I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Modernisasi adalah upaya kolektif mengubah masyarakat tradisional
menjadi masyarakat modern. Modernisasi memberikan banyak konsekuensi positif bagi kehidupan. Kehidupan ekonomi dan industri mengalami peningkatan karena kemudahan fasilitas dan infrastruktur. Pola hubungan dan komunikasi masyarakat berjalan dengan lebih dinamis dan efisien dengan adanya kemudahan sistem komunikasi dan informasi. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat pesat mempermudah aktivitas manusia di banyak bidang dan pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup. Modernisasi, di sisi lain, ternyata juga memunculkan konsekuensi yang tidak diharapkan. Dalam 35 tahun belakangan, kesenjangan sosial-ekonomi antara golongan kaya dan miskin meningkat tajam. Tindak kriminal dan kekerasan, narkotika dan obat-obatan terlarang tumbuh berkembang dan menjadi kekhawatiran masyarakat. Jaminan kesehatan, pendidikan tinggi, dan keamanan juga menjadi sorotan karena kompleksitas persoalan yang terjadi di dalamnya (Chickering, 2006). Perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik diharapkan untuk mengurangi dampak negatif dari modernisasi. Perubahan ini tentunya tidak terjadi begitu saja. Perubahan dunia membutuhkan orang-orang yang memiliki kemauan dan kemampuan memimpin (Yasuno, 2004). Era modernisasi tidak hanya menginginkan orang-orang cerdas dan kreatif dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi, tetapi juga memiliki jiwa kepemimpinan.
1
2
Dalam menghadapi persaingan di tengah kemajuan iptek di era modern, kepemimpinan yang berkualitas dan berfungsi sebagai agen perubahan sangat dinanti kehadirannya. Perguruan Tinggi (PT) memiliki peranan yang sangat strategis dalam menyediakan
sumber
daya
kepemimpinan
yang
baik
dan
berkualitas.
Kepemimpinan yang dilahirkan dari PT diperlukan bagi suatu bangsa. PT mengelola dan menghasilkan mahasiswa yang mampu diproyeksikan sebagai pemimpin muda masa depan. Mahasiswa diharapkan menjadi golongan intelektual muda yang menjadi kunci penting atas perubahan dunia di masa depan. Mahasiswa merupakan kelompok pemuda yang memiliki kedudukan istimewa di dalam sebuah negara. Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi kelompok elit pemimpin di masa depan. Kartono (2003) mengatakan bahwa dengan diwadahi oleh organisasi, mahasiswa telah mampu melakukan gerakan atau aksi kolektif yang didasarkan pada idealisme, kepekaan, sikap kritis dan anti kemapanan
yang
memiliki
tujuan
membawa
perubahan
dengan
cara
mempengaruhi atau menekan kebijakan pemerintah. Astin (1977) menyatakan banyak pemimpin dunia di bidang bisnis, industri, dan pemerintahan merupakan seorang pemimpin organisasi ketika mereka duduk di bangku kuliah. Oleh karena itu, penting untuk memberikan perhatian lebih dan intens terkait perkembangan kepemimpinan mahasiswa dalam kajian manajemen pendidikan tinggi. Dalam realita kekinian, kehidupan mahasiswa mendapat kritik dalam beberapa hal. Kritik pertama ditujukan pada bergesernya prioritas tujuan belajar mahasiswa. Semakin canggihnya teknologi dan tingginya kompetisi mencari
3
kelayakan materi membuat seseorang cenderung individualis. Di perguruan tinggi, mahasiswa lebih tertantang untuk berkompetisi menjadi yang terbaik dalam penguasaan pengetahuan yang mereka tekuni. Pencapaian prestasi akademik menjadi salah satu prioritas utama mahasiswa. Kesadaran diri mahasiswa sebagai pembelajar sepanjang hayat bergeser menjadi golongan intelektual yang lebih mengutamakan keinginan untuk cepat lulus dan cepat mendapat pekerjaan yang layak. Kepekaan sosial menjadi luntur sedikit demi sedikit. Sorotan berikutnya adalah menurunnya nalar kritis gerakan mahasiswa terhadap dinamika kehidupan bangsa. Gerakan mahasiswa masa kini lebih terlihat eksistensinya pada kegiatan pertukaran mahasiswa, kegiatan kewirausahaan, dan seni pertunjukkan seperti konser musik dan hiburan popular (pop) lainnya. Dengan terjadinya perubahan arah gerakan mahasiswa, dari aktifitas politik ke aktifitas popular, tidaklah heran jika aktifitas gerakan mahasiswa di dunia politik kurang terdengar gaungnya pasca reformasi. Gerakan politik mahasiswa dituntut untuk terintegrasi ke dalam gerakan yang disebut pop jika tidak ingin sepi dari massa (Rachman, 2014). Kegiatan-kegiatan bersifat adoptif dari budaya pop memang tidak bisa serta merta dianggap sebagai bentuk degradasi kemampuan dan fungsi intelektual mahasiswa. Namun, ketika kegiatan popoler tersebut tidak diimbangi oleh sikap kritis, gerakan mahasiswa tidak lagi mengarahkan aksi pada orientasi kepentingan sosial. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa keinginan generasi muda untuk mempelajari kearifan lokal semakin berkurang. Mahasiswa kini bertransformasi menjadi kaum intelektual yang kehilangan daya kritis terhadap masuknya produk
4
budaya asing sekaligus lemah dalam pemahaman kearifan lokal. Sudjarwadi (2014) mengatakan generasi muda Indonesia saat ini terlalu banyak dibanjiri informasi tidak positif sehingga mereka lebih banyak melihat dan mendengar halhal dari media dan kehidupan sehari-hari lebih banyak tidak baiknya dibanding baiknya. Hal-hal yang dilihat dan didengar itu merupakan pendidikan secara tidak langsung dan dengan tanpa sadar membentuk perangai. Kearifan lokal di masa lalu jarang dipahami oleh generasi muda saat ini, bahkan sebagian mereka menganggap bahwa kearifan lokal itu merupakan sesuatu yang sudah tidak cocok dengan zamannya. Kekerasan di lingkungan kampus juga menjadi salah satu yang disorot publik. Hingga tahun 2014 kasus-kasus kekerasan dengan berbagai bentuk dan latar belakang masih terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Kasus kekerasan yang terorganisir dan dianggap mahasiswa sebagai bagian dari proses pembelajaran beberapa kali terjadi di institusi perguruan tinggi kedinasan seperti yang terjadi di Jawa Barat (Billiocta, 2014) dan Jakarta (Liaw, 2014). Kekerasan juga hadir dalam rangkaian kegiatan penerimaan mahasiswa baru yang dilakukan oleh panitia kepada para peserta (Widianto, 2013). Kekerasan seharusnya tidak yang terjadi di institusi ilmu serta etika diajarkan, dan kepemimpinan nasional dilahirkan.
Kekerasan-kekerasan
dalam
proses
pendidikan
membutuhkan
penyelesaian sampai ke akarnya dengan melibatkan pihak-pihak
yang
berkepentingan dengan pendidikan tinggi. Selain kekerasan, mahasiswa juga kerap muncul dalam pemberitaan kriminal. Di antara kasus kriminal yang melibatkan mahasiswa adalah
5
pembunuhan berencana (Liaw, 2014) dan pembunuhan bayi hasil hubungan di luar nikah (Maulana, 2013). Kedua peristiwa ini hanya beberapa dari sekian banyak kasus-kasus kriminal mahasiswa. Mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual ternyata tidak sepenuhnya mampu menggunakan logika dan kebaikan akhlak sebagai landasan berpikir dan bertindak. Segala tantangan dan permasalahan mahasiswa di atas tentu memerlukan model kepemimpinan mahasiswa yang tidak sekedar berorientasi pada keterampilan manajerial dan penguasaan iptek. Dibutuhkan model kepemimpinan yang memiliki akar kekuatan berupa nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Kepemimpinan berbasis nilai-nilai spiritual (kepemimpinan spiritual) kemudian hadir sebagai salah satu solusi. Kepemimpinan spiritual menawarkan sosok pemimpin yang memiliki integritas moral yang tinggi berlandaskan pemahaman spiritualitas yang baik. Pemimpin spiritual menjalankan kepemimpinannya berlandaskan pada nilai-nilai moral, pengabdian dan pelayanan, nilai-nilai universal seperti kejujuran dan keterbukaan,
dan berusaha mewujudkan kedamaian (Thompson,
2008).
Kepemimpinan spiritual berusaha membuat perubahan dunia tidak hanya berdasarkan pada nilai kuantitatif, tetapi indikator-indikator kesuksesan lain yang bersifat kualitatif (Sokolow and Houston, 2008). Di banyak negara maju seperti Amerika, penelitian mengenai spiritual pada mahasiswa semakin banyak dilakukan. Salah satunya adalah penelitian Muller & Dennis tahun 2007. Muller & Dennis mengatakan mahasiswa di Amerika memiliki tingkat dinamika perubahan hidup yang tinggi baik positif
6
maupun negatif. Perubahan-perubahan tersebut memberikan pengaruh dalam memahami kehidupan dari sudut pandang subyektif. Muller & Dennis menemukan fakta bahwa mahasiswa dengan perubahan hidup yang dinamis tersebut ternyata memiliki tingkat spiritualitas yang rendah. Para mahasiswa memiliki keinginan besar untuk mencari nilai-nilai spiritual di dalam kehidupan mereka, tetapi di sisi lain motivasi mereka untuk mempraktekkan nilai-nilai spiritual masih rendah. Di Indonesia, penelitian mengenai kehidupan spiritual dan keagamaan mahasiswa mulai aktif dilakukan beberapa tahun terakhir. Penelitian Wiranto (2010) memberikan hasil yang menarik bahwa kehidupan spiritual keagamaan berjalan dinamis di perguruan tinggi. Di sisi lain, fenomena baru yang muncul adalah adanya kelompok-kelompok mahasiswa yang memiliki kecenderungan karakter fundamentalis. Dimensi spiritual dalam pendidikan tinggi mendapat perhatian besar di Indonesia. Melalui UU PT nomor 12 tahun 2012, institusi perguruan tinggi nasional memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan Tridharma perguruan tinggi. Tridharma tersebut meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
7
Berdasarkan UU tersebut, sebuah institusi perguruan tinggi di Indonesia memiliki misi penting melahirkan pemimpin-pemimpin muda dengan tingkat spiritualitas yang baik. Pembelajaran di kampus memuat tiga dimensi, yaitu dimensi ketuhanan, dimensi individu, dan dimensi sosial. Dimensi ketuhanan diperoleh dari pengajaran dan pembelajaran nilai-nilai keagamaan yang difasilitasi oleh kampus melalui kurikulum formal maupun informal. Dimensi ketuhanan dilahirkan dari proses pembelajaran nilai-nilai keagamaan yang memuat kebajikan-kebajikan manusia sebagai individu dan bagian dari kehidupan sosial. Dimensi individu adalah peningkatan kualitas diri baik secara penguasaan keilmuan dan teknologi maupun akhlak dan kepribadian yang mulia. Dimensi sosial merupakan perubahan sosial dan lingkungan sebagai dampak positif dari keberhasilan tumbuh kembangnya individu. Tiga dimensi ini tertanam dalam diri mahasiswa dan membentuk kepribadian yang kritis terhadap perkembangan politik dan perubahan bangsa, memiliki kepekaan sosial dan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan dan alam raya.
Dengan demikian, konsep pendidikan
nasional telah memiliki arah yang jelas dalam menghasilkan output perguruan tinggi. Melalui jenjang pendidikan tinggi, pemimpin masa depan dilatih untuk mampu mengaktualisasikan nilai-nilai spiritual dalam perilaku keseharian. Astin dan Astin (2000) menyatakan bahwa pemimpin masa depan tidak semata-mata membutuhkan penguasaan pengetahuan dan berbagai keterampilan. Seorang pemimpin juga harus memperlihatkan tingginya penguasaan emosi, kedewasaan bersikap, dan kearifan menerjemahkan spiritualitas.
8
Para penyelenggara pendidikan tinggi hendaknya menyadari, bahwa manajemen pendidikan tinggi tidak hanya sebatas pada pembangunan fisik infrastruktur pembelajaran, tetapi pembangunan non fisik seperti nilai moral, kearifan lokal, dan kekuatan spiritual juga harus terpenuhi. Ada harapan bahwa permasalahan-permasalahan di perguruan tinggi mampu diatasi melalui model pendidikan tinggi yang memberikan prioritas pada kekuatan spiritual seperti yang diamanahkan oleh Undang-undang. Penelitian ini menjadi penting karena memberikan informasi mengenai kondisi sebenarnya sisi spiritual dan kepemimpinan mahasiswa di perguruan tinggi. Hasil penelitian ini menjadi bahan refleksi bagi perguruan tinggi Indonesia khususnya dalam pengelolaan bidang akademik dan sumber daya manusia.
1.2.
Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pengelolaan pendidikan tinggi di dalam negeri
berkenaan dengan pelayanan dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar (mencakup pelayanan fisik dan nonfisik, serta tenaga pendidik dan kependidikan) mulai banyak dilakukan, begitu pula dengan kajian ilmiah atau penelitian dengan tujuan mengeksplorasi sisi spiritual mahasiswa. Tisdell (2003) mengatakan spiritualitas menjadi topik yang hangat untuk dikaji. Kajian mengenai spiritualitas di dunia pendidikan tinggi sendiri menjadi tren di Amerika dan Eropa sejak beberapa dekade belakangan. Kehidupan spiritual di kalangan mahasiswa berkembang menjadi topik dalam berbagai kajian akademik. Hasil penelitian
9
spiritual telah mendorong banyak kampus untuk memasukkan pengembangan spiritual sebagai komponen inti dalam sistem pendidikan. Meski ada banyak penelitian mengenai perkembangan mahasiswa-sekitar lima ribu kajian selama empat dekade belakangan, jumlah studi sistematik mengenai perkembangan spiritual di dunia pendidikan tinggi masih terbilang rendah (Astin & Astin, 2011). Penelitian empiris mengenai aspek spiritual khususnya di kalangan mahasiswa yang menjadi pemimpin masih terbatas (Yasuno, 2004). Di Indonesia, literatur penelitian terkait spiritualitas di kalangan mahasiswa masih sulit ditemukan karena keterbatasan jumlah penelitian dan pada umumnya kajian masih terpusat di universitas-universitas agama. Untuk itu, keberadaan penelitian mengenai spiritualitas di dunia pendidikan tinggi dengan subyek penelitian mahasiswa sangat diperlukan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian mengenai spiritualitas sebelumnya terletak pada subyek penelitiannya. Untuk mengeksplorasi sisi spiritual dalam proses kepemimpinan mahasiswa, penelitian ini secara spesifik memilih pimpinan organisasi kemahasiswaan sebagai subyek penelitian. Tujuannya adalah agar unsur kepemimpinan yang digali dalam sebuah penelitian terfokus dan tepat sasaran karena subyek penelitian benar-benar sedang menjabat sebagai seorang pemimpin. Hal ini berbeda dengan penelitian Yasuno (2004) yang memilih subyek penelitian para aktifis mahasiswa. Pada
penelitian
Christman
(2013)
terkait
spiritualitas
dalam
kepemimpinan, subyek penelitiannya adalah para mahasiswa yang berasal dari univeritas yang berafiliasi pada agama yaitu Universitas Kristen Protestan di
10
Amerika. Proses penyajian data dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan instrumen kuesioner. Pendekatan kuantitatif ini membatasi peneliti dalam memperoleh informasi mendalam mengenai spiritualitas di dalam kepemimpinan mahasiswa itu sendiri. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini lebih dibutuhkan untuk memperdalam penelitian terkini terkait spiritualitas dalam sebuah kepemimpinan.
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehidupan spiritual mahasiswa yang menjadi pemimpin di dalam suatu organisasi kemahasiswaan, dengan lingkup terbatas berorientasi memotret pandangan mereka tentang pengertian spiritualitas dan hubungannya dengan kepemimpinan. 1.3.2. Tujuan khusus Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara khusus ialah sebagai berikut: 1)
mengetahui konsep spiritualitas yang dipahami oleh mahasiswa;
2)
mengetahui faktor yang membentuk perkembangan spiritualitas mahasiswa; dan
3)
mengetahui bentuk aktualisasi nilai spiritual mahasiswa di dalam memimpin organisasi.
11
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran pemahaman
mahasiswa tentang spiritualitas dan kepemimpinan sebagai pertimbangan penting pemikiran dalam kajian manajemen pendidikan tinggi terkait pengelolaan spiritualitas dan kepemimpinan mahasiswa sebagai bagian dari output perguruan tinggi. Pertimbangan tersebut bermanfaat untuk melengkapi dasar-dasar pengelolaan organisasi kemahasiswaan sebagai salah satu upaya membangun suasana akademis (academic athmosphere) yang baik. 1.4.2
Manfaat Praktis
a. Bagi mahasiswa Penelitian
ini
bermanfaat
untuk
menambah
wawasan
terkait
kepemimpinan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual. Mahasiswa memiliki pemahaman lebih mendalam bahwa dalam memimpin, tidak hanya membutuhkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan tetapi juga sisi keruhanian yang baik. b. Bagi perguruan tinggi Penelitian ini dapat memberi sumbangan informasi untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi institusi perguruan tinggi dalam melahirkan kebijakankebijakan terkait kemahasiswaan. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi: 1) pengelolaan organisasi kemahasiswaan di kampus; dan 2) perencanaan dan pengembangan fasilitas fisik dan non fisik untuk mendukung terciptanya suasana akademis yang mendukung terwujudnya standar kompetensi lulusan perguruan tinggi faktor yang membentuk perkembangan spiritualitas mahasiswa.
12
1.5.
Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa makna konsep spiritualitas yang dipahami oleh mahasiswa? 2. Apa saja faktor yang membentuk perkembangan spiritualitas mahasiswa? 3. Apa bentuk aktualisasi nilai-nilai spiritual di dalam memimpin organisasi?
1.6.
Keterbatasan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dimensi spiritual dalam
kepemimpinan mahasiswa. Spiritualitas dalam penelitian ini memiliki keterkaitan dengan agama. Hal ini didasarkan pada pernyataan Samiyanto (2011) bahwa kondisi spiritualitas di Indonesia dikaitkan dengan pemahaman agama. Penelitian ini menggali fenomena spiritualitas berdasarkan karakter pemahaman agama, bukan berdasarkan pada klasifikasi gender dan perbandingan antar agama. Penelitian juga tidak melahirkan klasifikasi spiritual narasumber berdasarkan tingkatan ‘sangat’, ‘kurang’, atau ‘tidak’ spiritualis. Klasifikasi dimunculkan dalam bentuk kecenderungan pemahaman agama seperti fundamentalis, liberal, atau moderat. Narasumber dalam penelitian ini adalah para mahasiswa yang saat ini tercatat aktif sebagai pimpinan organisasi eksekutif mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan berbasis minat dan bakat. Oleh karena itu, analisis mengenai aktualisasi nilai spiritual dalam kepemimpinan difokuskan pada bahasan keterkaitan pemahaman konsep spiritual terhadap sisi sosial, orientasi politik, dan gaya kepemimpinan narasumber di dalam organisasi.
13
Narasumber yang dilibatkan dalam penelitian ini sebanyak 18 orang mewakili 17 fakultas dan 1 sekolah vokasi. Dengan demikian, hasil penelitian ini tidak bisa digunakan untuk menilai dan memberikan justifikasi kondisi spiritual mahasiswa secara keseluruhan (generalisasi). Penelitian hanya difokuskan pada beberapa orang yang dianggap bisa menjadi cerminan di lingkungannya, bukan dimaksudkan
untuk
mewakili
keseluruhan
kemahasiswaan pada masing-masing fakultas.
kondisi
di
tiap
organisasi