BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Amerika Serikat adalah negara besar yang memiliki kekuatan ekonomi terkuat di dunia, dan memberikan kontribusi sekitar 20-30% dari perputaran ekonomi dunia. Ekonomi Amerika Serikat memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$13,1 triliun, atau setara 20% dari PDB dunia pada tahun 2007. PDB Amerika Serikat naik pada kuartal ketiga sebesar 4,9%, bahkan masih memiliki daya beli konsumen yang tinggi, tetapi ternyata tidak mampu bertahan akibat krisis kredit pada pasar mortgage senilai US$1,8 triliun pada tahun 2008 (Sihono, 2009). Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat pada pertengahan tahun 2008 akan diuraikan sebagaimana telah diulas Hanafi (2012: 342) yang bermula dari kasus gagal bayarnya subprime mortgage hingga bangkrutnya perusahaanperusahaan besar di Amerika Serikat. Subprime mortgage merupakan kredit perumahan kepada nasabah yang tidak memenuhi persyaratan/kualifikasi sebagai nasabah prime. Nasabah yang pernah mengalami kegagalan dalam menyelesaikan kreditnya, seperti gagal melunasi kredit sehingga terjadi penunggakan dan mengalami penyitaan aset. Para nasabah tersebut dapat dikatakan mempunyai risiko yang tinggi karena mempunyai probabilitas pembayaran kredit yang kecil. Sebelum terjadinya krisis, pada tahun 2001 Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) menurunkan tingkat bunga pinjaman antarbank satu hari yang
1
bunganya ditentukan oleh The Fed (Fed Fund Rate) sebagai akibat dari kekhawatiran terjadinya resesi ekonomi di Amerika Serikat setelah serangan yang meluluhlantakkan World Trade Center (WTC). Penurunan tingkat bunga Fed Fund Rate tersebut pada bulan Juni 2003 menjadi hanya 1% dan bertahan selama satu tahun. Tingkat bunga kredit perumahan pun ikut turun mengikuti tingkat bunga Fed Fund Rate, secara langsung meningkatkan jumlah peminjam kredit kepemilikan perumahan. Tingkat bunga berkisar 5,8% flat dengan jangka waktu kredit selama 30 tahun. Tingkat bunga tersebut merupakan yang terendah sejak tahun 1960-an. Banyaknya peminjam tersebut juga dilatarbelakangi oleh kebijakan pada masa pemerintahan Presiden Clinton pada tahun 1999 yang mendorong kepemilikan rumah bagi kaum minoritas (imigran). Dimana biasanya kaum minoritas tersebut memiliki pendapatan yang rendah dan masuk dalam kategori subprime. Bank melakukan inovasi keuangan (sekuritisasi) atas pembayaran kredit perumahan yang diterima dari peminjam. Bank menerbitkan dan menjual obligasi dengan jaminan dana angsuran kredit yang dibayarkan tersebut. Dana yang diperoleh atas penjualan obligasi disalurkan ke dalam kredit perumahan lagi, kemudian diterbitkan obligasi lagi, dijual ke pasar keuangan, dan begitu seterusnya hingga dana di pasar keuangan habis. Proses tersebut dapat mengurangi risiko kredit yang ditanggung oleh bank, tetapi dapat memunculkan risiko lainnya, seperti risiko perubahan harga aset, risiko likuiditas, risiko counterparty. Pembeli obligasi tersebut dari berbagai pihak termasuk pemodal
2
dari luar Amerika Serikat. Penawaran obligasi tersebut dibuat menarik sehingga menarik banyak pemodal. Pasar mortgage di Amerika Serikat berkembang pesat, diperkirakan mencapai nilai US$12 triliun pada tahun 2007. Untuk subprime mortgage nilai pasarnya diperkirakan sekitar US$1,3 triliun pada bulan Maret 2007. Sekitar 6,8% dari total pasar mortgage atau sekitar US$88 miliar merupakan subprime adjustable rate mortgage (ARM), yaitu pinjaman dengan tingkat bunga mengambang sekitar tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian kredit. Proporsi subprime mortgage terhadap total mortgage terjadi peningkatan, dari hanya 5% pada tahun 1994 menjadi 20% pada tahun 2006. Perkembangan permintaan rumah meningkat pesat sehingga mendorong pengembang untuk membangun rumah dengan jumlah yang lebih banyak lagi. Kelebihan penawaran pun akhirnya terjadi membuat Amerika Serikat dilanda housing bubble. Pada tahun 2006 gelembung perumahan mulai pecah (bubble burst). Tingkat bunga meningkat tajam membuat nasabah ARM terbebani bunga cicilan yang tinggi. Gagal bayarpun akhirnya terjadi. Jumlah penyitaan aset nasabah ARM meningkat menjadi 25% pada bulan Mei 2008. Total gagal bayar dan penyitaan pada pasar mortgage mencapai sekitar 9,2% dimana 43% diantaranya merupakan nasabah ARM. Hal tersebut mendorong turunnya harga perumahan sehingga jaminan menjadi semakin rendah nilainya. Rendahnya nilai jaminan tersebut menstimulasi nasabah untuk gagal bayar karena nilainya lebih rendah dari nilai kredit. Kredit perumahan yang tadinya dijadikan sebagai jaminan atas penerbitan obligasi berakibat pada penurunan nilai obligasi yang pada saat itu dipegang oleh
3
banyak pihak. Hal tersebut secara langsung mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi perusahaan atau lembaga keuangan pemegang obligasi. Beberapa perusahaan besar di Amerika Serikat mengalami kerugian besar bahkan kebangkrutan, seperti Morgan Stanley, Merrill Lynch, Citigroup, Bear Stearns, Lehman Brothers, Washington Mutual, dan AIG. Memburuknya kondisi perekonomian Amerika Serikat yang disusul dengan kebangkrutan lembaga-lembaga keuangan besar membuat pasar modal di Amerika Serikat terguncang, khususnya Dow Jones. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJI) mengalami penurunan dari level US$12.000-an pada Januari 2008 menjadi hanya US$9.000-an pada bulan Oktober 2008 dan terus menurun menjadi US$8.000-an pada bulan Desember 2008. Adapun pergerakan indeks Dow Jones Industrial Average tersaji sebagaimana grafik pada Gambar 1.1. 14,000.00 Indeks DJI (US$)
12,000.00 10,000.00 8,000.00 6,000.00 4,000.00
DJI (USD)
2,000.00 0.00
Gambar 1.1 Pergerakan Indeks Dow Jones Industrial Average Tahun 2008 Sumber: finance.yahoo.com
Kondisi makroekonomi Amerika Serikat pun terpuruk akibat krisis kredit pasar mortgage. Tingkat suku bunga jangka pendek Amerika Serikat mengalami
4
kenaikan dari 2,79% pada Agustus 2008 menjadi 3,59% pada September 2008 dan terus mengalami kenaikan menjadi 4,32% pada Oktober 2008. Tingkat inflasi mencapai posisi 5,4% pada bulan Agustus 2008 dan 4,9% pada bulan September 2008 sehingga pada tahun 2008 inflasi mencapai 5,6%, dari sebelumnya hanya 2,1% pada awal tahun 2007. Tingginya inflasi menyebabkan penurunan daya beli masyarakat Amerika Serikat sehingga membuat permintaan impor ke negaranegara lain menurun. Perubahan nilai ekspor dan impor mempengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB), dimana indeks produksi industri merupakan indikator perekonomian yang sering digunakan untuk menggantikan PDB dikarenakan publikasi datanya yang dilakukan setiap bulan (Nezky, 2013). Pada bulan September 2008, indeks produksi industri mengalami penurunan menjadi 102,2 dari bulan sebelumnya. Walaupun hanya sedikit mengalami peningkatan pada bulan Oktober 2008 menjadi 103 tetapi pada bulan-bulan berikutnya mengalami penurunan, dimana pada bulan Desember 2008 hanya mencapai 98,8. Uang beredar (M1), dalam indeks, pada bulan September 2008 mengalami kenaikan menjadi 83,9 dari 80,9 pada bulan Agustus 2008, dan terus mengalami peningkatan hingga bulan Desember 2008 menjadi 92,1. Kenaikan uang beredar kemudian diikuti dengan kebijakan Quantitative Easing (QE) pada bulan Maret 2009 berupa pencetakan uang dalam jumlah yang signifikan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk meningkatkan likuiditas. Adapun pergerakan indikatorindikator makroekonomi Amerika Serikat berupa tingkat suku bunga jangka pendek, inflasi, produksi industri, dan uang beredar (M1) tersaji sebagaimana grafik pada Gambar 1.2 hingga 1.5.
5
Tingkat Bunga (%)
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
STR_US
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt. Nov. Des.
Gambar 1.2 Pergerakan Tingkat Suku Bunga Jangka Pendek Amerika Serikat Tahun 2008 Sumber: stats.oecd.org
Tingkat Inflasi (%)
6 5 4 3 INF_US
2 1 0 Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt. Nov. Des.
Gambar 1.3 Pergerakan Inflasi Amerika Serikat Tahun 2008 Sumber: stats.oecd.org
6
Indeks Produksi Industri (2010=100)
112 110 108 106 104 102 100 98 96 94 92
IP_US
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt. Nov. Des.
Gambar 1.4 Pergerakan Produksi Industri Amerika Serikat Tahun 2008 Sumber: stats.oecd.org
Indeks Uang Beredar (M1) (2010=100)
95 90 85 M1_US
80 75 70 Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt. Nov. Des.
Gambar 1.5 Pergerakan Uang Beredar (M1) Amerika Serikat Tahun 2008 Sumber: stats.oecd.org
Pasar
Amerika
Serikat
merupakan
pasar
yang
besar
yang
dapat
mempengaruhi pertumbuhan pasar-pasar di seluruh dunia. Timbulnya resesi ekonomi
di
Amerika
Serikat
secara
langsung
mempengaruhi
kondisi
7
perekonomian di negara-negara lain, khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia. Anjloknya harga saham di pasar modal Amerika Serikat langsung diikuti dengan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). IHSG turun dari level Rp2.400-an pada bulan Juni 2008 menjadi Rp1.600-an pada bulan Oktober 2008, sebagaimana grafik pada Gambar 1.6. Bahkan Bursa Efek Indonesia sempat ditutup selama tiga hari pada bulan yang sama untuk mencegah kepanikan dan penurunan harga saham secara berlebihan Hanafi (2012: 347).
Indeks IHSG (Rupiah)
3,000.00 2,500.00 2,000.00 1,500.00 IHSG (IDR)
1,000.00 500.00 0.00 Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt. Nov. Des.
Gambar 1.6 Pergerakan IHSG Tahun 2008 Sumber: finance.yahoo.com
Memburuknya kondisi
makroekonomi
Amerika Serikat pun diikuti
terpuruknya kondisi makroekonomi di Indonesia. Di Indonesia, tingkat suku bunga jangka pendek mengalami kenaikan dari 8,4% pada Agustus 2008 menjadi 9,45% pada September 2008 dan terus mengalami kenaikan menjadi 10,17% pada Oktober 2008, sebagaimana grafik pada Gambar 1.7. Penerapan kebijakan
8
moneter ini untuk mengimbangi naiknya tingkat suku bunga internasional agar dapat menahan aliran modal yang keluar sehingga memilih untuk diinvestasikan di dalam negeri. Selain bertujuan untuk menguatkan nilai rupiah terhadap dolar AS.
Tingkat Suku Bunga (%)
12 10 8 6
STR_US
4
STR_INA
2 0 Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt. Nov. Des.
Gambar 1.7 Pergerakan Tingkat Suku Bunga Jangka Pendek Amerika Serikat dan Indonesia Tahun 2008 Sumber: stats.oecd.org
Tingkat inflasi sempat mencapai level 12,14% pada bulan September 2009, sebagaimana grafik pada Gambar 1.8. Inflasi tersebut juga didorong dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi. Tekanan inflasi makin tinggi akibat harga komoditi global yang tinggi. Namun inflasi tersebut berangsur menurun di akhir tahun 2008 karena penurunan harga subsidi BBM yang diikuti dengan penurunan tarif angkutan dalam kota dan provinsi sehingga harga komoditi turun (Syarief, 2008).
9
Tingkat Inflasi (%)
14 12 10 8
INF_US
6
INF_INA
4 2 0 Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt. Nov. Des.
Gambar 1.8 Pergerakan Inflasi Amerika Serikat dan Indonesia Tahun 2008 Sumber: www.bi.go.id, stats.oecd.org
Penurunan daya beli masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan permintaan impor dari Indonesia. Dengan demikian ekspor Indonesia menjadi menurun. Hal ini yang menyebabkan terjadinya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar US$2,2 miliar pada tahun 2008 (Purna, 2009). Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menyebabkan peningkatan perusahaan bangkrut dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama pada industri padat karya dan berorientasi pada ekspor (Kuncoro, 2013: 115). Indeks produksi industri pada bulan September turun menjadi 94,1 dari 95,4 pada bulan sebelumnya dan terus turun menjadi 92,6 pada bulan Oktober 2008. Walaupun sedikit mengalami kenaikan menjadi sebesar 95 pada bulan November 2008 tetapi pada bulan Desember 2008 kembali turun menjadi sebesar 93,9 yang tersaji sebagaimana grafik pada Gambar 1.9. Namun sejak pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap mata
10
uang. Kurs rupiah melemah menjadi Rp11.711,00 per dolar AS pada bulan November 2008 yang merupakan depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya rupiah berada di posisi Rp10.048,00 sebagaimana grafik pada Gambar 1.10.
Indeks Produksi Industri
115 110 105 100 IP_US
95
IP_INA
90 85 80 Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt. Nov. Des.
Gambar 1.9 Pergerakan Produksi Industri Amerika Serikat dan Indonesia Tahun 2008 Sumber: stats.oecd.org
Rupiah per Dolar AS
14000 12000 10000 8000 6000
KURS IDR/USD
4000 2000 0 Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt. Nov. Des.
Gambar 1.10 Pergerakan Kurs Tengah Rupiah per Dolar AS Tahun 2008 Sumber: www.bi.go.id
11
Untuk menambah likuiditas dan menumbuhkan kepercayaan pemodal dalam negeri, Bank Indonesia pun menambah jumlah uang beredar (M1) sehingga mengalami kenaikan dari bulan Agustus 2008 menjadi sebesar 84,5 dan 86,7 pada bulan September 2008 dan Oktober 2008 sebagaimana grafik pada Gambar 1.11.
Indeks Uang Beredar (M1) (2010=100)
95 90 85 M1_US 80
M1_INA
75 70 Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Agu. Sep. Okt. Nov. Des.
Gambar 1.11 Pergerakan Uang Beredar (M1) Amerika Serikat dan Indonesia Tahun 2008 Sumber: stats.oecd.org
Terpuruknya kondisi makroekonomi Indonesia menyebabkan tingkat kepercayaan pemodal dalam negeri menurun. Sebagian pemodal terbayang buruknya perekonomian pada krisis moneter tahun 1998 yang kemudian menyebabkan bangkrutnya bank-bank di Indonesia. Sebagian pemodal yang percaya bahwa krisis perekonomian tahun 2008 akan segera pulih mereka menginvestasikan
modalnya
dengan
menyimpannya
di
bank
dengan
mengharapkan tingkat suku bunga simpanan yang tinggi atau memilih membeli obligasi pemerintah. Tingginya laju inflasi membuat sebagian pemodal mengalokasikan dananya untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu daripada
12
untuk investasi. Di sisi lain, para pemodal memilih menahan dahulu modalnya dan menunggu perkembangan kondisi perekonomian dalam negeri membaik sehingga aman untuk berinvestasi. Hal ini menyebabkan level IHSG di pasar modal Indonesia semakin merosot. Pemulihan resesi ekonomi yang melanda Amerika Serikat terus diupayakan pemerintah Amerika Serikat agar dapat secepatnya pulih. Untuk mendukung perekonomian di masa krisis, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan Quantitative Easing (QE). QE merupakan kebijakan moneter yang dapat dibilang tidak lazim, yaitu dengan mencetak uang dalam jumlah yang signifikan untuk menambah likuiditas. Kebijakan seperti ini telah banyak dilakukan oleh negara-negara maju sejak lama, dan Amerika Serikat pun pernah mengeluarkan kebijakan tersebut pada tahun 1930 ketika terjadi resesi global (Daruri, 2013). Tujuan dikeluarkannya kebijakan QE oleh pemerintah Amerika Serikat adalah: (1) mengembalikan kredibilitas kebijakan pemerintah; (2) menarik kembali investasi masuk ke pasar; dan (3) sebagai upaya menyeimbangkan aset portofolio. Secara teknis melalui kebijakan tersebut, bank sentral Amerika Serikat mengeluarkan uang untuk membeli obligasi jangka panjang, baik obligasi berupa surat utang Amerika Serikat maupun obligasi kredit perumahan. Stimulus moneter tersebut dikeluarkan untuk menahan tingkat suku bunga jangka panjang tetap dalam level yang rendah. Sehingga diharapkan dapat mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja oleh sektor swasta. Kebijakan QE dikeluarkan secara
13
bertahap, yaitu tahap I pada Maret 2009 hingga Maret 2010, tahap II pada November 2010 hingga 2011, dan tahap III pada September 2012 (Daruri, 2013). Amerika Serikat terbukti sukses dengan kebijakan tersebut dan perlahan kondisi perekonomian mulai membaik. Dengan kondisi tersebut, bank sentral Amerika Serikat pun sedikit demi sedikit mulai mengurangi stimulus pembelian obligasi (tapering off). Mulai Desember 2013, program pembelian obligasi dikurangi menjadi hanya US$55 miliar per bulan dari sebelumnya sebesar US$85 miliar per bulan (Subarkah, 2014). Respon perubahan kebijakan tersebut tidak hanya terjadi di pasar Amerika Serikat, tetapi juga di seluruh dunia. Langkah antisipasi kemunduran pertumbuhan perekonomian yang akan terjadi mulai dipersiapkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia (Amri, 2013). 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu: a.
Kondisi makroekonomi Amerika Serikat mempengaruhi kondisi pasar modal Indonesia.
b.
Kondisi pasar modal Amerika Serikat berpengaruh pada kondisi pasar modal Indonesia.
c.
Kondisi makroekonomi Indonesia mempengaruhi kondisi pasar modal Indonesia.
1.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan yang timbul pada penelitian ini adalah:
14
a.
Apakah kondisi makroekonomi Amerika Serikat berpengaruh pada kondisi pasar modal Indonesia?
b.
Apakah kondisi pasar modal Amerika Serikat berpengaruh pada kondisi pasar modal Indonesia?
c.
Apakah kondisi makroekonomi Indonesia berpengaruh pada kondisi pasar modal Indonesia?
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis pengaruh kondisi makroekonomi Indonesia dan Amerika Serikat, serta kondisi pasar modal Amerika Serikat pada kondisi pasar modal Indonesia. 1.5. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Bagi penulis Penulis dapat lebih memahami mengenai pengaruh perubahan kondisi makroekonomi Amerika Serikat dan kondisi pasar modal Amerika Serikat pada kondisi pasar modal di Indonesia.
b.
Bagi pemodal Pemodal dapat mengetahui dan mengantisipasi gejolak pasar yang diakibatkan oleh perubahan kondisi makroekonomi Amerika Serikat dan kondisi pasar modal Amerika Serikat pada kondisi pasar modal Indonesia sehingga dapat dijadikan sebagai informasi dalam proses pengambilan keputusan.
15
c.
Bagi PT Bursa Efek Indonesia dan Bapepam PT Bursa Efek Indonesia dan Bapepam dapat menggunakannya sebagai tambahan informasi yang berkaitan dengan pengaruh perubahan kondisi makroekonomi Amerika Serikat dan kondisi pasar modal Amerika Serikat pada kondisi pasar modal Indonesia.
1.6. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan terdiri dari lima bab yang masing-masing bab menguraikan hal-hal sebagai berikut: BAB I:
Pendahuluan Pada bab ini diuraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika dari penulisan tesis ini.
BAB II: Tinjauan Pustaka Pada bab ini diuraikan tentang landasan teori, penelitian terdahulu, dan pengembangan hipotesis. BAB III: Metode Penelitian Pada bab ini diuraikan tentang desain penelitian, model penelitian, definisi operasional variabel, sampel, pengumpulan data, alat analisis, dan metode analisis data. BAB IV: Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada bab ini diuraikan tentang deskripsi data, pengujian hipotesis, dan pembahasan.
16
BAB V: Simpulan, Keterbatasan, Implikasi, dan Saran Pada bab ini diuraikan tentang simpulan, keterbatasan, implikasi, dan saran.
17