BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan yang terus-menerus dilakukan untuk mewujudkan tujuan nasional seperti yang dimaksudkan di dalam pembukaan UUD 1945 menyebabkan peranan hukum semakin mengedepan. 2 Intensitas serta kesibukan dalam upaya menyusun suatu tatanan kehidupan yang baru di Indonesia melalui pembangunan dan modernisasi ternyata memberikan pengaruh terhadap dunia hukum. Keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam persoalan-persoalan yang menyangkut perubahan sosial justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan pada penggunaan hukum secara sadar dan aktif sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan yang baru tersebut. Hal ini tampak pada segi pengaturan oleh hukum, baik dari aspek legitimasinya maupun aspek keefektifan penerapannya. Persoalan yang muncul tersebut dengan demikian bergeser dari bagaimana mengatur sesuai dengan prosedur hukum, ke arah bagaimana pengaturan itu sehingga dalam masyarakat akan timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan negara dibatasi Hak Asasi Manusia (HAM)
sehingga
negara
tidak
bisa
bertindak
sewenang-wenang
dan
menyalahgunakan kekuasaan. Negara hukum baru tercapai apabila ada pengakuan terhadap demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum selama negara itu tidak memberikan 2
Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal.
1.
Universitas Sumatera Utara
penghargaan dan jaminan dihargainya Hak Asasi Manusia (HAM), karena ciri-ciri dari negara hukum itu sebenarnya terdiri atas : 1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, kultural dan pendidikan. 2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan/ kekuatan lain apapun. 3. Legalitas, dalam arti hukum dalam semua bentuk. 3 Penghormatan
terhadap
Hak
Asasi
Manusia
(HAM),
termasuk
penghormatan terhadap hak tersangka, selama ini kurang mendapatkan perhatian dari Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Apalagi pada waktu berlaku Herziene Indlandsch Reglement (H.I.R) sampai dengan tahun 1981. Oleh karena itu masyarakat hukum Indonesia telah lama memperjuangkan dan mencita-citakan suatu hukum acara pidana nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka. 4 Pada bagian lain insiden perlakuan tidak manusiawi, penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia terutama orang miskin yang tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang Advokat profesional. Sering dalam pelaksanaannya tidak sedikit tersangka/terdakwa dipersulit dalam mencari Penasehat Hukumnya. Sehingga tidak jarang seorang tersangka/terdakwa atau kaum miskin yang diintimidasi oleh penyidik. Termasuk adanya praktek-praktek pemaksaan/penyiksaan dan berbagai bentuk perlakuan tidak manusiawi lainnya dalam setiap pemeriksaan tersangka
3
Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Bantuan Hukum Di Indonesia, (Banjarmasin: Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, 1980), hal. 2. 4 Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2000), hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan oleh penyidik, dan adalah cukup sulit untuk menghilangkan hal tersebut.5 Dalam keadaan seperti inilah bantuan hukum yang dari Lembaga Bantuan Hukum diperlukan untuk membela orang miskin dan buta hukum agar tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang dilakukan oleh penegak hukum. Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP, pelaksanaan bantuan hukum tetap merupakan salah satu masalah aktual untuk dibicarakan. Keadaan yang demikian cukup dapat dimengerti karena sejak berlakunya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981 dikenal adanya pemberian bantuan hukum dalam semua tingkat pemeriksaan, termasuk dalam proses Penyidikan. Pemberian bantuan hukum dalam proses Penyidikan ini, tentu saja merupakan hal yang baru dalam sistem penyelenggaraan peradilan pidana kita, sebab pemberian bantuan hukum dalam proses Penyidikan tidak dikenal dalam ketentuan Hukum Acara Pidana lama yaitu yang didasarkan pada Het Herziene Inlansdsh Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, selanjutnya disebut HIR). Sebagaimana diketahui bahwa menurut HIR hak bantuan hukum baru diperoleh tersangka/terdakwa apabila perkaranya telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, sehingga tersangka/terdakwa pada tingkat pemeriksaan pendahuluan termasuk dalam proses Penyidikan tidak dapat memperoleh bantuan hukum. Karena hal yang demikian ini, maka dalam praktek dimungkinkan sering terjadinya perlakuan sewenang-wenang terhadap tersangka/terdakwa.
5
Ibid, hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun hak bantuan hukum sebelumnya sebelumnya telah dikenal dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yaitu tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, tetapi lahirnya KUHAP tetap harus dipandang sebagai sesuatu hal yang baru. Hal ini karena lahirnya KUHAP berarti telah terjadi suatu perubahan desain baru yang cukup fundamental dalam sistem peradilan pidana kita. Hal tersebut berakibat adanya keharusan cara-cara bagi aparat penegak hukum dalam melakukan pekerjaan hukum yang berbeda dengan cara-cara lama. Cara-cara baru tersebut tentu saja sangat berpengaruh terhadap efektifitas pelaksanaan bantuan hukum yang telah dialokasikan. Lembaga Bantuan Hukum yang dikenal sekarang ini di Indonesia merupakan hal baru. Karena dalam sistem hukum tradisional lembaga seperti ini tidak dikenal. Lembaga ini baru dikenal semenjak Indonesia memberlakukan sistem hukum barat yang bermula pada tahun 1848, ketika itu di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1 perundang-undangan baru di negeri Belanda juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan (Reglement op de Rechterlijke Organisatie et het Beleid der Justitie yang lazim disingkat R.O.). Karena dalam peraturan baru itu diatur untuk pertama kali Lembaga Advokat, maka diperkirakan bahwa pada saat itu untuk pertama kali Lembaga Bantuan Hukum dalam arti formal mulai dikenal di Indonesia. Tetapi nampaknya peranan Lembaga Bantuan Hukum pada masa itu, kurang begitu dirasakan oleh karena
Universitas Sumatera Utara
jumlah para Advokat yang bergerak di bidang bantuan hukum masih terbilang sedikit. Perkembangan bantuan hukum di Indonesia mulai memasuki babak baru ketika di era tahun 70-an. Babak baru tersebut dimulai ketika berdirinya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang didirikan oleh Adnan Buyung Nasution. Lembaga Bantuan Hukum ini merupakan pilot proyek dari Peradin. Lembaga Bantuan Hukum sebagai salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) dapat memegang peranan penting dalam membela dan melindungi hakhak tersangka. Ide dari Lembaga Bantuan Hukum itu sendiri dicetuskan semula sebagai aktualisasi dan konseptualisasi dari fungsi Advokat untuk membagi waktu dan keahliannya untuk membantu, memberi nasehat hukum, dan membela orangorang yang tidak mampu. 6 Keberadaan
Lembaga
Bantuan
Hukum
sangat
penting
ditengah
masyarakat mengingat prinsip persamaan didepan hukum atau equality before the law. Apalagi dengan sebagian besar anggota masyarakat kita masih hidup dibawah garis kemiskinan, dan minimnya pengetahuan hukum masyarakat juga merupakan hambatan dalam menerapkan hukum dalam masyarakat. Terlebih lagi budaya hukum dan tingkat kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang masih rendah. Sebagai suatu perumpamaan adalah adanya kasus yang dihadapi si kaya dan si miskin. Pihak yang kaya pasti tanpa kesulitan akan mendapatkan bantuan hukum dari seorang pemberi bantuan hukum yang benar-benar mahir dan profesional tentunya karena kekayaan yang dia miliki. Sedangkan bagi si miskin 6
Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia: Citra, Idealisme Dan Keprihatinan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
dan buta hukum pasti akan kesulitan mendapatkan bantuan hukum. Situasi seperti inilah yang memungkinkan Lembaga Bantuan Hukum dengan kesadarannya mengambil peran dalam pemberian bantuan hukum. Situasi dan kondisi ini tentunya berbeda dengan keadaan yang ada diluar negeri dimana pada mulanya Advokatlah yang bertugas memberikan bantuan hukum kepada golongan lemah/ fakir miskin. Namun karena sudah tidak terjangkau lagi beban tugas bantuan hukum tersebut oleh Advokat mengingat kesibukannya sehari-hari maka dibentuklah Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di luar negeri. Dengan kehadiran Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana maka proses pencarian keadilan menjadi seimbang dalam hal kedudukan masing-masing pihak, yakni pihak negara berhadapan dengan tersangka/terdakwa dilain pihak. Lembaga Bantuan Hukum selain karena mengusung konsep baru dalam pelaksanaan program bantuan hukum di Indonesia Lembaga Bantuan Hukum juga dianggap sebagai cikal bakal bantuan hukum yang terlembaga yang dikatakan paling berhasil pada masa itu. Hingga tak pelak Pendirian Lembaga Bantuan Hukum ini kemudian mendorong tumbuhnya berbagai macam dan bentuk organisasi dan wadah bantuan hukum di Indonesia. Seorang peneliti asing, Daniel S. Lev mencatat diawal tahun 1980-an terdapat hampir seratus organisasi yang terlibat dalam bantuan hukum dalam beragam macam jenisnya. 7 Tentunya perkembangan jumlah Lembaga Bantuan Hukum ini tidak terlepas dengan trend yang dianut generasi muda yang lebih tertarik pada perjuangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) daripada bergabung dengan partai politik yang dibelenggu
7
Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 495.
Universitas Sumatera Utara
peraturan perundang-undangan dan sistem politik yang kaku dan represif.
B. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini sesuai dengan latar belakang di atas adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum? 2. Bagaimana tugas dan kewenangan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana? 3. Bagaimana fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dan manfaat dalam melakukan penulisan skripsi yang berjudul “ Peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana “ adalah : 1. Tujuan Penulisan a. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum pada proses peradilan pidana. b. Untuk mengetahui tugas dan kewenangan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana. c. Untuk mengetahui fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam
Universitas Sumatera Utara
proses peradilan pidana
2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis penulisan skripsi ini bermanfaat bagi kepentingan Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana dalam penegakan hukum dan secara luas peranan suatu Lembaga Bantuan Hukum dalam poses peradilan pidana. b. Secara Praktis penulisan skripsi ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum dalam memperhatikan hak-hak tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana dan juga masalah bantuan hukum kepada tersangka yang tidak mampu dan buta hukum.
D. Keaslian Penulisan Tulisan yang berjudul :“PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA”, yang diangkat menjadi judul skripsi ini adalah karya asli penulis berdasarkan pembelajaran, pemahaman, dan penelitian yang dilakukan sendiri oleh penulis. Tulisan dengan judul:“PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA”, belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun doktrindoktrin yang ada melalui referensi buku-buku, media elektronik dan bantuan dari
Universitas Sumatera Utara
berbagai pihak. Jikalaupun ada tulisan yang berjudul sama dengan tulisan ini pasti memiliki pokok bahasan dan substansi yang berbeda.
E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Bantuan Hukum Di Indonesia, istilah bantuan hukum sering diartikan secara berlain-lainan. Membuat suatu rumusan yang tepat mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah tidak mudah. Ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama konsep bantuan hukum itu sendiri dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah asing yang berbeda, yaitu legal aid dan legal assistence. Istilah legal aid dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti sempit yang berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu. Dengan demikian yang menjadi motivasi utama dalam konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum. 8 Sedangkan pengertian legal assistence mengandung pengertian yang lebih luas dari legal aid, istilah legal assistence dipergunakan untuk menunjuk pengertian bantuan hukum yang diberikan baik kepada mereka yang yang tidak mampu yang diberikan secara cuma-cuma maupun pemberian bantuan hukum oleh para Penasehat Hukum yang mempergunakan honorarium. 9 Disamping kedua istilah tersebut diatas yang diterjemahkan dengan bantuan hukum, dikenal 8
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 333. 9 Ibid
Universitas Sumatera Utara
juga istilah legal services yang dalam bahasa Indonesia lebih tepat bila diterjemahkan dengan istilah pelayanan hukum. Konsep legal services mencakup pengertian yang lebih luas lagi daripada dua konsep bantuan hukum sebelumnya. Pada konsep legal services tercakup kegiatan : 1. Memberi bantuan hukum kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan. 2. Dan dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang diberikan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan yang miskin. 3. Disamping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang, legal services dalam operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian. 10 Kedua, perkembangan paradigma mengenai hukum yaitu hubungan hukum dengan hal-hal lain diluar hukum. Kini dikenal juga istilah advokasi. Konsep advokasi mencakup pengertian yang lebih luas lagi dari ketiga konsep diatas. Dalam konsep advokasi tercakup kegiatan-kegiatan yang
menyangkut
aktivitas mempengaruhi penguasa tentang masalah-masalah yang menyangkut
10
Ibid
Universitas Sumatera Utara
rakyat, terutama mereka yang telah dipinggirkan dan dikucilkan dari proses politik. 11 Jadi dalam konsep advokasi tercakup juga aktivitas-aktivitas yang bertujuan politis. Hukum dipandang sebagai fenomena sosial yang tidak terlepas dari fenomena sosial lainnya seperti politik dan ekonomi. Tujuan aktivitas advokasi adalah membangun organisasi-organisasi demokratis yang kuat untuk membuat para penguasa lebih bertanggung jawab. 12 Dalam operasionalnya advokasi memusatkan perhatian pada berbagai persoalan seperti : seberapa banyak mereka mendapatkannya, siapa yang ditinggalkan, bagaimana uang rakyat dibelanjakan, bagaimana keputusan-keputusan dibuat, bagaimana sejumlah orang dicegah untuk ikut serta dalam keputusan-keputusan itu, dan bagaimana informasi dibagikan dan disembunyikan. 13 Ketiga, terdapat hubungan antara cara-cara pemerintah atau negara campur tangan dengan realisasi tujuan bantuan hukum, yakni perlindungan hukum yang merata. Menurut Cappeleti Gordley dalam artikelnya yang berjudul “Legal aid: modern themes and variations”, seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto: “…Didalam sistem hukum Romawi Kuno, maka bantuan hukum merupakan bagian dari patronase politik. Di dalam periode abad menengah, maka bantuan hukum menjadi bagian dari bidang moral. Pekerjaan tersebut dilakukan sebagai suatu derma. Setelah revolusi Perancis, maka bantuan hukum menjadi
11
Valerie Miller dan Jane Covey, Pedoman Advokasi: Kerangka Kerja untuk Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 12. 12 Ibid 13 Ibid
Universitas Sumatera Utara
bagian dari proses hukum, artinya pada waktu itu kepada warga masyarakat diberikan hak yang sama untuk berurusan dengan Hakim”. 14 Dari hubungan antara bantuan hukum dengan campur tangan negara atau pemerintah tersebut Cappelletti dan Gordley membagi bantuan hukum dalam dua model, yakni yuridis-individual dan model kesejahteraan. Pola yuridis-individual masih mewarisi ciri-ciri pola klasik dari bantuan hukum yaitu: “Permintaan akan bantuan hukum atau perlindungan hukum tergantung pada warga masyarakat yang memerlukannya. Warga masyarakat yang memerlukan bantuan hukum menemui Pengacara, dan Pengacara akan memperoleh imbalan atas jasa-jasa yang diberikannya dari negara. 15 Pada bantuan hukum model kesejahteraan campur tangan negara dituntut untuk lebih intensif. Bantuan hukum dipandang sebagai bagian dari usaha negara untuk mewujudkan kesejahteraan, bagian dari program pengembangan sosial atau perbaikan sosial : “Kewajiban-kewajiban
negara
atau
pemerintah
untuk
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar warga masyarakat, menimbulkan hak-hak tertentu, dimana bantuan hukum merupakan salah satu cara untuk memenuhi hak-hak tersebut”. 16 Lain halnya dengan Schuyt, Groenendijk dan Sloot, menurut mereka bantuan hukum biasanya dibedakan ke dalam lima jenis, yaitu :
14
Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum: Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 11. 15 Ibid, hal. 12. 16 Ibid
Universitas Sumatera Utara
1. Bantuan hukum preventif yang merupakan penerangan hukum dan penyuluhan hukum kepada warga masyarakat luas. 2. Bantuan hukum diagnostik yaitu pemberian nasehat hukum yang lazim disebut dengan konsultasi hukum. 3. Bantuan hukum pengendalian konflik yang merupakan bantuan hukum konkrit secara aktif. Jenis bantuan hukum seperti ini yang lazim dinamakan bantuan hukum bagi warga masyarakat yang kurang mampu atau tidak mampu secara sosial ekonomis. 4. Bantuan hukum pembentukan hukum yang intinya adalah untuk memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas, dan benar. 5. Bantuan hukum pembaharuan hukum yang mencakup usaha-usaha untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui hakim atau pembentuk undangundang dalam arti materil. 17 Untuk memperoleh pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan bantuan hukum di Indonesia, berikut akan dikutip beberapa pendapat ataupun rumusan tentang bantuan hukum: Santoso Poedjosoebroto berpendapat bahwa bantuan hukum atau legal aid diartikan sebagai berikut : “…Bantuan hukum baik yang berbentuk pemberian nasehat hukum maupun yang berupa menjadi kuasa dari seseorang yang berperkara yang
17
Ibid, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
diberikan kepada orang yang tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seorang Pembela atau Pengacara”. 18 Dari rumusan diatas mengenai bantuan hukum diperoleh gambaran umum mengenai bantuan hukum namun secara relative masih terbatas ruang lingkupnya. Rumusan yang lebih sempit lagi pernah dikemukakan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, yang berpendapat : “Yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang Penasehat Hukum, sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya di muka pengadilan”. 19 Todung Mulya Lubis dalam tulisannya berjudul “Gerakan Bantuan Hukum di Indonesia (Sebuah Studi Awal)” merumuskan bantuan hukum yang lebih luas yaitu : “Bantuan hukum merupakan salah satu upaya mengisi hak asasi manusia HAM) terutama bagi lapisan termiskin rakyat kita, yang tujuan bantuan hukum tidak saja terbatas pada bantuan hukum individual tetapi juga struktural”. 20 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara cuma-cuma pada pasal 1 angka 3 merumuskan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai berikut: “Bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu”.
18
Ibid, hal. 21. Ibid 20 T. Mulya Lubis, Gerakan Bantuan Hukum di Indonesia (Sebuah Studi Awal) Dalam Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum: Ke Arah Bantuan Hukum Struktural, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 12. 19
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat pada pasal 1 butir 9 merumuskan bantuan hukum sebagai berikut: “Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu”. Selanjutnya dalam pasal 1 butir 2 yang dimaksud dengan jasa hukum adalah : “Jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”. Meskipun Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tidak merumuskan secara jelas tentang pengertian bantuan hukum, tetapi dari pasal 54 undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa bantuan hukum merupakan hak tersangka atau terdakwa untuk didampingi seorang Penasehat Hukum atau lebih, untuk kepentingan pembelaan perkara pidana bagi tersangka atau terdakwa, selama dalam waktu pemeriksaan dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Dari beberapa perumusan tentang bantuan hukum yang telah dikemukakan diatas ternyata terdapat berbagai persepsi mengenai bantuan hukum. Berbagai persepsi yang timbul tersebut merupakan akibat dari pertama, pengunaan istilah bantuan hukum sebagai dua istilah asing yang berlainan, kedua timbul dari hubungan antara hukum dengan hal-hal lain diluar hukum seperti politik dan ekonomi dan ketiga hubungan antara negara atau pemerintah dengan realisasi tujuan bantuan hukum,. Meskipun demikian dari perumusan tersebut masih dapat ditemukan
Universitas Sumatera Utara
persamaan-persamaan yang merupakan prinsip dari bantuan hukum. Adapun prinsip tersebut secara keseluruhan dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Bantuan hukum merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan suatu pendidikan khusus dan keahlian khusus, ia merupakan suatu pekerjaan yang bersifat profesional. 2. Bantuan hukum merupakan suatu pekerjaan pemberian jasa, dimana ada orang tertentu yang memberikan jasa kepada orang yang memerlukan. 3. Bantuan hukum merupakan hak, artinya ia merupakan sesuatu yang dapat dituntut pemenuhannya oleh setiap subjek hukum. Untuk kepentingan penulisan skripsi ini bantuan hukum akan dibatasi pada bantuan hukum secara cuma-cuma dalam proses peradilan pidana yang diberikan oleh Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat.
2. Pengertian Lembaga Bantuan Hukum Istilah lembaga berasal dari kata institution yang menunjuk pada pengertian tentang sesuatu yang telah mapan. 21 Dalam pengertian sosiologis lembaga dapat dilukiskan sebagai organ yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Menurut Malinowski pengertian lembaga dapat diartikan sebagai sekelompok orang-orang yang bersatu (dan karena itu terorganisir) untuk tujuan tertentu, yang memiliki sarana kebendaan dan teknis untuk mencapai tujuan tersebut dan paling tidak melakukan usaha yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu tadi, yang mendukung sistem nilai tertentu, etika, dan kepercayaan21
Abdulsyani, Sosiologi: Skematika, Teori dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994),
hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan yang memberikan pembenaran kepada tujuan dan yang dalam rangka mencapai tujuan tadi berulang kali melakukan jenis-jenis perbuatan yang sedikit banyak dapat diramalkan. 22 Menurut Frans Hendra Winarta pengertian Lembaga Bantuan Hukum adalah suatu lembaga yang berperan untuk memberikan bantuan hukum (legal aid) kepada orang miskin yang tidak bisa membayar Advokat profesional untuk membela kepentingannya. 23 Biasa dikenal dengan pro bono publico work, dimana para pembelanya adalah mahasiswa jurusan hukum atau sarjana muda hukum dalam rangka turut serta dalam pengglembengan untuk menjadi Advokat dan mencari pengalaman praktek lapangan. Sedangkan Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa Lembaga Bantuan Hukum adalah suatu lembaga yang khusus bertujuan memberikan bantuan hukum kepada rakyat kecil yang buta hukum dan tidak mampu. 24 Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum yang digagas oleh Adnan Buyung Nasution tergolong sebagai usaha yang berani, karena suatu usaha untuk melaksanakan program pelayanan hukum bagi kaum miskin bukanlah tugas sederhana dan ringan. Ia tidak saja menuntut kesediaan berkorban secara materi, akan tetapi mensyaratkan pula adanya kesadaran kemasyarakatan kita sebagai
22
T. O. Ihromi, Antropologi dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hal.
57. 23
Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia: Citra, Idealisme Dan Keprihatinan, Op. cit., hal. 75. 24 Abdurrahman, Op. cit., hal. 166.
Universitas Sumatera Utara
kelompok elite, khususnya dalam memandang golongan miskin penghuni lapisan bawah piramida masyarakat Indonesia. 25 Tujuan pembentukan Lembaga Bantuan Hukum meliputi tiga hal, yaitu: 1) Memberikan bantuan hukum kepada mayarakat miskin dan buta hukum 2) Menumbuhkan dan membina kesadaran warga masyarakat akan hak-hak sebagai subjek hukum. 3) Mengadakan pembaharuan hukum sesuai dengan tuntutan zaman. Tujuan pertama dan kedua Lembaga Bantuan Hukum secara jelas untuk mewujudkan program yang bersifat memassa dengan menjalankan pelayanan hukum bagi kaum miskin. Inilah yang paling menonjol dari Lembaga Bantuan Hukum dalam menjalankan tujuannya. Sedangkan tujuan ketiga Lembaga Bantuan Hukum yang menyangkut pembaharuan hukum belumlah menegaskan sama sekali sikap kita dibidang ini. Walaupun ini pernah dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dalam mempersoalkan Undang-Undang Subversi. Dalam perkembangannya Lembaga Bantuan Hukum terbagi dalam dua kelompok yaitu: 1. Lembaga Bantuan Hukum Swasta Lembaga inilah yang telah muncul dan berkembang belakangan ini. Anggotanya pada umumnya terdiri dari kelompok yang bergerak dalam profesi hukum sebagai Pengacara. Konsep dan perannya jauh lebih luas dari sekadar memberi bantuan hukum secara formal di depan sidang pengadilan
25
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1981), hal.
110.
Universitas Sumatera Utara
terhadap rakyat kecil yang miskin dan buta hukum. Konsep dan programnya dapat dikatakan : a. Menitikberatkan bantuan dan nasihat hukum terhadap lapisan masyarakat kecil yang tidak mampu. b. Memberi nasihat hukum di luar pengadilan terhadap buruh, tani, nelayan, dan pegawai negeri yang merasa haknya “diperkosa”. c. Mendampingi atau memberi bantuan hukum secara langsung di sidang pengadilan baik yang meliputi perkara perdata dan pidana. d. Bantuan dan nasihat hukum yang mereka berikan dilakukan secara cumacuma. 2. Lembaga Bantuan Hukum Yang Bernaung Pada Perguruan Tinggi Lembaga ini sering dikenal dengan nama Biro Bantuan Hukum. Lembaga inipun hampir sama dengan Lembaga Bantuan Hukum swasta, tetapi lembaga ini kurang populer dan mengalami kemunduran. 26 Ada beberapa hal yang menyebabkan Biro Bantuan Hukum di Fakultas-fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri mengalami kemunduran, antara lain: a. Konsentrasi Advokat yang terpecah. Sebagaimana diketahui, para Advokat pada Biro Bantuan Hukum di perguruan tinggi adalah dosen-dosen yang mempunyai tugas pokok sebagai tenaga pengajar yang harus mempersiapkan diri dengan pengetahuan hukum secara komprehensif agar dapat melaksanakan kewajibannya untuk mengajar dengan baik. Hal ini tentu sangat menyita 26
Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit., Hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
pikiran dan tenaga mereka sehingga konsentrasi merekapun terpecah, antara menjadi pengajar yang berprestasi sehingga dapat berkarier dilingkungan akademik atau menjadi Advokat idealis yang menolong masyarakat miskin sekaligus membina mahasiswanya untuk menjadi praktisi hukum yang handal di masa mendatang. b. Biro Bantuan Hukum di perguruan tinggi bersifat “nonprofit oriented” Hal ini sehubungan dengan tingkat penghasilan dosen yang sangat rendah yang mana juga berstatus Advokat pada Biro Bantuan Hukum di perguruan tinggi. Dosen-dosen yang berstatus sebagai Advokat pada biro bantuan hukum di perguruan tinggi yang notabene “nonprofit oriented” semakin sulit mengejar kemajuan mereka dalam hal penghasilan dibandingkan dengan profesi lain. Khususnya dibandingkan dengan Advokat profesional yang biasanya berpenghasilan lebih besar walaupun penguasaan terhadap materi dan praktek hukumnya biasanya sebanding, bahkan terkadang lebih rendah daripada dosen tersebut. c. Keterbatasan pendanaan. Biro-biro Bantuan Hukum di perguruan tinggi mengalami kemunduran seringkali dikarenakan jumlah dana yang dialokasikan oleh perguruan tinggi kepada Biro Bantuan Hukum tersebut tidak memadai untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok seperti pengadaan perpustakaan hukum yang representative, pelatihan dan pendidikan kepada tenagatenaga Advokat pada Biro Bantuan Hukum tersebut tentang masalah-
Universitas Sumatera Utara
masalah hukum aktual, dan hal-hal lain yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan biro bantuan hukum tersebut.
3. Dasar Pemberian Bantuan Hukum Pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum bagi tersangka yang tidak mampu dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dibawah ini: 1. UUD 1945 a. Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Persamaan di hadapan hukum tersebut dapat terwujud di dalam suatu pembelaan perkara hukum, dimana baik orang mampu maupun fakir miskin memiliki hak konstitusional untuk diwakili dan dibela oleh Advokat baik di dalam dan di luar pengadilan. Oleh sebab itu bagi setiap orang yang memerlukan bantuan hukum selain merupakan hak asasi juga merupakan hak konstitusional yang dijamin perolehannya oleh negara. Dalam peradilan pidana ini merupakan asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law). Setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. b. Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini merupakan realisasi dari jaminan konstitusi terhadap masyarakat
Universitas Sumatera Utara
yang tidak mampu yang tersangkut perkara pidana. Hal ini menegaskan pula bahwa negara mempunyai tanggung jawab dalam penyediaan bantuan hukum terhadap masyarakat yang tidak mampu sehingga mendapatkan hak-haknya dalam peradilan pidana. 2. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman; a. Pasal 37 yang berbunyi : “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”. b. Pasal 38 yang berbunyi : “Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Advokat”. Ini memberi arti bahwa undang-undang mengamanatkan pemberian bantuan hukum bagi setiap orang yang berperkara. Hal ini juga memberi indikasi perlindungan terhadap hak-hak tersangka yang tersangkut perkara. Dalam peradilan pidana ini sering disebut dengan asas memperoleh bantuan hukum. 3. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana: a. Pasal 54 yang berbunyi : Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasehat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. b. Pasal 56 (1) yang berbunyi : Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai Penasehat Hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasehat Hukum bagi mereka. c. Pasal 56 (2) yang berbunyi : Setiap Penasehat Hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan bantuannya secara Cuma-cuma. Hal ini merupakan jaminan terhadap tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum guna memastikan pelaksanaan proses peradilan yang adil (due process of law). 4. Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat a. Pasal 22 (1) yang berbunyi : Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. b. Pasal 22 (2) yang berbunyi : Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Jikalau kita mengkaji aturan-aturan yang menjadi dasar pemberian bantuan hukum terhadap tersangka maka ada beberapa point yang dapat kita simpulkan, antar lain : 1. Mengandung aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM), dimana bagi setiap tersangka atau terdakwa berhak didampingi
oleh Advokat dalam semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Hak ini tentu sejalan dan/atau tidak boleh bertentangan dengan “Deklarasi Universal” yang menegaskan hadirnya Penasehat Hukum untuk mendampingi tersangka atau terdakwa merupakan sesuatu yang inherent pada diri manusia dan konsekuensi logisnya
Universitas Sumatera Utara
adalah bagi penegak hukum yang mengabaikan hak ini adalah bertentangan dengan nilai-nilai HAM. 2. Pemenuhan hak ini oleh penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan menjadi kewajiban dari pejabat yang bersangkutan apabila mengacu pada pasal 56 ayat (1) KUHAP. 3. Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telah diangkat menjadi salah satu patokan Miranda Rule atau Miranda Principle. Standar Miranda Rule inilah yang ditegakkan dalam putusan Mahkamah Agung No. 1565K/Pid/1991, tanggal 16 September 1993 yang menyatakan “apabila syarat-syarat permintaan dan/atau hak tersangka/terdakwa tidak terpenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk Penasehat Hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima”.
4. Pengertian Peradilan Pidana Purpura menguraikan peradilan pidana dengan mengemukakan pendapat sebagai berikut: 27 “Criminal justice focuses on the criminal law, the law of criminal procedure, and the enforcement of the these law, in an effort to treat fairly all persons accused of acrime. Fairness in criminal justice means that an accused person receives equal treatment, impartiality, and the due prosess of constitutional protections. In reality, criminal justice does not always live up to its ideals and is subject to much criticism as our society strunggles to improve it.
27
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal dan Non Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 89-90.
Universitas Sumatera Utara
Uraian Purpura di atas menggambarkan bahwa peradilan pidana (Criminal Justice) mempunyai tiga titik perhatian, yaitu hukum pidana secara materil (Criminal Law), hukum pidana formil (the law of criminal procedure) dan hukum pelaksanaan pidana (the enforcement of criminal laws). Semua ini ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh melakukan kejahatan harus diperlakukan secara wajar dan sama, netral dan hak-haknya diberikan perlindungan oleh undang-undang. Namun demikian, secara realitas pelaksanaannya terkadang belum seperti yang diharapkan dan masih banyak mengandung kritikan. Oleh karena itu, masyarakat harus mau berjuang menggapai cita-cita keadilan dalam proses peradilan pidana ini. Peradilan pidana di Indonesia merupakan satu sistem, artinya peradilan di Indonesia harus dilihat, diterima dan diterapkan sebagai satu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang tidak boleh bertentangan satu sama lain. 28 Sistem merupakan suatu kebulatan atau kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian, dimana antara bagian-bagian yang satu dengan yang lain saling berkaitan satu sama lain, tidak boleh terjadi konflik, tidak boleh terjadi overlapping (tumpang-tindih). Menurut Lili Rasjidi, ciri suatu sistem adalah: 29 a. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses).
28
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: PT Gunung Agung Tbk, 2002), hal.
305. 29
H.R. Abdussalam, D.P.M Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
b. Masing-masing elemen terikat dalam satu-kesatuan hubungan yang satu sama lain saling tergantung (interdependence of its parts). c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its parts). d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines the nature of its parts). e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood if considered in isolation from the whole). f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis, secara mandiri atau secara keseluruhan dakam keseluruhan (sistem) itu. Muladi menerjemahkan sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) sebagai suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. 30 Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) ini terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya,
yaitu
Kepolisian,
Kejaksaan,
Pengadilan
dan
Lembaga
Permasyarakatan. Gerak sistemik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) ini, yaitu sasaran
30
Mahmud Mulyadi, Op. cit., hal. 91.
Universitas Sumatera Utara
jangka pendek adalah resosialisasi pelaku kejahatan, sasaran jangka menengah adalah pencegahan kejahatan serta sasaran jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat. Pada awalnya sistem peradilan pidana menyangkut 3 (tiga) subsistem, yaitu Polisi, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan. 31 Kejaksaan tidak dianggap sebagai subsistem yang berdiri sendiri karena dianggap sebagai bagian dari
subsistem
pengadilan
dengan
segala
aktivitasnya
di
pengadilan.
Perkembangan modern di masa kini telah menempatkan Lembaga Kejaksaan sebagai salah satu bagian tersendiri dari sistem peradilan pidana, sehingga kini dikenal 4 (empat) subsistem yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan. Bahkan dengan lahirnya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, profesi Advokat juga dianggap menjadi bagian dari sistem peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, maka semua komponen dalam sistem peradilan pidana harus mempunyai kesamaan tujuan secara holistik, sehingga akan saling mendukung dalam pelaksanaan tugasnya, bukan untuk saling bertentangan. Oleh karena itulah menurut Mardjono Reksodiputro bahwa komponen-komponen sistem peradilan pidana ini harus bekerja secara terpadu (integrated) untuk menanggulangi kejahatan. 32 Tidak tercapainya keterpaduan dalam kinerja komponen sistem peradilan pidana ini, maka akan mendatangkan kerugian, yaitu:
31 32
O.C Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum Jilid 3, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 352. Mahmud Mulyadi, Op. cit., hal. 96-97.
Universitas Sumatera Utara
1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka. 2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub-sistem) 3. Setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. Hal ini karena tanggung jawab masing-masing instansi kurang jelas terbagi. Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice sistem) dalam penyelenggaraan pidana harus mengemban tugas untuk: 33 a. Melindungi masyarakat dengan melakukan penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, serta melakukan tindakan terhadap orang yang merupakan ancaman bagi masyarakat. b. Menegakkan dan memajukan serta penghormatan terhadap hukum dengan menjamin adanya proses yang manusiawi dan adil serta perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Kemudian melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan. c. Menjaga hukum dan ketertiban. d. Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut.
33
Ibid
Universitas Sumatera Utara
e. Membantu dan memberi nasihat kepada korban kejahatan. Sistem peradilan pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekuen dan terpadu antara sub-sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana juga bermanfaat untuk:34 1. Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu polisi. Dengan data statistik kriminal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana
dalam
menyusun
kebijakan
kriminal
secara
terpadu
untuk
penanggulangan kejahatan. 2. Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan. 3. Kedua butir a dan b tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam kebijakan sosial yang dituangkan dalam rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang untuk mewujudkan tujuan nasional. 4. Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun kepada masyarakat.
F. Metodologi Penelitian 1. Metode penelitian yang digunakan Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
34
H.R. Abdussalam, D.P.M Sitompul, Op. cit., hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
gabungan antara pendekatan yang bersifat normatif (legal research) dan pendekatan yang bersifat empiris (juridis sosiologis). Dalam hal ini penulis menggunakan metode pendekatan yang bersifat normatif untuk meneliti asas-asas hukum dan meneliti bagaimana pengaturan bantuan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) dengan menggunakan bukubuku, majalah-majalah hukum, artikel dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan tulisan ini. Melalui metode pendekatan yang bersifat empiris, penulis berusaha mendapatkan data primer atau data yang didapat langsung dari penelitian lapangan, dalam hal ini mengenai fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana. 2. Jenis penelitian Penelitian yang dilakukan penulis menggunakan tipe/jenis penelitian comparatif yaitu penelitian yang dilakukan membandingkan teori dengan pelaksanaannya dilapangan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana dalam pelaksanaannya. 3. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Lokasi ini dipilih karena LBH ini merupakan salah satu LBH yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat dan merupakan cabang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta. 4. Sumber Data
Universitas Sumatera Utara
Data-data yang digunakan dalam penulisan ini bersumber dari : a. Data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan. b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang berupa: 1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni : a. Norma / kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945 b. Peraturan dasar, yaitu Batang Tubuh UUD 1945 c. Peraturan Perundang-undangan nasional yang berhubungan dengan tulisan ini. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk–petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya. 5. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan penulis adalah dengan cara: a. Studi kepustakaan terhadap data sekunder b. Studi lapangan (field research), melalui: 1. Wawancara, hal ini dilakukan penulis terhadap orang yang bekerja di LBH Medan mengenai sejarah dan perkembangan LBH tersebut, tugas dan
Universitas Sumatera Utara
kewenangan LBH serta fungsi dan peranan LBH dalam proses peradilan pidana dan hal-hal lain yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini. 2. Observasi, hal ini dilakukan penulis dengan melakukan dengan pengamatan langsung di LBH Medan bagaimana LBH tersebut dalam mengerjakan peran mereka.
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan dibahas dalam bentuk sistematika, yaitu sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN : Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM PADA PROSES PERADILAN PIDANA Bab ini berisi tentang tinjauan umum terhadap Lembaga Bantuan Hukum berupa sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum pada proses peradilan pidana serta data-data penanganan dan penyelesaian perkara pidana oleh LBH Medan selama tahun 2000-2010.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
TUGAS DAN KEWENANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA : Bab ini menjelaskan mengenai tugas dan kewenangan Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum pada proses peradilan pidana serta subjek dan objek bantuan hukum pada proses peradilan pidana.
BAB IV
FUNGSI DAN PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA : Bab ini akan membahas mengenai fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam memenuhi hak dan kewajibannya dalam memberikan bantuan hukum pada proses peradilan pidana.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN : Bab terakhir dari penulisan skripsi ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan pemberian saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara