I. RUWATAN Ruwatan iku salah sijining upacara adat Jawa sing ancasé kanggo mbébasake wong komunitas utawa wilayah saka ancaman bebaya. Inti upacara ruwatan iki sejatiné arupa ndonga, nyuwun pangayoman marang Gusti Allah saka ancaman bebaya-bebaya umpamané bencana alam lan liyané, uga ndonga nyuwun pengampunan dosa-dosa lan kesalahan-kesalahan sing wis dilakoni sing isa nyebabaké bencana. Upacara adat iki asalé saka ajaran budaya Jawa kuna sing sifaté sinkretis sing saiki diadaptasi lan disesuaiké karo ajaran agama. A. Makna Ruwatan iku salah sijining upacara adat Jawa sing tujuwané kanggo mbébasaké wong, masarakat utawa wewengkon saka ancaman bebendu. Inti upacara ruwatan iki sejatiné ndonga, njaluk pangayoman marang Gusti Allah saka ancaman bebendu umpamané bencana alam lan liyané, uga ndonga njaluk pngampunan dosa-dosa lan kesalahan-kesalahan sing uwis dilakoni sing bisa njalari bencana.lan dingo tulak bala ana ing sawijining desa, B. Larangan Ing kapercayan wong Jawa, ana wanti-wanti supaya wong kang lagi mbobot (ngandhut) ora pati cerak-cerak (nyedhak) ing papan kang lagi ana ruwatan. Amarga daya lan kakuwatan seka ruwatan kang lagi di patrapke bisa marai gugurake calon jabang bayi. Ujaré, kakuwatan iki saka dayaning Ilmu Waringin Sungsang (aksara caraka diwalik). C. Sejarah Upacara adat iki asalé saka carita Bathara Kala yaiku buta sing doyan mangan menungsa. Bathara Kala iku putra Bathara Guru utawa putu para déwa. Jinis menungsa sing disenengi Bathara Kala lan dikuwatiraké ngalami sukerta yaiku: • • • • • • • • •
Sing lair tunggal utawa ontang-anting Kembang sepasang utawa kembar Sendhang apit pancuran utawa lanang, wadon, lanang, uga Uger-uger lawang utawa anak loro lanang kabèh Ontang-onting utawa anak siji wadon Pendhawa utawa anak lima lanang kabeh Kedhana-kedhini utawa anak loro lanang wadon Gondhang kasih anak loro beda pakulitane, siji ireng siji putih Dhampit utawa anak loro lanang wadon kang laire bareng
2 D. Sesajèn Sesajèn sing disiapake kanggo upacara adat iki antarané: • • • •
Kain pitung werna Wos Jené Jarum kuning Kembang pitung rupa
Yen kanggo tolak bala utawa mbuang sial wong sing ngalami sukerta, wong sing diruwat kudhu njalani siraman banyu suci lan nggunting rambut, rambute banjur dilarung neng segara.
II. RUWATAN Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan didalam hidupnya Tradisi "upacara /ritual ruwatan" hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam cerita "wayang" dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala. Dalam tradisi jawa orang yang keberadaannya mengalami nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri DewiUma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang gumulung ". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solosi ,agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan. Kata Murwakala/ purwakala berasal dari kata purwa (asalmuasal manusia) ,dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran : atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden). Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sbb : 1. 2. 3. 4.
Alat musik jawa (Gamelan) Wayang kulit satu kotak (komplit) Kelir atau layar kain Blencong atau lampu dari minyak Selain peralatan tersebut diatas masih diperlukan sesajian yang berupa:
1. Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setudun, yang sudah matang dan baik, yang ditebang dengan batangnya disertai cengkir gading (kelapa muda), pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa, daun alang-alang, daun meja, daun kara, dan daun kluwih yang semuanya itu diikat berdiri pada tiang pintu depan sekaligus juga berfungsi sebagai hiasan/pajangan dan permohonan. Dua kembang mayang yang telah dihias diletakkan dibelakang kelir (layar) kanan kiri, bunga setaman dalam bokor di tempat di muka dalang, yang akan
4
2. 3.
4.
5.
digunakan untuk memandikan Batara Kala, orang yang diruwat dan lainlainya. Api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan. Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan dibawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar (kelir) sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar dimuka kelir sebagai alas duduk Ki Dalang, sedangkan di belakang layar sebagai tempat duduk orang yang diruwat dengan memakai selimut kain mori putih. Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang diatas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah menyebelah). Bermacam-macam nasi antara lain : a. Nasi golong dengan perlengkapannya, goreng-gorengan, pindang kluwih, pecel ayam, sayur menir, dsb. b. Nasi wuduk dilengkapi dengan; ikan lembaran, lalaban, mentimun, cabe besar merah dan hijau brambang, kedele hitam. c. Nasi kuning dengan perlengkapan; telur ayam yang didadar tiga biji. Srundeng asmaradana.
6. Bermacam-macam jenang (bubur) yaitu: jenang merah, putih, jenang kaleh, jenang baro-baro (aneka bubur). 7. Jajan pasar (buah-buahan yang bermacam-macam) seperti : pisang raja, jambu, salak, sirih yang diberi uang, gula jawa, kelapa, makanan kecil berupa blingo yang diberi warna merah, kemenyan bunga, air yang ditempatkan pada cupu, jarum dan benang hitam-putih, kaca kecil, kendi yang berisi air, empluk (periuk yang berisi kacang hijau, kedele, kluwak, kemiri, ikan asin, telur ayam dan uang satu sen). 8. Benang lawe, minyak kelapa yang dipergunakan untuk lampu blencong, sebab walaupun siang tetap memakai lampu blencong. 9. Yang berupa hewan seperti burung dara satu pasang ayam jawa sepasang, bebek sepasang. 10. Yang berupa sajen antara lain : rujak ditempatkan pada bumbung, rujak edan (rujak dari pisang klutuk ang dicampur dengan air tanpa garam), bambu gading linma ros. Kesemuanya itu diletakan ditampah yang berisi nasi tumpeng, dengan lauk pauknya seperti kuluban panggang telur ayam yang direbus, sambel gepeng, ikan sungai/laut dimasak anpa garam dan ditempatkan di belakang layar tepat pada muka Kyai Dalang. 11. Sajen buangan yang ditunjukkan kepada dhayang yang berupa takir besar atau kroso yang berisi nasi tumpeng kecil dengan lauk-pauk, jajan pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen. ). Sajen itu dibuang di tempat angker disertai doa (puji/mantra) mohon keselematan. 12. Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki kelapa. Kamar mandi yang untuk mandi orang yang diruwat dimasuki kelapa utuh.
5 Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita citakan.
III. ILMU RUWATAN ISLAMI RITUAL RUWAT DIRI PRIBADI A. Syarat Menggelar Ritual Ruwatan Diri Pribadi : 1. Ikhlas. Melakukan dengan suka rela, percaya akan sebuah energi DOA dan Kuasa Tuhan YME. 2. Puasa. Setiap peserta ruwat diharapkan berpuasa 1 hari (puasa weton). Atau melakukan puasa Dino dulur selama 3 hari, dimulai hari Selasa Kliwon. Puasanya seperti puasa ramadhan (makan buka-sahur boleh apa saja, yang penting baik dan halal). KHUSUS bagi yang sedang sakit diperbolehkan tidak melakukan puasa. 3. Beramal (donasi). Menyediakan uang sedekah yang didonasikan kepada kaum fakir miskin atau orang yang membutuhkan. Nominal uang donasi bebas, sesuai dengan kemampuan dan keikhlasan anda masing-masing. Donasi sedekah ini syarat WAJIB. 4. Syukuran (slametan) Bila anda yang sanggup menyediakan syukuran berupa nasi, sayur, lauk pauk dan buah silahkan dibuat, minimal bisa dibagikan kepada 7 orang tetangga atau fakir miskin. Syukuran makanan ini TIDAK WAJIB. Hanya khusus bagi anda yang mampu dan ikhlas saja. B. Sarana Ruwatan : Setiap peserta bersedia menyediakan sarana RUWATAN sebagai berikut: • Air 7 sumber. Diambil dari 7 mata air. Atau bila kesulitan boleh juga air Sumur tanah dari tetangga sekitar. Pisahkan per sumber air dalam wadah yang berbeda. Jangan dicampur. • Bunga 7 macam. Jangan dicampur. • Wewangian. Boleh minyak parfum nonAlkohol (minyak bibit) atau kemeyan atau hio. • Kain Mori (putih polos) kira-kira 1 meter saja. SARANA KHUSUS : • Bagi anda yang merasa kesulitan dalam hal jodoh menyediakan sarana berupa sepasang burung merpati (jantan dan betina). Bisa dibeli di pasar atau orang yang punya (peternak). • Bagi anda yang ingin meruwat rumah sendiri, sediakan tanah rumah 1 sendok makan, lalu dibungkus dalam kertas putih. • Bagi anda yang merasa sering sakit-sakitan menyediakan air hujan yang ditampung langsung tetesan dari langit.
7 • Bagi anda yang merasa selama ini sulit menerima hidayah ilmu ghaib, susah belajar ilmu ghaib menyediakan sarana sebuah Kelapa Hijau Muda 1 butir. C. Tata Cara Ruwat Diri Pribadi Langkah Pertama, PERSIAPAN : 1. Sediakan 7 ember (tempat air). 2. Isilah dengan air 7 sumber. Masing-masing ember diisi 1 sumber air. Jadi jangan dicampur. 3. Kemudian taburi bunga. Masing-masing ember ditaburi 1 jenis bunga. 4. Menghadap air bunga, dekatkan bibir anda dengan air bunga lalu ucapkan Asma: “Al-Hayyu” (Yang Maha Hidup) sebanyak 7 kali ulangan. Setelah selesai baca 7 kali kemudian pindah ke air bunga yang lain, lakukan hal yang sama. Demikian seterusnya sampai air bunga ketujuh. 5. Kemudian Jemur air bunga ini dibawah sinar matahari sekitar 3 jam. Air bunga ini nantinya akan digunakan untuk Mandi Ruwat. Langkah Kedua, DOA RUWAT : 1. Sambil menunggu air bunga dijemur di sinar matahari, lakukan doa ruwat seperti berikut ini. 2. Bagi yang muslim bersihkan diri dengan berwudhu. Bagi yang nonmuslim membasuh anggota badan kepala, tangan dan kaki. Biasanya kotoran & debu sering menempel dibagian badan itu. 3. Duduk bersila, tenang dan khusuk. Semua sarana yang telah disediakan (tanah / kelapa hijau / air hujan / makanan syukuran / burung merpati) letakan di dekat anda. Bila doa ruwat dilakukan disebuah kamar, letakanlah semua sarana tersebut satu ruangan dengan anda. Sarana ditata yang rapi. 4. Pakailah wewangian minyak non-alkohol. Atau bakarlah kemeyan atau hio. 5. Mulai membaca doa ruwat sebagai berikut : Awalilah dengan membaca kalam ilahi yang ada di kitab suci. Untuk muslim membaca surat Quran berikut ini. Bagi yang agama lain bisa menyesuaikan, yang penting membaca kitab suci. • S. Al Fatihah 7 kali atau 70 kali. • S. Al ikhlas 7 kali atau 70 kali • S. Al Falaq 7 kali atau 70 kali • S. An-Nas 7 kali atau 70 kali • S. Surat Yasin 1 kali Bila tidak bisa membaca Quran, boleh hanya dengan mendengarkan audio MP3. Silahkan didownload disini. Kemudian dilanjutkan dengan membaca Doa Ruwat berikut: Boleh dibaca teks Arab, boleh juga teks terjemahannya. Muslim dan Nonmuslim sama saja.
8 Doa Ruwat Pelepas Segala Kesulitan “Maha suci Tuhan yang menghilangkan kesusahan orang yang berhutang. Maha suci Tuhan yang menggembirakan orang-orang yang sedang menderita kesusahan. Maha suci Tuhan yang menjadikan perbendaharaan antara KAF dan NUN. Maha suci Tuhan yang apabila DIA menghendaki segala sesuatu, hanyalah berkata kepadanya “Jadilah” maka jadilah. Wahai Tuhan yang menggembirakan (kami) hilangkanlah segala kesusahan, hilangkanlah segala kesusahan yang kami derita, dengan kelapangan yang segera. Wahai Dzat yang Maha Pengasih”. Doa Ruwat Mengusir Malapetaka “Wahai Pengampun kesalahan. Wahai penolak berbagai bencana. Wahai puncak segala harapan. Wahai penganugerah segala karunia. Wahai pemberi segala hadiah. Wahai yang memberi rezeki kepada manusia. Wahai yang memenuhi keinginan. Wahai yang mendengarkan keluhan. Wahai yang membangkitkan manusia. Wahai yang membebaskan para tawanan”. Doa Ruwat Penolak Kesialan ياَل َّم ُهّٰللَا ُ تْؤ ِ يَخل ْا ى ْ ياَلَو َتْن َااَّل ِا َر َ ف ْد َ سلا ُع َّي ِّئ َ َتْنَااَّلِا ِتا، باَّلِا َةَّوُقاَلَو َلْوَحاَلَو ِ َك “Ya Allah, tiada datang kebaikan kecuali dariMU dan tidak yang menolak keburukan kecuali Engkau. Dan tiada daya dan upaya kecuali juga dari-Mu”. Doa Ruwat Tolak Bala’ ف ْدِا َّم ُهّٰلل َا َ بلْا ىِّنَع ْع َ َءاَل “Ya Allah, singkirkanlah dariku segala bencana. (3x)”. 6. Bacalah Doa ruwat diatas dengan khusuk, jangan tergesa-gesa. Resapi dan hayati sepenuh hati semata-mata mengharap ridho dan pertolongan ilahi. 7. Setelah selesai pembacaan, lalu guntinglah rambut anda beberapa helai. Bungkus potongan rambut dengan kertas putih. 8. Setelah pembacaan Doa Ruwat dan pemotongan rambut, lalu langkah berikutnya adalah mandi ruwat. Langkah ketiga, MANDI RUWAT : 1. Sebelum melakukan mandi bacalah Doa-Mantra berikut ini : “Sun lelaku penyucen kanggo ragaku, jiwoku lan sukmoku kersaning Gusti Kang Murbeng Dumadi”. (Aku bersuci untuk ragaku, jiwaku dan sukmaku sesuai kehendak Tuhan Yang Maha Esa). 2. Bagi yang tidak bisa bahasa Jawa bacalah teks Indonesianya. 3. Cara mandi: Guyur badan 7 kali, masing-masing ember 1 kali. Guyur pelanpelan seperti jatuhnya air pancuran.
9
4. Setelah selesai mandi kemudian anda pakai pakaian yang bersih (disarankan memakai pakaian warna polos, diutamakan putih). Sebab kombinasi warna bisa memberikan efek gelombang energi metafisika yang berbeda-beda terhadap pemakainya. • INGAT! Setelah mandi, bunga yang terjatuh / tercecer dilantai diambil kembali, kumpulkan dalam wadah. Begitupula dengan sisa bunga dalam air ember. Nantinya bunga ini akan di larung (di buang / hanyutkan) di sungai. Hal ini didasarkan pada “sengkala” (nasib buruk, dosa, sifat buruk dan nafsu angkara murka) harus harus di buang jauh dari dalam diri manusia. Larung dimaknakan di buang jauh. Sedangkan sungai (muaranya menuju lautan bebas) sebagai simbol dunia luas dan tak terbatas • Jangan sampai ada bunga yang dibuang di closed kamar mandi atau saluran septitank atau tempat sampah, efeknya tidak baik untuk keberuntungan rumah dan penghuninya. Langkah keempat, MELARUNG SENGKOLO SECARA SIMBOLIK 1. Yang akan dilarung adalah sisa-sisa bunga 7 rupa (setelah dipakai mandi ruwat) dan potongan rambut. Bungkus jadi satu dengan kain mori yang telah disediakan. 2. Saat akan melarung di sungai bacalah niat dan doa berikut : “Ingsun ora buang Mori lan isine, ananing buang apa kang ndadeake apesing awakku” (Aku tidak membuang mori beserta isinya, tetapi aku membuang apa yang menjadikan kesialan pada diriku). “Mumuring Sengkolo kekarepaning dzat atiku” (Larutnya Sengkolo karena kehendak sejatinya hatiku). 3. Bagi anda yang menyediakan syarat khusus: - Sepasang burung merpati Setelah melarung bungkusan Mori diatas, kemudian dilanjutkan dengan melepas sepasang burung merpati ke alam bebas. Saat melepaskannya bacalah Doa Mantra: “Mumuring Sengkolo kekarepaning dzat atiku” (Larutnya Sengkolo karena kehendak sejatinya hatiku) Sepasang merpati adalah simbol perjodohan dan kasih sayang. Dengan memberikan kebebasan & kebahagian hidup kepada sesama makhluk Tuhan, harapannya anda pun kelak akan mendapatkan kebahagiaan yang sama. - Sarana yang berupa Tanah, dikembalikan ke tempat asalnya (dipendam). Baca doa-mantra seperti diatas. Semoga tempat tersebut kembali berkah dan menguntungkan.
10 - Sarana Air kelapa Hijau diminum. Air kelapa hijau diyakini memiliki tuah kekuatan spiritual, maka banyak digunakan sebagai sarana pengisian ilmu ghaib. Tetapi dari pengalaman saya tidak baik dijadikan sarana bagi mereka yang menginginkan keturunan / anak (momongan). - Sarana Air hujan diminumkan kepada orang yang sakit. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Jibril mengajariku obat yang tidak memperlukan obat yang lain.” Beliau ditanya: “Ya Rasulullah saw apa obat itu?” Beliau menjawab: “Hendaklah air hujan diambil sebelum jatuh ke tanah kemudian diletakan di bejana yang bersih dan dibacakan surat Al Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas sebanyak 70 kali. Lalu hendaklah airnya itu diminum segelas diwaktu pagi dan sore. Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, sungguh Allah akan menghilangkan penyakit itu dari badan orang yang meminumnya.” - Sarana uang. Uang yang diniatkan untuk infak didonasikan / disumbangkan kepada fakir miskin yang membutuhkan. Semoga rejeki anda kelak semakin lancar dan hidup berkecukupan. Langkah Terakhir, Menjalankan PUASA • Setelah selesai acara ruwat diatas, terakhir anda kemudian menyatakan niat berpuasa. Lafal niat puasa bebas, yang penting ikhlas berpuasa karena Tuhan YME. • Puasa dimulai saat Maghrib (terbenam matahari). Berakhir saat maghrib hari berikutnya. Puasa boleh seperti Ramadhan, boleh juga Puasa Mutih. • Bagi yang melaksanakan Ritual Ruwatan ini menjelang Weton maka laksanakan puasa cukup 1 hari (jatuh weton). • Bagi yang menjalankan Ritual Ruwatan di hari Senin menjelang Selasa Kliwon, maka melaksanakan puasa Dino Dulur selama 3 hari, dimulai Selasa Kliwon. Yang dilakukan dalam masa puasa dan yang menjadi hikmah puasa ini adalah sebagai berikut: 1. Cegah makan : Puasa di siang hari, boleh makan di malam hari tetapi ala kadarnya (kecuali yang telah bertekad Puasa Mutih). 2. Cegah tidur artinya tidurlah selepas tengah malam dan bangunlah sebelum matahari terbit. Dan siang hari tidak boleh tidur. 3. Tapa Mbisu (mesu budi anyipta rahayuning badan) artinya mulai bangun pagi saat terbit matahari menciptakan keseimbangan badan dengan tolong menolong kepada orang lain. 4. Wahdat, artinya mengurangi dan mengendalikan nafsu seks. 5. Sabar dalam menjalani kehidupan.
Sedangkan amalan doa-mantra / wirid yang biasa kami lakukan saat berpuasa selepas Ruwat adalah mengamalkan DOA NUR dan Aji Kalacakra
.
11 Demikian tatacara Ritual Ruwatan. Pahami dengan baik dan laksanakan dengan penuh keyakinan dan penghayatan. Ingatlah, bukan berarti dengan sekali melakukan ritual ruwatan kita akan terbebas dari sengkala selamanya, tidak demikian. Sengkala dan kesialan akan bisa datang lagi kapan saja, maka setelah melakukan ritual ruwatan, jalankanlah 5 kebaikan seperti telah dijelaskan diawal. Segala kebaikan kelak akan membuahkan kebaikan juga. Semoga bermanfaat.
IV. MANTRA RUWATAN Dalam masyarakat Jawa, ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu : A. Ritual ruwat untuk diri sendiri. B. Ritual ruwat untuk lingkungan. C. Ritual ruwat untuk wilayah. Dalam masyarakat Jawa, ruwatan memiliki ketergantungan pada siapa yang akan melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang memang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, maka biasanya dilakukan secara besar-besaran yaitu dengan mengadakan pagelaran pewayangan. Pagelaran pewayangan ini berbeda dengan pagelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran pewayangan dilakukan pada siang hari dan khusus dilakukan oleh dalang ruwat. A. Ruwatan Diri Sendiri Ruwatan diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan puasa (ajaran sinkretisme), melakukan selamatan, melakukan tapa brata. Dalam masyarakat Jawa, bertapa merupakan bentuk laku atau sering disebut lelaku. Lelaku sebagai wujud untuk membersihkan diri dari hal-hal yang bersifat gaib negatif (buruk) juga termasuk dalam ruwatan. Dengan memasukan kekuatan gaib dalam diri yang bersifat positif (baik), akan memberikan keseimbangan energi dalam tubuh. Hal ini sering dikemukakan oleh para spiritualis Jawa sebagai bentuk nasehat untuk mempelajari hal-hal yang bersifat baik. Pada saat ini, ruwatan yang dilakukan oleh sebagaian masyarakat Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman HinduBudha. Ruwatan lebih cenderung dilakukan dengan tidak mengatasnamakan ruwatan, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Lelaku sebagai wujud atau bentuk dari ruwatan bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh sebagian mansyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa. Rituan Ruwatan Diri Sendiri Menurut Kitab Primbon Mantrawara III, Mantra Yuda Jika orang yang merasa selalu sial, dalam kepercayaan Jawa harus melakukan upacara ruwatan terhadap diri sendiri. Ritual ruwatan ini memiliki banyak sebutan, antara lain adalah Ruwatan Anggara Kencana. Kesialan yang ada dalam diri manusia dipercaya timbul dari sedulur papat limo pancer atau sebagai pemicunya berasal dari kekuatan lain (makhluk halus). Btempat keberadaan sedulur papat ini dapat dilakukan pendeteksian.
13 Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui perhitungan (petungan) Jawa yaitu : Ha: 1, Na: 2, Ca: 3, Ra: 4 dan seterusnya. Pendeteksian dilakukan dengan menjumlah neptu orang tuanya dengan orang yang akan melakukan ritual ini. Jumlah keduanya kemudian dibagi 9 dan diambil sisanya. Jika sisa: 1. Bersemayam di sebelah kiri-kanan mata kanan, 2. Bersemayam di sebelah kiri-kana mata kiri, 3. Bersemayam di telinga kanan, 4. Bersemayam di telinga kiri, 5. Bersemayam di sebelah hidung kanan, 6. Bersemayam di sebelah hidung kiri, 7. Bersemayam di mulut, 8. Bersemayam di sekeliling pusar, 9. Bersemayam di kemaluan, sebagai syarat dari ritual ini adalah mengambil sedikit darah di sekitar tempat keberadaan bersemayamnya. Darah ini akan dilabuh (dilarung). Cara mengambil darah ini adalah dengan mengunakan duri yang kemudian dioleskan pada kapas puti. Duri dan kapas nantinya akan dilabuh bersama-sama dengan syarat yang lain, berupa : 1. Beras 4 kg, 2. Slawat 1 Dirham (uang senilai emas 1 gram), 3. Ayam, 4. Teklek (sandal dari kayu, atau bisa digantikan sandal biasa), 5. Benang Lawe satu gulung, 6. Telur ayam yang baru saja keluar (belum ada sehari), 7. Gula setangkep (gula Jawa satu pasang), gula pasir 1 kg, 8. Kelapa 1 buah. Kelapa, benang lawe, telur ayam, beserta kapas dan duri dilabuh sambil membaca mantera: “Ingsung ora mbuwang klapa lan isine, ananging mbuwang apa kang ndadekake apesing awakku”. (Aku tidak membuang kelapa beserta isinya, tetapi aku membuang apa yang menjadikan kesialan bagiku). Selain beberapa benda yang dilarung atau dilabuh tersebut, dikrarkan untuk disedekahkan kepada siap yang dikehendakinya, sebaiknya sodaqoh kepada orang yang membutuhkan. B. Ruwatan Untuk Lingkungan Ruwatan yang dilakukan untuk lingkup lingkungan biasanya dilakukan dengan sebutan mageri atau memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi. Sebagai contoh yang sering kita temui dalam masyarakat sekitar kita adalah memberikan pagar gaib. Hal semacam memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi (anggap saja rumah) ditujukan untuk beberapa hal, antara lain :
14
1. Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau memindahkan daya (energi) negatif yang berada dalam rumah atau hendak masuk kedalam rumah. Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan menanam tumbal yang diperlukan, misalnya kepala kerbau atau kepala kambing. 2. Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat jahat. 3. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau mengurung makhluk halus yang berbeda dalam lingkup pagar gaib. Berbagai cara memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada bukubuku kuno yang menceritakan pemagaran diri manusia, lingkungan dan wilayah yang cukup luas dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Tujuan utama dilakukannya pemagaran gaib pada manusia dan pada lingkungannya ini apabila tercapai, menurut kepercayaan Jawa akan menjadikan lingkungan yang aman, sejahtera, jauh dari gangguan makhluk halus. Pada saat ini, bentuk pemagaran gaib yang sering ditemui dalam masyarakat Jawa sekitar kita berbentuk menanam rajah, menanam tumbal, membaca doa untuk membuat pagar dan masih banyak metede lainnya. Acara atau ritual ruwatan yang ditujukan untuk memagari sebuah lokasi ini kemudian berubah dalam pelaksanaannya karena sebagian masyarakat Jawa sekarang sudah cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat ilmiah. Ritual ruwatan dalam masyarakat Jawa yang masih berlaku biasanya adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis sesaji dan melakukan ritual sendiri. Penerapan ritual ruwatan tidak jauh berbeda antara satu tujuan dengan tujuan yang lain. Pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan menggelar lakon pewayangan yang berisi tentang ruwatan itu sendiri. Dalang dalam menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari beberapa jenis lakon. C. Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah Yang Luas Disini akan dijelaskan contoh ruwatan di Kepatihan Danurejan, dari Babon Primbon Kagungan Dalem KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden hadipati Danureja IV). Pada umumnya, pangruwatan Murwa Kala dilakukan dengan pagelaran pewayangan yang membawa cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang
15 . Karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan. Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran. Urut-urutan ruwatan sebagai berikut : 1. Dimulai dengan doa pembuka : “Hong ilaheng, tata winanci awignam mastu samas sidhdhem” 2. Diteruskan dengan pembacaan cerita riwayat Sang Hyang Kala, yang disampaikan dalam bahasa Jawa dan sisampaikan mirip seperti nyanyian, tetapi juga bisa berbentuk seperti kalimat pembukaan sang dalang dalam membuka pagelaran wayang : “Sinigeg sakathahing para jawata watak nawa sanga, pada retane Sang Hyang Pramesthi Guru kang tiba ing sela sana sewu, bentar kepara sewu, mila dalah samangka watu, dadi sajagad. Ana sawijine yogane Sang Hyang Pramesthi Guru kang tiba telenging samodra, medal akimplik-kimplik, ing aran Sang Hyang Kamasalah, bisa ngadeg ing aranan Sang Hyang Candhusekti. Ing kana kaidenan dening Sang Hyang Pramesthi Guru, sakathahe jawata watak nawasanga, kinen nggunturana marang Kamasalah, sakathahe guntur wedang, guntur watu, apa dene guntur geni, pada nurunake, guntur tanana, kang tumama, nora sangsaya suda, malah sangsaya gedhe kalawun-lawun. Ing kana kocap bebandhem, malar dadi pepak dandananing sarira, nulya minggah marang gagana arsa panggih lawan wong tuwanira, iya Sang Hyang Pramesthi Guru”. 3. Diteruskan dengan membaca Pakem Sontheng. Pakem ini dimulai dilagukan : “Hong ilaheng pra yoganira Sang Hyang Kamasalah tengerannya, kang daging Sang Kemala, kadi gerah suwarane, abra lir mustika murub, amarab”.
16
4. Setelah Pakem Sontheng selesai, dibacakan : “Anekak aken prabawa, ketug lindhu lan prahara, geter patertan pantara, alimaku tanpa suku, alembehan tanpa tangan, aningali tanpa netra, amyarsa tanpa karna, ambegan tanpa grana, acelathu tanpa lidah, angan-angan tanpa driya”. 5. Diteruskan dengan pasang tabik dan membaca Kidung Sastra Pinadhati : “Hong Ilaheng Tata winanci awighnam astu nammas siddam. Hong Ilaheng pra yoganira, sang bawana sariraku, randhu kepuh pangadhegku, kidang kancil kor tumaku, raiku lemah paesan, mataku socaning manuk, kupingku sang plempengan, cangkemku sangagunging wong, lambeku sang sarapati, utegku sang watu rejeng, ilatku sang lemah polah, janggutku sang watu sumong, guluku sang lemah dedet, selangku sang darmaraja, bauku sang lemah mraju, geger lemah gigir sapi, cangklekan lemah lempit-lempitan, dadaku sang lungka-lungka, wetengku sang lemah mendhak, susuku sang gunung kembar, penthilku sang asri kembar, wangkungku sang pacul tugel, silitku elenging landhak, kempungku tlaga mambeng, plananganku waja glijenm planangan waja binandung, pringsilan waja malela, uyuhku banyu pancuran, sukerke padhas cecuri, entutku mercu dadari, iduku parang teritis, riyakku pulut bendala, wentisku lemah bajangan, delamakanku lemah seta, paturonku lemah bleberan, tindhakku lindhu prahara, geter pater panebakku, awedi kang buta kabeh, sawedana Durga Kala, sawedana kertidara, tumurun ingsung madya, wowor ing dewata muja, ajiku sang ata ati, amahraja ta wuwusku, amahraja ta ajiku, Yamaraja-Jaramaya, Yamarani-Niramaya, Yasilapa-Palasiya, Yamidora-Rodomiya, Yamidosa-Sadomiya, Yadayuda-Dayudaya, Yasiyaca-Cayasiya, Yasihama-Mahasiya. Yanyangsiyu yusinyangya, yajasiyu yusijaya, yadangsiyu yusidangya, yawangsiyu yusiwangya, yasangsiyu yusisangya, yatangisiyu yusitangya, yadangsiyu yusidangya, yakangsiyu yusikangya, Yarangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusinangya, yahangsiyu yusihangya, yahangsiyu yusihangya”. Diteruskan dengan membaca atau amateg sastra yang ada di langit-langit mulut (telak) Bethara Kala. Sastra ini menjadi pepingitan (peringatan) di jawata (menjadi hal yang dirahasiakan) tidak boleh dibacakan keras-keras oleh sang dalang. Hal ini dilakukan sambil menundukkan kepala dan tampak seperti mengheningkan cipta dengan menyanyikan lagu Dandhanggula.
17
“Jatiswara, swaraning pamisik, lamun sira miwiti amaca, kawruhana kamulane, kembang cempaka kudhup, sari mulya kang bayu manjing, manjing sang bayu mulya, purnama kang bayu, abali sang bayu mulya, sabda idep-idepa marang kang yogi, ketawang kapigesang”. 6. Diteruskan dengan membaca “Sastra Banyak Dalang” lagu kentrung : “Sang raja kumitir-kitir, ing ngendi anggonira linggih, den barung lan keli, mangore lunga ngidul, anelasar sruwa sepi, sumun dukuh ulung kembang, bale anyar ginelaran isi kang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winantu aji, asri dinulu tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigena, sampurnaning banyak Dalang”. “Hong Ilaheng pra yoganira. Sang raja kumitir-kitir anakku si banyak dalang, peksa arep memantuwa kudu bisa angaji, dukuhe ki ulung kembang bale anyar tanpa galar, isi ingkang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winatu aji, asri dinulu tingkahe, tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigena, saliring mala trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, ana jaka meneng kembang, denya menek angutapel, wus kebek jejomprangira, dene sekar anelahi, ana ta prawan liwat, dinulu rupane ayu, prawan angaku rara, ya ni mara nini mara, anontana kintel muni, ting caremplung, anggero kang kodok ijo, solahe krangkang rangkang, sedayane kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigegna, slirane lara trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, tetangga yen angrung guwa, kidungku si banyak dalang, saben dina pari dadar, sedina yen ana angring yen garing kedadak, ngelu puyeng pilek watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murub benceretan, yen angrungu kidung iki, wong asomah padha banyak dalang, miwah yen prawan tuwa, miwah yen jejaka tuwa, dumadakan gelis krama, kang angidung maringa begawan, anonton larung keli, pepitu paring kadulu larunge ki banyak dalang, ajejuluk ki jelarung, garudha cucuke wesi, ora anucuka lara raga, lara geng wigena, salire mala trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, sampurnaning banyak dalang”. 7. Diteruskan dengan membaca Sastra Gumbalageni, Geni, atau api yang datang dari berbagai penjuru angin, yaitu timur, selatan, barat dan utara, disatukan dan ditolak kekuatan negatifnya dan diubah menjadi sesuatu yang bermanfaat dengan melakukan pembacaan mantera :
18 “Hong ilaheng pra yoganira. Ana geni tekane saka wetan, putih rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka aneng wetan. Hong ilaheng pra yoganira.
`
Ana geni teka saka kidul, abang rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana kidul. Hong ilaheng pra yoganira. Ana geni teka saka kulon, kuning rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana kulon. Hong ilaheng pra yoganira. Ana geni teka saka elor, ireng rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana elor. Hong ilaheng pra yoganira. Ana geni teka saka tengah, lelima rupane geni, apa pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala, tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni teka ana tengah”. 8. Diteruskan dengan Kidung Sastra Puji Bayu : “Sang Hyang sekti naga nila warna, dadaku sang naga peksa telaleku pembebet jagad, asabung kulinting liman, abebed kuliting singa, acawet angga genitri, liyanan catur wisa, rinejegan rejeg wesi, pinayungan kala akra, kinemiting panca resi, sinongsongan asih-asih, premanaku ing sulasih”.
19 9. Diteruskan dengan Kidung Sastra Mandalagiri : “Hong ilaheng pra yoganira. Sang Hyang Tangkep Bapa kasa, kaliyan ibu pertiwi, mijil yogyanira Sang Hyang Kamasalah, tengerannya kadi daging, swarane kadi gerah, abra lir mustikamurub, urube amarab arab, anekakaken prabawa, ketuk lindhu lan prahara, geter pater tan pantara, kagyat Sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat pedhasamengko, yen ana gering kedadak, ngelu puyeng watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murup benceretan, kudu lumaku rinuwat iki, anata senajata singwang, aranemandalagiri, Sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat padha samengko”. “Ruwatan dadi pagagan, bale mas sakane dhomas, pinucukan manik putih, rinawe-rawe kumala marbuk minging gandanira cendhana kara, gandhane jebat kasturi, kuneng sira kocapa Bethara, mijil Bathara kusika, sang gagra mesi kurusa, umijil Sang Hyang Kuwera, ana sira rupa buta, ana sira rupa ula, kudu lumaku rinuwat anata sanjata ngngwang arane panji kumala, pinaputrakaken gunung, arane mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko”.
10. Diteruskan dengan Sastra Kakancingan : “Kunci nira kunci putih, angruwata metuwa sang, mentu sampir lare kresna, kakrasa kama dindi, langkir tambir pakoninjog, untuing-untuing matu tingting, tunggaking kayu aren, miwah temu pamipisan, tumunem pega pagase, miwah kerubuhan lumbung dandang tanen, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataning wang, arane panji kumala, pinaputrakakengunung arane, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko Pada proses ini merupakan penguncian kekuatan gaib yang ditimbulkan dengan cara atau ritual ruwat. 11. Diteruskan dengan Sastra Panulak, pada proses ini kekuatan gaib dari Bethara Kala dibacakan mantera sehingga menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kekuatan gaib tersebut akan musnah : “Tolak tunggul ing dhadhaku, macam putih ing raiku, singa barong ing gigirku, baya nyasar ing cangkemku, sarpa naga ing tanganku, raja tuwa ing sikilku, surya candhra ing paningalku, swaraku lir gelap sewu, nulak sakabehing bilahi, setan balio padha adoh, wong saleksa padha lunga, wong sakethi padha mati, rep sirep sajagad kabeh.
20 Kuneng Bathara kalawan sira Sang Hyang Bethari Durga, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataningwang, arane panji kumala, pinaputrekken gunung, arane Mandhalagir, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samangko. Nora sira rupa kala, nora sira rupa Durga, atemahan Uma-uma, arep ageweya bala, ana lanang ana wadon, si betapasi betapi, sibrenggala si brenggali, si rahmaya si rahmayi, si kuntara si kuntari, kudu lumaku rinuwat, anata senjataning wang arane panji kumala, pina putrakaken gunung, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko. Kala atemahan Guru, Durga atemahan Uma, Umayana umayini, widadara widadari, arep mantuk mring khayangan, Hyang Kala Bethara reswara, amediya swara wija, aweha urip sarasa”. 12. Diteruskan dengan Sastra Ruwat Panggung, “Hong ilaheng prayoganira. Sang Hyang Galinggang kalawan sira Sang Hyang Damarjati, kelire Hyang Tinjomaya, Peluntur alimunan, kekuping Sang Hyng Kuwera, peracik Sang Retna Adi, deboge Sang Hyang Gebohan, Cangkoke Bethara Gana, alinggih pang kayu Batara Sambu, awune Bethara Brama, arenge Bethara Wisnu, kewala anonton wayang, Sang Hyang Guru kang amayang, widadari kang nggameli, anyangang iyang ayine, sun tegang ora wangwang, sehamana maya katon, kang anonton nora katon, kabruk-kabruk katung, pralambe yang ana maya katon, kang tinonton nora katon, kang anonton nora katon”. 13. Diteruskan dengan Sastra Panengeran, “Hong ilaheng prayoganira. Kang minangka tangeranku, sakti guna nila warna, turuku lindur buwana, salonjorku lungguh wesi, amunjung kayu perbatang, sedhakepku oyod nimang, candi sewu ing dhadhaku, adegku kayu kastuba, randhu kepuh ing jengkengku, naga mulat ing guluku, naga peksa tulaleku, gadhingku warna curiga, cangkemku mas untu manik, siyungku Hyang pancanaka, lidahku sang sara sekti, brajapati ning wuwusku, arupa wil panca warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku, netraku Sang Hyang Surya Candhra,sumuluh ing rat bawana, awedi kang buta dengen, awedi kang manungsa kabeh, awedi raksasa kabeh, undun ngudu aliweran, lemah paran lungka-lungka, liman watu rejeng, alas agung anderkara, tetegale angyangan, songing landhak garung-gungan, ajarat lemah tendhesan, slirane kang lemah aeng, paomahane durga yekti, lemah wates jejebangan, lemah setra akil ing wang, kang katungkul manut ingwang, dandang bango salirane, anauta lara raga, lara geng wigena,
21
salire mala trimala, tuju teluh teregnyana, budug edan ayan buyan, tuju teluh tarangyana, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa, supatane adi guru, yoga ruwat dening aku, budug ayan buyan, lumpuh wuta tuli bisu, tak usapi tangan kiwa, pan aku pangruwat mala, geter pater pangucapku, ketuk lindhu prabawaku, kilat cleret ing kendhepku, lebda wara mandi sebda, japa mantra kasektenku, kurdaku galudhug gelap, aku kang Hyang Candra sekti, aku Sang Hyang Raja Polah, aku Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Hyang Sikara Jala, aku Sang Sikara basu, aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang ila-ila, aku Sang Hyang Tunjung putih, aku surak tanpa mungsuh, aku tengeraning angin, lesus agung aliweran, prahara kalawan tambur, pangleburan rajamala, ila-ila upadarwa, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa, tan tumama saliraku, tuju teluh taragnyana, budhug edan ayan buyan, lebur kabeh musna ilang, aku Sang Hyang Candhusekti, turun sira sakareng, rijajegan rejeg wesi pinayungan kalacakra, kinemiting widadara, kinemiting widadari, Resi dewa sogataku, aku Sang Hyang Jaya pamurus”. 14. Diteruskan dengan Kidung Panengeran lanjutan, “Hong ilaheng prayoganira. Kang minangka tangeranku, Sang Hyang Tiga Pelunguhku, dadaku Sang Ula Naga, Naga Raja selasangku, Naga Mulet ing guluku, Naga Pulet tulaleku, gadhing warna curiga, cangkemku mas untu manik, siyungku mas pancanaka, lidahku sang rasa sekti, brajapatining wuwusku, arupa wil panca warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku, netraku Sang Hyang Surya Candhra, sumuluh ing rat bawono, awedi kang buta dengen, tumingal ing kasektenku, udung-udung ulur-ulur, pilinglung watu tinumpuk, paran limang watu rejeng, lungka-lungka watu putih, sirate lemah tandhesan, agerat kang lemah sangar, alang-alang amelakang, tetegal kang ameyangan, lemah amunuking lembu, lemah aguluning manuk, lemah anggiring sapi, lemah anjilinthing kendhil, lemah ambara bathari, sakehe kang lemah aeng, akehe kang watu aeng, teja-teja ing ulatku, kuwung-kuwung lelathiku, durga galudhug gelap, aku Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Sikara Jala, aku Sang Sikara basu, aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang ila-ila, aku Sang Hyang Tunjung Putih, aku Naganilawarna, aku Sang Hyang Naga Pamolah, aku tengeraning angin, sindhung lesus leliweran, prahara kalawan geter, udang braja salah mangsa, angagem dendha trisula, musala kalawan gadha, senjataku luwih sewu, ngongdokaken mungsuhku bubar, kabeh dewata tumingal kasektenku, aku sang bala sewu, aku Sang Hyang Guru Taya, tumurun aku sekareng, angadheg ing nggonku ring windhu, ajamang akarawistha, asesep angga genitri, trinaya catur bujangga, rinajegan rejen wesi, pinayungan kalacakra,
22 kinemiting pancaresi, sang kusika gagra mestri kurasa, sang Pritanjala, surenggana, surenggini, kinemiting widadara, kinemiting widadari, kinemiting catur loka, endra baruna kuwera, yama luwan bismawana, nguniweh butawilaksa, padha ngreksa padha kemit, rumeksaa mring aku, angastuti maring mami, ya ingsung Sang Hyang Dewa Murti, papaku jati yuswa, sampurna dak tampa mala, niruga nirupa darwa, ya minamuna mas wa hah”.
15. Diteruskan dengan Kidung Sastra Pangruwatan, “Hong ilaheng prayoganira. Ilanga Sanga Dyrga Durgi, sakehe kang alas seng, randhu kepuh karangan kroya waringin ageng, lemah seta tangkeling wang, kang katungkul manut ing wang, dandang bango salirane, anglebura lara raga, lara geng lara wigegna, slirane lara trimala, supatane wong atuwa, tetangga yen angrung guwa, supata lawan sengsara, supatane Sang Hyang Dewata, supatane awak dhewe, nguni wah buta wiyaksa, kalawan buta wiyaksi, ila-ila upadarwa, budhug edan ayan buyan, budhug edan buyan, mumet mules bencretan, ngelu puyeng pilek watuk, sarta ingkang kena welak, nguni weh padha rawe, tak usapi tangan kiwa, cakra lepas ing tanganku, ke ka ruwat mala, geter pater pangucapku, gerah minangka sabdaku, sabda wara japa mantra, apan iku kasektenku, Sang Hyang Permana ing senenku, ilanga rupa Kala, ilanga sang rupa buta, ilanga sang rupa sasap, ilanga sang rupa jugil, ilanga sang rupa jakat, ilangan sang rupa gendruwa, ilanga sang rupa dusta, durjana kawisayan ulun, durga uta paripurna, nuraga ni rupa dewa, ya minamuna mas wa hah”.
16. Diteruskan dengan Kidung Pangruwat Pamungkas “Hong ilaheng prayoganira. Ruwata Sang Rupa Durga, ruwata sang rupa Buta, ruwata sang rupa Sasab, ruwata sang rupa Jugil, ruwata sang rupa Jakat, ruwata sang rupa Mercu, ruwata sang rupa Taya, ruwata sang rupa Dusta, ulun ingkang angruwata, ulun ingkang angilangna, Durga yuta paripurna, nuraga nirupa darwa, ya minamuna mas wa hah”. Setelah selesai melantunkan Kidung Ruwat Muewakala, rambut anak sukerta dipotong sebagai syarat yang nantinya akan dilarung. Kemudian anak Sukerta tersebut dimandikan air bubga setaman oleh yang meruwat. Setelah itu wong sukerta tadi menjadi anak angkat bagi yang meruwat (dalang). Segala sesaji, kain putih menjadi milik orang yang meruwat (dalang ruwat).
23 Bila orang yang diruwat adalah orang yang mengalami gangguan kejiwaan (gila), atau sudah lama mengalami kesurupan, maka harus dibacakan Kidung Rumaya, sekar sinom yang menyebutkan adanya lelembut di tanah Jawa sebagai berikut : Tembang Sinom “Apuranen sun angetang, lelembut ing tanah Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning dhedhemit, agung sawahe ugi, yen apal sadayanipun, kena ginawe tulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa. Kang rumiyin ing mbang wetan, Durganeluh Maospahit, lawan Raja Baureksa, iku ratuning dhedhemit, Blambangan winarni, awasta Sang Balabatu, kang rumeksa Blambangan, Buta Locaya Kediri, Prabu Yeksa kang rumeksa Giripura. Sidakare ing Pacitan, Keduwang si Klentingmungil, Hendrjeksa, ing Magetan, Jenggal si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, ing Punggung si Abur-abur, Sapujagad ing Jipang, Madiyun sang Kalasekti, pan si Koreg lelembut ing Panaraga. Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggiling wesi, Macan guguh ing Grobogan, Kaljohar Singasari, Srengat si Barukuping, Balitar si Kalakatung, Buta Kroda ing Rawa, Kalangbret si Sekargambir, Carub awor kang rumeksa ing Lamongan. Gurnita ing Puspalaya, Si Lengkur ing Tilamputih, si Lancuk aneng Balora, Gambiran sang sang Kaladurgi, Kedunggede Ni Jenggi, ing Batang si Klewr iku, Nglasem Kalaprahara, Sidayu si Dandangmurti, Widalangkah ing Candi kayanganira. Semarang baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pemalang Ki Sembungyuda, Suwarda ing Sokawati, ing Tandes Nyai Ragil, Jayalelana ing Suruh, Buta Tringgiling Tanggal, ing Kendal si Gunting geni, Kaliwungu Gutuk-api kang rumeksa. Magelang Ki Samaita, Dadung Awuk Brebes nenggih, ing Pajang Buta Salewah, Manda-manda ing Matawis, Paleret Rajeg-wesi, Kutagede Nyai Panggung, Pragota Kartasura, Carebon Setan Kaberi, Jurutaman ingkang aneng Tegallajang. Genawati ing Siluman, Kemandang Waringin-putih, si Kareteg Pajajran, Sapuregol ing Batawi, waru Suli Waringin, ingkang aneng Gunung Agung, Kalekah Ngawang-awang, Parlapa ardi Merapi, Ni Taluki ingkang aneng ing Tunjungbang.
24 Magelang Ki Samaita, Dadung Awuk Brebes nenggih, ing Pajang Buta Salewah, Manda-manda ing Matawis, Paleret Rajeg-wesi, Kutagede Nyai Panggung, Pragota Kartasura, Carebon Setan Kaberi, Jurutaman ingkang aneng Tegallajang. Genawati ing Siluman, Kemandang Waringin-putih, si Kareteg Pajajran, Sapuregol ing Batawi, waru Suli Waringin, ingkang aneng Gunung Agung, Kalekah Ngawang-awang, Parlapa ardi Merapi, Ni Taluki ingkang aneng ing Tunjungbang. Setan Karetek ing Sendang, Pamasuhan Sapu Angin, Kres apada ing Rangkutan, Wandansari ing Tarisig, kang aneng Wanapeti, Malangkarsa namanipun, Sawahan Ki Sandungan, Pelabuhan Dudukwarih, Buta Tukang ingkang aneng Pelajangan. Rara Amis aneng Tawang, ing Tidar si Kalasekti, Maduretna ing Sundara, Jelela ing ardi Sumbing, Ngungrungan Sidamurti, Terapa ardi Merbabu, Lirbangsan ardi Kombang, Prabu Jaka ardi Kelir, Aji Dipa ardi Kendeng kang den reksa. Ing pasisir Buta Kala, Telacap Ki Kala Sekti, Kala Nadah ing Tojamas, Segaluh aran si Rendil, Banjaran Ki Wesasi, si Korok aneng Lowange, gunung Duk Geniyara, Bok Bereng Parangtaritis, Drembamoa ingkang aneng Purbalingga. Si Kreta karangbolongan, Kedung Winong Andongsari, ing Jenu si Karungkala, ing Pengging Banjaransari, Pagelan kang winarni, aran Kyai Candralatu, ardi Kendali Sada, Ketek putih kang nenggani, Buta Glemboh ing Ngayah kajanganira. Rara Denok aneng Demak, si Batitit aneng Tubin, Juwal-pajal ing Talsinga, ing Tremas Kuyang nenggani, Trenggalek Ni Daruni, si Kuncung Cemarasewu, Kala-dadung Bentongan, si Asmara aneng Taji, Bagus-anom ing Kudus kayanganira. Magiri si Manglar Munga, ing Gading si Puspakati, Cucuk Dandang ing Kartika, Kulawarga Tasikwedi, kali Opak winarni, Sangga Buwana ranipun, Pak Kecek Pejarakan, Cing-cing Goling Kalibening, ing Dahrama Karawelang kang rumeksa. Kang aneng Warulandeyan, Ki Daruna Ni Daruni, Bagus Karang aneng Roban, Pasujayan Udan riris, Widanangga Dalepih, si Gadung Kedung Garunggung, kang aneng Kabareyan, Citranaya kang neggani, Ganepura ingkang aneng Majaraga.
25 Logenjang aneng Juwana, ing Rembang si Bajulbali, si Londir ing Wirasaba, Madura Buta Garigis, kang aneng ing Matesih, Jaranpanolih ranipun, si Gober Pecangakan, Danapi ing Jatisari, Abar-abir ingkang aneng Jatimalang. Arya Tiron ing Lodaya, Sarpabangsa aneng Pening, Parangtandang ing Kesanga, ing Kuwu si Ondar-andir, Setan Telaga pasir, ingkang aran si Jalilung, Kala Ngadang ing Tuntang, Bancuri Kala Bancuring, kang angreksa sukuning ardi Baita. Rara Dungik Randu Lawang, ing Sendang Retna Pangasih, Buta Kepala Prambanan, Bok Sampur neng ardi Wilis, Raden Galanggang Jati, aneng ardi Gajah Mungkur, si Gendruk ing Talpegat, ing Ngembel Rahaden Panji, Pager Waja Rahaden Kusumayuda. Si Pentul aneng Kacangan, Pecabakan Dodol Kawit, kalangkung kasektenira, titihane jaran panolih, kalacakra payung neki, larwaja kekemulipun, pan samya rinajegan, respati rajege wesi, cametine pat-upate ula lanang. Sinabetaken mangetan, ana lara teka bali, tinulak bali mangetan, mangidul panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali mangidul, ngulon panyabetira, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang lara. mangalor panyabetira, ana lara teka bali, tinulak ngalor parannya, manginggil panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali manduwur, mangisor panyabetnya, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang lara. Demit kang aneng Jepara, kalwan kang aneng Pati, kalangkung kasektenira, keringan samaning demit, ing Ngrema Tambaksuli, Yudapeksa ing Delanggu, si Kluntung ing Jepara, Gambir Anom aneng Pti, si Kecebung Kadilangu kang den reksa. Rara Duleg ing Mancingan, Guwa Langse Raja Putri, kang rumeksa Parang Wedang, Raden Arya Jayengwesti, kabeh urut pasisir, kula warga Nyai Kidul, sampun pepak sadaya, para pramukaning demit, nungsa Jawa paugeran kang rumeksa, Titi Tamat Angidung Rajah Rumaya”. Ini adalah doa yang dibacakan pada saat melakukan ritual ruwat secara lengkap dan menurut KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden Hadipati Danureja IV). Selesai menyanyikan kidung untuk Ruwat Murwakala, selanjutnya dibuatlah Rajah Kalacakra yang ditempelkan pada pintu-pintu rumah yang diruwat. Pembuatan Rajah Kalacakra Balik adalah menulis huruf hanacaraka secara terbalik urur\tannya, dimulai dengan “nga ta ba ga ma nya ya ja da pa la wa sa ta da ka ra ca na ha”
26
dilakukan dengan cara sebagai berikut : * Ditulis melingkar diatas lempengan emas, * Sebelumnya melakukan puasa selama 40 hari, hanya berbuka sekali pada tengah malam saja, * Pati geni selama sehari semalam penuh, * Lempengan emas yang sudah menjadi rajah di tanam pada tembok atau ditanam pada tanah. Penanaman ini dilakukan dengan cara sunduk sate. * Penulisan huruf dengan aksara Jawa. Rajah Kalacakra ditulis pada kain atau kertas yang berwarna putih kemudian ditempel pada tembok atau pintu depan rumah. Penggunaan warna tinta dengan menggunakan dua warna, misalnya hitam dan merah. Dalam menulis rajah ini, dengan syarat-syarat sebagai berikut : * Melakukan puasa selama 21 hari, * Setiap jam 1 malam harus membakar dupa selama puasa,
PAKEM RUWATAN
Ruwatan adalah satu upacara tradisional supaya orang terbebas dari segala macam kesialan hidup, nasib jelek dan supaya selanjutnya bisa hidup selamat sejahtera dan bahagia. Ruwatan yang paling terkenal yang sejak zaman kuno diselenggarakan oleh nenek moyang adalah Ruwatan Murwakala. Dalam ruwatan ini dipergelarkan wayang kulit dengan cerita Murwakala, dimana orang-orang yang termasuk kategori sukerto diruwat/disucikan supaya terbebas dari ancaman Betara Kala, raksasa besar yang kejam dan menakutkan, yang suka memangsa para sukerto. A. Persiapan Pelaksanaan Ruwatan Sebelum pelaksanaan upacara ruwat, beberapa hal berikut sudah ada ditempat upacara. 1. Para sukerto yang berpakaian serba putih bersih. Warna putih adalah lambang dari suci. 2. Orang tua dari para sukerto berpakaian adat dengan apik. 3. Seorang dalang sepuh yang mumpuni untuk melakukan upacara ruwatan sukerto, lengkap dengan seperangkat panggung wayang kulit dengan gamelan dan para penabuh dan pesindennya. 4. Tempat untuk pelaksanaan ruwatan yang cukup luas untuk panggung wayang kulit, tempat duduk para sukerto dan orang tuanya dan tempattempat air untuk memandikan sukerto. 5. Sesaji yang diperlukan yang cukup banyak macamnya.
B. Pelaksanaan Ruwatan 1. Para sukerto diantar oleh para orang tuanya diterima oleh Ki Dalang yang akan meruwat.Salah seorang orang tua sukerto atau seseorang yang ditunjuk menyerahkan para sukerto kepada Ki Dalang untuk diruwat. Serah terima sukerto berjalan dengan khusuk, dibarengi aroma ratus dupa yang lembut harum. Suasana sakral terasa. 2. Para sukerto duduk bersila dibelakang kelir wayang dan selama pagelaran bersikap santun dan memperhatikan cerita wayang dan nasihat, kidung dan doa-doa/mantra yang diucapkan oleh Ki Dalang. Para orang tua sukerto duduk ditempat yang telah disediakan, dekat dengan putra-putrinya. 3. Ki Dalang duduk ditempatnya didepan kelir dan mulai mendalang wayang dengan cerita Murwakala. Cerita Muwakala Pagelaran wayang kulit dimulai dengan adegan jejer di Jonggring Salaka, Betara Guru, ratunya para dewa, didampingi oleh Betari Durga, istrinya, dihadap oleh Betara Narada, Sang Patih dan para dewa yang lain.
28 Sesudah para dewa menghaturkan sembah kepada Betara Guru, Narada melaporkan keadaan didunia ,dimana kawula sangat risau, karena banyak orang yang menjadi mangsa Kala, raksasa seram, tinggi besar. Kala itu sangat rakus, banyak anak-anak, orang tua,lelaki, wanita ,dia tangkap dan makan. Dengan emosional Narada memohon supaya perbuatan raksasa Kala dihentikan segera. Guru bertanya : “ Siapa yang dimangsa oleh Kala?” Narada menjawab : “ Sekarang ini, Kala memangsa siapapun yang ketemu dia. Dia bertindak ngawur dan serakah. Dia melanggar peraturan yang telah ditetapkan dewa. Betara Guru menyela :” Apa ketentuan dewa itu?” Narada menjawab : “ Yang boleh dimangsa Kala adalah manusia yang masuk kategori sukerto. Itu sebenarnya sudah lebih dari cukup,karena jenis sukerto itu banyak sekali. Jadi banyak orang yang ketakutan dikejar-kejar oleh Kala. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kala harus segera dikendalikan, kasihan penduduk bumi”. Betara Guru setelah mendengarkan pendapat para dewa, memerintahkan supaya Kala dipanggil. Sidang para dewa juga memutuskan bahwa Betara Guru sendiri yang akan turun tangan mengendalikan Kala, karena Kala punya watak sulit dan punya kesaktian tinggi.
Siapa sebenarnya Betara Kala? Para dewa tidak tahu siapa sebenarnya Kala. Seperti orang-orang bumi mereka tahunya Kala adalah raksasa seram tinggi besar yang suka makan daging manusia. Hanya Guru dan Durga yang tahu siapa Kala sebenarnya,karena dia adalah anak Guru dan Durga. Kala adalah anak yang terjadi dari kama salah, sehingga menjadi mahluk yang berwatak jahat, yang hanya mementingkan diri sendiri. Begini kisah kelahiran Kala : Disatu hari yang cerah, diawang-awang biru muda nan cerah, Guru bersama istrinya, Durga, dengan menaiki lembu Andini, bercengkerama mengelilingi dunia. Pemandangan begitu indah.langit bersih tiada awan, dari atas bumi kelihatan begitu jelas, sangat indah menawan. Betara Guru melihat wajah istrinya berseri-seri, sangat cantik dengan tubuhnya yang sexy. Tiba-tiba Guru kepingin bermain cinta dengan istrinya, hasratnya tak bisa dicegah. Istrinya berusaha menolak , tetapi tak kuasa.
29 Dengan nafsu berkobar Guru menggauli istrinya. Durga mengingatkan bahwa ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk bercinta. Guru tak peduli. Ketika nafsu Guru memuncak dan mencapai orgasme, Durga mendorong dan melepaskan diri dari cengkeraman suaminya. Buah cinta Guru jatuh kebumi dan masuk kelaut ,lalu benih itu tumbuh menjadi raksasa jahat yang bernama Kala. Jadi Kala adalah produk yang salah, kama salah, yang dilahirkan dalam keadaan dan waktu yang tidak tepat. Kala, yang adalah putra dewa-dewi menjadi raksasa jahat yang maunya memakan daging manusia. Sebelum Kala datang di Jonggring Salaka, Guru meminta supaya usahanya untuk menjinakkan Kala dibantu oleh Durga, karena bagaimanapun Durga adalah ibu dari Kala. Sejelek-jeleknya anak tentu akan mendengarkan nasihat ayahanda dan ibundanya. Guru juga memberitahu Narada, patihnya, bahwa Kala adalah anak Guru dan Durga, tetapi Kala sendiri sampai saat ini tidak tahu.
Kala menghadap Betara Guru
Dijemput para dewa, Kala datang di Suralaya dan langsung menghadap Betara Guru yang didampingi oleh Durga dan beberapa petinggi dewa.Sikapnya tidak sopan, tidak punya tata krama, bicaranya kasar dan seenaknya sendiri.Dia berdiri didepan Guru dan langsung berteriak-teriak : “ Aku mau makan yang didepanku ini, sambil menunjuk-nunjuk Guru”. Narada bicara dengan nada tinggi : “ E, jangan ngawur kamu, beliau itu rajanya para dewa dan bapakmu sendiri”. Sambil menguap keras, Kala berkata : “ Tidak peduli bapakku sendiri, tetap mau aku makan karena aku lapar”. Durga tak tahan melihat kebringasan Kala dan malu hati atas kelakuan putranya yang sama sekali tak menghormati ayahnya, Durga maju mendekati Kala dan berkata dengan iba : “ Wahai Kala, hormatilah ayahmu, hormatilah orang tuamu”. Dengan nada welas asih ,Durga memberi tahu Kala ,siapa dia sebenarnya”. “ Kini Kala, kamu sudah tahu siapa kamu. Meskipun bentukmu raksasa, tetapi kamu itu putranyanya Betara Guru yang rajanya para dewa dan aku adalah ibumu. Oleh karena itu anakku, kamu wajib bersikap santun dan memegang tata karma”. Agak kaget Kala menjawab : “ Kalau Guru memang bapakku, tentulah dia pandai . Aku akan berdialog dengannya, kalau dia lebih pintar dari aku, baru aku akui bahwa dia adalah bapakku”. Dalam dialog panjang lebar antara Guru dan Kala, Guru bisa menjawab semua pertanyaan Kala. Akhirnya Kala mengaku kalah dalam perdebatan, sehingga dia mau mengakui Guru sebagai bapaknya. Sambil duduk bersila, dia berjanji menurut apapun perintahnya.
Dengan penuh wibawa Guru bersabda : “ Wahai Kala, kau ku izinkan kembali kebumi dan disana kau boleh memangsa manusia yang termasuk kategori sukerto. Tetapi kau tidak boleh memangsa orang yang didadanya ada tulisan mantra Kalacakra dan dikepalanya ada tulisan mantra Sastra Balik. Ini adalah ketentuan dewa dan tidak boleh dilanggar, kalau kau melanggar kau akan menerima hukuman berat yang tidak akan bisa kau hindari”. Kala mengangguk,termenung, dalam batin berkata : “ Aduh, tentu aku akan hidup kelaparan karena aku hanya boleh makan sukerto”. Dia mau tanya apa sukerto itu, tetapi dia tidak berani. Dalam keputus asaan dia melihat ibunya, maksudnya mau minta tolong. Durga yang ibunya tanggap, dia mendekat ke anaknya dan mengatakan bahwa manusia yang termasuk kategori sukerto itu banyak sekali, jadi Kala tak akan kelaparan, jatah makanannya sangat berlimpah. Mendengar penjelasan ibunya Kala tersenyum dan mohon pamit untuk kembali kebumi, karena dia sudah lapar sekali.
Kategori Sukerto Pada garis besarnya ada 3(tiga) macam kelompok sukerto, yaitu : 1. Sukerto karena kelahiran seperti anak tunggal, kembar; berdasarkan waktu kelahiran, misalnya anak yang dilahirkan tengah hari atau saat matahari terbenam dll.Sukerto kelompok ini adalah anak-anak yang sangat dicintai oleh orang tua mereka, keselamatan dan kebahagiaan mereka selalu dipikirkan oleh orang tua mereka.Terlebih para orang tua tersebut mengetahui bahwa anak-anak tersebut termasuk dalam daftar sukerto. 2. Sukerto karena berbuat kesalahan meski tidak sengaja seperti : seperti memecahkan gandhik, alat pembuat jamu; menjatuhkan dandang ( tempat untuk menanak nasi) waktu sedang masak nasi. 3. Sukerto karena dalam hidupnya terkena banyak musibah, sial, penyakit dan sering diancam bahaya. Mengenai berapa macam sukerto , itu ada beberapa versi. Menurut Pakem Pangruwatan Murwakala ada 60 macam sukerto, Pustaka Raja Purwa ada 136 sukerto, Sarasilah Wayang Purwa ada 22 sukerto, sedangkan menurut Buku Murwokolo ada 147 macam sukerto. Sukerto yang berhubungan dengan kelahiran antara lain : 1. Ontang-anting : Anak tunggal laki-laki. 2. Unting-unting : Anak tunggal wanita. 3. Gedhana-gedhini : Satu anak laki-laki dan satu anak wanita dalam keluarga. 4. Uger-uger lawang : Dua anak laki-laki dalam keluarga. 5. Kembar sepasang : Dua anak wanita dalam keluarga. 6. Pendhawa : Lima anak laki-laki dalam keluarga. 7. Pendhawa pancala putri : Lima anak perempuan dalam keluarga. 8. Kembar : Dua anak laki-laki atau wanita lahir bersamaan. 9. Gotong Mayit : Tiga anak wanita semua. 10. Cukil dulit : Tiga anak laki-laki semua. 11. Serimpi : Empat anak wanita semua. 12. Sarambah : Empat anak laki-laki semua. 13. Sendang kapit pancuran: Anak tiga, dua laki-laki, yang tengah wanita. 14. Pancuran kapit sendang : Anak tiga, dua wanita, yang tengah laki-laki. 15. Sumala : Anak cacat sejak lahir. 16. Wungle : Anak lahir bule. 17. Margana : Anak lahir sewaktu ibunya dalam perjalanan. 18. Wahana : Anak lahir sewaktu ibunya sedang pesta. 19. Wuyungan : Anak lahir diwaktu perang atau lagi ada bencana. 20. Julung sungsang : Anak lahir ditengah hari. 21. Julung sarab : Anak lahir waktu matahari terbenam.
22. Julung caplok : Anak lahir disenja hari. 23. Julung kembang : Anak lahir saat fajar.
Sukerto karena perbuatan salah atau tidak patut( Ora ilok) : 1. Orang yang bersiul saat tengah hari, itu tidak patut/ ora ilok. 2. Orang yang memecahkan gandhik, alat dari batu untuk membuat jamu. 3. Orang yang menjatuhkan dhandhang sewaktu menanak nasi.
Sukerto yang dalam hidupnya mengalami banyak musibah, bencana dan sering sekali diancam bahaya. Ada orang yang dalam menjalani hidup ini selalu tertimpa sial.Dalam melakukan pekerjaan banyak salah, dalam usaha mengalami kegagalan. Terlibat banyak urusan yang tidak enak, terkena macam-macam penyakit, boleh dikata hidupnya tidak menyenangkan dlsb. Ada yang bilang bahwa waktu dan kondisi selalu tidak berpihak kepadanya. Ada sesuatu yang salah, sehingga orang tersebut perlu diruwat. Dalam pemahaman kuno, orang-orang yang termasuk tiga kelompok sukerto itu perlu diruwat secara tradisional. Mereka diruwat supaya tidak menjadi mangsa Kala, terbebas dari gangguan dan bencana yang merupakan ancaman Kala. Kita mengerti bahwa Kala artinya waktu dan waktu yang mengancam dan menimbulkan bencana adalah waktu yang tidak baik, tidak tepat. Orang normal tentu berharap perjalanan waktu hendaknya dan selalu diusahakan untuk berpihak kepada kita. Sehingga hidup kita selamat, sehat, berkecukupan dalam bidang materi, tentram jiwa kita , maju pekerjaan dan usaha, sukses dalam menjalani hidup ini, selalu mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Rapat warga sebuah desa Disebuah desa diadakan rapat warga yang diadakan di Balai Desa. Rapat dipimpin langsung oleh kepala desa yang dipanggil Ki Ageng oleh rakyatnya. Seluruh aparat desa dan kepala keluarga hadir dipertemuan yang penting tersebut. Ini disebabkan, warga desa kehilangan rasa tentramnya pada akhir-akhir ini, karena ada gangguan yang sangat menggelisahkan. Penanggung jawab keamanan, Jagabaya melaporkan bahwa gangguan maling bisa diatasi, kriminalitas sifatnya ringan-ringan saja dan tidak banyak. Yang ditakutkan para orang tua adalah hilangnya beberapa anak dan remaja, yang diculik oleh raksasa besar yang menakutkan. Ini terjadi mulanya terjadi didesa-desa tetangga, tetapi kini mulai terjadi juga didesa ini.Petugas Jagabaya dan anggota-anggota keamanan tidak mampu menangkap raksasa ganas tersebut. Warga mohon kepada Ki Ageng untuk menemukan solusi segera.
Mengundang Ki Dalang Kandabuwono Ki Ageng bertanya kepada seorang pinisepuh desa yang dihormati dan tinggi ngelmu spiritualnya yang oleh orang-orang disebut Romo.
Ki Ageng bertanya :” Romo, siapa sebenarnya raksasa buas itu dan sebenarnya apa yang terjadi?” Romo menjawab dengan serius : “ Begini KI Ageng, keadaan desa sangat serius,oleh karena itu harus dihadapi dengan cermat. Seluruh warga desa harus siap siang dan malam dalam keadaan siaga. Menurut pengamatan batin saya, raksasa itu adalah Kala.Dia bukan sembarang raksasa, dia itu sangat sakti. Ki Ageng menyela :” Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?” Romo menjelaskan secara detail dan gamblang apa yang terbaik untuk dilakukan. Ki Ageng mengumumkan keputusan musyawarah warga desa, yaitu :” Saudara-saudara sekalian, kita akan nanggap wayang. Kita akan mengundang seorang dalang yang berbobot dan mumpuni untuk mengadakan pagelaran wayang kulit dengan cerita Murwakala. Dalang tersebut adalah Ki Dalang Kandabuwono yang kita percaya mampu menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Selain seorang dalang sepuh, beliau juga tinggi ngelmu spiritualnya. Semua hadirin setuju, lalu ditunjuk delegasi untuk menghubungi Ki Dalang.
Siapa Ki Dalang Kandabuwono? Setelah berunding dengan Narada, patihnya yang terpercaya, Betara Guru sependapat bahwa makanan yang boleh dimangsa Kala, terlalu banyak.Tentu penduduk bumi akan ribut. Untuk itu Guru memutuskan untuk sementara turun kebumi untuk mengendalikan Kala. Dia didampingi oleh Durga, Narada dan beberapa pengawal. Begitu sampai bumi, mereka menyamar sebagai manusia. Guru menjadi seorang yang berprofesi sebagai dalang wayang kulit yang bernama Ki Dalang Kandabuwono.Hal pertama yang dilakukan rombongan dalang adalah menemui KI Lurah Semar yang sebenarnya adalah seorang dewa sepuh, kakak Betara Guru, yang turun hidup di mayapada/dunia untuk mengawal para satria yang berjuang demi kebaikan ,kemakmuran dan keadilan dunia berdasarkan kebenaran. Guru dan semua dewa sangat hormat kepada Semar. Syarat pagelaran wayang Terjadi pertemuan antara Ki Ageng yang didampingi pinisepuh dan pengurus desa dengan Ki Dalang Kandabuwono yang didampingi istrinya, Semar dan beberapa pengawal.Ki Ageng sebagai kepala desa yang bijak dan berpengalaman, begitu ketemu Ki Dalang, langsung merasakan daya dan wibawanya yang kuat. Ki Ageng yakin bahwa Ki Dalang adalah orang berkemampuan tinggi dan tentu akan sanggup mengatasi kekacauan yang tengah terjadi. Dengan ramah, sopan, tegas Ki Dalang menerima permintaan Ki Ageng dan warga desa untuk mendalang dengan cerita Murwakala yang dimaksudkan untuk meruwat para sukerto supaya tidak lagi diganggu Kala.Ki Dalang menyatakan bahwa semua sukerto yang diruwat akan dibersihkan segala kotoran fisik dan jiwanya, akan dihapus segala sial dan malapetaka sehingga tidak lagi diancam Kala dan sang waktu jahat yang mengganggu kehidupan manusia. Ini juga disebut ruwat sengkolo. Ki Dalang sanggup melakukan tugas mulia ini, tetapi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Ki Ageng agak kaget karena Ki Dalang punya syarat dan dia bertanya dengan sopan :” Lalu apa syaratnya –syaratnya?”. Dengan santun tetapi tegas KI Dalang berkata : “ Semua anak, semua orang yang saya ruwat menjadi anak KI Dalang, anak saya, sehingga Kala tidak lagi berani mengganggu mereka karena mereka adalah anak Dalang Kandabuwono.”
Selanjutnya KI Dalang berujar dengan jelas : “ Anak-anak yang telah saya ruwat, untuk Kala sudah bukan lagi merupakan sukerto, mereka bukan lagi sukerto karena sukerto-nya telah sirna”. “ Apa Ki Ageng dan para sukerto dan para orang tua sukerto setuju?, tanya Ki Dalang. Semua menjawab setuju!!! Selain itu para pinisepuh desa agar menyiapkan uborampe- hal-hal yang diperlukan untuk ruwatan seperti sesaji.
Esensi Sesaji Pada masa kini banyak orang terutama generasi muda yang tidak mengerti esensi sesaji. Sesaji yang bermacam-macam itu bermaksud baik, bila diurai berarti : • • • • •
Panembah dan ungkapan terimakasih kepada Gusti, Tuhan Sang Pencipta. Permohonan kepada Tuhan supaya upacara dan tujuannya yang mulia mendapat berkah dan perlindungan Tuhan. Mendapatkan restu para pinisepuh. Berisi petuah-petuah bijak untuk menjalani hidup ini dengan baik dan benar. Supaya tidak ada gangguan berupa apapun dari mahluk yang kelihatan dan”tidak kelihatan”.
Itulah daya atau enerji yang diharapkan dari serangkaian sesaji yang komplit, yang dirangkai dari berbagai hasil bumi, yang sudah sejak zaman kuno makuno merupakan tradisi. Jadi inti dari sesaji adalah sebuah harapan, sebuah doa terbaik. Selain itu harus disediakan air suci dari tujuh sumber mata air yang berbeda. Supaya tujuan ruwatan berjalan sebagaimana mestinya, upacara harus dilaksanakan secara runut, cermat dan benar. Selain Ki Dalang yang telah menyiapkan diri lahir batin, para sukerto dan orang tuanya diwajibkan menghayati ruwatan yang berjalan. Ki Dalang ,para sukerto dan orang tuanya berpakaian tradisional. Sebelum upacara para sukerto mohon restu dari orang tuanya. Semua pihak yang terlibat memohon berkah Tuhan, karena hanya dengan palilah Beliau segalanya berjalan lancar dan baik. Uborampe/ peralatan yang dipergunakan dalang dan sukerto • • • • • •
Sepotong kain putih yang disebut mori, panjang 3 meter dibagi dua, yang sebelah diduduki dalang, potongan lainnya diduduki sukerto. Diatas mori ditaburi bunga mawar, melati, gambir. Blencong, lampu untuk menerangi pagelaran wayang, digantungkan diatas dalang. Memakai bahan minyak kelapa bukan dari penerangan listrik. Pakaian para sukerto pada waktu upacara, sesudah selesai upacara diberikan kepada Ki Dalang. Disediakan nasi kuning dicampur uang logam, nantinya disebar oleh dalang. Pengaron baru, tempat air terbuat dari tanah liat yang diisi air dari tujuh sumber dicampur dengan kembang setaman dari mawar, melati, kenanga dan dua buah telor
ayam. Gayung yang dipakai untuk memandikan sukerto terbuat dari buah kelapa dibagi dua, daging kelapanya tidak dibuang. Sesaji Ruwatan
• • • • • • • • • •
• •
• • • • • • • • • • • • • •
•
Dua ranting kayu dadap srep lengkap dengan daunnya. Dua batang tebu dengan daunnya. Sepasang kelapa muda. Dua ikat padi. Dua tandan buah kelapa. Dua tandan buah pisang. Alat dapur seperti penggorengan, centong dll. Alat pertanian : cangkul, arit,caping dll. Sepasang merpati, bebek, angsa dll. Disedikan sejumlah ayam, satu sukerto satu ayam.Ayam jago untuk sukerto lelaki dewasa, ayam betina untuk sukerto wanita . Ayam jago muda untuk sukerto lelaki remaja, ayam betina muda untuk sukerto putri remaja. 7/ tujuh lembar batik dengan motif : bangun tulak, sindur, gading melati, poleng semen, truntum, sulur ringin dan tuwuh watu. Kendil baru diisi beras dan sebuah telor, dua sisir pisang raja, suruh ayu yang belum jadi,kembang boreh- tepung beras dicampur kembang, uang dengan nilai Rp.25 atau Rp.250 atau Rp.2500. Tikar dan bantal baru, minyak wangi, sisir, bedak, cermin dan kendil. Sekul among- nasi dengan sayuran dan telur, biasanya untuk bancakan, syukuran anak kecil. Sekul liwet- nasi dengan lauk sambal gepeng. Sepasang golong lulut- dua bulatan nasi ketan dengan telur goreng. Beberapa buah ketupat, salah satunya diisi ikan lele atau wader goreng. Golong orean untuk setiap sukerto ( bulatan nasi dengan ayam panggang). Untuk setiap sukerto jumlahnya sesuai dengan wetonnya. Misal sukerto yang wetonnya Minggu Legi, golong oreannya 10 biji, yang Sabtu Paing jumlah oreannya 18, begitu seterusnya. Tumpeng robyong, nasi tumpeng yang diatasnya ditaruh cabe merah dicampur sayur gudangan dan telur rebus mengitari tumpeng. Sekul gebuli, nasi kebuli dengan lauk ikan. Rasulan, nasi dengan lauk daging kambing dan sayuran. Jajan pasar, beberapa kue yang biasa dijual dipasar. Kala kependem,seperti ketela, kacang dsb. Empat tumpeng nasi, warnanya : merah, putih, hitam dan kuning. 7 macam rujak dan 7 macam bubur. Jangan menir yang dibuat dari daun kelor, arang-arang kembang- nasi goreng sangan dengan air gula, gethok- potongan daging segar dengan santan dan air gula, edan- potongan kunyit dari papah lompong/batang talas dengan air gula, ulek –degan- irisan berbagai buah dengan cabai dan air gula, irisan kelapa dicampur air kelapa ditambah gula kelapa. Berbagai bubur jenang : merah putih, pliringan- garis-garis merah putih dengan sedikit merah ditengah, bulus angrem – dalam bentuk bulus sedang mengeram,
• • • • • •
palang- diatas bubur merah ada palang putih, sungsum – bubur tepung beras diberi air gula Jawa. Tuak dan badek/ legen- minuman segar dari pohon aren. Klepat-klepet- daun gadungsari dan dadap srep dibungkus dengan daun kelapa. Klepon – serabi merah putih, uler-uler – jadah dan wajik. Sepasang kembar mayang yang dipayungi. Sebuah pecut baru. Sebuah sapu lidi yang diikat dengan gelang perak.
Pagelaran wayang Murwakala
Diiringi alunan gending lembut, Ki Dalang duduk bersila didepan kelir. Secara pelan dan hati-hati diangkatnya wayang gunungan dan digetarkan pelan-pelan. Itu adalah perlambang mulai bergulirnya kehidupan didunia yang berjalan pasti sesuai dengan hukum alam. Sinar lampu blencong yang merupakan representasi sinar kehidupan dari Gusti, Tuhan Yang Maha Agung menyinari Jagat Raya. Pagelaran berjalan lancar dengan dihadiri KI Ageng, Romo, Semar, para pejabat desa, para sukerto beserta orang tuanya dan hampir semua penduduk desa.
Suasana desa jadi sepi, yang menjaga secara fisik adalah Jagabaya dengan beberapa anggota keamanan. Sedangkan Romo yang “orang pintar”/ paranormal, membantu dengan pengamanan gaib dengan cara melafalkan mantra saktinya. Ada maling yang mencoba memanfaatkan saat sepi untuk membobol rumah, tetapi dengan mudah bisa ditangkap oleh petugas keamanan. Sementara itu diluar, Kala sedang mengejar-ngejar sepasang kedhono-kedhini( kakak beradik laki-laki dan wanita) dan ontang-anting (anak tunggal laki-laki). Untuk menghindari Kala, ketiga sukerto tersebut masuk ketempat pagelaran wayang dan bersembunyi. Kala yang beringas ,begitu mendekat tempat pagelaran sepertinya jadi lemas dan kehilangan nyali. Dia tidak kuat menerobos pagar gaib yang memagari tempat pagelaran. Dia memilih untuk menunggu diluar sampai selesainya pertunjukan, lalu ketigo sukerto
mau dia tangkap. Sewaktu menunggu Kala jatuh tertidur, lalu mendengkur. Semakin lama dengkurannya semakin keras dan terus menerus. Para penonton yang dibaris belakang mulai terganggu. Mereka mencari tahu, siapa yang mendengkur begitu keras sehingga mengganggu pagelaran. Beberapa orang terkejut menemukan ada raksasa besar sedang tidur dibalik semak-semak. Orang-orang itu berteriak: “ Ada buto, ada buto ( raksasa)!” Romo tahu bahwa raksasa itu Kala. Bersama Semar, Romo membangunkan Kala. Kala merasa kalah wibawa dan menurut saja diajak menghadap Ki Dalang Kandabuwono.
Dialog Ki Dalang dengan Kala Kala ditanya oleh Ki Dalang kenapa dia ribut dan mengganggu pagelaran wayang. Dengan nada marah dan tidak sabar Kala menjawab bahwa dia sedang mengejar 3 sukerto yang sembunyi diantara penonton. Sukerto itu jatah makanannya dan siapapun tak boleh menghalangi, kalau menghalangi mau dia makan juga.Kala yang sudah lapar sekali semakin menunjukkan watak sombongnya, dia meremehkan semua orang disitu. Dia pikir tak ada satu orangpun yang mampu mengalahkannya. Ki Dalang dengan sabar meminta Kala tenang dan menjelaskan maksudnya. Kata-kata Ki Dalang sangatlah berwibawa. Suasananya mencekam, apalagi disitu ada Semar, Romo. Kala yang garang jadi menyusut nyalinya. Ki Dalang bilang bahwa Kala harus mendengarkan kata-kata dari orang yang lebih tua dari dia.Kala bilang bahwa dia lebih tua dari semua manusia, artinya dia juga lebih tua dari Ki Dalang, sehingga Ki Dalang yang harus menurut. Terjadi perdebatan yang ramai, keduanya mengaku lebih tua. Sebagai jalan keluar mereka sepakat, Kala akan mengajukan teka-teki ( cangkriman dalam bahasa Jawa) dan pertanyaan. Bila Ki Dalang bisa menjawab, Kala akan mengakui kalah tua, sebaliknya kalau Ki Dalang tak mampu menjawab, maka Kala lebih tua. Dengan disaksikan para pinisepuh dan segenap hadirin terjadilah tanya jawab mengenai berbagai hal yang meliputi seni budaya, terjadinya jagat raya dan manusia, juga mengenai hidup sejati. Semua pertanyaan Kala dijawab dengan lugas dan benar oleh Ki Dalang. Kala heran dengan kemampuan Ki Dalang yang begitu luas pengetahuannya termasuk kebatinan. Dia menduga KI Dalang tentulah orang yang sangat hebat. Kala terpaksa mengakui bahwa dia kalah dalam perdebatan dengan Ki Dalang dan oleh karena itu dia bersedia mendengarkan nasihat Ki Dalang. Ki Dalang bertanya : “ Bagaimana, apakah kamu masih ada pertanyaan?’ Kala menjawab tidak, karena pertanyaan yang sulitpun bisa dijawab oleh Ki Dalang. Karena penasaran Kala bertanya :” Kalau boleh aku tahu, siapa sebenarnya KI Dalang ini?’ Dijawab: “ Aku KI Dalang Kandabuwono.yang memerintah kamu dan semua perintah itu harus kamu turuti. Kalau tidak kamu akan celaka. Kala bersedia memenuhi semua perintah Ki Dalang. (Sampai saat adegan dialog diatas, Ki Dalang yang mendalang masih memakai ikat kepala/topi yang berupa blangkon. Kini ketika adegan dalang mau memberi nasihat dan perintah kepada Kala artinya ini saat penting bagi Kala dan sukerto, maka dalang mengganti blangkonnya dengan memakai udheng. Seorang Jawa tradisional pada masa dulu, kalau sedang samadi atau nayuh, memohon jawaban dari Gusti, Tuhan, ikat kepala yang dipakai adalah udheng, artinya supaya mudheng- mengerti dengan benar kehendak Tuhan).
Mantram Sakti Dengan penuh wibawa Ki Dalang Kandabuwono bersabda kepada Kala:” Wahai Kala, aku akan menuliskan sebuah mantram sakti didadamu. Siapapun yang bisa membaca mantram dan siapa saja yang bisa mengucapkan mantram ini, tidak boleh kamu jadikan korbanmu, bahkan tidak boleh kamu ganggu. Mengerti?” “ Kalau kamu nekad melanggar, kamu akan mendapat hukuman berat dari Sang Hyang Jagadnata, Gusti, Tuhan”. Kala menunduk dan berkata lirih bahwa dia menurut perintah Ki Dalang.
Nama mantram itu adalah Rajah Kalacakra sebagai berikut : Yamaraja-Jaramaya; Yamarani-Niramaya; Yasilapa-Palasiya; Yamidosa-Sadomiya; Yadayuda-Dayudaya; Yasiyaca- Cayasiya; Yasihama- Mahasiya. Artinya : Siapapun yang menimbulkan keributan, hilang kekuatannya. Siapa yang datang untuk membuat celaka, hilang dayanya. Siapa yang membuat kelaparan, mulai sekarang harus memberi banyak makanan. Siapa yang membikin kemelaratan , harus membangun kemakmuran. Siapa yang berbuat dosa , wajib menghentikan nafsu jahatnya. Siapa yang mengobarkan perang, pasti sirna kekuatannya. Siapa yang berkhianat dan kejam, harus berbuat welas asih. Siapa yang suka merongrong, menjadi parasit, harus merobah sikap dengan menghormat dan kasih kepada sesama. Perbawa mantram itu sangat kuat membuat Kala gemetar dan miris. Dengan sangat hormat Kala berkata kepada Ki Dal;ang : “ Saya amat miris mendengar mantram ini, siapapun yang bisa membaca dan mengucapkan mantram Rajah Kalacakra, tidak akan saya ganggu”. Masih ada satu mantram lagi yang diucapkan Ki Dalang. Siapapun yang mengucapkan mantram ini tidak akan diganggu Kala. Nama mantram : Hanacaraka Kebalik, bunyinya : Ngathabagama, nyayajadhapa, lawasatada, karacanaha. Mendengar mantram itu lunglai tubuh Kala tidak punya daya. Kini Kala benar-benar tunduk kepada Ki Dalang Kandabuwono, orang mahasakti, mahabijak.
Sukerto yang diruwat Pada waktu Ki Dalang melafalkan kedua mantram sakti, para sukerto dengan sadar dan penuh perhatian mendengarkan dan menghayatinya. Sehingga secara alami daya mantram bekerja dan dengan berkah Gusti, Tuhan akan mengusir siapa saja yang mau menjahati sukerto yang diruwat, dimanapun dan kapanpun. Ki Dalang memberitahu Kala bahwa setiap sukerto yang telah diruwat oleh Ki Dalang telah menjadi anak Ki Dalang, mereka tidak boleh diganggu dan dimangsa oleh Kala. Kala
setuju. Ki Dalang mulai menyebut nama sukerto satu per satu dengan jelas, sebagai berikut : Pramananing jabang bayi ( hidup sejati dari si bayi) ( lalu sebut namanya) misalnya Utami, unting-unting, anak perempuan tunggal. Pramananing jabang bayi Basuki, ontang-anting, anak laki-laki tunggal. Setalah semua sukerto yang diruwat disebut namanya, Ki Dalang berkata kepada Kala : “ Itu tadi yang saya sebut nama-namanya adalah sukerto yang telah saya ruwat. Meraka adalah anak-anakku. Kamu tidak boleh mengganggu mereka”. Kala menurut, setuju.
Kala mohon diberkati Ki Dalang Kandabuwono menetapkan Kala menjadi penghuni hutan Krendowahono. Sebelum berangkat kesana, Kala mohon diberkati dengan Santi Puja Mantra supaya hidupnya selamat. Ki Dalang setuju, lalu Kala dimandikan dengan berbagai air bunga. Kala juga meminta sesaji untuk bekal hidupnya, berupa : alat-alat pertanian, hasil bumi, alat dapur, ternak seperti sapi, kerbau, kambing, ayam, itik dll., kain panjang, beberapa jenis makanan, tikar, bantal dan selimut. Ki Dalang memanggil Bima supaya mengusir semua anak buah Kala yang berupa berbagai jenis mahluk halus jahat dan bekasaan untuk juga pergi kehutan. Bima mengusir mereka semua dengan menggunakan pecut dan sapu lidi yang diikat dengan tali perak.
Prosesi ruwat tahap akhir Sesudah Kala dan semua anak buahnya pergi, Ki Dalang melanjutkan prosesi ruwat. Dengan mantap dan penuh perbawa Ki Dalang berkata : Yo aku dalang sejati, yo aku sing menang miseso ing siro, sukerto wis lebur ilang dadi banyu. Mung gari rahayune. Artinya : Ya akulah dalang sejati, akulah yang berwenang mengurusi kalian. Sukerto kalian hilang, sudah menjadi air. Yang ada hanyalah keselamatan kalian. Lalu Ki Dalang akan membuka jatidirinya sendiri dengan mengatakan : Ya aku dalang Kandabuwono, ya aku dalang ( sebut namanya sendiri) misalnya Ki Timbul Hadiprayitno.
Anak-anak yang diruwat rambutnya sedikit digunting oleh Ki Dalang. Sesudah itu semua yang sudah diruwat sowan kepada Ki Dalang untuk mohon pangestu/berkah.Beberapa
wayang kulit yang berperan sebagai sukerto diruwat juga dengan cara kakinya dimasukkan kedalam pengaron/tempat air dan dicuci dengan air kembang, mereka sudah lagi bukan sukerto. Ki Dalang Kandabuwono setelah menyelesaikan tugas, berubah wujud lagi jadi Betara Guru, demikian juga pengiring yang lain, berubah jadi Durga dan dewa-dewa. Setelah berpamitan kepada Ki Lurah Semar, Ki Ageng, Romo dan semua warga desa , rombongan dewa kembali lagi naik ke Swargaloka. Ki Dalang mencopot udheng dan memakai blangkon lagi. Mereka yang diruwat dimandi sucikan satu per satu oleh Ki Dalang. Upacara ritual ruwatan paripurna. Semua yang diruwat mendapatkan jalan kehidupan yang baik, terang. Dengan berkah Gusti, Tuhan, semoga selalu selamat, sehat, sejahtera, sukses lahir batin. Semoga.
JagadKejawen, Suryo S.Negoro ( Foto-foto yang dimuat adalah Ruwatan Sukerto yang diadakan oleh Anjungan D.I.Y. di TMII pada 1 Suro 1942 Je, dengan dalang sepuh Ki Timbul Hadiprayitno/ KMT. Cerma Manggala)