BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara agraris di dunia, dimana sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian umum dari masyarakat Indonesia. Baik di sektor hulu seperti penanaman tanaman pangan, budidaya tanaman pangan, pemeliharaan hingga pemanenan, proses distribusi di lingkup agen besar maupun pedagang eceran, dan sektor hilir yang mengolah produk pertanian menjadi produk konsumsi. Walaupun demikian, Indonesia masih sering mengalami masalah terkait pangan dan ketahanan pangan. Masalah pangan adalah masalah penting karena menyangkut hajat hidup seluruh penduduk/warga bangsa, dan juga kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai lebih dari 237,6 juta jiwa, dan dipastikan sepanjang tahun populasi penduduk akan terus bertambah. Maka harus disadari bahwa ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan jumlah penduduk yang demikian besar tentu bukan masalah sederhana. Banyak faktor yang harus diperhatikan, dalam pembangunan pertanian di Indonesia mulai dari petani sebagai produsen, ketersediaan lahan untuk produksi, budidaya tanam, benih unggul, pupuk, sarana/alat pertanian, infrastruktur, pasca panen, distribusi, pengolahan hasil, stabilitas harga, hingga tercukupi pangan di tingkat konsumsi bagi setiap penduduk. Kemandirian pangan suatu bangsa tolok ukurnya terletak pada mantap tidaknya ketahanan pangan sebagai wujud kedaulatan pangan bangsa. Ketahanan pangan yang dimaksud dalam UU No.7/1996 tentang pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap
1
2
rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau” (Gardjito dan Djuwardi, 2011). Salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia adalah beras. Beras termasuk dalam golongan tanaman pangan yang strategis karena merupakan sumber makanan pokok mayoritas masyarakat serta sebagai sumber pendapatan bagi sebagian penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sampai saat ini walaupun telah dilakukan berbagai upaya diversifikasi pangan namun masyarakat tidak bisa lepas dari beras sebagai bahan makanan pokok, sehingga sangat penting untuk menjaga ketersediaan beras serta keberlanjutannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga ketersediaan beras dan memastikan keberlanjutannya adalah dengan melihat proses penjualannya. Beras merupakan hasil olahan dari tanaman padi yang umum ditanam oleh petani di Indonesia. Dalam satu tahun terdapat tiga musim tanam padi, sehingga dalam satu musim tanam hingga panen raya membutuhkan waktu sekitar 4 bulan. Ketika panen raya, gabah dan beras hasil panen petani diprioritaskan sebagian untuk disimpan sebagai persediaan konsumsi pribadi dan sebagian lagi dijual. Namun harga gabah dan beras saat panen raya akan jatuh menjadi sangat murah karena jumlahnya yang berlimpah sehingga sangat merugikan petani. Oleh sebab itu pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait harga pembelian beras dari petani yang tertuang dalam Inpres No. 5 tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Dalam Inpres tersebut ditetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebagai harga minimum pembelian gabah/beras dari petani, diantaranya harga pembelian Gabah Kering
3
Panen (GKP) sebesar Rp 3.700,00/kg di petani atau Rp 3.750,00/kg di penggilingan, harga pembelian Gabah Kering Giling (GKG) sebesar Rp 4.600,00/kg di penggilingan dan harga pembelian beras sebesar Rp 7.300,00/kg. Dalam kelembagaannya pemerintah memiliki lembaga yang khusus menangani masalah logistik beras yaitu Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog). Tugas publik Perum BULOG merupakan amanat dari Inpres No.3 tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, yang merupakan pengejawantahan intervensi pemerintah dalam perberasan nasional untuk memperkuat ketahanan pangan. Perum Bulog memiliki tugas diantaranya menjaga Harga Dasar Pembelian untuk gabah, stabilisasi harga khususnya harga pokok, menyalurkan beras Raskin, dan pengelolaan stok pangan dalam bentuk pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) (Anonim1, 2015). Berdasarkan tugas tersebut maka Perum Bulog adalah lembaga yang berwenang dalam mengelola perberasan di Indonesia, termasuk mengontrol ketersediaannya. Perum Bulog dalam melakukan tugasnya sebagai pengelola ketersediaan beras adalah menyerap hasil panen gabah dan beras dengan cara melakukan pembelian dari petani untuk mengendalikan harga beras di pasar supaya tidak turun ketika musim panen raya, serta menyimpan beras di gudang Perum Bulog untuk dikeluarkan kembali ketika musim paceklik dan harga beras cenderung meningkat untuk menstabilkan harga di pasar. Supaya tidak merugikan petani, Perum Bulog melakukan pembelian gabah dan beras sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebagai harga minimum pembelian gabah dan beras dari petani. Namun kondisi di lapangan menyatakan bahwa rata-rata penyerapan beras oleh Perum
4
Bulog setiap tahunnya hanya sekitar 5-8% dari total produksi nasional (Anonim2, 2015). Tabel 1.1 Total Produksi Beras, Target Total Penyerapan Beras, dan Realisasi Total Penyerapan Beras Nasional oleh Perum Bulog 2012-2015 Tahun Total Produksi Target Total Penyerapan Beras Nasional Beras Nasional oleh (juta ton) Perum Bulog (juta ton) 2012 43,49 4,1 2013 44,72 3,6 2014 44,45 3,0 2015 47,40 3,5 Sumber : Dari berbagai sumber
Realisasi Total Penyerapan Beras Nasional oleh Perum Bulog (juta ton) 3,66 3,5 2,5 3,4
Seperti yang terlihat pada tabel 1.1 diatas, dari tahun ke tahun Perum Bulog belum mampu memenuhi target pengadaan berasnya. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa 5-8% dari total produksi beras nasional telah diserap oleh Perum Bulog. Persentase serapan beras Perum Bulog yang kecil ini memunculkan dugaan bahwa petani cenderung menjual berasnya kepada pedagang pengumpul selaku pihak swasta. Seperti yang terdapat dalam penelitian Arifin dan Natawidjaja (2000) dalam Tambunan (2008) bahwa di banyak wilayah ada dua jalur pemasaran dalam tata niaga beras, yaitu pihak swasta dan pemerintah (Perum Bulog). Selain itu menurut wawancara pendahuluan dengan petani, diketahui bahwa petani memiliki kecenderungan lebih untuk menjual beras ke pedagang pengumpul daripada ke Perum Bulog. Kecenderungan ini diduga disebabkan oleh faktor harga pembelian beras, dimana harga yang ditentukan oleh pedagang pengumpul lebih tinggi daripada HPP yang digunakan oleh Perum Bulog. Selain faktor harga terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi kecenderungan
5
petani ini. Namun masih belum diketahui faktor-faktor apa saja yang menentukan pengambilan keputusan petani dalam menjual berasnya. Selain itu penyerapan beras oleh Perum Bulog yang hanya 5-8% ini masih belum mampu memberikan pengaruh kepada pasar terkait dengan tugas Perum Bulog sebagai stabilisator harga beras. Hal ini karena jumlah beras yang diserap Perum Bulog jauh lebih sedikit dibandingkan yang beredar di pasar. Sehingga apabila terjadi kenaikan harga beras di pasar, Perum Bulog sebagai pelaksana operasi pasar belum mampu menstabilkan harga secara signifikan dan harga masih cenderung naik. Supaya bisa meningkatkan perannya sebagai stabilisator harga maka serapan beras Perum Bulog harus ditingkatkan. Untuk meningkatkan serapan tersebut maka penelitian ini perlu dilakukan untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang menentukan keputusan petani dalam menjual gabah dan berasnya, sehingga dapat diberikan rekomendasi untuk mendorong petani-petani lain yang masih enggan menjual ke Perum Bulog supaya dapat menjual ke Perum Bulog dan meningkatkan serapan beras nasional dengan tetap menguntungan pihak petani. Berdasarkan data D.I Yogyakarta dalam angka 2014, Wilayah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu kabupaten dengan luas panen padi sawah terbesar kedua di DIY dengan luas panen mencapai 32.621 Ha. Sedangkan luas panen terbesar pertama adalah Kabupaten Sleman yang mencapai 48.584 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa Bantul memiliki potensi yang tinggi untuk peningkatan produksi pertanian karena sumber daya lahannya yang masih cukup baik. Walaupun luas panen padi sawah di Kab. Sleman adalah yang terbesar, namun hasil panennya lebih banyak terdistribusi kepada pihak swasta. Hal tersebut dapat
6
dilihat dari serapan beras yang diterima oleh Perum Bulog pada tahun 2013, dimana kontrak beras Bulog Divre DIY dari Kab. Kulon Progo sebesar 2.610 ton dengan realisasi sebanyak 1.788 ton. Kontrak Kab.Gunung Kidul sebesar 150 ton dengan realisasi 112 ton. Kontrak Kab.Sleman sebesar 720 ton dengan realisasi 310 ton, dan kontrak Kab. Bantul sebesar 2.580 ton dengan realisasi 1762 ton (Anonim 3, 2016). Artinya dengan luas panen tertinggi kedua di bawah Kab. Sleman namun serapan beras dari Kab.Bantul ke Perum Bulog jauh lebih tinggi. Sehingga, Kab.Bantul menjadi lokasi yang dapat menjadi model bagi wilayah lain dalam implementasi jalur distribusi beras. Menurut hasil studi awal yang telah dilakukan di Kabupaten Bantul menunjukkan bahwa secara umum petani tergabung dalam suatu wadah organisasi kemasyarakatan dalam lingkup dusun yaitu Kelompok Tani (Poktan). KelompokKelompok Tani ini kemudian membentuk organisasi kemasyarakatan tingkat desa/kelurahan yang disebut Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Adanya organisasi ini bertujuan supaya petani menjadi lebih mandiri dan kuat dalam menjalankan kegiatan usaha taninya. Dalam kelompok tani ini petani dapat melakukan kegiatan simpan pinjam, sharing hal-hal terkait pertanian, serta mengumpulkan hasil panen untuk dijual. Hasil panen padi selain disimpan untuk persediaan konsumsi pribadi, petani juga menjual hasil panennya kepada beberapa pihak, diantaranya dijual langsung ke konsumen akhir, ke pihak swasta (pedagang pengumpul), ke kelompok tani/gapoktan, dan ke pemerintah melalui Perum Bulog. Petani padi sebagai produsen dan pemasok gabah dan beras tentu mengharapkan timbal balik yang seimbang terhadap produknya, oleh karena itu petani melakukan pertimbangan-pertimbangan tertentu ketika akan menjual
7
berasnya serta kepada siapa akan menjual beras tersebut. Oleh karena itu peneliti merasa perlu dilakukannya penelitian yang berjudul “Analisis Faktor Penentu Pengambilan Keputusan Terhadap Penjualan Beras Petani (Kelompok Tani di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta)” ini. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadi referensi baru bagi pemerintah atau pihak-pihak terkait mengenai sudut pandang petani sebagai produsen beras dan dapat dilakukan upaya untuk mengoptimalkan penyerapan beras supaya tercapai win-win solution antara petani sebagai produsen dan pihak swasta serta pemerintah sebagai konsumen agar kedua belah pihak sama-sama diuntungkan.
1.2 Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah kondisi petani di Kabupaten Bantul yang melakukan proses penjualan beras baik melalui pihak swasta (pedagang pengumpul) dan pihak pemerintah (Perum Bulog). Keputusan untuk memilih kepada siapa tujuan penjualan tersebut tentu berdasarkan pertimbanganpertimbangan tertentu yang dianggap menguntungkan oleh petani sebagai pemasok, sehingga penting untuk mengidentifikasi serta menganalisis faktor apa saja yang dipertimbangkan oleh petani yang mempengaruhi keputusan penjualan beras serta memberikan rekomendasi dalam upaya meningkatkan serapan beras dari petani kepada pihak pemerintah supaya seluruh pihak sama-sama diuntungkan.
1.3 Batasan Masalah Masalah yang diangkat dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut :
8
1. Penelitian dilakukan terhadap petani padi yang tergabung dalam kelompok tani/gapoktan dan melakukan penjualan beras di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Penelitian dilakukan pada periode waktu Februari-Juli 2016. 3. Penelitian ini dibatasi hanya pada proses pemilihan tujuan penjualan beras oleh petani dengan dua alternatif, yaitu pemerintah (Perum Bulog) dan swasta (pedagang pengumpul).
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini antara lain : 1. Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar penentuan pengambilan keputusan penjualan beras petani di Kabupaten Bantul. 2. Menganalisis faktor-faktor yang menjadi dasar penentuan pengambilan keputusan penjualan beras petani di Kabupaten Bantul. 3. Memberikan
rekomendasi
kepada
pihak-pihak
terkait
dalam
upaya
mengoptimalkan penjualan beras serta tercapainya win-win solution antara petani sebagai produsen dan pihak swasta/pemerintah sebagai konsumen.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain : 1. Dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi pertimbangan petani dalam menentukan penjualan beras di Kabupaten Bantul. 2. Dapat menganalisis faktor-faktor yang menjadi pertimbangan petani dalam menentukan penjualan beras di Kabupaten Bantul.
9
3. Memberikan gambaran bagi pemerintah mengenai kondisi dan preferensi dari sudut pandang petani beras sebagai produsen terkait penjualan hasil panen. 4. Memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak yang terkait dalam upaya untuk mengoptimalkan penjualan beras dan tercapainya win-win solution antara petani sebagai produsen dan pihak swasta/pemerintah sebagai konsumen. 5. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi pihak lain yang terkait maupun peneliti lain yang akan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai tema ini.