BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di tengah kehidupan masyarakat yang cenderung individualis dan rasionalis, banyak orang masih memelihara dan mempertahankan kehidupan ritual yang bersifat transenden emosional dan kolektif. Salah satu perayaan dari sekian banyak ritual perayaan di dunia yang sering dilakukan masyarakat adalah ritual perayaan Imlek. Imlek atau dikenal sebagai Tahun Baru Cina (Chinese New Year) sering dirayakan di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Orang-orang keturunan Tionghoa yang berlatar agama yang berbeda sepert Buddha, Khatolik, Protestan, Islam, Tao dan Khonghucu merayakan hari Imlek. Perayaan itu nampak di sepanjang jalan dan pusat perbelanjaan dengan dibentangkannya spanduk dan digelarnya atraksi Barongsay dan Liong. Barongsay merupakan sejenis macan yang berwajah agak lucu, sedang Liong merupakan sejenis ular naga. Walaupun perayaan Imlek itu kini sudah milik bersama, tetapi para penganut Khonghucu merayakannya dengan melakukan ritual khusus. Orang-orang Tionghoa termasuk penganut Agama Khonghucu menganggap bahwa Imlek merupakan milik mereka yang diperoleh dari warisan para leluhur mereka. Orang-orang Khonghucu mengakui bahwa Imlek merupakan bagian dari ritual perayaan
Agama
Khonghucu.
Agama
Khonghucu
sering
disebut
“Konfusianisme” atau dalam Bahasa Inggris disebut “Confucianism” merupakan
sistem sosial, politik, etika, dan pemikiran keagamaan berdasarkan Khonghucu dan para penggantinya.1 Di Indonesia perayaan Imlek mengalamai dinamika dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan faktor politik yang mempengaruhinya. Pemerintah Soekarno pernah memberlakukan perayaan Imlek pada masa orde lama. Pada masa Orde Baru, pemerintah tidak mengakui Khonghucu sebagai agama secara jelas, tetapi bagian dari agama Buddha. Perayaan atau pesta agama dan adat istiadat Cina pada masa orde ini terdapat pembatasan lagi dalam perayaannya secara terbuka. Selanjutnya perayaan Imlek mulai dirayakan kembali secara nasional sejak dikeluarkannya Keppres Nomor 6 Tahun 2000 pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid. Sejak itu perayaan atau pesta agama dan adat istiadat Cina sudah tidak ada pembatasan lagi dalam arti bisa dilakukan secara terbuka. Begitu juga pada saat Pemerintahan Megawati, presiden mengeluarkan kepres no 19, tahun 2002 yang menetapkan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional. Para penganut agama Khonghucu masih tetap memelihara dan mengadakan ritual, baik secara individu maupun kolektif di perayaan tersebut. Kegiataan ritual perayaan Imlek ini tidak hanya berdampak pada kegiatan keberagamaan sebagai aktifitas ritual, tetapi juga berdampak pada aktifitas sosial lainnya, diantaranya kegiatan ekonomi, transportasi, keamanan, politik dan sebagainya. Banyaknya orang yang terlibat di dalam kegiatan ritual tersebut yang menimbulkan orang lain untuk melakukan aktifitas lainnya, seperti berdagang, mengamankan lalu lintas, dan konsultasi bagi pemimpin doa. 1
Keith Crim, The Perennial Dictionary of World Religions, Harper San Francisco, New York, 1989, p. 188-189.
Lebih jelas kenyataan itu nampak pada fenomena perayaan ritual Imlek tersebut tidak hanya di luar negeri tetapi juga di daerah-daerah, termasuk di Kota Bandung yang dipusatkan Makin Kota Bandung Jalan Cibadak. Para penganut agama Khonghucu di Makin Kota Bandung merayakan ritual Imlek baik di rumah maupun di Kong Mio. Kenyataan tersebut di satu sisi menunjukkan adanya gairah memelihara keberagamaan di masyarakat transisi di tengah-tengah kehidupan yang penuh diwarnai sains dan tekonologi. Padahal sebagian para saintis menganggap bahwa agama kurang berperan lagi di abad modern yang ditandai dengan teknologi dan ilmu pengetahuan. Fenomena banyaknya orang-orang datang mengunjungi perayaan yang dianggap sakral tersebut menunjukkan peran agama menawarkan solusi hidup dengan konsep kehidupan transenden dan kolektif. Penomena perayaan Imlek terlihat pada aksi “ritual dan perayaan”. Menempatkan tradisi keagamaan dalam bentuk kontekstual dalam dinamika perubahan sosial adalah keniscahayaan yang harus disikapi dengan cara menciptakan wajah baru dari ajaran agama. Dengan demikian agama menunjukkan bukanlah sekedar wacana yang memiliki psikologi dan spiritual semata, melainkan meliputi banyak aspek kehidupan.2 Mereka melakukan ritual perayaan Imlek tersebut memunculkan kesan atau label khusus terhadap Khonghucu sebagai agama yang memelihara tradisi. Banyak orang yang mengaku beragama Khonghucu melakukan aktifitas ritual perayaan Imlek di Kota Bandung. Hal ini menunjukkan fenomena
2
Amin Abdullah, Studi Agama, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2000, hlm. 11 .
keberagamaan,
karena
ritual
tersebut
merupakan
upacara
keagamaan.
Sebagaimana menurut Koentjaraningrat, upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling lahir.3
Begitu juga menurut Ahli Ilmu Perbandingan Agama, Ninian Smart
mengungkapkan bahwa agama sebagai organisme yang memiliki multidimensi, diantaranya ritual (ritus), institusi sosial (social institution), pengalaman keagamaan (religious experience) dan unsur lainnya.4 Dengan demikian ritual perayaan Imlek merupakan fenomena keberagamaan di kalangan penganut Khonghucu. Mereka melakukan aktifitas ritual keagamaan tersebut dibentuk oleh pemahaman yang mereka pahami. Sekumpulan makna yang mereka miliki menentukan aktifitas mereka dalam kegiatan ritual Imlek. Oleh karena itu pemahaman mereka mengenai ritual perayaan Imlek menjadi penting untuk diteliti dan menimbulkan suatu masalah penelitian keberagamaan, yaitu bagaimana orang-orang penganut Khonghucu memahami ritual perayaan Imlek, sehingga mereka malakukan aktifitas ritual tersebut? B. Rumusan Masalah Penulis memfokuskan dalam penelitian ini pada kegiatan ritual perayaan Imlek yang dilakukan para penganut Agama Khonghucu di Kota Bandung. Kegiatan ritual perayaan Imlek tersebut sebagai masalah substantif, karena kajian ini termasuk kajian agama sebagai motivasi bertindak,5 dan kajian agama sebagai
3
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 375. Walter H. Capps, Religious Studies The Making of a Discipline, Fortress Press, USA, 1995, p. 308. 5 Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia, Bandung. 2000, cet. ke-1, hlm.72. 4
sistem budaya yang memiliki simbol.6 Di dalamnya terdapat beberapa hal berupa ”kata-kata”,” kesan”, ”institusi” dan ”prilaku”. Simbol-simbol agama tersebut dijadikan cara dalam memahami atau menafsirkan prilaku seseorang dalam kegiatan ritual perayaan Imlek. Deskripsi analisis penelitian mengenai makna ritual perayaan Imlek menurut para penganut Khonghucu tersebut dinyatakan dalam dua rumusan pertanyaan. Kedua rumusan pertanyaan itu adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses ritual perayaan Imlek di MAKIN Kota Bandung? 2. Bagaimana pola pemahaman para penganut Khonghucu terhadap ritual perayaan Imlek di MAKIN Kota Bandung? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini merupakan upaya mencari jawaban dari rumusan pertanyaan bagaimana orang-orang yang mengaku penganut Agama Khonghucu memahami ritual perayaan Imlek? Menyadari hal tersebut dan berkaitan dengan perumusan masalah penelitian yang telah disebutkan, maka penelitian ini memiliki tujuan penelitian yang bersifat pemahaman, bukan pengetahuan. Sebagaimana Joachim Wach ungkapkan bahwa mempelajari agama atau bagian agama adalah dengan maksud to understand meaning, bukan to know.7 Dengan melihat pemikiran Joachim Wach tersebut, terdapat dua tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu,
6
Clifford Geertz, From the Native‟s Point of View: On the Nature of Anthropological Understanding, dalam Buku Paul Rabinow dan Wiliam M Sulivan (Ed.), Interpretive Sosial Science A Reader, University of California Press, California, 1979, p. 228. 7 Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama -Suatu Pengantar Awal, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, cet.ke-1, hlm. 2.
1.
Untuk memahami proses ritual perayaan Imlek yang dilakukan para penganut Agama Khonghucu di MAKIN Kota Bandung
2.
Untuk menemukan pola pemahaman penganut Khonghucu terhadap ritual perayaan Imlek di MAKIN Kota Bandung.
Dengan demikian kegiatan
ini
diharapkan
memenuhi
kepentingan-
kepentingan dan tujuan tertentu yaitu untuk kepentingan akademik, dan berupaya mengatasi persoalan sosial keagamaan. Dalam memenuhi tuntutan akademik, penelitian ini diharapkan memiliki relevansi, unik, penting dan menambah pustaka, terutama bagi jurusan Perbandingan Agama yang ada di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah pustaka atau referensi dalam kajian agama mengenai makna ritual keagamaan. Fenomenanya dapat berupa aktifitas ritual perayaan Imlek di Kota Bandung sebagai aktifitas keagamaan. Secara Akademik kajian ini relevan dengan jurusan Perbandingan Agama, karena Ilmu Perbandingan Agama memiliki unsur kajian diantaranya pemahaman, doktrin, ritual dan tokoh agama atau
umat.
Sebagaimana
menurut
Joachim
Wach
bahwa
pengalaman
keberagamaan dapat diungkapkan dalam bentuk pemikiran, peribadatan dan kelompok sosial.8 Penelitian deskripsi analisis mengenai makna ritual perayaan Imlek penting untuk diteliti, karena untuk menambah informasi baru dan memelihara warisan budaya yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Walaupun penelitian tentang ritual sering dilakukan peneliti lain dalam pencarian pengetahuan dan 8
Joachim Wach, Ilmu Perbandigan Agama, Terjemahan Djama‟nuri, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. VIII.
pemahamannya, tetapi penelitian ini berbeda dari beberapa hal. Persfektif, dan pendekatan dalam penelitian ini berbeda dengan peneliti-peneliti lainnya, sehingga dengan penelitian ini dapat memberikan informasi baru tentang cara memandang ritual perayaan Imlek. Di samping itu penelitian ini diharapkan memberi pengetahuan keherensi dan konvergensi antara pemahaman teori, khususnya Ilmu Perbandingan Agama (religious studies) melalui pendekatan sosilogi dan antropologi budaya dari gejala ritual perayaan Imlek. Dengan mengkaji makna ritual perayaan Imlek di kota Bandung ini, diharapkan dapat terjadinya dialong keagamaan yaitu dialog agama dan budaya lokal sebagai bagian dari warisan bangsa yang tumbuh di masyarakat. Di satu sisi Khonghucu nampak belum jelas diakui sebagai agama oleh pemerintah, tetapi para penganutnya mengakui Khonghucu sebagai agama. Di sisi lain pemerintah mengakui Imlek yang berasal dari kebudayaan Tionghoa sebagai hari libur nasional. Dengan demikian keberadaan ritual perayaan Imlek sebagai warisan budaya yang diakui keberadaanya dapat menimbulkan dialog keberagamaan Model interaksi itu tidak hanya interaksi antara orang-orang yang berkunjung pada perayaan Imlek tersebut, tetapi terjadi pula interaksi institusi Khonghucu yang memiliki ritual Imlek dengan dengan ekonomi, politik, transportasi, keamanan dan sebagainya. Dialog keberagamaan ini diharapkan dapat berdampak pada tanggung jawab manusia dalam memanfaatkan dampak dari ritual perayaan Imlek. Sebagaiman Hans Kung ungkapkan bahwa tidak ada dialog keberagamaan
tanpa mempelajari dasar agama-agama (No religious dialogue without investigating the foundation of the religions).9 Di samping itu, penelitian ini relevan dengan konteks pembangunan (reformasi) nasional Indonesia. Dilihat dari keberadaan perayaan tersebut sebagai warisan budaya yang diakui oleh pemerintah yang perlu dilindungi menunjukkan upaya-upaya mengintegrasikan peran budaya atau agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya tersebut dianggap penting, dan perlu mendapat perhatian, karena upaya tersebut relevan dengan upaya memelihara integrasi bangsa yang plural termasuk isu-isu agama dan budaya. Keberadaan perayaan tersebut sebagai bagian dari warisan kebudayaan masyarakat tidak pernah lenyap dalam kehidupan masyarakat yang mengalami modernisasi, karena aspek tradisional menjadi bagian dari masyarakat yang mengalami kompleksitas. Sebagaimana Bellah10 ahli sosologi agama jelaskan bahwa masyarakat tradisional yang memiliki arti yang berbeda-beda dalam setiap peristiwa tertentu, tidak pernah lenyap, meskipun selalu mendapat gangguan, karena masyarakat tradisional itu sendiri bagian dari kompleksitas masyarakat. D. Kerangka Pemikiran Penelitian ini berawal dari masalah substantif yang penulis temukan di lapangan yaitu banyak orang melakukan ritual perayaan Imlek. Ritual ini dilakukan oleh banyak orang mungkin puluhan atau ratusan orang dalam satu waktu tertentu. Keberadaan orang-orang tersebut terkadang sering menimbulkan
9
Hans Kung, Global Responsibility in Search of A New World Ethic, Translated John Bowden Crossroad, New York, 1991, p. vii-xii. 10 Robert N Bellah, Beyond Belief –Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, Terjemahan Rudi Harisyah Alam, Paramadina, Jakarta, 2000, cet. ke-1, hlm. 222.
kemacetan di jalan raya pada waktu-waktu tertentu, karena banyaknya orang berkendaraan menuju lokasi perayaan tersebut.
Para penganut Khonghucu
mengaku bahwa ritual Imlek merupakan bagian dari kehidupan beragama mereka. Di satu sisi ritual perayaan Imlek tersebut dapat dipahami sebagai gejala agama, karena ia termasuk aspek agama yaitu ritual (ritus). Di sisi lain, dampak ritual perayaan Imlek di Kota Bandung ini dapat berimplikasi pada kegiatan sosial lainnya, seperti ekonomi, transportasi, keamanan, pemerintahan dan sebagainya. Terbukti adanya aktifitas berdagang, bebeberapa orang berseragam mengamankan lalu lintas orang dan kendaraan, banyaknya kendaraan lewat, dan adanya beberapa pejabat menunjukkan ungkapan selamat dengan kata, “Gong xi pa cai.” Setelah penulis menemukan masalah substantif tersebut, penulis mendisain penelitian ini dengan beberapa pertanyaan untuk dicari jawaban-jawabannya. Persoalan penelitian ini berkaitan dengan bagaimana pola pemahaman mereka terhadap ritual perayaan Imlek yang mereka lakukan. Upaya-upaya yang dilakukan penulis untuk mencari jawaban tersebut penulis menggunakan kerangka teoritis atau teori-teori yang dikerangkakan (constructed). Rumusan teoritis yang digunakan untuk memahami makna ritual yang dilakukan orangorang dalam kegiatan ritual Imlek adalah teori interaksi simbolik. Teori ini bertujuan memahami pola pemahaman orang-orang yang melakukan ritual perayaan Imlek. Terdapat tiga prinsip yang berkaitan dengan teori interaksi simbolik yang diungkapkan Blumer berkaitan dengan meaning (makna), language (bahasa), dan
thought (pemikiran).11 Pertama, Blumer mengawali teorinya dengan pernyataan bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh ”makna” yang dia pahami tentang obyek atau orang tersebut. Kedua, makna dapat dipahami sebagai hasil dari interaksi sosial. Makna tidak melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itulah teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik. Kedua penyataan Blumer tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu, termasuk nama, adalah tanda atau simbol. Percakapan adalah sebuah media penciptaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah dasar terbentuknya masyarakat. Para pengagum teori ini memahami teori interaksi simbolik sebagai upaya mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa
Interaksionisme
simbolik
adalah
cara
seseorang
belajar
menginterpretasikan dunia. Ketiga, Blumer menyatakan bahwa, “an individual‟s interpretation of symbol is modified by his or her own thought processes.” Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation, Setelah dipahami bahwa meaning, language, dan thought memiliki keterkaitan yang sangat erat, maka teori ini mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person‟s self) dan sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar. Dengan demikian kerangka teori dalam penelitian ini berperan sebagai persfektif. Ia berfungsi untuk menyelami proses penelitian, sebagai cara pandang
11
http://edsa.unsoed.net/?p=62 diundu pada tanggal 23 Nopember 2011
dan untuk menafsirkan atau memahami pola pemahaman orang-orang melakukan ritual perayaan Imlek. Pemahaman kerangka teori ini sesuai dengan peran teori sebagai persfektif atau paradigma yang dijadikan sebagai sudut pandang untuk memahami atau menafsirkan dan memaknai setiap fenomena, baik benda, tulisan maupun orang dalam rangka membangun konsep. Adapun paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma definisi sosial atau kualitatif naturalistik yang didukung dengan paradigma fenomenologis.12 Penelitian dengan menggunakan paradigma fenomenologis ini digunakan karena bersentuhan langsung dengan kehidupan yang dialami oleh subyek penelitian di lapangan.13 Melalui paradigma fenomenologis, penulis berusaha menemukan makna ritual perayaan Imlek. Untuk mengkaji makna ritual perayaan Imlek tersebut, penulis mengkajinya dengan mempertimbangkan beberapa aspek di dalam ritual perayaan tersebut. Sebagaimana Koentjaraningrat14 ungkapkan bahwa, sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropologi yaitu, tempat upacara keagamaan dilakukan, saat upacara keagamaan dijalankan, benda-benda dan alat-alat upacara, dan orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Sedangkan unsur upacara itu sendiri menurut Koentjaraningrat ada sebelas unsur, yaitu bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa, menari tarian pawai,
12
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, cet. ke-1, hlm.129. 13 Jane Stokes, How to Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, terjemahan Santi Indra Astuti, Bentang, Bandung, 2006, cet. ke1, hlm. 59. 14 Koentjaraningrat, 1990, hlm. 378
menyanyi nyanyian suci, berprosesi atau berpawai, memainkan seni drama suci, berpuasa, intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan trance, mabuk, bertapa dan bersemedi.15 Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu tertentu, pertimbangan aspek dan unsur di dalam ritual perayaan Imlek, penulis berusaha menemukan proses ritual perayaan Imlek dan beberapa pola makna yang dipahami orang-orang dalam melakukan ritual tersebut. E. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian dapat disebut pula prosedur penelitian yang digunakan untuk menghasilkan data deskriptif dan menjelaskan bagaimana cara yang digunakan penulis dalam penelitian ini. Kajian metodologi penelitian ini mencakup metode penelitian, penentuan jenis data yang dikumpullkan, sumber data yang diperoleh, cara pengumpulan data yang akan digunakan, cara pengolahan dan analisa data yang akan ditempuh.16 Selain itu penulis mencantumkan pula garis besar penulisan laporan.
1. Metode Penelitian Penulis menggunakan metode deskriptif analisis untuk memahami proses dan makna ritual perayaan Imlek. Karena jawaban yang diperoleh berupa kata-kata yang menjadi data yang diperlukan maka metode deskriptif analisis ini bersifat kualitatif dengan paradigma fenomenologi. Sebagaimana Bogdan ungkapkan kaum fenomenologis mencari pemahaman (understanding) lewat metode
15
Ibid. Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Pedoman Penulisan Skripsi, Laboratorium Fakultas Ushuluddin, Bandung, 2008, cet.ke-1, hlm.46. 16
kualitiatif seperti pengamatan peserta (participant observation), pewawancara terbuka (open-ended interviewing), dan dokumen pribadi. Metode-metode ini menghasilkan data deskristif yang memungkinkan mereka melihat dunia ini seperti yang dilihat oleh subyek.17 Metode deskripsi analisis ini merupakan metode yang bertujuan untuk melukiskan, menjelaskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.18 Metode ini terkadang disebut metode penyelidikan deskriptif atau metode analitik, karena memiliki ciriciri tertentu. Sebagaimana diungkapkan Winarno Surakhmad bahwa metode deskriptif memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalah-masalah yang aktual; dan data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa, sehingga metode ini sering disebut metode analitik.19 Penggunaan metode ini sesuai dengan data yang diperoleh dari orang-orang penganut Khonghucu yang berada di wilayah MAKIN Kota Bandung, provinsi Jawa Barat. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini dikarenakan di lokasi ini terdapat sekitar 200 kepala keluarga mengaku penganut Khonghucu. Sebagian dari mereka melakukan ritual perayaan Imlek yang menunjukkan antusias, sehingga menimbulkan minat bagi penulis untuk melakukan penelitian. Antusias mereka dalam kegiatan ritual perayaan Imlek tersebut ditunjukkan dengan
17
Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial, Terjemahan Arief Furchan, Usaha Nasional, Surabaya, 1992, , Cet. ke-1, hlm.18-19. 18 Fakultas Ushuluddin Universitas, 2008, hlm. 47 19 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik, Tarsito, Bandung, 1994, cet.ke-5, hlm. 139-140.
banyaknya orang dalam satu malam tertentu melakukan ritual dan perayaan, baik di rumah maupun di Miao, adanya kemacetan di jalan raya yang berdekatan dengan lokasi tersebut, banyaknya orang berjualan aneka barang di sekitar lokasi tersebut, dan terkadang beberapa pejabat daerah mengungkapkan selamat hari raya Imlek. Kehadiran mereka tidak hanya individu tetapi juga berkelompok dalam suatu kelompok dari berbagai daerah yang berbeda. Antusias mereka diekspresikan pula mulai dari rumah, di perjalanan dan di tempat lokasi perayaan dan menjelang pulang dari perayaan tersebut. Selain itu, lokasi penelitian ini termasuk mudah dicapai dan datanya mudah diperoleh. Walaupun lokasi ini mudah dicapai dan dikunjungi orang, tetapi tidak selalu lokasi ini dianggap tidak menarik untuk diteliti, karena lokasi ini termasuk subyek penelitiannya masih asing bagi penulis. Lokasi ini masih terbuka bagi lapangan penelitian. Pemilihan lokasi yang lebih sempit dan terbatas sebagai unit analisis dimaksudkan untuk memperoleh gambaran lebih terfokus, lebih tajam, sekalipun tak bisa dijadikan gambaran umum masyarakat tradisional, sehingga komunitas itu menjadi unik. Pertimbangan lainnya adalah keterbatasan waktu penelitan itu sendiri. Karena kegiatan penelitian merupakan bagian dari program Strata-1 bagi kelas khusus anggota kesatuan Brimob, maka waktu yang diperlukan harus sesuai dengan waktu yang tersedia dalam program tersebut. Namun hasil penelitian atau laporan penelitian ini yang berupa skripsi tetap dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.
2. Jenis Data yang Dikumpulkan Penelitian makna ritual perayaan Imlek di kota Bandung termasuk jenis penelitian kualitatif-naturalistik yang berparadigma fenomenologi. Paradigma naturalistik ini digunakan untuk memahami nilai-nilai atau pandangan hidup seseorang dalam memahami ritual perayaan Imlek yang dilakukan para penganut Agama Khonghucu. Dengan demikian bentuk data dalam penelitian ini berupa ungkapan-ungkapan yang dideskripsikan cenderung melalui kata-kata dan prilaku ritual orang-orang sebagai wujud dari keyakinannya. Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penelitian ini, penulis mengumpulkan data-data terpilih yaitu data yang benar-benar dapat menjawab rumusan masalah penelitian. Terdapat dua jenis data yang berkaitan dengan penelitian ini. Pertama data yang berkaitan dengan proses kegiatan ritual perayaan Imlek, seperti perilaku, benda, kelompok orang, situasi dan kondisi. Kedua, data yang berkaitan dengan pola pemahaman mengenai ritual perayaan Imlek. Jenis data ini berupa persepsi dari para informan mengenai maksud atau makna di balik kegiatan ritual perayaan Imlek tersebut
3. Sumber Data yang akan Diperoleh Sumber data dalam penelitian ini berupa persepsi manusia yang akan diperoleh dari informan, buku-buku, surat kabar dan internet. Sumber data dari informan disebut data primer sedangkan data yang bersumber dari buku, surat kabar dan internet disebut data sekunder.
Informan dipilih secara purposive atau snow ball sampling. Sebagai sumber informasi (key informan), informan ini dianggap memiliki kedudukan penting dan diperlakukan sebagai subjek yang memiliki kepribadian, harga diri, posisi, kemampuan dan peranan sebagaimana adanya. Hasil hubungan yang sudah terjalin antara penulis dengan beberapa orang infornan dapat menambah informasi baru dan diperolehnya beberapa informan lain yang memiliki kedudukan berbeda dalam arti, ada informan yang mewakili kelompok (typical group) dan ada informan yang bersifat individu (typical individu). Teknik ini dipilih berdasarkan pertimbangan rasional peneliti bahwa informanlah yang memiliki otoritas dan kompetensi untuk memberikan informasi data sebagaimana diharapkan penulis. Beberapa informan yang penulis gunakan sebagai sumber data primer adalah Tokoh penganut Khonghucu, orang-orang yang datang ke perayaan dari berbagai lapisan sosial seperti, pedagang, karyawan dan ibu rumah tangga. Beberapa informan tersebut merupakan bahan yang dikaji untuk menemukan jawaban-jawaban dalam penelitian. Orang-orang yang memiliki status sosial tersebut dipilih berdasarkan keterlibatan mereka dalam kegiatan ritual perayaan Imlek. Informan yang bersifat individu (typical individu) dipilih secara acak yaitu orang yang pernah mengadakan ritual perayaan Imlek. Sedangkan pemilihan buku, surat kabar dan internet dipilih untuk menunjang kelengkapan data yang diperoleh dari informan. Penulis memilih buku, surat kabar dan internet yang berkaitan dengan data yang diperlukan. Data-data tersebut dikelompokkan sebagai data sekunder.
4. Cara Pengumpulan Data yang akan Digunakan
Pengumpulan data ini digunakan teknik observasi partisipasi atau pengamatan peserta (observation participant), dan wawancara mendalam. Dalam teknik observasi partisipasi penulis memperoleh data berkaitan dengan kegiatan ritual perayaan Imlek dan interaksi orang-orang yang berada di lokasi perayaan Imlek. Penulis ikut terlibat dalam kegiatan ritual perayaan Imlek tersebut dan acara kegiatan interaksi sosial, baik dalam kegiatan kelompok maupun antar individu. Dengan memanfaatkan beberapa kenalan penulis selama di lapangan, penulis mengamati beberapa peristiwa yang terdapat dalam ritual perayaan Imlek tersebut. Penulis mengamati antusias mereka dalam kegiatan ritual tersebut mulai dari rumah, perjalanan dan di lokasi. Penulis mengamati benda-benda dan alatalat yang terdapat dalam ritual tersebut. Dalam setiap kegiatan ritual perayaan Imlek tersebut, penulis berusaha menggali dan mengamati pemahaman mereka tentang makna budaya (cultural meaning) dari informasi yang diterima dengan konteksnya. Penulis bertanya kepada beberapa informan, apabila ada hal-hal yang tidak tahu atau tidak mengerti
dalam
kegiatan
pengamatan
peserta
itu.
Kemudian
penulis
mengingatnya apabila informasi itu cukup diingat. Setelah tiba di rumah penulis catat peristiwa atau kejadian yang dianggap penting tersebut. Tetapi ketika penulis melakukan observasi ke lokasi untuk melihat kondisi geografis terutama mengenai jalan, Kong Miao, pasar pertokoan, pusat pemerintahan dan perayaan, penulis membawa catatan dan mencatat data-data yang penulis temukan.
Dalam teknik wawancara mendalam, penulis mewawancarai orang-orang sebagai informan secara terbuka dan mendalam sesuai dengan data yang diperlukan. Mereka dipilih secara acak sesuai dengan penemuan gejala yang dianggap penting menurut penulis. Teknik pengumpulan data melalui wawancara terbuka ini dilakukan untuk memperoleh informasi data yang berkaitan dengan pemahaman (pikiran) yang berkaitan dengan orientasi nilai budaya dari orangorang yang terlibat dalam kegiatan ritual perayaan Imlek. Terdapat beberapa pertanyaan secara garis besar yang dilakukan dengan percakapan informal, diantaranya; Pertama, latar belakang informan mengenai pendidikan, terutama dari mana pengetahuan Imlek diperoleh, pekerjaan, keadaan sosial ekonomi dan sebagainya. Kedua, pemahaman, persefsi, atau pikiran informan mengenai pentingnya kegiatan ritual perayaan Imlek secara lebih jauh. Dengan memahami persepsi orang-orang tersebut terhadap ritual perayaan Imlek dapat diperoleh orientasi nilai budaya mereka yang berkaitan dengan makna hidup, alam, waktu, aktifitas dan hubungan sosial.
5. Cara Pengolahan dan Analisa Data yang akan Ditempuh Tujuan pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini adalah menyederhanakan seluruh data yang terkumpul, menyajikannya dalam suatu susunan yang sistematis, mengolah dan menafsirkan atau memaknai data yang diperoleh. Kegiatan pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini secara umum dibedakan dalam tiga tahap yaitu pengolahan atau reduksi data, deskriftif analisis dan penafsiran data.
Dalam pengolahan data, penulis memeriksa seluruh data yang masuk untuk dipilih berdasarkan sub-sub pokok bahasan dalam rumusan masalah. Transkrif hasil pengumpulan data merupakan informasi data penelitian, dicek kembali kelengkapannya dan teknik penyajiannya. Dalam deskriftif analisis, penulis mengolah atau menguraikan setiap fenomena penting yang terjadi. Selanjutnya, menguraikan setiap fenomena penting itu dengan mengutamakan bahasa penulis yang didukung oleh pernyataan para ahli dan kenyataan di lapangan. Bentuk analisis ini cenderung berupa katakata bukan angka (non statistik). Penulis berusaha menguraikan tentang proses ritual perayaan Imlek yang dilakukan orang-orang penganut Khonghucu. Kemudian penulis mendeskripsikan makna yang mereka pahami dari ritual perayaan Imlek tersebut. Untuk memahami makna ritual perayaan Imlek menurut penganut Khoghucu di kota Bandung, dapat dilakukan dengan menganalisa persepsi informan yang diamati dan diwawancarai. Penulis tidak hanya mengamati dan mewawancarai satu informan yang datang ke perayaan tersebut tetapi juga mengkonfirmasi dengan informan lainnya, sehingga dari konfirmasi informan lain tersebut dapat dianalisa dan ditafsirkan menjadi konsep tertentu. Dalam penafsiran data, penulis akan menafsirkan atau memaknai hasil analisis data tersebut. Penafsiran atau pemaknaan hasil analisis data bertujuan untuk menarik kesimpulan penelitian. Penarikan kesimpulan didasarkan atas rumusan masalah yang difokuskan lebih spesifik yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam proses penafsiran itu berkaitan dengan penggunaan
konfirmasi terhadap informan lain. Setelah penulis melakukan teknik konfirmasi ini, penulis memberi arti subyektif yang berkaitan dengan makna ritual yang dipahami beberapa informan. Hasil analisis merupakan jawaban dari persoalan penelitian yang telah ditetapkan. Namun, dalam proses penafsiran ini, penulis juga perlu memeriksa kembali langkah-langkah yang telah dilaksanakan dalam penelitian. Langkah-langkah ini berguna untuk melihat ketepatan penafsiran. Apabila semua langkah penelitian telah dilakukan dengan tepat, hasil penafsiran dapat dijamin dan hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi. Dengan demikian penulis bersikap terbuka dan menjelaskan semua langkah yang telah dilakukan sehubungan dengan hasil penelitian yang telah diperoleh tersebut. Dalam teknik pemeriksaan keabsahan data, penulis melakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan kepercayaan, keteralihan, kebergantungan dan kepastian. Sebagaimana Moleong20 ungkapkan bahwa keempat kriteria keabsahan data tersebut adalah derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Untuk menentukan kepercayaan (credibility) data penelitian ini penulis melakukan usaha-usaha diantaranya melakukan penelitian dengan masa observasi yang cukup sejak studi eksplorasi sampai penulisan laporan sekitar 6 bulan, pengamatan secara terus menerus kegiatan ritual dan orang-orang yang dijadikan informan, triangulasi atau upaya pembandingan terhadap data, mendialogkan atau
20
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, Cet. ke-21, Edisi Revisi, hlm. 327.
mengkonfirmasi dengan informan lain, menganalisis kasus negatif, menggunakan bahan referensi dan mengadakan pengecekan anggota (member check). Agar penelitian ini memiliki kemiripan atau keteralihan (transferability) sebagai kemungkinan terhadap situasi-situasi yang berbeda, maka penulis berusaha melakukan uraian rinci (thick description). Untuk mengukur kebergantungan (dependability) penelitian ini didasarkan pada alat ukur yang digunakan. Karena penelitian ini termasuk penelitian kualitatif maka alat ukur yang digunakan adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu teknik observasi dan wawancara mendalam digunakan untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin dan mengungkap persoalan yang ingin diperoleh jawaban-jawabannya sehingga desain penelitiannya terus berkembang. Metode auditing yaitu pemeriksaan data yang sudah terpolakan merupakan cara yang digunakan untuk mengukur kebergantungan. Agar penelitian ini memperoleh kepastian (confimability), penulis sebagai peneliti akan berusaha mengungkapkan temuan-temuan dengan penulisan ilmiah dan mengkonfirmasi hasil temuan data tersebut dengan pembimbing atau tulisan orang lain. Walaupun penulis memiliki pengalaman subjektif, tetapi apabila pengalaman subjektif itu berdasarkan data-data yang diperoleh dari subyek penelitian maka pengalaman subjektif itu dapat dianggap objektif atau penelitian ini dapat dianggap memiliki kepastian.
6. Garis Besar Penulisan Laporan Hasil penelitian ini dilaporkan dalam bentuk skripsi sebagai bukti pertanggungjawaban penulis dalam kegiatan penelitian ilmiah. Adapun garis-garis besar penulisan laporan hasil penelitian itu diantaranya; Bab Pertama mengenai
Pendahuluan. Uraian dalam bab ini membahas tentang, latar belakang masalah, rumusan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran dan metodologi penelitian. Bab Kedua membahas tentang tinjauan teoritis mengenai agama dan sistem ritual. Di sini penulis menguraikan tentang agama dan ritual secara teoritis. Penulis juga menjelaskan agama Khonghucu, ritual dan Imlek secara umum. Bab Ketiga tentang pembahasan hasil penelitian. Di bab ini penulis mendeskripsikan dan menganalisis proses dan makna ritual perayaan Imlek. Bab keempat membahas tentang kesimpulan dan saran. Uraian dalam kesimpulan menjelaskan jawaban dari pertanyaan penelitian secara ringkas. Hal-hal yang diungkapkan dalam saran penelitian ini menyangkut hal-hal yang perlu dilakukan oleh peneliti lain dalam penelitian selanjutnya yang belum ditemukan oleh penulis dalam penelitian ini. Selain itu dalam saran penelitian ini penulis mengungkapkan pula beberapa komentar terhadap teori-teori yang digunakan, baik mendukung maupun mengkritiknya berdasarkan fenomena yang ditemukan penulis di lapangan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS AGAMA DAN SISTEM RITUAL
Kesadaran spiritual manusia dapat diwujudkan dengan suatu kegiatan yang dianggap suci dan penting. Ungkapan kesadaran spiritual yang berbentuk perilaku tersebut dapat berupa ritual suci sebagai bagian dari unsur keagamaan. Dengan demikian agama menjadi hal penting dalam memenuhi kebutuhan spiritual manusia. Dalam bab ini secara teoritis terdapat dua hal pokok yaitu deskripsi mengenai agama, dan sistem ritual.Hal yang menyangkut deskripsi agama yaitu pengertian agama, unsur agama, dan fungsi agama, sedangkan hal yang berkaitan dengan sistem ritual yaitu unsur-unsur ritual dan fungsi ritual. Sesuai dengan
pembahasan masalah penelitian, di bab ini penulis mendeskripsikan pula agama Khonghucu dan ritual keagamaannya secara teoritis. A. Pengertian Agama Kata “Agama” terdiri dari dua suku kata yaitu hurup “a” yang berarti tidak, dan “gama” berarti kacau atau berantakan. Istilah agama berasal dari bahasa sangsekerta yang pengertiannya menunjukan adanya kepercayaan manusia berdasarkan wahyu Tuhan. Agama mengandung arti hidup yang sangat kekal bagi kehidupan manusia.21 Jadi secara sederhana arti kata agama itu adalah tidak kacau atau tidak berantakan. Dengan kata lain arti kata agama itu adalah teratur atau peraturan.22 Pada umumnya di Indonesia digunakan istilah „agama‟ yang sama dengan artinya dengan istilah asing „religie‟ atau „godsdienst‟ (Belanda) atau „religion‟ (Inggris).
Secara istilah kata “agama” memiliki bermacam-macam pengertian. Menurut seorang ahli agama bahwa terdapat 50 definisi agama yang telah dikumpulkan, dan beberapa mahasiswa Fakultas Ushuluddin dari sebuah perguruan tinggi telah berhasil mengumpulkan 98 definisi agama.23 Dengan demikian definisi agama itu berjumlah banyak. Penulis di bab ini hanya menunjukkan beberapa definisi dan fungsi agama menurut beberapa ahli. Untuk memahami istilah agama, sebelumnya perlu juga diketahui bahwa terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan kata agama dari bahasa Asing yaitu kata “relegere”, “religion, “religie” atau “religi” dan “din”. Arti kata “relegere” adalah mengumpulkan dan membaca. Agama memang 21
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama; Bagian I, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandar Lampung, 1993, hlm. 16. 22 Moenawar Chalil, Definisi dan Sendi Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm.19. 23 Djam‟anuri. (editor), Agama Kita Persfektif Sejarah Agama-Agama Sebuah Pengantar Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta, 2000, cet. ke-1, hlm. 27.
merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam Kitab Suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata “religere” yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia.24 Kata “religie” berasal dari bahasa Latin. Sedangkan istilah “religi” berasal dari bahasa Belanda dan kata “religion” berasal dari bahasa Inggris.25 Endang Saipudin Anshari yang dikenal sebagai cendikiawan Muslim tahun 1980 -an menjelaskan, Agama, religi dan dien adalah suatu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia, dan suatu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya yang mutlak itu, serta sistem norma (tata kaidah) yang menyatakan hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaktub.26
Di dalam bahasa Inggeris istilah agama itu disebut “religion” yang berarti agama, sedang „religious‟ berarti bersifat keagamaan. Dalam bahasa Arab disebut “din” dengan memanjangkan “I”. Atau sempurnanya disebut “ad-Dien”.27 Dengan melihat pemahaman agama di atas, penulis menemukan tiga peristilahan yaitu “agama”, “religi” dan “ad-Dien”. Menurut Endang Saifudin Anshari bahwa dalam arti teknis dan terminologis ketiga istilah tersebut berinti makna yang sama, walaupun masing-masing mempunyai arti etimologis dan sejarahnya sendiri.28 Dengan demikian, walaupun yang berbeda itu hanya latar belakang sejarahnya, namun tentu saja dari perbedaan itu dapat menimbulkan 24
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta, 1984, jilid ke-1, hlm. 10. 25 Endang Saifudin, Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama , Bina Ilmu, Surabaya, 1982, hlm. 124 26 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pustaka, Bandung, 1983), hlm, 9. 27 ibid. 28 ibid.
konsekuensi-konsekuensi yang berbeda pula dari masing-masing peristilahan tersebut. Perkataan kata “ad-Dien” berasal dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur‟an yang berarti “millah”, “madzhab” dan “tadbier”. Muhammad Adnan pun menerjemahkan kata “ad-Dien” itu adalah asy-syari‟ah, ath-thoriqoh dan almillah yang dapat disaring dalam perkataan peraturan dari Allah swt.29 Lebih jelas Harun Nasution menjelaskan kata “din” bahwa dalam bahasa Semit kata itu berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata itu mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.30 Secara ilmu Sharaf (tata bahasa Arab) kata “dien” itu termasuk masdar dari kata kerja daana- yadinu. Secara istilah, kata itu memiliki arti bermacam-macam diantaranya, cara atau adat kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat atau patuh, menunggalkan Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiyamat, nasihat, dan agama.31 Tetapi secara umum kata “din” itu diartikan dengan undang-undang atau peraturan Tuhan yang mesti ditaati dan dipatuhi oleh manusia. Di dalam Al-Qur‟an pun kata “din” memiliki persamaan dengan kata-kata lainnya diantaranya, kata shirath (QS. al-Fatihah: 5), hukum (QS. Yusuf: 76), millah (QS. Al-an‟am:156), sabil (QS.An-Nahl: 125), al-Ibadah (QS. Al-Araf: 29). Secara singkat Harun Nasution menjelaskan bahwa intisari dari pengertian istilah-istilah yang berkaitan dengan agama itu adalah ikatan.32 Menurut Harun,
29
Muhammad Adnan, Tuntutan Iman dan Islam, Jakarta, 1970, hlm.9. Harun Nasution, hlm. 9 31 Moenawar Chalil, hlm. 13. 32 Harun Nasution, hlm. 10. 30
agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya sangat dipengaruhi oleh ikatan tersebut, karena ikatan itu bersumber dari suatu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia dan kekuatan itu bersifat gaib yang tak dapat dipahami dengan pancaindera manusia. Mungkin ikatan itu cenderung dipahami secara rasional dan keyakinan. Para ahli agama lain menjelaskan mengenai pengertian agama, termasuk para sarjana agama. Hasbi Ash-shiddieqy mengungkapkan bahwa agama adalah suatu kumpulan peraturan yang ditetapkan Allah untuk menarik dan menuntun para umat yang berakal kuat dan patuh akan kebajikan, supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia, kejayaan dan kesentosaan di akhirat, negeri yang abadi mengecap kelezatan yang tak ada tolok bandingannya serta kekal selamalamanya.33 Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdo‟a, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. 34 Asal keyakinan keagamaan itu berpijak pada sesuatu kodrat kejiwaan, yaitu keyakinan kuat atau rapuh kelanjutan hidup sesuatu agama itu tergantung pada
33
Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam I, Bulan Bintang, Jakarta, 1964, hlm. 17. Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakara, 2005, hlm 1. 34
masalah tentang berapa dalam dan berapa jauh keyakinan keagamaan itu meresap pada jiwa setiap penganutnya. Kalangan agamawan berpendapat bahwa agama itu berasal dari kodrat maha pencipta, yang memberikan bimbingan kepada manusia pertama mewariskan pada keturunannya, dan kodrat penciptaan itu melahirkan pembaharuan agama. 35 Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting, karena saling mempengaruhi antara lembaga budaya dalam tabiat manusia serta sistem nilai, moral dan etika. Agama itu mempengaruhi organisasi kekeluargaan, perkawinan, ekonomi, hukum-hukum dan politik agama tidak terlepas dari suatu intitusi kebudayaan yang menyajikan sesuatu lapangan ekspresi dan implikasi begitu halus agama tersebut.
36
Menempatkan tradisi keagamaan dalam bentuk
kontekstual dalam dinamika perubahan sosial adalah keniscahayaan yang harus disikapi dengan cara menciptakan wajah baru dari ajaran agama. Dengan demikian agama bukanlah sekedar wacana yang memiliki psikologi dan spiritual semata, melainkan meliputi banyak aspek kehidupan.37 Selain itu Ahmad Abdullah Al-Masdoesi menjelaskan pengertian agama dengan bahasa Inggeris, Religion is code of life revealed to mankind from time ever since the appereance of man in this is globe, and is embodied in its final perfect from in the Holly Qur‟an which revealed by God to His last apostle Muhammad Ibn Adb Allah (pease be upon him), a code of life certain clear and complete guidance concerning both the spiritual and the material aspects of life.38
35
Zakiah Drajat, Perbandingan Agama I, Bumi Aksara. Jakarta, 1991, hlm. 1. Joesoef Soy‟eb, Agama-agama Besar di Dunia, PT. Al-Husna Zikra, Jakarta, 1996, hlm. 16. 37 Amin Abdullah, Studi Agama, Pustaka Pelajar Offset, 2000, hlm. 11. 38 Ahmad Abdullah Al-Masdoosi, Living Religion of The world , Karchi, 1962, p. 7-8. 36
Mukti Ali yang dikenal sebagai ahli Ilmu Perbandingan Agama Indonesia memahami agama sebagai kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum yang diwahyukan kepata utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Hampir mirip dengan Mukti Ali, Sidi Gazalba mengartikan agama sebagai kepercayaan dan hubungan manusia dengan yang kudus, dihayati sebagai hakikat yang baik, hubungan itu menyatakan diri dalam bentuk serta sistem dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.39 Pengertian
agama
di
dalam
kamus
pun
berbeda-beda.
W.J.S.
Poerwadarminta menuliskan bahwa agama merupakan segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa dan sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.
40
Agama menjadi
sebuah pengakuan yang sangat sakral, dalam agama adanya suatu bentuk yang suci, manusia akan insaf dengan adanya suatu agama yang memiliki kekuasaan di atas segalanya. Kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau khalik segala yang ada. Manusia memiliki bayangan cara hidup yang lurus.41 Di dalam kamus The Holy Intermediate Dictionary of American English, sebagaimana dikutif oleh Nasruddin Razak bahwa religi dijelaskan sebagai Belief in and worship of God or the super natural.42 Artinya kepercayaan dan penyembahan kepada Tuhan atau kepada Dzat yang Maha Mengatasi. Kamus lainnya yaitu kamus The Advanced learning Dictionary of Current English
39
Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka Antara, Jakarta, 1962), hlm. 22. 40 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia ,Balai Pustaka, Jakarta, 1985), cet. ke-8, hlm. 18. 41 Hilman Hadikusuma, Antropologi.., hlm. 123. 42 Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al- Ma‟arif, Bandung, 1981, hlm. 60.
tercatat bahwa religi adalah Belief in existence of supernatural rulling power the creator and controller of the continues to exist after the death of body.
43
Artinya
agama merupakan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kodrat yang maha mengatasi, menguasai, menciptakan dan mengawasi terus menerus keberadaan manusia setelah mati. Dengan menggunakan disiplin psikologi, Hidayat Nataatmaja menjelaskan arti agama sebagai pedoman sempurna agar manusia mampu mengembangkan fitrahnya secara utuh.44 Ogburn dan Nimhoff yang dikenal sebagai ahli psikologi menjelaskan bahwa agama adalah suatu pola kepercayaan, sikap-sikap emosional dan praktek-praktek yang dipakai oleh sekelompok manusia untuk mencoba memecahkan soal-soal “ultimate” dalam kehidupan manusia.45 Pemahaman tersebut di atas menunjukkan kemiripan dengan pemahaman agama menurut Immanuel Kant. Pernyataan Immanuel Kant sebagaimana dikutif oleh Hasanudin bahwa agama adalah perasaan kejiwaan manusia yang berdasar dan bersumber pada Tuhan.46 Hal yang mirip juga diungkapkan oleh William James bahwa agama merupakan perasaan dan pengalaman batin insan secara individual yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan.47 Selain itu dijelaskan pula bahwa agama merupakan suatu kata yang dapat digunakan untuk menjelaskan emosi dan perasaan yang dianggap penting.
43
Ibid., hlm, 61. Hidayat Nataatmaja, Karsa Menegakkan Jiwa Agama, Iqro, Bandung, 1990, hlm. 129. 45 Rasyidi, Empat Kulia Agama Islam di Perguruan Tinggi, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, Cet. ke2, hlm. 50. 46 A.H. Hasanuddin, Cakrawala Kulia Agama, Al-Ikhlas, Surabaya, 1982, hlm, 81. 47 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 30. 44
Seorang ahli ilmu jiwa agama, Zakiah pun mengungkapkan pendapat ahli ilmu agama lainnya seperti Frazer, James Martineau, dan Mattegart. 48 Frazer mengungkapkan bahwa agama adalah kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia,
yaitu
kekuasaan
yang
disangka
oleh
manusia
untuk
dapat
mengendalikan, menahan atau menekan kelancaran alam dan kehidupan manusia. Martineau menjelaskan bahwa agama adalah kepercayaan kepada yang hidup abadi, di mana diakui bahwa dengan fikiran dan kemauan Tuhan, alam ini diatur dan kelakuan manusia diperbuat. Sedangkan Mategart berpendapat bahwa agama adalah suatu keadaan jiwa atau lebih tepat keadaan emosi yang berdasarkan kepercayaan akal kerahasiaan diri kita dengan alam semesta. Thoules menambahkan bahwa ketiga definisi tersebut terdapat dalam pandangan ilmu jiwa umum, karena perasaan itu dapat dibagi tiga segi yakni, tanggapan, emosi dan dorongan. Seorang tokoh lainnya yang berhaluan atheis seperti Karl Mark menyatakan bahwa agama atau religion is the sigh of the pressed creature, the heart of heart less world, just as at is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.49Mark memahami bahwa agama adalah keluh kesah makhluk tertindas, hati nurani dari dunia yang tidak berhati, tepat sebagaimana ia adalah jiwa dari keadaan yang tidak berjiwa. Ia adalah candu masyarakat. Pendapat Mark ini mungkin melihat realitas agama menunjukkan peran yang melegitimasi masyarakat tertindas dalam memasuki dunia modern. Agama yang dilihatnya terutama agama-agama di Erofa. 48 49
Ibid., hlm. 36. Karl Mark and F. Engels, On Religion, United, Moskow, 1989. p. 42.
Tokoh agama lainnya yaitu Goulson menyatakan bahwa agama adalah hasil dari pengaruh hubungan khusus antara manusia dengan lingkungannya.50 Begitu pun menurut Khan, agama adalah hasil produksi alam bawah sadar manusia dan bukan merupakan hal yang mempunyai wujud dalam alam nyata.51 Dari pemahaman agama di atas menunjukkan bahwa agama sebagai refleksi dari keyakinan tidak hanya terbatas pada ajaran dan doktrin saja, tetapi juga refleksi dalam tindakan kolektivitas umat. Hal itu dipertegas oleh penjelasan Koentjaraningrat bahwa refleksi cara beragama tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga merefleksi dalam perwujudan tindakan kolektivitas penganutnya atau dimensi religiusitas yang terangkum dalam empat unsur. Pertama, emosi keagamaan, yaitu aspek keagamaan yang mendasar, yang ada dalam lubuk hati manusia, yaitu menyebabkan manusia beragama menjadi religius atau tidak religius. Kedua, sistem kepercayaan, yang mengandung satu sistem keyakinan tentang adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematiaan. Ketiga, sistem upacara atau Ritual keagamaan, yang dilakukan oleh para penganutnya, yaitu sistem kepercayaan yang bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan atau realitas mutlak. Keempat, umat atau kelompok keagamaan, yaitu kesatuan-kesatuan sosial yang menganut suatu sistem kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.52 Selain itu unsur-unsur agama dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam agama adalah kekuatan gaib, keyakinan manusia, respon yang bersifat emosionil dari manusia dan paham adanya yang kudus (sacred) dan suci.53 B.
50
Fungsi Agama
C.A. Goulson, Science and Christian Belief, United, Moskow, 1970, p. 4. Waheeduddin Khan, Islam Menjawab Tantangan Zaman, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 6. 52 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, UI-Press, Jakarta, 1987, hlm. 81. 53 Harun Nasution, Islam …, hlm. 11. 51
Secara fungsional, agama menjadi sangat penting sehubungan dengan unsurunsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan dan keterasingan yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Dalam hal ini fungsi agama ialah menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia, dalam arti dimana frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia dalam mempertahankan moralnya.54 Agama bisa dikatakan suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, untuk memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri supaya mencapai kebaikan kelak hidup di dunia dan akhirat.55 Bila agama dipandang sebagai pengalaman yang suci manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan alam, tanpak sejumlah fungsi dalam kehidupan manusia baik dalam kehidupan pribadi ataupun kehidupan sosial fungsi-fungsi itu bersifat penjelas dan jawaban atas pertanyaan yang perinsipil yang tampaknya telah mengusik hati manusia sejak zaman purba, agama bersifat sebagai penetram hati, pengasah tradisi, pemandu sosial dan juga sebagai pemandu budaya.56 Menurut Robet. B. Taylor bahwa sifat agama ada lima fungsi dalam kehidupan manusia dan bermasyarakat, fungsi yang paling penting adalah memberi penjelasan (expslanation). Agamalah yang menjelaskan keberadaan manusia. Fungsi kedua, adalah 54
Thomas E. O‟dea, Sosiologi Agama; Suatu Pengenalan Awal, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hlm. 25-26. 55 Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama, PT. Raja Grafindo Presada, Jakarta, 1996, hlm 3. 56 H. A. Hidayat, Pemikir Islam (Tentang Teologi dan Filsafat), CV. Pustaka Setia, Bandung 2006, hlm. 23.
memberi ketentraman hati kepada manusia, (reassurance) sebab, manusia yang berada dalam keadaan keluh kesah maka penyembuhan dicari yang ghaib, yaitu melalui agama. Fungsi ketiga, menjelaskan „validation‟ terhadap kebiasaan dan nilai dimasyarakat, agama sebagai tumpangan kebudayaan untuk melaksanakan ritual yang sudah terjadi halhal itu ditopang, disahkan atau diberi sanksi oleh kepercayaan agama. Fungsi agama yang keempat sebagai pengikat sosial (social integration), agama mengikat masyarakat untuk kerjasama dan perasaan memiliki yang sama, hal itu terutama berlaku pada kebudayaan yang mempunyai seperangkat kepercayaan dan praktik agama yang sama bagi seluruh anggota.57
Agama dapat dipahami sebagai fakta sosial, karena ia menyangkut nilai dan norma yang menyangkut kepercayaan serta berbagai perakteknya di masyarakat. Agama dalam konteks ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat dimana manusia memiliki berbagai catatan termasuk yang biasa diketengahkan dan di tafsirkan oleh para ahli arkeologi. Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah-satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Akan tetapi masalah agama berbeda dengan masalah pemerintahan dan hukum.58 Agama melukiskan sebagai kebutuhan dasar dan untuk membela diri terhadap segala kekacauan yang mengancam manusia. Hampir seluruh masyarakat mempunyai agama. Tidak ada bangsa bagaimanapun primitifnya, yang tidak memiliki agama. Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku kehidupan individu dan kelompok, juga memberi harapan kelanggengan hidup
57 58
Ibid, hlm. 26-27. Thomas F. O‟dea, Sosiologi Agama.., hlm.1.
sesudah mati dan mengingkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan untuk mencapai kemandirian spiritual.59 Manusia pada dasarnya percaya akan adanya kekuatan ghaib, yang sangat luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap individu atau kelompok sehingga menimbulkan sikap mental, rasa takut, pasrah yang akhirnya akan menimbulkan perilaku berdo‟a, memuja dan bersandar pada agama.60 Dalam agama terdapat peraturan hukum yang harus dipahami oleh manusia. Agama menguasai seseorang hingga membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan cara menjalankan ajaran-ajaran agama untuk mencoba
mencari
keselamatan.61
Dalam
kehidupannya
manusia
mengalami
ketidakpastian, yaitu kematian. Selain tidak bisa diramalkan, kematian juga berada di luar jangkauan kekuatan manusia. Sekalipun mengetahui bahwa kematian merupakan kepastian, namun tidak ada seorang-pun yang mengetahui kapan kematian itu akan terjadi, hal ini membuat manusia kecewa atau cemas. Dalam menghadapi kekecewaan tersebut manusia tidak berdaya, akhirnya manusia menyadarkan diri pada agama.62 Dengan demikian, agama selain membawa aturan-aturan dan hukum-hukum, juga berfungsi membantu manusia dalam menghadapi masalah hidupnya.
Dengan berdasarkan pengalaman sehari-hari, dapat dipastikan bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini, maupun sesudah mati. Jaminan untuk itu mereka temukan dalam agama. Terutama karena agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk mencapai kebahagiaan yang pencapainnya mengatasi kemampuan manusia secara 59
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, PT. Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm 119. Ibid., hlm 120. 61 Harun Nasuton, Islam ..., 2008, hlm 9. 62 Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm 77. 60
mutlak. Hanya manusia agama (homo religious) dapat mencapai titik itu, entah itu manusia yang hidup dalam masyarakat primitif atau masyarakata modern.63 Dengan demikian, agama yang telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime, sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Akan tetapi, agama pula telah di tuduh sebagai penghambat kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak toleran, pengacuhan, tahayul (kesia-siaan).64 Joachim Wach menegaskan bahwa setiap manusia memiliki agama atas pengalaman keagamaannya itu sendiri, yang membuat dirinya merasa bermakna, di tengah masyarakatnya. Pengalaman keagamaan adalah suatu perasaan yang didapat manusia pada saat ia berhubungan atau merasa hubungan dengan Yang Maha Mutlak.65 C. Klasifikasi Agama Agama dapat diklasifikasikan dalam berbagai kelompok berdasarkan kriteria tertentu. Para ahli agama mengelompokkan agama-agama itu menjadi agama-agama besar – agama kecil, agama wahyu-agama alam, agama konvensional - agama modern, agama tinggi – agama rendah dan sebagainya. 66 Selain itu ada pula agama dikelompokkan berdasarkan sifatnya yaitu agama primitif dan agama yang telah meninggalkan fase keprimitifan.67 Agama yang termasuk agama Primitif diantaranya dinamisme, animism dan politeisme. Sedangkan menurut Wach,
63
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1984, Hlm 39-40. Adeng Muhtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2005, hlm 43. 65 Joachim Wach, Ilmu …, hlm. 34. 66 Djam‟anuri, hlm. 27. 67 Harun Nasution, hlm.11 64
agama dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian yaitu agama Etnis dan agama universal.68Agama etnis menekankan pada pelaksanaan perbuatan itu sendiri. Sedangkan agama universal memberikan penialian utama pada tujuan perorangan sebagai ukuran dari kemurnian iman. Sedangkan Djam‟anuri memilih pengklasifikasian berdasarkan bukan wahyu dan wahyu, atau agama bukan semit dan semit.69 Kelompok agama yang termasuk bukan wahyu atau bukan semit terbagi empat berdasarkan asal usul bangsanya diantaranya, Bangsa Mongolis melahirkan Konfusianisme, Taoisme, Shintoisme. Bangsa Arya memunculkan Hinduisme, Jainisme Sikhisme dan Zoroastrianisme. Bangsa Missellaneous melahirkan
Buddhisme. Bangsa
Paganisme melahirkan
berbagai agama
yang
dikelompokkan dalam paganisme. Sedangkan kelompok agama yang termasuk agama wahyu atau agama semit diantaranya Islam, Kristen dan Yudaisme. D. Sistem Ritual Keagamaan
Fenomena agama yang terdapat pada etnis manusia adalah gejala yang bersifat evolusi. Keberagamaan manusia tidaklah terlepas dari zaman dan kebudayaan, pada kebudayaan kuno, keberagamaan dianggap sesuatu yang biasa, sepontan dan vital. Kehidupan manusia sendirilah yang membuka pintu ke-arah religiusitas. Lain halnya dengan kebudayaan modern. Terutama di Barat, keberagamaan tidak dipandang lagi sesuatu yang ada dengan sendirinya, keberagamaan di Barat dan khususnya pengalaman keagamaan telah menjadi soal dengan adanya proses rasionalisasi.70 Segala sesuatu harus dapat dibuktikan oleh rasional harus bersifat logis. 1. 68
Pengertian Ritual
Joachim Wach, Ilmu… hlm.155. Djam‟anuri, hlm. 28. 70 Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Bergama, Kanisisus, Yogyakarta, 1990, hlm. 21. 69
Ritual merupakan bentuk pengalaman keagamaan yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku yang nyata. Menurut Von Hegel, tingkah laku agama yang utama dan pertama adalah pemujaan.71 Underhill mendefinisikan pemujaan yaitu hormat yang mendalam yang dikembangkan menuju titik tertinggi dan merupakan suasana fikiran yang kompleks yang tersusun dari rasa kagum, takut, dan cinta.72 Menurut Kamus Bahasa Indonesia, ritual adalah sesuatu yang berkenaan dengan ritus atau hal ihwal ritus. Sedangkan ritus sendiri bermakna tata cara dalam upacara keagamaan.73 Lebih jelas, disebutkan dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia, pengertian ritus atau ritual itu sebagai berikut: Acara keagamaan yang memiliki tata upacara tertentu. Ritus yang paling lazim adalah do‟a. ritus juga bisa berarti liturgi, yakni perilaku ibadah yang ditampilkan pemeluk-pemeluk agama. Tiap agama mempunyai liturgi masing-masing dan beberapa sekte agama juga mengembangkan liturginya sendiri. Liturgi bisa merupakan kombinasi kata-kata do‟a, nyanyian, dan gerakan saat melakukan ibadah.74 Ahli sosiologi agama bernama Elizabeth K. Nottingham menjelaskan bahwa ritual adalah bagian dari tingkah laku manusia dalam praktik keagamaan yang mencangkup tingkah laku seperti berkorban, bersemedi berdo‟a, memuja, mengadakan pesta, menari dan memebaca kitab suci.75 Lebih jelas lagi Notingham memaknai ritual sebagai ibadah. Ibadah merupakan bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati. Misalnya memakai pakian yang khusus pada agama tertentu, mengorbankan harta dan nyawa berdasarkan ajaran agama, mengucapkan ucapan
formal tertentu atau do‟a
bersemedi dan sebagainya.76
71
Joachim Wach, hlm. 147. Ibid. hlm. 152, 73 Risa Agustin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Serba Jaya, Cetakan Baru, Surabaya, hlm. 536. 74 Anonimous, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 229. 75 Elizabeth K. Nottingham, Agama …hlm. 15. 76 Ibid 72
Ritual keagamaan bisa diambil dari kata rites yakni kata sifat (adjective), dan kata benda. Sebagai kata sifat, ritual adalah segala sifat yang dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti ritual dances, ritual laws, sedangkan sebagai kata benda adalah segala bersifat upacara keagamaan. Dalam antropologi agama, upacara ritual sering diartikan ritus, ritus dilakukan untuk mendapatkan keberkahan, rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan. Seperti upacara sakral ketika turun ke sawah untuk mencegah badai, ada upacara mengobati penyakit (rites of healing); ada upacara karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manuisa, seperti pernikahan, mulai kehamilan, kelahiran (rites of passage ciclyc rites); dan ada upacara berupa kebalikan dari kebiasaan kehidupan harian (rites of reversal) seperti puasa pada bulan atau hari tertentu. Memakai pakian tidak berjahit ketika berihram haji atau umrah adalah kebalikan dari ketika tidak berihram.77 Ahli sosiologi agama lainnya adalah Thomas F.O‟dea mendefinisikan ritual keagamaan sebagai transformasi simbolis dari pengalaman-pengalaman yang tidak dapat diungkapkan dengan tepat oleh media lain. Karena berasal dari kebutuhan batin manusia, maka ia merupakan kegiatan yang sepontan dalam artian betapapun peliknya ia lahir tanpa niat dan tanpa tujuan yang disadarinya. Menurut Thomas F. O‟dea, Ritual keagamaan menunjukan formalisasi prilaku manusia ketika berhadapan dengan objek suci.78 Jadi Ritual keagamaan merupakan aturan dalam bertingkah laku dari suatu agama yang memberikan pedoman pada seseorang atau manusia untuk menempatkan dirinya dalam keadaan hadir pada hal-hal yang sakral. Menurut Wach, terdapat dua bentuk pengalaman kagamaan yang diwujudkan dalam tingkah laku yang nyata atau ritual, yaitu peribadatan dan pelayanan.79 Keduanya saling mempengaruhi. Ketaatan dapat juga disebut kultus. Kultus ini dipahami sebagai suatu 77
Bustanuddin Agus, Agama ..., hlm. 96-97. Thomas F. O‟dea, hlm.76-77. 79 Joachim Wach. hlm.149. 78
tanggapan total atas wujud total yang bersifat mendalam, integral, realitas mutlak dalam bentuk peribadatan. Realitas Mutlak ini bersifat sakral dan disembah, dipuja, dipuji oleh manusia yang memahami realitas mutlak tersebut. Karena realitas mutlak ini dipahami sebagai Tuhan, maka perilaki keagamaan ini ditujukan kepada Tuhan dengan berbagai bentuk ritualnya. Perbuatan keagamaan ini terjadi dalam ruang dan waktu dan dalam suatu konteks yang bentuknya beranekaragam.
Secara spesifik, ritual keagamaan adalah segala tindakan manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada yang gaib dengan tujuan mengharap kebahagiaan dunia maupun kehidupan setelah mati yang didasarkan atas kepercayaan terhadap agama yang dianut dan diyakininya dengan sepenuh hati.
2.
Unsur Ritual Keagamaan
Ritual keagamaan memiliki unsur-unsur tertentu yang membentuk keagamaan. Setiap keagamaan mempunyai ciri tertentu yang mungkin berbeda dari agama yang lain, namun tentu ada unsur-unsur ritual dari masing-masing agama yang memiliki kesamaan. Secara antropologi, sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yaitu, tempat upacara keagamaan, waktu upacara keagamaan, benda-benda dan alat-alat upacara, dan orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Sedangkan unsur upacara itu sendiri menurut Koentjaraningrat ada sebelas unsur, yaitu bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa, menari tarian pawai, menyanyi nyanyian suci, berprosesi atau berpawai, memainkan seni drama suci, berpuasa, intoksikasi atau
mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan trance, mabuk, bertapa dan bersemedi. 3.
Tujuan dan Fungsi Ritual Keagamaan
Upacara keagamaan dilakukan dengan tujuan sebagai rasa hormat dan untuk zat realitas mutlak yang diimajinasikan atau digambarkan dan mereka sebut sebagai roh nenek moyang, makhluk halus atau para dewa agar permohonan dan keinginan yang diharapkan oleh mereka dapat terlaksana serta mereka dapat terlapas dari kesulitan. Kesulitan dan ketidak beruntungan itu dianggap sebagian penganut agama sebagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka di dunia ini. Joachim Wach juga mengatakan bahwa pengorbanan adalah bentuk lahiriyah dari bentuk batiniyah antara dewa (Tuhan) dengan manusia, karena melalui semangat pengorbananlah seseorang akan berkembang secara spiritual. 80 Dengan demikian, pengorbanan atas hal-hal yang tidak terlihat adalah simbol dalam pengertian ganda, yaitu mewakili orang yang memberikan dalam hati dan melambangkan penyerahan diri secara pasrah kepada Tuhan. Ritual korban ini terdapat juga dalam agama wahyu, seperti dalam agama Islam, ritual yang berbentuk memberikan korban merupakan bukti nyata ketundukan dan kepatuhan terhadap ajaran agama. Selain itu, ritual atau ibadah korban tidak hanya memiliki dimensi religius, juga memiliki dimensi sosial. Esensi pelaksanaan ibadah korban adalah membangun garis vertikal dengan Tuhannya sekaligus membangun garis horizontal dengan manusia sebagai sarana hubungan sesama manusia. Ritual yang menggunakan mantra-mantra adalah
80
Joachim Wach, hlm. 163.
kalimat-kalimat yang digunakan untuk memuji, menunjang, menghormati, memanggil, memohon dan mendekatkan diri kepeda suatu zat yang luhur, maka mantra identik dengan do‟a. Manusia dan agama tidak bisa dilepaskan, kalau manusia ingin jadi manusia, ingin sehat batinnya, ingin tentram hidupnya, ingin bahagia dunia dan kehidupan setelah mati. Agama dipahami manusia di dalam kehidupan nyata. Maka dari itu agama mempunyai beberapa fungsi dalam kehidupan manuasia. Pertama, agama sebagai ciri khas manusia, manusia mempunyai fitrah untuk beragama. Menurut Sayid Sabiq, dalam bukunya LaAqaidul Islam, bahwa naluri keagamaan, merupakan satu-satunya pemisah antara manusia dengan mahluk lainnya. Kedua, agama sebagai makna rohani, rohani dari Tuhan. Manusia sedikit tahu tentang masalah rohani, akan tetapi rohani harus dipupuk dengan agama. Ketiga, agama sebagai penetram batin. Rohani hanya akan tentram kalau sudah beriman yaitu beragama dan mengingat Tuhan. Keempat, agama sebagai sumber kebahagiaan. Kelima, agama sebagai sumber kebenaran. Nilai-nilai kebenaran tersebut didukung pemahaman Endang Saefudin, dalam filsafat agama bahwa manusia adalah hewan berfikir, berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencara jawaban adalah mencari kebenaran tentang Tuhan maka agamalah yang menjadi jawabannya.81
Nico Syukur Dister mengungkapkan bahwa pengalaman adalah pengetahuan yang timbul bukan pertama-tama dari pikiran melainkan dari pergaulan praktis dengan dunia. Pergaulan tersebut bersifat langsung, intuitif dan efektif.82 Istilah dunia itu mencakup baik orang maupun benda. Salah satu ciri khas pengetahuan semacam itu ialah tekanan pada unsur pasif dalam mengatasi sesuatu, orang 81 82
Syahminan Zaini, Pedoman Akidah Islam, Pustaka Darul Ilmi, Bekasi, 2006, hlm. 1. Nico Syukur, hlm. 21.
pertama-tama merasa kena ketika disentuh, lebih daripada secara aktif mengajarkan atau mengolah. Hal itu, sebagaimana terjadi dalam pemikiran oleh keindrawian, afeksi dan emosi merupakan unsur yang memainkan peranan besar dalam pengalaman keagamaan. Selain itu juga, bahwa dalam rangka mencapai kedekatan dengan realitas mutlak atau realitas tertinggi yang tak terjangkau oleh indera manusia, maka manusia melakukan berbagai praktik ritual keagamaan untuk mendekatkan diri dan berhubungan baik dengan Realitas Tertinggi atau Tuhan dengan melakukan berbagai ibadah, pemujaan, berkorban, bersemedi, berdo‟a dan lain-lainnya. Jadi Ritual keagamaan dapat dipahami merupakan sebagai kegiatan empiris manusia dalam mengungkapkan kepercayaan dan keyakinanya yang diteransendensikan melalui simbol-simbol keagamaan.83 Dalam Ritual keagamaan adanya pengungkapan sikap atau prilaku yang tepat untuk menanamkan sikap ke dalam kesadaran diri yang tertinggi dan juga merupakan pengungkapan suatu perasaan semua orang yang melibatkan diri dalam ritual keagamaan tersebut. Jadi bisa dikatakan bahwa ritual keagamaan itu menunjukan prilaku hubungan ketika berhadapan dengan objek suci.84 Antara kehidupan manusia sehari-hari ada hubungan yang terjalin dengan dunia ghaib. Sehingga dalam menghadapi kebutuhan sehari-hari yang dianggap sulit membuat manusia memutuskan diri untuk memasuki pengalaman dengan dunia gaib.
83
Transenden berasal dari bahasa latin, transcendere. Dalam bahasa ingris: trasendent, artinya lebih tinggi, unggul, agung, melampaui. Di dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, transenden, di definisikan sebagai sesuatu di luar kesanggupan manusia yang luar biasa, menonjolkan hal-hal yang bersifat rohani, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama hlm. 611. Dalam kutipan Bustanuddin Agus, transcend, berarti melewati batas terangkat dari sesuatu yang nyata. Sedangkan transenden dalam antropologi agama pengalaman melewati atau terangkat dari pengalaman, akal dan kemampuan manusia biasa, pengalaman transenden adalah pengalaman religius, hlm. 108. 84 Thomas F. O‟Dea, hlm. 77.
Agama menjadi bagian penting dalam hidup manusia. Dalam hal ini, Harun Nasution menjelaskan tentang empat unsur penting dalam agama. Pertama, unsur kekuatan gaib atau objek suci. Manusia merasa dirinya lemah dan merasa butuh pada kekuatan gaib sebagai tempat meminta pertolongan. Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik tersebut dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan dari kekuatan gaib tersebut. Kedua, keyakinan manusia bahwa kesejahteraan di dunia ini, hidup di akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib. Ketiga, respons manusia yang bersifat emosional. Respons ini bisa mengambil bentuk perasaan takut seperti pada agama primitif atau perasaan cinta seperti yang terdapat dalam agama monoteisme. Lebih lanjut lagi respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan. Keempat, paham adanya yang kudus (sacred) atau suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk-bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.85 Tujuan hidup beragama dalam monoteisme ialah menyerahkan diri secara total kepada Tuhan Pencipta semesta alam dengan patuh terhadap perintah dan larangan-Nya, agar manusia mempunyai roh dan jiwa yang bersih dan budipekerti yang luhur. Manusia serupa inilah yang akan memperoleh kehidupan senang sekarang di dunia dan kebahagiaan abadi kelak di akherat.86 Dengan demikian, Ritual keagamaan mempunyai tujuan dan fungsi yang sangat penting. Penjelasan ritual tersebut di atas dapat dipahami bahwa Ritual keagamaan itu merupakan bagian dari aspek batiniah seseorang. Pertama, untuk mewujudkan optimisme manusia, mempertebal keyakinan terhadap realitas tertinggi dan menghilangkan rasa takut. Kedua, untuk melindungi individu dari rasa ragu dan bahaya dengan 85 86
Harun Nasution, hlm. 3. Ibid., hlm. 12.
mengantisipasi dan mengatasinya secara simbolis. Dengan cara ini, ritual keagamaan dapat menenangkan kecemasan yang akan dilahirkan oleh situasi tersebut pada orangorang yang tanpa pegangan hidup dan menghindari efek perusak akibat adanya kecemasan tersebut.87 Ketiga, untuk mempertahankan atau melestarikan kepercayaan keagamaan yang telah diyakininya dan merupakan pewarisan dari orang-orang terdahulu. Keempat, untuk mempertebal keyakinan terhadap adanya dunia yang gaib dan juga memberikan cara-cara pengungkapan emosi keagamaan secara simbolik.88 Kelima, untuk membawa manusia religius kedalam tempat yang suci, mensakralisasikan waktu dan menunjukan dalam konteks dimana tingkah laku sakral terjadi. Keenam, sebagai kontrol sosial, yaitu ritual keagamaan mengontrol perilaku dan kesejahteraan individu demi kepentingan dirinya sendiri. Hal ini semua dimaksudkan untuk mengontrol dengan cara konservatif terhadap perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai kelompok untuk melindungi komunitas secara keseluruhan. Dengan dasar fungsi ini, ritual tidak hanya pada aspek pribadi, tetapi aspek bersosial pun dilakukan, hal ini didasarkan agama yang melekat dalam diri manusia.89 Begitu juga Emile Durkhem mengungkapkan, upacara-upacara ritual dalam agama dan ibadah adalah untuk meningkatkan solidaritas, untuk menghilangkan perhatian kepada kepentingan individu. Masyarakat dalam melakukan ritual larut dalam kepentingan bersama. Terlihat menurut Emile Durkhem, menciptakan upacara ritual keagamaan yang mengandung makna kepada keutuhan masyarakat
atau solidaritas sosial. Adapun ibadah yang
dilakukan sendiri seperti do‟a, semedi, kebaktian, zikir, shalat tahajud memiliki makna memperkuat dengan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, supaya manusia mendapatkan kepuasan batin, ketabahan, harapan untuk meperbaiki kesalahan (dengan sering meminta
87
Thomas F. O‟dea, hlm.16-19. Elizabeth K. Nottingham, hlm. 16. 89 Brian Morris, Antropologi Agama, AK. Group, Yogyakarta, 2007, hlm 299. 88
ampun), adalah makna-makna terpenting dalam ibadah disamping itu berfungsi sebagai jujur dan tepat janji.90 E.
Agama Khonghucu
Sesuai dengan objek kajian penelitian, penulis menguraikan secara teoritis mengenai agama Khonghucu. Agama ini termasuk agama mongolisme atau agama Cina. Agama Khonghucu dikenal dalam dialek Hokian dengan istilah Ji Kauw atau Ru Jiao (Hua Yu) yang berarti agama yang mengajarkan kelembutan atau agama bagi kaum terpelajar. Agama ini sudah dikenal sejak 5000 tahun lalu atau 2500 tahun lebih awal dari usia Khonghucu sendiri. Konghucu (dialek Hokkian) atau Kongzi (dialek Hua Yu) dikenal dalam bahasa Latin dengan istilah Confucius. Dia diyakini sebagai nabi terakhir oleh penganut agama Khonghucu. Menurut sejarah dia lahir tanggal 27 bulan 8 tahun 0001 Imlek atau sekitar 551 sm, (enam abad sebelum masehi, berbeda dengan Nabi Muhammad yaitu enam abad setelah masehi). Menurut penganut Khonghucu, ajaran Khonghucu disebut Ru Jiao. Sedangkan sebutan Kong Fu Zi atau Confucianism diberikan oleh Maateo Ricci seorang misionaris Yesuit yang datang ke Cina pada abad ke-17.91 Di Indonesia untuk menyebut Khonghucu dikenal Kong Zi, sedangkan ajaran Khonghucu dikenal Agama Khonghucu, walaupun sebagian orang menyebut ajaran Khonghucu. Bukti kebesaran Kong zi atau Khonghucu, ditunjukkan oleh para tokoh agama Khonghucu dengan adanya sistim penanggalan Imlek yang dihitung sejak tahun kelahiran Kong zi. Walaupun penanggalan Imlek diciptakan pada zaman Huang 90
Bustanuddin Agus, hlm 102. M. Iksan Tanggok. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia. Jakarta, Pelita Kebajikan, 2005, hlm. 86. 91
Di pada tahun 2698 – 2598 sM, dan digunakan sejak Dinasti Xia pada tahun 2205-1766 sM. Penetapan tahun pertama ini dilakukan Kaisar Han Wu Di dari Dinasti Han pada tahun 104 sM. Menurut kepercayaan orang Khonghucu nabi pertama yang tercatat dalam sejarah Ru Jiao adalah Fu Xi. Dia hidup sekitar 30 abad sM. Dia dipercaya oleh penganut Khonghucu mendapat wahyu dan memuliakan Kitab Yi Jing atau Kitab Perubahan. Fu Xi memiliki istri bernama Nabi Nu Wa yang dipercaya menciptakan hukum perkawinan. Pada saat itu seorang anak tidak hanya dianggap sebagai anak ibu tetapi juga anak ayah. Di samping Nu Wa dalam kepercayaan Ru Jiao dikenal nabi perempuan lain seperti Lei Zu, Jiang Yuan dan Tai Ren. Sedangkan Nabi yang terkenal dikalangan para penganut Khonghucu diantaranya, Huang Di, Yao, Sun, Xia Yu, Wen, Zou gong atau Jidan dan terakhir Nabi Kongzi. Kitab Yi Jing dikenal penganut Khonghucu sampai sekarang. Kitab ini menurut mereka ditulis oleh Fu Xi dan disempurnakan oleh lima Nabi yang mendapat wahyu dalam tempo berlainan yaitu Fu Xi, Xia Yu, Wen, Zou Gong dan Kongzi. Dengan demikian kitab suci Agama Khonghucu sejak Yao (2357 – 2255 sM) atau sejak Fu Xi (30 abad sM) sampai sekarang mengalami perkembangan yang dinamis. Kitab suci yang termuda ditulis oleh cicit murid Kong zi yaitu Meng zi (wafat 289 sM). Isi Kitab ini menjelaskan dan meluruskan ajaran Kongzi yang waktu itu banyak diselewengkan. Menurut para penganut Khonghucu bahwa kitab yang diulis oleh orang-orang sebelum Kongzi dan kitab Chunqiujing (kitab atau catatan zaman Cun Ciu atau
musim Semi dan Musim Rontok) yang ditulis sendiri oleh Kongzi adalah sesuai dengan wahyu Tian. Semua Kitab itu kemudian dihimpun Kongzi dalam sebuah kitab
yang
disebut
Wujing.
Beberapa
saat
sebelum
wafat,
Kongzi
mempersembahkan Wujing dalam persembahyangan kepada Tian. 1.
Ajaran Pokok Agama Khonghucu
a.
Konsep Ketuhanan
Para penganut Khonghucu memahami atau mengakui bahwa Ru Jiao atau agama Khonghucu sebagai agama monoteis. Mereka percaya bahwa hanya ada satu Tuhan yang biasa disebut sebagai Tian, Tuhan Yang Maha Esa atau Shangti (Tuhan Yang Maha Kuasa). Tuhan dalam konsep agama Khonghucu tidak dapat diperkirakan dan ditetapkan, tetapi tidak satu wujud pun yang tanpa Dia. Dilihat tidak tampak, didengar tidak terdengar. Namun dapat dirasakan oleh orang yang meyakininya. Dalam kitab Yi jing dijelaskan bahwa Tuhan itu Maha Sempurna dan Maha Pencipta (Yuan), Maha Menjalin, Maha Menembusi dan Maha Luhur (Heng), Maha Pemurah, Maha Pemberi Rahmat dan Maha Adil (Li), dan Maha Abadi Hukumnya (Zhen). b. Watak Sejati Sifat kodrati atau watak sejati manusia (xing) menurut Ajaran Khonghucu adalah bersih dan baik, karena berasal dari Tian sendiri. Agar sifat baik ini bisa dipelihara, maka manusia perlu berupaya hidup di dalam Jalan yang diridhoi Tuhan (Jalan Suci, Dao). Bimbingan agar manusia dapat hidup dalam jalan suci disebut agama. Dengan demikian menjadi jalas bahwa para penganut Khonghucu
memahami agama diciptakan oleh Tuhan dan disampaikan oleh para Nabi untuk kepentingan umat manusia. Para penganut Khonghucu menyadari bahwa agama-agama diturunkan Tuhan lewat para nabi untuk kepentingan umat manusia, maka umat Khonghucu wajib hidup penuh susila, tepasalira, penuh toleransi dan penghormatan kepada umat agama lain, atas dasar keyakinan bahwa agama-agama atau jalan-jalan suci ini semuanya berasal dari Tuhan. Secara konsep, ajaran Khonghucu mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia yang dikenal dengan sebutan Zhong Shu dan xing. Zhong Shu dipahami sebagai setia kepada firman Tuhan, dan xing adalah tepasalira yaitu tenggang rasa kepada sesama manusia. Prinsip tepasalira ini ditegaskan dalam beberapa sabdanya yang terkenal dalam ajaran Khonghucu, “Apa yang diri sendiri tiada inginkan, jangan diberikan kepada orang lain” dan “Bila diri sendiri ingin tegak (maju), berusahalah agar orang lain tegak (maju).” Kedua sabda ini dikenal sebagai “Golden Rule” (hukum emas) yang bersifat Yin dan Yang. Selain itu ajaran Kongzi yang dianggap penting oleh para penganut Khonghucu adalah tiga pusaka kehidupan, atau tiga mutiara kebajikan, atau tiga kebajikan utama yaitu, Zhi, Rend dan Yong. Zhi berarti wisdom dan sekaligus enlightenment (kebijaksanaan dan tercerahkan/pencerahan). Bijaksana dapat diartikan pandai selalu menggunakan akal budinya, arif, tajam pikiran, mampu mengatasi persoalan dan mampu mengenal orang lain. Pencerahan atau yang tercerahkan, berarti mampu mengenal dan memahami diri sendiri, termasuk di
dalamnya mampu mengenal yang hakiki. Untuk mencapai Zhi manusia harus belajar keras dengan menggunakan kemampuan dan upaya diri sendiri. Agama, para Nabi dan atau Guru Agung hanya bisa membantu, namun untuk mencapainya adalah dari upaya diri sendiri. Orang yang ingin memperoleh Zhi berarti ia harus belajar keras untuk meraih kebijaksanaan dan sekaligus pencerahan batin. Ren berarti Cinta Kasih universal tidak terbatas pada orang tua dan keluarga sedarah belaka, namun juga kepada sahabat, lingkungan terdekat, masyarakat, bangsa, Negara, agama dan umat manusia. Ren bebas dari stigma masa lalu dan tidak membeda-bedakan manusia dari latar belakang atau ikatan primordialnya. Ren tidak mengenal segala bentuk diskriminasi atau pertimbangan atas dasar kelompok. Meski berasal dari satu kelompok, berpihak kepada orang yang berasal dari kelompok berbeda namun benar-benar berada dalam kebajikan. Ren dalam pengertian agama Khonghucu selalu didasari pada sikap ketulusan, berbakti, memberi, bukan meminta atau menuntut balasan dalam bentuk apapun. Namun perlu diingat bahwa Ren tidak berarti mencinta tanpa dasar pertimbangan baik dan buruk. Dalam salah satu sabdanya Kongzi mengatakan, “Orang yang berperi Cinta Kasih bisa mencintai dan membenci.” Mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Balaslah kebaikan dengan kebaikan; balaslah kejahatan dengan kelurusan.” Di sini berarti siapa pun yang bersalah, harus diluruskan, dihukum secara adil dan diberi pendidikan secara optimal agar dapat kembali ke jalan yang benar. Setelah berada di jalan yang benar, kita tidak boleh terkena stigma, menilai atas dasar masa lalu seseorang.
Para penganut Khonghucu mengartikan Yong sebagai berani atau keberanian. Namun yang dimaksud dengan yong, bukanlah keberanian dalam “k” kecil. Berani melawan harimau dengan tangan kosong, berani menyeberangi bengawan tanpa alat bantu, bukanlah keberanian yang dimaksud Kongzi. Yang dimaksud dengan keberanian di sini adalah berani karena benar, berani atas dasar aturan atau kesusilaan, berani atas dasar rasa tahu malu. Suatu ketika Kongzi berkata, “Bila memeriksa ke dalam diri aku telah berada dalam kebenaran, mengapa aku harus merasa takut? Namun bila aku bersalah, kepada anak kecil pun aku tidak berani. Yong juga diartikan sebagai keberanian untuk melakukan koreksi dan instrospeksi diri. Bila bersalah, kita harus berani mengakui kesalahan tersebut dan sekaligus berani untuk mengoreksinya. Nabi Kongzi berkata, “Sungguh beruntung aku. Setiap berbuat kesalahan, selalu ada yang mengingatkannya.” Dia juga berkata, “Sesungguh-sungghunya kesalahan adalah bila menjumpai diri sendiri bersalah, namun tidak berusaha untuk mengkoreksi atau memperbaikinya.” Maka seorang yang berjiwa besar adalah orang yang berani belajar dari kesalahan. Menurut Mengzi, Yong dijabarkan sebagai Yi (kebenaran) dan Li (kesusilaan, tahu aturan, ketertiban atau hukum). Bila seseorang mampu menjalani Ren, Yi, Li dan zhi dengan baik, maka ia diharapkan mampu menjadi seorang junzi (kuncu), atau orang yang beriman (dan tentu saja berbudi pekerti luhur). Dalam Islam disebut “Insan Kamil”. Dengan demikian diharapkan ia akan menjadi manusia terpercaya atau dapat dipercaya (Xin). Pokok ajaran Ren, Yi, Li, Zhi, atau inilah yang biasa disebut sebagai lima kebajikan atau Wu Chang. 2.
Tempat Ibadah dan Rohaniawan Agama Konghucu
Tempat ibadah Konghucu adalah Litang, Miao (Bio), Kongzi Miao, Khongcu Bio dan Kelenteng. Litang, selain merupakan tempat sembahyang, juga merupakan tempat kebaktian berkala (biasanya setiap hari Minggu atau tanggal1 dan 15 penaggalan Imlek). Disini umat mendapat siraman rohani (khotbah) dari para rohaniawan. Miao dan kelenteng biasanya hanya merupakan tempat sembahyang, kalaupun ada kebaktian, biasanya ditempatkan diruang yang terpisah agar tak terganggu aktifitas sembahyang. Disamping menjadi tempat ibadah agama Konghucu, kelenteng biasanya juga menjadi tempat ibadah agama Tao dan agama Budha Mahayana. Rohaniawan agama Konghucu terdiri atas: Xueshi, Wenshi, Jiaosheng, Zhanglao dan ketua-ketua atau pimpinan-pimpinan Majelis atau tempat ibadah. Sebelum menjadi Xueshi (biasa disingkat Xs), harus melalui jenjang Wenshi (Ws). Sebelum menjadi Wenshi, harus melalui jenjang Jiaosheng (Js). Tokoh yang sudah mencapai tingkatan sesepuh dan sangat senior disebut Zhanglao (Zl). Setiap rohaniawan, sesepuh dan para pemimpin tempat ibadah yang memegang jabatan dan surat pengangkatan dari Dewan Pengurus Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) dan atau menerima surat Li yuan Rohaniawan (Persidian, peneguhan iman) dan Dewan Rohaniawan MATAKIN, memilki beberapa kewenangan. Pertama, menyelenggarakan kebaktian bagi umat Konghucu didaerahnya yang diatur dalam Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN). Kedua, melakukan Li yuan umat (Pembaptisan). Ketiga, memimpin berbagai upacara suci bagi umat konghucu, sesuai hukum agama Konghucu,
termasuk hukum perkawinan Agama Konghucu, yang diatur dalam Tata Agama Konghucu. 3.
Ritual Agama Khonghucu Terdapat ritual dan perayaan dalam agama Khonghucu seperti ritual Li Yuan,
upacara pernikahan, upacara kematian dan perayaan Imlek. Upacara Li Yuan dilakukan untuk penganut Khonghucu yang baru mendapatkan nama, menginjak usia dewasa, medapatkan tugas baru dalam kerohanian agama Khonghucu. Bayi yang baru berusia satu bulan biasanya orang tuanya mengadakan ritual Li Yuan. Anak-anak yang baru menginjak dewasa atau berusia sekitar lima belas tahun mendapat ritual Li Yuan di tempat Ibadah. Para penganut Khonghucu yang mendapat gelar baru seperti Zhanglao, Xenshi, Wenshi, dan Jao sheng melakukan ritual Li Yuan. Tujuan ritual ini adalah untuk mempertegas keimanan para penganut Khonghucu dan menandai transisi kehidupan.
Ketika seseorang melakukan Li Yuan (pembaptisan) orang dewasa, dia mengikuti prosesi ritual Li Yuan tersebut. Biasanya pemandu ritual Li Yuan mengucapkan beberapa pernyataan yang diikuti oleh calon yang ikut ritual. Pernyataan tersebut diantaranya, Firman Tian, Tuhan Yang Maha Esa itulah dinamai watak sejati Hidup mengikuti watak sejati itulah dinamai menempuh jalan suci. Bimbingan untuk menempuh jalan suci itulah dinamai Agama Dipermuliakanlah Adapun jalan suci yang dibawakan Ajaran Besar itu ialah Menggembilangkan kebajikan yang bercahaya Mengasihi rakyat dan berhenti pada puncak kebaikan Dipermuliakanlah Hanya kebajikan berkenan Tuhan Sungguh miliki Yang satu itu: kebajikan Wei De Dong Tian, Xian You Yi Te Wei De Dong Tian, Xian You Yi Te.
Siancai92
Selanjutnya seseorang yang telah melakukan ritual Li Yuan menerima kartu anggota yang didalamnya menerangkan keanggotaan penganut Khonghucu. Di dalam Kartu tersebut terdapat beberapa pernyataan diantaranya, 1) Apa yang diri sendiri tiada inginkan, janganlah diberikan kepada orang lain. 2) Seorang yang berperi cinta kasih ingin dapat tegak maka ia berusaha membantu orang lainpun tegak; ia ingin maju, maka ia berusaha agar orang lainpun maju. 3) Jangan mendua hati jangan bimbang, Tuhan besertamu.93 Ritual Li Yuan itu tidak hanya bagi anak-anak tetapi juga bagi para penganut Khonghucu yang melangsungkan pernikahan. Namun menurut penganut Khonghucu, Li Yuan Pernikahan biasanya tidak dilakukan di tempat Kong Miao di Bandung tetapi di daerah lain. Ritual Li Yuan pernikahan bagi penganut Khonghucu merupakan ritual yang sakral, tidak hanya ikatan perjanjian antara manusia dengan manusia tetapi perjanjian manusia dengan Tuhan langit dan disaksikan bumi dan manusia. Salah satu simbol ritual itu adalah minum air dan kelengkeng.94 Di samping itu ada juga ritual kematian. Ritual kematian dipahami para penganut Khonghucu untuk menghormati tubuh manusia yang berasal dari Tuhan Langit (Tian). Sebagaimana ritual-rual lainnya dalam ritual kematian ini dipimpin oleh para rohaniawan Khonghucu, tetapi suasana dalam ritual ini nampak dalam kesedihan. Apabila seseorang yang meninggal itu memiliki barang atau benda
92
MATAKIN, Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghuc,: MATAKIN, Jakarta 2000, hlm. 99. 93 Ibid. 94 Ibid.
yang disayanginya, maka benda atau barang itu ikut juga bersama jasad orang meninggal dengan cara diletakkan di atas peti dan dikubur. 4. Perayaan Imlek Ritual dan perayaan Imlek merupakan bagian dari kegiatan keagamaan para penganut Khonghucu. Istilah Imlek berasal dari dialek Hakhian (salah satu suku di Negeri Cina) yaitu kata “Im” yang berarti bulan dan “lek” berarti kalender. Menurut bahasa Mandarin sebagai bahasa resmi nasional Cina menggunakan bunyi yinlie (yin berarti bulan, dan lie berarti penanggalan). Orang-orang Tionghoa lebih suka menggunakan kata Imlek. Tahun Baru Imlek sudah dirayakan sejak 600 tahun sebelum Masehi. Berkaitan dengan Imlek terdapat Penanggalan Cina. Orang Tionghoa mengenal Sio yang berarti lambang dari setiap tahun. Sio ini dilambangkan dengan namanama binatang yang memiliki makna tertentu seperti, tikus, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan babi. Sio akan berganti dalam 12 kali. Penanggalan Imlek ditentukan dari peredaran bulan mengelilingi bumi (lunar system) yang dikombinasikan dengan peredaran bumi mengelilingi matahari (solar system). Penanggalan Imlek disebut juga penanggalan imyanglek (system lunisolar). Penanggalan Imlek ini pada awalnya disusun untuk menandakan pergantian musim atau dimulainya musim semi sebagai awal menanam bagi petani di Cina. Di Cina terdapat empat musim yaitu chuen (musim semi), Shia (musim panas),
chiu (musim rontok), dan thung (musim salju atau dingin). Perayaan ini diharapkan memperoleh hasil panen yang melimpah. Para penganut Khonghucu percaya bahwa awal penanggalan Imlek ini dihitung sejak kelahiran Khonghucu yang menjadi pendiri agama Khonghucu yaitu tahun 551 SM. Selanjutnya Pada saat Pemerintahan Dinasti Han Bu Tee (140-86 SM) dari Dinasti Han (206 SM- 220 M) menganjurkan penggunaan penanggalan Imlek untuk masyarakat Cina. Biasanya Imlek jatuh pada bulan baru (Chee it atau Chu yi) setelah memasuki Tai Han (T Kan) yaitu 21 Januari (musim dingin) sampai dengan hi swi (yi suei) 19 Februari (musim semi). Tetapi itu tidak pasti, terbukti pada tahun 1969, Imlek jatuh pada tanggal 18 Januari. Menurut penganut Khonghucu bahwa pertimbangan penentuan awal tahun adalah untuk kesejahteraan manusia yang selanjutnya dijadikan pedoman untuk mempersiapkan dan merencanakan segala sesuatu selama satu tahun kemudian. Di Tiongkok, di samping tahun baru yang berdasarkan penanggalan Masehi juga digunakan penanggalan Imlek. Sebagaimana perlemen Tiongkok pada tanggal 27 September 1949 memutuskan tentang tahun baru bagi masyarakat yaitu Tahun Baru yang dirayakan pada tanggal 1 bulan 1 menurut penanggalan Masehi, dan Tahun Baru Imlek yang jatuh pada tanggal 1 bulan 1menurut penanggalan Imlek.95 Selain itu penanggalan Imlek digunakan untuk perayaan ritual keagamaan baik agama Khonghucu maupun Buddha seperti di Negara Jepang, Korea, 95
Lie Sau Fat/ XF. Asali, Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat, Muara Public Relation, Pontianak, 2008, Cet. ke-1, hlm. 8
Vietnam, Taiwan, Birma dan Negara lainnya.96 Agama-agama lain pun merayakannya seperti Katolik di beberapa Kota di Indonesia. Mereka mengadakan misa Imlek dengan menggunakan asesoris Tionghoa seperti pakaian dan topi Tionghoa, lampion (lampu hias yang berwarna merah) dan petasan. Orang-orang yang merayakan Imlek memiliki makna-makna tertentu dalam perayaan Imlek. Salah satu makna yang diharapkan orang-orang dari perayaan Imlek biasanya adalah keharmonisan dalam tata kehidupan di dunia. Pergantian waktu atau tahun Imlek bagi orang-orang tertentu menunjukkan adanya keterikatan manusia dengan waktu dan dapat menyadarkan manusia kepada kekuasaan alam itu sendiri sehingga manusia dapat bersyukur kepada Tuhan. Sehingga hari Imlek bagi penganut Khonghucu sebagai hari agung untuk bersembahyang kepada Tian, roh suci dan leluhur mereka. Dengan kata lain, secara religius para penganut Khonghucu dapat memahami tahun Imlek sebagai cara untuk mengakhiri semua bentuk keburukan dan kesalahan, dan berusaha memperbaiki diri agar tahun selanjutnya memperoleh rezeki lebih banyak dan dapat menjamu orang suci dan para leluhur.
BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITHIAN MAKNA PERAYAAN IMLEK MENURUT PENGANUT KHONGHUCU DI MAKIN KOTA BANDUNG
96
The Heng Kung dan Surip Prayogo, Tanaman Simbol Imlek, Penebar Swadaya, Depok, 2005, Hlm. 6.
Selama tahun 1965 sampai dengan 1998 perayaan tahun baru Imlek di Indonesia, dilarang dirayakan di depan umum. Melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 pemerintahan yang dipimpin Soeharto melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk Imlek. Mungkin alasan politik yang menjadi faktor utama pelarangan tersebut yaitu pasca tragedi politik tahun 1965 yang dikenal G 30 S/PKI. Namun masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika mantan Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh Pemerintahan Megawati Soekarnoputri dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 pada tanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Sejak tahun 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional. Akibatnya perayaan Imlek dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia dengan suasana yang jauh berbeda dengan suasana pada masa pemerintahan Orde Baru. Di Kota Bandung ritual dan perayaan Imlek 2563 atau 2012 dilaksanakan pula oleh etnis Tionghoa termasuk mereka yang menganut agama Khonghucu. Berbagai persiapan, pelaksanaan dan pasca hari Imlek dilakukan oleh para penganut Khonghucu pada setiap penyelenggaraan menyambu Tahun Baru Imlek. Untuk mengetahui lebih jelas proses ritual perayaan dan makna Imlek bagi penganut Khonghucu di Kota Bandung, penulis mendeskripsikan beberapa hal yang berkaitan dengan penganut Khonghucu dan ritual perayaan Imlek di Bab ini. Beberapa hal tersebut diantaranya, sejarah masuknya orang-orang Tionghoa ke
Bandung, keberadaan para penganut Khonghucu, tempat ibadah dan kantor sekretariat, suasana kota Bandung menyambut perayaan Imlek, proses ritual Imlek dan makna perayaan Imlek. A. Masuknya Orang-Orang Tionghoa ke Bandung Penganut Khonghucu di Indonesia tidak lepas dari keberadaan Tionghoa yang memiliki orientasi budaya berbeda. Sebagaimana menurut Mely G. Tan bahwa orang etnis Tionghoa di Indonesia bukanlah satu kesatuan yang monolitis, tetapi terdiri dari golongan-golongan dengan kewarganegaraan yang berlainan dan orientasi kebudayaan yang berbeda.97 Menurut Abdurahman Wahid, orang-orang Tionghoa yang menganut Khonghucu datang ke Indonesia setelah datangnya orang-orang Cina yang beragama Muslim. Wahid mengungkapkan tiga tahap kedatangan orang-orang Tionghoa ke Nusantara.98 Pertama, orang-orang Tionghoa yang menyebar di kepulauan Nusantara pada abad ke-15, terutama di pulau Jawa atau pantai utara pulau Jawa adalah komunitas Cina Muslim. Hal ini Wahid merujuk kepada tulisan Ettori Atali yang menyebutkan bahwa pada abad ke-15 M pelayaran Maritim di kawasan Asia Tenggara hingga ke pantai Timur India didominasi oleh pangkalan laut Cina yang umumnya beragama Muslim. Kedua, setelah satu atau dua generasi berikutnya, komunitas Cina didatangkan oleh pemerintahan Kolonial Inggris dan Belanda terutama di Kalimantan Barat. Komunitas yang didatangkan pemerintah kolonial tersebut adalah pengikut agama Khonghucu. Ketiga, pada tahun 1960-an
97
Mely G.Tan (Editor). Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1981, hlm. xx Abdurahman Wahid, Konfusianisme di Indonesia Sebuah Pengantar, dalam Th. Sumartana (Redaktur). Konfusianisme di Indonesia- Pergulatan Mencari Jati Diri. Jogjakarta: Interpedei. 1995, hlm. xxxii-xxxiii. 98
banyak terjadi konversi dari agama Khonghucu ke agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Konversi besar-besaran diperkuat lagi pada zaman Orde Baru, karena pemerintahan Orde Baru melarang pemunculan agama Khonghucu sebagai agama melainkan sebagai salah satu ajaran spiritualitas yang mengandung unsurunsur etika. Seiring dengan masuknya orang-orang Tionghoa ke Indonesia, orang -orang Tionghoa masuk pula ke Bandung. Sebagaimana menurut Beer bahwa masuknya orang-orang Tionghoa ke Bandung itu memiliki beberapa versi. Pertama, orang Tionghoa itu didatangkan oleh pemerintahan Belanda pada masa Daendels untuk membantu pembangunan jalan raya pos. Pemerintah Belanda pada waktu itu beralasan mendatangkan mereka karena mereka terkenal dengan kemampuan pertukangan. Ketika Pemerintah Belanda waktu itu membuat Post Weg, Daendels mendatangkan etnis Tionghoa dari Cirebon. Mereka dipekerjakan sebagai tukang kayu. Kedua, orang Tionghoa kemungkinan sebagai pelarian dari perang Jawa atau Diponegoro (Java Oorlog) pada masa itu. Ketiga, orang Tionghoa ini didatangkan ke Bandung untuk menghidupkan perekonomian kota Bandung yang sedang dibangun. Hal ini mirip dengan upaya pemerintah Belanda mendatangkan orang-orang Tionghoa ke Batavia pada abad ke-17 untuk menghidupkan perekonomian Kota itu. Pemerintah Belanda pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.P. Coen menyukai orang-orang Tionghoa, karena orang Tionghoa dikenal dengan tidak suka berperang dan rajin. Keberadaan orang Tionghoa berperan sebagai pedagang eceran dari barang yang diimpor Belanda.
Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang Tionghoa merasa terancam keselamatannya. Mereka sengaja pindah dari Jawa Tengah, Yogyakarta dan sekitarnya ke Bandung untuk mendapatkan hidup yang lebih aman dan layak. Menurut salah seorang sejarawan, peristiwa perpindahan orang Tionghoa itu terjadi pada peristiwa perang Diponegoro yaitu tahun 1825. Mereka membentuk komunitas di Bandung tepatnya di daerah Suniaraja. Dengan berperan sebagai pedagang, orang-orang Tionghoa itu menetap di daerah tersebut. Menurut Bambang selaku Ketua MAKIN Kota Bandung menceritakan bahwa secara perlahan, sejak menetap di Suniaraja orang-orang Tionghoa menyebar ke daerah sekitarnya. Mereka menyebar ke berbagai wilayah di kota Bandung yang kini dikenal dengan nama-nama jalan diantaranya, Jalan Banceuy, Jalan ABC, Jalan Pasar Baru, Jalan Gardu Jati, Jalan Cibadak dan Jalan Pacinan Lama. Kawasan ini sekarang terkenal dengan perdagangannya. Jalan Banceuy dan Jalan ABC dikenal sebagai pusat perdagangan elektronik. Jalan Gardu Jati Jalan Cibadak dan Jalan Pacinan Lama dikenal sebagai kios yang menjual barangbarang grosiran untuk kebutuhan rumah tangga. Pacinan yang berasal dari bahasa Sunda terdiri dari suku kata “pa-Cina-an” berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan Cina. Pacinan ini merupakan sebutan orang-orang Tionghoa di sekitarnya untuk menunjukkan wilayah yang dihuni orang-orang Cina atau Kampung Tionghoa. Setiap daerah Pacinan di Indonesia memiliki karakter tertentu. Terdapat beberapa karakter orang-orang Tionghoa yang tinggal di sekitar Kota Bandung termasuk daerah Pacinan Lama pada masa pemerintahan Belanda. Pertama, segi kepemimpinan, orang Tionghoa yang
tinggal di Pacinan memiliki pemimpin sendiri. Pemimpin itu diangkat berdasarkan persetujuan Pemerintahan Belanda. Pemimpin itu berpangkat Mayor, Kapten, Letnan dan sebagainya. Pemimpin Tionghoa ini merupakan orang yang sangat kaya dan berpengaruh pada masyarakatnya. Dengan menjadi pemimpin itu, kekayaan mereka bisa meningkat pula, karena mereka memperoleh hak monopoli dalam penjualan opium. Kedua, profesi orang Tionghoa umumnya sebagai pedagang dan pemiliki Toko, walaupun pada awalnya mereka berprofesi sebagai Tukang Kayu. Sebagaimana menurut sejarawan bahwa perkampungan Tionghoa yang padat, berdekatan dengan pasar yang terdiri dari toko-toko dan pengrajin, seperti tukang kunci, lemari, kayu dan sebagainya. Ketiga, karakter arsitekturnya arsitek Tionghoa berbentuk lengkung dan didominasi warna merah. Bentuk lengkung itu diwujudkan dalam bentuk rumah dan Klenteng. Vihara yang berada di dekat station Kereta Api Bandung merupakan salah satu peninggalan arsitektur Tionghoa. Namun, pada zaman Pemerintahan Belanda orang-orang Tionghoa juga mendirikan bangunan mewah yang bergaraya Eropa. Mereka tidak hanya mendirikan bangunan di kawasan Cibadak dan sekitarnya tetapi juga di kawasan Bandung Utara, seperti Bangunan Drie Driekleur, SMAK Dago, dan Vila Mei Ling. Bangunan ini menunjukkan kemakmuran orang Tionghoa di Kota Bandung pada saat itu.
B. Keberadaan Para Penganut Khonghucu
Berdasarkan data dari dinas Kependudukan Kota Bandung tahun 2009 bahwa pemeluk Khonghucu berjumlah 29 orang.99 Mereka terdiri dari 15 orang laki-laki dan 14 orang perempuan. Tempat tinggal mereka tersebar di berbagai daerah diantaranya, Kota Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung. Kebanyakan diantara mereka menetap di daerah Gedebage. Sedangkan menurut Bambang Sukotjo100 bahwa di Kota Bandung ada sekitar 200 Kepala Keluarga yang beragama Khonghucu. Beliau menjelaskan alasan perbedaan jumlah pemeluk agama Khonghucu itu. Salah satunya adalah masalah administrasi kependudukan. Secara singkat Bambang mengungkapkan bahwa di tingkat kecamatan, para pemeluk Khonghucu belum seluruhnya mencantumkan Khonghucu sebagai agama yang harus dipilih dalam formulir KTP atau Kartu Keluarga. Akibatnya data penganut agama Khonghucu menjadi tidak pasti secara formal. Sebagaimana dia sebutkan dalam suatu surat kabar,101 Kalau ditanya berapa jumlah umat Khonghucu di Jawa Barat, maka kami tak bisa menjawabnya secara pasti. Kami kesulitan mendata karena agama Khonghucu belum ditulis dalam KTP. Baru Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar yang mencantumkan agama Konghucu dalam KTPnya. Tanpa memiliki bukti sah semisal KTP dengan identitas agama Khonghucu membuat MAKIN Jabar terhambat apabila mengajukan izin pendirian rumah ibadah.
Bahkan Bambang sendiri mengaku bahwa keterangan agamanya masih tercatat sebagai pemeluk Agama Kristen di Kartu Keluarga miliknya Padahal dia sudah berusaha kepada petugas kecamatan untuk mencantumkan nama Khonghucu di kolom Kartu Keluarga tersebut. 99
Sumber Data dari Dinas Kependudukan Kota Bandung Hasil Wawancara informal 26 Januari 2012 101 Bandung Ekspress, Selasa, 6 Januari 2011. 100
Hal ini diperkuat dengan pengakuan beberapa para penganut Khonghucu, bahwa mereka masih menggunakan nama agama yang bukan Khonghucu di dalam Kartu Tanda Penduduknya. Nama agama yang bukan Khonghucu itu adalah Kristen, Katolik, Buddha dan Islam. Mereka mengaku masih sulit merubah keterangan agama di KTP masing-masing. Namun sebagian dari mereka masih tidak mau menjawab apabila mereka ditanya masalah agama apa yang tercantum dalam KTP. Mungkin mereka takut atau malu dengan keterangan yang terdapat dalam KTP itu. Orang-orang Tionghoa yang menganut agama Khonghucu dapat dibedakan dari marga (se), gender dan jabatan professional atau status sosialnya. Sebagian dari para penganut Khonghucu itu menggunakan nama Indonesia, dan sebagian lain menggunakan nama asli Tionghoa. Bagi penganut Khonghucu yang menggunakan nama Indonesia, sebenarnya mereka memiliki juga nama yang berbahasa Tionghoa, sehingga nama mereka menjadi ganda. Ada nama yang berbahasa Indonesia dan ada pula nama yang berbahasa Tionghoa. Orang Khonghucu yang hanya menggunakan nama Tionghoa terbagi dalam beberapa marga (se) diantaranya, marga lie, an, cang, ang, chew, ci, cong, gow, hong, kang, lauw, liang, lim, liong, oey, ong, ouw,song, tan, tjid, tjio, wong, wu, xu, dan yen. Secara gender para penganut Khonghucu yang datang ke Miao kebanyakan laki-laki. Bila dibandingkan dengan jumlah perempuan, jumlah laki-laki lebih banyak. Perempuan yang datang ke Kong Miao biasanya orang yang sudah lanjut usia. Hanya beberapa orang perempuan yang dianggap masih muda. Dominasi laki-laki itu ditunjukkan pula dalam perannya sebagai petugas keagamaan. Semua
pemimpin dan pengatur acara ritual diperankan oleh laki-laki. Kelompok perempuan memerankan dalan kegiatan pengaturan makanan, seperti memasak, menyajikan dan kebersihan. Orang-orang Khonghucu itu dapat dibedakan berdasarkan profesi dan statusnya. Diantara mereka ada yang menjadi pengusaha, pedagang, karyawan, ibu rumah tangga, dan mahasiswa. Profesi pedagang menjadi mayoritas di kalangan mereka, terutama pedagang toko. Status sosial pengusaha merupakan status yang paling tinggi secara stratifikasi sosial. Hal tersebut dapat dibedakan dari kendaraan yang mereka bawa di Kong Miao. Beberapa orang Khonghucu yang menjadi pengusaha dan pedagang menggunakan mobil. Karyawan, mahasiswa dan pedagang kecil menggunakan motor dan angkutan umum seperti angkot dan becak. C. Tempat Ibadah dan Kantor Sekretariat Para pemeluk agama Khonghucu di Kota Bandung dipusatkan dalam rumah ibadah yang bernama Kong Miao. Tempat Ibadah ini terletak di jalan Cibadak nomor 255 i Bandung. Daerah Cibadak yang terletak di pusat Kota Bandung ini terkenal dengan penghuni yang beretnis Tionghoanya. Orang-orang Tionghoa di Cibadak ini berlainan agamanya, diantaranya, Khonghucu, Tao, Buddha, Kristen dan Katolik. Terbukti di kawasan Cibadak ini terdapat beberapa gedung keagaman sebagai tempat ibadah mereka diantaranya, Vihara, Gereja (kapel), Kong Miao. Sedangkan orang-orang Tionghoa yang beragama Islam dipusatkan di sekretariat dan mesjid yang terletak di jalan Muhammad Toha.
Bangunan Kong Mio milik penganut Khonghucu mirip dengan gedung rumah toko (ruko) yang terdiri dari dua lantai. Di depan bangunan itu bertuliskan, “Sekretariat MAKIN (Majelis Agama Khoghucu) Kota Bandung Jl. Cibadak No. 255 I. Bandung.” Lantai bawah biasanya digunakan untuk acara umum. Mungkin lantai bawah ini berfungsi sebagai aula dan bersifat umum. Terbukti penulis melihat mereka melakukan diskusi atau ramah tamah di lantai bawah itu, tapi terkadang lantai bawah digunakan untuk sembahyang. Salah satunya sembahyang Khing Ti Kong yang mengharuskan upacara itu mengarah keluar di depan pintu secara kolektif. Sedangkan lantai atas digunakan para penganut Khonghucu untuk sembahyang pribadi dan bersifat khusus. Dengan demikian fungsi gedung bangunan itu adalah sebagai sarana sembahyang bagi penganut Agama Khonghucu dan sebagai sekretariat organisasi MAKIN di Kota Bandung. Sebagian diantara mereka menyebut Kong Miao, karena hal itu berkaitan dengan tempat sembahyang bagi para penganut Khonghucu. Sebagian lagi menyebut sekretariat MAKIN, karena tempat itu sebagai kantor organisasi Agama Konghucu yang ada di daerah Kota Bandung. Keberadaan Kong Miao di Cibadak ini baru berdiri pada tahun 2009. Sebelumnya tempat ibadah Khonghucu di Kota Bandung mengalami perubahan atau berpindah tempat dari tempat satu ke tampat lainnya. Bambang mengaku bahwa mulai kepemimpinan Abdurahman Wahid sampai sekarang sudah mengalami tiga kali pindah tempat.102 Perpindahan tempat ibadah itu dikarenakan status kepemilikannya yang belum permanen alias masih status kontrak atau sewa.
102
Hasil Wawancara Informal 26 Januari 2012
Kini mereka telah mampu membeli gedung ruko di kawasan Cibadak itu yang dijadikan sekretariat Agama Khonghucu di Kota Bandung. Untuk memperluas bangunan tersebut, Bambang mengaku sedang mengurus proses kepemilikan ruko lainnya yang berdekatan dengan ruko yang telah dimilikinya itu. Menurut Bambang bahwa penganut Khonghucu di Kota Bandung sebelumnya melaksanakan ritual keagamaan di Vihara yang sekarang digunakan oleh para penganut Buddha. Orang-orang Khonghucu mengaku merasa kesulitan untuk mendirikan tempat ibadah. Sebagaimana dia ungkapkan, Peraturan Bersama Mendagri dan Menag mensyaratkan pendirian rumah ibadah harus mencantumkan KTP penggunanya minimal 90 orang. Akibat kebijakan Orde Baru yang tidak membolehkan agama Khonghucu sehingga rumah-rumah ibadahnya diambil alih agama lain. 103
Bambang menjelaskan pula bahwa sebanyak 12 vihara miliki Khonghucu kini sudah diambil alih oleh penganut agama lain. Dia mengungkapkan, “Kami tak ingin memperbesar masalah, namun meminta agar vihara-vihara yang sudah diambil alih masih bisa dimanfaatkan oleh kami.”104 Gedung Kong Miao yang dijadikan sekretariat MAKIN Kota Bandung ini biasanya buka setiap pukul 09.00 sampai dengan 11.00 dan 14.00 sampai dengan 16.00. Di lantai bawah terdiri ruang penerima tamu dan dapur. Di pinggir ruangan itu terdapat rak yang berisi buku-buku dan cinderamata. Antara ruang tamu dan dapur dibatasi dengan tangga menuju lantai dua. Di bagian dinding terdapat gambar Khonghucu dan tulisan Mandarin. Sedangkan di ruang lantai atas atau lantai dua terdapat beberapa bagian. Bagian depan adalah altar, bagian tengah
103 104
Bandung Ekspress, Selasa, 6 Januari 2011. Ibid.
tempat duduk jemaat, karena terdapat deretan kursi yang memuat sekitar delapan puluh orang. Di bagian belakang terdapat ruang tempat penyimpanan barang seperti baju pemandu sembahyang, dupa yang belum dipakai dan lain-lain. Di bagian altar terdapat beberapa benda diantaranya, tulisan yang berbahasa Mandarin, beberapa patung Khonghucu sebagai pendiri agama dan beberapa patung murid Khonghucu, dupa, mimbar, tempat abu untuk menancapkan dupa, dan lilin. Selain itu deretan kursi tempat jemaat terdapat di ruangan tempat sembahyang itu. Di Kong Miao itu petugas keagamaan menyediakan buku kunjungan jemaat. Setiap orang yang datang ke tempat itu diminta mengisi buku induk jemaat, termasuk penganut Khonghucu dan tamu. Di buku tamu itu tercantum kolom nomor, nama, dan alamat yang harus diisi oleh setiap orang yang datang. Ketika penulis datang ke Kong Miao, Penulis melihat daftar nomor urut di buku induk pengunjung itu sudah nomor urut 117. Mereka yang datang ke Kong Miao tidak hanya dari kota Bandung, tetapi juga mereka berasal dari Cimahi, Rancaekek, dan Majalaya. Orang-orang Khonghucu yang beribadah di Kong Miao kota Bandung memiliki organisasi bernama MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia). MAKIN ini sejenis organisasi tingkat daerah yang mengatur kehidupan beragama para penganut Khonghucu. MAKIN ini di bawah koordinasi organisasi tingkat pusat yang bernama MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia). Struktur MAKIN itu terdiri dari ketua, dan pengurus bidang. Pengurus bidang terdiri dari empat bidang yaitu bidang kerohanian, layanan kemaThian,
kepemudaan, dan seni-budaya. Di bawah MAKIN terdapat pula oraganisasiorgasiasi diantaranya WAKIN (Wanita Agama Khonghucu Indonesia), dan PAKIN (Pemuda Agama Khonghucu Indonesia). Di samping itu ada juga penasihat-penasihat keagamaan yang disebut Zianglo. Zianglo ini dijabat oleh para senior penganut agama Khonghucu. Ketua MAKIN ini sekarang dijabat Bambang Sukotjo. Seorang pengusaha di Kota Bandung dan dosen di ITENAS. Dia kini berusia sekitar 42 tahun. Dia lulusan fakultas Teknik di Institut Teknologi Nasional (ITENAS) di Bandung. Dia bergelar Jausheng
105
artinya
penyampai misi agama. Para penganut Khonghucu melakukan berbagai jenis kegiatan keagamaan di Kong Miao Kota Bandung, diantaranya kebakThian minggu, sembahyang leluhur, ritual khusus dan diskusi keagamaan. Sedangkan kegiatan olah raga dan acara masak bersama dilakukan pada hari-hari tertentu. Kegiatan kebakThian sembahyang berlangsung di Kong Miao secara rutin setiap hari minggu dan pada hari atau malam tertentu. Setiap kegiatan ritual biasanya pemeluk Khonghucu hadir sejumlah 30 dan 40 orang. Pada hari minggu itu banyak penganut Khonghucu datang ke Kong Miao untuk mengadakan ritual. Mereka melaksanakan ritual itu mulai pukul 10.00 sampai dengan 12.00. Biasanya acara kebakThian pada hari minggu itu dihadiri oleh sebagian anak muda termasuk pelajar dan mahasiswa.
105
Salah satu di antara mereka adalah mahasiswa S2
Jausing ini merupakan tingkat gelar keagamaan dalam Khonghucu di bawah Wense. Susunan struktur jabatannya dari atas sebagai berikut. Zhanglao (Zl/Penasihat/ senior), Xueshi (Xs/pemimpin kerohanian), Wenshi (Ws/guru agama), Jausheng (Js/Penyampai misi agama) dan chun zu (anggota jemaat ).
Universitas Padjajaran. Setelah melakukan ritual kadang mereka mengadakan makan bersama dan diskusi. D. Suasana Kota Bandung Menyambut Perayaan Imlek Menjelang perayaan hari Imlek, suasana Kota Bandung berbeda dengan harihari sebelumnya. Hal tersebut nampak di berbagai sudut kota Bandung, seperti di Mal, hotel, jalan-jalan, pasar dan rumah. Beberapa surat kabar, baik cetak maupun elektronik menyiarkan berita kondisi menjelang hari Imlek di Kota Bandung. Beberapa pusat perbelanjaan di Kota Bandung nampak melakukan persiapan dengan membuat beberapa acara untuk merayakan Tahun Baru Cina atau Imlek 2563. Pada hari Imlek itu pusat perbelanjaan Bandung Trade Center (BTC) Fashion Mall menampilkan aktraksi "Barongsai Naik Sepeda." Sebanyak enam barongsai naik sepeda. Mal Festival Citylink di Jalan Peta Kota Bandung mengadakan acara "China Town Food Festival" dimana pengunjung dapat menikmati aneka kuliner khas China dan Indonesia dalam satu tempat. Dalam pameran itu para pengunjung dapat pula melihat pameran ragam kerajinan produk-produk unik khas China dalam acara Chinese Fair. Acara di Mal tersebut menurut salah satu paniThianya berlangsung sejak 13 Januari sampai dengan 5 Februari 2012. Sedangkan pada 23 Januari 2012 dilakukan pesta kembang api sebagai puncak perayaan pergantian Tahun Baru Cina atau Imlek. Pusat perbelanjaan lainnya seperti Bandung Supermal (BSM) dan Bandung Indah Plaza menggelar beragam acara untuk memeriahkan tahun Naga Air atau Imlek 2012. Masing-masing panitia mengadakan aktraksi barongsai dalam rangka memeriahkan perayaan Tahun Baru Imlek. Kegiatan lainnya yang dilakukan di
pusat perbelanjaan adalah berfoto dengan kostum Cina, mewarnai di atas layangan, belajar Chinesse painting, origami dan magic ballon, Kontes Cici Koko, mandarin singing contesy, menggambar bertema naga dan pertunjukan Potehi (Po Tay Hie) alias Wayang Cina. Pusat perbelanjaan itu memanfaatkan situasi tersebut dengan strategi penjualan tertentu. Misalnya selama periode 6 hingga 23 Januari 2012, mereka menggelar diskon barang-barang idaman yang dibanderol dengan harga terendah dan diskon terbesar untuk menghabiskan stock musim belanja akhir tahun. Di samping itu, BIP menawarkan keuntungan lebih dengan menyediakan ratusan hadiah langsung berupa toples unik untuk setiap transaksi dimulai dari nilai Rp 300.000, atau bisa juga mengajak untuk mencoba keberuntungan kepada pengunjung di pohon Ang paw untuk mendapatkan ratusan hadiah berupa voucher belanja dan souvenir lainnya. Kegiatan Barongsai itu dilaksanakan pula di hotel-hotel seperti di Hotel Grand Royal Panghegar. Salah satu pertunjukan barongsai adalah kelompok barongsai 'Long Qing'. Kegiatan lainnya di hotel-hotel itu adalah menikmati hidangan tradisional menyambut tahun baru China. Hidangan ini biasa disantap keluarga menyambut Imlek sebagai simbol kemakmuran dan sukacita. Sepanjang 16 Januari hingga 7 Februari 2012, beberapa hotel menawarkan hidangan salad berisi ikan ragam warna menandakan harapan akan keberuntungan di tahun baru. Tradisi makan menyambut tahun baru China dengan mengangkat sumpit sambil memanjatkan harapan akan Lo Hei, keberuntungan yang tak putus, juga menjadi bagian perayaan Imlek.
Suasana di jalan-jalan utama di Kota Bandung pun dipadati orang menjelang perayaan Imlek. Orang-orang tersebut termasuk orang dari Jakarta. Menurut salah satu sumber berita106 bahwa jalan-jalan yang nampak mengalami kemacetan adalah di beberapa ruas jalan sebagai pintu masuk warga dari luar kota, contohnya di pintu tol Pasteur yang masuk ke Kota Bandung, Jalan Dr Junjunan, CipagantiSetiabudi menuju Lembang Kabupaten Bandung Barat, RE Martadinata, Cihampelas, dari arah Cibiru menuju Cileunyi Kabupaten Bandung maupun sebaliknya. Kepadatan kendaraan terjadi pula di jalan-jalan lainnya seperti, di Jalan Pasirkalili, Jalan Otto Iskandardinata (wilayah Pasar Baru) dan seputar wilayah Alun-alun Kota Bandung seperti Jalan Dalem Kaum, Jalan Dewi Sartika dan Jalan Kepatihan. Kemacetan tersebut mulai pukul 21.00 WIB sampai jam 12.00. Menurut salah seorang polisi lalu lintas bahwa kemacetan di pintu tol Pasteur berbeda dengan hari biasanya, kemacetan tersebut terjadi dari siang sampai malam, sedangkan pada hari biasa kemacetan terjadi mulai dari pukul 06.00-08.00 WIB dan pukul 16.00-20.00 WIB. Menurutnya, kepadatan arus itu didominasi kendaraan asal Jakarta yang ingin berlibur. Kemacetan tersebut nampak pada hari sabtu tanggal 21 Januari 2012 dengan antrian kendaraan sebelum loket tiket mencapai sedikitnya 5 kilometer menjelang tengah hari. Petugas PT Jasamarga Cabang Purbaleunyi telah menginformasikan melalui papan VMS (variable message sign) kepada pengendara di jalur tol bahwa Kondisi pintu Pasteur macet sepanjang 3 kilometer.
106
Metrotvnews.com, Jalur Wisata Bandung Padat, Senin, 23 Januari 2012.
Sedangkan antrian kendaraan keluar tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi pada siang hari tidak hanya terjadi di pintu-pintu masuk Kota Bandung, tetapi juga nampak di pintu keluar tol Cileunyi. Arus keluar dari pintu ini bisa menuju arah Kabupaten Bandung sebelah timur, Kabupaten Sumedang, Garut, dan Tasikmalaya. Antrian di jalur ini hanya mencapai 2 kilometer dan terjadi sampai sore hari. Di stasiun Kereta Api nampak terjadi perubahan. Menurut Petugas Kereta Api Stasiun Bandung bahwa jumlah penumpang kereta api tujuan timur seperti Jogya, Solo, Madiun, Surabaya, Kediri, Malang dan Semarang, pada long weekend Imlek mengalami peningkatan. Di samping itu, pihak kereta api menambah 2 gerbong pada tiap rangkaian gerbong Kereta Api. Suasana di pasar dan toko-toko pun berbeda dengan hari-hari biasanya. Sejak awal tahun 2012, banyak orang mencari pernak-pernik khas tahun baru Imlek. Mereka membeli aksesories Imlek diantaranya benda yang berbentuk naga, sehingga penjualan barang itu meningkatkan omset penjualannya. Para pedagang di kawasan Jalan Cibadak mengaku bahwa penjualan mereka omzetnya meningkat 2 kali lipat. Apabila biasanya mereka memperoleh hanya sekitar 500 ribu per minggu, pada saat menjelang Imlek mereka bisa memperoleh omzet sampai Rp 1 juta per minggu. Sebagaimana diungkapkan seorang pedagang bernama Heru, “Penjualan pernak-pernik Imlek telah meningkat sejak awal tahun. Sejak awal tahun sudah ada kenaikan. Seminggu menjelang Tahun Baru Imlek omsetnya bisa lebih dari 1 juta." Dia mengatakan, pernak pernik Imlek yang paling banyak diminati yaitu gantungan dan hiasan tempel. Lambangnya seperti ikan mas, koin
mas, atau shio tahun ini, yaitu naga. Dia mengaku bahwa pernak-pernik itu dipasang untuk keberuntungan di tahun-tahun selanjutnya. Harga hiasan tempelan yang dijual itu rata-rata Rp 30 ribu tempelan. Biasanya, pernak-pernik Imlek tersebut makin ramai dibeli menjelang malam Imlek. Barang lainnya yang laku terjual di toko-toko di jalan Aksan adalah lilin Imlek untuk ritual. Lilin ini seukuran tinggi badan orang dewasa berwarna merah bergambar liong atau naga. Lilin ini digunakan untuk ritual oleh orang-orang Tionghoa. Harga, lilin yang diproduksinya ini bervariatif dari harga 1000 rupiah hingga jutaan rupiah untuk satu batang. Pedagang pasar burung pun memperoleh kenaikan omzetnya pada Tahun baru Imlek 2012 ini. Para penjual burung di Pasar Burung Pagarasih, Jalan Suka Haji, Bandung mengaku bahwa setiap menjelang Imlek, burung Pipit laku terjual ratarata sekitar 500-600 ekor per-harinya. Padahal biasanya burung itu terjual rata-rata di bawah 100 ekor perharinya. Rata-rata setiap penjual mematok harga Rp 1.000 per ekor. Para penjual itu mengaku mendatangkan burung-burung tersebut dari beberapa daerah di sekitar kota Bandung, seperti Cibaduyut dan Cicalengka. Pedagan ikan pun memperoleh keuntungan yang meningkat menjelang hari Imlek 2012 ini. Salah seorang pedagang di Caringin Bandung mengaku bahwa ikan Bandeng biasa laku dibeli oleh orang Tionghoa. Pembeli dari etnis Tionghoa biasanya hanya membeli dua kilogram untuk persembahan saat sembayang Imlek. Harga ikan bandeng di pasar Caringin, tidak sama. Namun rata-rata mereka menjual di kisaran harga Rp 40.000 hingga Rp 50.000 per kilogram. Kadang ikan itu dijual juga lebih murah dari harga rata-rata, yaitu apabila ikan terlihat mulai
kurang segar. Menurut Karyadi seorang pedagang ikan, "Ikan yang segar itu yang matanya bening, insangnya masih merah, dan dagingnya kenyal. Kalau matanya merah, dagingnya di tekan lembek, maka itu sudah tidak segar, yang seperti itu harus secepatnya dijual.” Di rumah-rumah, orang Tionghoa sibuk menyiapkan perayaan Imlek. Biasanya warga Tionghoa terutama ibu-ibu mempersiapkan Imlek dengan membuat aneka macam kue keranjang atau kue tar, membersihkan rumah dan tempat ibadah serta menyiapkan ang paw. Sementara yang laki-laki akan membersihkan pekarangan atau mencat rumah. Salah satunya adalah Keluarga Cheng. Cheng dan keluarganya sudah memastikan rumah sebersih mungkin, membuat kue, memotong rambut, memotong kuku, serta membeli baju dan sepatu baru. Bahkan, tas baru khusus untuk menampung ang paw. Cheng yang berasal dari Cirebon menuturkan pengalaman merayakan Imlek di Kota Bandung. Ceng berkata,”Malam Imlek, kami makan-makan, terus ke Kong Miao dan main kembang api. Pas Imleknya, kami jam enam pagi sudah rapi, wangi dan Qong Xi Fa Cai ke orangtua.”
Namun sebelumnya atau sesudah hari Imlek dia juga
mengaku sering jalan ke Mall berbelanja dan menyaksikan barongsai dengan memberi ang paw. E. Proses Ritual Imlek Proses ritual perayaan Imlek bagi masyarakat Tionghoa termasuk penganut Khonghucu terdiri dari empat kegiatan utama, diawali oleh ritual menghantar Dewa Dapur naik kelangit, ritual Imlek, dan perayaan Cap Go Meh. Ritual menghantar Dewa naik ke langit dilaksanakan seminggu sebelum tahun baru.
Ritual Imlek dilaksanakan saat pergantian tahun baru. Ritual King Thi Kong atau Sembahyang Tuhan dilaksanakan mereka pada saat menjelang tengah malam tanggal 8 bulan pertama atau seminggu sesudah hari Imlek. Perayaan Cap Go Meh sebagai akhir dari perayaan Imlek dilaksanakan pada malam bulan purnama pertama tahun tersebut yang jatuh pada tanggal 15 bulan pertama Tahun Cina. Menyambut Tahun Baru China atau Imlek, para Penganut Konghucu di Kota Bandung mulai berbenah. Selain memperindah rumah dengan aneka lampion, mereka juga turut membersihkan tempat ibadah, yaitu Kong Miao yang didominasi warna merah dan tulisan Mandarin dan patung. Di Kong Miao, kawasan Cibadak Bandung, seminggu menjelang perayaan Imlek sejumlah penganut Khonghucu dan keturunan Tionghoa lainnya mencuci patung yang terpajang di ruang utama Kong Miao. Menurut salah seorang pengurus Miao, pencucian patung dilakukan melalui prosesi khusus. Yang mencuci patung itu harus terlebih dahulu berdoa dan membersihkan diri. ”Hati dan pikiran harus bersih,” ujarnya. Untuk mencuci patung-patung itu, menurut seseorang menggunakan arak dan kain berwarna merah. Penggunaan arak, menurut dia, sebagai sarana untuk memudahkan masuknya roh dewa ke dalam patung. Selain itu, arak dipercaya mengawetkan patung yang terbuat dari kayu tersebut. ”Pencucian harus hati-hati,” ucapnya. Prosesi mencuci patung dewa tidak setiap saat dilakukan. Menurut salah seorang petugas, pencucian hanya dua kali dalam setahun, yaitu saat Imlek dan ulang tahun Nabi Khonghucu.
Kelompok barongsai pun berlatih sebagai persiapan menyambut hari Imlek. Salah satu kelompok barongsai itu bernama 'Long Qing'. Kelompok ini mengaku bahwa sejak tahun 1998, mereka berlatih barongsai di Jalan Cibadak 202 Bandung. Orientasi mereka membentuk kelompok barongsai adalah untuk mengikuti kejuaraan. Menurut salah seorang pelatih barongsai, "Sejak awal kita memang untuk prestasi, kalau sekarang jadi untuk mengisi pertunjukan hiburan, itu bonusnya. Dalam setahun, bisa mengikuti kejuaraan sebanyak dua kali.” Berlatih barongsai menyangkut tekniknya, tingkat kesulitannya, ekspresi, keserasian musik dan alur cerita. Komunitas penganut Kahonghucu di Kota Bandung mengadakan ritual dan perayaan menyambut Imlek pada tanggal 23 Januari 2012. Rangkaian kegiatan menyambut tahun baru Imlek dimulai dengan sembahyang syukuran tutup tahun Imlek 2563 mulai 23 Januari mulai pagi hingga malam. Acara persembahyangan Tahun Baru Imlek dimulai menjelang tengah malam hingga besok paginya. Menurut penuturan orang Tionghoa yang menganut Khonghucu bahwa pada malam sebelum tahun baru atau Chu Si Ye, seluruh anggota keluarga kumpul bersama dan makan Thuan Yen Fan (makan malam sekeluarga). Apabila ada keluarga yang tidak sempat atau berhalangan untuk pulang ke rumah, di meja akan disiapkan mangkok dan sepasang sumpit yang mewakili yang tidak sempat datang tadi. Sayur yang disajikan cukup banyak dan mengandung arti tersendiri, seperti Kiau Choi yang melambangkan panjang umur, ayam rebus yang disajikan utuh melambangkan kemakmuran untuk keluarga. Sedangkan bakso ikan, bakso udang dan bakso daging melambangkan San Yuan atau tiga jabatan yaitu Cuang
Yuen, Hue Yuen dan Cie Yuen. Tiga jabatan tersebut adalah jabatan yang sangat dihormati masyarakat Tionghoa pada jaman kekaisaran dahulu. Juga ada Kiau Se atau pangsit yang bentuknya dibuat mirip dengan uang perak zaman dulu. Menurut kepercayaan, makan Kiau Se akan mendatangkan rejeki. Malahan sesuai tradisi di antara pangsit tersebut salah satunya akan diisi dengan koin. Bagi yang mendapatkan koin tersebut konon akan mendapatkan rejeki besar. Di meja juga disiapkan ikan yang dihias dan akan dimakan. Maknanya yaitu Nien nien yeu yi atau setiap tahun ada lebihnya. Ikan dingkis bertelur yang dikukus merupakan hidangan istimewa sebab diyakini dapat membawa keberuntungan di tahun baru. Menurut Teten seorang pengurus Miao berkata, Kebiasaan merayakan Imlek memang tidak harus dilakukan dalam pesta atau perayaan yang berlebihan. Yang paling penting adalah pergi ke Miao, berdoa menghaturkan kasih dan persembahan ke Tuhan dan leluhur. Juga tidak lupa bersedekah. Prinsip di sini yaitu adat dijalankan, soal pesta nomor dua. Imlek 2563 dilambangkan dengan shio Naga diharapkan membawa keberuntungan.
Teten juga menambahkan bahwa rangkaian persembahyangan menjelang dan sesudah Tahun Baru Imlek meliputi 21 hari. Bagi orang yang masih kental merayakannya secara lengkap, tiga pekan itu adalah saat-saat penuh makna bagi perawatan batin. Mereka berdoa, mawas diri, bersedekah, mohon pengampunan, berterima kasih kepada Thian (Tuhan), leluhur, orang tua dan orang-orang yang dituakan, dan mohon pertolongan kepada Tuhan dan para dewa agar sehat, selamat dan sejahtera di tahun yang baru. Tetapi menurut pengakuan beberapa orang penganut Khonghucu bahwa mereka melakukan ritual dan perayaan Imlek itu selama lima belas hari. Mereka
melakukan ritual di rumah dan Kong Miao. Segala rangkaian prosesi perayaan Tahun Baru Imlek ini dimulai dengan suatu ritual yang dinamakan Cap Ji Gwee Jie Shie. Beberapa orang Khonghucu mengaku bahwa mereka melakukan ritual itu di rumah dan Miao. Pada permulaan hari itu, sesuai tradisi, orang Tionghoa menyalakan puluhan hio (dupa bergagang) dan lilin berketinggian kurang lebih setengah meter atau lebih. Bagi yang tidak mampu membeli itu, pelaksanaan sembahyang cukup dengan hio biasa, lilin kecil, minyak nabati, serta sesaji buahbuahan, kue serba manis, dan pembakaran hu (kertas merang bergambar kuda terbang). Kadang-kadang ritual ini juga sering disebut dengan Shang Sheng. Mereka melakukan sembahyang pada leluhur bagi yang ada altar di rumah. Sebagian dari mereka mengaku pergi ke Miao terdekat untuk sembahyang mengucapkan terima kasih atas lindungan Thian (Tuhan) sepanjang tahun. Di Kong Miao, para penganut Khonghucu melakukan ritual Imlek yang terdiri dari sembahyang, pembacaan kitab suci, nyanyian pujian kepada Thian dan para leluhur. Para penganut Khonghucu melakukan penyambutan kepada para Dewa langit dan bumi. Dupa atau hio dinyalakan dengan api dari lilin yang menghadap pintu masuk. Mereka melakukan sembahyang itu dengan cara sujud tiga kali di hadapan para dewa dan leluhur. Altar dihiasi dengan sesajian dan wadah yang serba lima (wu kung). Petugas prosesi ritual itu terdiri pembawa acara, pemandu musik, pemberi ceramah keagamaan, pembaca Kitab Suci, pemandu sembahyang dan jemaatnya. Pembawa acara mengenakan baju biasa sebanyak satu orang. Pemandu musik mengenakan baju batik sebanyak satu orang. Pemberi ceramah mengenakan baju
batik sebanyak satu orang. Prosesi ritual itu diisi dengan ceramah keagamaan yang berisi pesan moral. Pembaca kitab suci mengenakan baju biasa berwarna putih. Pemandu sembahyang terdiri dari tiga orang yaitu satu orang pemimpin dan dua orang pembantu. Seragam merah dikenakan oleh Ketua MAKIN selaku pimpinan ritual, sedangkan seragam biru dikenakan oleh petugas atau pembantu pimpinan. Sedangkan para jemaat mengenakan baju berbeda-beda. Pada acara ritual Imlek itu terdapat beberapa benda diantaranya, tulisan yang berbahasa Mandarin, beberapa patung Khonghucu sebagai pendiri agama dan beberapa patung murid Khonghucu, dupa (hio), mimbar, piano, tempat abu untuk menancapkan dupa, dan lilin di bagian altar. Selain itu deretan kursi mengisi ruangan untuk tempat duduk jemaat dan lampu lampion menghiasi ruangan itu. Salah seorang tokoh Tionghoa menyampaikan ceramah. Beberapa penggalan isi ceramahnya adalah sebagai berikut, Dalam menyambut tahun baru, kita harus merenungkan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di dunia seperti, bencana-bencana dan pertikaian politik. Dunia perdagangan juga menyerupai lahan peperangan, semuanya saling bersaing, etika moral terus merosot, sehingga membuat manusia hidup dalam kegelisahan, emosi yang tidak stabil, tidak mengenal kemampuan dan kelemahan dalam diri sendiri, hidup terjerumus ke dalam pemuasan nafsu dan pertikaian. Oleh karena itu, menyambut tahun baru Naga Air, kita memperbaharui diri melalui pertobatan, untuk mewujudkan tahun baru yang lebih baik dan lebih harmonis.
Setelah selesai acara ritual Imlek di Kong Miao, mereka saling bersalaman dengan cara mereka yaitu mengepalkan tangan yang diletakkan di dada masingmasing sambil agak membungkuk dan berkata, “Waide Tong Thian”. Ucapan itu
hamper sama dengan ucapan pembuka dalam ucapan salam. Ucapan itu mirip dengan ucapan Muslim dengan Assalamu‟alaikum. Sebagian dari mereka ada yang duduk sambil ramah tamah di ruang bawah Kong Miao. Sebagian lainnya melanjutkan kegiatan lainnya yaitu memberikan hormat kepada kedua orang tuanya, saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat. Sebagian lain terutama anak-anak dan remaja mementaskan barongsai dan pesta kembang api di luar gedung Miao. Bagi anak-anak muda mereka akan menyambut tahun baru dengan memasang petasan dan main Barongsai. Pada malam tahun baru setelah mereka berdoa dan makan malam, mereka tidur dengan menggunakan pakaian tidur yang baru umumnya berwarna merah. Setelah itu pada Hari Raya Imlek anggota keluarga para penganut Khonghucu, mengunjungi rumah anggota keluarga yang memelihara lingwei (meja abu) leluhur untuk bersembahyang. Atau mengunjungi rumah abu tempat penitipan lingwei leluhur untuk bersembahyang. Mereka melaksanakan pemujaan kepada leluhur, seperti, dalam upacara kematian, memelihara meja abu atau lingwei (lembar papan kayu bertuliskan nama almarhum leluhur), bersembahyang leluhur pada hari Ceng Beng (hari khusus untuk berziarah dan membersihkan kuburan leluhur) dan Hari Raya Imlek. Banyak pantangan yang tidak dilakukan pada hari tersebut. Sebagaimana menurut Teten dan law ungkapkan bahwa beberapa hal yang tidak boleh dilakukan saat Imlek. Pertama, dilarang membersihkan rumah. Menyapu atau membersihkan rumah dipercaya bisa mengakibatkan tersapunya keberuntungan
yang datang. Bahkan, semua perangkat rumah tangga, seperti sapu, sikat, dan penyedot debu yang biasa digunakan membersihkan debu pun harus turut disembunyikan. Kedua, menggunakan pisau dan gunting di hari Imlek dianggap dapat menghindari keberuntungan. Jadi, menurut mereka lebih baik hindari penggunaan kedua alat tersebut. Ketiga, hindari mencuci rambut saat Imlek tiba karena bermakna mengusir semua keberuntungan sampai satu tahun ke depan. Daripada mencuci rambut, lebih baik mengenakan pakaian berwarna merah yang berarti kebahagiaan, keceriaan, dan memberi keyakinan akan adanya masa depan yang cerah. Keempat, usahakan untuk melunasi seluruh utang sebelum Imlek dan hindari untuk meminjamkan uang pada hari itu. Jika tidak, ada kemungkinan anda akan terus dipinjami uang oleh orang lain sepanjang tahun. Kelima, jangan menangis di hari Imlek, karena ini dipercaya akan berdampak negatif dan menimbulkan kesialan sepanjang tahun ke depan. Keenam, setiap orang yang merayakan Imlek sebaiknya jangan menceritakan cerita tentang kesedihan dan kematian karena itu akan dianggap bermakna buruk dan sial. Ketujuh, hindari untuk menghidangkan bubur saat perayaan Imlek karena bubur dipercaya sebagai lambang kemiskinan. Lebih baik kata mereka menyajikan kue keranjang, jeruk, ikan bandeng sampai dengan Siu Mi saja. Kedelapan,
pantangan
lainnya
yaitu
tidak
boleh
bertengkar
atau
mengeluarkan kata-kata fitnah dan tidak boleh memecahkan piring. Namun jika kebetulan secara tidak sengaja ada piring atau mangkok yang pecah, untuk penangkalnya harus cepat-cepat mengucapkan Sue sue Phing an yang artinya setiap tahun tetap selamat.
Selain sajian-sajian itu yang menjadi tradisi di warga Tionghoa dalam menyambut Imlek adalah dengan menggunakan pakaian tidur berikut pakaian dalam yang masih baru. Maksudnya adalah untuk membuang kesialan tahun lalu. Pada hari kedua tahun baru Imlek itu adalah saatnya hue niang cia atau pulang ke rumah ibu. Mereka melakukan sembahyang di rumah atau di Kong Miao yaitu penyembahan nenek moyang dan para dewa. Hari ini bagi wanita yang sudah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau ang paw (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi ang paw atau Hung pau juga diberikan kepada anak-anak dan orang tua. Pada hari ketiga, mereka lebih banyak tinggal di rumah, tidak banyak melakukan perjalanan dan aktivitas di luar. Mereka meluangkan waktunya berkumpul dengan keluarga dan berdoa di rumah. Pada hari keempat adalah hari menyambut para dewa untuk kembali ke bumi. Konon menurut kepercayaan Dewa Dapur (Co Kun Kong) dan para dewa dari langit akan kembali ke Bumi. Pada hari kedatangan kembali para dewa-dewi itu, khususnya Dewa Dapur, akan disambut bunyi-bunyian antara lain dengan lonceng atau genta. Mereka biasanya ke Miao untuk Hi Fuk atau memohon kepada Dewa untuk mendapatkan perlindungan dan rejeki. Sesaji yang dibawa biasanya berupa buah-buahan juga ciu cha (arak) dan teh. Pada hari kelima, mereka tinggal di rumah untuk menyambut dewa kesejahteraan. Di antara mereka percaya bahwa apabila ada yang mengunjungi
sanak saudaranya pada hari kelima ini akan membawa sial pada kedua belah pihak. Hari keenam sampai dengan hari ketujuh mereka melakukan aktifitas seharihari. Mereka melakukan sembahyang tiap pagi dan sore, baik di depan pintu menghadap keluar atau ke langit di Kong Miao, maupun di depan altar yang berada di rumah. Setelah delapan hari Imlek, para penganut Khonghucu bersembahyang baik di rumah maupun di Miao. Ritual itu biasanya disebut King Thi Kong. Ritual ini mengingatkan para ribuan tahun sebelum Masehi, masyarakat Tionghoa sudah mengenal adanya Tuhan. Menurut salah seorang Tokoh Konghucu bahwa Kaisar Kuning (Oey Tee/ Huang Ti) pada tahun 4697 SM mengajarkan kepada rakyatnya nilai - nilai budaya yang tinggi, diantaranya adalah bersembahyang kepada Tuhan, menghormati Roh Suci dan memuliakan para leluhur. Masyarakat kuno yang sederhana dengan taat menjalankannya. Ritual ini disempurnakan oleh Pangeran Zhougong dan para pengikut berikutnya. Menurut tokoh Khonghucu itu bahwa upacara King Thi Kong dapat diselenggarakan secara sederhana atau lengkap, yang terpenting adalah ketulusan dan kesuciannya, bukan kemewahannya. Biasanya yang menjalankan ritual King Thi Kong adalah orang yang sudah berpantang makanan berjiwa atau vegetarian sejak beberapa hari sebelumnya. Dalam ritual ini, segala perlengkapan harus khusus atau tidak pernah dipergunakan untuk keperluan lainnya, bersih lahir dan batin.
Ritual dilaksanakan dengan mendirikan meja tinggi didepan pintu menghadap langit, bersembahyang mengucap syukur kepada Yang Kuasa, berjanji untuk hidup lebih baik terhadap sesama dan memenuh kewajiban sebagai mahluk ciptaanNya. Dipilih tanggal 9 bulan 1 adalah karena angka 1 berarti esa dan angka 9 adalah yang tertinggi. Menurut tokoh Khonghucu ritual ini mengingatkan sejarah kaisar Cina zaman dahulu. Orang-orang Cina dulu berkumpul di Altar Langit (Thian Tan), altar ini terletak di timur laut kota Beijing, membujur dari utara ke selatan, merupakan tempat kaisar-kaisar dari Dinasti Ming (1389 - 1644) dan Qing (1644 - 1912) melakukan ritual King Thi Kong. Altar tersebut didirikan pada tahun 1420 diatas tanah seluas 273 hektar. Kompleks Altar Langit dikelilingi taman luas, berbentuk lingkaran bersusun tiga seperti kue tart sehingga dinamakan juga Altar Bukit Bundar, tidak beratap dan tiap lingkaran dihubungkan dengan tangga yang batuannya terdiri dari 9 tangga. Semuanya terbuat dari batu granit putih dan diempat penjuru terdapat tiga gerbang yang indah. Orang- orang menyebutnya Kuil Surgawi, terbuat dari batu granit putih dengan genting berlapis warna biru, biru langit dan putih awan seperti warna-warna yang ada di langit. Kaisar bersembahyang ditempat tersebut diiringi oleh sekitar 3000 peserta upacara, membawa semua atribut kerajaan dengan naik tandu diiringi kereta kuda, gajah dan sebagainya dalam formasi yang harmonis, berangkat dari Istana Terlarang (Forbidden Palace). Tepat ditengah malam ritual dimulai hanya dengan diterangi cahaya obor, bulan dan bintang. Doa-doa dilantunkan hingga menjelang fajar.
Altar Langit atau Thian Tan biarpun sudah berusia berabad-abad, hingga sekarang masih terawat dengan sangat baik. Para penganut Khonghucu di Miao Kota Bandung pun melakukan ritual King Thi Kong. Ritual itu dilaksanakan di lantai bawah dengan menghadap keluar pada pukul 22.00 sampai dengan 12.00. Mereka membuat altar di depan pintu yang diisi dengan berbagai benda yang dianggap suci, seperti janur kelapa, pohon tebu, buah apel, lengkeng, lilin, dan lampion. Proses ritual King Thi Kong ini tidak jauh berbeda dengan ritual Imlek, hanya tempat dan maksudnya yang berbeda. Prosesi ritual ini tidak jau berbeda dengan ritual lainnya, hanya penulis tidak melihat nyanyian dengan piano pada ritual ini. Penulis mendengar berbagai pujian kepada Thian, leluhur mereka yang sudah meninggal dan yang sangat mengagumkan penulis para penganut Khonghucu di Miao Kota Bandung memuji dan berterimakasih kepada Gusdur atau Abdurahman Wahid yang telah berjasa terhadap mereka. Hari kesembilan sampai dengan hari kedua belas, saudara dan sahabat mereka diundang untuk makan malam. Sedangkan pada hari ketiga belas, mereka mangaku hanya makan bubur untuk meringankan perutnya. Pada hari keempat belas, para penganut Khonghucu menyiapkan hal-hal yang diperlukan (tanghung) untuk perayaan hari kelima belas. Tempat sembahyang ditata kembali. Sesaji dan alat-alat perlengkapan dipersiapkan untuk ritual yang kelima belas. Hari kelima belas mereka melakukan ritual dan perayaan Cap Go Meh. Ritual ini sebagai akhir dari rangkaian perayaan Imlek. Ritual ini dirayakan pada malam
bulan purnama pertama tahun tersebut yang jatuh pada tanggal 15 bulan pertama. Pelaksanaan ritual Cap Go Meh ini tidak jauh berbeda dengan ritual hari Imlek. F. Pola Pemahaman Ritual Imlek Setelah penulis melakukan wawancara mendalam dan observasi dengan beberapa penganut Khonghucu di Kota Bandung, penulis menemukan beberapa pola pemahaman ritual dan perayaan Imlek menurut mereka. Mereka memahami ritual
dan
perayaan
Imlek
dengan
beberapa
pola
pemahaman
yaitu,
keberuntungan, harapan baru, penerangan, sebagai sarana spiritual, dan solidaritas sosial. 1.
Keberuntungan Para penganut Khonghucu memahami bahwa ritual dan perayaan Imlek
memiliki makna keberuntungan. Keberuntungan itu mereka wujudkan dengan adanya pemberian dan penerimaan ang paw. Secara harafiah, kata “ang paw” berarti amplop yang berwarna merah. Ang paw telah menjadi salah satu simbol Tahun Baru Imlek. Setiap hari Imlek ini, di kalangan orang Tionghoa termasuk penganut Khonghucu melakukan tradisi itu. Menurut salah seorang penganut Khonghucu bahwa seseorang yang telah menikah memberikan ang paw yang berisi uang kepada orang yang lebih muda dan belum menikah. “Soal jumlah, hal ini tergantung pada kemampuan dan kerelaan dari sang pemberi,” katanya. Dia menjelaskan, “Sejak lama, warna merah melambangkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan Tionghoa. Warna merah menunjukkan kegembiraan, semangat yang pada akhirnya akan membawa nasib baik.” Ang paw sendiri adalah dialek Hokkian, arti harfiahnya adalah bungkusan atau amplop
merah. Namun ang paw sebenarnya bukan hanya monopoli perayaan tahun baru Imlek semata karena ang paw melambangkan kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik, sehingga ang paw juga ada di dalam beberapa perhelatan penting seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lainlain yang bersifat suka cita. Menurut Law bahwa ang paw pada tahun baru Imlek mempunyai istilah khusus yaitu "Ya Sui", yang artinya hadiah yang diberikan untuk anak-anak berkaitan dengan pertambahan umur atau pergantian tahun. Di zaman dulu, hadiah ini biasanya berupa manisan, bonbon dan makanan. Untuk selanjutnya, karena perkembangan zaman, orang tua merasa lebih mudah memberikan uang dan membiarkan anak-anak memutuskan hadiah apa yang akan mereka beli. Tradisi memberikan uang sebagai hadiah Ya Sui ini muncul sekitar zaman Ming dan Qing. Dalam satu literatur mengenai Ya Sui Qian dituliskan bahwa anak-anak menggunakan uang untuk membeli petasan, manisan. Tindakan ini juga meningkatkan peredaran uang dan perputaran roda ekonomi di Tiongkok di zaman tersebut. Uang kertas pertama kali digunakan di Tiongkok pada zaman Dinasti Song, namun baru benar-benar resmi digunakan secara luas di zaman Dinasti Ming. Walaupun telah ada uang kertas, namun karena uang kertas nominalnya biasanya sangat besar sehingga jarang digunakan sebagai hadiah Ya Sui kepada anak-anak. Di zaman dulu, karena nominal terkecil uang yang beredar di Tiongkok adalah keping perunggu (wen atau tongbao). Keping perunggu ini biasanya berlubang segi empat di tengahnya. Bagian tengah ini diikatkan menjadi untaian
uang dengan tali merah. Keluarga kaya biasanya mengikatkan 100 keping perunggu buat Ya Sui orang tua mereka dengan harapan mereka akan berumur panjang. Jadi, dari sini dapat kita ketahui bahwa bungkusan kertas merah (ang paw) yang berisikan uang belum populer di zaman dulu. Keberuntungan yang dihapami orang-orang Khonghucu dalam menyikapai hari Imlek bisa disebut sukacita. Makna suka cita itu diwujudkan mereka dengan berkumpul di keluarga, mengunjungi orang tua dan memberi atau mendapatkan ang paw. Keberuntungan hari Imlek ini ditandai juga dengan nama Shio pada tahun ini yang dipercaya memberikan keberuntungan dan rezeki. Orang-orang Tionghoa termasuk Khonghucu percaya bahwa pada tahun ini bernama shio naga air. Sejumlah warga keturunan Tionghoa percaya jika shio naga air dapat memberikan keberuntungan dan rezeki. Sebagaimana Tan ungkapkan "Shio naga sangatlah ditunggu-tunggu karena kemunculannya setiap 60 tahun. Untuk tahun ini shio naga air yang dipercaya memberikan keberuntungan dan rezeki," Sebagian orang tua dari kalangan Tionghoa mengatakan pada tahun naga menurut perhitungan nenek moyang, ada beberapa shio yang harus waspada. Beberapa shio akan mengalami ketidakberuntungan (qiong) pada tahun tertentu seperti shio ayam, babi, dan ular akan mengalami kesialan kecil. Namun Tokoh Khonghcu mengatakan bahwa pada dasarnya shio apa pun pasti mengalami kendala, hanya ramalan itu ada untuk mengingatkan kita agar berhati-hati dan sabar. Karena itu, warga Tionghoa lebih mengutamakan
sembahyang bersama keluarga. Terutama kalau masih ada orang tua, berkumpul di rumah orang tua minta maaf dan kemudian bersyukur dengan makan bersama. 2.
Harapan baru Beberapa orang Tionghoa yang menganut Khonghucu memahami bahwa
makna dari hari Imlek itu adalah memberikan harapan baru. Adanya pergeseran waktu pada malam tanggal satu bulan satu tahun 2563 atau tahun Cina bagi mereka menunjukkan adanya harapan baru. Pemahaman harapan baru dalam Imlek itu diwujudkan oleh orang-orang Tionghoa termasuk penganut Khonghucu dengan adanya pergantian waktu tepat pukul 12.00. Selain itu para penganut Khonghucu menyalakan petasan dan memainkan tarian Barongsai. Mercon atau petasan dinyalakan mereka pada malam tahun baru Imlek. Mercon dipahami para penganut Khonghucu merupakan alat untuk melawan kejahatan dan dapat mendatangkan perdamaian serta keberuntungan sepanjang tahun. Mercon juga dipahami orang-orang Khonghucu untuk mengusir yang jahat atau membuang kesialan tahun lalu dan menyambut segala yang baik. Mereka percaya bahwa semakin banyak petasan yang dinyalakan, maka semakin banya roh jahat yang terusir. Barongsai merupakan tarian singa yang dimainkan beberapa orang dengan bantuan peralatan tari dan musik. Tarin singa Barongsai yang dimainkan adalah singa yang wajahnya agak lucu dan memiliki gerakan kepala yang keras dan kaku. Singa ini melonjak-lonjak seiring dengan bunyi gong dan tambur. Para penganut Khonghucu percaya bahwa singa barongsai itu memiliki makna dapat membawa keberuntungan sehingga dapat dipentaskan pada berbagai
acara dan ritual. Menurut beberapa orang Khonghucu, singa barongsai itu bisa dimainkan tidak hanya pada perayaan Imlek, tetapi juga pada acara pembukaan rumah makan, pendirian Mio (tempat sembahyang) atau litang (aula) dan acara besar lainnya dalam masyarakat Khonghucu. 3.
Penerangan Ritual dan perayaan Imlek dipercaya sebagai penerang, baik penerang jiwa
maupun penerang lampu. Sebagaimana mereka menyalakan lilin dan lampion pada hari Imlek. Pada awalnya lampion adalah lampu yang diselubungi dengan kain atau keras berwarna merah dan berfungsi sebagai alat penerangan. Seiring dengan perkembangan zaman, sekarang mereka menggunakan lampion sebagai hiasan dinding dan dengan beragam hiasan gambar dan tulisan. 4.
Ibadah kepada Tuhan Thian Orang-orang Khonghucu umumnya memahami hari Imlek itu tidak hanya
sebagai hari libur dengan kegiatan wisata atau belanja tetapi juga dipahami sebagai sarana ritual kepada Tuhan yang mereka yakni Thian dan leluhur mereka. Menurut Chen salah seorang penganut Khonghucu di Kota Bandung, "Imlek bagi agama khonghucu merupakan hari raya agama, dan umat khonghucu beribadah sesuai dengan spirit". Dia mempertegas bahwa ibadah umat khonghucu ditujukan kepada tiga hal pokok yaitu kepada Tuhan (Thian), alam, dan leluhur. Menurut penganut Khonghucu tahun baru China yang jatuh pada bulan 1 tgl 1 tersebut merupakan ibadah kepada Tuhan. Masih banyak ibadah kepada Tuhan, dan itu merupakan hari raya bagi umat khonghucu. Dia pun menjelaskan bahwa perayaan Imlek sempat pada suatu jaman dinasti, jatuh pada hari raya Tangcik, akan tetapi
oleh nabi Kongzi disabdakan untuk kembali ke penanggalan dinasti yang awal, yaitu saat bulan 1 tanggal 1 tahum Imlek. Menurut beberapa orang Khonghucu bahwa hio artinya harum. Makna harum disini ialah Dupa, yaitu bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap berbau sedap atau harum. Menurut Tokoh Khonghucu Dupa yang dikenal pada jaman Nabi Khonghucu (Kongzi) berwujud bubuk atau belahan kayu, misalnya, Tiem Hio (Cheng Xiang), Bok Hio (Mu Xiang)/Gaharu, Than Hio (Tan Siang)/Cendana dan lain-lain. Membakar dupa/hio mangandung makna, jalan Suci itu berasal dari kesatuan hatiku (Dao You Xin He) dan hatiku dibawa melalui keharuman dupa (Xin Jia Xiang Chuan). Selain itu dupa juga berfungsi untuk menenteramkan pikiran, memudahkan konsentrasi, meditasi -seperti aroma terapi pada jaman sekarang, mengusir hawa atau hal-hal yang bersifat jahat, mengukur waktu, terutama pada jaman dahulu, sebelum ada lonceng atau jam. Dupa itu memiliki gagang dan warna yang bermacam-macam, ada yang bergagang hijau, bergagang merah dan tidak bergagang. Dupa yang bergagang Hijau gunanya khusus untuk bersembahyang di depan jenasah keluarga sendiri atau dalam masa perkabungan.
Dupa yang bergagang Merah gunanya untuk
bersembahyang pada umumnya. Contoh ke altar Thian/Tuhan, altar Nabi, Shen Ming (para suci), dan leluhur. Dupa yang tidak bergagang, berbentuk piramida, bubukan dan sebagainya berguna untuk menenteramkan pikiran, mengheningkan cipta, mengusir hawa jahat.
Dupa yang bergagang Merah digunakan pada ritual-ritual tertentu dengan mempertimbangkan jumlah batang dalam penggunaannya. 1 batang dapat digunakan untuk segala upacara sembahyang. Dupa ini bermakna memusatkan pikiran untuk sungguh-sungguh bersujud. Dua batang berguna untuk menghormat kepada arwah orang tua/yang meninggalnya telah melampaui 2 x 360 hari/setelah sembahyang Tai Siang atau ke hadapan altar jenasah bukan keluarga sendiri. Dupa ini mengandung makna ada hubungan Iem Yang (Yin dan Yang) atau Negatif dan Positif dan ada hubungan duniawi. Tiga batang berguna untuk bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa/Nabi/Para Suci. Empat batang memiliki kesamaan makna dengan 2 batang. Lima batang berguna untuk menghormat arwah umum, umpamanya pada sembahyang bulan VIII Imlek (Yin Li): sembahyang King Hoo Ping (Jing He Ping). Mengandung makna melaksanakan Lima Kebajikan (Ngo Siang/Wu Chang) atau sembahyang Thu Thi Kung (Hok Tek Ceng Sin). Delapan batang sama guna dengan 2 batang, khusus untuk upacara kehadapan jenazah oleh Pimpinan Upacara dari Majelis Agama (MAKIN). Mengandung makna Delapan Kebajikan. Sembilan batang untuk bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa, Nabi Konghucu dan Para Suci. Sedangkan 1 pak boleh sebagai pengganti 9 batang atau 1 batang. Ketika penulis bertanya kepada salah seorang penganut Khonghucu mengapa ritual Imlek itu masih berkaitan dengan kehidupan spiritual termasuk leluhur mereka yang sudah meninggal, maka dia menjawab, Ketika manusia meninggal dunia maka jasadnya turun ke bumi, sedangkan rohnya hidup terus di langit sebagai Chi. Hal ini memungkinkan orang yang masih hidup untuk berhubungan dengan leluhur mereka yang sudah meninggal dunia melalui pemujaan, ritual, dan upacara.
Dia menjelaskan bahwa ritual dan perayaan Imlek ini tidak hanya dipahami sebagai kebudayaan tetapi sebagai ritual keagamaan Khonghucu dan bukan hari raya umat lainnya. Sebagaimana dia jelaskan,
Saya ingin meluruskan beberapa hal yg berkaitan dg agama Khonghucu. Laku bakti, apalagi Sembahyang, jelas bukan sekedar Kebudayaan, di dalamnya ada makna-makna agamis bagi umat Khonghucu. Imlek memang bukan hari raya keagamaan umat Buddha. Imlek adalah salah satu bagian dr rangkaian ritual, ibadah, sembahyang kepada Thian (Tuhan Yang Maha Esa), Leluhur dan Sin Beng atau Shen Ming atau Roh Suci bagi umat agama Khonghucu, yang berlangsung mulai tanggal 1 bulan 1 Imlek (Kongzi-li), maka jelas sekali kalau perayaan tahun baru Imlek adalah perayaan keagamaan bagi umat agama Khonghucu. Dan memang tidak semestinya salah kaprah kalau umat agama Buddha ikut-ikutan melakukan perayaan keagamaan yg bukan berasal dari ajaran agamanya ini, dengan bersembahyang ke kelenteng-kelenteng atau Vihara. Tahun 1 Imlek/Khongcu-lik ditetapkan oleh raja Han Wu DI, dari dinasti Han (206 s.M - 220 M), dengan mengambil tahun kelahiran nabi Khongcu/Kongzi (551 s.M) untuk menghormati, mengenang jasa Nabi Kongzi yang menganjurkan untuk dipakainya kembali penanggalan dinasti He/Xia (abad 23 s.M).
Dia pun mengkritik istilah penanggalan Imlek. Menurut dia seharusnya istilahnya bukan Imlek tetapi Kongzi-li atau Khonghucu-lik. Sebagaimana dia jelaskan, Sebutan penanggalan Imlek sendiri sebenarnya salah kaprah juga, yang lebih cocok diebut sebagai He-Lik/Xia-Li (karena dinasti tersebut yang pertama kali memakainya) atau yangg paling tepat disebut Kongzi-Li/Khongcu-lik (karena Nabi Khongcu yang menganjurkan untuk dipakai kembali penanggalan ini, disamping tahun 1 yang dipakai adalah tahun kelahiran Nabi Kongzi. Penanggalan ini tidak hanya berdasar dari peredaran bulan mengelilingi bumi, tapi juga disesuaikan dengan peredaran bumi mengeliling matahari, sehingga dapat diketahui kapan saat pasang surut air laut, kapan keempat musim berganti, sehingga pedoman ini sangat cocok bagi petani dan nelayan yang saat itu (jaman Nabi Kongzi) memang menjadi mata pencaharian sebagian besar rakyat Tiongkok. Ajaran Nabi Khongcu yg telah berlangsung selama ribuan tahun, telah mengakar dalam pola pikir, menjadi pedoman hidup sebagian besar orang-orang Tionghoa (kalau tidak bisa dikatakan semua orang-orang Tionghoa). Maka tidak heran akhirnya ajaran Nabi Khongcu ini
menjadi budaya bagi masyarakat Tionghoa, namun jangan kemudian diartikan bahwa perayaan keagamaan, ajaran-ajaran Nabi ini hanyalah kebudayaan, tradisi, dan sebagainya, karena ini seperti kacang yg lupa kulitnya, orang yang lupa atau melupakan asal usulnya. Orang boleh saja menggunakan ajaran-ajaran Nabi Khongcu sebagai pedoman hidup tanpa harus mengimani agama Khonghucu, namun hendaknya tetap sportif mengakui bahwa apa yang diajarkan Nabi Khongcu mengandung nafas-nafas Imani serta memiliki nilai-nilai agamis.
Menurut dia, apabila ada orang yang mengatakan bahwa perayaan Imlek itu bukan perayaan umat Khonghucu, maka orang tersebut sedang berupaya membelokan sejarah Imlek itu sendiri. Sebagaimana dia jelaskan, Saya ga ngerti yang disebutkan orang-orang yang mengatakan Imlek bukan hari raya umat Khonghucu. Seharusnya jangan membelokan sejarah, sudah jelas-jelas diambil dari tahun kelahiran nabi khong zi 551 sm masih saja diperdebatkan bukan hari raya agama Khong hu cu !!! Berpikirlah secara bijaksana jangan picik membelokan sejarah.
Dengan demikian bagi orang Khonghucu Imlek itu dipahami tidak hanya sebagai peristiwa alam yang memiliki dampak sosial dan ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan keyakinan agama Khonghucu yang mereka anut, sehingga Imlek menjadi penting. Mereka melakukan ritual, karena terdapat nilai-nilai kesakralan yang berupa makna, banda, waktu, tempat dan orang-orang tertentu di dalam ritual Imlek tersebut.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Para penganut agama Khonghucu di Kota Bandung melakukan ritual dan perayaan Imlek sejak kedatangan mereka ke Kota Bandung, baik dilakukan di rumah maupun di tempat sembahyang. Berbagai dinamika dalam ritual dan perayaan Imlek telah mereka alami sejak kedatangan orang-orang Khonghucu ke kota Bandung hingga pada tahun 2563 atau 2012 M. Sejak masa reformasi, biasanya para penganut Khonghucu melakukan proses ritual dan perayaan Imlek itu dengan berbagai tahapan. Berbagai persiapan, pelaksanaan dan pasca hari Imlek dilakukan para penganut Agama Khonghucu di Kota Bandung. Mereka pun memiliki pola pemahaman yang berbeda terhadap kegiatan ritual dan perayaan Imlek tersebut. Untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai kesimpulan penelitian ini, penulis menguraikan dua hal penting. Pertama, proses ritual perayaan Imlek yang dilakukan para penganut Agama Khonghucu. Kedua, pola pemahaman para penganut Khonghucu dalam memahami ritual perayaan Imlek di MAKIN Kota Bandung. A. Kesimpulan Para penganut agama Khonghucu melakukan proses ritual dan perayaan Imlek yang terdiri atas empat kegiatan utama yaitu ritual menghantar Dewa
Dapur naik kelangit, ritual Imlek, dan perayaan Cap Go Meh. Ritual menghantar Dewa naik ke langit dilaksanakan seminggu sebelum tahun baru. Ritual Imlek dilaksanakan saat penelitian tahun baru. Ritual King Thi Kong atau Sembahyang Tuhan dilaksanakan mereka pada saat menjelang tengah malam tanggal 8 bulan pertama atau seminggu sesudah hari Imlek. Perayaan Cap Go Meh sebagai akhir dari perayaan Imlek dilaksanakan pada malam bulan purnama pertama tahun tersebut yang jatuh pada tanggal 15 bulan pertama Tahun Cina. Sejak tanggal 1 bulan 1 tahun Imlek, para penganut Khonghucu melakukan ritual dan perayaan Imlek itu selama lima belas hari. Menjelang Tahun Baru Imlek mereka melakukan ritual di rumah dan Kong Miao. Segala rangkaian prosesi perayaan Tahun Baru Imlek ini dimulai dengan suatu ritual yang dinamakan Cap Ji Gwee Jie Shie. Pada permulaan hari itu, sesuai tradisi, orang Tionghoa menyalakan puluhan hio (dupa bergagang) dan lilin berketinggian kurang lebih setengah meter atau lebih. Bagi yang tidak mampu membeli itu, pelaksanaan sembahyang cukup dengan hio biasa, lilin kecil, minyak nabati, serta sesaji buahbuahan, kue serba manis, dan pembakaran hu (kertas merang bergambar kuda terbang). Kadang-kadang ritual ini juga sering disebut dengan Shang Sheng. Mereka melakukan sembahyang pada leluhur bagi yang ada altar di rumah. Sebagian dari mereka mengaku pergi ke Miao terdekat untuk sembahyang mengucapkan terima kasih atas lindungan Thian (Tuhan) sepanjang tahun. Di Kong Miao, para penganut Khonghucu melakukan ritual Imlek yang terdiri dari sembahyang, pembacaan kitab suci, nyanyian pujian kepada Thian dan para leluhur. Para penganut Khonghucu melakukan penyambutan kepada para Dewa
langit dan bumi. Mereka melakukan sembahyang itu dengan cara sujud tiga kali di hadapan para dewa dan leluhur. Altar dihiasi dengan sesajian dan wadah yang serba lima (wu kung). Petugas prosesi ritual itu terdiri pembawa acara, pemandu musik, pemberi ceramah keagamaan, pembaca Kitab Suci, pemandu sembahyang dan jemaatnya. Pembawa acara mengenakan baju biasa sebanyak satu orang. Pemandu musik mengenakan baju batik sebanyak satu orang. Pemberi ceramah mengenakan baju batik sebanyak satu orang. Prosesi ritual itu diisi dengan ceramah keagamaan yang berisi pesan moral. Pembaca kitab suci mengenakan baju biasa berwarna putih. Pemandu sembahyang terdiri dari tiga orang yaitu satu orang pemimpin dan dua orang pembantu. Seragam merah dikenakan oleh Ketua MAKIN selaku pimpinan ritual, sedangkan seragam biru dikenakan oleh petugas atau pembantu pimpinan. Sedangkan para jemaat mengenakan baju berbeda-beda. Terdapat beberapa benda pada acara ritual Imlek diantaranya, tulisan yang berbahasa Mandarin, patung Khonghucu sebagai pendiri agama dan beberapa patung murid Khonghucu, dupa (hio), mimbar, piano, tempat abu untuk menancapkan dupa, dan lilin di bagian altar. Selain itu deretan kursi mengisi ruangan untuk tempat duduk jemaat dan lampu lampion menghiasi ruangan itu. Setelah selesai acara ritual Imlek di Kong Miao, mereka saling bersalaman dengan cara mereka yaitu mengepalkan tangan yang diletakkan di dada masingmasing sambil agak membungkuk dan berkata, “Waide Tong Thian”. Ucapan itu hampir sama dengan ucapan pembuka dalam ucapan salam. Ucapan itu mirip dengan ucapan Muslim dengan Assalamu‟alaikum.
Beberapa penganut Khonghucu melanjutkan kegiatan lainnya
yaitu
memberikan hormat kepada kedua orang tuanya, saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat. Anak-anak dan remaja mementaskan Barongsai dan pesta kembang api di luar gedung Miao. Bagi anak-anak muda mereka akan menyambut tahun baru dengan memasang petasan dan main Barongsai. Pada malam tahun baru setelah mereka berdoa dan makan malam, mereka tidur dengan menggunakan pakaian tidur yang baru umumnya berwarna merah. Pada Hari Raya Imlek anggota keluarga para penganut Khonghucu, mengunjungi rumah anggota keluarga yang memelihara lingwei (meja abu) leluhur untuk bersembahyang. Mereka mengunjungi rumah abu tempat penitipan lingwei leluhur untuk bersembahyang. Mereka melaksanakan pemujaan kepada leluhur, dan membersihkan kuburan leluhur. Pada hari kedua tahun baru Imlek, para penganut Khonghucu melakukan hue niang cia atau pulang ke rumah ibu. Mereka bersembahyang di rumah atau di Kong Miao. Mereka menghadap foto dan patung nenek moyang dan para dewa. Hari ini bagi wanita yang sudah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau ang paw (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi ang paw atau Hung Pau juga diberikan kepada anak-anak dan orang tua. Pada hari ketiga, para penganut Khonghucu lebih banyak tinggal di rumah, tidak banyak melakukan perjalanan dan aktivitas di luar. Mereka memanfaatkan waktunya dengan berkumpul dengan keluarga dan berdoa di rumah.
Pada hari keempat para penganut Khonghucu melakukan sembahyang menyambut para dewa untuk kembali ke bumi. Mereka percaya bahwa Dewa Dapur (Co Kun Kong) dan para dewa dari langit akan kembali ke Bumi. Biasanya dalam menyambut Dewa Dapur, mereka melakukannya dengan bunyi-bunyian antara lain dengan lonceng atau genta. Mereka biasanya ke Miao untuk Hi Fuk atau memohon kepada Dewa untuk mendapatkan perlindungan dan rejeki. Sesaji yang dibawa biasanya berupa buah-buahan juga ciu cha (arak) dan teh. Pada hari kelima, para penganut Khonghucu diam di rumah untuk menyambut dewa kesejahteraan. Di antara mereka percaya bahwa jika ada yang mengunjungi sanak saudaranya pada hari kelima ini akan membawa sial pada kedua belah pihak. Hari keenam sampai dengan hari ketujuh, para penganut Khonghucu melakukan aktifitas sehari-hari. Mereka melakukan sembahyang tiap pagi dan sore, baik di depan pintu menghadap keluar atau ke langit di Kong Miao, maupun di depan altar yang berada di rumah. Sebagian dari mereka pun mulai berdagang atau melakukan aktifitas lainnya. Hari kedelapan, para penganut Khonghucu bersembahyang baik di rumah maupun di Miao. Ritual itu biasanya disebut King Thi Kong. Ritual ini mengingatkan para ribuan tahun sebelum Masehi, masyarakat Tionghoa sudah mengenal adanya Tuhan. Disamping mereka mengenal nilai - nilai budaya yang tinggi, diantaranya adalah bersembahyang kepada Tuhan, menghormati Roh Suci dan memuliakan para leluhur. Menurut beberapa orang tokoh Khonghucu bahwa
upacara King Thi Kong dapat diselenggarakan secara sederhana atau lengkap, yang terpenting adalah ketulusan dan kesuciannya, bukan kemewahannya. Para penganut Khonghucu di Miao Kota Bandung pun melakukan ritual King Thi Kong. Ritual itu dilaksanakan di lantai bawah dengan menghadap keluar pada pukul 22.00 sampai dengan 12.00. Altar disusun mereka di depan pintu yang diisi dengan berbagai benda yang dianggap suci, seperti janur kelapa, pohon tebu, buah apel, lengkeng, lilin, dan lampion. Penulis tidak melihat nyanyian dengan piano pada ritual ini. Penulis mendengar berbagai pujian kepada Thian, leluhur mereka yang sudah meninggal. Mereka memuji dan berterimakasih kepada Gusdur atau Abdurahman Wahid yang telah berjasa terhadap mereka, sehingga mereka bisa melaksanakan ritual secara terbuka. Hari kesembilan sampai dengan hari kedua belas, saudara dan sahabat mereka diundang untuk makan malam. Sedangkan pada hari ketiga belas, mereka mangaku hanya makan bubur untuk meringankan perutnya. Pada hari keempat belas, para penganut Khonghucu menyiapkan hal-hal yang diperlukan (tanghung) untuk perayaan hari kelima belas. Tempat sembahyang di tata kembali. Sesaji dan alat-alat perlengkapan dipersiapkan untuk ritual yang kelima belas. Hari kelima belas mereka melakukan ritual dan perayaan Cap Go Meh. Ritual ini sebagai akhir dari rangkaian perayaan Imlek. Ritual ini dirayakan pada malam bulan purnama pertama tahun tersebut yang jatuh pada tanggal 15 bulan pertama. Pelaksanaan ritual Cap Go Meh ini tidak jauh berbeda dengan ritual hari Imlek.
Selanjutnya para penganut Khonghucu memahami ritual dan perayaan Imlek dengan beberapa pola pemahaman yang berbeda. Ritual dan perayaan Imlek dipahami mereka sebagai, keberuntungan, harapan baru, penerangan, sarana spiritual, solidaritas sosial dan sebagai sarana ritual kepada Thian, orang suci atau seng beng dan leluhur mereka. Pola-pola pemahaman ritual dan perayaan Imlek tersebut diwujudkan dengan berbagai kegiatan dan benda-benda yang ada dalam ritual dan prayaan Imlek tersebut. Beberapa kegiatan selain ritual dilakukan orang Khonghucu seperti, berkumpul di keluarga, mengunjungi orang tua dan memberi atau mendapatkan ang paw. Mereka bersembahyang bersama keluarga. Terutama kalau mereka masih punya orang tua, berkumpul di rumah orang tua minta maaf dan kemudian bersyukur dengan makan bersama. Benda-benda yang terdapat dalam ritual dan perayaan Imlek diantaranya, gambar naga, Barongsai, lampion, ang paw, petasan, lilin, dan dupa. Tahun Shio naga air dipercaya oleh para penganut Khonghucu memberikan keberuntungan dan rezeki.
Tarian singa Barongsai memiliki makna dapat
membawa
keberuntungan sehingga dapat dipentaskan pada berbagai acara dan ritual. Lilin dan lampion berwarna merah berfungsi sebagai alat penerangan dan dipahami sebagai penerang jiwa. Ang paw dipahami mereka sebagai ungkapan kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik Petasan dan Mercon dipahami para penganut Khonghucu merupakan alat untuk
melawan
kejahatan
dan
dapat
mendatangkan
perdamaian
serta
keberuntungan sepanjang tahun. Mercon juga dipahami orang-orang Khonghucu
untuk mengusir yang jahat atau membuang kesialan tahun lalu dan menyambut segala yang baik. Mereka percaya bahwa semakin banyak petasan yang dinyalakan, maka semakin banya roh jahat yang terusir. Dupa (hio) berfungsi untuk menenteramkan pikiran, memudahkan konsentrasi, meditasi atau terapi, mengusir hawa atau hal-hal yang bersifat jahat, mengukur waktu, terutama pada jaman dahulu, sebelum ada lonceng atau jam. Dupa yang bergagang Merah gunanya untuk bersembahyang pada umumnya. Contoh ke altar Thian/ Tuhan, altar Khonghucu, Shen Ming/ Sheng Beng (para suci), dan leluhur. Dupa yang tidak bergagang, berbentuk piramida, bubukan dan sebagainya berguna untuk menenteramkan pikiran, mengheningkan cipta, mengusir hawa jahat. Imlek itu dipahami tidak hanya sebagai peristiwa alam yang memiliki dampak sosial dan ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan keyakinan agama Khonghucu yang mereka anut, sehingga Imlek menjadi penting. Mereka melakukan ritual, karena terdapat nilai-nilai kesakralan yang berupa makna, banda, waktu, tempat dan orang-orang tertentu di dalam ritual Imlek tersebut. B. Saran Setelah penulis melakukan penelitian mengenai proses dan makna ritual dan perayaan Imlek di Kota Bandung, penulis menyarankan kepada peneliti lainnya untuk meneliti lanjutan terhadap hal-hal yang belum ditemukan penulis dalam penelitian ini. Terdapat beberapa hal yang penulis belum dapat deskripsikan seluruhnya, diantaranya makanan, tanaman dan makna lainnya yang terdapat dalam ritual Imlek.
Penulis menyadari bahwa ritual dan perayaan Imlek ini merupakan salah satu untur
keagamaan dari beberapa unsur lainnya yaitu Emosi keagamaan,
sistem doktrin, ritual, dan lembaga keagamaan. Oleh karena itu penulis menyarankan untuk lebih lengkap mengkaji agama Khonghucu secara lengkap sehingga dapat diteliti keempat unsur agama tersebut. Di samping itu penulis menyarankan dalam kajian agama Khonghucu perlu dikaji dengan pendekatan eksternalistik yang menggunakan karakter sosial dan historis, agar dapat memperkaya dan mengembangkan kajian keberagamaan, dan pendekatan internalistik guna memahami makna hidup, makna alam, makna sosial dan makna spiritual di kalangan para penganut Khonghucu.