BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dimata dunia terkenal dengan sebutan negara agraris dimana bertani menjadi salah satu mata pencaharian utama di Indonesia. Menurut data BPS tahun 2010, sebanyak 54% warga Indonesia hidup dan bekerja pada sektor pertanian (BPS, 2010). Kegiatan bertani digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan subsisten masyarakat. Pertanian dikenal sebagai satu-satunya cara yang dikenal sejak lama sebagai penghasil makanan, yang melulu soal hidup mati bagi manusia.
Pada dasarnya, pertanian merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan subsisten. Usaha pertanian dimulai ketika manusia mulai berfikir akan kelangsungan hidupnya. Kondisi lahan yang tidak menguntungkan−tanah tandus dan kering, berkapur atau mempunyai kemiringan yang cukup curam−bukan merupakan halangan bagi manusia untuk mengembangkan pertanian demi kelangsungan hidupnya. Kegiatan ini menurut perkiraan bahkan telah dilakukan sekitar 10.000 tahun yang lalu setelah manusia meninggalkan kegiatan meramu. Sejalan dengan itu, Mosher mengatakan bahwa pertanian timbul ketika manusia mulai mengendalikan atau menguasai pertumbuhan tanaman dan hewan, dengan mengaturnya sedemikian rupa sehingga menguntungkan (Mosher, 1966: 20).
1
Berbicara mengenai pertanian tentunya tidak dapat dipisahkan dengan lahan yang merupakan sumber daya paling penting dalam pertanian. Kepemilikan lahan tiap petani dapat menunjukkan kelas sosial dalam masyarakat. Semakin luas tanah yang dimiliki akan semakin tinggi kelas sosial suatu petani dalam komunitas sosialnya. Sayangnya, keberadaan lahan untuk pertanian dewasa ini dirasa semakin menyempit. Dalam jurnal Serikat Petani Indonesia tahun 2010 menuliskan bahwa semakin terbatasnya lahan pertanian yang ditimbulkan oleh masalah pertumbuhan penduduk yang tinggi (3,5% per tahun) dan terjadinya degradasi lahan 6% setiap tahunnya menjadikan kepemilikan tanah petani rata-rata saat ini hanya 0.3 hektar yang dikategorikan sebagai petani gurem. Menurut kategori BPS petani gurem adalah petani dengan tanah garapan kurang dari 0.5 ha.
Masih dari Data Biro Pusat Statistik, luas pertanian padi di Indonesia pada tahun 2010 tinggal 12,870 juta hektar, menyusut 0,1% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 12,883 juta hektar. Luas lahan pertanian secara keseluruhan termasuk non-padi pada 2010 diperkirakan berjumlah 19,814 juta hektar, menyusut 13 persen dibanding tahun 2009 yang mencapai 19,853 juta ha (BPS, 2011). Sedangkan di Jawa saja dalam rentang 2007-2010 laju konversi mencapai rata-rata 200.000 hektar per tahun. Lahan (sawah beririgasi teknis, nonteknis, dan lahan kering) di Jawa pada 2007 masih 4,1 juta hektar, kini hanya tinggal 3,5 juta hektar (Kompas, 24/5/2011).
2
Berkurangnya lahan untuk pertanian disebabkan oleh banyak hal. Pertambahan penduduk yang semakin pesat menuntut adanya pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin besar pula, terutama peningkatan kebutuhan pangan dan kebutuhan akan lahan. Pengambil alihan hak atas tanah oleh pemerintah juga turut ambil andil dalam kelangkaan lahan pertanian dewasa ini. Dengan semakin mendesaknya kebutuhan akan lahan menjadikan petani mencari alternatif lain dengan menggarap lahan yang semula tidak bisa dipakai untuk usaha pertanian dengan memanfaatkan lahan marjinal.
Hal ini juga dirasakan oleh masyarakat Tengger di sekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Pembentukan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru mempersempit ruang gerak para petani dalam memanfaatkan hutan dan tanah untuk dijadikan ladang. Populasi di sekitar pegunungan Tengger yang semakin padat kemudian membuat kepemilikan tanah menjadi semakin kecil karena sistem waris. Keterbatasan lahan tersebut membuat mereka mencari alternatif lain dengan memanfaatkan lahan yang ada. Semakin sempit lahan yang bisa digunakan untuk berladang mendorong petani Tengger memanfaatkan lahan tidur yang berada di wilayah hutan atas (Hefner, 1999).
Demi memenuhi kebutuhan subsistennya, petani Tengger melakukan berbagai laku adaptif dalam mengelola pertanian secara rasional dengan mengelola sebagian besar tanah pinggiran di lereng curam. Tekanan terhadap pemenuhan
3
kebutuhan juga menyebabkan perubahan dalam praktek-praktek pertanian. Salah satu laku adaptif petani ketika menghadapi lahan pertanian yang terbatas adalah dengan melakukan intensifkasi pertanian.
Intensifikasi pertanian yang merupakan praktek dari rasionalisasi petani kemudian menyumbangkan kondisi yang cukup memprihatinkan, dimana terdapat ketimpangan distribusi penguasaan tanah yang cukup tajam. Hal ini kemudian memberi
kesan
bahwa terdapat
polarisasi ekonomi di pedesaan,
yaitu
kecenderungan pembagian masyarakat menjadi dua golongan yang berlawanan yaitu golongan miskin dan golongan kaya (Hayami Kikuchi dalam Sitompul, 1990: 2-3). Adanya polarisasi ekonomi ini mengakibatkan terbentuknya kelas-kelas dalam masyarakat petani yang mempengaruhi pendistribusian atas lahan pertanian yang kemudian juga mengakibatkan perbedaan pola adaptasi pertanian antar kelas.
Selain itu, masyarakat adat Tengger yang mendiami Taman Nasional Bromo Tengger Semeru merupakan masyarakat enclave kawasan konservasi yang mempunyai ketergantungan langsung maupun tidak langsung terhadap sumber daya alam yang ada di sekitarnya termasuk sumber daya alam yang terdapat di dalam lahan Taman Nasional. Adanya peraturan kawasan enclave yang membatasi akses mereka terhadap Taman Nasional tidak serta merta memutuskan ketergantungan serta akses mereka terhadap sumber daya yang terdapat di lahan Taman Nasional.
4
B. Studi Pustaka
Ada banyak kajian yang dilakukan terkait dengan bagaimana masyarakat petani berupaya untuk bertahan dan memperbaiki kehidupannya. Petani sebagai sebuah komunitas yang dianggap tidak berkembang karena terlalu sibuk memikirkan cara untuk memenuhi kebutuhan subsistennya ternyata mempunyai strategi beradaptasi, dimana mereka harus tetap survive baik sebagai individu maupun sebagai sebuah komunitas1.
Moran dalam Syafaat (2008) mengartikan bahwa adaptasi manusia dilakukan sebagai respon terhadap lingkungannya. Masyarakat yang hidup dan tinggal di dalam maupun di sekitar hutan memiliki ketergantungan sosial, ekonomi dan budaya terhadap hutan. Masyarakat mengelola sekaligus memanfaatkan sumber daya hutan di sekitarnya. Begitu pula dengan masyarakat suku Tengger yang hidup berbatasan dengan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Mereka memiliki ketergantungan terhadap sumber daya alam di sekitarnya, baik langsung maupun tidak langsung. Adanya peraturan dalam kawasan konservasi yang menyatakan bahwa kawasan konservasi harus minim dari campur tangan manusia kemudian memberi dampak terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. Dibentuknya Taman Nasional bagi masyarakat Tengger yang sebagin besar bermata pencaharian petani berarti pengurangan pendapatan, dimana mereka sudah tidak lagi leluasa 1
Komunitas adalah sekelompok orang adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1992).
5
untuk membuka lahan yang masuk dalam zonasi Taman Nasional. Hal ini berarti sumber daya tanah yang dimiliki menjadi berkurang sedangkan populasi penduduk di kawasan Pegunungan Tengger terus bertambah. Persoalan ini kemudian menjadi tantangan bagi petani Tengger untuk mencari cara agar hasil pertanian yang mereka dapatkan bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan subsisten.
Selain ketergantungan akan lahan untuk kepentingan produksi pertanian, masyarakat Tengger juga menggantungkan hidupnya terhadap sumber daya hutan lainnya seperti vegetasi. Sesuai dengan yang diungkapkan Sardjono (2004) bahwa ketergantungan masyarakat sekitar hutan tidak sebatas pada aspek produksi lahan dan hutan tetapi juga termasuk fungsi perlindungan tata klimat yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lokal secara langsung maupun tidak langsung dari ekosistem tersebut untuk mempertahankan hidup dan kesejahteraan mereka (existence and welfare).
Salah satu kajian mengenai pola adaptasi petani diantaranya dilakukan oleh Geertz (1983) dalam bukunya Involusi Pertanian. Geertz menuliskan bahwa pola adaptasi yang dilakukan oleh petani Jawa dengan melakukan sistem budidaya tanaman padi sawah. Pada sekitar abad ke XX pulau Jawa mengalami apa yang disebut dengan ledakan penduduk. Jumlah penduduk yang terus menerus bertambah berbanding terbalik dengan ketersediaan sumber daya, dalam hal ini tanah yang
6
semakin terbatas yang mengakibatkan semakin sempitnya usaha tani. Untuk menangani masalah tersebut, para petani kemudian melakukan sistem intensifikasi.
Eric Wolf dalam bukunya Petani: Suatu Tinjauan Antropologi (1983) mengatakan bahwa petani adalah orang desa yang bercocok tanam dan bertanah di daerah pedesaan. Petani ini selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan kalori untuk dirinya dan keluarganya, serta mencari dana pengganti karena adanya tekanan dari penguasa yang menghisap hasil kerjanya. Petani kemudian menghadapi masalah yang sangat mendasar antara memenuhi kebutuhan subsisten dirinya dan keluarganya serta tuntutan dari dunia luar seperti kewajiban membalas jasa terhadap negara dalam bentuk pajak serta biaya sosial dalam sebuah komunitas sosial. Akan tetapi dalam usaha mengatasi masalah yang paling mendasar, petani dapat menempuh dua strategi yang sama sekali bertentangan satu sama lain. Pertama adalah memperbesar produksi; dan yang kedua mengurangi konsumsi. Apabila petani melakukan opsi pertama, dia harus meningkatkan hasil kerja atas ladangnya agar produktivitas ladang meningkat dan memperbesar hasil bumi yang dijualnya di pasar (Wolf, 1983 : 23).
Scott dalam Moral Ekonomi Petani (1983) mengatakan pendapat kaum ekonomi moralis yang memandang keamanan sebagai sesuatu yang paling penting karena petani miskin selalu dekat dengan garis bahaya dimana penurunan sedikit saja terhadap hasil produksi akan langsung dapat menimbulkan bencana besar bagi
7
kehidupan mereka. Prinsip dahulukan selamat (safety first) merupakan strategi yang dilakukan petani untuk dapat menghindarkan diri dari jatuhnya produksi, bukan kepada usaha memaksimumkan keuntungan-keuntungan harapan (Scott, 1983). Pandangan ini menyiratkan mentalitas petani yang mementingkan kebutuhan subsistennya daripada mendapatkan keuntungan dari jenis tanaman yang dibudidayakan. Penggunaan bibit lebih dari satu macam misalnya merupakan satrategi yang dilakukan petani untuk menghindarkan diri dari penurunan pendapatan.
Lewat
cara
ini,
kesempatan-kesempatan
untuk
memperoleh
keuntungan akan dilepaskan seandainya kesempatan-kesempatan itu –meski sedikit− dapat memperbesar peluang untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan (Scott, 1983).
Keadaan ekologis juga turut serta mempengaruhi strategi petani dalam mempertahankan hidupnya. Dharmawan dalam Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia (2010) menyebutkan bahwa pada pedesaan pegunungan di Jawa Barat dengan jumlah penduduk yang relatif padat menunjukkan adanya strategi nafkah yang berbasis pada diversifikasi sumber nafkah di luar pertanian melalui alokasi pembagian tenaga kerja keluarga. Sedangkan pada pedesaan di pegunungan Kalimantan Barat memperlihatkan strategi nafkah yang memusatkan diri pada aktivitas pertanian yang berbasis pada kolektivitas komunitas.
8
Perbedaan antar kelas juga turut mempengaruhi perilaku adaptasi. Dalam skripsinya di Dusun Simego, Agung Wicaksono menuliskan di tengah kelangkaan listrik, masyarakat Simego masyarakat Simego mampu memproduksi listrik secara mandiri dengan menggunakan kincir air. Agung Wicaksono mengatakan bahwa produktifitas listrik yang minim dan biaya pembangunan kincir air yang cukup besar membuat listrik tidak bisa dinikmati oleh seluruh warga Simego. Skripsi ini memaparkan kehidupan dea Simego yang berubah pasca Revolusi Hijau yang mengakibatkan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Ditengah pertumbuhan kesejahteraan masyarakatnya, orang-orang Simego memiliki surplus yang kemudian digunakan untuk pembangunan kincir air. Kelangkaan sumber daya lahan untuk membuat kincir air membuat sumber daya tersebut diperebutkan demi mendapatkan lahan yang potensial. Dalam kompetisi ini, orang-orang kaya yang mapan secara ekonomi mendapatkan lahan yang strategis sementara orang miskin seringkali tidak mendapatkan akses terhadap sumber daya. Studi ini menyimpulkan terdapat perbedaan dalam mode produksi, konsumsi, serta pengelolaan listrik di setiap kelas sosial. Kelas bawah merupakan kelas yang tidak memiliki akses terhadap listrik kincir. Kalaupun memiliki, jumlah listrik yang dikonsumsi sangat rendah dan dialokasikan untuk penerangan saja. Pada kelas menengah, listrik yang dikonsumsi juga terbatas meski jumlahnya lebih besar daripada kelas bawah yang biasanya digunakan untuk penerangan serta peralatan elektronik. Kelas atas simego memiliki cara pengelolaan yang berbeda. Dengan sumber daya lahan dan air memadai, serta kincir yang efisien, kelas ini mampu memproduksi listrik dalam 9
skala besar. alokasinya pun tidak lagi sebatas penerangan atau peralatan elektronik rumah tangga, namun juga fasilitas publik. C. Perumusan Masalah
Hampir sepanjang abad XIX wilayah pegunungan Tengger diarahkan untuk kegiatan maksimalisasi pendapatan dari hasil bumi. Hefner (1999) menuliskan bahwa udara yang dingin di daerah Dataran Tinggi Tengger membuatnya cocok bagi jenis tanaman yang menguntungkan bagi pemerintah kolonial pada waktu itu, yakni kopi yang membuat semua hutan di wilayah Tengger antara ketinggian 600 sampai 1.200 meter dibabat dan dijadikan salah satu perkebunan kopi yang paling besar. Daerah Tengger sendiri menurut Hefner telah dihuni sejak lebih dari seribu tahun, namun sebagian besar sejarah kawasan yang bergunung-gunung ini hanya memiliki sedikit penduduk yang bertani di lahan kering di sela-sela tebing yang curam. Perubahan kemudian muncul ketika pemerintah kolonial mencetuskan sistem tanam paksa yang mempergunakan tanah luas, menyerap tenaga kerja yang cukup besar, menghasilkan keuntungan yang tinggi (Geertz, 1983).
Pada tahun-tahun akhir abad XIX, lantaran pertumbuhan populasi penduduk Jawa dan masalah ekologis yang serius akibat dari pembabatan hutan besar-besaran membuat pemerintah mulai memikirkan langkah-langkah untuk meminimalisasi kerusakan sumber daya alam di daerah Dataran Tinggi Tengger. Pada tahun 1910, pemerintah memutuskan untuk menutup daerah hutan di sekitar Dataran Tinggi
10
Tengger. Hal ini merupakan implikasi dari adanya pembukaan kebun kopi secara besar-besaran di hutan-hutan Dataran Tinggi Tengger yang menyebabkan semakin menyempitnya lahan yang bisa digunakan untuk berladang. Mau tidak mau kemudian masyarakat Tengger membuka hutan yang terletak di lereng yang lebih atas yang sekiranya masih cukup subur dan merupakan lahan kosong yang belum dimanfaatkan oleh siapapun untuk berladang.
Akibat dari semakin memburuknya kondisi ekologis di sekitar Dataran Tinggi Tengger, pada tahun 1982 pemerintah menetapkan Dataran Tinggi Tengger sebagai Taman Nasional. Kawasan ini ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan No. 376/Mentan/I/1982 pada tanggal 14 Oktober 1982 (Wiratno, dkk., 2004).
Perubahan status kawasan hutan menjadi Taman Nasional mensyaratkan sejumlah hal, salah satunya adalah minimalisasi campur tangan manusia kedalam kawasan Taman Nasional (MacKinnon, dkk., 1986). Hal ini tentu tidak mungkin karena menafikkan keberadaan masyarakat yang telah cukup lama mendiami Dataran Tinggi Tengger. Masih menurut MacKinnon, batas Taman Nasional seharusnya atau disesuaikan agar pemukiman terletak di luar cagar. Apabila hal itu tidak memungkinkan maka perlu ditetapkan kawasan enclave didalam cagar. Keberadaan enclave merupakan implikasi dari penetapan kawasan Taman Nasional di daerah yang telah didiami oleh masyarakat adat dalam waktu yang cukup lama.
11
Semenjak ditetapkannya daerah Tengger sebagai Taman Nasional maka warga sekitar sudah tidak diperbolehkan lagi untuk melakukan perluasan lahan ke dalam kawasan Taman Nasional. Konsekuensi logis dari kebijakan ini adalah berkurangnya jumlah lahan di setiap desa wilayah enclave. Jumlah penduduk yang semakin melonjak di kalangan orang Tengger tidak dibarengi dengan keadaan tanah yang tidak bertambah luas. Akibat dari sistem waris, lama-kelamaan kepemilikan tanah di tiap-tiap keluarga semakin terfragmentasi.
Selain dari faktor ekonomi, pembentukan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru juga membawa dampak sosial bagi masyarakat Ngadas. Masyarakat Tengger Ngadas yang mempunyai ketergantungan terhadap hutan dipaksa hidup mandiri dengan tidak lagi bergantung pada hutan. Pada awalnya, mereka secara langsung memanfaatkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, kayu bakar serta kebutuhan religi. Selain memanfaatkan sumber daya hutan, masyarakat Ngadas juga memiliki cara tersendiri dalam mengelola hutan sesuai dengan sistem pengetahuan lokal mereka. Adanya penetapan kawasan Tengger sebagai Taman Nasional otomatis memberikan batasan akses masyarakat sekitar kedalam hutan.
Dalam penelitian ini, saya ingin mengkaji bagaimana strategi adaptasi petani Ngadas di daerah enclave Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dalam mengolah lahan mereka yang terbatas dan menghasilkan produksi untuk memenuhi
12
kebutuhan subsisten. Selain itu, tulisan ini mencoba untuk mendeskripsikan secara singkat pemanfaatan masyarakat Ngadas terhadap sumber daya hutan serta cara mereka mengelola sumber daya sesuai dengan pengetahuan mereka. Terdapat beberapa pertanyaan yang muncul yang dapat diangkat menjadi masalah yang harus dijawab oleh penulis, yaitu:
1. Bagaimana pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sebagai bagian dari strategi adaptasi masyarakat Ngadas? 2. Bagaimana petani Ngadas melakukan intensifikasi pertanian di bidang sayuran? 3. Bagaimana perbedaan pola adaptasi antar kelas pada msyarakat Ngadas?
D. Kerangka Pemikiran
Pemanfaatan hutan sebagai basis ekonomi lokal dewasa ini dianggap sudah tidak lagi produktif. Berdasarkan teori akses terbuka yang dikemukakan oleh Hardin yang mengatakan bahwa sumber daya yang bersifat akses terbuka akan mendatangkan bencana apabila tidak dikelola dengan baik. Hardin dalam Wiratno (2004), menyatakan bahwa untuk menjamin kelestarian sumber daya alam, maka hanya ada dua pilihan pengelolaan yaitu pengelolaan individu (private) dan pengelolaan oleh pemerintah (state). Pernyataan ini diawali oleh hipotesisnya tentang “tragedi kepemilikan bersama” (tragedy of the common), yang menyatakan
13
bahwa sumber daya alam akan habis jika dikelola oleh individu, oleh karena itu menurut Hardin negara perlu membuat suatu regulasi untuk mengatur kelestarian sumber daya alam diantaranya lewat penyewaan lahan bagi perusahaan HPH, Perhutani, bahkan yang berkedok konservasi yaitu pembentukan Taman Nasional.
Tragedy of the common ditujukkan kepada sumber daya yang bersifat ‘akses terbuka’ (open access) yakni suatu keadaan dimana sumber daya alam tidak dipunyai dan tidak di kontrol oleh siapapun, sehingga setiap orang berhak untuk mengeksploitasi sebesar-besarnya, karena jika tidak maka akan ada pihak lain yang juga akan melakukannya. Broomley dalam Wiratno (2004) menyatakan bahwa: “sumber daya yang bisa diakses oleh setiap orang berarti tidak dimiliki oleh siapapun (everybody’s access is nobody’s property’s)”. Begitu juga dengan hutan yang berada di wilayah Pegunungan Tengger yang oleh pemerintah kemudian diperlakukan sebagai sumber daya alam yang dapat dihabiskan (Hefner, 1999: 94). Perlakuan pemerintah terhadap tanah ini mengabaikan fakta bahwa penduduk dataran tinggi benar-benar menghargai tanah yang mereka miliki. Tanah tersebut bukanlah tanah kosong yang tidak dimanfaatkan tetapi merupakan tempat untuk berburu memenuhi kebutuhan protein hewani serta tempat untuk menyambung kebutuhan subsisten.
Desa Ngadas Kecamatan Poncokusuma Kabupaten Malang adalah salah satu desa enclave Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Desa Ngadas yang
14
terletak di kawasan Pegunungan Tengger mempunyai topografi berbukit-bukit dengan kemiringan sekitar 55 sampai 70 derajat. Desa Ngadas merupakan daerah dataran tinggi yang terletak di kaki Pegunungan Tengger dengan ketinggian sekitar 2100 mdpl. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani gunung dengan tanaman pokok berupa jagung, yang secara tradisional menjadikannya makanan pokok (Hefner, 1999: 12).
Perubahan kemudian muncul dalam pertanian di daerah pegunungan pada tahun 1970-an yang merupakan dampak dari pembangunan pertanian sawah di daerah bawah. Kebijakan negara dengan revolusi hijaunya membawa pengaruh yang cukup sifgnifikan terhadap pertanian pegunungan. Pembangunan jalan dan kehadiran armada truk yang baru memecahkan sistem transportasi, bahkan sampai ke
komunitas-komunitas
terpencil
(Hefner,
1999).
Hal
ini
kemudian
memungkinkan petani memasarkan hasil buminya lebih cepat dan akses mereka terhadap uang tunai lebih mudah.
Petani gunung yang pada mulanya mengolah tanah secara tidak eksploitatif dengan tujuan hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten mulai direcoki oleh kedatangan barang-barang konsumsi baru serta investasi dari luar. Belum lagi kehadiran negara dalam bentuk pajak atas tanah pertanian mereka serta intervensi negara dalam bentuk penciptaan kawasan konservasi. Dengan adanya wilayah konservasi berarti juga pemutusan hubungan atara petani dengan tanah yang bisa
15
mereka jadikan lahan. Ditambah dengan adanya penetapan kawasan enclave yang semakin membatasi tanah yang bisa dimanfaatkan. Dengan semakin mendesaknya kebutuhan akan lahan menjadikan petani mencari alternatif lain dengan menggarap lahan yang semula tidak bisa dipakai untuk usaha pertanian dengan memanfaatkan lahan marjinal (Wicaksono, 2012).
Pola-pola penggarapan lahan pertanian di wilayah lereng gunung merupakan hasil dari penyesuaian diri dalam waktu yang cukup lama yang dilakukan oleh petani Tengger dalam mengelola lahan pertanian. Seperti yang dikatakan oleh Julian Steward, bahwa adaptasi manusia dengan lingkungannya dapat terjadi, namun selain memberikan keleluasaan kepada manusia untuk mengeksploitasinya, lingkungan juga membatasinya. Oleh sebab itu diperlukan strategi adaptasi tertentu.
Apa yang terjadi di desa Ngadas ini dengan pertumbuhan penduduk dan kepemilikan tanah yang sebagai berkurang tiap individunya terjadi perebutan untuk mendapatkan sumber daya (dalam hal ini tanah) yang jumlahnya semakin terbatas. Tantangan yang juga dihadapi oleh petani Tengger sebagai implikasi dari menurunnya jumlah lahan adalah cara bagaimana mendapatkan hasil yang lebih banyak dari tanah yang semakin berkurang. Pembentukan Taman Nasional oleh pemerintah ikut serta membentuk pola adaptasi petani Tengger dalam rangka memanfaatkan sumber daya yang terdapat di dalam hutan kawasan konservasi. Kerangka berfikir ini berusaha untuk menguraikan strategi yang dilakukan oleh
16
petani Pegunungan Tengger dalam memanfaatkan sumber daya yang terdapat di kawasan Taman Nasional sebagai bagian dari laku adaptifnya serta terhadap keberadaan sumber daya vital bagi petani yaitu tanah yang semakin terbatas agar dapat meningkatkan produktivitas lahan sekaligus pemenuhan kebutuhan subsisten mereka.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah enclave Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, tepatnya di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusuma, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Desa Ngadas terbagi menjadi dua dusun, yaitu dusun Ngadas dan Dusun Jarak Ijo dimana jarak antar kedua dusun ini adalah 3.5 km yang dipisahkan oleh hutan kawasan TN BTS. Desa Ngadas yang terletak di pegunungan Tengger memiliki ketinggian sekitar 2.100 meter di atas permukaan laut (mdpl) yang menyebabkan suhu udara di Ngadas cukup dingin.
Penelitian yang saya lakukan menggunakan metode dasar penelitian etnografi. Spradley (2007) mengatakan bahwa etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utamana adalah memahami suatu pandangan hidup dari penduduk asli. Malinowski dalam Spradley (2007) mengatakan bahwa tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk alsi, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai
17
dunianya. Menurut Koentjaraningrat (2000) deskripsi mengenai kebudayaan mengenai suku bangsa biasanya merupakan isi dari sebuah karangan etnografi.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yang utama adalah observasi-partisipasi serta wawancara mendalam.observasi–partisipasi ini dilakukan dengan tinggal bersama masyarakat secara intensif dan ikut melibatkan diri pada berbagai kegiatan sosial-kemasyarakatan yang ada di sana. Data yang dihasilkan dari observasi partisipasi ini merupakn data primer yang diperoleh langsung dari lapangan.
Data yang digunakan selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang berasal dari dokumen instansi yang terkait dengan penelitian. Data sekunder ini meliputi data dari dokumen yang sudah ada. Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena banyak dalam banyak hal, dokumen sebagai sumber dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan meramalkan (Moleong, 2007).
Data yang diperoleh kemudian di pertajam dengan melakukan wawancara medalam (in-depth interview). Wawancara mendalam dilakukan dalam jangka waktu yang relatif, bukan kunjungan singkat dengan daftar pertanyaan yang tersruktur seperti pada penelitian survai (Amri Marzali dalam Spradley, 2007). Dalam melakukan wawancara mendalam ini biasanya sudah ditetapkan beberapa
18
informan kunci yang bisa mewakili masalah yang akan diteliti. Penetapan informan kunci ini berdasarkan proses identifikasi selama melakukan observasi partisipasi.
F. Analisis Data
Data yang diperoleh selama penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif. Data baik yang diperoleh secara primer maupun sekunder dikumpulkan dan dianalisis secara deskriptif-analitik. Deskripsi mengenai kerangka etnografi ini menjelaskan tentang konsep dan makna yang dianut masyarakat setempat terkait dengan strategi bertahan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya tanah yang terbatas sebagai implikasi dari pembentukan Taman Nasional.
19