I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Semenjak dicanangkan Program Keluarga Berencana Nasional pada awal tahun 1970, Program Keluarga Berencana telah diterima oleh masyarakat luas dan telah memberikan hasil yang menggembirakan, sehingga Indonesia dijadikan sebagai model bagi beberapa Negara berkembang. Sejalan dengan hal tersebut program Keluarga Berencana yang pada awalnya merupakan upaya pengaturan kelahiran dalam rangka meningkatkan kesejahteraan Ibu dan Anak, kemudian dalam perkembangannya program KB ditujukan untuk membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS). Pesatnya peningkatan pemakaian alat/obat kontrasepsi oleh Pasangan Usia Subur (PUS) dapat menurunkan tingkat kelahiran dari 5,6% per tahun menjadi 2,34% per tahun pada kurun waktu 1970 1980, dan 1,97% per tahun pada kurun waktu 1980 – 1990 (BKKBN, 2006). Sejalan dengan semangat otonomi daerah, pada akhir tahun 2003 pengelolaan program Keluarga Berencana (KB) diserahkan kewenangannya kepada pemerintah Kabupaten/Kota, sehingga menimbulkan berbagai persoalan terutama tentang kelembagaan pengelola Program KB. Semangat ini akhirnya mempengaruhi tatanan sosial di lingkungan masyarakat tentang Program KB, sehingga menuntut adanya perubahan kebijakan dan strategi pembangunan Keluarga Berencana (KB) dengan paradigma baru. Paradigma tersebut dilandasi oleh tuntutan masyarakat yang mengarah kepada keterbukaan, tata pamong yang bersih, demokratisasi, hak azasi manusia dan otonomi daerah yang lebih diperluas. Gerakan Keluarga Berencana Nasional yang telah digalakkan selama ini dalam pelaksanaannya dikembangkan menjadi Gerakan Pembangunan Keluarga
sejahtera, yang dikemas dalam tiga paket kegiatan yaitu Gerakan Reproduksi Keluarga Sejahtera (GRKS), Gerakan Ketahanan Keluarga Sejahtera (GKKS) dan Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera (GEKS) (BKKBN, 1997). Dengan adanya pengembangan tiga kegiatan tersebut, maka Institusi Masyarakat Pedesaan sebagai pengelola kegiatan di tingkat paling bawah perlu melakukan penyesuaian peran dan klasifikasi sesuai dengan perkembangan kegiatan tersebut. Arah kebijakan program Keluarga Berencana yang dilakukan selama ini telah dilandasi oleh dasar hukum yang kuat yaitu Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga
Sejahtera.
Secara
rinci
untuk
arah
kebijakan
pembangunan Keluarga Berencana kedepan telah tertuang dalam RPJMN 2004 – 2009 pasal 30 tentang Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas, serta Pemuda dan Olahraga, dimana salah satu sasaran program ke depan adalah meningkatnya jumlah Institusi Masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan Keluarga Berencana dan keluarga berkualitas. Keberadaan petugas lapangan Keluarga Berencana, yaitu Pengendali Program Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB) di tingkat Kecamatan dan Petugas
Lapangan
Keluarga
Berencana/Penyuluh
Keluarga
Berencana
(PLKB/PKB) di tingkat Desa/Kelurahan sebagai ujung tombak program KB, selama ini sangat menentukan keberhasilan program KB.
Namun semenjak
pengelolaan program KB diserahkan ke daerah tahun 2003, jumlah petugas lapangan semakin berkurang. Hal ini disebabkan sebagian petugas lapangan beralih tugas melalui mutasi dan promosi ke instansi lain di Pemerintah Daerah (BKKBN, 2006).
2
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 1994 tentang pembangunan keluarga sejahtera, pada bab V pasal 22 dan pasal 23 sangat jelas dinyatakan peran masyarakat dalam membantu pemerintah mewujudkan peluang dan mendorong keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam penyelenggaraan pembangunan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Peluang dan dorongan untuk meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan Keluarga Sejahtera tersebut meliputi
pemberian
informasi
dan
pendidikan
yang
berkaitan
dengan
penyelenggaraan pembangunan Keluarga Sejahtera; membantu kelancaran penyelenggaraan pembangunan Keluarga Sejahtera; menggerakkan masyarakat untuk menjadi peserta dan/atau motivator Keluarga Berencana; memberikan motivasi untuk menciptakan ketahanan dan kemandirian keluarga yang dapat mewujudkan keluarga sejahtera. Peran serta masyarakat diselenggarakan melalui organisasi kemasyarakatan, atau perorangan sesuai dengan peraturan per Uundang-Undangan yang berlaku, serta peran serta masyarakat dapat berupa penyediaan tenaga, sarana, prasarana, dana ataupun bentuk yang lainnya. Sebagai konsekwensinya, Program Keluarga Berencana yang juga merupakan bagian integral dari pembangunan, harus mampu memenuhi tuntutan tersebut. Oleh karena itu kebijakan dan strategi program Keluarga Berencana perlu dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi melalui Lembaga Swadaya dan Organisasi Masyarakat sebagai pengelola dan pelaksana program. Sejalan dengan hal tersebut maka pendekatan program KB yang selama ini berorientasi demografis dengan nuansa mobilisasi masyarakat, perlu diubah dan mengarah pada visi program, yaitu Keluarga
3
Berkualitas yang mengedepankan hak-hak reproduksi sebagai bagian dari hak azazi manusia serta dengan pendekatan yang semakin representatif. Sebagai tindak lanjut dari kebijakan dan strategi tersebut, telah dilakukan upaya untuk mereposisi peran petugas lapangan (PLKB/PKB). Perubahan dalam reposisi tersebut pada intinya menyangkut pergeseran peran PLKB yang selama ini bertindak sebagai manajer dan pelaksana program ke arah peran yang lebih menonjolkan petugas lapangan sebagai pemimpin dan penggerak program di lapangan. Dengan demikian, pergeseran peran tersebut juga mengandung maksud untuk lebih memberikan kesempatan kepada masyarakat melalui Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) dan Lembaga Sosial Organisasi Masyarakat (LSOM) untuk berperan sebagai pengelola dan pelaksana berbagai kegiatan program KB di lapangan (BKKBN, 2001). Untuk menggalang peranserta masyarakat dalam program KB selama ini, telah dilakukan upaya penumbuhan, pembinaan, dan pengembangan Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) sebagai wadah peran serta masyarakat sekaligus sebagai mitra kerja petugas lapangan yang meliputi hal-hal sebagai berikut: Pembantu
Pembina
Keluarga
Berencana
Desa
(PPKBD)
di
tingkat
Desa/Kelurahan, Sub Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (Sub PPKBD) di tingkat dusun/RW serta Kelompok KB di tingkat RT. Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) tersebut merupakan kelembagaan pedesaan dalam program KB yang pada awalnya dimaksudkan sebagai perpanjangan tangan PLKB/PKB dalam membina kelestarian ber-KB akseptor. Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) sebagaimana disebutkan di atas terdiri dari 3 (tiga) klasifikasi. Pertama Dasar, dengan melakukan peran meliputi
4
pengorganisasian (masih tunggal), pertemuan (belum rutin), Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), pendataan dan pencatatan, pelayanan, ada upaya kemandirian.
Kedua
Berkembang,
dengan
melakukan
peran
meliputi
pengorganisasian (sudah dilengkapi pembagian tugas), pertemuan (rutin bulanan), KIE dan Konseling, pencatatan dan pendataan, ada pelayanan, ada upaya kemandirian.
Ketiga
Mandiri,
dengan
melakukan
peran
meliputi
pengorganisasian (pengurus sudah lengkap dengan seksi-seksi), pertemuan (rutin bulanan), KIE dan Konseling, Pencatatan dan pendataan (lengkap dan sudah ada tindak lanjut), pelayanan kegiatan, ada upaya kemandirian (BKKBN, 1997). Lebih lanjut dengan perkembangan kegiatan program KB tidak hanya menyangkut upaya pengaturan kelahiran saja, melainkan juga upaya pembinaan ketahanan dan peningkatan kesejahteraan keluarga. Untuk itu IMP tersebut kemudian diharapkan mampu melaksanakan berbagai kegiatan dalam program KB di lapangan melalui 6 (enam) perannya yaitu; pengorganisasian, pertemuan, Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dan penyuluhan, pelayanan kegiatan, pencatatan dan pendataan serta upaya kemandirian. Karena
strategisnya
peran
Institusi
Masyarakat
Pedesaan
dalam
pengembangan Program Keluarga Berencana di tingkat Desa, maka institusi tersebut berfungsi sebagai mitra pemerintah terdepan dalam menyukseskan program pembangunan. Apabila Institusi Masyarakat yang ada dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan alur yang ada, pelaksanaan program Pembangunan bidang Keluarga Berencana diharapkan dapat terwujud dengan baik. Kondisi Institusi Masyarakat Pedesaan di tingkat Desa (PPKBD) Kabupaten Siak tahun 2006,
5
berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Kabupaten Siak dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) di Kabupaten Siak tahun 2006. No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Siak Sungai Apit Minas Dayun Kerinci Kanan Tualang Bunga Raya Sungai Mandau Kandis Koto Gasib Sabak Auh Mempura Lubuk Dalam Jumlah
Jumlah Jumlah Desa/Kel. PPKBD (Klpk.) 8 13 5 11 12 8 14 9 6 9 5 7 6 113
8 13 5 11 12 8 14 9 6 9 5 7 6 113
Klasifikasi Dasar 8 13 5 6 11 4 9 9 6 8 5 7 3 94
Berkembang 5 1 4 5 1 3 19
Mandiri -
Sumber : BKKBN Kabupaten Siak (2006) Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa PPKBD sudah terbentuk di setiap Desa/kelurahan. Akan tetapi jika ditelaah dari segi klasifikasinya masih berada pada tingkat dasar, dimana klasifikasi Dasar berjumlah 94 PPKBD atau 83,19%, sedangkan klasifikasi Berkembang sebanyak 19 PPKBD atau 16,81%, dan klasifikasi Mandiri sebanyak 0%. Keadaan jumlah Sub PPKBD yang berada di tingkat RW se Kabupaten Siak dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2.
No
Jumlah Sub Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (Sub PPKBD) di Kabupaten Siak tahun 2006. Kecamatan
Jumlah RW
Jumlah Sub PPKBD (Kelompok)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Siak 23 6 Sungai Apit 55 26 Minas 35 25 Dayun 60 42 Kerinci Kanan 61 35 Tualang 38 25 Bunga Raya 67 22 Sungai Mandau 28 3 Kandis 27 11 Koto Gasib 33 27 Sabak Auh 28 20 Mempura 16 6 Lubuk Dalam 24 9 Jumlah 451 257 Sumber : BKKBN Kabupaten Siak (2006)
Klasifikasi Dasar 6 23 24 37 35 17 15 3 11 26 20 6 6 229
Berkembang 3 1 5 8 7 1 3 28
Mandiri -
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah Institusi Masyarakat Pedesaan Sub PPKBD adalah 257 Institusi atau 56,98% dari jumlah RW yang ada, dengan klasifikasi Dasar sebanyak 229 Institusi atau 89.11%, Klasifikasi Berkembang sebanyak 28 Institusi atau 10,89%. Di lain pihak keadaan jumlah Kelompok Akseptor dapat dilihat pada Tabel 3.
7
Tabel 3. Jumlah Kelompok Akseptor di Kabupaten Siak tahun 2006. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kecamatan
Jumlah RT
Jumlah Kelompok Akseptor
Siak 53 1 Sungai Apit 126 6 Minas 103 8 Dayun 191 2 Kerinci Kanan 169 6 Tualang 285 23 Bunga Raya 162 7 Sungai Mandau 58 Kandis 86 1 Koto Gasib 109 1 Sabak Auh 50 Mempura 51 Lubuk Dalam 92 3 Jumlah 1434 58 Sumber : BKKBN Kabupaten Siak (2006)
Klasifikasi Dasar 1 6 8 2 6 23 7 1 1 3 58
Berkembang -
Mandiri -
Dari data Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah Kelompok KB atau Kelompok Akseptor yang terbentuk dengan klasifikasi Dasar adalah 58 Institusi atau 4,04%. Hal ini menunjukkan kurangnya jumlah institusi tersebut. Berdasarkan kondisi di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk membahas hal tersebut.
1.2 Perumusan Masalah Isu yang timbul terhadap Kader Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) dalam pengelolaan program Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera pada hakikatnya sangat tergantung pada pola pikir masyarakat dan budaya masyarakat setempat dalam mendukung pembangunan secara berkelanjutan. Hal ini menjadi kendala dalam motivasi dan partisipasi kader terhadap program yang dilakukan. Kader yang ada kurang melaksanakan fungsinya sebagai pengelola program
8
Keluarga Berencana di tingkat Desa. Ini dibuktikan dengan tidak adanya laporan yang diberikan oleh Kader IMP kepada PKB sebagai penanggung jawab program di lapangan. Selain itu juga sulit mencari kader untuk duduk sebagai pengurus Sub PPKBD di tingkat RW dan untuk Kelompok Akseptor di tingkat RT. Kader IMP dalam hal ini adalah Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) di tingkat Desa, Sub PPKBD di tingkat RW dan kelompok Akseptor di tingkat RT, sebagai perpanjangan tangan Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) atau Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) kurang menjalankan fungsinya. Kelompok yang ada terkadang hanya ada nama, akan tetapi kegiatannya yaitu pengorganisasian, pertemuan, Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dan penyuluhan, pelayanan kegiatan, pencatatan dan pendataan serta upaya kemandirian, tidak berjalan sebagaimana mestinya, sebagai contoh adalah pengiriman laporan bulanan dari PPKBD ke PLKB/PKB. Berkenaan dengan hal tersebut, maka untuk meningkatkan motivasi dan partisipasi kader IMP dalam pengelolaan program Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera di tingkat Desa/Kelurahan perlu dilakukan kajian tersendiri. Tingkat motivasi dan partisipasi kader IMP dalam pengelolaan program KB sangat menentukan keberhasilan program dimaksud. Semakin tinggi tingkat motivasi dan partisipasi kader IMP, akan semakin tinggi tingkat keberhasilan program pembangunan dan memperkecil rentang kendala di lapangan. Dengan demikian rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana motivasi dan partisipasi kader Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) dalam pengelolaan program KB di Kabupaten Siak.
9
b. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi motivasi dan partisipasi Kader IMP dalam pengelolaan program KB. c. Bagaimana hubungan antara motivasi dan partisipasi kader IMP dalam pengelolaan program KB. d. Bagaimana meningkatkan motivasi dan partisipasi kader IMP dalam pengelolaan program KB.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian tentang motivasi dan partisipasi kader IMP dalam pengelolaan program KB di Kabupaten Siak adalah sebagai berikut : a. Menganalisa tingkat motivasi dan partisipasi kader IMP dalam pengelolaan program KB di Kabupaten Siak. b. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi dan partisipasi kader IMP dalam pengelolaan program KB. c. Menganalisa hubungan antara motivasi dan partisipasi kader Institusi Masyarakat Pedesaan dalam pengelolaan program KB. d. Merumuskan upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi dan partisipasi kader IMP di masa akan datang.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengelola program KB di Kabupaten Siak maupun bagi penulis sendiri. Manfaat bagi pengelola program KB adalah sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan sebagai masukan dan pertimbangan dalam rangka meningkatkan motivasi dan
10
partisipasi kader IMP dalam pengelolaan program KB di lapangan sebagai ujung tombak keberhasilan program. Bagi penulis penelitian ini dapat dijadikan sebagai wahana dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang telah didapat selama mengikuti pendidikan di Program Studi Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (MB-IPB). Di samping itu juga, penelitian ini bagi seluruh petugas lintas sektoral diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk
mengambil
keputusan
atau
kebijakan
pembangunan
dengan
mengembangkan konsep dan arahan strategi meningkatkan motivasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang berkelanjutan.
1.5 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah motivasi dan partisipasi kader IMP di Kabupaten Siak dalam pengelolaan program Pembangunan Keluarga Berencana yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten Siak. Keberadaan Kelembagaan BKKBN Kabupaten Siak setelah dilimpahkan ke Daerah semenjak tahun 2003 berdasarkan SK Bupati Siak Nomor 188 tahun 2003 . Hal ini erat kaitannya dengan kewenangan Daerah sebagai Daerah Otonomi, termasuk pelimpahan wewenang pengelolaan program KB. Di daerah terjadi berbagai bentuk lembaga pengelolaan program KB sesuai dengan keinginan masing-masing Daerah, bahkan ada Kabupaten/Kota yang belum membentuk kelembagaan program KB, pembentukan kelembagaannya masih dalam bentuk Wacana (BKKBN, 2006).
11