1 I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan makanan pokok lebih dari 2 milyar penduduk di Asia dan ratusan juta di Afrika dan Amerika Latin. Kebutuhan beras tersebut akan semakin bertambah tiap tahunnya sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk wilayah tersebut (Ladha et al., 1997). Indonesia merupakan negara agraris, dengan sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional sebagai sumber pendapatan, pembuka kesempatan kerja dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Statistik menunjukkan bahwa produksi padi sawah meningkat setiap tahunnya, namun laju pertumbuhan produksinya cenderung menurun. Penurunan laju pertumbuhan produksi padi sawah ini disebabkan oleh penurunan laju pertumbuhan luas panen dan produktivitas (Maulana, 2004). Kondisi kekurangan pangan secara kronis yang terjadi di Indonesia hingga tahun 1960-an, telah berhasil diatasi dengan pencapaian swasembada beras pada tahun 1984. Prestasi tersebut tidak terlepas dari penerapan teknologi maju yang dikenal dengan revolusi hijau, yang didukung oleh penggunaan varietas unggul, pemberian pupuk kimia takaran tinggi (Urea, TSP dan KCl), dan ketersediaan pengairan yang cukup (Budianto, 2002; Sumarno, 2006 ). Penerapan teknologi revolusi hijau pada usahatani padi telah menempatkan pupuk anorganik sebagai faktor produksi yang penting dalam peningkatan produksi padi di Indonesia. Selama periode 1969-1997, pemerintah telah menerapkan serangkaian kebijakan untuk mendorong penggunaan pupuk kimia. Melalui berbagai program intensifikasi padi seperti Bimas (Bimbingan Masal), Insus (Intensifikasi
2 Khusus), dan Opsus (Operasi Khusus) dapat diproduksi beras sejumlah 22,2 juta ton pada tahun 1969 dan meningkat tajam menjadi 25 juta ton pada tahun 1985, dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 6,9 % tahun-1 (Badan Litbang Pertanian, 2006). Sejak tercapainya swasembada beras pada tahun 1984, produksi padi nasional sangat fluktuatif dan cenderung terus menurun hingga mencapai 2,7 % tahun-1 pada periode 1985-1997. Menurut data BPS rerata produktivitas padi sawah di Indonesia pada tahun 2009, 2010, dan 2011 berturut-turut sebesar 4,99, 5,01 dan 4,98 t ha-1 dengan pertumbuhan produksi sebesar minus 1,10% (BPS, 2012). Pelandaian produksi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, terutama penggunaan pupuk yang sudah melampaui batas efisiensi teknis (Adiningsih dan Soepartini, 1995). Pelandaian produksi padi sawah antara lain juga disebabkan oleh ketidak-terpaduan pengelolaan lahan dan kurangnya perhatian terhadap upaya pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan sawah intensif dengan pemberian pupuk kimia yang intensif, serta terabaikannya penggunaan bahan organik dalam jangka waktu lama telah berdampak terhadap penurunan tingkat kesuburan. Akibat lebih lanjut adalah menurunnya kemampuan tanah menyimpan dan melepaskan hara bagi tanaman (BP2TP, 2003). Menurut Pramono (2004), intensifikasi padi sawah dengan masukan pupuk kimia dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu yang lama, serta kurang diperhatikannya penggunaan bahan organik dalam sistem produksi padi sawah telah mengakibatkan terganggunya keseimbangan hara tanah. Penggunaan pupuk kimia dalam takaran tinggi, meskipun kadang hasil masih meningkat namun keuntungan bersih yang diterima petani dari setiap unit pupuk yang digunakan menurun (Surdianto et al., 2000). Dampak negatif yang ditimbulkan oleh
3 penggunaan pupuk kimia dengan takaran tinggi dalam jangka waktu yang lama tanpa mempertimbangkan kebutuhan tanaman dan kemampuan tanah dalam menyediakan hara bagi tanaman, antara lain adalah; (a) terakumulasinya hara (terutama P) yang berasal dari pupuk dalam tanah, (b) terkurasnya hara mikro dalam tanah, pada tanah yang tidak pernah diberi pupuk mikro, (c) terganggunya keseimbangan hara, dan (d) terganggunya perkembangan jasad renik yang menguntungkan dalam tanah (BP2TP, 2003). Upaya untuk terus meningkatkan produksi padi dihadapkan oleh berbagai tantangan. Menurut Makarim et al. (2000a), peningkatan produktivitas padi di lahan sawah merupakan salah satu peluang untuk meningkatkan produksi gabah nasional. Hal ini sangat dimungkinkan bila dikaitkan dengan hasil padi pada agroekosistem ini masih beragam antar lokasi dan belum maksimal. Sementara rerata hasil saat ini baru mencapai 5,01 t ha -1 (BPS, 2012), sedangkan potensinya dapat mencapai 6 – 7 t ha-1, bahkan lebih. Belum maksimalnya capaian produktivitas padi di lahan sawah, antara lain disebabkan oleh rendahnya efisiensi pemupukan. Sistem usahatani padi sawah intensif di Indonesia, sejak era revolusi hijau hingga sekarang belum bisa terlepas dari peran pupuk kimia yang bernama Urea. Pemupukan nitrogen berperan cukup nyata dalam usaha peningkatan produksi padi di berbagai daerah sentra padi di Indonesia (Sismiyati et al., 1992; Darajat dan Utami, 1993). Urea merupakan sumber pupuk nitrogen (N) yang paling banyak digunakan oleh petani, sebab memberikan dampak langsung terhadap peningkatan hasil padi sawah dan relatif banyak tersedia di pasaran.
4 Penggunaan pupuk urea di sentra produsen padi telah melebihi dosis anjuran setempat dengan kisaran penggunaan 300-600 kg ha-1 (Jatmiko et al., 2006). Untuk kasus di Indonesia tingkat penggunaan pupuk sudah tertinggi di kawasan Asia kecuali Jepang, Taiwan dan Cina (Kasryno et al., 2001). Menurut penelitian Sumaryanto et al. (2003), tingkat penggunaan pupuk kimia di lahan sawah irigasi terlalu besar. Sebagai ilustrasi, rerata penggunaan pupuk N lebih dari 400 kg ha-1, dengan rincian penggunaan pupuk urea 360-380 kg ha-1 dan ZA lebih dari 100 kg ha-1. Rerata penggunaan pupuk P (SP-36) lebih dari 100 kg/ha dan rerata penggunaan pupuk K (KCl) kurang dari 50 kg ha-1. Makarim et al. (2000b), mengemukakan bahwa efisiensi input produksi belum sepenuhnya diterapkan petani, terutama pupuk N dan P yang sering diberikan berlebih. Salah satu kesimpulan hasil penelitian International Rice Research Institute (IRRI) menyebutkan bahwa masalah utama yang dihadapi petani pada ekosistem beririgrasi adalah efisiensi produksi yang rendah (Pingali et al., 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi pemupukan N di tingkat lapangan masih rendah dan 67 % N hilang terlindi. Lebih lanjut dilaporkan oleh Jatmiko et al. (2006), bahwa tanaman padi hanya menyerap 30 – 50 % N yang ditambahkan ke dalam tanah. Hal ini disebabkan oleh kehilangan utama N dari sistem tanah-tanaman yaitu volatilisasi ammonia, denitrifikasi, aliran permukaan, dan pelindian (De Datta dan Buresh, 1989; Ladha et al., 1997: Foth, 1991). Di lain pihak bahwa agroinput dalam sistem usahatani padi sawah untuk biaya pupuk anorganik, cukup besar. Dikemukakan oleh Pramono et al. (2002), bahwa komponen biaya pupuk anorganik menduduki peringkat kedua setelah biaya tenaga kerja dalam sistem usahatani padi
5 sawah. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensi usahatani padi sawah dapat ditempuh melalui dua upaya pendekatan, yaitu (a) peningkatan produktivitas persatuan luas, dengan input yang sama dan (b) peningkatan efisiensi penggunaan input produksi dengan mempertahankan produktivitas yang sama. Perkembangan penggunaan dosis pemupukan N anorganik pada padi sawah perhektarnya cenderung meningkat, sedangkan harga pupuk urea semakin mahal karena adanya persaingan kebutuhan dengan komoditas non padi (Makarim dan Suhartatik, 2006). Pupuk N termasuk agroinput yang mahal, setiap tahun lebih dari $ US 45 milyar dibelanjakan untuk itu (Ladha et al., 1997). Untuk memproduksi 1 kg pupuk urea membutuhkan enam kali lebih banyak energi dibandingkan untuk memproduksi pupuk P atau K (Da Silva et al., 1978). Dikemukakan oleh Prasad dan De Datta (1979), bahwa porsi terbesar kehilangan N, yang berasal dari pemupukan N pada lahan sawah adalah setelah proses nitrifikasi dari N-ammonium ke nitrat. Nitrifikasi merupakan proses yang merugikan karena di samping menyebabkan kehilangan N tanah dan pupuk juga menimbulkan masalah lingkungan seperti peningkatan gas rumah kaca, pencemaran nitrat pada air tanah, rusaknya lapisan ozone, dan eutrofikasi (Shoji dan Gandeza, 1992; Hadisudarmo dan Hairiah, 2006). Hasil uji penggunaan penghambat nitrifikasi dapat mengurangi kehilangan N dan meningkatkan efisiensi pemupukan N. Beberapa bahan kimia seperti N-serve (2Chloro-6-(trichloromethyl) pyridine), Entridiazole (5-Ethoxy-3-trichloromethyl-1,2,4thiadiazole), DMBQ (2,6 Dimethyl-benzoquinon), Thiourea, Dicyandiamide, dan AM (2-amino-4-chloro-6-methyl pyrimidine) merupakan bahan yang mampu menghambat
6 nitrifikasi (Prasad et al., 1971; De Datta, 1981), namun karena bahan-bahan tersebut harganya mahal, jarang digunakan secara komersial pada usahatani padi sawah di Indonesia, untuk itu perlu dicari bahan-bahan yang memiliki efektivitas penghambatan nitrifikasi yang lebih murah. Pada agroekosistem sawah nitrifikasi dapat mengakibatkan kehilangan N melalui proses pelindian. Pelindian terjadi disebagian besar tanah dalam bentuk nitrat (Johnson, 2007). Pada tanah-tanah dengan tekstur kasar kehilangan N akan lebih besar. Salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi pemupukan N adalah dengan cara menghambat proses nitrifikasi dengan memanfaatkan bahan-bahan penghambat nitrifikasi. Prinsip kerja penghambat nitrifikasi adalah menghambat proses terjadinya konversi dari ammonium ke nitrat, menurunkan kehilangan nitrat melalui pelindian, dan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan N (Yan et al., 2008). Penghambatan konversi ammonium ke nitrat pada lahan sawah akan memberikan peluang ammonium untuk diserap tanaman padi lebih besar. Menurut Yoshida (1981), bahwa padi lebih suka menyerap ammonium dari pada nitrat jika pada larutan mengandung keduanya. Berdasarkan berbagai informasi dari hasil penelitian tersebut di atas, maka perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut di Indonesia untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang bahan-bahan alami yang potensial dimanfaatkan sebagai penghambat nitrifikasi, dan efektivitasnya guna meningkatkan efisiensi pemupukan N pada sistem usahatani padi sawah yang lebih murah dan ramah lingkungan, guna mengurangi dampak buruk dari cemaran nitrat.
7 1.2. Rumusan Permasalahan Rumusan permasalahan berdasarkan uraian latar belakang penelitian adalah sebagai berikut: a. Teknologi untuk meningkatkan efisiensi pemupukan N pada sistem usahatani padi sawah antara lain dilakukan dengan penggunaan pupuk N lepas kendali, urea berlapis sulfur dan penggunaan bahan penghambat nitrifikasi sintetis (N-serve, Entridiazole, Thiourea). Teknologi tersebut masih mahal dan berdampak negatif terhadap lingkungan. b. Teknologi untuk meningkatkan efisiensi pemupukan N pada budidaya padi sawah yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan bahan penghambat nitrifikasi alami hingga saat ini belum tersedia. c. Indonesia memiliki kekayaan aneka flora yang dikenal dunia, banyak tumbuhan yang memiliki kandungan senyawa yang potensial sebagai bahan penghambat nitrifikasi alami, seperti senyawa fenol, tanin, terpenoid dan lain-lain. Tantangannya adalah diperlukan studi dan penelitian yang berkesinambungan untuk mendapatkan bahan-bahan alami yang potensial untuk
dimanfaatkan
sebagai
penghambat
nitrifikasi
yang
dapat
dikembangkan di bidang pertanian untuk meningkatkan efisiensi pemupukan N pada sistem usahatani padi sawah.
8 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian a. Mengidentifikasi/mendapatkan bahan alami yang efektif dimanfaatkan sebagai
penghambat nitrifikasi. b. Menentukan takaran optimum dari bahan alami terpilih sebagai penghambat
nitrifikasi. c. Mempelajari pengaruh penggunaan penghambat nitrifikasi alami terhadap
peningkatan efisiensi pemupukan nitrogen pada padi sawah. 1.3.2. Manfaat Penelitian a. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan atau dasar bagi
penelitian
lebih lanjut tentang pemanfaatan bahan-bahan alami sebagai penghambat nitrifikasi,
tidak
hanya
ditingkat
laboratorium
tetapi
lebih
jauh
pemanfaatannya di lapangan, mengingat penelitian ini merupakan topik yang relatif baru di Indonesia. b. Hasil penelitian dapat diterapkan langsung di tingkat lapangan oleh petani dalam rangka meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk nitrogen pada padi sawah. 1.4. Kebaruan Penelitian Penelitian penggunaan bahan penghambat nitrifikasi untuk meningkatkan efisiensi pemupukan N yang telah banyak dilakukan di dalam maupun di luar negeri adalah penggunaan bahan kimia. Beberapa penelitian penggunaan penghambat nitrifikasi dari bahan kimia seperti N-serve (2-Chloro-6-(trichloromethyl) pyridine),
9 Entridiazole (5-Ethoxy-3-trichloromethyl-1,2,4-thiadiazole), DMBQ (2,6 Dimethylbenzoquinon), Thiourea, Dicyandiamide, dan AM (2-amino-4-chloro-6-methyl pyrimidine) untuk meningkatkan efisiensi pemupukan N antara lain telah dilakukan oleh Prasad et al., (1971) dan De Datta, (1981). Penggunaan bahan penghambat nitrifikasi yang berasal dari bahan alami masih jarang dilakukan, terlebih di Indonesia. Berdasarkan hasil penelusuran literatur beberapa penelitian awal tentang pengendalian nitrifikasi melalui pengaturan kualitas seresah pohon penaung pada lahan agroforesti berbasis kopi telah dilakukan oleh Purwanto (2007), Hadisudarmo dan Hairiah (2006), telah meneliti penghambatan nitrifikasi secara hayati, dan Balingtan (2006), telah melakukan penelitian penggunaan berbagai penghambat nitrifikasi (sintetis dan alami) untuk mengeliminir cemaran nitrat pada perairan, namun penelitian yang mengkaitkan penggunaan bahan penghambat nitrifikasi untuk meningkatkan efisiensi pemupukan N pada padi sawah merupakan hal yang baru.