BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sangat memprihatinkan bertepatan dengan Hari AIDS sedunia pada tanggal 1 Desember, ternyata diskriminasi terhadap orang dengan HIV dan AIDS masih banyak terjadi. Seorang anak bahkan ditolak masuk sekolah karena ayahnya terinfeksi HIV. Zipporah Imogen Divine adalah putri dari Fajar Jasmin Sugandhi, seorang penulis yang terinfeksi HIV positif. Immi, panggilan akrabnya, tidak terinfeksi HIV seperti ayahnya, namun ia tetap menerima diskriminasi karena menjadi anak seorang HIV. Immi yang baru saja diterima di SD Don Bosco Kelapa Gading, tiba-tiba saja ditolak dan penerimaannya dibatalkan hanya melalui pesan singkat. Pihak sekolah beralasan membatalkan keputusan menerima Immi karena beberapa calon orangtua siswa menolak keberadaan Immi (http://news.detik.com). Diskriminasi dilakukan oleh keluarga, masyarakat, pers, perusahaan, dan rumah sakit. Bentuk diskriminasi dalam keluarga misalnya dikucilkan, ditempatkan dalam ruang atau rumah khusus, diberi makan secara terpisah, bahkan ada yang diborgol dan dijaga satpam. Pengucilan juga terjadi di masyarakat. Sementara pers memuat foto, nama, dan alamat tanpa ijin. Diskriminasi yang dilakukan perusahaan misalnya pemutusan hubungan kerja, mutasi, atau pelanggara kerja ke luar negeri. Bentuk deskriminasi rumah sakit dan tenaga medis berupa penolakkan untuk merawat, mengoperasi, atau menolong persalinan, diskriminasi dalam pemberian perawatan serta penolakkan untuk memandikan jenazah (Kompas, 2006). Beban paling berat yang dirasakan pengidap HIV/AIDS adalah stigma negatif yang dilekatkan kepada mereka. Masyarakat menilai pengidap HIV/AIDS adalah mereka yang berperilaku seks menyimpang dan ”bukan orang baik-baik”. Stigma itu menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
pengidap HIV/AIDS sering dikucilkan masyarakat dan mendapat perlakuan diskriminatif, bukan cuma oleh masyarakat awam, tetapi juga oleh tenaga medis. Padahal, orang dengan HIV/AIDS bisa disandang siapa saja, termasuk anak-anak dan ibu baik-baik. Stigma negatif terhadap orang dengan HIV/AIDS sangat merugikan upaya penanggulangan penyebaran penyakit tersebut. Terlebih lagi stigma terhadap populasi kunci seperti perempuan pekerja seksual, pelanggan perempuan pekerja seksual, waria, lelaki berhubungan seks dengan lelaki, dan pengguna napza suntik. Permasalahan HIV/AIDS tidak cukup lagi hanya dilihat melalui fakta medis semata namun harus dipandang melalui analisis sosial kemasyarakatan yang komperehensif terkait struktur sosial dan budaya. Permasalahan penanganan HIV/AIDS adalah, masih lemahnya koordinasi atas implementasi program di masing-masing sektor. Belum terbangunnya sebuah persepsi yang sama, tentang permasalahan mendasar seputar HIV/AIDS, dan isu HAM terkait HIV/AIDS belum terintegrasi secara proporsional. Dapat dikatakan bahwa Odha mengalami kondisi yang tidak menyenangkan baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik kesehatan Odha terganggu, hal ini dikarenakan virus HIVmenyerang sistem kekebalan tubuh Odha. Sedangkan secara psikis, antara lain Odha mempunyai perasaan hampa, inisiatifnya kurang, merasa tidak berarti, apatis, serba bosan, tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, muncul pikiran bunuh diri, bahkan sikapnya terhadap kematian juga ambivalen, artinya di satu pihak Odha merasa takut dan tidak siap mati, tetapi di sisi lain Odha beranggapan bahwa bunuh diri adalah jalan keluar terbaik untuk lepas dari kehidupan yang tidak berarti. Menurut Schultz (1991) apabila kondisi tersebut berlangsung dalam jangka waktu lama, maka dapat menimbulkan depresi yang mengarah pada kehampaan hidup serta mengembangkan hidup tidak bermakna.
Universitas Sumatera Utara
Berbagai langkah telah dilakukan oleh orang-orang yang peduli dengan HIV, termasuk memberi sosialisasi penularan dan pencegahan HIV kepada setiap golongan masyarakat. Karena sampai detik inipun jika masyarakat mendengar kata HIV mungkin muncullah stigma, apalagi jika harus berhadapan dengan orang yang menderita HIV sendiri masyarakat tersebut pun enggan untuk menyentuhnya dan muncullah diskriminasi. Padahal seseorang yang negatif HIV tidak akan terinfeksi dari udara, makanan, air, gigitan serangga, hewan, piring, sendok, kakus,atau lainnya yang tidak melibatkan darah, air mani, cairan vagina, atau ASI. Juga tidak akan terinfeksi dari HIV dari kotoran, cairan hidung, air liur, keringat, air mata, air seni, atau muntahan kecuali cairan ini bercampur darah. Faktanya, masyarakat awam sebenarnya dapat membantu Odha dengan makan, mengganti pakaian, bahkan memandikannya tanpa resiko terinfeksi, asal mengikuti langkah yang dijelaskan sebelumnya. Intinya HIV bisa tertular jika terjadinya pintu masuk pertukaran atau percampuran darah, cairan kelamin antara Odha dengan orang yang negatif HIV. Penderita AIDS atau sering disebut dengan
ODHA (Orang dengan HIV/AIDS)
menghadapi berbagai masalah dan penderitaan sehubungan dengan penyakitnya. Odha menderita akibat gejala
penyakitnya (panas, diare, lemas, batuk, sesak napas, dan
sebagainya) dan masalah sehari-hari lainnya yang dihadapi penderita penyakit berat. Odha umumnya mengalami depresi, perasaannya tertekan dan merasa tidak berguna, bahkan ada yang memiliki keinginan untuk bunuh diri. Ini akibat dari stigmatisasi dan diskriminasi masyarakat terhadap informasi mengenai AIDS dan Odha. Penolakan dan pengabaian orang lain, terutama keluarga akan menambah depresi yang dideritanya (Djoerban, 1999). Menurut Joerban (1999), hampir 99% penderita HIV/AIDS mengalami stres berat, Djoerban juga menemukan sejumlah pasien HIV/AIDS yang mengalami depresi berat, dimana pada saat mengetahui dirinya mengidap penyakit AIDS, banyak Odha yang
tidak bisa menerima
Universitas Sumatera Utara
kenyataan bahwa dirinya tertular HIV/AIDS, sehingga menimbulkan depresi dan kecenderungan bunuh diri pada diri Odha itu sendiri. Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa sejak pertama kali kasus HIV ditemukan yaitu pada tahun 1987 sampai dengan Juni 2012, terdapat 32.103 kasus AIDS, 86.762 kasus HIV dan 5.681 kasus kematian akibat HIV & AIDS di 33 provinsi di Indonesia. Provinsi dengan jumlah kasus HIV tertinggi adalah DKI Jakarta sebanyak 20.775 kasus. Persentase kumulatif AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (41,5%,). Rasio kasus AIDS antara laki-laki dengan perempuan adalah 2:1 (laki-laki: 70% dan perempuan 29%). Selama periode pelaporan bulan Januari hingga Juni 2012, persentase kasus AIDS menurut faktor risiko tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (82,6%), penggunaan jarum suntik steril pada pengguna napza suntik/penasun (6,6%), dari ibu (positif HIV) ke anak (4,2%) dan LSL (Lelaki Seks Lelaki) (3,6%). Jumlah kasus HIV pada usia di bawah 4 tahun tercatat total 1.217 kasus, sedangkan usia 5 – 14 tahun total berjumlah 749 kasus pada rentang waktu antara tahun 2010 hingga Juni 2012. Tahun 1990 jumlah kumulatif secara nasional kasus AIDS terjadi 17 kasus, dan meningkat sampai dengan bulan Juni 2011 secara kumulatif terjadi 26.483 kasus. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi berada pada kelompok umur 20-29 (46,3%) diikuti dengan kelompok umur 30-39 tahun (31,4%) dan kelompok umur 40-49 tahun (9,7%), (laporan dari 300 kabupaten/kota dan 32 provinsi) (Sumber data: Laporan Perkembangan HIV-AIDS, Triwulan II, Kementerian Kesehatan RI, 2012). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara masih tinggi, sebab sepanjang tahun 2012 terjadi sebanyak 6.430 kasus HIV/AIDS dengan rincian kasus HIV sebanyak 2.189 kasus dan AIDS sebanyak 4.2412 kasus. Jadi, total keselurahan kasus HIV/AIDS yang terjadi di Sumut sebanyak 6.430 kasus, dengan 751
Universitas Sumatera Utara
penderitanya meninggal dunia. Makanya, kita merasa perlu untuk mensosialisasikan dan mendiskusikan kepada masyarakat, sehingga dapat mencegah maupun menghindari agar tidak terjangkit penyakit yang mematikan tersebut, menurut dr Afriana Herliana didampingi dr Adria dari Kementrian Kesehahatan RI pada diskusi tentang Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Medan (http://www.sumutinfo.com/2013/03/bahaya-kasus-hivaidsberjumlah-6430-di.html diakses pada tanggal 15 Mei 2013 pukul 14.00 WIB). Dari laporan klinik VCT dan rumah sakit sejak 2006 sampai Desember 2012, sebanyak 3410 kasus HIV/AIDS di Kota Medan. Dari jumlah itu, 2379 HIV dan 1031 AIDS dan tidak ada kasus yang dilaporkan dari luar kota. Berdasarkan jenis kelamin untuk laki-laki lebih tinggi kasusnya yaitu 2573 dan perempuan 837 kasus,
menurut Sekretaris Dinas
Kesehatan Kota Medan dr .Mardohar Tambunan. Sedangkan jumlah yang meninggal, sebanyak 747 orang dari 3410 kasus. Dari jumlah tersebut, yang dilaporkan meninggal lakilaki sebanyak 610 orang dan perempuan 747 orang. Dari jumlah itu, 66 anak-anak di Medan terjangkit HIV/AIDS. Bila dilihat dari tahun 2006, menurut Mardohar, memang terjadi peningkatan kasus. Hal ini menurutnya dikarenakan Dinas Kesehatan, KPA, LSM
dan lainnya telah
menjalankan program penjaringan kasus, sosialisasi dan masyarakat semakin mengerti untuk datang ke klinik atau rumah sakit untuk memeriksakan dirinya. Semakin dikejar kasusnya semakin tinggi karena itu juga kasus HIV/AIDS seperti fenomena gunung es, yang hanya nampak dipermukaan tetapi didalamnya masih banyak yang belum ditemukan. Sekarang ini, walaupun faktor resiko terbesar dari Heteroseksual sebanyak 2198 kasus, IDUs (narkoba suntik) 958 kasus dan homoseksual 118 kasus, ibu rumah tangga juga sudah banyak yang terinfkesi sebanyak 452 orang sejak tahun 2006 sampai 2012. Kasus dari faktor resiko transfusi darah juga ada 31 orang dan yang tidak diketahui 49 kasus serta faktor resiko perinatal (dari ibu ke anak) 56 kasus. Dari segi usia ternyata usia produktif (usia 25 sampai
Universitas Sumatera Utara
34 tahun) kasusnya lebih banyak yaitu 1934, diikuti usia 35 sampai 44 tahun sebanyak 623, 16 sampai 24 tahun ada 537 tahun, usia diatas 45 tahun ada 241 kasus. Bahkan usia dibawah 10 tahun juga ada 66 kasus. Berdasarkan jenis pekerjaan wiraswasta yang tertinggi dengan 1265 kasus dan tidak diketahui sebanyak 798 kasus. Ancaman kasus HIV/AIDS di Kota Medan memang sangat tinggi dikarenakan Kota Medan di kelilingi negara efidemi, mobilitas tinggi, faktor risiko dan industri seks, penggunaan kondom yang sangat rendah. Ini merupakan penyebab utama angka kasus HIV/AIDS masih tinggi di Medan, dipengaruhi karena meningkatnya angka penularan HIV/AIDS secara seksual terutama melalui hubungan seks, telah menggantikan posisi penularan lewat jarum suntik di kalangan pengguna napza suntik, sebagai jalur utama penularan HIV di Kota Medan. Meningkatnya angka penularan melalui kelompok heteroseksual menyebabkan semakin rentannya penularan kepada kelompok resiko rendah seperti ibu rumah tangga dan bayi (http://beritasore.com/2013/01/18/3410-warga-medanterjangkit-hivaids/ diakses pada tanggal 15 Mei 2013 pukul 14.00 wib). Sekretaris Daerah Kota Medan, Syaiful Bahri, hari ini menyatakan penyebaran HIV/AIDS saat ini cenderung menghawatirkan karena jumlahnya terus meningkat. Hal ini penting diketahui masyarakat sehingga pencegahan penyebaran HIV/AIDS dapat efektif dilakukan. Pemerintah Kota Medan sendiri jelas dia, telah memiliki Peraturan (Perda) nomor 1/2011 tentang HIV/AIDS. Pada pasal 8 dan 9 dijelaskan, promosi menjadi bagian penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, termasuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap para penderitanya. Sementara untuk pencegahan penyebaran HIV/AIDS lebih komprehensif, perlu memberdayakan masyarakat secara langsung. Untuk itulah diperlukan kerja sama yang lebih erat semua elemen, baik pemerintah, pengurus KPA dan media massa.Dia mengingatkan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat untuk tidak menjauhi para penderita HIV/AIDS karena mereka juga manusia. Jangan menjauhkan dan melakukan tindakan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS, karena
mereka
juga
manusia
yang
ingin
berbuat
untuk
masyarakat
(http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=263411:373kasus-baru-hivaids-di-medan&catid=14:medan&Itemid=27 diakses pada tanggal 15 Mei pukul 14.10 WIB). Kondisi seperti hilangnya minat, kurangnya inisiatif, mempunyai perasaaan hampa, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak berarti, serba bosan dan apatis serta muncul pikiran bunuh diri merupakan bentuk dari hilangnya atau berkurangnya keberfungsian sosial hidup (Frankl dalam Koeswara, 1992). Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa Odha mempunyai keberfungsian hidup yang rendah. Crumbaugh dan Maholick (dalam Koeswara, 1992) mengatakan bahwa kekurangan makna hidup mengisyaratkan kegagalan individu dalam menemukan pola tujuan-tujuan yang terintegrasi dalam hidup, sehingga terjadi penimbunan energi,yang membuat individu lemah dan kehilangan semangat untuk berjuang mengatasi berbagai hambatan, termasuk hambatan dalam pencapaian makna. Bastaman (2007) mengungkapkan bahwa meskipun penghayatan hidup tanpa makna bukan merupakan suatu penyakit tetapi dalam keadaan intensif dan berlarut-larut tidak dapat diatasi maka kondisi tersebut akan dapat menyebakan neurosis noogenik. Neurosis noogenik merupakan gangguan perasaan yang cukup menghambat prestasi
dan penyesuaian diri
seseorang. Gangguan ini biasanya tampil dalam keluhan-keluhan serba bosan, hampa dan penuh keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif serta merasa bahwa hidup ini tidak ada artinya sama sekali. Bahkan sikap acuh tak acuh berkembang dan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya seakan-akan menghilang. Berdasarkan pendapat Bastaman maka apabila Odha memiliki penghayatan hidup tanpa makna maka Odha akan acuh tak acuh yang memungkinkan juga acuh tak acuh terhadap kesehatannya sehingga akan
Universitas Sumatera Utara
membuat penyakitnya semakin parah. Sebaliknya, orang yang mempunyai keberfungsian hidup akan mempunyai tujuan hidup yang jelas. Orang yang memiliki tujuan yang jelas biasanya akan berjuang sekuat tenaga untuk dapat mencapai tujuan tersebut (Bastaman, 2007). Odha yang memiliki tujuan yang jelas tentunya akan berusaha mencapai tujuan tersebut. Salah satunya mungkin akan memperhatikan atau menjaga kesehatannya agar tujuan yang ditetapkan tersebut tercapai. Selain itu orang yang memiliki keberfungsian hidup akan memiliki tanggungjawab, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Odha yang memiliki tanggung jawab biasanya akan memperhatikan hal-hal yang menjadi kewajibannya, baik kewajiban terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Salah satu kewajiban terhadap diri sendiri bagi Odha yaitu selalu menjaga kesehatan tubuhnya. Menurut Smet (1994) optimisme dapat mempengaruhi kesehatan. Orang yang memiliki optimisme ketika sakit akan lebih cepat sembuh. Selain itu, orang yang optimis juga memiliki coping yang efektif dan dapat menemukan aspek-aspek yang positif dari situasi yang penuh tekanan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa Odha yang memiliki penghayatan hidup yang berfungsi akan memiliki optimisme dan memiliki coping yang efektif dalam menghadapi tekanan-tekanan sehingga kondisi ini akan dapat membantu Odha untuk tetap menjaga kesehatannya. Bastaman (2007) juga mengungkapkan bahwa penghayatan hidup bermakna merupakan gerbang ke arah kepuasan dan kebahagiaan hidup. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa keberfungsian sangat diperlukan bagi Odha karena akan membantu Odha dalam menghadapi berbagai masalah yang terkait dengan penyakitnya. Selain itu, secara langsung maupun tidak langsung dapat membantu mempertahankan kesehatannya dan semuanya itu berasalkan dari latar belakang keluarga masing-masing Odha.
Universitas Sumatera Utara
Setelah dikaji dari permasalahan diatas ternyata keluarga memiliki peran penting dalam pendekatan masalah HIV/AIDS, arah dan strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS (Keppres 36/94) pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan ketahanan keluarga sejalan dengan UU pokok no 10 tahun 1992 tentang kependudukan dan keluarga sejahtera. Ini menunjukkan bahwa komitmen politis pemerintah sudah mempunyai landasan yang cukup kuat untuk menggerakkan seluruh lapisan masyarakat melawan penyebaran AIDS di negeri kita. Keluarga sebagai unit terkecil di masyarakat akan paling merasakan dampak psikososial masalah AIDS di masa mendatang. Misalnya untuk perawatan penderita, peranan keluarga, baik keluarga batih maupun keluarga jaringan (nuclear and extended family) akan semakin dibutuhkan. Infeksi HIV dan AIDS masih menimbulkan stigma dan diskriminasi. Jadi adalah penting bagi keluarga untuk menjaga kerahasiaan Odha. Keluarga tidak berhak memberi tahu orang lain, termasuk petugas perawatan kesehatan, tentang status HIV si Odha, kecuali dia memberi persetujuan yang jelas. Keluarga harus sangat berhati-hati dengan pengunjung agar mereka tidak dapat mengetahui secara tidak sengaja, misalnya dengan melihat buku mengenai AIDS atau obat khusus untuk infeksi Keluarga akan menjadi tempat untuk bernaung, untuk mendapatkan perawatan, untuk mendapat kasih sayang bagi penderita dan anak-anak yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya yang direnggut oleh keganasan AIDS. Mungkin saja orang tua akan lebih dahulu kehilangan putra-putrinya karena mereka mempunyai risiko lebih besar terinfeksi HIV. Dampak psikososial HIV/AIDS juga akan dirasakan sampai di tingkat rumah tangga. Khusus untuk Indonesia yang sistem asuransinya belum berkembang dengan baik, keluarga mau tidak mau akan menanggung beban keuangan yang cukup berat seandainya ada anggota keluarga yang terinfeksi HIV, apalagi yang terinfeksi adalah suami atau anggota keluarga lainnya
Universitas Sumatera Utara
sebagai pencari nafkah. Keluarga akan dibebani biaya pengobaatnyang mahal untuk membeli obat dan untuk biaya perawatan penderita (Spiritia : 2008). Keluarga sebagai kesatuan komunitas yang terkecil juga akan menerima beban mental yang cukup berat. Misalnya timbul reaksi sosial dalam bentuk pengucilan, perceraian, dan berbagai bentuk konflik rumah tangga lainnya. Munculnya masalah yatim piatu karena anakanak ditinggal mati kedua orang tuanya yang mati karena AIDS tidak saja dirasakan bebannya oleh keluarga, tetapi juga akan menjadi beban sosial tambahan bagi pemerintah dan masyarakat. Salah satu tempat terbaik untuk merawat Odha adalah di rumah, dengan dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Odha dapat tetap hidup aktif untuk waktu yang lama dan bisa berdaya untuk kehidupannya sendiri dan orang lain. Dukungan keluarga terutama perawatan Odha dirumah biasanya akan menghabiskan biaya lebih murah, lebih menyenangkan, lebih akrab, dan membuat Odha sendiri bisa lebih mengatur hidupnya. Sebenarnya penyakit yang berhubungan dengan Odha biasanya akan cepat membaik, dengan kenyamanan di rumah, dengan dukungan dari teman terutama keluarga (Spiritia : 2008). Jika Odha dirawat oleh keluarga di rumah sendiri, ingatlah setiap Odha berbeda, dan dipengaruhi oleh HIV, virus yang menyebabkan AIDS, dengan cara yang berbeda pula. Keluarga harus selalu mengetahui perkembangan keadaan Odha dari dokter atau perawatnya mengenai jenis perawatan yang dibutuhkan. Sering kali yang dibutuhkan bukanlah perawatnan medis, tetapi bantuan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari agar Odha lebih mandiri seperti : berbelanja, mengambil surat, membayar tagihan, membersihkan rumah, dan lain-lain. Juga perlu diingat, AIDS menyebabkan stres, baik orang yang sakit maupun pada anggota keluarga yang merawatnya. Memberikan dukungan dan merawat ke Odha merupakan tanggung jawab yang berat.
Universitas Sumatera Utara
Tak dapat dipungkiri bagaimana besar dan kecilnya dukungan keluarga itu bisa menjadi patokan bagi keberfungsian sosial atau keberdayaan dari Odha tersebut. Seperti yang telah diterangkan sebelumnya jika Lembaga dan Oganisasi Masyarakat atau yang lebih kita kenal dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan salah bagian yang mempunyai peran aktif dalam melaksanakan kebijakan rencana strategis pemerintah dalam rangka penanggulangan HIV/AIDS. Rumah Singgah Caritas PSE merupakan LSM yang bergerak di isu penanggulangan HIV/AIDS, didalamnya terdapat pekerja-pekerja sosial yang mendampingi Odha untuk bisa berdaya dan berfungsi. Ternyata ada Odha yang walaupun tanpa dukungan keluarga, dia memiliki keberfungsian sosial yang tinggi, dan hal seperti ini bisa menjadi bagian yang sangat menarik untuk dikaji. Apalagi jumlah dampingan dari pekerja sosial Rumah Singgah Caritas PSE lumayan banyak dan sudah ada yang menjadi pendidik sebaya. Kondisi dukungan keluarga yang bervariasi dan latar belakang kehidupan Odha yang berbeda-beda tentunya akan mempengaruhi keberfungsian dari Odha sendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diasumsikan bahwa dukungan keluarga dapat mempengaruhi keberfungsian sosial hidup Odha. Sehingga peneliti ingin mengetahui pengaruh dukungan keluarga terhadap keberfungsian sosial Odha. Adapun judul penelitian adalah “Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadapa Keberfungsian Sosial Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Rumah Singgah Caritas PSE Medan” 1.2 Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting karena langkah ini akan menentukan kemana suatu penelitian diarahkan. Perumusan masalah pada hakikatnya merupakan perumusan pertanyaan yang jawabannya akan dicari melalui penelitian (Soehartono, 2008 : 23).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya maka masalah penelitian dapat dirumuskan, yaitu “Apakah ada pengaruh dukungan keluarga terhadap keberfungsian sosial orang dengan HIV/AIDS di Rumah Singgah Caritas PSE Medan ?” 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh dukungan keluarga terhadap keberfungsian sosial orang dengan HIV/AIDS di Rumah Singgah Caritas PSE Medan. 1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat dipergunakan dalam rangka : 1. Pengembangan Teoritis a. Untuk menambah wawasan, pengalaman dan pemahamn mengenai terapi pendampingan terhadap orang dengan HIV/AIDS. b. Untuk membentuk pola pikir yang dinamis serta untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
2. Pengembangan Model a.
Untuk mengetahui model penanganan orang dengan HIV/AIDS yang umumnya menggunakan model pendekatan keluarga (family based)
b.
Mengetahui
sosialisasi
informasi
seputar
penularan
dan
pencegahan
HIV/AIDS kepada masyarakat setiap golongan.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Sistematika Penulisan Untuk memudahkan memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam skripsi ini, maka diperlukan sistematika. Sistematika penulisan skripsi ini meliputi : BAB I
: Pendahuluan Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
Bab II
: Tinjauan Pustaka Bab ini berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional
Bab II
: Metode Penelitian Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data
Bab IV
: Deskripsi Lokasi Penelitian Bab ini berisikan sejarah singkat gambaran umu lokasi penelitian dan datadata lain yang turut memperkaya karya ilmiah ini
Bab V
: Penutup Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Universitas Sumatera Utara