifikat tanah yang akan dilelang sejak semula jelas tercatat atas nama orang lain, atau dari BPKB yang diajukan, jelas terbukti bahwa mobil yang akan dilelang itu, sejak lama adalah milik pelawan. Harus diperhatikan apabila tanah atau mobil tersebut baru saja tercatat atas nama pelawan, karena ada kemungkinan tanah atau mobil itu diperoleh oleh pelawan, setelah tanah atau mobil itu disita, sehingga perolehan barang tersebut tidak sah. 9) Terhadap perkara perlawanan pihak ketiga ini, Ketua Majelis yang memeriksa perkara tersebut, selalu harus
186
melaporkan perkembangan perkara itu kepada Ketua Pengadilan Agama, karena laporan tersebut diperlukan oleh Ketua Pengadilan Agama untuk menentukan kebijaksanaan
mengenai
diteruskan
atau
ditangguhkannya eksekusi yang dipimpinnya. 10) Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, yaitu sita conservatoir dan sita revindicatoir, tidak diatur baik dalam HIR, RBg, atau Rv. Dalam praktek menurut yurisprudensi putusan Mahkamah Agung tanggal 3 110-1962 No. 306 K/Sip/1962 dalam perkara : C.V Sallas dkk melawan PT. Indonesian Far Eastern Pasific Line, dinyatakan bahwa meskipun mengenai perlawanan terhadap pensitaan conservatoir tidak diatur secara khusus dalam HIR, menurut yurisprudensi perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selalu pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir
ini
belum
disahkan
(van
waarde
verklaard). Lihat putusan Mahkamah Agung tanggal 3110-1962 No. 306 K I Sip/1962, dalam Rangkuman Yurisprudensi II halaman 370).
ao.
PENANGGUHAN EKSEKUSI 1) Eksekusi dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Agama yang memimpin eksekusi. Dalam hal sangat
187
mendesak dan Ketua Pengadilan Agama berhalangan, Wakil Ketua Pengadilan Agama dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda. 2) Dalam rangka pengawasan atas jalannya peradilan yang baik, Ketua Pengadilan Tinggi selaku voorpost dari Mahkamah Agung dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda atau di teruskan. Dalam hal sangat mendesak dan Ketua Pengadilan Tinggi berhalangan, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan agar eksekusi ditunda. 3) Wewenang untuk menangguhkan eksekusi atau agar eksekusi diteruskan, pada puncak tertinggi, ada pada Ketua Mahkamah Agung. Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, dilaksanakan oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung.
ap. PUTUSAN NON EXECUTABLE Suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dinyatakan non eksekutabel oleh Ketua Pengadilan Agama, apabila : 1) Putusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif. 2) Barang yang akan dieksekusi tidak berada di tangan Tergugat/ Termohon eksekusi.
188
3) Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan barang yang disebutkan di dalam amar putusan. 4) Amar
putusan
tersebut
tidak
mungkin
untuk
dilaksanakan. 5) Ketua Pengadilan Agama tidak dapat menyatakan suatu putusan non eksekutable, sebelum seluruh proses/acara eksekusi dilaksanakan, kecuali yang tersebut pada butir a. Penetapan non eksekutable harus didasarkan Berita Acara yang dibuat oleh juru sita yang diperintahkan untuk melaksanakan (eksekusi) putusan tersebut. 6) Penetapan Non eksekutabel bersifat final dan tidak dapat diajukan keberatan.
aq. PENAWARAN
PEMBAYARAN
TUNAI
DAN
KONSIGNASI 1) Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan / konsignasi merupakan salah satu hal / sebab hapusnya perikatan. 2) Konsignasi
diatur
dalam
Pasal
1404
s.d.
1412
KUHPerdata. 3) Jika si berpiutang menolak pembayaran dari yang berutang, maka pihak yang berutang dapat melakukan pembayaran
tunai
189
utangnya
dengan
menawarkan
pembayaran yang dilakukan oleh jurusita dengan disertai 2 (dua) orang saksi. Apabila yang berpiutang menolak menerima pembayaran , maka uang tersebut dititipkan pada kas kepaniteraan Pengadilan Agama sebagai titipan/konsignasi. 4) Penawaran dan penitipan tersebut harus disahkan dengan penetapan hakim. 5) Cara-cara konsignasi : a) Yang berutang mengajukan permohonan tentang penawaran pembayaran dan penitipan tersebut ke Pengadilan Agama yang meliputi tempat dimana persetujuan pembayaran harus dilakukan (debitur sebagai pemohon dan kreditur sebagai termohon ). b) Dalam hal tidak ada persetujuan tersebut pada sub a, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama dimana termohon ( si berpiutang pribadi ) bertempat tinggal atau tempat tinggal yang telah dipilihnya. c) Permohonan konsignasi didaftar
dalam register
permohonan. d)
Ketua Pengadilan Agama memerintahkan jurusita Pengadilan Agama dengan disertai oleh 2 (dua) orang saksi, dituangkan dalam surat penetapan untuk melakukan
penawaran
190
pembayaran
kepada
si
berpiutang pribadi di tempat tinggal atau tempat tinggal pilihannya. e) Jurusita dengan disertai 2 (dua)
orang saksi
menjalankan perintah Ketua Pengadilan Agama tersebut dan dituangkan dalam berita acara tentang pernyataan kesediaan untuk membayar (aanbod van gereede betaling). f) Kepada pihak berpiutang diberikan salinan dari berita acara tersebut. g) Juru sita membuat berita acara pemberitahuan bahwa karena pihak berpiutang menolak pembayaran, uang tersebut akan dilakukan penyimpanan ( konsignasi ) di kas kepaniteraan Pengadilan Agama yang akan dilakukan pada hari, tanggal dan jam yang ditentukan dalam berita acara tersebut. h) Pada waktu yang telah ditentukan dalam huruf g, jurusita
dengan
menyerahkan
disertai 2
uang
tersebut
(dua)
orang
kepada
saksi
panitera
Pengadilan Agama dengan menyebutkan jumlah dan rincian
uangnya
kepaniteraan
untuk
Pengadilan
disimpan Agama
dalam sebagai
kas uang
konsignasi. i) Agar supaya pernyataan kesediaan untuk membayar yang diikuti dengan penyimpanan tersebut sah dan
191
berharga, harus diikuti dengan pengajuan permohonan oleh si berhutang terhadap berpiutang sebagai termohon kepada Pengadilan Agama, dengan petitum: - Menyatakan
sah
dan
berharga
penawaran
pembayaran dan penitipan sebagai konsignasi. - Menghukum Pemohon membayar biaya perkara.
2. PEDOMAN KHUSUS a. Hukum Keluarga. 1)
Poligami. a) Undang-Undang
Nomor 1
Tahun 1974
tentang
Perkawinan menganut asas monogami, kecuali hukum agama yang dianut menentukan lain. Suami yang beragama Islam yang menghendaki beristri lebih dari satu
orang wajib mengajukan permohonan izin
poligami
kepada
Pengadilan
Agama/Mahkamah
Syar’iyah, dengan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. b) Agar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama tidak bertentangan dengan asas
monogami yang
dianut oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka Pengadilan Agama dalam memeriksa dan
192
memutus perkara permohonan izin poligami harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut: (1)
Permohonan kontensius,
izin
pihak
poligami istri
harus
besifat
didudukkan
sebagai
termohon. (2) Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bersifat fakultatif, maksudnya bila salah satu persyaratan tersebut dapat dibuktikan, Pengadilan Agama dapat memberi izin poligami. (3) Persyaratan izin poligami yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bersifat kumulatif, maksudnya Pengadilan Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila semua persyaratan tersebut telah terpenuhi. (4) Harta bersama dalam hal suami beristri lebih dari satu orang, telah diatur dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum
Islam,
akan
tetapi
pasal
tersebut
mengandung ketidak adilan, karena dalam keadaan tertentu dapat merugikan istri yang dinikahi lebih dahulu, oleh karenanya pasal tersebut harus dipahami sebagaimana diuraikan dalam angka (5) di bawah ini. (5) Harta yang diperoleh oleh suami selama dalam
193
ikatan
perkawinan
dengan
istri
pertama,
merupakan harta benda bersama milik suami dan istri pertama. Sedangkan harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan istri kedua dan selama itu pula suami masih terikat perkawinan dengan istri pertama, maka harta tersebut merupakan harta bersama milik suami, istri pertama dan istri kedua. Demikian pula halnya sama dengan perkawinan kedua apabila suami melakukan perkawinan dengan istri ketiga dan keempat. (6) Ketentuan harta bersama tersebut dalam angka (5) tidak berlaku atas harta yang diperuntukkan terhadap istri kedua, ketiga dan keempat (seperti rumah, perabotan rumah dan pakaian) sepanjang harta yang diperuntukkan istri kedua, ketiga dan keempat tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta bersama yang diperoleh dengan istri kedua, ketiga dan keempat. Contoh: Suami selama terikat perkawinan dengan istri kedua memperoleh harta bersama sebanyak 100.000.000. (seratus juta rupiah), dari harta bersama tersebut dibelikan rumah dan mobil untuk istri kedua sebesar Rp. 30.000.000. (tiga puluh juta rupiah), maka rumah
194
dan mobil tersebut tidak menjadi harta bersama antara suami, istri pertama dan istri kedua. Yang menjadi harta bersama suami, istri pertama dan istri kedua adalah harta yang berjumlah Rp 70.000.000. (tujuh puluh juta rupiah). Jika suami membelikan rumah dan mobil untuk istri kedua sebesar Rp 50.000.000. (lima puluh juta rupiah), maka harta yang diperuntukkan pada istri kedua diambil sebagian agar tidak melebihi 1/3 dari harta bersama yang nilainya Rp 100.000.000. (seratus juta rupiah). (7) Bila terjadi pembagian harta bersama bagi suami yang mempunyai istri lebih dari satu orang karena
kematian
atau
perceraian,
cara
perhitungannya adalah sebagai berikut: Untuk istri pertama 1/2 dari harta bersama dengan suami
yang
diperoleh
selama
perkawinan,
ditambah 1/3 x harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan istri pertama dan istri kedua, ditambah 1/4 x harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan istri ketiga, istri kedua dan istri pertama, ditambah 1/5 x harta bersama yang diperoleh suami bersama istri keempat, ketiga, kedua dan pertama.
195
(8) Harta yang diperoleh oleh istri pertama, kedua, ketiga dan keempat merupakan harta bersama dengan
suaminya,
kecuali
yang
diperoleh
suami/isteri dari hadiah atau warisan . (9) Pada
saat
permohonan
izin poligami, suami
wajib pula mengajukan permohonan penetapan harta bersama dengan istri sebelumnya, atau harta bersama dengan istri-istri sebelumnya. Dalam hal suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta bersama yang digabung dengan permohonan izin poligami,
istri atau istri-istrinya dapat
mengajukan rekonvensi penetapan harta bersama. (10) Dalam hal suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta bersama yang digabung dengan permohonan izin poligami dan istri terdahulu tidak mengajukan rekonvensi penetapan harta bersama dalam
perkara
permohonan
izin
poligami
sebagaimana dimaksud dalam angka (9) di atas, permohonan
penetapan
izin
poligami
harus
dinyatakan tidak dapat diterima. 2) Izin Kawin, Dispensasi Kawin dan Wali Adhal. a) Izin Melangungkan Perkawinan (1) Permohonan izin kawin diajukan oleh calon mempelai, yang belum berusia 21 tahun dan 196
tidak mendapat izin dari orang tuanya, kepada Pengadilan Agama dalam daerah dimana calon mempelai tersebut bertempat tinggal. (2) Permohonan izin melangsungkan perkawinan kawin yang diajukan oleh calon mempelai pria dan/atau
calon
mempelai
wanita
dapat
dilakukan secara kumulatif kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana calon mempelai pria dan wanita tersebut bertempat tinggal. (3) Pengadilan Agama dapat memberikan izin melangsungkan perkawinan setelah mendengar keterangan dari orang tua, keluarga dekat atau walinya. (4) Permohonan izin melangsungkan perkawinan bersifat
voluntair
produknya
berbentuk
penetapan. Jika Pemohon tidak puas dengan penetapan tersebut, maka pihak Pemohon dapat mengajukan upaya kasasi. (5) Terhadap
penetapan
izin
yang
diajukan
pertkawinan
melangsungkan oleh
calon
mempelai pria dan/atau wanita, dapat dilakukan perlawanan oleh orang tua calon mempelai, keluarga
dekat
197
dan/atau
orang
yang
berkepentingan
lainnya
kepada Pengadilan
Agama yang mengeluarkan penetapan tersebut. b) Dispensasi Kawin Calon suami istri yang belum mencapai usia 19 dan
16
tahun
yang
ingin
melangsungkan
perkawinan, orang tua yang bersangkutan harus mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama. (1) Permohonan dispensasi kawin diajukan oleh calon mempelai pria yang belum berusia 19 tahun, calon mempelai wanita yang belum berusia 16 tahun dan/atau orang tua calon mempelai tersebut kepada Pengadilan Agama dalam daerah dimana calon mempelai dan/atau orang tua calon mempelai tersebut bertempat tinggal. (2) Permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh calon mempelai pria dan/atau calon mempelai
wanita
dapat
dilakukan
secara
kumulatif kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana calon mempelai pria dan wanita tersebut bertempat tinggal. (3) Pengadilan Agama dapat memberikan dan dispensasi kawin setelah mendengar keterangan
198
dari orang tua, keluarga dekat atau walinya. (4) Permohonan
dispensasi
kawin
bersifat
voluntair produknya berbentuk penetapan. Jika Pemohon tidak puas dengan penetapan tersebut, maka pihak Pemohon dapat mengajukan upaya kasasi.
c) Wali Adhal Calon
mempelai
wanita
yang
akan
melangsungkan perkawinan yang wali nikahnya tidak
mau
melaksanakan
perkawinan
dapat
mengajukan permohonan penetapan wali adhal kepada Pengadilan Agama (usul didrop). (1) Permohonan penetapan wali adhal diajukan oleh calon mempelai wanita yang wali nikahnya tidak mau melaksanakan pernikahan, kepada Pengadilan Agama dalam daerah dimana calon mempelai wanita tersebut bertempat tinggal. (2) Permohonan wali adhal yang diajukan oleh calon mempelai pria dan/atau calon mempelai wanita dapat dilakukan secara kumulatif kepada Pengadilan
Agama
dalam
daerah
hukum
dimana calon mempelai pria dan wanita tersebut bertempat tinggal.
199
(3) Pengadilan
Agama
dapat
mengabulkan
permohonan penetapan wali adhal setelah mendengar keterangan orang tua atau keluarga dekatnya. (4) Permohonan
wali adhal bersifat voluntair
produknya berbentuk penetapan. Jika Pemohon tidak puas dengan penetapan tersebut, maka pihak Pemohon dapat mengajukan upaya kasasi. (5) Upaya lain yang dapat ditempuh orang tua (ayah) adalah : (a) Pencegahan perkawinan, apabila perkawinan belum dilangsungkan; dan (b) Pembatalan perkawinan, apabila perkawinan telah dilangsungkan.
2) Penolakan Perkawinan ex Pasal 21 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. a) Calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan
harus
memenuhi
syarat-syarat
perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Apabila calon mempelai atau salah satu calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, maka Pegawai Pencatat
200
Nikah (PPN) dapat menolak dilangsungkannya perkawinan tersebut. b) Terhadap
penolakan
perkawinan
dari PPN,
calon mempelai dapat mengajukan permohonan pencabutan surat penolakan perkawinan dari PPN kepada Pengadilan Agama. c) Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut harus mempedomani hal-hal sebagai berikut : (1) Kedua calon mempelai atau salah satu calon mempelai yang pelaksanaan perkawinannya ditolak
oleh
PPN,
dapat
mengajukan
permohonan pencabutan surat penolakan PPN tersebut secara voluntair kepada Pengadilan Agama
dalam
daerah
dimana
PPN
berkedudukan (ex Pasal 13 dan 14 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974). (2) Pengadilan Agama dalam daerah dimana PPN berkedudukan dapat mengabulkan permohonan pencabutan surat penolakan perkawinan dari PPN
dan
melaksanakan
memerintahkan
PPN
untuk
perkawinan
kedua
calon
mempelai, bila menurut Pengadilan Agama surat penolakan perkawinan tersebut tidak
201
mempunyai alasan hukum. (3) Produk Pengadilan Agama atas permohonan pencabutan surat penolakan dari PPN tersebut berbentuk penetapan. Jika Pemohon tidak puas atas
penetapan tersebut,
Pemohon dapat
mengajukan upaya hukum kasasi. 4) Pencegahan Perkawinan. a) Calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan
harus
memenuhi
syarat-syarat
perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Apabila calon mempelai atau salah satu calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, maka orang tua, keluarga, wali pengampu dari calon mempelai
dapat
mengajukan
pencegahan
perkawinan kepada Pengadilan Agama. b) Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut harus mempedomani hal-hal sebagai berikut : (1) Ayah, ibu, kakek, anak, cucu, saudara, wali nikah dan wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dapat mencegah perkawinan, apabila ada calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat 202
untuk
melangsungkan
perkawinan (ex Pasal 13 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974). (2)
Mereka yang tersebut dalam angka (1) di atas berhak juga mencegah perkawinan apabila salah seorang calon mempelai berada di bawah pengampuan (ex Pasal 14 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974).
(3)
Suami atau istri dapat mencegah perkawinan yang akan dilangsungkan oleh istri atau suaminya (ex Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
(4)
Jaksa (ex Pasal 65 KUH Perdata), PPN (Yurispru-densi Mahkamah Agung RI) wajib mencegah
berlangsungnya
perkawinan,
apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 – 10 dan Pasal 12 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tidak dipenuhi (ex Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). (5) Permohonan diajukan
pencegahan
perkawinan
kepada Pengadilan Agama dalam
daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan (ex Pasal 17 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
203
(6) Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat per-mohonan pencegahan perkawinan kepada Kantor Urusan Agama, agar Kantor Urusan
Agama
perkawinan
tidak
kedua
belah
melangsungkan pihak
yang
bersangkutan, selama proses pemeriksaan di Pengadilan Agama. (7)
Proses
pemeriksaan
permohonan
pencegahan per-kawinan bersifat voluntair, produknya
berupa
penetapan
dan
atas
penetapan tersebut dapat dilakukan upaya hukum kasasi oleh pemohon. (8)
Apabila
permohonan
perkawinan
tersebut
pencegahan
dikabulkan,
dalam
waktu yang singkat Pengadilan Agama menyampaikan salinan penetapan tersebut kepada KUA dimana perkawinan itu akan dilangsungkan. (9) Kedua calon mempelai atau salah satu calon mem-pelai
yang merasa keberatan atas
penetapan pencegahan perkawinan tersebut, dapat mengajukan perlawanan atas penetapan tersebut kepada Pengadilan Agama yang memutus pencegahan perkawinan.
204
(10) Proses
pemeriksaan
perlawanan
atas
penetapan pencegahan perkawinan tersebut bersifat kontensius, dan terhadap putusannya dapat dilakukan upaya banding (ex Pasal 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 70 KUH Perdata dan Pasal 817, 818 Rv). 5) Pembatalan Perkawinan. a)
Calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan
yang
diatur
dalam
Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Apabila perkawinan telah dilangsungkan, sedangkan calon
mempelai
mempelai
tidak
atau
salah
memenuhi
satu
calon
syarat-syarat
perkawinan, maka orang tua, keluarga, PPN dan jaksa dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada Pengadilan Agama. b)
Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut harus mempedomani hal-hal sebagai berikut : (1) Permohonan
pembatalan
perkawinan
diajukan oleh pihak-pihak, yang diatur
205
dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, kepada Pengadilan Agama dalam daerah
hukum
dimana
perkawinan
dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri, apabila para pihak yang melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 s/d Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 70 s/d Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam. (2) Proses perkawinan
pemeriksaan bersifat
pembatalan
kontensius.
Atas
putusan pembatalan perkawinan dapat diajukan upaya hukum banding. (3) Permohonan pembatalan perkawinan atas alasan perkawinan dilangsungkan di muka PPN yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi, tidak dapat diajukan apabila suami istri telah hidup bersama layaknya suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan
206
yang
dibuat
oleh
PPN
yang
tidak
berwenang tersebut (Pasal 26 (1) UU No.1 Thn.1974 tentang Perkawinan). (4) Permohonan pembatalan nikah oleh suami atau
istri
atas
alasan
perkawinan
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum dapat diajukan dalam jangka waktu 6 bulan sejak perkawinan dilangsungkan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami, atau isteri. (5) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan tidak berlaku surut sejak saat berlangsungnya perkawinan, kecuali terhadap apa yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. 6) Pengesahan Perkawinan/Itsbat Nikah. a) Aturan pengesahan nikah/itsbat nikah, dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan
207
berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh PPN yang berwenang. b) Pengesahan nikah diatur dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jis. Pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam. c) Dalam Pasal 49 angka (22) penjelasan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Pasal 7 ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang disahkan hanya perkawinan
yang
dilangsungkan
sebelum
berlakunya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang untuk pengesahan perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN yang dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk kepentingan perceraian. Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam ini banyak dipraktekkan di Pengadilan Agama.
208
d) Itsbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian tidak dibuat secara tersendiri, melainkan menjadi satu kesatuan dalam putusan perceraian. e) Untuk menghindari adanya penyelundupan hukum dan poligami tanpa prosedur, Pengadilan Agama harus selektif dan berhati-hati dalam menangani permohonan itsbat nikah. Kriteria selektif antara lain : DOM Aceh, masyarakat yang tidak mengetahui prosedur dan
perkawinan yang
dilangsungkan di tempat yang tidak ada PPN. e) Untuk kepentingan itu, maka proses pengajuan, pemeriksaan
dan
penyelesaian
permohonan
pengesahan nikah/itsbat nikah harus mengikuti petunjuk-petunjuk sebagai berikut : (1) Permohonan itsbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami istri atau salah satu dari suami istri, anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum
pemohon
bertempat
tinggal,
dan
permohonan istbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta kongkrit. (2) Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah 209
yang diajukan oleh kedua suami istri bersifat voluntair, produknya berupa penetapan.Jika isi penetapan tersebut menolak permohonan itsbat nikah, maka pihak suami dan istri bersamasama atau suami, istri masing-masing dapat mengupayakan kasasi. (3) Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau istri bersifat kontensius dengan mendudukkan istri atau suami yang tidak mengajukan permohonan produknya
sebagai berupa
pihak
termohon,
putusan dan terhadap
putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi. (4) Apabila
dalam
proses
pemeriksaan
permohonan itsbat nikah dalam angka (2) dan (3) tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. 210
(5) Permohonan itsbat nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan
harus
bersifat
kontensius,
dengan mendudukkan suami dan istri dan/atau ahli waris lain sebagai termohon. (6) Suami, istri yang telah ditinggal mati oleh istri atau suaminya, dapat mengajukan permohonan itsbat
nikah
secara
kontensius
dengan
mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak termohon, produknya berupa putusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi. (7) Dalam hal suami atau istri yang ditinggal mati tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya,
maka
permohonan
itsbat
nikah
diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan.
Apabila
permohonan
tersebut
ditolak, maka pemohon dapat mengajukan kasasi. (8) Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak
menjadi
pihak
dalam
perkara
permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (2) dan (6), dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama yang memutus,
211
setelah mengetahui ada penetapan itsbat nikah. (9) Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak
menjadi
pihak
dalam
perkara
permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan (5), dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama yang memeriksa perkara itsbat nikah tersebut selama perkara belum diputus. (10) Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak
menjadi
pihak
dalam
perkara
permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (3), (4) dan (5), sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama, ia dapat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan
yang
telah
disahkan
oleh
Pengadilan Agama tersebut. (11) Ketua Majelis Hakim 3 hari setelah menerima PMH, membuat PHS sekaligus memerintahkan JSP
untuk
mengumumkan
permohonan
pengesahan nikah tersebut 14 hari terhitung sejak tanggal pengumuman pada media massa cetak atau elektronik atau sekurang-kurangnya diumumkan
pada
Pengadilan Agama.
212
papan
pengumuman
(12) Majelis Hakim dalam menetapkan hari sidang paling cepat 3 hari setelah berakhirnya pengumuman.
Setelah
hari
pengumuman
berakhir Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang (13) Pengadilan mengabulkan sepanjang
Agama
hanya
permohonan itsbat perkawinan
yang
dapat nikah, telah
dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah secara syariat Islam dan perkawinan tersebut tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam Pasal 8 s/d Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 s/d Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. (14) Pengesahan nikah dapat digabungkan dengan gugatan perceraian. Cara penyelesaiannya diputus bersama-sama dalam satu putusan (Disarankan didrop). (15) Pengesahan nikah dapat pula digabungkan dengan gugatan warisan. (16) Untuk keseragaman amar pengesahan nikah berbunyi sebagai berikut: ”Menetapkan sahnya perkawinan antara ......... dengan ................ yang dilaksanakan pada tanggal ................... di
213
.......................”.
(Disarankan
dibuat
form
khusus).
7) Perkawinan Campuran ( ex Pasal 60 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974) . a) Undang-Undang tidak
Perkawinan
mengenal
batas
bersifat suku,
egaliter, ras
dan
kewarganegaraan. Oleh karena itu dapat terjadi perkawinan antar warga negara yang berbeda. b) Untuk menghindari terjadinya perkawinan yang melang-gar ketentuan hukum negara dari masingmasing
calon
diwajibkan
mempelai, membuktikan
bersangkutan
tidak
calon bahwa
melanggar
mempelai yang peraturan
perundang-undangan di negaranya masing-masing. Bukti tersebut berupa surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat pencatat perkawinan yang berwenang di negara masing-masing. c) Dalam hal pejabat yang berwenang menolak memberikan surat keterangan dimaksud, maka pihak calon mempelai dapat mengajukan permohonan pembatalan surat penolakan tersebut kepada Pengadilan Agama.
214
d) Pengadilan
Agama
dalam
memeriksa dan
memutus permohonan pembatalan surat penolakan tersebut harus mempedomani hal-hal sebagai berikut : (1) Perkawinan campuran adalah perkawinan dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan
kewarganegaraan
karena dan
perbedaan satu
pihak
berkewaranegaraan Indonesia. (2) Jika
pejabat
yang
berwenang
mencatat
perkawinan di negara pihak yang akan melangsungkan perkawinan menolak untuk memberikan surat keterangan bahwa syaratsyarat perkawinan sudah terpenuhi, maka pihak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan
pembatalan
surat
penolakan
tersebut kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana pihak yang besangkutan bertempat tinggal. (3) Pengadilan Agama memberikan keputusan atas permohonan
pembatalan
surat
penolakan
tersebut dengan tidak beracara serta tidak boleh diupayakan banding. (4) Pengadilan Agama dapat membatalkan surat
215
keputusan
penolakan
pertimbangan
surat
tersebut
keputusan
dengan penolakan
tersebut tidak beralasan dan putusan tersebut menjadi pengganti surat keterangan yang dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. (5) Untuk keseragaman, amar putusannya adalah sebagai
berikut
:
”Membatalkan
surat
penolakan yang dikeluarkan oleh ......... pada tanggal ..............”
8) Cerai Talak a) Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang petitumnya
memohon
untuk
diizinkan
menjatuhkan talak terhadap istrinya. b) Cerai talak yang diajukan oleh suami yang telah riddah
(keluar
dari
agama
Islam),
produk
putusannya bukan memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talak, akan tetapi talak dijatuhkan oleh Pengadilan Agama dalam bentuk putusan. c) Prosedur pengajuan permohonan dan proses pemeriksaan cerai talak agar dipedomani Pasal 66 s/d Pasal 72 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
216
1989 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 jo Pasal 14 s/d Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. d) Gugatan penguasaan anak dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak. e) Selama proses pemeriksaan cerai talak sebelum sidang
pembuktian,
istri
dapat
mengajukan
rekonvensi mengenai pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah dan harta bersama. f) Selama proses pemeriksaan cerai talak, suami dalam
permohonannya
dapat
mengajukan
permohonan provisi, demikian juga istri dalam gugatan
rekonvensinya
dapat
mengajukan
permohonan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. g) Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah atas suami untuk istrinya, sepanjang istrinya tidak terbukti berbuat
nusyuz,
dan
menetapkan kewajiban
mut’ah (ex Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 149 huruf a dan
217
Pasal 151 Kompilasi Hukum Islam). h) Dalam pemeriksaan cerai talak, Pengadilan Agama sedapat mungkin berupaya mengetahui jenis pekerjaan suami yang jelas dan pasti, dan mengetahui
perkiraan
pendapatan
rata-rata
perbulan untuk dijadikan dasar pertimbangan menetapkan
nafkah
anak,
mut’ah,
nafkah
madhiyah dan nafkah iddah. i) Agar memenuhi asas manfaat dan mudah dalam pelaksanaan putusan, penetapan mut’ah sebaiknya berupa benda bukan uang, misalkan rumah atau tanah atau benda lainnya, agar tidak menyulitkan dalam eksekusi. Atau mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da dukhul dan perceraian atas kehendak suami. Besarnya mutah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami (Pasal 158, 160 KHI). j) Dalam hal Termohon tidak hadir di persidangan dan perkara akan diputus verstek, Pengadilan harus melakukan kebenaran
sidang adanya
pembuktian alasan
mengenai
perceraian
yang
didalilkan oleh Pemohon. k) Untuk keseragaman, amar putusan cerai talak
218
berbunyi : ”Memberi
izin
kepada
pemohon
(nama.........bin.........) untuk menjatuhkan talak satu raj’i terhadap termohon (nama..... binti ....) di depan sidang Pengadilan Agama….. ”. l) Untuk
menghindari
terjadinya
talak
bid’i,
Pengadilan Agama sebaiknya menunda sidang ikrar talak, apabila si istri dalam keadaan haid, kecuali bila istri rela dijatuhi talak. m) Untuk keseragaman amar putusan cerai talak yang diajukan oleh suami yang riddah (keluar dari agama Islam) sebagaimana tersebut dalam huruf b) di atas berbunyi : ”Menjatuhkan talak satu bain shughra pemohon (nama.......bin.......)
terhadap
termohon
(nama.....binti.......)”.
9) Cerai Gugat. a) Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat. b) Prosedur pengajuan gugatan dan pemeriksaan cerai gugat agar dipedomani Pasal 73 s/d Pasal 86 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No.
219
3 Tahun 2006 jo. Pasal 14 s/d Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975. c) Gugatan hadhanah, nafkah anak, nafkah istri, mut’ah, nafkah iddah dan harta bersama suami istri, dapat diajukan bersama-sama dengan cerai gugat. d) Selama proses pemeriksaan cerai gugat sebelum sidang
pembuktian,
suami
dapat
mengajukan
rekonvensi mengenai penguasaan anak dan harta bersama. e) Dalam perkara cerai gugat, istri dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan provisi, begitu pula suami yang mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 PP No. 9 Tahun 1975. f) Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah terhadap suami, sepanjang istrinya tidak terbukti telah berbuat nusyuz (ex Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). g) Dalam pemeriksaan cerai gugat, Pengadilan Agama sedapat mungkin berupaya untuk mengetahui jenis pekerjaan dan pendidikan suami yang jelas dan pasti dan
mengetahui
perkiraan
pendapatan
rata-rata
perbulan, untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan nafkah madhiah, nafkah iddah dan nafkah
220
anak. h) Cerai gugat atas alasan taklik talak harus dibuat sejak awal bahwa perkara tersebut perkara gugat cerai atas alasan taklik talak, agar selaras dengan format laporan perkara. i) Dalam hal Tergugat tidak hadir di persidangan dan perkara akan diputus dengan verstek, Pengadilan harus melakukan sidang pembuktian mengenai kebenaran adanya alasan perceraian yang didalilkan oleh Penggugat. j) Untuk keseragaman, amar putusan cerai gugat, kecuali cerai gugat atas alasan taklik talak dan khuluk berbunyi :”Menjatuhkan talak satu ba’in shughra Tergugat (nama........ bin ........) terhadap Penggugat (nama........binti.........)”. k) Amar
putusan
cerai
gugat
atas
dasar
alasan
pelanggaran taklik talak berbunyi : ”Menetapkan jatuh talak satu khul’i Tergugat (nama.......bin.......) terhadap Penggugat
(nama........binti.........)
dengan
iwadh
sebesar Rp.......(...........tulis dengan huruf)”.
10) Harta Bersama. a) Gugatan harta bersama dapat digabungkan dengan perkara permohonan cerai talak dan cerai gugat atau
221
dalam bentuk gugatan rekonvensi dalam perkara permohonan cerai talak dan cerai gugat jika pihak pemohon atau Penggugat tidak menggabungkan gugatan harta bersama dengan permohonan cerai talak dan cerai gugat sebagaimana telah diuraikan dalam angka 8 huruf c, d dan e serta dalam angka 9 huruf c, d dan e. b) Gugatan pembagian harta bersama yang tidak dilakukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak dan cerai gugat, diajukan setelah terjadi perceraian. c) Gugatan harta bersama, dalam praktek peradilan ditemukan banyak kendala yang terkait dengan rahasia Bank apabila harta bersama tersebut berupa uang dalam rekening giro, tabungan atau deposito di Bank tertentu atas nama suami atau istri. Suami atau istri yang mendalilkan istrinya atau suaminya mempunyai rekening giro, tabungan atau deposito pada Bank tertentu akan mengalami kesulitan dalam pembuktian, karena yang dapat mengakses saldo rekening giro, tabungan dan deposito Bank tersebut hanya pihak suami atau istri yang memiliki rekening giro, tabungan atau deposito.
222
d) Pembuktian gugatan mengenai jumlah uang dalam rekening giro, tabungan atau deposito oleh pihak Penggugat (suami atau istri) cukup dengan fotocopy rekening giro, tabungan atau deposito sepanjang Tergugat (istri atau suami) tidak menyangkal isi fotocopy giro, tabungan atau deposito tersebut. e)
Jika Tergugat (suami atau istri) menyangkal isi rekening giro, tabungan atau deposito yang atas namanya, maka Tergugat (suami atau istri) harus membuktikan posisi saldo rekening giro, tabungan atau deposito atas nama yang bersangkutan berupa surat keterangan saldo terakhir dari Bank yang bersangkutan.
11) Talak Khuluk. a) Talak khuluk ialah gugatan dari istri untuk bercerai dari suaminya. Proses penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur cerai gugat . b) Untuk keseragaman, amar putusan talak khuluk berbunyi : ”Menjatuhkan
talak
satu
khul’i
Tergugat
(nama........bin.........) terhadap Penggugat (nama........ binti..........) dengan iwadh berupa uang sebesar Rp......... (.......tulis dengan huruf), dan atau dengan iwadh berupa rumah atau benda lainnya”. 223
12) Syiqaq. a) Dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian gugat cerai atas dasar alasan cekcok terus menerus ex Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ditambah Pasal 116 KHI, Pengadilan Agama harus memedomani Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dilakukan pembuktian saksi kemudian didengar keterangan keluarga atau orang dekat suami istri. Keterangan keluarga atau orang dekat dari suami dan istri bila difungsikan sebagai bukti, harus disumpah. b) Gugatan atas alasan syiqaq harus dibuat sejak awal bahwa perkara tersebut perkara syiqaq, bukan perubahan dari gugat cerai atas dasar cekcok terus menerus yang kemudian dijadikan perkara syiqaq. c) Pemeriksaan dan penyelesaian gugat cerai atas dasar syiqaq harus berpedoman pada Pasal 76 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yaitu memeriksa saksi-saksi dari keluarga atau orang-orang dekat dengan suami istri, setelah itu Pengadilan Agama mengangkat keluarga suami atau istri atau orang lain sebagai hakam. Hakam
224
melakukan musyawarah, hasilnya diserahkan kepada Pengadilan Agama sebagai dasar putusan. d) Hasil musyawarah hakam dapat dijadikan bukti awal oleh majelis hakim di dalam menjatuhkan putusan. e) Untuk keseragaman, amar putusan cerai dengan alasan syiqaq berbunyi : ”Menjatuhkan talak satu ba’in shughra Tergugat (nama.........bin
.......)
terhadap
Penggugat
(nama.......binti......)”.
13) Li’an. a) Pemeriksaan dan penyelesaian cerai gugat yang diajukan istri atas dasar alasan suami zina, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku pada gugat cerai biasa, yaitu dilakukan pembuktian dengan saksi atau sumpah pemutus, atau atas dasar putusan Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap bahwa suaminya melakukan tindak pidana zina. b) Pemeriksaan dan penyelesaian cerai talak yang diajukan suami atas dasar alasan istri berzina, dapat dilakukan berdasar hukum acara sebagaimana tersebut dalam huruf a di atas atau dengan cara li’an (ex Pasal 87, 88 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
225
1989 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006). c) Proses pemeriksaan cerai talak dengan li’an, setelah pemohon
dan
termohon
melakukan
jawab
menjawab, dilakukan proses pembuktian. Bila tidak diketemukan alat bukti yang diatur dalam Pasal 164 HIR jo Pasal 284 R.Bg selain bukti sumpah, Pengadilan Agama menanyakan suami apakah akan melakukan
sumpah
li’an.
Apabila
suami
menghendaki untuk mengucapkan sumpah li’an, maka Pengadilan Agama memerintahkan suami mengucapkan sumpah li’an sebanyak empat kali yang berbunyi : ”Demi Allah saya bersumpah bahwa istri saya telah berbuat zina”, dan setelah itu dilanjutkan dengan ucapan : ”Saya siap menerima laknat Allah bila saya berdusta”. Setelah suami disumpah, Pengadilan Agama menanyakan kepada istri apakah ia bersedia mengangkat sumpah nukul (sumpah balik), bila istri bersedia mengangkat sumpah nukul (sumpah balik), Pengadilan Agama memerintahkan istri untuk mengucapkan sumpah sebanyak empat kali yang berbunyi : ”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak berbuat zina”, dan setelah itu dilanjutkan dengan ucapan : ”Saya
226
siap
menerima
murka
Allah
apabila
saya
berdusta”. d) Untuk keseragaman, amar putusan cerai gugat atas dasar alasan zina berbunyi : ”Menjatuhkan talak satu ba’in shughra Tergugat (nama.........bin
........)
terhadap
Penggugat
(nama......binti......)”. e) Amar putusan cerai talak dengan alasan li’an berbunyi : ”Menjatuhkan
talak
ba’in
kubra
pemohon
(nama...................bin.................) terhadap termohon (nama ........binti.........)”. 14) Asal Usul Anak. a) Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah (Psl 42 UU No.1 1974 jo Psl 99 KHI). Sebaliknya anak yang tidak sah adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah atau lahir dalam perkawinan yang sah akan tetapi disangkal oleh suami dengan sebab li’an. b) Di samping pengingkaran anak sah dapat pula dilakukan perbuatan
hukum
sebaliknya,
yaitu
pengakuan anak dimana seseorang dapat mengakui seorang anak sebagai anaknya yang sah.
227
c) Pengadilan Agama, dalam proses penyangkalan dan pengakuan anak, harus memedomani hal-hal sebagai berikut : (1) Suami mengajukan gugatan penyangkalan anak kepada Pengadilan Agama dalam daerah dimana pihak Tergugat bertempat tinggal. (2) Proses pemeriksaan perkara penyangkalan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah dapat dilakukan dengan cara proses li’an. (3) Proses li’an dimaksud dalam angka (2) dapat dilakukan dalam hal sebagai berikut : (a) Jika anak lahir sebelum masa 180 hari sejak hari perkawinan dilangsungkan, kecuali anak tersebut hasil hubungan suami istri sebelum dilakukan perkawinan. (b) Jika suami dapat membuktikan bahwa anak yang berusia 180 hari atau lebih yang dikandung
istrinya,
atau
anak
yang
dilahirkan bukan anaknya yang sah, karena dia dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan
hubungan
biologis
dengan
istrinya. (4) Gugatan
penyangkalan
anak
yang
tidak
dilakukan dengan acara li’an, dilakukan dengan
228
pembuktian biasa. (5) Gugatan penyangkalan anak diajukan selambatlambatnya 2 bulan setelah anak dilahirkan, jika Penggugat bertempat tinggal dalam daerah dimana
anak
dilahirkan
atau
selambat-
lambatnya 2 bulan sejak diketahui kelahiran anak tersebut dalam hal Penggugat berada di luar daerah dimana anak tersebut dilahirkan atau dalam
hal
kelahiran
anak
tersebut
disembunyikan. (6) Pengakuan anak dapat diajukan secara voluntair dan dapat juga diajukan secara kontensius kepada Pengadilan Agama dalam daerah dimana anak atau wali anak bertempat tinggal. (7) Permohonan pengakuan anak yang tidak di bawah kekua-saan atau perwalian orang lain, bersifat volunter. (8) Permohonan pengakuan yang berada di bawah kekuasaan atau perwalian orang lain, bersifat kontensius. (9) Permohonan dan gugatan pengakuan anak selambat-lambatnya diajukan 6 bulan sejak anak tersebut ditemukan. (10) Amar putusan penyangkalan anak berbunyi :
229
”Menyatakan
anak
bernama.................,
umur/lahir............, bertempat tinggal di ..........., bukan anak sah dari Penggugat” (11) Amar permohonan pengakuan anak secara voluntair berbunyi : ”Menetapkan
anak
umur/lahir............, adalah
anak
bernama
bertempat
sah
dari
.........,
tinggal..........,
pemohon
nama
............bin/binti..............” (12) Amar putusan gugatan pengakuan anak secara kontensius berbunyi : (a) Menetapkan
anak
umur/lahir...., adalah
anak
bernama.......,
bertempat
tinggal........,
sah
Penggugat
nama..........bin/binti................. (b) Menghukum Tergugat untuk menyerahkan anak ter-sebut kepada Penggugat. (13) Pengadilan Agama paling lambat satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap mengirimkan salinan putusan tersebut kepada Kantor Catatan Sipil dalam daerah dimana anak tersebut bertempat tinggal untuk didaftarkan dalam buku daftar yang disediakan untuk itu.
230
15) Pemeliharaan dan Nafkah Anak. a) Nafkah anak merupakan kewajiban ayah, dalam keadaan ayah tidak mampu, ibu berkewajiban untuk memberi nafkah anak (Pasal 40 (a,b,c) UU No.1 Th.1974 ttg Perkawinan). Oleh karena nafkah anak merupakan kewajiban ayah dan ibu, maka nafkah lampau anak tidak dapat dituntut oleh istri sebagai hutang suami. Tegasnya tidak ada nafkah madhiyah untuk anak. b) Pemeliharaan
anak
pada
dasarnya
untuk
kepentingan anak, baik untuk pertumbuhan jasmani, rohani, kecerdasan intelektual dan agamanya. Oleh karenanya, ibu lebih layak dan lebih berhak untuk memelihara anak di bawah usia 12 tahun. c) Pemeliharaan anak yang belum berusia 12 tahun dapat dialihkan pada ayahnya, bila ibu dianggap tidak cakap, mengabaikan atau mempunyai perilaku
buruk
pertumbuhan
yang
jasmani,
akan rohani,
menghambat kecerdasan
intelektual dan agama si anak. d) Pengalihan pemeliharaan anak tersebut dalam huruf c di atas, harus didasarkan atas putusan Pengadilan 231
Agama
dengan
mengajukan
permohonan pencabutan kekuasaan orang tua, jika anak tersebut oleh Pengadilan Agama telah ditetapkan di bawah asuhan istri. e) Pencabutan kekuasaan orang tua dapat diajukan oleh orang tua yang lain, anak, keluarga dalam garis lurus ke atas, saudara kandung dan pejabat yang berwenang (jaksa). f) Untuk keseragaman, amar putusan permohonan pemeliharaan anak berbunyi : ”Menetapkan
anak
.........bin/binti................,
bernama
umur....tahun/tanggal
lahir...................... berada di bawah hadhanah ............”. g) Dalam hal hadhanah dimintakan pencabutan ke Pengadilan Agama, maka amarnya berbunyi : (1) Mencabut hak hadhanah dari termohon (nama......binti........)”. (2) Menetapkan bernama..........bin/binti..........berada
anak di
bawah hadhanah pemohon (nama............bin/ binti.........).
232
16) Perwalian. a) Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasan orang tua berada di bawah kekuasaan wali yang ditunjuk dengan wasiat oleh orang tua, sebelum orang tua anak tersebut meninggal, baik secara tertulis atau lisan yang disaksikan oleh dua orang saksi atau wali yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama karena kekuasaan kedua orang tua dicabut. b) Dalam
hal
wali
melalaikan
kewajibannya
terhadap anak, atau berkelakuan buruk sekali atau tidak cakap, keluarga dalam garis lurus ke atas, saudara kandung, pejabat/kejaksaan dapat mengajukan pencabutan kekuasaan wali secara kontensius kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana
wali
melaksanakan
kekuasaan wali. c) Gugatan pencabutan wali dapat digabung dengan permohonan penetapan wali pengganti serta gugatan ganti rugi terhadap wali yang dalam melaksanakan
kekuasan
wali
menyebabkan
kerugian terhadap harta benda anak di bawah perwalian (ex Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 54
233
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). d) Amar putusan pencabutan wali berbunyi : (1) Mencabut
hak perwalian
atas anak
nama...........bin/ binti ........., umur/lahir....... dari Tergugat (nama.......bin/binti..........). (2)
Menetapkan bin/binti..........,
anak
bernama
umur/lahir.....
di
...... bawah
perwalian ......... (nama...... bin/binti.........). (3) Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi
kepada
Penggugat
sebesar
Rp...........(.......tulis dengan huruf).
17) Pengangkatan Anak. a) Pengangkatan dibolehkan
anak bahkan
dalam
syariat
dianjurkan
Islam
sepanjang
motivasi pengangkatan anak tersebut untuk kepentingan dan kesejahteraan anak serta tidak bertentangan dengan hukum Islam. b) Permohonan pengangkatan anak oleh Warga Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam terhadap anak WNI yang beragama Islam merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Prosedur permohonan dan pemeriksaaannya harus dipedomani hal-hal sebagai berikut : 234
(1) Permohonan pengangkatan anak oleh WNI yang beragama Islam terhadap anak WNI yang
beragama Islam diajukan kepada
Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana anak tersebut bertempat tinggal (berada). (2) Permohonan
pengangkatan
anak
yang
diajukan oleh WNI yang beragama Islam terhadap anak WNI yang beragama Islam bersifat voluntair. (3) Prosedur
permohonan
pemeriksaan
pengangkatan anak harus berpedoman pada surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1979, Nomor 6 Tahun 1983 dan Nomor 3 Tahun 2005. (4) Permohonan
pengangkatan
anak
yang
dilakukan oleh WNI yang beragama Islam terhadap anak WNI yang beragama Islam dapat dikabulkan apabila terbukti memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
235
Kewarganegaraan
Republik
Indonesia, SEMA RI Nomor 2 Tahun 1979, Nomor 6 tahun 1983 dan Nomor 3 Tahun 2005. (5) Amar penetapan pengangkatan anak WNI yang beragama Islam oleh WNI yang beragama Islam berbunyi : Menetapkan: ”Menyatakan sah pengangkatan anak yang dilakukan
oleh
pemohon
bernama
......bin/binti......, alamat.........., terhadap anak laki-laki/perempuan bernama ...................... bin/binti......., umur..........”. (6) Salinan penetapan pengangkatan anak WNI yang beragama Islam oleh WNI yang beragama Islam dikirim kepada Departemen Sosial, Departemen Kehakiman cq. Dirjen Imigrasi, Departemen
Departemen Kesehatan,
Luar
Negeri, Kejaksaan,
Kepolisian dan Panitera Mahkamah Agung RI.
236
b. Hukum Kewarisan 1) Hukum terapan Peradilan Agama di bidang waris adalah hukum kewarisan KHI dan yurisprudensi yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits Nabi dan ijtihad. 2) Hukum kewarisan KHI memiliki beberapa asas sebagai berikut : a) Asas bilateral/parental, yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan dari segi keahliwarisan, sehingga tidak mengenal kerabat dzawil arham. Asas ini didasarkan atas : (1) Pasal 174 KHI tidak membedakan antara kakek, nenek dan paman baik dari pihak ayah atau dari pihak ibu. (2) Pasal 185 KHI mengatur ahli waris pengganti, sehingga cucu dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan/anak laki-laki dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu serta keturunan dari bibi adalah ahli waris. (3) Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia. b) Asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti. (1) Ahli waris langsung (eigen hoofde) adalah ahli waris yang disebut pada Pasal 174 KHI. (2) Ahli waris pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli waris yang diatur berdasarkan Pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan pada Pasal 174 KHI. Di antaranya keturunan dari anak laki-laki atau anak perempuan, keturunan dari saudara laki-
237
laki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek dan nenek, yaitu bibi dan keturunannya (paman walaupun keturunan kakek dan nenek bukan ahli waris pengganti karena paman sebagai ahli waris langsung yang disebut pada Pasal 174 KHI). c) Asas ijbari, maksudnya pada saat seseorang meninggal dunia, kerabatnya (atas pertalian darah dan pertalian perkawinan) langsung menjadi ahli waris, karena tidak ada hak bagi kerabat tersebut untuk menolak sebagai ahli waris atau berfikir lebih dahulu apakah akan menolak sebagai ahli waris atau menerima sebagai ahli waris. Asas ini berbeda dengan ketentuan dalam KUH Perdata yang menganut asas takhayyuri (pilihan) untuk menolak sebagai ahli waris atau menerima sebagai ahli waris (ex Pasal 1023 KUH Perdata). d) Asas individual, dimana harta warisan dapat dibagi kepada masing-masing ahli waris sesuai bagian masing-masing, kecuali dalam hal harta warisan berupa tanah kurang dari 2 ha (ex Pasal 189 KHI jo Pasal 89 Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Lahan tanah Pertanian), dan dalam hal para ahli waris bersepakat untuk tidak membagi harta warisan akan tetapi membentuk usaha bersama yang masing-masing memiliki saham sesuai dengan proporsi bagian warisan mereka. e) Asas keadilan berimbang, dimana perbandingan bagian laki-laki dengan bagian perempuan 2 : 1, kecuali dalam keadaan tertentu.
238
Perbedaan bagian laki-laki dengan perempuan tersebut adalah karena kewajiban laki-laki dan kewajiban perempuan dalam rumah tangga berbeda. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga mempunyai kewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya, sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga tidak mempunyai kewajiban menafkahi anggota keluarganya kecuali terhadap anak bilamana suami tidak memiliki kemampuan untuk itu. Mengenai bagian laki-laki dua kali bagian perempuan dapat disimpangi apabila para ahli waris sepakat membagi sama rata bagian laki-laki dan perempuan setelah mereka mengetahui bagian masing-masing yang sebenarnya menurut hukum. f) Asas waris karena kematian, maksudnya terjadinya peralihan hak kebendaan dari seseorang kepada kerabatnya secara waris mewaris berlaku setelah orang tersebut meninggal dunia. g) Asas hubungan darah yakni hubungan darah akibat perkawinan sah, perkawinan subhat dan atas pengakuan anak (asas fiqh Islam). h) Asas wasiat wajibah, maksudnya anak angkat dan ayah angkat secara timbal balik dapat melakukan wasiat tentang harta masing-masing, bila tidak ada wasiat dari anak angkat kepada ayah angkat atau sebaliknya, maka ayah angkat dan/atau anak angkat dapat diberi wasiat wajibah oleh Pengadilan Agama secara ex officio sebanyak-banyaknya 1/3 bagian (ex Pasal 209 KHI).
239
i) Asas egaliter, maksudnya kerabat karena hubungan darah yang memeluk agama selain Islam mendapat wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 bagian, dan tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengannya (Yurisprudensi). j) Asas Retroaktif Terbatas, Kompilasi Hukum Islam tidak berlaku surut dalam arti apabila harta warisan telah dibagi secara riil (bukan hanya pembagian di atas kertas) sebelum KHI diberlakukan, maka keluarga yang mempunyai hubungan darah karena ahli waris pengganti tidak dapat mengajukan gugatan waris. Jika harta warisan belum dibagi secara riil, maka terhadap kasus waris yang pewarisnya meninggal dunia sebelum Kompilasi Hukum Islam lahir, dengan sendirinya Kompilasi Hukum Islam berlaku surut. 3) Hibah dan wasiat kepada ahli waris diperhitungkan sebagai warisan (ex Pasal 210 KHI). 4) Kompilasi Hukum Islam mengelompokkan ahli waris dari segi cara pembagiannya dalam tiga kelompok sebagai berikut : (a) Kelompok ahli waris dzawil furud, yaitu : (1) Ayah mendapat 1/6 bagian bila pewaris meninggalkan anak keturunan, mendapat ashobah bila pewaris tidak meninggalkan anak/keturunan (ex Pasal 177 KHI jo SEMARI Nomor 2 Tahun 1994). (2) Ibu mendapat 1/6 bagian bila pewaris mempunyai anak/ keturunan, atau pewaris mempunyai dua orang atau lebih 240
saudara (sekandung, seayah, seibu) mendapat 1/3 jika pewaris tidak meninggalkan anak/keturunan atau pewaris meninggalkan satu orang saudara (sekandung, seayah, seibu). (3) Duda mendapat ¼ bagian bila pewaris meninggalkan anak/ keturunan, mendapat 1/2 bila pewaris tidak meninggalkan anak/ keturunan. (4) Janda mendapat 1/8 bagian bila pewaris meninggalkan anak/keturunan,
mendapat
1/4
bila
pewaris
tidak
meninggalkan anak/ keturunan. (5) Seorang anak perempuan mendapat 1/2 bagian, dua orang atau lebih anak perempuan mendapat 2/3 bagian, bila tidak ada anak laki-laki atau keturunan dari anak laki-laki. (6) Seorang
saudara
perempuan
atau
laki-laki
(baik
sekandung, seayah dan seibu) mendapat 1/6 bagian, apabila terdapat dua orang atau lebih saudara (sekandung, seayah dan seibu) mendapat 1/3 bagian, jika saudara (sekandung, seayah dan seibu) mewaris bersama ibu pewaris (yurisprudensi). (7) Seorang saudara perempuan (sekandung, seayah dan seibu) mendapat 1/2 bagian, dua orang atau lebih saudara perempuan sekandung atau seayah mendapat 2/3 bagian, jika saudara perempuan tersebut mewaris tidak bersama ayah dan tidak ada saudara laki-laki atau keturunan laki-
241
laki dari saudara laki-laki. (b) Kelompok ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya (1) Anak laki-laki dan keturunannya. (2) Anak perempuan dan keturunannya bila mewaris bersama anak laki-laki. (3) Saudara laki-laki bersama saudara perempuan bila pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah. (4) Kakek dan nenek. (5) Paman dan bibi baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu dan keturunannya. (c) Kelompok ahli waris yang mendapat bagian sebagai ahli waris pengganti (1)
Keturunan
dari
anak
mewarisi
bagian
yang
digantikannya. (2) Keturunan dari saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah dan seibu) mewarisi bagian yang digantikannya. (3) Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah, masing-masing berbagi sama. (4) Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu, masing-masing berbagi sama. (5) Paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi bagian dari ayah apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ayah.
242
(6) Paman dan bibi dari pihak ibu beserta keturunannya mewarisi bagian dari ibu apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ibu. 5) Prinsip-prinsip Hijab Mahjub menurut KHI dan yurisprudensi a) Anak laki-laki maupun perempuan serta keturunannya menghijab
saudara
(sekandung,
seayah,
seibu)
dan
keturunannya, paman dan bibi dari pihak ayah dan ibu serta keturunannya. b) Ayah menghijab saudara dan keturunannya kakek dan nenek yang melahirkannya beserta paman/bibi pihak ayah dan keturunannya. c) Ibu menghijab kakek dan nenek yang melahirkannya beserta paman/bibi pihak ibu dan keturunannya. d) Saudara (sekandung, seayah, seibu) dan keturunannya menghijab paman dan bibi pihak ayah dan ibu serta keturunannya. 6) Kompilasi Hukum Islam membedakan saudara seibu dari saudara seayah dan sekandung (ex Pasal 181 dan 182 KHI), dalam perkembangannya yurisprudensi MARI menyamakan kedudukan saudara seibu dengan saudara sekandung dengan saudara seayah, mereka mendapat ashabah secara bersama-sama dengan ketentuan saudara laki-laki mendapat dua kali bagian saudara perempuan. 7)
Berdasarkan prinsip dan asas kewarisan tersebut di atas, derajat kelompok ahli waris memiliki tingkatan sebagai berikut :
243
a) Kelompok derajat pertama : suami/isteri, anak dan/atau keturunannya, ayah dan ibu. b) Kelompok derajat kedua : suami/isteri,
anak
dan/atau
keturunannya, kakek dan nenek baik dari pihak ayah maupun dari ibu. c) Kelompok derajat ketiga : suami/isteri, saudara (sekandung, seayah, seibu) dan/atau keturunannya, kakek dan nenek dari pihak ayah dan pihak ibu. d) Kelompok derajat keempat : suami/isteri, paman/bibi dan/atau keturunannya. 8) Untuk memudahkan pemahaman bagi para pihak, amar putusan mengenai pembagian waris sebaiknya berbentuk prosentase. 9) Untuk
memudahkan
perhitungan
pembagian
waris
dapat
mempedomani prinsip-prinsip sebagai berikut : a) Mendahulukan ahli waris sesuai kelompok derajatnya yang dirumuskan dalam angka 4) di atas. b) Menerapkan prinsip hijab mahjub tersebut dalam angka 5 (lima) di atas. c) Perbandingan
bagian
anak
laki-laki
dengan
anak
perempuan, bagian saudara laki-laki dengan saudara perempuan, bagian paman berbanding bagian bibi adalah 2 : 1. d) Ahli waris pengganti mewarisi bagian yang digantikannya dengan ketentuan tidak melebihi bagian ahli waris yang
244
sederajat dengan ahli waris yang diganti. Bila ahli waris pengganti terdiri dari laki-laki dan perempuan, laki-laki mendapat bagian dua kali bagian perempuan. e) Bagian ahli waris dzawil furud dibagi terlebih dahulu dari ahli waris ashabah. f) Sisa pembagian dari ahli waris dzawil furud untuk ahli waris ashabah, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. g) Jika ahli waris terdiri dari dzawil furud dan jumlah bagian ahli waris melebihi nilai 1 (satu), maka dilakukan aul. h) Jika ahli waris terdiri dari dzawil furud dan jumlah bagian ahli waris kurang dari nilai 1 (satu), maka dilakukan rad. Rad tidak berlaku untuk janda dan duda. 10) Contoh-contoh bagian waris sesuai derajat kelompok ahli waris a) Ahli waris terdiri dari duda, anak dan/atau keturunannya, ayah dan ibu. Duda memperoleh ¼ , ayah 1/6, ibu 1/6, anak dan/atau keturunannya memperoleh sisa, jika anak hanya terdiri dari anak perempuan dan keturunan dari anak perempuan yang lain, dan diperlukan rad atau aul, maka dilakukan rad atau aul. b) Ahli waris terdiri dari janda, anak dan/atau keturunannya, ayah dan ibu. Janda memperoleh 1/8, ayah 1/6, ibu 1/6, anak dan/atau keturunannya memperoleh sisa, jika anak hanya terdiri dari anak perempuan dan keturunan anak perempuan
245
lainnya, dan diperlukan rad atau aul, maka dilakukan rad atau aul. c) Ahli waris terdiri dari duda, ayah dan ibu. Duda memperoleh ½ , ibu 1/3, ayah ashobah, karena bagian waris lebih dari nilai 1 (satu), maka dilakukan aul. d)
Ahli waris terdiri dari janda, ayah dan ibu. Janda memperoleh ¼, ibu 1/3, ayah ashobah, sisanya di rad kepada ayah dan ibu berbagi sama.
e) Ahli waris terdiri dari suami/isteri, ibu dan seorang saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu). Janda memperoleh ¼ atau jika duda ia memperoleh ½ , ibu 1/3 dan seorang saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu) memperoleh 1/6 bagian. Jika jumlah bagian lebih dari nilai 1 (satu), maka harus dilakukan aul dan jika jumlah bagian kurang dari satu, maka harus dilakukan rad. f) Ahli waris terdiri dari suami/isteri, ibu dan dua orang atau lebih saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu). Janda memperoleh ¼ atau jika duda ia memperoleh ½ , ibu 1/6 dan dua orang atau lebih saudara perempuan (sekandung, seayah atau seibu) memperoleh 1/3 bagian. Jika jumlah bagian lebih dari nilai 1 (satu), maka harus dilakukan aul, jika jumlah bagian lebih kecil dari satu dilakukan rad.
246
g) Ahli waris terdiri dari suami/isteri, kakek dan nenek pihak ayah, kakek dan nenek pihak ayah mendapat bagian dari ayah, kakek nenek dari pihak ibu mendapat bagian dari pihak ibu. h) Ahli waris terdiri dari suami/isteri, kakek dan nenek dari pihak ayah mendapat bagian dari pihak ayah dan kakek nenek dari pihak ibu mendapat bagian dari pihak ibu. i) Ahli waris terdiri dari suami/isteri, paman/bibi pihak ayah dan ibu dan/atau keturunannya. Suami/isteri memperoleh ¼ atau jika duda ia memperoleh ½, paman/bibi dari pihak ayah dan/atau paman/bibi
keturunannya dari
pihak
memperoleh ibu
dan/atau
bagian
ayah,
keturunannya
memperoleh bagian ibu. 11)
Pembagian harta warisan yang ahli warisnya sudah bertingkattingkat akibat berlarut-larutnya harta warisan tidak dibagi, harus dilakukan pembagian secara jelas ahli waris dan harta warisannya dalam setiap tingkatan. Contoh : A (suami) dan B (istri) memiliki anak C, D (laki-laki) dan E (perempuan). A meninggal dunia tahun 1955. B meninggal dunia tahun 1960. D meninggal dunia tahun 1975 dengan meninggalkan 3 orang anak F,G (laki-laki) dan H (perempuan). Pembagian warisnya : Ahli waris A adalah B, C, D dan E. Ahli waris B adalah C, D dan E. Ahli waris D adalah F, G (laki-laki)
247
dan H (perempuan). Maka amar putusannya harus berbunyi sebagai berikut : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya/sebagian. 2. Menetapkan ahli waris A adalah B, C, D dan E. 3. Menetapkan harta warisan A adalah X 4. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris A adalah sebagai berikut : 4.1. B memperoleh 1/8 x X. 4.2. C memperoleh 2/5 x X. 4.3. D memperoleh 2/5 x X. 4.4. E memperoleh 1/5 x X. 5. Menetapkan ahli waris B adalah C, D dan E. 6. Menetapkan harta warisan B adalah Y. 7. Menetapkan bagian ahli waris B adalah sebagai berikut : 7.1. C memperoleh 2/5 x Y. 7.2. D memperoleh 2/5 x Y. 7.3. E memperoleh 1/5 x Y. 8. Menetapkan ahli waris D adalah F, G dan H. 9. Menetapkan harta warisan D adalah N 10. Menetapkan bagian ahli waris D adalah sebagai berikut : 10.1. F memperoleh 2/5 x N. 10.2. G memperoleh 2/5 x N. 10.3. H memperoleh 1/5 x N. 11. Memerintahkan Tergugat ........dst.
248
c. Wasiat dan Hibah. 1)
Wasiat
dan hibah merupakah perbuatan hukum seseorang
untuk mengalihkan harta benda miliknya kepada orang lain atas dasar tabarru (berbuat baik). Wasiat dan hibah termasuk bentuk perikatan, dalam pelaksanaannya bisa terjadi tidak memenuhi syarat-syarat perikatan, atau perikatan tersebut melanggar undang-undang. 2)
Lembaga-lembaga adat yang bentuknya memindahkan hak dari pemilik harta kepada pihak anaknya atau pihak lain tetap berlaku dan tidak tunduk kepada ketentuan hukum wasiat dan hibah (Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam).
3) Dalam hal terjadi sengketa wasiat dan hibah, baik disebabkan oleh karena wasiat dan hibah tersebut tidak memenuhi syarat suatu perikatan atau melanggar undang-undang, maka Pengadilan Agama dapat mempedomani beberapa petunjuk sebagaimana diuraikan di bawah ini : a) Gugatan pembatalan maupun pengesahan hibah dan wasiat diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah dimana pihak Tergugat atau salah satu Tergugat bertempat tinggal (untuk wilayah Jawa dan Madura), dan kepada Pengadilan Agama dalam daerah dimana objek sengketa benda tetap berada atau di tempat Tergugat, bila objek sengketa
249
berupa benda bergerak (untuk wilayah luar Jawa dan Madura). b) Gugatan pembatalan hibah dan wasiat maupun pengesahan hibah dan wasiat harus berbentuk kontensius. c) Ahli waris atau pihak yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan pembatalan hibah dan wasiat, bila hibah melebihi 1/3 harta benda pemberi wasiat atau pemberi hibah.
d. Wakaf. 1)
Wakaf
dalam
masyarakat
Islam
merupakan pranata
keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi, kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum. Lembaga wakaf telah lama hidup dan dilaksanakan di tengah kehidupan masyarakat. 2) Wakaf terdiri dari wakaf benda tidak bergerak (yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf jo Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977) dan wakaf benda bergerak (wakaf tunai) berupa uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan bermotor dan hak-hak kebendaan lainnya sesuai dengan ketentuan syari’ah dalam perundang-undangan yang berlaku (Pasal 16 dan 28 UndangUndang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).
250
3) Benda-benda
wakaf
sering dijumpai tidak terurus,
pemanfaatannya tidak sesuai dengan tujuan dan peruntukan bahkan tidak jarang benda wakaf dialihkan kepada pihak lain oleh pengurus wakaf (nadzir) tanpa prosedur hukum, dan bahkan dikuasai oleh pihak lain secara melawan hukum untuk kepentingan pribadi atau golongan. Peristiwa-peristiwa penyelewengan hukum atas benda wakaf itu tidak terlepas dari
lemahnya
perangkat
hukum
yang
ada
sebelum
diundangkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, bahkan tidak kalah pentingnya adalah akibat
subjek
hukumnya yang tidak bertanggung jawab. 4) Sengketa mengenai wakaf dapat terjadi dalam berbagai bentuk antara para pihak sebagai berikut : a) Antara ahli waris wakif atau orang yang berkepentingan dengan nadzir yang mengelola harta wakaf, dalam sengketa mengenai sah tidaknya wakaf. b) Antara
si
wakif
dengan
pengelolaan harta wakaf,
nadzir
dimana
dalam nadzir
sengketa melakukan
penyimpangan hukum, baik dari segi peruntukannya atau karena pengalihan harta wakaf kepada pihak lain. c) Antara nadzir dan wakif atau keluarga wakif dalam hal wakif/keluarga wakif yang menguasai kembali harta wakaf. d) Antara masyarakat dengan nadzir, karena nadzir dalam
251
pengelolaan harta wakaf melakukan penyimpangan hukum, baik dari segi peruntukan atau pengalihan harta wakaf kepada pihak lain. e) Antara para nadzir karena sengketa kewenangan nadzir, mengenai siapa yang berhak mengelola harta wakaf. f) Antara nadzir dengan Badan Wakaf Indonesia, dalam hal sengketa sah tidaknya surat keputusan Badan Wakaf Indonesia tentang penggantian nadzir. g) Antara nadzir dengan pengawas wakaf. h) Gugatan sengketa wakaf tersebut dalam huruf d) dapat diajukan oleh perorangan atau oleh kelompok (class action). 5) Pengadilan Agama dalam memeriksa sengketa wakaf harus berupaya seteliti mungkin memetakan fakta-fakta peristiwa maupun fakta-fakta hukum secara kronologis dan dalam pembuktian tidak hanya sekedar menilai bukti formil, akan tetapi berupaya untuk menemukan bukti kebenaran materil, agar kepentingan umum tidak dirugikan oleh kepentingan perseorangan atau kelompok tertentu.
252
e.
Ekonomi Syariah. 1) Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah. 2) Prinsip dasar syariah yang membedakan ekonomi syariah dari ekonomi konvensional adalah ridha (kebebasan berkontrak), ta’awun, bebas riba, bebas gharar, bebas Tadlis, bebas maisir, objek yang halal dan amanah. 3) Ekonomi syariah antara lain meliputi Bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga syariah dan bisnis syariah. 4) Sengketa ekonomi syari’ah dapat terjadi antara : a)
Para
pihak
yang
bertransaksi
mengenai
gugatan
wanprestasi, gugatan pembatalan transaksi. b) Pihak ketiga dengan para pihak yang bertransaksi mengenai pembatalan transaksi, pembatalan akta hak tanggungan, perlawanan sita jaminan dan/atau sita eksekusi serta pembatalan lelang. 5) Pengadilan Agama dalam memeriksa sengketa ekonomi syari’ah harus meneliti akta akad (transaksi) yang dibuat oleh para pihak, jika dalam akta akad (transaksi) tersebut memuat
253
klausul yang berisi bahwa bila terjadi sengketa akan memilih diselesaikan
oleh
Badan
Arbitrase
Syari’ah
Nasional
(Basyarnas), maka Pengadilan Agama secara ex officio harus menyatakan tidak berwenang.
f. Zakat, Infaq dan Shadaqah. 1) Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. 2) Infaq dan shadaqah adalah pemberian harta dari seseorang yang beragama Islam, badan hukum atau lembaga sosial Islam kepada
mustahik
guna
kepentingan
tertentu
dengan
mengharapkan ridha Allah. 3) Sengketa zakat, infaq dan shadaqah dimungkinkan antara lain: a) Orang-orang yang berzakat, berinfaq dan bershadaqah dengan Badan Amil Zakat. b) Pejabat yang berwenang mengawasi Zakat Infak dan Shadaqah dengan Badan Amil Zakat. c) Mustahik dengan Badan Amil Zakat. d) Pihak-pihak yang berkepentingan dengan Badan Amil Zakat dalam hal diketahui adanya penyalahgunaan harta Zakat Infak dan Shadaqah oleh Badan Amil Zakat. Dalam kasus terakhir ini dimungkinkan adanya class action.
254
g. Sengketa Kewenangan Mengadili. 1) Sengketa kewenangan mengadili antara Peradilan Agama dengan Peradilan lainnya dimungkinkan terjadi, bila salah satu pihak mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dan pihak lainnya mengajukan ke pengadilan di luar lingkungan Peradilan Agama. 2) Pengadilan Agama, dalam hal terjadi sengketa kewenangan mengadili dengan lingkungan pengadilan lainnya, harus menghentikan pemeriksaan perkara yang bersangkutan, untuk melakukan upaya penyelesaian sengketa kewenangan mengadili kepada Mahkamah Agung. 3) Pengadilan Agama selanjutnya melakukan pemberitahuan kepada lingkungan peradilan lain yang terkait persentuhan kewenangan
mengadili,
bahwa
dalam
kasus
yang
ditanganinya terjadi sengketa kewenangan. 4)
Proses
pengajuan
permohonan
sengketa
kewenangan
mengadili dapat dilakukan oleh pihak berperkara atau oleh Pengadilan Agama. 5)
Proses
pengajuan
permohonan
sengketa
kewenangan
mengadili yang diajukan oleh pihak berperkara harus memenuhi syarat sebagai berikut: a) Pemohon membayar biaya perkara sengketa kewenangan mengadili sejumlah biaya perkara kasasi yang berlaku dan 255
dikirim melalui rekening biaya perkara Mahkamah Agung. b) Pengadilan Agama membuat akta permohonan sengketa kewenangan mengadili dan mendaftarkannya dalam register permohonan sengketa kewenangan mengadili. c) Pemohon harus membuat alasan permohonan sengketa kewenangan mengadili dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal
pembuatan
akta
permohonan
sengketa
kewenangan. d) Pengadilan Agama menghentikan pemeriksaan perkara tersebut
dengan
putusan
sela
setelah
menerima
permohonan sengketa kewenangan mengadili dari pihak berperkara . e) Pengadilan Agama menyampaikan pemberitahuan kepada badan peradilan lain yang terkait tentang adanya sengketa kewenangan mengadili dalam perkara tersebut. f) Pengadilan Agama mengirimkan berkas perkara sengketa kewenangan mengadili
ke Mahkamah Agung
yang
terdiri dari : -
Akta permohonan sengketa kewenangan mengadili dan alasan-alasannya.
-
Surat pemberitahuan akta permohonan sengketa kewenangan mengadili dan alasannya kepada badan peradilan lainnya yang terkait.
256
-
Berkas perkara (Bundel A) Pengadilan Agama.
-
Bukti pengiriman biaya perkara sengketa kewenangan mengadili.
g) Pihak
lawan berhak
mengajukan jawaban disertai
pendapat dan alasan-alasannya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah menerima salinan permohonan sengketa kewenangan mengadili melalui Pengadilan Agama. h) Pengadilan Agama mengirimkan jawaban serta alasanalasan permohonan sengketa kewenangan mengadili ke Mahkamah Agung 6) Jika permohonan sengketa kewenangan mengadili diajukan oleh Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama harus melakukan hal-hal sebagai berikut : a) Membuat
akta
mengadili
permohonan
disertai
sengketa
kewenangan
alasan-alasannya,
selanjutnya
mengirimkan salinan akta permohonan tersebut kepada lingkungan
pengadilan
lain
yang
terkait
sebagai
pemberitahuan. b) Mengirimkan berkas perkara permohonan sengketa kewenangan
mengadili
kepada
Mahkamah
Agung,
berisikan : -
Akta dan alasan permohonan sengketa kewenangan mengadili.
257
-
Surat pemberitahuan adanya sengketa kewenangan mengadili dan alasannya kepada badan peradilan lainnya yang terkait.
-
Berkas perkara (bundel A) Pengadilan Agama.
-
Tanpa biaya perkara.
h. Itsbat Rukyat Hilal. 1) Pemohon (Kantor Departemen Agama) mengajukan permohonan
itsbat
kesaksian
rukyat
hilal
kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat pelaksanaan rukyat hilal. 2) Panitera atau petugas yang ditunjuk mencatat permohonan tersebut dalam register khusus untuk itu. 3) Sidang itsbat rukyat hilal dilaksanakan ditempat rukyat hilal (sidang ditempat), dilakukan dengan cepat dan sederhana, sesuai dengan kondisi setempat. 4) Ketua Pengadilan menunjuk hakim majelis atau hakim tunggal untuk menyidangkan permohonan tersebut. (Sesuai Penetapan MARI Nomor : KMA/095/X/2006). 5) Hakim yang bertugas harus
menyaksikan kegiatan
pelaksanaan rukyat hilal. 6) Pelaksanaan rukyat hilal harus sesuai dengan data yang diterbitkan oleh Badan Hisab rukyat (BHR) Departemen Agama RI.
258
7) Setelah hakim memeriksa orang yang melihat hilal dan berpendapat bahwa kesaksiannya memenuhi syarat, maka hakim tersebut memerintahkan orang tersebut untuk mengucapkan sumpah dengan lafaz sebagai berikut : ”Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, demi Allah saya bersumpah bahwa saya telah melihat hilal awal bulan ......tahun ini”. Selanjutnya hakim menetapkan/mengitsbatkan kesaksian rukyat hilal tersebut. 8) Semua biaya yang timbul akibat permohonan tersebut dibebankan kepada anggaran negara/DIPA. 9)
Penetapan/itsbat
kesaksian
rukyat hilal tersebut
diserahkan kepada penanggung jawab rukyat hilal (Kantor Departemen Agama setempat). 10) Demi kelancaran kegiatan tersebut Pengadilan Agama agar berkoordinasi
dengan
Kantor
Departemen
Agama
setempat dan panitera atau petugas yang ditunjuk agar mempersiapkan penyelenggaraan
semua
yang
persidangan
diperlukan seperti
dalam formulir
permohonan, berita acara, penetapan, al-Qur’an dan keperluan lainnya yang terkait dengan kegiatan tersebut.
259
Lampiran :1
BERITA ACARA TENTANG PERNYATAAN KESEDIAAN UNTUK MEMBAYAR ( Pasal 1405 KUHPerdata )
BERITA ACARA No. …. /Pdt.P/2007/PA. ….
Pada hari ini,……….….tanggal………………atas permintaan dari…………, bertempat tinggal di……………….., saya…………………, Jurusita Pengadilan Agama………………..dengan disertai 2 ( dua ) orang saksi yaitu : 1). …………….. dan 2). ………………………, keduanya bertempat tinggal di …………….., berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Agama ……………….. No. ………………. tanggal ………… , telah melakukan exploit ( penawaran pembayaran ) kepada B, bertempat tinggal di ……./ di tempat kediamannya, di sana saya bertemu dengan ia sendiri, hendak menawarkan / menyerahkan uang sejumlah Rp. ……………………. yang terdiri dari uang kertas …………Rp. …………………, uang kertas………….. Rp. ……….. (dst.). Atas hal tersebut B menjawab sebagai berikut : …………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………… Oleh karena B menolak untuk menerima uang sebanyak Rp ……………. yang hendak diserahkan tersebut, maka saya, Jurusita tersebut, di hadapan saksi-saksi telah membuat berita acara ini, yang saya dan saksi-saksi tandatangani, baik asli maupun salinannya. Saya telah memperingatkan pula segala segala akibat dari penolakan pembayaran tersebut kepada B, begitu pula mengenai biaya eksploit ini. Salinan berita acara ini telah saya serahkan kepada B.
260
Demikianlah dibuat berita acara ini yang ditandatangani oleh saya, Jurusita dan saksi-saksi tersebut serta berpiutang B.
Berpiutang,
Jurusita tersebut,
.........................
…………………….
Saksi-saksi,
1. ……………………
2. ……………………
261
Lampiran :2
BERITA ACARA PEMBERITAHUAN AKAN DILAKUKAN PENYIMPANAN / KONSIGNASI DI KAS KEPANITERAAN
BERITA ACARA No. .../Pdt.P/2007/PA. ….
Pada hari ini, …… tanggal …………….. atas permintaan A , bertempat tinggal di ……………., saya X , Jurusita Pengadilan Agama …………….telah melakukan eksploit ( penawaran pembayaran ) kepada B , bertempat tinggal di …………………./ di tempat kediamannya dan berbicara dengan B sendiri serta memberitahukan bahwa oleh karena B menurut berita acara tanggal ………………….( Formulir 1 ) telah menolak untuk menerima dari saya X , Jurusita, di hadapan saksi-saksi tersebut, uang sejumlah Rp. ……………… yang hendak diserahkan atas nama A tersebut untuk melunasi piutang yang disebutkan dalam berita acara tersebut . A tersebut hendak menitipkan uang sejumlah Rp. …………… pada hari ………….. tanggal….. ….. jam …………. ke kas Kepaniteraan Pengadilan Agama ………….. untuk disimpan dalam kas penyimpanan sebagai uang konsignasi. Selanjutnya saya memerintahkan kepada B tersebut untuk datang menghadap pada hari, tanggal, jam dan tempat tersebut diatas untuk menerima uang itu ataupun untuk menghadiri penyimpanan / konsignasi uang tersebut. Salinan berita acara ini telah saya serahkan kepada B tersebut.
262
Demikianlah dibuat berita acara ini yang ditandatangani oleh saya, Jurusita dan saksi-saksi tersebut serta berpiutang B.
Berpiutang,
Jurusita,
..............................
.........................
Saksi-saksi :
1. ……………………
2. ……………………
263
Lampiran :3 BERITA ACARA PENYIMPANAN / KONSIGNASI BERITA - ACARA No. ……./Pdt.P/ 2007 / PA …….. Pada hari ini……… tanggal……… jam …………. Atas permintaan dar A , bertempat tinggal di …………….., saya X , Jurusita Pengadilan Agama………… bersama-sama dengan 2 (dua) orang saksi yaitu : 1). ……………………. Dan 2). …………………., keduanya bertempat tinggal di ……………. Telah menghadap Panitera Pengadilan Agama ………………… Telah hadir pula B ( kalau hadir ) …………, bertempat tinggal di …………... Kepada Panitera Pengadilan Agama ……………, atas permintaan A tersebut untuk melunasi utangnya kepada B , telah saya serahkan uang sejumlah Rp. …………….., yang terdiri dari : - uang kertas pecahan Rp. …… sebanyak …… (………) lembar, - uang kertas pecahan Rp. …sebanyak ……..( ….…..) lembar, yang telah ditolak lagi oleh B . Uang sejumlah Rp. ………………. (………………………), saya X Jurusita serahkan kepada ……………Panitera Pengadilan Agama …………..untuk disimpan sebagai uang titipan / konsignasi . Demikian dibuat berita acara konsignasi ini dengan disaksikan oleh saksisaksi tersebut serta ditanda-tangani baik asli maupun salinannya, oleh Jurusita, Panitera Pengadilan Agama ………….dan salinan berita acara ini telah diserahkan kepada B . Panitera,
Jurusita,
...............................
................................ Saksi-saksi : 1.………………. 2……………….
264
Lampiran : 4 Putusan sela penggabungan pihak ketiga (voeging) Berita acara (lanjutan) Persidangan Pengadilan Agama di ................................... yang mengadili perkara perdata yang dilangsungkan pada hari ............ tanggal ...................... dalam perkara antara : 1. Bila intervensi memihak kepada penggugat : Penggugat menjadi Tergugat I Pihak ketiga menjadi Penggugat II
Melawan Tergugat (tergugat asal) Dapat juga dalam hal pihak ketiga bergabung dengan penggugat, maka posisi pihak berperkara akan berubah : Posisi perkara semula : Penggugat melawan Tergugat, berubah menjadi : Penggugat dan Pihak Ketiga melawan Tergugat
Dalam hal Pihak Ketiga bergabung dengan tergugat, maka posisi pihak yang berperkara akan berubah. Posisi perkara semula : 265
Penggugat melawan Tergugat, berubah menjadi: Penggugat melawan Tergugat dan Pihak Ketiga 2. Bila intervensi memihak kepada tergugat : Penggugat asal
Melawan Tergugat menjadi tergugat I pihak ketiga menjadi Tergugat II
Susunan persidangan : Sama dengan susunan persidangan yang lalu Sesudah persidangan dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, maka dipanggil masuk kedua pihak berperkara dan pihak ketiga yang akan bergabung, agar memasuki ruang persidangan pengadilan. Atas perntanyaan Ketua, para pihak berperkara pada pokoknya tetap berpeganga pada apa yang mereka utarakan di dalam persidangan yang lalu. Pengadilan menjelaskan bahwa dalam persidangan yang lalu, telah menghadap pihak ketiga yang bernama XX mengaku bertempat tinggal di ... , kecamatan ..., kabupaten ..., yang dilengkapi dengan identitas kartu tanda penduduk, yang ternyata oleh oleh para pihak, XX telah dikenal, mengajukan tuntutan agar diperkenankan bergabung sebagai pihak ketiga untuk menyertai tergugat (bisa juga bergabung untuk menyertai penggugat) dengan menyatakan pihak ketiga tersebut sangat berkepentingan dengan objek yang dipersengketakan. Pihak ketiga tersebut membenarkan apa yang dikemukakan oleh pengadilan, dan memohon agar segera ditetapkan sebagai pihak dalam perkara di antara kedua belah pihak berperkara. Atas pertanyaan ketua para pihak berperkara menyatakan tidak keberatan, dan karenanya setelah pengadilan bermusyawarah menjatuhkan putusan sela sebagai berikut : 266
PUTUSAN SELA Nomor: ....../Pdt/20../....... BISMILLAHIRRAHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama di ........., dalam persidangan majelis untuk mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara : A. ................., Umur ...., tahun ...., Agama Islam, Pekerjaan ........., bertempat tinggal di ........, Kecamatan ......., Kota/Kabupaten .........., untuk selanjutnya disebut Penggugat/Tergugat I Melawan B. ..............., umur ....., tahun....., Agama Islam, Pekerjaan ........., bertempat tinggal di ........, Kecamatan ......., Kota/Kabupaten .........., untuk selanjutnya disebut Tergugat (tergugat asal)
Pengadilan Agama tersebut; Telah mendengar persetujuan kedua belah pihak untuk berdamai; Telah memperhatikan pula Pasal 130 HIR/154 RBG; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Bahwa penggugat dengan surat gugatnya tertanggal ............. dan terdaftar dengan nomor ...../Pdt/......., telah mengajukan gugatan yang berbunyi sebagai berikut : Selanjutnya salin gugatan penggugat secara lengkap 267
Bahwa, atas gugatan penggugat sebagai tersebut di atas, tergugat dalam jawabannya membantah dalil-dalil yang dikemukakan penggugat dalam gugatannya; Bahwa lebih lanjut, sebelum meneruskan pemeriksaan sengketa antara kedua belah pihak, pengadilan terlebih dahulu perlu mempertimbangkan kehendak pihak ketiga untuk bergabung dalam perkara untuk menyertai tergugat melawan pihak penggugat dengan tuntutannya yang berbunyi: Salin tuntutan pihak ketiga secara lengkap Bahwa kedua pihak berperkara menyatakan tidak keberatan akan maksud pihak ketiga tersebut, namun pengadilan terlebih dahulu tetap akan mempertimbangkan apakah tuntutan pihak ketiga itu dapat dikabulkan atau tidak; TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa maksud pihak ketiga untuk bergabung tersebut dengan menyertai pihak tergugat adalah semata-mata merupakan inisiatif pihak ketiga sendiri, namun untuk dapatnya pihak ketiga itu bergabung adalah mutlak merupakan wewenang pengadilan karena jabatannya, untuk dapat mengabulkan atau menolak; Menimbang, bahwa dari apa yang disebutkan dalam tuntutannya yang dikutip selengkapnya dalam tentang duduknya perkara, dan dengan memperhatikan pendapat para pihak berperkara, pengadilan menyatakan dapat mengabulkan pihak ketiga tersebut sebagai pihak dengan bergabung pada pihak tergugat melawan penggugat; Menimbang, dengan putusan sela ini, posisi pihak berperkara yang semula antara penggugat melawan tergugat,berubah menjadi penggugat melawan tergugat dan pihak ketiga. Mengingat segala ketentuan yang berkaitan dengan perkara ini;
268
MENGADILI Menetapkan tuntutan pihak ketiga untuk bergabung dalam perkara antara penggugat melawan tergugat dikabulkan; Menetapkan, posisi pihak ketiga tersebut sebagai tergugat II sedangkan tergugat asal berubah menjadi tergugat I (apabila pihak ketiga memihak kepada tergugat. Apabila pihak ketiga memihak kepada penggugat maka penggugat menjadi tergugat I, pihak ketiga menjadi penggugat II, dan tergugat sebagai tergugat asal). Menyatakan bahwa biaya yang timbul dalam putusan sela ini akan diperhitungkan bersama-sama dengan putusan akhir; Demikian ...................; Hakim Anggota
Ketua
.........................
.........................
........................
Panitera Pengganti
......................... Setelah pembacaan putusan sela dimaksud, maka pengadilan kemudian menyatakan persidangan perkara ini akan ditunda, dan pada persidangan yang akan datang tersebut pengadilan akan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi tuntutan dari pihak ketiga tersebut baik secara lisan maupun tertulis. Kemudian pengadilan menyatakan bahwa persidangan ini ditunda sampai hari ............... tanggal ............... dan kepada para pihak diperintahkan untuk hadir dalam persidangan yang ditentukan diatas tanpa dipanggil lagi. 269
Setelah penundaan diucapkan, kemudian pengadilan menyatakan bahwa persidangan ini ditutup. Demikian ............................ Panitera pengganti
Ketua Majelis
...............................
...............................
270
Lampiran : 5 Putusan sela penggabungan pihak ketiga (tuscenkomst) Berita acara (lanjutan) Persidangan pengadilan agama di ................................... yang mengadili perkara perdata yang dilangsungkan pada hari ............ tanggal ...................... dalam perkara antara : Penggugat menjadi terlawan I Tergugat menjadi terlawan II Melawan Pihak ketiga menjadi pelawan Dalam hal Pihak Ketiga menuntut Penggugat dan Tergugat untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Posisi perkara semula: Penggugat melawan Tergugat, berubah menjadi : Penggugat melawan Tergugat Dan Pihak Ketiga melawan Penggugat dan Tergugat. Susunan persidangan : Sama dengan susunan persidangan yang lalu Sesudah persidangan dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, maka dipanggil masuk kedua pihak berperkara dan pihak ketiga yang akan bergabung, agar memasuki ruang persidangan pengadilan. Atas perntanyaan ketua, para pihak berperkara pada pokoknya tetap berpegang pada apa yang mereka utarakan di dalam persidangan yang lalu.
271
Pengadilan menjelaskan bahwa dalam persidangan yang lalu, telah menghadap pihak ketiga yang bernama XX mengaku bertempat tinggal di ... , kecamatan ..., kabupaten ..., yang dilengkapi dengan identitas kartu tanda penduduk, yang ternyata oleh oleh para pihak, XX telah dikenal, mengajukan tuntutan agar diperkenankan bergabung sebagai pihak ketiga untuk menyertai tergugat (bisa juga bergabung untuk menyertai penggugat) dengan menyatakan pihak ketiga tersebut sangat berkepentingan dengan objek yang dipersengketakan. Pihak ketiga tersebut membenarkan apa yang dikemukakan oleh pengadilan, dan memohon agar segera ditetapkan sebagai pihak dalam perkara melawan penggugat dan tergugat. Atas pertanyaan ketua para pihak berperkara menyatakan tidak keberatan, dan karenanya setelah majelis bermusyawarah menjatuhkan putusan sela sebagai berikut : PUTUSAN SELA Nomor: ....../Pdt/20../....... BISMILLAHIRRAHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama di ........., dalam persidangan majelis untuk mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara : A. ................., Umur ...., tahun ...., Agama Islam, Pekerjaan ........., bertempat tinggal di ........, Kecamatan ......., Kota/Kabupaten .........., untuk selanjutnya disebut Penggugat/Terlawan I, Tergugat/Terlawan II. Melawan
272
B. ..............., umur ....., tahun....., Agama Islam, Pekerjaan ........., bertempat tinggal di ........, Kecamatan ......., Kota/Kabupaten .........., untuk selanjutnya disebut Pelawan.
Pengadilan Agama tersebut; Telah mendengar persetujuan kedua belah pihak untuk berdamai; Telah memperhatikan pula Pasal 130 HIR/154 RBG; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Bahwa penggugat dengan surat gugatnya tertanggal ............. dan terdaftar dengan nomor ...../Pdt/......., telah mengajukan gugatan yang berbunyi sebagai berikut : Selanjutnya salin gugatan penggugat secara lengkap Bahwa, atas gugatan penggugat sebagai tersebut di atas, tergugat dalam jawabannya membantah dalil-dalil yang dikemukakan penggugat dalam gugatannya; Bahwa lebih lanjut, sebelum meneruskan pemeriksaan sengketa antara kedua belah pihak, majelis terlebih dahulu perlu mempertimbangkan kehendak pihak ketiga untuk bergabung dalam perkara untuk bergabung dalam perkara untuk menyertai tergugat melawan pihak penggugat dengan tuntutannya yang berbunyi: Salin tuntutan pihak ketiga secara lengkap Bahwa kedua pihak berperkara menyatakan tidak keberatan akan maksud pihak ketiga tersebut, akan tetapi para pihak berpendapat tentang materi tuntutan Pihak Ketiga akan dijawab dalam pembahasan pokok perkara;
273
TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa maksud pihak ketiga untuk bergabung dalam perkara antara penggugat melawan tergugat, dengan menempatkan dirinya sendiri untuk melawan penggugat dan tergugat adalah semata-mata merupakan inisiatif pihak ketiga sendiri, namun untuk dapatnya pihak ketiga itu bergabung adalah mutlak merupakan wewenang pengadilan karena jabatannya, untuk dapat mengabulkan atau menolak; Menimbang, bahwa dari apa yang disebutkan dalam tuntutannya yang dikutip selengkapnya dalam tentang duduknya perkara, dan dengan memperhatikan pendapat para pihak berperkara, pengadilan menyatakan dapat mengabulkan pihak ketiga tersebut untuk bergabung dengan posisi pihak ketiga melawan penggugat dan tergugat. Menimbang, dengan putusan sela ini, posisi pihak berperkara yang semula hanya penggugat melawan tergugat saja, berubah menjadi penggugat melawan tergugat dan pihak ketiga melawan penggugat dan tergugat. Mengingat segala ketentuan yang berkaitan dengan perkara ini; MENGADILI Mengabulkan tuntutan pihak ketiga untuk bergabung dalam perkara antara penggugat melawan tergugat. Menetapkan, posisi pihak ketiga tersebut sebagai pihak pelawan melawan penggugat dan tergugat. Menyatakan pula perkara pokok antara penggugat melawan tergugat akan tetap diperiksa dan diadili. Menyatakan bahwa biaya yang timbul dalam putusan sela ini akan diperhitungkan bersama-sama dengan putusan akhir; Demikian ...................; Hakim Anggota
Ketua
.........................
.........................
........................ Panitera Pengganti ......................... 274
Setelah pembacaan putusan sela dimaksud, maka majelis kemudian menyatakan persidangan perkara ini akan ditunda, dan pada persidangan yang akan datang tersebut pengadilan akan memberikan kesempatan kepada para penggugat untuk menyampaikan replik dan kepada tergugat II untuk menanggapi gugatan penggugat dan jawaban tergugat I. Kemudian majelis menyatakan bahwa persidangan ini ditunda sampai pada hari ............... tanggal ............... dan kepada para pihak diperintahkan untuk hadir dalam persidangan yang ditentukan diatas tanpa dipanggil lagi. Setelah penundaan diucapkan, kemudian pengadilan menyatakan bahwa persidangan ini ditutup. Demikian ............................
Panitera pengganti
Ketua Majelis
...............................
...............................
275
Lampiran : 6 Putusan sela penarikan pihak ketiga oleh salah satu pihak berperkara (vrijwaring) Berita acara (lanjutan) Persidangan Pengadilan Agama di ................................... yang mengadili perkara perdata yang dilangsungkan pada hari ............ tanggal ...................... dalam perkara antara : Penggugat menjadi terlawan I Tergugat menjadi terlawan II Melawan Pihak Ketiga sebagai Tergugat II Dalam hal Penggugat atau Tergugat menghendaki Pihak Ketiga ditarik sebagai Pihak, maka posisi pihak akan berubah Posisi perkara yang semula : Penggugat melawan Tergugat, berubah menjadi: Penggugat dan Pihak Ketiga melawan Tergugat Atau Penggugat melawan Tergugat dan Pihak Ketiga Susunan persidangan : Sama dengan susunan persidangan yang lalu Sesudah persidangan dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, maka dipanggil masuk kedua pihak berperkara dan pihak ketiga yang akan ditarik sebagai pihak, agar memasuki ruang persidangan pengadilan. Atas pertanyaan ketua, para pihak berperkara pada pokoknya tetap berpegang pada apa yang mereka utarakan di dalam persidangan yang lalu. 276
Ketua menjelaskan bahwa dalam persidangan yang lalu, Pihak Penggugat setelah menerima jawaban tergugat mohon kepada pengadilan untuk menarik pihak ketiga, supaya dijadikan sebagai tergugat II, dengan alasan objek perkara ini sangat berkaitan erat dengan pihak ketiga, sehingga tanpa adanya pihak ketiga perkara ini tidak selesai secara tuntas. Atas pertanyaan ketua, pihak ketiga tersebut dapat mengerti akan maksud untuk dijadikannya sebagai pihak, dan hal ini sepenuhnya diserahkan kepada pengadilan, serta menjelaskan identitas dirinya bernama .............. bertempat tinggal ............. kecamatan .............. kota/kabupaten .......... Karena para pihak tidak lagi mengemukakan pendapat tentang akan ditariknya pihak ketga tersebut sebagai tergugat,maka ketua setelah bermusyawarah, kemudian menjatuhkan putusan sela sebagai berikut; PUTUSAN SELA Nomor: ....../Pdt/20../....... BISMILLAHIRRAHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama di ........., dalam persidangan majelis untuk mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara : Penggugat menjadi terlawan I Tergugat menjadi terlawan II Melawan Tergugat I / Pihak Ketiga sebagai Tergugat II A. ................., Umur ...., tahun ...., Agama Islam, Pekerjaan ........., bertempat tinggal di ........, Kecamatan ......., Kota/Kabupaten
277
.........., untuk selanjutnya disebut Penggugat/Terlawan I, Tergugat/Terlawan II. Melawan B. ..............., umur ....., tahun....., Agama Islam, Pekerjaan ........., bertempat tinggal di ........, Kecamatan ......., Kota/Kabupaten .........., untuk selanjutnya disebut Pelawan.
Pengadilan Agama tersebut; Telah mendengar persetujuan kedua belah pihak untuk berdamai; Telah memperhatikan pula Pasal 130 HIR/154 RBG; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Bahwa penggugat dengan surat gugatnya tertanggal ............. dan terdaftar dengan nomor ...../Pdt/......., telah mengajukan gugatan yang berbunyi sebagai berikut : Selanjutnya salin gugatan penggugat secara lengkap Bahwa, atas gugatan penggugat sebagai tersebut di atas, tergugat telah menyampaikan jawaban tertulis yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut. Salin jawaban tergugat secara lengkap Bahwa atas jawaban tergugat tersebut, penggugat sebelum mengajukan replik untuk memberi tanggapan atas jawaban tergugat itu mohon agar pengadilan menarik pihak ketiga yang bernama XX untuk dijadikan sebagai pihak berperkara dalam hal ini sebagai tergugat II. Bahwa, tergugat menyatakan tidak keberatan akan maksud penggugat untuk menarik pihak ketiga yang bernama XX tersebut untuk dijadikan sebagai tergugat II.
278
TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa maksud penggugat menarik pihak ketiga untuk dijadikan pihak berperkara dan untuk dijadikan tergugat II, adalah pihak ketiga tersebut memiliki hubingan hukum yang erat denga objek yang saat ini menjadi sengketa antara penggugat dengan tergugat; Menimbang bahwa maksud penggugat untuk menarik XX sebagai pihak, yaitu dijadikan sebagai tergugat II, bersama-sama dengan tergugat asal sebagai tergugat I, adalah semata-mata merupakan inisiatif para pihak berperkara, namun untuk dapatnya pihak ketiga itu ditarik sebagai salah satu pihak adalah mutlak merupakan wewenang majelis karena jabatannya, untuk dapat mengabulkan atau menolak; Menimbang, bahwa dari apa yang disebutkan dalam jawaban dari tergugat terhadap gugatan dari penggugat, pengadilan berpendapat bahwa untuk menjaga kepentingan hukum para pihak dikemudian hari, maka permohonan penggugat untuk menarik pihak ketiga tersebut dapat dinyatakan beralasan, sehingga karenanya dapat di kabulkan. Menimbang, dengan putusan sela ini, posisi pihak berperkara yang semula hanya penggugat melawan tergugat saja, akan berubah menjadi penggugat melawan tergugat dan XX. Mengingat segala ketentuan yang berkaitan dengan perkara ini; MENGADILI Mengabulkan permohonan penggugat untuk menarik pihak ketiga untuk dijadikan sebagai tergugat II dalam perkara antara penggugat melawan tergugat. Menetapkan, posisi pihak ketiga tersebut sebagai tergugat II, sedangkan tergugat asal berubah menjadi tergugat I Menyatakan bahwa biaya yang timbul dalam putusan sela ini akan diperhitungkan bersama-sama dengan putusan akhir;
279
Demikian ...................; Hakim Anggota
Ketua
.........................
.........................
........................ Panitera Pengganti ......................... Setelah pembacaan putusan sela dimaksud, maka ketua kemudian menyatakan persidangan perkara ini ditunda, dan pada persidangan yang akan datang tersebut majelis akan memberikan kesempatan kepada para penggugat untuk menyampaikan replik dan kepada tergugat II untuk menanggapi gugatan penggugat dan jawaban tergugat I. Kemudian ketua menyatakan bahwa persidangan ini ditunda sampai pada hari ............... tanggal ............... dan kepada para pihak diperintahkan untuk hadir dalam persidangan yang ditentukan diatas tanpa dipanggil lagi. Setelah penundaan diucapkan, kemudian pengadilan menyatakan bahwa persidangan ini ditutup. Demikian ............................
Panitera pengganti
Ketua Majelis
...............................
...............................
280
Lampiran : 7 Putusan Sela Sumpah Suppletoir Berita Acara Persidangan Pengadilan Agama Di ............ Yang Mengadili Perkara Perdata Yang Dilangsungkan Pada Hari . Tanggal ...... Dalam Perkara Antara : A. ............... Sebagai Penggugat; Melawan B. ................. Sebagai Tergugat
Susunan Persidangan : Sama dengan susunan persidangan yang lalu. Sesudah persidangan dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, kedua pihak berperkara dipanggil supaya memasuki ruang persidangan pengadilan. Atas pertanyaan pengadilan kedua pihak berperkara menyatakan tetap pada pendirian yang telah dinyatakan dalam persidangan yang lalu dan tidak ada hal-hal lain lagi yang disampaikan dalam persidangan ini; Pengadilan kemudian menyatakan kepada pihak berperkara, bahwa berdasarkan hasil-hasil persidangan yang lalu, pengadilan karena jabatannya mempunyai alasan akan menjatuhkan putusan sela, kemudian sesudah bermusyawarah, dibacakanlah putusan sela itu sebagai berikut :
281
Putusan Sela Nomor. ....../Pdt/20.../............ BISMILLAHIRROHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama di ... dalam persidangan majelis untuk mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan dalam perkara antara : A. ............... bertempat tinggal di ... kecamatan ..., kota/kabupaten ..., untuk selanjutnya disebut Penggugat; Melawan B. .......... bertempat tinggal di .... kecamatan ..., kota/kabupaten ..., untuk selanjutnya disebut ... Tergugat;
Pengadilan Agama tersebut ; Telah mendengar pesetujuan kedua belah pihak untuk berdamai; Telah memperhatikan pula Pasal 130 HIR/154 RBG; Tentang duduknya perkara : Bahwa Penggugat dengan surat gugatnya tertanggal ..., dan terdaftar dengan Nomor ..../Pdt/...., telah mengajukan gugatan yang berbunyi sebagai berikut : Selanjutnya Salin Gugatan Penggugat Secara Lengkap Bahwa atas gugatan penggugat sebagai tersebut diatas tergugat dalam jawabannya membantah dali-dalil yang dikemukakan penggugat dalam gugatannya;
282
Bahwa untuk membuktikan gugatannya, penggugat mengajukan seorang saksi, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut; Bahwa, ........., sebagai saksi menerangkan : .................................................. .................................................................................................... ................................................... ......... ............................................... ........... .... ...... ........................ ............. ; Bahwa untuk membuktikan bantahannya, tergugat mengajukan juga seorang saksi, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut; Bahwa, ........................... sebagai saksi menerangkan ............................................................. ...................................................................................................................... .......................... .....................................................................; Bahwa baik penggugat maupun tergugat menyatakan tidak dapat mengajukan alat-alat bukti lainnya, selain saksi-saksi sebagai tersebut di atas; Bahwa karenanya kedua belah pihak mohon agar pengadilan dapat memutuskan perkara ini; Tentang Hukumnya Menimbang, bahwa gugatan penggugat adalah sebagaimana telah dinyatakan dalam duduknya perkara; Menimbang bahwa mengingat gugatan penggugat dibantah oleh tergugat, maka wajiblah penggugat membuktikan dalil gugatannya yang telah dibantah oleh tergugat; Menimbang, bahwa dari kesaksian yang diajukan oleh penggugat, saksi tersebut secara rinci dan jelas dapat mengemukakan fakta-faktakejadian adanya hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat yang saat ini menjadi pokok sengketa antara penggugat dengan tergugat, karena pada saat kejadian itu saksi turut hadir; Menimbang bahwa untuk membuktikan bantahannya, tergugat telah mengajukan seorang saksi saja, namun kesaksian dari saksi tergugat itu sama sekali tidak dapat menjelaskan sengketa antara penggugat dengan
283
tergugat sebab saksi memang tidak pernah menyaksikan, hanya pernah mendengar kejadian itu dari tergugat saja. Menimbang bahwa keterangan saksi sebagaimana tersebut diatas dibenarkan oleh para pihak berperkara; Menimbang bahwa oleh karena gugatan penggugat hanya dapat dibuktikan hanya dengna satu alat bukti saja, maka nilai pembuktian yang telah diajukan oleh penggugat, menurut pengadilan sudah merupakan bukti permulaan, sehingga pengadilan karena jabatannya memiliki alasan untuk memerintahkan penggugat agar mengucap sumpah tambahan, dengan rumusan sumpah yang berbunyi sebagai berikut; ..................................... Teks Sumpah ........................................ Mengingat segala ketentuan yang berkaitan; Mengadili Menetapkan, memerintahkan pada penggugat untuk mengucapkan sumpah tambahan dengan rumusan sumpah seperti tersebut diatas. Menetapkan bahwa biaya yang timbul dalam perkara ini, akan diperhitungkan bersama-sama dengan putusan akhir; Demikian ........................; Hakim Anggota
Ketua
.........................
.........................
........................ Panitera Pengganti
.........................
284
Setelah pembacaan putusan sela dimaksud, maka pengadilan menyatakan sumpah tambahan yang rumusannya seperti tersebut diatas pelaksanaannya akan dilakukan pada persidangan yang akan datang. Kemudian pengadilan menyatakan bahwa persidangan ini ditunda sampai pada hari ............... tanggal ............... untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah. Setelah penundaan diucapkan, kemudian pengadilan menyatakan bahwa persidangan ini ditutup. Demikian ............................ Panitera pengganti
Ketua Majelis
...............................
...............................
285
Lampiran : 8 Putusan Akhir perihal Sumpah Pelengkap atau suppletoired
PUTUSAN No. .............../ Pdt.G/................/ PA....................... BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama ........................ yang mengadili perkara-perkara perdata telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara : ................................................. bertempat tinggal di ..................................... Pekerjaan .................................................... Sebagai Penggugat; LAWAN ................................................ ...................................
bertempat
tinggal
di
Pekerjaan .................................................. Sebagai Tergugat ; Pengadilan Agama tersebut ; Setelah membaca surat-surat perkara ; Setelah mendengar kedua belah pihak yang berperkara ; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Memperhatikan dan menerima keadaan-keadaan mengenai duduknya perkara ini sebagaimana tertera dalam putusan sela tertanggal ................................... nomor : ........................................ yang amarnya berbunyi sebagai berikut : 286
............................................................................................................ ..................................... ............................................................................................................ ........................... Menimbang, bahwa Penggugat setelah menyatakan kesediaannya untuk mengucapkan sumpah yang dibebankan kepadanya itu, telah mengucapkan sumpah dengan dihadiri oleh Tergugat ; Menimbang, bahwa kedua belah pihak selanjutnya mohon putusan ; TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa Pengadilan Agama perihal tersebut bersandar pada apa yang telah dipertimbangkan dalam putusan sela tersebut di atas ; Menimbang, bahwa karena Penggugat telah mengucapkan sumpah yang dibebankan kepadanya itu, gugatan tersebut di atas karena terbukti harus dikabulkan ; Menimbang, bahwa karena Tergugat adalah pihak yang dikalahkan, biaya perkara patut dibebankan kepadanya ; Memperhatikan akan pasal-pasal dari undang-undang yang bersangkutan, khususnya Pasal 155 HIR/182 RBg ; MENGADILI Mengabulkan gugatan tersebut di atas ; Menghukum Tergugat untuk ......................................................................................... ; Menghukum pula Tergugat untuk .................................................................................. ; Menghukum Tergugat pula untuk membayar biaya perkara yang hingga dirancang sebesar Rp. ............................... (..................................................) ; Demikianlah diputuskan pada hari .............. tanggal ............................. oleh kami ............. sebagai Hakim Ketua dan .................................. dan ................................ Sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan di muka umum pada hari itu juga dengan dihadiri oleh ....................... Panitera Pengganti Pengadilan Agama, tersebut serta kedua belah pihak yang berperkara.
287
Hakim Anggota,
Hakim Ketua,
1………………………. …………………………. 2………………………. Panitera Pengganti ,
……………………..
288
Lampiran : 9 Putusan akhir, setelah putusan sela, perihal sumpah pelengkap (suppletoired) yang ditolak oleh penggugat (Pasal 156 HIR/183 RBg) PUTUSAN No. .............../ Pdt.G/................/ PA....................... BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama ........................ yang mengadili perkara-perkara perdata telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara : ................................................. bertempat tinggal di ..................................... Pekerjaan .................................................... Sebagai Penggugat; LAWAN ................................................ ...................................
bertempat
tinggal
di
Pekerjaan .................................................. Sebagai Tergugat ; Pengadilan Agama tersebut ; Setelah membaca surat-surat perkara ; Setelah mendengar kedua belah pihak yang berperkara ; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Memperhatikan dan menerima keadaan-keadaan mengenai duduknya perkara ini sebagaimana tertera dalam putusan sela tertanggal ................................... nomor : ........................................ yang amarnya berbunyi sebagai berikut : ............................................................................................................ ..................................... 289
............................................................................................................ ........................... Menimbang, bahwa Penggugat setelah menyatakan kesediaannya untuk mengucapkan sumpah yang dibebankan kepadanya itu, telah mengucapkan sumpah dengan dihadiri oleh Tergugat ; Menimbang, bahwa kedua belah pihak selanjutnya mohon putusan ; TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa Pengadilan Agama perihal tersebut bersandar pada apa yang telah dipertimbangkan dalam putusan sela tersebut di atas ; Menimbang, bahwa karena Penggugat telah mengucapkan sumpah yang dibebankan kepadanya itu, gugatan tersebut di atas karena terbukti harus dikabulkan ; Menimbang, bahwa karena Tergugat adalah pihak yang dikalahkan, biaya perkara patut dibebankan kepadanya ; Memperhatikan akan pasal-pasal dari undang-undang yang bersangkutan, khususnya Pasal 155 HIR/182 RBg ; MENGADILI Mengabulkan gugatan tersebut di atas ; Menghukum Tergugat untuk ......................................................................................... ; Menghukum pula Tergugat untuk .................................................................................. ; Menghukum Tergugat pula untuk membayar biaya perkara yang hingga dirancang sebesar Rp. ............................... (..................................................) ; Demikianlah diputuskan pada hari .............. tanggal ............................. oleh kami ............. sebagai Hakim Ketua dan .................................. dan ................................ Sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan di muka umum pada hari itu juga dengan dihadiri oleh ....................... Panitera Pengganti Pengadilan Agama, tersebut serta kedua belah pihak yang berperkara.
290
Hakim Anggota,
Hakim Ketua,
1…………………. ……………………. 2…………………. Panitera Pengganti ,
……………………………
291
Lampiran : 10 Putusan akhir, setelah putusan sela, perihal sumpah pelengkap (suppletoired) yang ditolak oleh penggugat (Pasal 156 HIR/183 RBg) PUTUSAN No. ................ /Pdt.G/ .............. / PA ................ BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MEHA ESA Pengadilan Agama .............................. yang mengadili perkaraperkara perdata telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara : ................................................. bertempat tinggal di ..................................... Pekerjaan .................................................... Sebagai Penggugat; LAWAN ................................................ ...................................
bertempat
tinggal
di
Pekerjaan .................................................. Sebagai Tergugat ; Pengadilan Agama tersebut ; Setelah membaca surat-surat perkara ; Setelah mendengar kedua belah pihak yang berperkara ; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Memperhatikan dan menerima keadaan-keadaan mengenai duduknya perkara ini sebagaimana tertera dalam putusan sela tertanggal ................................... nomor : ........................................ yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
292
............................................................................................................ ..................................... ............................................................................................................ ................... Menimbang, bahwa Penggugat menyatakan tidak bersedia untuk mengucapkan sumpah yang dibebankan kepadanya itu ; Menimbang, bahwa karena Penggugat telah menolak untuk mengucapkan sumpah yang dibebankan kepadanya itu, maka gugatan tersebut di atas karena tidak terbukti harus ditolak ; Menimbang, bahwa karena Penggugat adalah pihak yang dikalahkan, biaya perkara patut dibebankan kepadanya ; Memperhatikan Pasal 156 HIR/ 183 RBg serta ketentuan-ketentuan hukum lain bersangkutan ; MENGADILI Menolak gugatan tersebut ; Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga dirancang sebesar Rp............... (...................................) ; Demikianlah diputuskan pada hari ............. tanggal .................... oleh kami ............... sebagai Hakim Ketua dan .................... dan ....................... Sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan di muka umum pada hari itu juga dengan dihadiri oleh ................................... Panitera Pengganti Pengadilan Agama, tersebut serta kedua belah pihak yang berperkara. Hakim Anggota,
Hakim Ketua,
1……………………. …………………. 2……………………. Panitera Pengganti,
……………………..
293
Lampiran : 11 Putusan Sela Sumpah decisoir
Berita Acara Persidangan Pengadilan Agama Di ............ Yang Mengadili Perkara Perdata Yang Dilangsungkan Pada Hari ........ Tanggal ...... Dalam Perkara Antara : A. ............... Sebagai Penggugat; Melawan B. ................. Sebagai Tergugat
Susunan Persidangan : Sama Dengan Susunan Persidangan Yang Lalu. Sesudah persidangan dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, kedua pihak berperkara dipanggil supaya memasuki ruang persidangan pengadilan. Atas pertanyaan pengadilan kedua pihak berperkara menyatakan pihak berperkara saat ini tidak dapat mengajukan bukti-bukti apapun, sehingga penggugat mohon kepada pengadilan, karena tergugat tetap membantah agar tergugat diperintahkan mengucap sumpah pemutus dan untuk itu penggugat menyerahkan rumusan lafal sumpah kepada pengadilan. Sesudah pengadilan bermusyawarah, pengadilan menyatakan dapat menyetujui permohonan penggugat itu untuk menyelesaikan sengketa ini dengan sumpah pemutus, dan atas pertanyaan pengadilan pihak tergugat menyatakan bersedia untuk mengucapkan sumpah seperti rumusan yang diajukan oleh penggugat. Pengadilan sesudah bermusyawarah kembali, kemudian pengadilan menjatuhkan putusan sela yang berbunyi sebagai berikut: 294
Putusan Sela Nomor. ....../Pdt/20.../............ BISMILLAHIRROHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama di ... dalam persidangan majelis untuk mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan dalam perkara antara : A. ............... bertempat tinggal di ... kecamatan ..., kota/kabupaten ..., untuk selanjutnya disebut penggugat; Melawan B. ......... bertempat tinggal di .... kecamatan ..., kota/kabupaten ..., untuk selanjutnya disebut ... tergugat;
Pengadilan Agama tersebut ; Telah mendengar pesetujuan kedua belah pihak untuk berdamai; Telah memperhatikan pula Pasal 130 Hir/154 Rbg; Tentang duduknya perkara : Bahwa penggugat dengan surat gugatnya tertanggal ..., dan terdaftar dengan nomor ..../pdt/...., telah mengajukan gugatan yang berbunyi sebagai berikut : Selanjutnya Salin Gugatan Penggugat Secara Lengkap Bahwa atas gugatan penggugat sebagai tersebut diatas tergugat dalam jawabannya membantah dali-dalil yang dikemukakan penggugat dalam gugatannya;
295
Bahwa penggugat telah mengajukan seorang saksi yang bernama XX, semula adalah pemilik barang yang merupakan objek sengketa, yang keterangannya telah dinyatakan dalam persidangan, sebagaimana tercatat dalam berita acara persidangan yang selengkapnya dinyatakan tertera dalam tentang duduknya pekara. Bahwa XX sebagai saksi dari penggugat menerangkan, objek yang dipersengketakan semula adalah miliki pribadi dari saksi, yang telah dijual kepada para pihak berperkara, akan tetapi saksi tidak tahu yang sebenarnya bertindak sebagai pembeli karena kedua pihak ini datang dan menawar bersama-sama, apakah mereka berdua selaku pihak pembeli bersama atau bertindak sendiri-sendiri, saksi tidak tahu secara pasti; Bahwa penggugat menyatakan tidak dapat mengajukan alat-alat bukti lainnya, karena yang mengetahui tentang hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat adalah hanya saksi tersebut diatas; Bahwa pihak tergugat juga mengemukakan tidak mempunyai saksi atau alat bukti lainnya untuk membuktikan bantahannya; TENTANG HUKUMNYA Menimbang, Bahwa Gugatan Penggugat Adalah Sebagaimana tersebut di atas; Menimbang bahwa saksi XX yang diajukan oleh penggugat menerangkan, bahwa obyek yang dipersengketakan dalam perkara ini memang semula milik pribadi dari saksi, yang telah dijual kepada para pihak berpekara, akan tetapi saksi tidak tahu siapa sebenarnya yang bertindak sebagai pembeli, karena kedua pihak ini datang dan menawar bersama-sama, sehingga apa mereka selaku pihak pembeli bersama atau bertindak sendiri-sendiri saksi tidak mengetahui secara pasti; Menimbang bahwa oleh karena kesaksian XX sebagai pemilik awal objek sengketa tidak dapat menjelaskan siapakah yang bertindak sebagai pembeli, dan kedua belah pihak tidak dapat pula mengajukan alat bukti lainnya maka pengadilan dapat mengabulkan permohonan pihak penggugat agar perkara ini diselesaikan dengan sumpah pemutus yang lafalnya berbunyi sebagai berikut :
296
DEMI ALLAH SAYA BERSUMPAH SAYALAH YANG BERTINDAK SEBAGAI PEMBELI BARANG-BARANG PERABOTAN RUMAH TANGGA YANG MENJADI OBJEK SENGKETA DALAM PERKARA INI. Menimbang, bahwa pengadilan menetapkan pula, bahwa tergugat diwajibkan untuk mengucapkan sumpah sebagai tersebut di atas; Mengingat segala ketentuan yang berkaitan; Mengadili Menetapkan, memerintahkan pada pihak tergugat untuk mengucapkan sumpah pemutus dengan rumusan sumpah seperti tersebut diatas. Menetapkan bahwa biaya yang timbul dalam perkara ini, akan diperhitungkan bersama-sama dengan putusan akhir; Demikian ........................; Hakim Anggota
Ketua
.........................
.........................
........................
Panitera Pengganti
......................... Setelah pembacaan putusan sela dimaksud, maka pengadilan menyatakan sumpah decisoir yang rumusannya seperti tersebut diatas pelaksanaannya akan dilakukan pada persidangan yang akan datang.
297
Kemudian pengadilan menyatakan bahwa persidangan ini ditunda sampai pada hari ............... tanggal ............... Setelah penundaan diucapkan, kemudian pengadilan menyatakan bahwa persidangan ini ditutup. Demikian ............................ Panitera pengganti
Ketua Majelis
...............................
...............................
298
Lampiran : 12 Putusan akhir setelah putusan sela perihal sumpah pemutus (decisoir) yang dikembalikan oleh Tergugat dan Penggugat melakukan sumpah tersebut (Pasal 156 HIR/183 RBg) PUTUSAN NO. ............. / Pdt.G/ ................../ PA ................... BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama .............................. yang mengadili perkaraperkara perdata telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara : ................................................. bertempat tinggal di ..................................... Pekerjaan .................................................... Sebagai Penggugat; LAWAN ................................................ ...................................
bertempat
tinggal
di
Pekerjaan .................................................. Sebagai Tergugat ; Pengadilan Agama tersebut ; Setelah membaca surat-surat perkara ; Setelah mendengar kedua belah pihak yang berperkara ; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Memperhatikan dan menerima keadaan-keadaan mengenai duduknya perkara ini seperti tertera dalam putusan sela tanggal 299
................................... nomor : ........................................ yang amarnya berbunyi sebagai berikut : ............................................................................................................ ..................................... ............................................................................................................ ........................... Menimbang, bahwa Tergugat telah menolak untuk mengucapkan sumpah tersebut dan selanjutnya mengembalikan sumpah tersebut kepada Penggugat ; Menimbang, bahwa Penggugat setelah menyatakan kesediaannya untuk mengucapkan sumpah tersebut, telah mengucapkan sumpah itu di sidang dengan hadirnya Tergugat ; Menimbang, bahwa selanjutnya kedua belah pihak mohon putusan ; TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa Pengadilan Agama perihal ini bersandar pada apa yang telah dinyatakan dan dipertimbangkan dalam putusan sela tersebut di atas ; Menimbang, bahwa karena Tergugat telah menolak untuk mengucapkan sumpah tersebut, dan selanjutnya mengembalikan sumpah tersebut kepada Penggugat dan Penggugat telah mengucapkan sumpah yang telah dinyatakan “litis decisoir” itu, maka gugatan tersebut harus dianggap beralasan dan karenanya harus dikabulkan ; Menimbang, bahwa karena Tergugat adalah pihak yang dikalahkan, biaya perkara patut dibebankan kepadanya ; Memperhatikan, akan Pasal 156 HIR/183 RBg serta ketentuanketentuan hukum lain yang bersangkutan ; MENGADILI Mengabulkan gugatan tersebut ; Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dirancang sebesar Rp. ................. (....................................................) ; Demikianlah diputuskan pada hari ................. tanggal ................. oleh kami ................... sebagai Hakim Ketua dan ........................ dan ........................... sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan di muka umum pada hari itu juga dengan dihadiri oleh ................. Panitera 300
Pengganti Pengadilan Agama, tersebut serta kedua belah pihak yang berperkara.
Hakim Anggota,
Hakim Ketua ,
1…………………… …………………….. 2…………………… Panitera Pengganti,
………………………..
301
Lampiran : 13 Putusan akhir setelah putusan sela perihal sumpah pemutus (decisoir) yang dilakukan oleh Tergugat (Pasal 156 HIR/ 183 RBg) PUTUSAN No. ................... / Pdt.G/ ............../ PA ................... BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama .................................... yang mengadili perkaraperkara perdata telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara : ................................................. bertempat tinggal di ..................................... Pekerjaan .................................................... Sebagai Penggugat; LAWAN ................................................ ...................................
bertempat
tinggal
di
Pekerjaan .................................................. Sebagai Tergugat ; Pengadilan Agama tersebut ; Setelah membaca surat-surat perkara ; Setelah mendengar kedua belah pihak yang berperkara ; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Memperhatikan dan menerima keadaan mengenai perkara ini seperti tertera dalam putusan sela tanggal ................................... nomor : ........................................ yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
302
............................................................................................................ ..................................... ............................................................................................................ ..................................... Menimbang bahwa Tergugat telah menyatakan kesediannya untuk mengucapkan sumpah tersebut di sidang dengan hadirnya Penggugat ; Menimbang, bahwa selanjutnya kedua belah pihak mohon putusan ; TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa Pengadilan Agama perihal ini bersandar pada apa yang telah dinyatakan dan dipertimbangkan dalam putusan sela tersebut di atas ; Menimbang, bahwa karena Tergugat telah mengucapkan sumpah yang telah dinyatakan “litis decisoir” itu, gugat tersebut harus dianggap tidak beralasan dan karenanya harus ditolak ; Menimbang, bahwa karena Penggugat adalah pihak yang dikalahkan, biaya perkara patut dibebankan kepadanya ; Memperhatikan akan Pasal 156 HIR/ 183 RBg serta ketentuanketentuan hukum lain yang bersangkutan ; MENGADILI Menolak gugatan tersebut ; Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dirancang sebesar Rp. .................. (........................................) ; Demikianlah diputuskan pada hari ................. tanggal ................. oleh kami ................... sebagai Hakim Ketua dan ........................ dan ........................... sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan di muka umum pada hari itu juga dengan dihadiri oleh ................. Panitera Pengganti Pengadilan Agama, tersebut serta kedua belah pihak yang berperkara.
303
Hakim Anggota,
Hakim Ketua ,
1……………………
……………….
2……………………. Panitera Pengganti,
……………………………
304
Lampiran : 14 Putusan terakhir setelah putusan sela perihal sumpah pemutus (decisoir) yang ditolak oleh Tergugat (Pasal 156/183 RBg) PUTUSAN No. ................... / Pdt.G/ ............../ PA ................... BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama .................................... yang mengadili perkaraperkara perdata telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara : ................................................. bertempat tinggal di ..................................... Pekerjaan .................................................... Sebagai Penggugat; LAWAN ................................................ ...................................
bertempat
tinggal
di
Pekerjaan .................................................. Sebagai Tergugat ; Pengadilan Agama tersebut ; Setelah membaca surat-surat perkara ; Setelah mendengar kedua belah pihak yang berperkara ; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Memperhatikan dan menerima keadaan mengenai duduk perkara ini seperti tertera dalam putusan sela tanggal ................................... nomor : ........................................ yang amarnya berbunyi sebagai berikut : 305
............................................................................................................ ............................................................................................................ TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa Pengadilan Agama perihal ini bersandar pada apa yang telah dipertimbangkan dalam putusan sela tersebut di atas ; Menimbang, bahwa karena Tergugat telah menolak untuk mengucapkan sumpah yang telah dinyatakan dalam “litis decisoir” itu, maka gugat tersebut harus dianggap beralasan dan karenanya harus dikabulkan ; Menimbang, bahwa karena Tergugat adalah pihak yang dikalahkan, biaya perkara patut dibebankan kepadanya ; Memperhatikan Pasal 156 HIR/183 RBg serta ketentuan-ketentuan hukum lain yang bersangkutan ; MENGADILI Mengabulkan gugat tersebut ; Menghukum Tergugat ................................................................................................. ; Menghukum pula Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga dirancang sebesar Rp. .....................( .................................) ; Demikianlah diputuskan pada hari ................. tanggal ................. oleh kami ................... sebagai Hakim Ketua dan ........................ dan ........................... sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan di muka umum pada hari itu juga dengan dihadiri oleh ................. Panitera Pengganti Pengadilan Agama, tersebut serta kedua belah pihak yang berperkara. Hakim Anggota,
Hakim Ketua ,
1………………………
…………………..
2……………………… Panitera Pengganti,
……………………..
306
Lampiran : 15 Putusan akhir setelah putusan sela perihal sumpah pemutus (decisoir) yang dikembalikan oleh Tergugat dan Penggugat tidak bersedia mengucapkan sumpah tersebut (Pasal 156 HIR/183 RBg) PUTUSAN No. ................... / Pdt.G/ ............../ PA ................... BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama .................................... yang mengadili perkaraperkara perdata telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara : ................................................. bertempat tinggal di ..................................... Pekerjaan .................................................... Sebagai Penggugat; LAWAN ................................................ ...................................
bertempat
tinggal
di
Pekerjaan .................................................. Sebagai Tergugat ; Pengadilan Agama tersebut ; Setelah membaca surat-surat perkara ; Setelah mendengar kedua belah pihak yang berperkara ; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Memperhatikan dan menerima keadaan mengenai perkara ini seperti tertera dalam putusan sela tanggal ................................... nomor : ........................................ yang amarnya berbunyi sebagai berikut : 307
............................................................................................................ ..................................... ............................................................................................................ ..................................... Menimbang, bahwa Tergugat telah mengucapkan sumpah tersebut di sidang dengan hadirnya Penggugat ; Menimbang, bahwa kedua belah pihak mohon putusan ; TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa Pengadilan Agama perihal ini bersandar pada apa yang telah dipertimbangkan dalam putusan sela tersebut di atas ; Menimbang, bahwa karena Tergugat telah menolak untuk mengucapkan sumpah yang dibebankan kepadanya, dan mengembalikan sumpah tersebut pada Penggugat, akan tetapi Penggugat tidak bersedia untuk mengucapkan sumpah yang dikembalikan itu, maka gugat tersebut harus dianggap tidak beralasan dan harus ditolak ; Menimbang, bahwa karena Penggugat adalah pihak yang dikalahkan, biaya perkara patut dibebankan kepadanya ; Memperhatikan Pasal 156 HIR/183 RBg serta ketentuan-ketentuan hukum lain yang bersangkutan ; MENGADILI Menolak gugatan tersebut ; Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga dirancang sebesar Rp..................... (..............................................); Demikianlah diputuskan pada hari ................. tanggal ................. oleh kami ................... sebagai Hakim Ketua dan ........................ dan ........................... sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan di muka umum pada hari itu juga dengan dihadiri oleh ................. Panitera Pengganti Pengadilan Agama, tersebut serta kedua belah pihak yang berperkara.
308
Hakim Anggota,
Hakim Ketua ,
1……………………
……………………..
2…………………… Panitera Pengganti,
…………………………………
309
Lampiran : 16 Putusan Sela Sumpah Penaksir Berita Acara Persidangan Pengadilan Agama Di ............ Yang Mengadili Perkara Perdata Yang Dilangsungkan Pada Hari ........ Tanggal ...... Dalam Perkara Antara : A. ............... Sebagai Penggugat; Melawan B. ................. Sebagai Tergugat
Susunan Persidangan : Sama Dengan Susunan Persidangan Yang Lalu. Sesudah persidangan dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, kedua pihak berperkara dipanggil supaya memasuki ruang persidangan pengadilan. Atas pertanyaan pengadilan, para pihak berperkara pada pokoknya tetap berpegang pada apa yang mereka utarakan di dalam persidangan yang lalu, sehingga karenanya berdasarkan penjelasan para pihak seperti tersebut, maka sesudah bermusyawarah pengadilan, karena jabatannya akan menjatuhkan putusan sela, untuk melakukan sumpah penaksir; Kemudian pengadilan dalam persidangan tersebut membacakan putusan sela sebagai berikut: PUTUSAN SELA Nomor. ....../Pdt/20.../............ BISMILLAHIRROHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 310
Pengadilan Agama di ... dalam persidangan majelis untuk mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan dalam perkara antara : A. ............... bertempat tinggal di ... kecamatan ..., kota/kabupaten ..., untuk selanjutnya disebut penggugat; melawan B. .......... bertempat tinggal di .... kecamatan ..., kota/kabupaten ..., untuk selanjutnya disebut ... tergugat;
Pengadilan Agama tersebut ; Telah mendengar pesetujuan kedua belah pihak untuk berdamai; Telah memperhatikan pula Pasal 130 HIR/154 RBG; TENTANG DUDUKNYA PERKARA : Bahwa Penggugat Dengan Surat Gugatnya Tertanggal ..., Dan Terdaftar Dengan Nomor ..../Pdt/...., Telah Mengajukan Gugatan Yang Berbunyi Sebagai Berikut : Selanjutnya Salin Gugatan Penggugat Secara Lengkap Bahwa Atas Gugatan Penggugat seperti Tersebut Diatas, Tergugat tidak membantah adanya gugatan penggugat tentang keharusan pihak tergugat untuk membayar ganti rugi, akan tetapi besarnya ganti rugi tersebut tidak sebesar yang disebut dalam tuntutan penggugat, karena sejak awal masalah besarnya ganti rugi ini akan diadakan perundingan lagi, akan diadakan penyesuaian kembali; Bahwa pihak penggugat tetap pada pendiriannya bahwa apa yang disebut dalam tuntutannya, meskipun awalnya belum ditetapkan, tetapi apa yang disebutkan dalam tuntutan penggugat adalah merupakan harga yang wajar sebagai ganti rugi; 311
Bahwa para pihak telah berupaya untuk mendapatkan kata sepakat untuk menetapkan besarnya ganti rugi tersebut namun gagal; Bahwa pengadilan telah pula mendengar keterangan saksi yang diajukan oleh penggugat, yang pada pokoknya tidak jauh dari hal-hal yang dikemukakan para pihak berperkara; Bahwa telah terjadi hal-hal yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi ini seperti tercantum dalam berita acara persidangan yang dianggap tercantum dalam putusan ini; Bahwa adalah tugas pengadilan untuk menyelesaikan sengketa ini sehingga karenanya pengadilan karena jabatannya akan menjatuhkan putusan sela sebagai berikut, dengan tujuan agar para pihak berperkara dapat memahami pemecahan masalah hukum atas sengketa diantara kedua belah pihak berperkara; TENTANG HUKUMNYA Menimbang, Bahwa Gugatan Penggugat Adalah Sebagaimana telah dinyatakan dalam tentang duduknya perkara adalah merupakan sengketa ganti rugi yang harus dibayar oleh tergugat kepada penggugat; Menimbang bahwa terhadap adanya kesepakatan pemberian ganti rugindari tergugat kepada penggugat tidak dipersengketakan lagi antara kedua belah pihak, hanya besarnya ganti rugi yang harus dibayarkan kepada penggugat inilah yang masih terdapat silang pendapat; Menimbang, bahwa untuk mengakhiri sengketa antara penggugat dengan tergugat, pengadilan karena jabatannya menjatuhkan putusan sela yang akan membebankan sumpah penaksir kepada penggugat; Menimbang bahwa lafal rumusan sumpah yang harus diucapkan oleh penggugat berbunyi sebagai berikut: Teks lengkap lafal sumpah Mengingat segala ketentuan yang berkaitan
312
MENGADILI Menetapkan, memerintahkan pada penggugat untuk mengucapkan sumpah penaksir dengan rumusan sumpah seperti tersebut diatas. Menetapkan bahwa biaya yang timbul dalam perkara ini, akan diperhitungkan bersama-sama dengan putusan akhir; Demikian ........................; Hakim Anggota
Ketua
.........................
.........................
........................ Panitera Pengganti ......................... Setelah pembacaan putusan sela dimaksud, maka pengadilan menyatakan sumpah penaksir yang rumusannya seperti tersebut diatas pelaksanaannya akan dilakukan pada persidangan yang akan datang. Kemudian pengadilan menyatakan bahwa persidangan ini ditunda sampai pada hari ............... tanggal ............... untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah. Setelah penundaan diucapkan, kemudian pengadilan menyatakan bahwa persidangan perkara ini ditutup. Demikian ............................ Panitera pengganti
Ketua Majelis
...............................
...............................
313
Lampiran : 17 Putusan Derden Verzet PUTUSAN Nomor. ....../Pdt/20.../............ BISMILLAHIRROHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama di ... dalam persidangan majelis untuk mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan dalam perkara antara : A. ............... bertempat tinggal di ... kecamatan ..., kota/kabupaten ..., untuk selanjutnya disebut Pelawan/Penggugat; melawan B. .......... bertempat tinggal di .... kecamatan ..., kota/kabupaten ..., untuk selanjutnya disebut ... tergugat I; C. .......... bertempat tinggal di .... kecamatan ..., kota/kabupaten ..., untuk selanjutnya disebut ... tergugat II;
Pengadilan Agama tersebut ; Telah membaca surat-surat perkara; Telah mendengar pihak-pihak yang berperkara;
314
TENTANG DUDUKNYA PERKARA : Menimbang, bahwa sudar perlawanan pihak pelawan tanggal .... berbunyi sebagai berikut : ..... Kutip isi surat perlawanan pihak ketiga Menimbang bahwa pihak-pihak yang berperkara tersebut telah menghadap di persidangan dan oleh ketua telah diusahakan perdamaian, akan tetapi tidak berhasil, setelah itu pemeriksaan dimulai dengan membacakan surat perlawanan pihak ketiga tersebut. Menmbang bahwa pihak pelawan/penggugat tetap bertahan pada gugatannya dan selanjutnya telah menyerahkan ke persidangan salinan autentik dari keputusan pangadilan agama di .............. tanggal .............. nomor ............... yang telah dibacakan; Menimbang bahwa pihak yang dilawan/tergugat I sebagai jawaban atas perlawanan itu menerangkan bahwa ............................ (kutip jawabannya) Menimbang bahwa, pihak yang dilawan/tergugat II sebagai jawaban atas perlawanan itu menerangkan bahwa ......................... (kutip jawabannya) Menimbang bahwa dan selanjutnya untuk mempersingkat uraian putusan ini cukup tercantum dalam berita acara pemeriksaan persidangan dalam perkara ini TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa gugatan pelawan/penggugat adalah sebagaimana telah dinyatakan dalam duduk perkara; Menimbang, bahwa berdasarkan ............... (alasan-alasan) mengapa perlawanan itu dapat dikabulkan; Menimbang, bahwa pihak-pihak yang dilawan adalah pihak yang dikalahkan oleh karena itu semua biaya perkara yang timbul patut dibebankan kepada tergugat I dan tergugat II secara tanggung renteng. Mengingat segala ketentuan yang berkaitan dengan perkara ini.
315
MENGADILI Menyatakan, bahwa perlawanan B (pelawan/penggugat) tersebut tepat dan beralasan. Menyatakan pula bahwa B adalah pelawan yang benar terhadap putusan pengadilan agama di . tanggal ........... nomor ............... tersebut. Membatalkan putusan tersebut. Menghukum pihak-pihak yang dilawan, tergugat I dan tergugat II tersebut untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. .............. (dh) Demikianlah diputuskan dst... Catatan : - Jika perlawanan tersebut dinyatakan bahwa tidak dapat diterima atau ditolak, maka tinggal merobah di dalam amar.
316