I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Dewasa
ini,
pertumbuhan
penduduk
dunia
menunjukkan
trend
peningkatan yang sangat pesat. Data survei resmi United Nation dalam The 2010 Revision1 mengestimasi bahwa jumlah penduduk dunia akan mencapai 7 miliar di akhir tahun 2011 sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk dunia meningkat lebih dari dua kali lipat dari 2,53 miliar pada tahun 1950. Diperkirakan bahwa jumlah penduduk ini akan menjadi 9 miliar pada tahun 2050 dan 10 miliar pada tahun 2100. Tambahan tiga miliar penduduk hingga tahun 2100 akan meningkatkan jumlah penduduk di negara berkembang yang diprediksi akan meningkat dari 5,7 miliar pada tahun 2011 menjadi 8 miliar pada tahun 2050 dan 8,8 miliar pada tahun 2100. Sementara itu, populasi di negara maju diperkirakan akan meningkat sedikit dari 1,24 miliar pada tahun 2011 menjadi 1,34 miliar pada tahun 2100. Pertumbuhan penduduk dunia dari tahun 1950-2008 dan prediksi sampai tahun 2050 ditampilkan pada Gambar 1. Hubungan jumlah penduduk, sumber daya, dan tingkat kesejahteraan telah menjadi diskusi yang menarik sejak Mathus mencetuskan ide pada tahun 1798 yang menyatakan bahwa populasi bertumbuh secara eksponensial, sedangkan produksi makanan meningkat dengan laju linear. Pada titik tertentu akan terjadi krisis pangan. Pakar ekonomi Stanford Nathan Rosenberg dalam tulisan Wolfgram (2005) memberikan ilustrasi yang lebih jelas untuk memahami pemikiran Malthus. Penduduk yang meningkat drastis mengindikasikan adanya peningkatan output berupa makanan yang juga berarti peningkatan tenaga kerja 1
Laporan data jumlah penduduk The 2010 Revision ini dibangun berdasarkan publikasi sebelumnya yaitu The 2008 Revision dengan mengakomodasi survei populasi terbaru di seluruh dunia
pertanian. Output perekonomian memang meningkat, tetapi pertumbuhan output berkurang karena ketersediaan lahan sebagai input utama sifatnya tetap. Pada titik tertentu, tambahan tenaga kerja pada usaha pertanian tidak akan menghasilkan tambahan makanan. Pertumbuhan menjadi melambat karena tidak ada pendapatan yang dapat dialokasikan untuk pembentukan modal di masa yang akan datang. Penjelasan ini ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 2.
Sumber: United Nation Population Division (2011) Gambar 1. Populasi Dunia Tahun 1950-2011 dan Proyeksi Tahun 2012-2050 Jumlah Penduduk Pertumbuhan Populasi
Produksi Makanan Krisis Pangan
t1
Waktu
Sumber: Malthus (1976) Gambar 2. Tekanan Populasi Terhadap Makanan Menurut Malthus Terdapat beberapa faktor penting dalam ilustrasi di atas. Pertama, dalam kondisi sumber daya yang jumlahnya tetap, pertumbuhan populasi akan
2
mempengaruhi konsumsi secara langsung. Sebagai konsekuensi dari hukum diminishing return, produktivitas tenaga kerja akan berkurang seiring dengan penambahan tiap satu orang tenaga kerja pada sumber daya yang bersifat tetap. Hal ini berarti pendapatan per kapita akan cenderung konstan. Dalam situasi seperti ini, pertumbuhan populasi akan menyebabkan alokasi investasi berubah dari tabungan dan pengembangan sumber daya manusia ke keadaan subsisten yang artinya individu hanya memiliki uang atau makanan untuk bertahan hidup. Hal ini didukung oleh studi Madison dalam Ashraf (2008) yang menyatakan bahwa rata-rata pendapatan per kapita dunia di millenium pertama adalah sekitar $450 per tahun dengan pertumbuhan pendapatan per kapita hampir mendekati nol. Pada tahun 1000-1820, rata-rata pendapatan per kapita dunia masih di bawah $670 per tahun dengan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita sekitar 0,05% per tahun. Periode stagnasi ini terus berlanjut sampai akhir abad ke delapan belas. Walaupun demikian, krisis pangan yang diprediksi Malthus tidak bisa dikatakan sepenuhnya terjadi. Dalam Wolfgram (2005) juga dinyatakan bahwa faktor perkembangan pertanian, perubahan struktur sosial, dan kebijakan pemerintah menyebabkan manusia dapat menghindari situasi dimana jumlah penduduk lebih besar yang lebih besar daripada daya dukung. Lebih lanjut lagi, Krautkraemer (2005) juga menyatakan bahwa manusia terbukti telah mampu menemukan solusi berupa teknologi sebagai respon terhadap kelangkaan sumberdaya. Contohnya di Indonesia adalah swasembada pangan akibat revolusi hijau yang berhasil meningkatkan produktivitas padi pada tahun 1980-an.
3
Hingga saat ini, kebenaran berbagai paham yang diawali oleh pemikiran Malthus masih menjadi perdebatan. Namun, terlepas dari hal tersebut, hubungan antara penduduk dan kerusakan lingkungan memang ada, namun belum terbukti secara ilmiah. Panayotou (2000) menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada studi empiris yang berhasil membuktikan hubungan antara kedua variabel tersebut. Lebih lanjut lagi mengenai dampak terhadap lingkungan, Ehrlich dan Holdren (1971) menyatakan bahwa pada dasarnya setiap individu memberikan dampak yang negatif terhadap lingkungan dalam berbagai aktivitas kehidupan , pertanian. Total dampak negatif tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut. I=PxF
...................................................................................................... (1)
I
: Dampak terhadap lingkungan
P
: Ukuran populasi
F
: Ukuran dampak per individu Dampak terhadap lingkungan (I) akan meningkat apabila variabel P dan F
sama-sama meningkat atau peningkatan variabel yang satu lebih besar dari penurunan variabel yang lain. Ehrlich dan Holdren kemudian memasukkan teknologi sebagai salah satu faktor yang dikaitkan dengan ukuran dampak per individu (F). Awalnya, F dihubungkan dengan konsumsi per kapita, misalnya konsumsi energi dan mineral. Faktor ini kemudian dihubungkan dengan tingkat teknologi yang memungkinkan adanya konsumsi tersebut dan dilakukan pengukuran untuk mengetahui apakah teknologi tersebut memberikan dampak lingkungan yang semakin banyak atau semakin sedikit. Secara umum dapat
4
dikatakan bahwa perbaikan teknologi dapat membuat dampak per individu (F) konstan ataupun menurun. Di saat yang sama, perbaikan teknologi tersebut akan meningkatkan konsumsi per kapita. Review terhadap persamaan Ehrlich dan Holdren yang dilakukan oleh Chertow (2001) menyatakan bahwa persamaan di atas masih mengalami berbagai perubahan variabel setelah melalui perdebatan yang panjang antara ilmuwan seperti Commoner. Bentuk akhir persamaan tersebut adalah sebagai berikut. I = P x A x T ...................................................................................................... (2) I
: Dampak terhadap lingkungan
P
: Ukuran populasi
A
: Tingkat kemakmuran per kapita yang dapat dicerminkan oleh GDP (Gross Domestic Product)
T
: Teknologi dalam tiap unit konsumsi Hubungan antara pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan oleh tingkat
pendapatan seperti GDP dan kerusakan lingkungan digambarkan dengan kurva berbentuk U terbalik (Gambar 3). Awal perkembangan ekonomi ditandai dengan intensifikasi pertanian dan ekstraksi sumber daya besar-besaran untuk kebutuhan industri. Pada tahap ini, laju ekstraksi mulai melebihi kemampuan regenerasi sumberdaya dan munculnya limbah berbahaya yang kadarnya terus meningkat sepanjang tahun. Hal ini berarti bahwa kerusakan lingkungan akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan sampai pada tingkat tertentu. Setelah melewati titik balik kurva, kerusakan akan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan karena masyarakat semakin peduli terhadap lingkungan dan memiliki pendapatan yang cukup untuk berinvestasi pada teknologi yang dapat mengurangi
5
laju kerusakan lingkungan. Kurva pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan selanjutnya dikenal sebagai Kurva Kuznet atau Environmental Kuznet Curve (EKC) karena bentuknya menyerupai hubungan antara pendapatan per kapita dan ketidakmerataan pendapatan (kurva U terbalik) yang ditemukan oleh Kuznet pada tahun 1955 (Dinda, 2004). Kerusakan Lingkungan
Pendapatan
Sumber: Kuznet dalam Dinda (2004) Gambar 3. Kurva Lingkungan Kuznet (EKC) Tekanan populasi, keterbatasan sumber daya, pertumbuhan ekonomi berdampak
pada
permasalahan
lingkungan
seperti
deforestasi,
sanitasi,
kelangkaan air bersih, sampah, krisis energi, polusi air, udara, dan tanah. Air bersih terkontaminasi oleh limbah industri dan sampah rumah tangga yang langsung dibuang ke sumber air. Banyak sungai di Asia yang terkontaminasi oleh polutan seperti Nitrogen, Posfor, bakteri Patogen, dan residu pestisida. Polusi udara juga menjadi masalah yang sangat serius akibat emisi dari industri, rumah tangga, dan kendaraan bermotor telah melebihi kemampuan alami kota untuk mengembalikan emisi ke level yang tidak berbahaya bagi kesehatan (Brennan, 1999). Kerusakan lingkungan seperti polusi perairan juga dialami oleh Jepang ketika negara tersebut berhasil memulihkan perekonomian yang hancur dalam kondisi politik yang tidak stabil setelah perang dunia kedua melalui industrialisasi
6
intensif. Dekade 1950-an dianggap sebagai masa persiapan dan transisi dari kekalahan perang ke masa emas pertumbuhan ekonomi dimana Jepang menjadi negara dengan GDP terbesar kedua pada tahun 1968. Beberapa kasus yang berdampak besar pada masyarakat pun dibawa ke pengadilan seperti penyakit gatal (itai) akibat limbah Cadmium dari Mitsui Metal and Mining Co. dan penyakit minamata akibat ikan yang tercemar oleh merkuri dari New Nippon Nitrogen Co. di Teluk Minamata (Hamada, 1996). 1.2
Perumusan masalah Studi empiris untuk membuktikan EKC telah banyak dilakukan untuk
berbagai kasus kerusakan lingkungan, misalnya polusi udara dan air. Umumnya, studi tersebut merupakan analisis terhadap sejumlah data polutan time series dari berbagai negara yang digabungkan menjadi satu panel dan meregresikannya pada tingkat pendapatan yang berbeda. Beberapa studi berhasil membuktikan kebenaran kurva Kuznet, namun terdapat juga studi yang menemukan bentuk kurva lain seperti kurva berbentuk U, N, dan tilted-S. Studi yang dilakukan oleh Dinda (2000) menunjukkan bahwa umumnya EKC terbukti untuk masalah lingkungan yang mudah dipecahkan dan terdata dengan baik seperti SO 2, NOx, suspended partial matter (spm), CO, dan CO2. Oleh karena itu, generalisasi EKC tidak dapat dilakukan pada semua jenis polutan. Penelitian terdahulu memberikan kritik terhadap metode yang digunakan dalam uji empiris EKC, yaitu studi panel data. Dinda (2004) mengemukakan bahwa asumsi dasar dalam panel data perlu dikritisi karena terdapat berbagai hal spesifik yang berpengaruh terhadap kualitas lingkungan sehingga tidak dapat digeneralisasikan, seperti: faktor sosial masyarakat, politik, dan kondisi alam.
7
Contohnya adalah luasan tutupan hutan yang berbeda antar negara akan berpengaruh terhadap penyerapan emisi karbon. Hal ini menandakan pentingnya studi EKC di tingkat yang lebih rendah, yaitu suatu negara agar hipotesis tersebut semakin dapat menjelaskan kondisi nyata. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan polusi air sungai di Jepang menarik untuk diteliti karena sebelumnya Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi yang diikuti dengan polusi perairan, tapi saat ini sudah menjadi negara maju dengan tingkat pendapatan tinggi dan kualitas perairan yang baik. Kenyataan ini sesuai dengan hipotesis lingkungan Kuznet yang telah diuraikan sebelumnya. Ketersediaan data time series yang lengkap di Jepang juga memungkinkan penelitian ini dilakukan karena studi EKC melihat perubahan indikator kualitas lingkungan dalam jangka panjang. Dalam hal ini, indikator kualitas lingkungan yang diteliti dibatasi pada polusi air sungai. Oleh karena itu, akan dilakukan studi empiris untuk membuktikan EKC di Jepang dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana hubungan antara tingkat pendapatan dan polusi air sungai di Jepang?
2.
Bagaimana kondisi historis polusi air sungai dan peraturan terkait dengan kerusakan lingkungan di Jepang?
3.
Apa pelajaran yang dapat diambil oleh negara berkembang seperti Indonesia dari pengalaman negara maju seperti Jepang yang terlebih dahulu mengalami kerusakan lingkungan?
8
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui hubungan tingkat pendapatan dan polusi air sungai di Jepang.
2.
Menjelaskan historis polusi air sungai dan peraturan tentang lingkungan di Jepang.
3.
Memperoleh pelajaran yang dapat diambil oleh negara berkembang seperti Indonesia dari pengalaman negara berkembang seperti Jepang dalam hal permasalahan lingkungan.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini ditujukan kepada pemerintah dan individu yang
diuraikan sebagai berikut: 1.
Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi pembanding dari analisis hubungan pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan dan pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman negara maju seperti Jepang yang telah terlebih dahulu mengalami kasus kerusakan lingkungan.
2.
Bagi individu, tulisan ini diharapkan dapat menstimulasi pemikiran dan ide penelitian terkait dengan studi ekonomi lingkungan yang mempelajari pembuktian hipotesis Kuznet di Indonesia.
3.
Bagi akademisi, penelitian akan menjadi referensi bagi studi mengenai hipotesis Kuznet.
1.5
Batasan Penelitian Adapun batasan penelitian adalah sebagai berikut:
9
1.
Lokasi yang dijadikan objek penelitian adalah kota besar di wilayah Kanto, Pulau Honshu, Jepang.
2.
Indikator polusi air sungai diwakili oleh konsentrasi Biological Oxygen Demand dan Chemical Oxygen Demand (COD).
3.
Pertumbuhan
ekonomi
dicerminkan
oleh
pendapatan
per
kapita.
10